BAURAN PEMASARAN SOSIAL LEMBAGA PENGAJIAN
AL-IKHLAS PADA KAUM WARIA MUSLIM SURABAYA
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar
Magister dalam Program Studi Dirasah Islamiyah
Oleh
Hendra Arohman
NIM. F1.2.9.15.292
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
ABSTRAK
Waria merupakan kelompok masyarakat yang membutuhkan pembinaan dakwah secara khusus. Salah satu peran lembaga dakwah adalah hadir memberikan perhatian dakwah kepada waria yang menginginkan perbaikan diri. Fenomena adanya lembaga dakwah pengajian waria al-Ikhlas menunjukkan perhatian untuk berdakwah kepada masyarakat waria. Dakwah dalam kajian pemasaran, merupakan salah satu sistem pemasaran sosial. Maka penelitian fenomena pemasaran sosial dalam lembaga dakwah pengajian waria al-Ikhlas perlu dilakukan. Penelitian ini mengambil lembaga pengajian al-Ikhlas sebagai objek penelitian. Tujuan penelitian
ini adalah mengetahui penetapan bauran pemasaran sosial yang meliputi product,
price, place dan promotion lembaga pengajian waria al-Ikhlas. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus eksplanatoris dengan metode pengumpulan data wawancara dan dokumentasi. Hasilnya, penelitian ini menemukan empat hal. Pertama, pengurus pengajian menetapkan produk sosial berupa keyakinan pada agama dan kampanye untuk kembali kepada kodrat lelaki. Kedua, perumusan ide harga untuk produk sosialnya, menekankan pada harga yang
terjangkau agar dapat diakses oleh target adopter. Ketiga, penetapan place
menggunakan zero level channel berupa komunikasi langsung kepada target
adopter, serta menerapkan konsep two step flow model berupa merekrut para leader
kelompok waria tertentu. Keempat, strategi promotion menggunakan tiga pola,
yakni menggunakan media massa untuk publikasi luas, menggunakan ikatan kelompok para waria dan terakhir dengan menggunakan ajakan personal secara langsung. Hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi masukan dan inspirasi bagi pengembangan konsep pemasaran sosial pada organisasi nonprofit.
DAFTAR ISI
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN ... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv
PEDOMAN TRANLITERASI ... v
MOTTO ... vii
ABSTRAK ... viii
UCAPAN TERIMA KASIH ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 8
C. Rumusan Masalah ... 9
D. Tujuan Penelitian ... 10
E. Manfaat Penelitian ... 11
F. Penelitian Terdahulu ... 11
G. Metode Penelitian ... 14
H. Sistematika Pembahasan ... 25
BAB II BAURAN PEMASARAN SOSIAL PADA WARIA ... 27
A. Konsep Pemasaran Sosial dan Waria ... 29
C. Teori Bauran Pemasaran Sosial ... 37
BAB III PROFIL LEMBAGA PENGAJIAN AL-IKHLAS SURABAYA 57 A. Sejarah Pendirian Lembaga Pengajian ... 57
B. Visi, Misi dan Struktur Lembaga Pengajian al-Ikhlas Surabaya ... 60
C. Anggota Lembaga Pengajian al-Ikhlas ... 62
D. Program Dakwah Lembaga Pengajian ... 67
BAB IV ANALISIS DATA STRATEGI BAURAN PEMASARAN LEMBAGA PENGAJIAN WARIA AL-IKHLAS ... 92
A. Pemasaran Sosial oleh Lembaga Pengajian al-Ikhlas ... 92
B. Strategi Produk Sosial Lembaga Pengajian al-Ikhlas ... 96
C. Strategi Harga Lembaga Pengajian al-Ikhlas ... 117
D. Strategi Saluran Distribusi yang Ditetapkan Lembaga Pengajian al-Ikhlas ... 122
E. Strategi Promosi yang Ditetapkan Lembaga Pengajian al-Ikhlas .. 127
BAB V PENUTUP ... 135
A. Kesimpulan ... 135
B. Keterbatasan Penelitian ... 137
C. Saran ... 137
Daftar Pustaka ... 139
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Tipe Produk, Kebutuhan dan Tugas Pemasaran ... 41
Tabel 2.2 Tipe Strategi Komunikasi Personal ... 54
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Model Analisis Data Interaktif ... 24
Gambar 2.1 Social Marketing Product ... 39
Gambar 2.2 Variasi Level dalam Saluran Distribusi ... 46
