• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIALEKTIKA TAFSIR AL-QUR'AN DAN BUDAYA MADURA DALAM TAFSIR ALQUR'ANUL KARIM NURUL HUDA KARYA MUDHAR TAMIM.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "DIALEKTIKA TAFSIR AL-QUR'AN DAN BUDAYA MADURA DALAM TAFSIR ALQUR'ANUL KARIM NURUL HUDA KARYA MUDHAR TAMIM."

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

DIALEKTIKA TAFSIR AL-

QUR’AN DAN BUDAYA

MADURA

DALAM TAFSIR ALQUR’ANUL KARIM NURUL HUDA

KARYA MUDHAR TAMIM

Skripsi:

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu al-Qur’an dan Tafsir

Oleh:

AHMAD ZAIDANIL KAMIL

NIM: E03213010

PRODI ILMU AL-

QUR’AN DAN TAFSI

R

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

iii

ABSTRAK

Karya tafsir pada dasarnya merupakan sebuah produk budaya yang lahir dari proses dialektika antara penafsir dengan budaya yang melingkupinya di satu pihak dan dialognya dengan al-Qur’an di pihak lain. Salah satu karya tafsir yang lahir dari proses dialektika tersebut yaitu tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda karya Mudhar Tamim, yang ditulis dalam lingkup sosial budaya Madura. Oleh karena itu, penelitian ini diorientasikan untuk menjawab permasalahan tentang motif Mudhar Tamim menulis tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda, metodologi yang digunakan dalam penafsirannya serta bagaimana pola dialektika antara tafsir

Alqur’anul Karim Nurul Huda dan Budaya Madura?

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang datanya bersumber dari kepustakaan (library research) dan wawancara. Untuk mengungkap dialektika tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda dengan budaya Madura, peneitian ini dikaji dengan kerangka teori enkulturasi budaya dengan pendekatan historis-antropolgis. Wujud dialektika tersebut kemudian dikeompokkan ke dalam beberapa pola dialektika, yaitu pola adoptive-complement, destructive dan adoptive-reconstructive.

Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tujuan Mudhar Tamim menulis tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda adalah dalam rangka “mengawal” program REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun) yang dicanangkan oleh pemerintahan Orde Baru serta upaya khidmatnya terhadap kitab al-Qur’an dalam rangka memperluas dan mengokohkan keyakinan terhadap ajaran Islam. Metode yang digunakan Mudhar Tamim dalam tafsirnya yaitu metode tah}li@li@ yang berbentuk ra’y dengan corak sosial kemasyarakatan dan corak fikih. Dialektika tafsir al-Qur’an dan budaya Madura membentuk beberapa pola dialektika. Pertama, pola adoptive-complement yang menunjukkan sikap apresiatif dan menerima berlakunya budaya yang berlaku di Madura. Termasuk dalam kategori ini yaitu pelestarian stratifikasi bahasa dan tradisi bermadzhab. Kedua, pola destructive yang diartikan sebagai penolakan terhadap berlakunya budaya yang berlaku. Dalam hal ini budaya Madura yang ditolak keberlakuannya oleh Mudhar Tamim yaitu sikap taklid buta terhadap sosok kiai serta praktek-praktek yang berlaku dalam tarekat. Ketiga, pola adoptive-reconstructive yang diartkan sikap menerima terhadap tradisi, tetapi memodifikasinya sedemikian rupa sehingga berubah karakter dasarnya. Sikap ini ditunjukkan oleh upaya Mudhar Tamim merekonstrusi budaya politik masyarakat Madura.

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...ii

ABSTRAK ...iii

LEMBAR PERSETUJUAN ...iv

PENGESAHAN SKRIPSI ...v

PERNYATAAN KEASLIAN ...vi

MOTTO ...vii

PERSEMBAHAN ...viii

KATA PENGANTAR ...ix

DAFTAR ISI ...xi

PEDOMAN TRANSLITERASI ...xiv

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ...1

B.Rumusan Masalah ...8

C.Tujuan Penelitian ...9

D.Signifikan dan Kegunaan Penelitian 1. Secara Teoritis ...9

2. Secara Praktis ...9

E. Kerangka Teoritik ...10

F. Telaah Pustaka ...11

G.Metodologi Penelitian 1. Model dan Jenis Penelitian ...13

(8)

xii

3. Teknik Pengumpulan Data ...15

4. Teknik Analisis Data ...15

H.Sistematika Pembahasan ...17

BAB II BUDAYA MADURA DAN TIPOLOGI DIALEKTIKA TEKS KONTEKS A.Budaya Madura: Sebuah Gambaran Umum ...19

1. Agama dan Kepercayaan ...20

2. Kedudukan Buppa’ Babbu’ Guru Rato ...22

a. Kedudukan Oramg Tua ...22

b. Kedudukan Guru (Kiai) ...23

c. Kedudukan Rato ...26

3. Stratifikasi Sosial dan Tingkatan Bahasa ...29

B.Dialektika Teks dan Konteks ...30

BAB III MENGENAL MUDHAR TAMIM DAN TAFSIR ALQUR’ANUL KARIM NURUL HUDA A.Biografi Mudhar Tamim ...34

B.Profil Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda: Sebuah Perkenalan .41 1. Latar Belakang Penafsiran ...41

2. Ciri-ciri Umum ...44

C.Bentuk Penafsiran ...52

D.Metode dan Corak Penafsiran ...55

1. Corak Sosial Kemasyarakatan ...57

(9)

BAB IV POLA DIALEKTIKA TAFSIR ALQUR’ANUL KARIM NURUL

HUDA DAN BUDAYA MADURA

A.Tah}mi@l (adoptive-complement) ...61

1. Stratifikasi Bahasa: Wujud Pelestarian Budaya Madura ...61

2. Pelestarian Tradisi Bermadzhab ...65

B. Tah}ri@m (destructive) ...71

1. Kritik Budaya Taklid Buta (Kultus Kiai) ...71

2. Kritik Praktek Tarekat...77

C.Taghyi@r (adoptive-reconstructive) ...82

1. Etika Politik Masyarakat Madura ...82

BAB V PENUTUP A.Kesimpulan ...88

B.Saran ...90

DAFTAR PUSTAKA ...92

(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur‟an merupakan kitab suci yang kerap diasosiasikan sebagai kitab referensi yang selalu relevan dalam menyelesaikan segala problem kehidupan yang dihadapi umat Islam, s}a>lih} li kull zama>n wa maka>n. Hal ini memberikan ruang dinamis bagi penafsiran al-Qur‟an dari masa ke masa. Bahkan, eksistensi penafsiran al-Qur‟an telah dibuktikan dalam potret sajarah sejak Nabi Muh}ammad menerima wahyu hingga saat ini dan akan terus berlanjut seiring dengan perkembangan Islam itu sendiri.

Dalam lintas sejarah penafsiran al-Qur‟an, berkembangnya agama Islam ke berbagai belahan dunia dengan sosio-kultur yang berbeda-beda pada akhirnya menuntut adanya pembacaan ulang terhadap al-Qur‟an berdasarkan situasi dan kondisi yang ada guna mencari jawaban atas problematika umat yang semakin kompleks. Implikasinya, relevansi pembacaan dan pemahaman yang menjadi acuan dari setiap aktifitas penafsiran al-Qur‟an pada akhirnya melahirkan pendekatan dan corak yang variatif, seperti fikih, kalam, politik, tasawuf, filsafat, dan sebagainya.1

Keragaman bentuk dan corak tafsir al-Qur‟an ini juga disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya latar belakang pendidikan, keilmuan, motif penafsiran, dan kondisi sosial di mana sang penafsir menyejarah.2 Faktor-faktor tersebut tidak

1

Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an(Yogyakarta: Adab Press, 2014), 155.

2

Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 388-389.

(11)

2

berdiri sendiri, akan tetapi bergerak secara interaktif dan dinamis.3 Dengan kata lain, al-Qur‟an secara intrinsik selalu berdialog secara interaktif dengan masyarakat dalam berbagai dimensi dan corak sosialnya, baik di masa lampau, kini maupun mendatang4 melalui penafsirnya.

Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia turut memberikan andil besar dalam perkembangan tafsir al-Qur‟an. Dalam pelataran sejarah Islam Indonesia, al-Qur‟an untuk pertama kali diajarkan dan dipelajari seiring dengan masuknya Islam di Indonesia. Selanjutnya, al-Qur‟an pun diterjemahkan dan ditafsirkan ke dalam berbagai bahasa, baik bahasa nasional maupun bahasa daerah.

Secara historis, penafsiran al-Qur‟an di Indonesia dimulai sejak abad ke 17 Masehi. Salah satu ulama Indonesia yang menulis karya tafsir pada era ini adalah Abd Ra‟uf al-Sinkili (1615-1693 M) dengan judul Turjuma>n al-Mustafi@d. Pada era selanjutnya, terdapat banyak sekali karya-karya tafsir yang diproduksi oleh mufasir Indonesia yang muncul dengan bahasa yang beragam, misalnya Raud}ah al-‘Irfa>n dan Kitab Tafsir al-Fatihah yang ditulis dengan menggunakan

bahasa Sunda atau Faid} al-Rah}ma>n karya kiai Saleh Darat (1820-1903 M) yang dikemas dengan bahasa Jawa. Untuk kasus bahasa Bugis, pada era 1940-an Anre Gurutta H. M. As‟ad menulis Tafsir Bahasa Boegisnja Soerah Amma. Muncul juga penggunaan bahasa Aceh yang dapat dilihat pada Tafsir Pase: Kajian Surah al-Fatihah dan Surah-surah dalam Juz ’Amma yang ditulis oleh tim dan

3Nas}r H{a>mid Abu>

Zayd, Tekstualitas al-Qur’an, terj. Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LKiS, 2013), 2.