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Manajemen lembaga dakwah memiliki posisi penting di dalam pengaruhnya
terhadap perubahan perilaku masyarakat. Sebagaimana diskursus ilmu dakwah
dalam Islam, bahwa kegiatan dakwah merupakan kegiatan yang wajib dilakukan
tidak hanya setiap umat muslim, melainkan juga seharusnya terdapat segolongan
umat yang berorganisasi untuk menyelenggarakan program-program dakwah
secara professional. Telah tercantum dalam al Qur’an Surat ali Imran ayat 104:
ُكَ تَۡو
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma´ruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung”
Lembaga dakwah tersebut diharapkan dapat mengumpulkan orang-orang
yang memiliki konsentrasi untuk kegiatan dakwah Islamiyah dan mampu secara
terus menerus menyerukan amar ma’ruf nahi munkar kepada umat Islam agar
terdapat perubahan perilaku menuju kebaikan. Dapat disimpulkan bahwa lembaga
dakwah senantiasa berorientasi untuk merubah perilaku masyarakat dengan
berbagai programnya. Pada situasi seperti ini, paradigma kerja lembaga dakwah
sejalan dengan konsep pemasaran sosial. Pemasaran sosial adalah pemasaran yang
dilakukan dengan menjual ide atau gagasan agar pasar sasaran memiliki perubahan
2
perilaku pasar dengan berbagai macam langkah-langkah sesuai dengan konsep
pemasaran selama ini. Salah satu strategi pemasaran yang dikembangkan adalah
strategi bauran pemasaran bagi lembaga nonprofit yang mencakup penentuan
produk, penetapan harga, penentuan saluran distribusi pemasaran dan strategi
promosi produk. Untuk mencapai tujuan perubahan perilaku masyarakat, lembaga
dakwah perlu untuk menerapkan strategi bauran pemasaran mengingat adanya
serangan kerusakan moral masyarakat yang masih gencar sampai saat ini.
Pada masyarakat perkotaan terdapat salah satu lapisan masyarakat yang
membutuhkan pembinaan moral agama, yakni kaum waria. Di kota Surabaya
terdapat cukup banyak kaum waria yang menetap dan mencari penghidupan dan di
dalam diri mereka telah terstigma di mata masyarakat umum bahwa mereka adalah
golongan yang dekat dengan dunia kemaksiatan. Namun mengacu dari penelitian
yang dilakukan oleh Lastiko Endi Rahmantyo, pada waria yang memiliki keyakinan
agama, termasuk yang memeluk Islam, mereka ingin menunjukkan eksistensi diri
mereka dikalangan umum dengan tetap menjalankan syariat-syariat agama1. Pada
kaum waria yang ingin terbebas dari dunia kegelapan, perlu menemukan tempat
yang mampu menerima mereka. Selama ini mereka masih belum banyak diterima
ketika masuk di lingkungan umum, seperti halnya ketika mereka mencoba untuk
sholat jumat di masjid dekat rumahnya umumnya mereka mendapat sorotan dan
akhirnya mereka malu. Kejadian negatif lainnya yang menimpa nasib kaum waria
adalah adanya pengalaman bahwa salah satu dari teman waria di Surabaya yang
1 Lastiko Endi Rahmantyo, Waria dan Upayanya dalam meraih kapital simbolik: study kasus
3
meninggal, prosesi pemakamannya seperti tidak dihargai oleh masyarakat, asal
dikubur saja2.
Keberadaan lembaga dakwah yang ada di Surabaya seringkali menampilkan
produk pemikirannya yang menyudutkan kaum waria. Materi ceramah yang
didengungkan sejauh ini bermuatan keras untuk menyalahkan kaum waria.
Materi-materi tersebut seputar tentang haram dan masuk neraka bagi waria serta cenderung
tegas untuk mengarahkan waria agar kembali kepada jati diri laki-laki. Produk
kajian keagamaan seperti ini membuat kaum waria muslim tidak nyaman dan
cenderung tidak tertarik pada tawaran-tawaran nilai pengajian. Sikap yang mereka
tunjukkan adalah dengan tidak menghiraukan atau bahkan memilih untuk tidak
mengikuti lagi kegiatan pengajian tersebut. Perilaku keagamaan para waria muslim
memiliki hambatan untuk teraktualisasikan karena mereka tidak merasa nyaman.
Akses para waria muslim untuk mengikuti pengajian menjadi terbatas.
Secara psikologis, mereka menjadi merasa jauh untuk mendapatkan nilai-nilai
Islam yang menerima kehadiran mereka. Berdasarkan sudut pandang ilmu
pemasaran, saluran pemasaran dakwah kepada para waria muslim menurut peneliti
tidak banyak dikembangkan, karena lembaga dakwah Islam nampaknya masih
fokus kepada pengembangan dakwah untuk masyarakat umum. Pasar dakwah pada
segmen waria ini merupakan fakta sosial yang memang ada di kota Surabaya. Dan
melihat keberadaan pasar dakwah seperti ini mendorong lembaga dakwah untuk
mampu menjangkau mereka dengan cara-cara yang marketable. Pengembangan
2RM Danardono Hadinoto, “Kelompok Pengajian Jumat Manis yang Anggotanya Para Waria
Surabaya”, dalam
4
dakwah pada ceruk pasar masyarakat waria muslim ini nampaknya akan sulit
apabila tidak menjalankan fungsi-fungsi strategi bauran pemasaran yang tepat.
Mereka menjadi tidak tertarik pada nilai-nilai Islam dan bahkan memungkinkan
untuk mereka tetap melakukan perilaku-perilaku buruk sebagai waria.
Terdapat dalam jatidirinya, para waria muslim ini mengakui bahwa mereka
memanglah terlahir sebagai fisik laki-laki, tapi mereka mendapati jiwanya seperti
perempuan. Sehingga mereka pun tetap menjalankan syariat Islam sebagaimana
halnya syariat laki-laki. Namun mereka perlu menemukan tempat untuk mereka
belajar tentang Islam yang nyaman. Dari sudut pandang ini, strategi bauran
pemasaran sosial tidak hanya perlu untuk pasar sasaran masyarakat umum,
melainkan juga perlu untuk ceruk pasar dakwah seperti waria muslim, agar mereka
tetap pada jalur kebaikan Islam dan memiliki perubahan perilaku sesuai dengan
syariat Islam.
Di Surabaya terdapat fakta sosial berupa organisasi atau komunitas waria
yang didalamnya terdapat kecenderungan untuk tetap memiliki aqidah Islam dan
menjalankan nilai-nilai Islam dalam kehidupan mereka. Yakni organisasi pengajian
jumat manis al-Ikhlas Surabaya, dimana mereka bersosialisasi dan berkumpul
bersama sesama waria muslim untuk menunjukkan eksistensi dan karya mereka di
hadapan masyarakat Surabaya. Pengajian al-Ikhlas ini sudah berdiri sejak tahun
2003, yang didirikan oleh salah seorang waria bernama Marini, atau nama prianya
adalah Tamim. Ketua pengajian saat ini, Rudi, menjelaskan bahwa pengajian ini
berdiri juga karena menilai masyarakat pada umumnya menganggap waria sebagai
5
hambaNya, karena itu waria membutuhkan pencerahan karena mereka benar-benar
nol tentang agama. Mereka menilai bahwa waria juga manusia yang butuh
melaksanakan ibadah terhadap Allah SWT. Produk sosial yang dibawa oleh
pengajian al-Ikhlas adalah nilai-nilai tentang ajakan untuk menemukan jatidiri
laki-laki bagi para waria dan ajakan untuk taat beribadah kepada Allah SWT.
Pada awalnya jumlah jamaah pengajian ini hanya berjumlah 18 orang waria,
namun hingga saat ini tercatat mencapai 80 orang. Bahkan saat melakukan halal
bihalal pada saat idul fitri tahun 2006 pernah mencapai 300 orang mengikuti
kegiatan jama’ah al-Ikhlas. Pengajian ini rutin diadakan setiap malam jum’at legi
sebulan sekali karena itu pengajian ini dikenal juga dengan pengajian Jum’at Manis.
Ketua pengajian al-Ikhlas menjelaskan bahwa saat ini pengadaan pengajiannya
berganti pada setiap malam jum’at wage, dikarenakan apabila malam jum’at legi,
banyak jama’ah yang tidak bisa hadir3. Struktur organisasi yang dibentuk dalam
organisasi pengajian al-Ikhlas ini meliputi, Ketua : Kurnia, Wakil : Bella,
Bendahara : Tika, Sekretaris : Siska, Moderator : Yuli, Angle, H. Khamim, Seksi
wilayah Sidoarjo : Kristin, Seksi wilayah Surabaya Barat : H. Ira, Seksi wilayah
Kota : Dian. Seksi wilayah Madura dan Surabaya Utara : H.Sofa.