4

(12)

3

diterbitkan Balai Kajian Tafsir al-Qur„an Pase Jakarta tahun 2001. Terdapat pula karya tafsir yang ditulis dengan memakai bahasa Arab, misalnya Tafsi@r

Mu‘awwidatayn karya Ahmad Asmuni Yasin. Sementara tafsir-tafsir di Indonesia

yang ditulis dengan memakai bahasa Indonesia antra lain Tafsir Al-Azhar karya Hamka, Tafsir Nur dan Bayan karya T.M. Hasbi Shiddieqy, dan Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab.5

Selain karya tafsir di atas, terdapat Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda yang ditulis dengan menggunakan bahasa Madura oleh Mudhar Tamim. Menurut R. Soenarto Hadiwidjojo, Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda merupakan karya tafsir pertama yang dikarang oleh ulama Madura dengan menggunakan bahasa Madura.6

Karya ini mulai diproduksi oleh Mudhar Tamim pada hari Rabu tanggal 16 Juli 1969/1 Jumâd al-Awal 1389. Pada hari Senin tanggal 6 Oktober 1969/24 Rajab 1389, ia berhasil merampungkan penafsiran surah Fatihah dan surah al-Baqarah yang kemudian dicetak dalam jilid I.7

Mudhar Tamim sendiri merupakan seorang bangsawan, intelektual, dan politikus.8 Dalam catatan sejarah kemerdekaan Indonesia, ia juga pernah menjabat

5Islah Gusmian, “

Bahasa dan Aksara dalam Penulisan Tafsir al-Qur‟an di Indonesia Era Awal

abad 20,” dalam Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis, Vol. 5, No.2 (Desember 2015),

225-234.

6Soenarto Hadiwidjojo, “Pra

-ator,” dalam Mudhar Tamim, Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda (t.k.: t.p., t.t.), vi.

7

Dalam cetakan edisi perdana, turut memberi kata pengantar adalah Gubenur Propinsi Jawa Timur saat itu, yaitu Mohammad Noer. Selain itu, ada kata sambutan dari Pembantu Gubenur untuk Madura, Machmoed Sosroadipoetro; Bupati Kepala Daerah, Raden Holioedin; Perwakilan

Departemen Agama Kabupaten Pamekasan, R. Moh. Sjafi‟i Munir; dan Residen-Pensiun R. Soenarto Hadiwidjojo. Ibid., iii-vii.

8

(13)

4

sebagai pemimpin Laskar Hisbullah tingkat Keresidenan9 dalam perang kemerdekaan di Madura.10

Dalam pendahuluannya, Mudhar Tamim secara eksplisit menyatakan bahwa salah satu tujuan utama dari disusunnya Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda adalah dalam rangka “mengawal” program REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun) yang dicanangkan oleh pemerintahan Orde Baru dibawa pimpinan Presiden Soeharto. Demi untuk mensukseskan PELITA tahap pertama dalam bidang pemantapan keyakinan ajaran agama, karya tafsir ini oleh Mudhar Tamim diproyeksikan akan dibaca setiap hari Jumat di Radio Hansip Corporation (RHANSISCO) Pamekasan sebagai media dakwah kepada seluruh masyarakat Pamekasan khususnya, dan masyarakat Madura pada umunya.11 Lebih lanjut, R. Soenarto Hadiwidjoyo dalam kata pengantarnya menyatakan bahwa penyusunan karya tafsir ini sejalan dengan keputusan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia) yang bertujuan untuk mengokohkan keyakinan terhadap agama.12

Dalam konteks ini, tentu hasil penafsiran yang dieksplorasi Mudhar Tamim dalam Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda mengindikasikan bahwa pada hakikatnya karya ini bukan hanya didasarkan pada proses penggalian makna yang terkandung di dalam al-Qur‟an untuk dijadikan petunjuk hidup, tetapi juga

9

Keresidenan adalah sebuah pembagian administratif dalam sebuah propinsi di Hindia Belanda (Indonesia) hingga tahun 1950-an. Sebuah Keresidenan (regentschappen) terdiri atas beberapa afdeeling (kabupaten). https://id.m.wikipedia.org

10

Mohammad Moestadji, Didik Hadijah Hasan, dan Mohammad Rosyad, Peranan Resimen

Djokotole Beserta Laskar Sabilillah, Hisbullah, B.P.R.T. dan Pesindo dalam Perang Kemerdekaan ke-1 di Madura (t.tp: t.p, 2005), 38.

11

Tamim, Tafsir Alqur’anul, vii.

12Hadiwidjojo, “Pra

(14)

5

sebagai respon Mudhar Tamim atas problem sosial, budaya, dan politik pada saat karya tafsir tersebut ditulis, di samping sebagai “alat” untuk mensukseskan program REPELITA.

Oleh karena itu, terjadi dialektika yang intens antara Mudhar Tamim,

al-Qur‟an, dengan budaya lokal masyarakat Madura dan kondisi sosio-politik yang berkembang saat itu, baik dalam wilayah Madura maupun Indonesia dalam proses penafsirannya terhadap teks-teks al-Qur‟an. Hal ini umpamanya bisa dilihat ketika ia menafsirkan QS. al-Baqarah: 42 dan 45:

Ajja‟ ngangguji barang se bender kalaban se sala enggi paneka hokom-hokom agama

epakabur, sanadjjan oneng dja‟ hokomma haram. Tape manabi pihak atasanna (lorana) atanja, epatjojok da‟ ponapa se elakone lorana, karana tako‟ e leppas pangkat-da. Sanaddjan

oneng da‟ sala, tape tak bengal nerangagi se sabenderra, takok kaelangan pangkat sareng en

laenna.”13

Sabbar ajauwi maksiyat paneka nolak sanadjjan eguda kadi ponapa bisaos (tahan udji).

Adjja‟ salerana tatjabbur dalam ma‟sijat. Ompama eadjek amen djudi (tarowan pesse)

ngenom towa‟ (minuman keras) ban en laenna kalakoan ma‟sijat paneka kodu etolak

eonduri, sanadjjan se ngadjak lorana, pangkat se lebbi tenggi.14

Dari pernyataan ini, tampak dengan jelas bahwa Mudhar Tamim merespon fenomena taklid buta kepada para elite agamawan yang sudah membudaya di masyarakat Madura, khususnya kepada kiai dan putra kiai (lora).15 Untuk menyikapi budaya fanatisme yang berlebihan terhadap eksistensi kiai dan putra kiai, Mudhar Tamim tampil dengan memberikan sebuah kritik-konstruktif dengan legitimasi teks al-Qur‟an QS. al-Baqarah: 42 dan 45. Bagi Mudhar

Menurut van Bruinessen, dalam berkehidupan lebih-lebih dalam persoalan keagamaan, cara hidup masyarakat Madura yang kerap menjadi sorotan adalah sikap taat kepada seorang kiai. Ketundukan masyarakat terhadap kiai seringkali melampaui batas kewajaran. Lihat Martin van

Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi Tradisi Islam di Indonesia (Bandung:

(15)

6

hormat kepada para kiai dan putra kiai, Mudhar Tamim ingin memberikan sebuah arahan kepada masyarakat Madura bahwa seorang kiai dan putra kiai dimungkinkan terjebak dalam kesalahan, baik disengaja atau sebaliknya. Artinya, seorang kiai dan putra kiai tetap tidak akan lepas dari fitrahnya sebagai manusia yang bisa melakukan kesalahan. Ini artinya, Mudhar Tamim mampu mengolah isi penafsirannya untuk mendobrak dan membongkar sebuah tradisi dalam konstruksi masyarakat Madura sebagai konteks dari penafsirannya.

Sebagai sebuah karya, Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda sangat menarik untuk dikaji terkait dengan kepentingan-kepentingan tersembunyi (hidden ideology) dibalik munculnya karya tafsir ini serta model-model dialektika yang dilakukan oleh Mudhar Tamim ketika membaca teks-teks al-Qur‟an dan kondisi sosio-historis masyarakat Madura secara khusus sebagai konteksnya dengan pertimbangan beberapa argumen.