Pengajian dilaksanakan secara bergilir di rumah anggota yang tersebar di
wilayah Surabaya dan sekitarnya. Pengurus organisasi menghubungi para
penceramahan, dan ceramah ustadz-ustadz sebelumnya seringkali dakwah langsung
menyerukan halal, haram, dosa bagi waria, hal itu kemudian menyebabkan banyak
jama’ah pengajian yang keluar. Namun KH. Ali Rochmat yang saat ini mengasuh
6
pengajian ini, dengan sabar membimbing para waria ini dengan cara-cara yang
bertahap hingga pengajian bertahan sampai 8 tahun sejak dibimbing oleh KH. Ali
Rochmat. Pola pembimbingan KH. Ali Rochmat seperti itu melalui kesepakatan
dengan pengurus pengajian, yang memberikan permintaan untuk memahami kaum
waria. Selain pengajian, ada banyak kegiatan yang dilaksanakan komunitas ini,
yaitu: santunan kepada yatim piatu dan pembentukan grup sholawat Banjari. Grup
banjari yang semuanya waria pernah meraih juara II pada tahun 2009 lomba hadrah
banjari untuk dewasa tingkat JATIM di masjid al-Akbar Surabaya. Selain itu,
komunitas ini meraih juara II di Tambak Beras Jombang lomba hadrah banjari
se-JATIM pada tahun 2010. Materi pengajian yang diberikan sesuai dengan moment
dan kejadian pada saat itu. Dan selama sepuluh tahun pengajian waria dilaksanakan,
ada perubahan perilaku keagamaan para waria untuk lebih dekat dengan Allah dan
rajin beribadah.
Jama’ah pengajian al-Ikhlas terdapat komitmen untuk beridentitas laki-laki
pada urusan Hablun Minaallah dan dalam urusan duniawi, mereka boleh terlihat
seperti beridentitas perempuan. Komunitas pengajian ini menerapkan identitas
ganda dalam urusan dunia dan akhirat. Hal itu terlihat dari adanya kontrak mutlak
bagi peserta pengajian waria untuk berbusana gamis laki-laki dan berkopyah putih
saat pengajian. Demikian pula, pada saat melaksanakan sholat, mereka
menisbahkan dirinya sebagai laki-laki. Dua kepribadian ini terlihat jelas, pada saat
menuju ke tempat pengajian, sebagian mereka awalnya memakai kostum dan
dandanan seperti perempuan, kemudian berganti kostum berupa gamis dan kopyah
7
mereka berganti kostum kembali dan berdandan seperti perempuan. Dalam upaya
membentuk perubahan perilaku mereka, bahkan ada tiga waria yang akhirnya
kembali ke jatidiri sebagai lelaki dan memutuskan untuk hidup berkeluarga secara
normal dengan wanita.4 Dan perkembangan terbaru saat ini, sudah ada dua orang
anggota pengajian yang telah selesai menunaikan ibadah haji di tanah suci, yakni
H. Ira, H. Karsono, H. Chamim dan H. Sofa. Mereka menunaikan ibadah haji
dengan status laki-laki, dan saat ini menginspirasi bagi anggota pengajian yang
selainnya untuk menyusul menunaikan ibadah tersebut5.
Peneliti melihat dalam fakta-fakta diatas, terdapat fenomena menarik terkait
dengan pemasaran sosial lembaga dakwah. Yakni adanya fenomena keberhasilan
lembaga dakwah Islam kepada ceruk pasar kaum waria muslim Surabaya yang
dilakukan oleh organisasi pengajian al-Ikhlas untuk mengkampanyekan perubahan
perilaku waria. Berdasarkan sudut pandang pemasaran sosial, perubahan perilaku
kaum waria tersebut ke arah jatidiri mereka sebagai laki-laki merupakan indikator
keberhasilan. Berbagai program dalam organisasi pengajian al-Ikhlas tersebut
menarik untuk diteliti dari sudut pandang strategi bauran pemasaran sosial.
Perjalanan program dakwah pengajian al-Ikhlas merupakan kajian yang menarik
dalam rangka mengarahkan perilaku menyimpang sekelompok pasar dakwah yang
tidak banyak dijangkau oleh lembaga dakwah yang lain.
4Mutimmatul Faidah, Husni Abdullah, “Religiusitas dan Konsep diri Kaum Waria”, JSGI, Vol.
04, No. 01, (Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2013), 2.
8
A. Identifikasi dan Batasan Masalah
Berdasarkan deskripsi latar belakang diatas, dapat diinventarisir berbagai
identifikasi masalah dalam penelitian ini, yakni:
1. Terdapat lembaga pengajian yang khusus untuk kaum waria muslim di
Surabaya, selama 13 tahun hingga saat ini bertahan membina kaum
waria agar memiliki kesadaran untuk kembali kepada kodrat gendernya.
2. Dalam kepengurusan lembaga, mereka membentuk struktur pengurus
dan berbagai program dan acara rutin maupun tidak rutin untuk
memberikan aktualisasi keagamaan bagi kaum waria. Hal ini
menunjukkan indikasi berjalannya manajemen di dalam kegiatan
pengajian al-Ikhlas.
3. Metode pembinaan nilai-nilai Islam kepada waria muslim Surabaya
bersifat kesadaran, dengan terus secara berkala mengajak mereka untuk
melaksanakan nilai-nilai Islam dalam kehidupan. Pola pembinaan
seperti ini mengindikasikan berjalannya metode-metode pemasaran
sosial dalam dakwah.
4. Perkembangan jumlah anggota pengajian cukup besar yakni dari
berjumlah 18 orang meningkat menjadi 80 orang waria muslim. Dan
sampai saat ini yang telah mengalami perubahan dengan kembali hidup
normal sebagai laki-laki mencapai 3 orang. Jumlah ini bisa dikatakan
besar mengingat anggota pengajian al-Ikhlas merupakan kaum
9
masyarakat waria pada umumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa
proses pemasaran kegiatan pengajian al-Ikhlas cukup sukses.
Fenomena yang hendak diangkat dalam penelitian ini adalah pada
kesuksesan perjalanan dakwah lembaga pengajian waria muslim al-Ikhlas yang
mampu menarik pasar waria muslim dan mengubah perilaku sebagian besar waria
ke arah jati diri laki-laki mereka. Dinamika program dakwah yang diselenggarakan
oleh pengurus pengajian al-Ikhlas akan dapat dijelaskan dalam perspektif strategi
bauran pemasaran dalam konsep pemasaran sosial. Konsep bauran pemasaran yang
hendak diterapkan adalah mencakup strategi product, strategi price, strategi place
dan strategi promotion dalam merubah perilaku pasar waria muslim Surabaya.
Penelitian ini akan spesifik menganalisis perkembangan lembaga pengajian
al-Ikhlas dalam kacamata empat strateri bauran pemasaran tersebut. Dengan begitu,
akan mampu tergambarkan dengan jelas strategi pemasaran sosial yang dilakukan
oleh lembaga pengajian al-Ikhlas Surabaya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada penjabaran pembatasan masalah penelitian diatas,
peneliti menetukan rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
“Bagaimana strategi bauran pemasaran sosial yang diterapkan oleh Organisasi
Pengajian Al-Ikhlas Surabaya dalam menangani kaum waria?”. Apabila lebih
dirinci kembali, maka rumusan masalah diatas meliputi:
1. Bagaimana perumusan strategi produk pemasaran sosial yang dilakukan
10
2. Bagaimana perumusan strategi harga (price) produk pemasaran sosial yang
dilakukan oleh pengurus organisasi pengajian al-Ikhlas Surabaya?
3. Bagaimana perumusan strategi distribusi (place) pemasaran sosial yang
dilakukan oleh pengurus organisasi pengajian al-Ikhlas Surabaya?
4. Bagaimana perumusan strategi promosi (promotion) pemasaran sosial yang
dilakukan oleh pengurus organisasi pengajian al-Ikhlas Surabaya?
C. Tujuan Penelitian
Dengan berdasarkan rumusan masalah seperti diatas, maka penelitian ini
memiliki tujuan mengetahui deskripsi strategi bauran pemasaran sosial yang
dilakukan oleh pengurus organisasi pengajian al-Ikhlas Surabaya kepada target
adopter dakwahnya. Tujuan penelitian diatas perlu dijabarkan berdasarkan tiap sub
rumusan masalah yang terkandung didalamnya. Apabila dirincikan, maka tujuan
penelitian ini meliputi:
1. Mengetahui proses perumusan strategi produk, dalam upaya pemasaran
sosial yang dilakukan oleh organisasi pengajian al-Ikhlas Surabaya
2. Mengetahui proses perumusan strategi harga, dalam upaya pemasaran
sosial yang dilakukan oleh organisasi pengajian al-Ikhlas Surabaya
3. Mengetahui proses perumusan strategi distribusi, dalam upaya
pemasaran sosial yang dilakukan oleh organisasi pengajian al-Ikhlas
Surabaya
4. Mengetahui proses perumusan strategi promosi, dalam upaya
pemasaran sosial yang dilakukan oleh organisasi pengajian al-Ikhlas
11
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini akan memperkaya kajian ilmu
pemasaran khususnya dalam bidang pemasaran sosial. Secara bersamaan,
karena terkait dengan strategi lembaga dakwah, maka hasil penelitian ini
akan menambah khasanah baru dalam dunia dakwah bahwa kegiatan
dakwah mampu terjelaskan dengan tindakan maupun strategi pemasaran,
sebagaimana kesamaannya dengan paradigma pemasaran sosial.
2. Manfaat Praksis
Secara praksis, hasil penelitian ini nantinya dapat dijadikan rujukan
bagi lembaga dakwah yang lain, atau lebih khusus lagi pada lembaga
dakwah yang membina pasar dakwah waria muslim. Dalam sudut pandang
general, hasil penelitian ini juga mampu menjadi alternative referensi bagi
organisasi-organisasi nirlaba dalam memasarkan produk sosialnya.