Pertama, sebagai karya yang ditulis dengan menggunakan bahasa

Madura dan diperuntukkan untuk komunitas masyarakat Madura,16 Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda kurang mendapat apresiasi positif dari masyarakat

Madura. Ini terbukti bahwa masyarakat Madura, khususnya para cendikiawan, intelektual, bahkan elite agamawannya tidak familiar dengan karya tafsir yang telah diproduksi oleh Mudhar Tamim 47 tahun yang lalu. Apakah hal itu dilatarbelakangi karena ia seringkali mengkritik perilaku para kiai atau putra kiai yang notabenenya sebagai kelas elite dalam struktur masyarakat Madura? Atau karena masyarakat Madura menempatkan posisi Mudhar Tamim dalam

16

(16)

7

kapasitasnya sebagai seorang elite bangsawan, intelektual, dan politisi? Bukan sebagai ulama ataupun kiai yang memiliki kapasitas dan otoritas dalam menafsirkan teks-teks al-Qur‟an, mengingat budaya keberagamaan masyarakat Madura dibentuk oleh tiga elemen, yaitu pesantren, Nahdlatul Ulama, dan kiai yang mempresentasikan tokoh agama Islam.17 Atau bahkan karena motifnya ia menulis karya tafsir ini dalam rangka untuk mengawal agenda REPELITA yang dicanangkan oleh Pemerintahan Orde Baru, sehingga ada banyak muatan politis terselubung dibalik penafsirannya terhadap teks-teks al-Qur‟an, sehingga karyanya menjadi tidak diminati?

Kedua, tafsir al-Qur‟an secara ontologis terkait erat dengan dialektika antara manusia dengan realitas sosial budaya di satu pihak dan dengan al-Qur‟an di pihak lain. Terjadinya dialektika tersebut merupakan konsekuensi logis dari eksistensi al-Qur‟an sebagai kalam Allah yang telah membumi dan menjelma ke dalam bentuk teks18 sehingga perlu untuk dipertanyakan bagaimanakah bentuk-bentuk dialektika yang dilakukan oleh Mudhar Tamim ketika ia membaca teks

al-Qur‟an dan realitas sosial masyarakat Madura. Dalam konteks ini, apakah setelah

melakukan dialektika dengan teks al-Qur‟an dan konteks realitas sosial masyarakat Madura, Mudhar Tamim melakukan adoptive-complement, destructive, dan adotive-reconstructive terhadap budaya-budaya yang sudah mentradisi dalam masyarakat Madura? Mengingat, budaya dan tradisi Madura menjadi bagian substantif yang diperbincangkan Mudhar Tamim dalam penafsirannya.

17Samsul Ma‟arif

, The History of Madura (Yogyakarta: Araska, 2015), 154-155.

18

(17)

8

Ketiga, anggapan bahwa tafsir selalu relevan seiring dengan

perkembangan zaman membawa konsekuensi logis pentingnya bersikap kritis terhadap hasil penafsiran yang ada selama ini, sehingga sah-sah saja untuk menanyakan, apakah Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda relevan dengan tuntutan zamannya atau tidak? Apakah di dalamnya ada pemaksaan-pemaksaan ideologis dan kepentingan pribadi Mudhar Tamim atau tidak? Pertanyaaan-pertanyan ini jelas perlu diajukan dan dicarikan jawabannya.

Keempat, masih belum adanya kajian atau penelitian komprehensif

tentang Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda karya Mudhar Tamim yang dilakukan oleh para pengkaji tafsir Indonesia, sehingga diharapkan penelitian ini mampu memberikan konstribusi dalam pengembangan wacana penafsiran

al-Qur‟an di Indonesia, khususnya untuk generasi Madura sendiri dan bangsa Indonesia pada umumnya.

B. Rumusan Masalah

Agar lebih jelas dan memudahkan operasional penelitian, perlu diformulasikan beberapa rumusan permasalahan pokok, sebagai berikut:

1. Apa tujuan yang menjadi motif dan kepentingan Mudhar Tamim dalam menyusun Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda?

2. Bagaimana metode penafsiran yang diaplikasikan Mudhar Tamim dalam Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda?

(18)

9

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

1. Ingin menemukan tujuan yang menjadi motif dan kepentingan Mudhar Tamim dalam menyusun Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda.

2. Ingin menemukan langkah-langkah metodis yang diaplikasikan Mudhar Tamim dalam menyusun Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda.

3. Ingin menemukan pola dialektika antara Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda dengan budaya dan tradisi Madura.

D. Signifikansi dan Kegunaan Penelitian

Dalam penelitian ini ada dua signifikansi yang akan dicapai yaitu aspek keilmuan yang bersifat teoritis, dan aspek praktis yang bersifat fungsional.

1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menemukan rumusan tentang dialektika dan pola hubungan antara Mudhar Tamim, al-Qur‟an, dengan lokalitas budaya Madura, sehingga dapat dijadikan sebagai acuan dalam memahami ajaran agama Islam dan tradisi budaya yang mengakar dalam struktur masyarakat Madura.

2. Secara Praktis

(19)

10

E. Kerangka Teoritik

Penelitian ini memposisikan karya tafsir sebagai suatu fenomena budaya. Budaya dalam hal ini diartikan sebagai keseluruhan cara hidup yang khas dengan penekanan pada pengalaman sehari-hari. Oleh karena penelitian ini ingin mengungkap dialektika Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda dengan budaya Madura, maka teori yang digunakan sebagai pisau analisis adalah teori enkulturasi budaya. Enkulturasi merupakan usaha masuk dalam suatu budaya, meresapi suatu kebudayaan, menjadi senyawa, dan membudaya dengan menjelma dalam suatu kebudayaan.19

Proses enkulturasi digambarkan dengan beberapa tahapan, yakni sosialisasi (pembelajaran), asimilasi, dan integrasi. Setelah melewati proses enkulturasi, pola dialektika antara Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda dengan budaya Madura dikelompokkan ke dalam tipologi-tipologi dialektika. Dalam konteks ini, dialektika Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda dan budaya Madura bisa dipetakan menjadi tiga model, yakni adoptive-complement, destructive, dan adotive-reconstructive.20 Adoptive-complement diartikan sebagai sikap menerima

atau membiarkan sebuah tradisi. Destructive diartikan sebagai sikap menolak keberlakuan tradisi masyarakat. Sikap ini bisa ditunjukkan oleh Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda dengan adanya pelarangan terhadap kebiasaan atau tradisi

yang sudah berlaku dalam masyarakat. Sedangkan adotive-reconstructive adalah sikap yang ditunjukkan oleh Mudhar Tamim dalam Tafsir Alqur’anul Karim

19

Ali Sodiqin, Antropologi al-Qur’an: Model Dialektika Wahyu dan Budaya (Yogyakarta: Al-Ruzz Media, 2008), 181-182.

20

(20)

11

Nurul Huda sebagai bentuk dari penerimaan tradisi masyarakat Madura, tetapi

memodifikasinya sedemikian rupa sehingga berubah karakter dasarnya.

F. Telaah Pustaka

Penelitian tentang karya tafsir yang ditulis oleh mufasir Indonesia sudah banyak dilakukan oleh para sarjana. Sementara untuk objek penelitian Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda karya Mudhar Tamim, sejauh pengetahuan penulis

belum ada penelitian secara spesifik dan komprehensif yang mengkajinya.

Meski demikian, ada artikel yang menyinggung secara sepintas tentang Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda karya Mudhar Tamim yang ditulis oleh Islah

Gusmian dalam Bahasa dan Aksara dalam Penulisan Tafsir Alquran di Indonesia Era Awal Abad 20. Dalam artikel yang diterbitkan jurnal Mutawatir pada Vol. 5,

No. 2 Desember 2015 ini, Islah menguraikan tentang dinamika pemakaian bahasa dan aksara dalam penulisan dan publikasi karya tafsir al-Qur‟an di Indonesia pada era abad 20 Masehi, di antaranya adalah Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda karya Mudhar Tamim yang ditulis dengan menggunakan bahasa Madura. Adapun penelitian tentang karya yang ditulis oleh ulama Madura atau penelitian-penelitian sejenis dengan objek penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai berikut: 1. Alquran Terjemahan Bahasa Madura (Study Kritik atas Karakteristik dan

(21)

12

banyak digunakan dalam terjemahan adalah karakteristik bahasa Madura Pamekasan.

2. Tafsir al-Qur’an dan Budaya Lokal (Studi Nilai-nilai Budaya Jawa dalam Tafsir Al-Huda Karya Bakri Syahid) karya Imam Muhsin yang diterbitkan

oleh Badan Litbang dan Diklat KEMENAG RI, Desember 2010. Karya ini mengungkap aspek lokalitas dalam karya tafsir. Objek formal penelitian ini adalah Tafsir al-Huda karya Bakri Syahid dengan fokus kajian tentang analisa bahasa yang menunjukkan adanya enkulturasi nilai-nilai budaya Jawa dalam sebuah karya tafsir. Pergumulan dialektis dalam Tafsir al-Huda melahirkan tiga pola hubungan antara al-Qur‟an dan nilai-nilai budaya Jawa, yaitu pola adaptasi, integrasi, dan negoisasi.

3. Tafsir al-Qur’an dalam Tradisi Jawa: Studi atas pemikiran KH. Misbah Mustofa dalam Tafsir al-Iklîl fî Ma‘ân al-Tanzîl yang ditulis oleh Suprianto.

Karya ini merupakan Tesis dalam Program Magister IAIN Surakarta pada tahun 2012. Dalam kajiannya, Suprianto mengungkap respons KH. Misbah Mustafa terhadap tradisi keagamaan yang berkembang di Jawa, seperti tradisi tarekat dan haul dengan menggunakan teori-teori hermeneutika dan pendekatan sejarah.

(22)

13

G. Metodologi Penelitian

Pada hakikatnya, penelitian merupakan suatu tindakan yang diterapkan manusia untuk memenuhi hasrat yang selalu ada pada kesadaran manusia, yakni rasa ingin tahu.21 Meski demikian, dibutuhkan sebuah metode guna mewujudkan penelitian yang akurat, jelas, dan terarah. Secara terperinci metode dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Model dan Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang dimaksudkan untuk mendapatkan data tentang tujuan Mudhar Tamim dalam menyusun Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda, metode penafsiran yang aplikasikan oleh

Mudhar Tamim, serta dialektika Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda karya Mudhar Tamim dengan budaya Madura melalui riset kepustakaan dan disajikan secara deskriptif-analitis.

Artinya, penelitian ini akan mendiskripsikan motif dan kepentingan Mudhar Tamim dalam menyusun Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda, langkah-langkah metodis yang ditempuh Mudhar Tamim dalam menafsirkan al-Qur‟an, serta menyingkap ideologi yang terselip dibalik penafsirannya ketika bersinggungan dengan konstruksi sosial-budaya Madura di mana karyanya diproduksi.

21

Moh. Soehada, Metode Penelitian Sosial Kualitatif untuk Studi Agama (Yogyakarta: Suka Press,

(23)

14

2. Sumber Data Penelitian

Data primer22 dalam penelitian ini adalah karya Mudhar Tamim yang berhubungan langsung dengan aspek penafsirannya, yaitu Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda. Selain itu, juga menyertakan buku-buku karya Mudhar

Tamim yang lain untuk memetakan pemikirannya serta mengidentifikasi kegelisahan intelektualnya sebagai sumber sekunder,23 dan karya-karya tulis berupa buku atau artikel yang membahas tentang teori yang dipakai oleh Mudhar Tamim dalam menafsirkan al-Qur‟an serta bagaimana pola dialektika yang terdapat dalam karya tafsirnya dengan budaya lokal Madura, antara lain: a. Kaidah Tafsir karya M. Quraish Shihab.

b. Metodologi Penelitian al-Qur’an karya Nashruddin Baidan. c. Metode Penelitian al-Qur’an dan Tafsir karya Abdul Mustaqim.

d. Antropologi al-Qur’an: Model Dialektika Wahyu dan Budaya karya Ali Sodiqin.

e. Tafsir al-Qur’an dan Budaya Lokal karya Imam Muhsin.

f. Geografi Dialek Madura karya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. g. Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura karya Latif

Wiyata.

h. Wawancara dan interview kepada keluarga Mudhar Tamim.

22

Informasi yang langsung dari sumbernya disebut sebagai sumber data primer. Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya Ilmiah (Jakarta: Penerbit Kencana, 2011), 137.

23

(24)

15

3. Teknik Pengumpulan Data

Data-data yang menyangkut aspek tujuan, metode penafsiran

al-Qur‟an Mudhar Tamim, dan dialektika penafsiran Mudhar Tamim dengan budaya Madura ditelusuri dari tulisan Mudhar Tamim sendiri yang notabene sebagai sumber primer, yaitu Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda.

Sedangkan data yang berkaitan dengan biografi, latar belakang pendidikan, karir intelektual dan politiknya dilacak dari wawancara kepada keluarga, murid-murid, serta tokoh-tokoh agama di daerah Pamekasan, Madura. Hal ini perlu dilakukan menyoal belum adanya satupun karya yang membahas biografi Mudhar Tamim. Selain itu, untuk analisis metode penafsirannya dilacak dari literatur dan hasil penelitian terkait. Sumber sekunder ini diperlukan, terutama dalam rangka mempertajam analisis persoalan.

4. Teknik Analisis Data

Data yang terkumpul, baik primer maupun sekunder diklasifikasi dan dianalisis sesuai dengan sub bahasan masing-masing. Setelah itu dilakukan kajian mendalam atas data-data yang memuat objek penelitian dengan menggunakan content analysis.24 Dalam hal ini content analysis digunakan untuk menganalisa tujuan, langkah-langkah metodis, dialektika tafsir Mudhar

24

(25)

16

Tamim dengan budaya Madura, dan ideologi yang tersembunyi dibalik penafsiran Mudhar Tamim dalam Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda.

Metode analisis data yang diterapkan melalui pendekatan hermeneutik. Peran hermeneutik untuk mengungkap episteme yang digunakan Mudhar Tamim dalam membangun metode tafsirnya, menunjukkan hubungan triadic dalam proses kreatif penafsirannya, serta kondisi-kondisi di mana

Mudhar Tamim memahami teks al-Qur‟an. Selain itu digunakan analisis wacana kritis untuk menyingkap kepentingan dan ideologi yang terselip dibalik bahasa yang digunakan dalam penulisan Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda. Analisis ini menekankan pada proses produksi dan reproduksi makna. Artinya, individu tidak dipandang sebagai subjek netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, sebab proses itu dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat.

Selanjutnya, untuk memaparkan kondisi objektif latar belakang kultur, pendidikan, dan kondisi sosial-politik yang melingkupi kehidupan Mudhar Tamim, terutama yang memberi inspirasi bagi tujuan menulis Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda dan rumusan metode penafsirannya digunakan

pendekatan fenomenologi.

(26)

17

penafsiran al-Qur‟an. Selanjutnya, untuk menarik kesimpulan dari analisis data digunakan metode deduksi25 dan induksi.26

H. Sistematika Pembahasan

Penelitian ini akan disusun dalam beberapa bab dan sub bab sesuai dengan keperluan kajian yang akan dilakukan. Bab pertama menjelaskan latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka teoretik, penelitian terdahulu, metode penelitian serta sistematika pembahasan, sehingga posisi penelitian ini dalam wacana keilmuan tafsir

al-Qur‟an akan diketahui secara jelas.

Bab kedua menjelaskan mengenai struktur masyarakat Madura, sosio-kultur masyarakat Madura, dan tradisi-tradisi yang berkembang di masyarakat Madura dengan beberapa aspeknya. Bahasan ini dimaksudkan sebagai dasar pijakan menetapkan kriteria dalam menemukan dan memposisikan dialektika tafsir Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda karya Mudhar Tamim dan budaya Madura.

Bab ketiga mengungkap perkembangan intelektualitas Mudhar Tamim dan sisi kehidupan yang mengitarinya, sehingga perlu untuk membahas berbagai macam dimensi yang mempengaruhi pemikiran Mudhar Tamim secara umum dan metode penafsirannya secara khusus. Untuk memperjelas pokok bahasan, akan diungkap biografi, latar belakang pendidikan dan karir intelektualnya, kondisi

25

Metode deduksi yaitu cara menarik kesimpulan pengetahuan yang didasarkan pada suatu kaidah

yang bersifat umum. Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Vol.1 (Yogyakarta: Yayasan Penerbitan

Fakultas Psikologi UGM, 1974), 48.

26

(27)

18

sosio-kultur, dan peran Mudhar Tamim dalam kajian tafsir. Selain itu, akan dibahas latar belakang Mudhar Tamim menulis Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda, bentuk, metode, dan corak penafsiran yang digunakan oleh Mudhar Tamim sebagai bentuk ekspresi intelektualnya ketika bersinggungan dengan konstruksi sosial-politik di mana karyanya diproduksi.

Bab keempat akan dilakukan analisis terhadap penafsiran Mudhar Tamim serta uraian tentang dialektika Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda dengan budaya Madura. Setelah itu dilanjutkan dengan pengelompokan pola dialektika antara Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda dengan budaya Madura ke dalam tipologi-tipologi adoptive-complement, destructive, dan adotive-reconstructive.

(28)

19

BAB II

BUDAYA MADURA DAN TIPOLOGI DIALEKTIKA

TEKS KONTEKS

A. Budaya Madura: Sebuah Gambaran Umum

Pulau Madura terdiri dari 4 kabupaten yaitu Sumenep, Pamekasan, Sampang dan Bangkalan. Pulau Madura terletak di timur laut Pulau Jawa dengan koordinat sekitar 7˚ lintang selatan dan antara 112˚ dan 114˚ bujur timur. Panjang Pulau Madura kurang lebih 190 KM, jarak terlebar 40 KM, dan luas secara keseluruhan 5.304 KM2.1 Secara demografis, masyarakat Madura merupakan salah satu etnis ketiga terbesar setelah Jawa dan Sunda.2

Pertanian dan peternakan merupakan mata pencaharian utama. Walaupun tanah di Madura sangat tandus, tetapi 70%-80% dari keseluruhan penduduk Madura masih bergantung pada kegiatan agraris.3

Selain itu, Madura adalah kawasan yang berada di wilayah Provinsi Jawa Timur dan memiliki topografi dan kultur masyarakat yang khas. Kondisi geografis yang sebagian besar berupa wilayah kapur membuat gerak aktivitas masyarakat untuk migrasi keluar daerah relatif tinggi. Migrasi itu juga membuat sebaran warga Madura hampir merata berada di sepanjang perairan Utara Jawa Timur, khususnya wilayah Tapal Kuda Pandalungan, mulai dari Pasuruan, Probolinggo,

1

A. Latif Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura (Yogyakarta:LkiS, 2002) , 37.

2

Leo Suryadinata, dkk., Penduduk Indonesia: Etnis dan Agama dalam Era Perubahan Politik (Jakarta: LP3ES, 2003), 46-48.