Sehingga strategi pemasaran tidak hanya berhenti pada sisi organisasi
dakwah, melainkan seluruh organisasi nirlaba.
E. Penelitian Terdahulu
Peneliti memerlukan acuan dasar dalam melakukan penelitian strategi
bauran pemasaran organisasi pengajian al-Ikhlas ini. Acuan tersebut diambil dari
penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh berbagai pihak.
Penelitian-penelitian terdahulu ini akan dipilih yang berkaitan dengan judul Penelitian-penelitian bauran
12
yang mengangkat tema mengenai bauran pemasaran sosial dan juga mengenai
pengajian al-Ikhlas.
Pertama, penelitian yang berjudul “waria dan upayanya dalam meraih
kapital simbolik: Studi Kasus pengajian al-Ikhlas dan persekutuan doa hati damai
dan kudus”, ditulis oleh Lastiko Endi Rahmayanto dalam Jurnal Kajian Sastra dan
budaya vol. 1 no. 2, Universitas Airlangga, Juli 20136. Penelitian ini bertujuan
untuk mengungkap upaya para waria di Surabaya khususnya yang beragama Islam
dan nasrani dalam meraih eksistensi di dalam masyarakat umum. Pendekatan
penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan teknik pengumpulan data
observasi pastisipan. Teori yang dipilih adalah trio teori yang dikemukakan oleh
Pierre Bourdieau yaitu teori habitus, arena dan kapital. Hasil penelitian ini adalah
para waria memilih untuk bergabung dan membentuk organisasi keagamaan untuk
mengurangi diskriminasi dan stigma masyarakat terhadap mereka. Selama ini
mereka mendapatkan kesulitan untuk mencari tempat beribadah yang nyaman,
sehingga untuk meraih eksistensi diri mereka, maka aktif pada organisasi
keagamaan khusus waria membuat mereka lebih percaya diri dan bisa dilihat di
masyarakat luas atas karya-karya mereka.
Kedua, penelitian yang berjudul “Religiusitas dan Konsep Diri Kaum
Waria”, ditulis oleh Mutimmatul Faidah dan Husni Abdullah dalam JSGI vol. 4 no.
01, Agustus 20137. Penelitian ini bertujuan untuk memahami konstruk kehidupan
6 Lastiko Endi Rahmayanto, “Waria dan upayanya dalam meraih kapital simbolik: Studi Kasus
pengajian al-Ikhlas dan persekutuan doa hati damai dan kudus”, Jurnal Kajian Sastra dan budaya
Vol. 1 no. 2, (Universitas Airlangga, Juli 2013), 62-81.
7 Mutimmatul Faidah dan Husni Abdullah, “Religiusitas dan Konsep Diri Kaum Waria”, JSGI
13
waria menurut pandangan mereka sendiri. Format penelitian ini adalah kualitatif
dengan menggunakan pendekatan fenomenologi dan konstruksionis. Teknik
pengumpulan data dengan cara wawancara mendalam. Teori yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teori persepsi yang dikemukakan oleh Fisher. Hasil penelitian
ini adalah pengungkapan tentang konsep diri para waria bahwa kondisi mereka
yang telah menjadi waria merupakan suratan takdir dari yang Maha Kuasa. Namun
mereka menyadari bahwa dalam kodrat mereka diciptakan sebagai laki-laki,
sehingga para waria al-Ikhlas memainkan peran ganda dalam urusan Hablun
Minannas dan Hablun Minallah.
Ketiga, penelitian yang berjudul “Strategi Bauran Pemasaran Majelis
Taklim Nurul Musthofa Ciganjur Jakarta Selatan”, ditulis oleh Lutfi Afif UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta 20118. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
strategi bauran pemasaran dakwah di Majelis Taklim Nurul Musthofa Ciganjur
Jakarta Selatan. Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan metode
pengumpulan data secara observasi. Teori yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teori manajemen strategi dan teori bauran pemasaran Philip Kotler. Hasil
penelitian ini adalah mendeskripsikan bahwa Majelis Taklim Nurul Mustofa
Ciganjur Jakarta Selatan memiliki pola bauran pemasaran yang sudah kuat yakni
meliputi produk, harga, tempat dan promosinya menunjukkan kesesuaian dengan
harapan majelis Taklim Nurul Musthofa.