3

Huub De Jonge: Madura Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi dan Islam

(Jakarta: PT Gramedia, 1989), 35.

(29)

20

Situbondo, Jember, Lumajang hingga Banyuwangi. Kondisi geografis tersebut juga memberi kontribusi dalam membentuk watak tegas dan keras masyarakat Madura.4

Dalam kehidupan masyarakat Madura, harga diri merupakan instrument penting. Mereka memiliki sebuah falsafah ‘ango’an pote tolang etembang pote matah, artinya lebih baik putih tulang dibandingkan putih mata. Orang Madura

tidak akan sanggup menanggung malu, maka juga tidak akan mempermalukan orang lain. Sifat seperti inilah yang pada akhirnya melahirkan tradisi carok di Madura.5

Madura memiliki varian budaya yang beragam, diantaranya yaitu, kerapan sapi, tradisi remo, sandur Madura, permukiman Madura (Tanean lanjheng), Takat Lajang, Petik Laut dan lain lain.6

1. Agama dan Kepercayaan

Mayoritas penduduk Madura beragama Islam. Menurut data dan statistik, pemeluk agama Islam kurang lebih mencapai 99%, sedangkan sisanya adalah pemeluk agama lain seperti Katolik, Protestan, Hindu dan Budha.7

Sebelum Islam masuk, masyarakat Madura menganut agama seperti para pembesar Majapahit yaitu agama Hindu-Siwa dan Budha. Fakta tersebut diperkuat dengan adanya Arca Siwa, Dhayani Budha, Ganesha dan Bhirawa serta corak arsitektur di makam raja, seperti di Makam Agung yang ditemukan

4

Muhtar Wahyudi dkk., MADURA: Masyarakat, Budaya, Media dan Politik (t.k.: Puskakom

Publik, 2015), 196.

5Samsul Ma‟arif,

The History of Madura (Yogyakarta: Araska, 2015), 46.

6

Ibid., 159.

7

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Geografi Dialek Bahasa Madura (Jakarta: Pusat

(30)

21

di Bangkalan. Pada abad 15, menjelang keruntuhan Majapahit sudah banyak masyarakat yang menganut Islam. Bahkan istri raja, para pangeran dan keturunannya ada yang sudah menjadi muslim. Sampai akhirnya berdiri kerajaan Demak, Pajang sampai Mataram dan sebagian besar rakyat dan para penguasa di Jawa dan Madura sudah beragama Islam.8

Proses islamisasi di Madura merupakan proyek dakwah yang menuai hasil luar biasa. Proyek dakwah ini sebenarnya adalah kelanjutan dari mega proyek islamisasi Nusantara yang sangat masif di antara abad 7 hingga abad 15 melalui tangan-tangan ikhlas para Wali Songo. Ada tiga jalur islamisasi Madura yang bisa di elaborasi. Pertama, Peran Para Pedagang Muslim, Kedua, Peran Para Wali, Buju‟ dan Kiai. Ketiga, Para Penguasa Kerajaan.9

Sebagaimana di Jawa, Islam masuk dan berkembang di Madura melalui transformasi kultural yang dilakukan oleh para penyebar Islam. Dengan demikian, Islam yang ada dan berkembang di Madura adalah Islam kultural yang berbasis pada tradisi masyarakat. Tradisi-tradisi lokal Madura yang sudah ada sejak zaman pra-Islam, dimodifikasi kemudian disisipi nilai dan spirit Islam agar menjadi budaya yang islami.10

Kelestarian tradisi-tradisi di Madura tersebut dikarenakan pola keberagamaan yang dianut oleh masyarakat Madura yaitu berasaskan tradisi yang dikembangkan oleh NU yang mempunyai slogan al-muh}a>fadzah ‘ala al

-qadi@m al-s{a>lih} wa al-akhdz bi al-jadi@d al-as}lah. Dengan demikian, Islam tetap

8

Ma‟arif, The History, 142.

9

Lebih lanjut baca Ibid.,143-146.

10Paisun, “Dinamika Islam Kultural (Studi atas Dialektika Islam dan Budaya Lokal Madura)”,

(31)

22

tidak menghilangkan akar ideologisnya, demikianpun dengan budaya lokal tidak lantas hilang dengan masuknya Islam di dalamnya.

Dari sisi kepercayaan, adat dan tradisi, orang Madura juga memiliki kesamaan dengan orang Jawa. Sebagaimana di Jawa, masyarakat Madura pada masa pra-sejarah juga menganut faham Animisme dan Dinamisme, yaitu paham keagamaan pada manusia primitif yang mempercayai adanya roh dan daya aktif pada setiap benda yang dipercaya memiliki kekuatan.11 Oleh karena itu, untuk menolak kejahatan yang dapat muncul dari roh-roh atau kekuatan ghaib serta untuk mendapatkan kebaikan darinya, maka masyarakat Madura sering mengadakan selametan. Hingga kini, masyarakat Madura adalah entitas masyarakat yang taat dan tetap mengamalkan nilai-nilai ajaran Islam serta menstuktur kebudayaan berbasis agama Islam Tradisonal.12

2. Kedudukan Buppa’ Babbu Guru Rato

Salah satu kekhasan dari budaya masyarakat Madura adalah ketaatan, ketundukan dan kepasrahan kepada empat figur utama, yaitu ayah, ibu, guru dan pemimpin pemerintahan (Buppa’ Babbu, Guru ban Rato).13 Keempat figur utama tersebut mencerminkan hierarki kepatuhan orang Madura dalam kehidupan sosial budaya dan religiusitas masyarakat Madura.

a) Kedudukan Orang Tua

Bagi orang Madura, posisi orang tua berada pada level hierarki pertama dan merupakan representasi dari institusi tertinggi di keluarga.

11

Mariauasai Dhavamony, Fenomenologi, Terj. A. Sudiarja dkk. (Yogyakarta; Kanisius, 1995), 66.

12

Wahyudi dkk., MADURA: Masyarakat, 197.

13

(32)

23

Hal tersebut merupakan suatu keniscayaan mengingat mereka adalah orang yang telah melahirkan dan merawat hingga dewasa serta mempunyai peran penting dalam lingkungan keluarga. Secara nasabiah, kepatuhan dan ketaatan kepada Ayah dan Ibu (Buppa ban Babbu’) sudah jelas, tegas, dan diakui keniscayaannya. Sebutan durhaka akan melekat jika tidak menghormati keduanya.

b) Kedudukan Guru (kiai)

Masyarakat Madura sangat respek terhadap kiai dan menjadikannya sebagai pemegang otoritas dalam kehidupan masyarakat. Peran kiai melampaui berbagai aspek kehidupan. Pengaruhnya melampaui institusi-institusi kepemimpinan lainnya. Dalam berbagai urusan umat, kiai menjadi tempat mengadu, seperti konsultan agama, keluarga, bercocok tanam, konflik sosial, karier, politik, dan problema kehidupan lainnya.14

Dalam berkehidupan lebih-lebih dalam persoalan keagamaan, cara hidup masyarakat Madura yang kerap menjadi sorotan adalah sikap taat kepada seorang kiai.15 Ketundukan masyarakat terhadap kiai seringkali melampaui batas kewajaran. Hal ini membuat masyarakat bukan hanya tidak berani melawan dan mengoreksi kiai, lebih dari itu tidak sedikit yang meyakini bahwa perkataan kiai adalah suatu kebenaran. Melawannya bisa kualat dan kemarahannya dipandang sebagai suatu hal yang sangat ditakuti masyarakat.

14

Ma‟arif, The history, 128.

15

(33)

24

Lebih dari itu, para pegawai pemerintahan (ponggaba) dan elite penguasa pun memerlukan legitimasi kiai. Untuk menjadi kepala desa, butuh restu kiai. Agar program pembangunan bisa sukses, pemerintah memerlukan legitimasi kiai. Ketiadaan “restu” dari kiai bisa berakibat

terhambatnya pelaksanaan pembangunan, seperti kasus Jembatan Suramadu dan Waduk Nipah di Kecamatan Banyuates.16

Besarnya pengaruh kiai dalam kehidupan masyarkat Madura dapat dilacak dari akar sejarahnya. Seperti halnya di Pulau Jawa, suksesnya Islamisasi di Madura tidak dapat dilepaskan dari peranan para kiai penyebar Islam pertama di Madura yang dipelopori oleh Wali Songo. Selanjutnya, pada saat Madura berusaha melepaskan diri dari penjajahan, para kiai berada di garda terdepan memimpin umat melawan ketidakadilan kaum kolonial.17

Peran kiai dalam konteks sosial masyarakat Madura juga tidak lepas dari peran pesantren. Jumlah pesantren di Madura sangat banyak dan tersebar di berbagai kabupaten. Bahkan, Kuntowijoyo menyebut Madura sebagai “pulau seribu pesantren”. Mayoritas masyarakat Madura memang

mengenyam pendidikan di Pesantren. Di Pesantren inilah, kiai berperan dalam membentuk sikap hidup dan orientasi sosial keagamaan dan kemasyarakatan para santri. Jadi merupakan sebuah kewajaran jika pengaruh kiai jauh lebih mengakar pada masyarakat.18

16

Ma‟arif, The History, 130.