8 Lutfi Afif UIN, “Strategi Bauran Pemasaran Majelis Taklim Nurul Musthofa Ciganjur Jakarta
14
Berdasarkan kajian terhadap penelitian-penelitian terdahulu diatas, terdapat
beberapa kesamaan dan perbedaan dengan judul penelitian yang akan peneliti
angkat. Penelitian-penelitian yang memiliki kesamaan adalah sama-sama meneliti
pengajian al-Ikhlas sebagai obyek penelitiannya. Namun dari penelitian-penelitian
tersebut, topik penelitian yang diangkat tidak berkaitan dengan bauran pemasaran
sosial, namun meliputi penelitian psikologi dan penelitian sosiologi. Sedangkan
penelitian yang mengangkat tentang strategi bauran pemasaran, obyek
penelitiannya adalah Majelis Taklim Nurul Musthofa, sehingga memiliki perbedaan
obyek penelitian dengan peneliti. Dari semua penelitian terdahulu yang telah ada,
maka peneliti memastikan bahwa penelitian ini merupakan penelitian yang belum
pernah dikaji dan penting untuk dilakukan.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Berangkat dari titik tolak rumusan masalah yang ditentukan dalam
penelitian ini, maka jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif.
Penelitian kualitatif deskriptif menurut Bogdan dan Taylor (1975) adalah prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan kualitatif ini
diarahkan pada latar dan objek penelitian secara holistik, sehingga tidak boleh
mengisolasi individu atau organisasi ke dalam variable atau hipotesis, tetapi perlu
memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan. Sedangkan menurut Kirk dan
Miller (1986), penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan
15
kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam
bahasanya dan dalam peristilahannya9. Hasil penelitian strategi pemasaran sosial
pengajian kaum waria ini adalah berupa keterangan-keterangan secara terperinci
tentang keadaan strategi bauran pemasaran yang dirancang oleh sumber data
penelitian. Maka peneliti akan mendapatkan data berupa penjelasan, ucapan,
perkataan yang bersifat deskriptif dan bukan merupakan angka-angka.
Pada penelitian kualitatif ini, peneliti menggunakan pendekatan penelitian
studi kasus. Menurut Robert K. Yin penelitian studi kasus merupakan strategi yang
lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan how atau
why10. Penelitian ini menekankan pada sebuah fenomena yang khusus dengan
dilihat dari kacamata tertentu berdasarkan teori. Pertanyaan “bagaimana” atau
“mengapa” akan diarahkan ke serangkaian peristiwa kontemporer, dimana
penelitinya hanya memiliki peluang yang kecil sekali atau tak mempunyai peluang
sama sekali untuk melakukan kontrol terhadap peristiwa tersebut. Sedangkan
menurut Sevilla, dkk. (1993), penelitian yang terinci tentang seseorang (individu)
atau suatu unit sosial selama kurun waktu tertentu yang melibatkan penyelidikan
mendalam dan pemeriksanaan menyeluruh. Peneliti dapat memasuki unit-unit
sosial terkecil seperti perhimpunan, kelompok, keluarga, dan berbagai bentuk unit
sosial lainnya. Karena itu, studi kasus bersifat komprehensif, intens, rinci dan
mendalam serta lebih diarahkan sebagai upaya untuk menelaah masalah-masalah
atau fenomena yang bersifat kontemporer, kekinian11. Pengajian kaum waria
9 Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), 3.
10 Robert K. Yin, Studi kasus: Desain dan Metode, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), 9.
11 Burhan Bungin, Analisa Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke
16
Ikhlas merupakan salah satu contoh kasus yang dapat diangkat dalam penelitian,
dimana organisasi pengajian tersebut secara khusus hanya membidik pasar dakwah
berupa kaum waria yang muslim. Dalam hal ini, penelitian ini mendalam pada sisi
bagaimana dan mengapa program-program dan kegiatan pengajian tersebut
membidik kaum waria dan konsisten selama bertahun-tahun. Dan yang menarik
dari realitas pengajian al-Ikhlas adalah jumlah anggota yang bertambah pada setiap
tahunnya. Hal ini merujuk kepada adanya proses pengelolaan pemasaran tertentu
yang dirancang atau dipikirkan oleh pengurus pengajian al-Ikhlas.
Tipe pendekatan studi kasus pada penelitian ini lebih dekat kepada studi
kasus eksplanatoris, yakni penelitian ini akan banyak mengungkap mengenai
keterangan-keterangan aktivitas kontemporer yang dilakukan oleh subyek
penelitian sehingga kemudian didapatkan serangkaian data lengkap mengenai
penjelasan atas strategi bauran pemasaran yang dibuat oleh subyek penelitian
beserta pertimbangannya. Peneliti perlu menggunakan pendekatan studi kasus
eksplanatoris dikarenakan berkenaan dengan kaitan-kaitan operasional yang
menuntut pelacakan waktu tersendiri dan bukan sekadar frekuensi atau
kemunculan. Untuk mendapatkan deskripsi yang mendalam mengenai strategi
bauran pemasaran pengajian al-Ikhlas diperlukan penjelasan secara rinci mengenai
bagaimana dan mengapa strategi yang dirancang seperti itu. Hal ini akan menuntut
eksplanasi yang mendalam dari sumber data.