17

Ibid.

18

(34)

25

Sejarah pendidikan di Madura jika dilihat dari sejarah masuknya Islam di pulau ini hampir sama dengan Jawa. Pendidikan agama di Madura mula-mula diawali dari langgar ke langgar kemudian berkembang menjadi Pesantren. Hal ini dapat dilihat dari model bangunan rumah di Madura yang selalu menempatkan bangunan langgar di sisi barat halaman rumahnya. Langgar ini menjadi tempat shalat, mengaji dan belajar agama. Sejak kecil anak-anak di Madura sudah dibiasakan untuk belajar mengaji dan ilmu agama pada kiai.19

Ada tiga elemen penting budaya santri yang melekat pada masyarakat Madura, yaitu Pesantren, mewakili elemen pendidikan Islam tradisional,20 Nahdlatul Ulama,21 mewakili organisasi Islam, dan kiai yang merepresentasikan tokoh Islam. Ketiga elemen tersebut berjalin-kelindan dan membentuk relasi yang kompleks antara Islam dan politik sebagaimana dipraktikkan dalam masyarakat Madura.22

Karakter pesantren, Nahdlatul Ulama, dan kiai menjadi dasar Islam-santri di Madura. Mereka masih tetap mempertahankan nilai-nilai sakral agama. Ini bisa dibuktikan dengan kuatnya pengaruh pesantren, Nahdlatul Ulama, dan kiai dalam urusan agama dan duniawi. Masyarakat

19

Wahyudi dkk., MADURA: Masyarakat, 46.

20

Aliran tradisionalis sering dikenal dengan kelompok yang tetap mempertahankan kehidupan bermadzhab, taqlid dan melaksanakan peringatan kematian (khaul), ziarah ke makam leluhur serta Para Wali, dan lain sebagainya. Lihat Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam; Pergumulan Kultur dan Struktur (Yogyakarta: LESFI, 2002), 161.

21

Nahdlatul Ulama merupakan jam’iyyah sekaligus gerakan diniyah islamiyah dan ijtima’iyah.

Sejak awal berdirinya telah menjadikan paham Ahlussunnah wal Jama‟ah sebagai basis teologi

dan menganut salah satu dari empat madzhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi„i dan Hambali sebagai

pegangan dalam fikih. Lihat Pengantar Ra‟is „Am PBNU KH. Sahal Mahfudh dalam Solusi Problematika Aktual Hukum Islam (Surabaya, Khalista, 2011), v.

22Ma‟arif

(35)

26

Madura meyakini bahwa syariat Islam sangat penting dan perlu diterapkan dalam keseluruhan aspek kehidupan mereka. Namun, seperti Islam di wilayah lain di Indonesia, Islam di Madura juga sangat dipengaruhi oleh tasawuf dan budaya lokal.23

Pengaruh tasawuf di Madura direpresentasikan dengan adanya tarekat yang tidak lain merupakan amalan dari tasawuf. Tarekat mempunyai peran yang sangat penting di dalam masyarakat Madura. Ada tiga tarekat yang masyhur di kalangan masyarakat Madura, yaitu tarekat Naqsyabandiyah, tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dan tarekat Tijaniyah.24

Selain tiga tarekat di atas, menurut Van Bruinissen terdapat tarekat lain yang berkembang di Madura, seperti tarekat Syattariyah dengan gagasan-gagasan mistisnya dan tarekat Sammaniyah dengan pertunjukan ratep dan sammannya.25

c) Kedudukan Rato

Rato dipahami masyarakat Madura dalam dimensi agama Islam

disebut ulil amri, yaitu pemimpin formal yang menjabat dalam suatu pemerintahan. Selain Buppa’ Babbu dan Guru, Rato juga merupakan figur yang harus dipatuhi karena Rato dianggap telah berjasa dalam mengatur ketertiban dan kehidupan publik melalui penyediaan kesempatan kerja, mengembangkan kesempatan bidang ekonomi, mengakomodasi kebebasan

23Yanwar Pribadi, ‚Religious Networks in Madura‛dalam al-Ja>mi‘ah, Vol. 51, No. 1, (2013), 1. 24

Bruinessen, Kitab Kuning, 305.

25

(36)

27

beribadah, memelihara suasana aman serta membangun kebersamaan atau keberdayaan secara partisipatif.

Pada hakikatnya orang Madura sangat patuh pada penguasa dan birokrasi. Orang Madura cenderung diam dan menerima apapun yang menjadi putusan dan kebijakan penguasa. Maka dalam konstelasi politik Madura sangat jarang dijumpai berbagai bentuk artikulasi, agregasi atau bahkan protes politik dari rakyat ke penguasa.26

Sekalipun berbagai kebijakan penguasa merugikan rakyat, kecenderungan orang Madura adalah diam dan menerima. Diam adalah bentuk lain sebuah komunikasi politik yang bisa bermakna apa saja. Ketakutan, ketidaktahuan, ketidakbisaan dan makna lainnya. Namun, diamnya orang Madura adalah makna lain dari kepatuhan. Kepatuhan kepada rato, penguasa dan birokrasi yang dalam titik tertentu akan bergeser menjadi ketidakmautahuan, keapatisan, apatisme komunikasi politik.27

Oleh karena itu, budaya politik28 di Madura dapat dikategorikan sebagai budaya politik parokial, yaitu budaya politik yang tingkat partisipasi politiknya sangat rendah. Dalam budaya politik parokial, perbedaan antara yang religius dan yang politis suit ditemukan.

26

Wahyudi dkk., MADURA: Masyarakat, 12.

27

Ibid.

28

(37)

28

Masyarakat tidak mampu mengorientasikan diri mereka pada sistem politik yang secara struktural terdiferensiasi. Orang-orang dengan tipe budaya politik seperti ini cenderung apatis terhadap sistem politik.29

Bagi masyarakat Madura peran rato tidak se-sentral peran kiai. Terdapat banyak alasan yang menyebabkan fakta tersebut terjadi. Secara historis, masyarakat Madura di era abad 19 dihadapkan pada situasi penindasan, penekanan, dan pemerasan.

Bahkan, menurut Berst Van Kompen yang merupakan seorang pejabat pemerintahan yang menjadi asisten Residen di Bangkalan (1847-1851) menjelaskan bahwa Pulau Madura memberi kesan tidak terurus dan kondisi keamanan sangat menyedihkan. Pengadilan tidak berfungsi dan banyak terjadi pembunuhan. Ironisnya, para pelaku pembunuhan hampir tidak pernah diadili secara hukum oleh pengadilan.

Akar permasalahan dari malapetaka di atas karena adanya pemerasaan rakyat oleh elite pemerintahan yang terus berlangsung di Madura. Keadaan demikian memaksa ribuan penduduk megungsi bahkan menyeberang ke Pulau Jawa. Fakta di atas mengindikasikan bahwa pemerintah saat itu (abad 19) tidak memperhatikan masyarakat Madura.30 Oleh karena itu, fenomena di atas merupakan sejarah sekaligus luka lama bagi masyarakat Madura yang menyebabkan peran rato dalam tatanan sosial masyarakat Madura tidak mempunyai peran se-sentral kiai.

29

Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi dan Partisipasi Politik Pasca-Orde

Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007) 4.

30

(38)

29

3. Stratifikasi Sosial dan Tingkatan Bahasa

Secara garis besar, stratifikasi atau pelapisan masyarakat sosial masyarakat Madura meliputi tiga lapis, yaitu oreng kene’ sebagai lapis terbawah, pongghaba sebagai lapis menengah dan priayi sebagai lapis paling atas. Namun, jika stratifikasi sosial dilihat dari segi agama, maka terdiri dari 4 tingkatan, yaitu kyae, bindara, santre dan banne santre.31

Stratifikasi sosial erat kaitannya dengan jenis-jenis tingkatan bahasa yang digunakan dalam masyarakat. Posisi sosial seseorang akan menentukan pilihan tingkatan bahasa yang digunakan.32

Penggunaan bahasa Madura berbeda tingkat sosialnya dalam masyarakat. Pemakaiannya dibedakan menjadi tiga tingkatan tutur (level of speech) yang dalam bahasa Madura dibagi menjadi tiga, yaitu:33

1. Bhasa enjaq iya, yaitu jenis tingkatan bahasa yang pada umumnya dipakai oleh sesama teman yang akrab dalam pergaulan sehari-hari dan orang-orang yang menempatkan diri pada status sosial tinggi terhadap terhadap orang-orang yang dianggap berstatus sosial rendah.

2. Bhasa enggi enten, yakni jenis tingkatan tuturan pada umumnya dipakai oleh teman sederajat dan orang yang berkedudukan tua terhadap orang yang dianggap muda.

3. Bhasa enggi bhunten, yakni jenis tingkatan tuturan yang pada umumnya dipakai oleh sesama teman yang berstatus tinggi atau berstatus priyai dan

31Ma’arif, The History, 44-45.

32Badan Pengembangan Kebudayaan Dan Pariwisata, Tata Krama Suku Bangsa Madura

(Yogyakarta: tp, 2002), 31.

(39)

30

seseorang bawahan atau mereka yang berstatus rendah terhadap orang yang berstatus tinggi.

Dalam interaksi sosial, masyrakat Madura memperhatikan dan menentukan tingkat bahasa yang akan digunakan sesuai dengan posisinya dalam stratifikasi. Hal demikian dikarenakan tingkatan bahasa tidak saja menunjuk pada perbedaan linguistik, tetapi mempunyai relasi yang sangat erat dengan status seseorang dalam stratifikasi atau hierarki sosial.

Kesalahan orang Madura dalam menerapkan bentuk tingkatan bahasa ketika berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari tidak saja merupakan kesalahan linguistik, tetapi juga berdampak kepada kesalahan sosial. Bahkan, secara kultural kesalahan tersebut, terutama penerapan mapas yang tidak proporsional sangat dikecam oleh orang Madura dan dinilai sebagai perilaku janggal (tidak mengerti sopan santun).34

B. Dialektika Teks dan Konteks

Dalam proses berpikir selalu berkaitan dengan bahasa. Perbedaan bahasa berimplikasi terhadap lahirnya perbedaan produk pemikiran.35 Bahasa merupakan media untuk mentransformasi dunia materi dan ide-ide abstrak menjadi simbol. Teks-teks bahasa pada dasarnya merupakan sarana untuk menggambarkan dan mengungkapkan realitas dengan cara tertentu. Fungsi komunikatifnya mengasumsikan adanya hubungan antara pembicara dengan sasaran bicara dan antara pengirim dan penerima. Jika fungsi informatif dan komunikatif bahasa

34Wiyata, Carok, 51.

35Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika (Jakarta:

(40)

31

tidak terlepas dari watak simbolnya, maka fungsi teks dalam kebudayaan sebagai risalah (pesan) bisa dikatakan tidak terpisahkan dari wilayah budaya dan

realitas.36

Dalam konsep hermenutika dikenal istilah lingkaran hermeneutika yang meliputi teks (text), pembaca (reader) dan pengarang (author).37 Ketiga komponen tersebut saling berkaitan. Hermeneutika,38 sebagai metode sebuah penafsiran tidak hanya memandang teks. Tetapi hal yang tidak bisa ditinggalkannya adalah juga berusaha menyelami kandungan makna literalnya. Lebih dari itu, ia berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horizon-horizon yang melingupi teks tersebut, baik horizon-horizon pengarang, pembaca dan horizon teks itu sendiri. Dengan memperhatikan ketiga horizon tersebut diharapkan upaya pemahaman atau penafsiran yang dilakukan akan menjadi kegiatan rekonstruksi dan reproduksi makna teks.

Dengan demikian, untuk memperoleh pemahaman yang tepat terhadap teks tidak boleh lepas dari konteks, karena pada dasarnya telah terjadi dialektika antara keduanya. 39

Bentuk konkrit terjadinya dialektika teks dan konteks sebagaimana yang dijelaskan di atas bisa dilihat dari dialektika teks al-Qur‟an dan konteks

36Nas}r H{a>mid Abu> Zayd

, Tekstualitas al-Qur’an, terj. Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LKiS, 2013), 20-21.

37

Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 29.

38

Hermeneutika dalam bahsa Inggris adalah hermeneutics berasal dari kata Yunani hermeneuine dan hermeneia yang masing-masing berarti menafsirkan dan penafsiran. Hermeneutika diartikan sebagai proses mengubah seseatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Lihat Mudjia Raharjo, Dasar-Dasar Hermeneutika antara Intensionalisme dan Gadamerian (Yogyakarta: al-Ruzz Media, 2008), 27-29.

39Dalam istilah ‘Ulum al-Qur’a>n dikenal dengan asba>b al-Nuzu>l, yaitu merupakan metode untuk

mengungkap hubungan teks dengan ruaang dan waktu. Lihat Ali Sadiqin, Antroplogi al-Qur’an:

(41)

32

masyarakat Arab. Secara empiris, al-Qur‟an diturunkan di tengah-tengah masyarakat yang memiliki kebudayaan yang mengakar. Hal itu menegaskan bahwa secara historis al-Qur‟an tidak turun dalam ruang hampa yang tanpa konteks. Sasaran al-Qur‟an tentunya tertuju kepada masyarakat Arab VII Masehi. Pemilihan Rasul sebagai penyampai pesan al-Qur‟an juga mengindikasikan adanya penggunaan pendekatan budaya. Selain itu, al-Qur‟an juga menggunakan budaya lokal sebagai media untuk mentransformasikan ajaran-Nya. Fakta tersebut bisa terlihat dari banyaknya adat istiadat Arab yang terekam dalam al-Qur‟an serta berdialektika dengan-Nya.

Secara umum, respon al-Qur‟an terhadap berbagai budaya yang berkembang dalam masyarakat Arab dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu,

tah}mi@l (adoptive-complement), tah}ri@m (destructive) dan taghyi@r

(adoptive-reconstructive).40

Dengan demikian, meminjam bahasa Abu Zayd tampak bahwa teks al-Qur‟an terbentuk atas realitas sosial budaya. Proses kemunculan dan interaksinya

dengan realitas budaya selama bertahun-tahun merupakan fase keterbentukan dan dilanjutkan dengan fase pembentukan dimana al-Qur‟an selanjutnya membentuk budaya baru sehingga dengan sendirinya al-Qur‟an juga menjadi produsen budaya.41

Islam yang merupakan representasi dari nilai-nilai al-Qur‟an memberikan kebebasan pada manusia untuk mencari sendiri berbagai hal yang dapat disebut dengan prinsip sekunder. Hal demikian dikarenakan Agama adalah sesuatu yang

40Ibid., 117.

41

(42)

33

berkembang sesuai dengan perkembangan pemeluknya. Sedangkan setiap pemeluk agama mempunyai tradisi budaya yang diwarisi dan dikembangkan juga dari generasi ke generasi. Dalam perkembangan itu terjadi interaksi antara keyakinan keagamaan dan ajaran-ajarannya yang sering dianggap suci dan kreativitas manusia serta budayanya yang dianggap profan.42

Sikap Islam terhadap budaya lokal yang ditemuinya dapat dipilah menjadi tiga, yaitu menerima dan mengembangkan budaya yang sesuai dengan prinsip Islam, menolak tradisi dan unsur-unsur budaya yang bertentangan dengan prisnsip Islam serta membiarkan saja.43

42

Salah satu contoh konkritnya ialah ketika tafsir al-Qur‟an yang merupakan hasil pemahaman Bakri Syahid sebagai mufasir terhadap al-Qur‟an berdialog dengan budaya Jawa. Pola yang dihasilkan yaitu adaptasi, integrasi dan negoisasi. Pola yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan

yang dipetakan Ali Sadiqin sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya. Lihat Imam Muhsin Tafsir

al-Qur’an dan Budaya Lokal (t.k.:Badan Litbang dan Diklat KEMENAG RI, 2010), 233-258.

43

Tipologi ini juga tidak jauh berbeda dengan pemetaaan Ali Sadiqin dan Imam Muhsin. Hal ini menegaskan bahwa teks apapaun tidak berangkat dari ruang hampa. Oleh karena itu, sebagai teks,

al-Qur‟an dan tafsir al-Qur‟an juga selalu berdialog dengan budaya yang ada. Bandingkan dengan

(43)

34

BAB III

MENGENAL MUDHAR TAMIM

DAN TAFSIR ALQUR’ANUL KARIM NURUL

HUDA

A. Biografi Mudhar Tamim

Mudhar Tamim memiliki nama lengkap R. Ach. Mudhar Tamim bin KHR. Moh Tamim. Ia lahir pada tanggal 7 November tahun 1916 di Desa Barurambat Kota, sebuah desa yang beralamatkan jl. Masegit (sebelah selatan Masjid Jami’ asy-Syuhada’), Kecamatan Pamekasan, Kabupaten Pamekasan.1

Mudhar Tamim terlahir dari keluarga bangsawan, pasangan KHR. Moh Tamim dengan R. Ayu Tayyibah. Mbah buyutnya, KHR Ismail adalah ketua penghulu dan salah satu pendiri NU di Pamekasan yang menikahi R. Ayu Rembang, puteri R. Demang Wironegoro.2

Saat usianya menginjak dewasa, Mudhar Tamim menikah dengan R. Ayu Hannah yang masih kerabat dekatnya sendiri (sepupu). Dari pernikahannya dengan R. Ayu Hannah, ia dikaruniai 9 orang anak, R. Moh. Fachrussalam, R. Ach Tsabit Azmi, R. Ayu Jannatul Firdaus, R. Ayu Agsutina Nikmatul Hurriyah, R. Ayu Maftuhatul Hidayah, R. Ayu Hudaifah, dan 4 anak lainnya meninggal dunia ketika masih belia.

Pada tahun 1969, atas permintaan R. Ayu Hannah, Mudhar Tamim menikah lagi dengan seorang wanita yang bernama Hasunah. R. Ayu Hannah yang sering sakit, meminta Mudhar Tamim menikah untuk kedua kalinya.

1

Hasunah, Wawancara, Pademawu, 22 November 2016.

2

(44)

35

Pemilihan Hasunah sebagai isteri kedua, tidak lain merupakan usaha dari R. Ayu Hannah sendiri. Dari beberapa calon yang sudah dipilih oleh R. Ayu Hannah, Hasunah terseleksi sebagai kandidat tunggal yang terpilih sebagai isteri kedua Mudhar Tamim. Pasangan ini dianugerahi 6 putera, R. Miftahus Sudri Tamim, R. Ayu Syarifah Syarqiyah, R. Fathiyyatul Fadilah, R. Luluatun Nufus, R. Muhammad Khairul Fatih dan R. Misbahul Ulum.3

Mudhar Tamim dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang kental akan nila-nilai keagamaan. Sejak kecil, prinsip-prinsip religiusitas sudah tertanam pada dirinya. Ayahnya, KHR. Moh Tamim tergolong pemuka agama yang aktif dalam kegiatan NU. KHR. Moh Tamim juga pernah menjabat sebagai Dewan Pembina

Masjid Jami’ asy-Syuhada’ Pamekasan.4 Sebagai sosok ayah, KHR. Moh Tamim

sangat memperhatikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Pribadinya yang tekun dan penuh kesabaran dalam mendidik menjadikan putera-puteranya tumbuh dengan dasar keislaman yang kokoh dan memiliki perhatian terhadap keadaan masyarakat.

Pola asuh yang diterapkan KHR. Moh. Tamim membuahkan hasil. Mudhar Tamim tumbuh menjadi insan yang cerdas dan mahir dalam berbagai keilmuan agama, seperti ilmu fikih, ilmu kalam, tafsir, ilmu falak dan sebagainya. Ia juga terampil dalam berbahasa Arab dan Inggris. Selain dikenal sebagai golongan elit bangsawan, Mudhar Tamim juga dikenal sebagai tokoh yang aktif

3

Ayu Syarifah Syarqiyah, Wawancara, 24 November 2016.

4

Menurut keterangan Drs. H. Abd. Mukti yang merupakan sepupu dari Mudhar Tamim sekaligus ketua Ta’mir Masjid Jami’ asy-Suhada’ Pamekasan 2016, pembina pertama dari Masjid Jami’

asy-Syhada’ Pamekasan adalah KHR. Isma’il (kakek dari KH. Moh. Tamim). Setelah itu dilanjutkan

oleh keturunannya. Abd. Mukti, Wawancara, Kantor Ta’mir Masjid Jami’ asy-Syuhada’

(45)

36

dalam kegiaatan keagamaan dan kancah perpolitikan. Bahkan, sejarah merekamnya sebagai pahlawan yang ikut andil dalam pengusiran kolonial Belanda di Madura.

Keberhasilan yang dicapai Mudhar Tamim dalam berkarir lantas tidak membuatnya lupa diri dan sombong. Hiruk pikuk aktifitasnya dalam mengabdi dan kegigihannya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat justru membuatnya dikenal sebagai figur yang memiliki citra diri, santun, arif dan bijaksana.5

Track record intelektual Mudhar Tamim dimulai semenjak mengenyam pendidikan dasar di al-Irsyad (sekolah dasar dibawah naungan Muhammadiyah). Setelah tidak berhasil menuntaskan pendidikannya di bangku sekolah dasar, ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Cendana.6 Mudhar Tamim menghabiskan masa-masa pendidikannya di pesantren Cendana kurang lebih selama 12 tahun. Di pesantren ini, ia belajar dan mendalami ilmu alat, tafsir dan ilmu-ilmu yang lain.

Setelah dari Pesantren Cendana, Mudhar Tamim hijrah ke Yordania untuk melanjutkan studinya. Dalam kurun waktu selama 6 bulan, ia berhasil menghafal al-Qur’an lengkap 30 juz. Sepulang dari Yordania, ia di utus oleh ayahnya untuk menjadi santri KH. Hasyim Asy’ari di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Ia menjadi santri di pesantren asuhan KH. Hasyim Asy’ari selama 6 tahun. Di samping itu, Mudhar Tamim juga pernah belajar di sekolah

5

Luluatun Nufus, Wawancara,Pademawu, 4 November 2016.

6

(46)

37

militer Chudanco yang terletak di Bogor. Di sana, ia bertemu dengan beberapa tokoh Nasional, seperti Soekarno, Nasution dan M. Nasir.7

Mudhar Tamim berprofesi sebagai penghulu dan pernah menjadi pegawai negeri sipil di Departeman Agama Pamekasan.8 Dalam kesehariannya, ia aktif dalam berdakwah, mengisi kajian, khutbah dan kegiatan keagamaan yang lain. Mudhar Tamim juga cukup produktif menuangkan ide-idenya ke dalam tulisan. Ia biasanya menghabiskan waktu menulisnya di sebuah tempat yang di kenal dengan istilah depa.9

Banyak tokoh-tokoh agama terkemuka di Pamekasan pernah berguru kepadanya, di antaranya adalah KH. Moh. Lutfi Thaha (Pengasuh Pondok Pesantren al-Falah Sumber Gayam, kadur), KH. Mahfudz (PP. Mambaul Ulum Bata-Bata), KH. Abd. Hamid Baqir (Pengasuh PP. Banyuanyar), KH. Moh. Tamim Bengkes, KH. Syarqawi (mertua KH. Khalilurrahman mantan Bupati Pamekasan), KH. Hefni Siraj (Pengasuh PP. Miftahul Ulum Bettet), KHR. Isma’il Madani (Pengasuh PP. Salafiyah Sumur Putih Pamekasan), KH. Abdul Hamid Mannan (Pengasuh PP. Nasyrul Ulum Pamekasan) dan masih banyak yang lainnya. Ia juga pernah terlibat dalam perdebatan dengan pastor-pastor dan

7

Hasunah, Wawancara, Pademawu, 4 November 2016.

8

Dalam surat keputusan yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam tertanggal 16 juni 1972 disebutkan bahwa Mudhar Tamim pada awalnya menjabat sebagai Pengatur Muda Tk.1. golongan II/B pada Dinas Penerangan Agama Kabupaten Pamekasan, sebelum akhirnya naik pangkat ke golongan II/C sebagai Pengatur pada Dinas Penerangan Agama Kabupaten Pamekasan.

9

Depa merupakan sejenis mushalla berkaki, di bangun dari kayu. Depa tempat Mudhar Tamim menuliskan ide-idenya terletak di sebelah selatan Masjid Jami’ Asy-Syuhada’. Di tempat ini, Mudhar Tamim juga sering mengadakan pengajian dan perkumpulan para ulama se Madura.

(47)

38

pendeta, baik dalam maupun luar Negeri. Hasil perdebatan tersebut dibukukan dan menjadi sebuah karya yang kemudian diberi nama Santapan Rohani.10

Dalam catatan sejarah kemerdekaan Indonesia, disebutkan bahwa pada tahun 1945-1950 Mudhar Tamim pernah menjabat sebagai pemimpin/komandan Laskar Hisbullah tingkat Keresidenan11 saat terjadi perang kemerdekaan di Madura.12 Sebagai pahlawan dan pejuang yang gigih dalam meraih kemerdekaan membuatnya mendapatkan piagam penghargaan sebagai Pembela Tanah Air (PETA).13

Selain aktif dalam kegiatan keagamaan, Mudhar Tamim juga aktif dalam kancah perpolitikan. Keterlibatannya dalam dunia politik tidak lain dikarenakan sebuah keinginannya untuk mengekspresikan kekecewaan dan kegelisahannya terhadap sistem pemerintahan yang sedang terjadi. Sedikit gambaran dari kekecewaan Mudhar Tamim terhadap sistem pemerintahan dapat dilihat melalui slogannya yang mengibaratkan pemerintahan sebagai ikan besar yang selalu memakan ikan-ikan kecil.14

Di antara beberapa rekam jejak Mudhar Tamim dalam panggung politik adalah menjabat sebagai anggota partai politik Parmusi (Partai Muslimin Indonesia). Ia juga pernah menjadi delegasi dari partai PPP sebagai anggota

10

Ibid.

11

Keresidenan adalah sebuah pembagian administratif dalam propinsi di Hindia Belanda (Indonesia) hingga tahun 1950-an. Sebuah Keresidenan (regentschappen) terdiri atas beberapa afdeeling (kabupaten). https://id.m.wikipedia.org

12

Mohammad Moestadji, Didik Hadijah Hasan, dan Mohammad Rosyad, Peranan Resimen

Djokotole Beserta Laskar Sabilillah, Hisbullah, B.P.R.T. dan Pesindo dalam Perang Kemerdekaan ke-1 di Madura (t.k.: t.p., 2005), 38.

13

Mudhar Tamim mendapat piagam bekas pasukan pembela tanah air (PETA) Jawa Timur tertanggal 15 Februari 1986. Dalam piagam tersebut pangkat/kedudukan terakhir Mudhar Tamim yaitu Dai IV Daidan, Madura Shu.

14

Referensi

Dokumen terkait