2. Subjek penelitian
Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah teori mengenai bauran
17
peneliti. Teori bauran pemasaran mencakup empat hal yang akan dibahas, yakni
mengenai perancangan produk sosial, penetapan harga/pengorbanan dalam
melakukan produk sosial, penetapan saluran pemasaran untuk menyebarkan produk
sosial kepada para adopter, dan terakhir adalah perumusan metode-metode promosi
dalam meningkatkan konsumsi produk sosial.
3. Objek penelitian
Objek yang dipilih dalam penelitian ini adalah pengurus dari organisasi
pengajian al-Ikhlas Surabaya. Yang dimaksud pengurus disini adalah pihak dari
lembaga pengajian al-Ikhlas tersebut yang bertugas untuk merancang strategi
bauran pemasaran sosialnya. Peneliti memilih pengurus pengajian sebagai subyek
penelitian karena patut diduga adalah sebagai pembuat kebijakan tentang strategi
dakwah pada pengajian ini. Subyek penelitian ini mencakup ketua beserta jajaran
pengurus inti yang ikut dalam menentukan strategi bauran pemasaran dari
pengajian al-Ikhlas.
4. Metode pengumpulan data
Menurut Lexy J. Moloeng, metode pengumpulan data yang biasa digunakan
dalam penelitian karya ilmiah kualitatif adalah pertama wawancara, adalah bentuk
percakapan yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang
mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan
jawaban atas pertanyaan itu. Tujuan wawancara, sebagaimana ditegaskan oleh
Lincoln dan Guba (1985) adalah mengkonstruksi mengenai orang, kejadian,
kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian, dan lain-lain,
18
lain12. Wawancara dilakukan dengan memiliki tiga bentuk, yakni wawancara
terstruktur, semi terstruktur dan tidak terstruktur13.
Kedua, Observasi partisipatif, sebagaimana didefinisikan oleh Bogdan
(1972) adalah penelitian yang bercirikan interaksi sosial yang memakan waktu yang
lama antara peneliti dengan subjek dalam lingkungan subjek, dan selama itu, data
dalam bentuk catatan lapangan dikumpulkan secara sistematis.
Ketiga, Dokumen, sebagaimana dinyatakan oleh Guba dan Lincoln (1981)
adalah setiap bahan tertulis ataupun film, yang tidak dipersiapkan karena adanya
permintaan seorang peneliti. Dokumen dapat digunakan untuk menguji,
menafsirkan, dan meramalkan. Dokumen dapat dibedakan atas dokumen resmi dan
dokumen pribadi. Dokumen resmi adalah informasi yang dikemas dalam bentuk
memo, pengumuman, instruksi, aturan organisasi, risalah rapat, surat keputusan,
atau media massa seperti majalah, buletin, berita, Koran, dan lain-lain. Dokumen
pribadi adalah catatan atau karangan seseorang secara tertulis tentang tindakan,
pengalaman, dan kepercayaannya, biasanya dalam bentuk buku harian, surat
pribadi dan autobiografi14.
Dalam penelitian ini, peneliti akan mensinergisasikan semua metode
tersebut dalam pengumpulan data penelitian. Hal ini dimaksudkan agar data yang
didapatkan lebih valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Metode wawancara
dilakukan pada pengurus Organisasi pengajian al-Ikhlas. Pemilihan objek dan
12 Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, 135.
13 Haris Herdiansyah, Wawancara Observasi dan Focus Groups: Sebagai Instrument Penggalian
Data Kualitatif, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), 63.
19
jumlah yang diwawancarai mempertimbangkan ketentuan metode sampling dalam
penelitian karya penelitian kualitatif sebagai berikut:
Pertama, menentukan informan kunci (key informan ) atau situasi sosial
tertentu yang sarat informasi sesuai dengan fokus penelitian dan dilakukan secara
sengaja (purposive sampling). Informan yang diteliti seharusnya adalah subyek
yang telah cukup lama dan intensif menyatu dengan kegiatan atau medan aktivitas
yang menjadi indormasi, serta menghayati secara sungguh-sungguh sebagai akibat
dari keterlibatannya yang cukup lama dengan lingkungan atau kegiatan yang
bersangkutan15. Sedangkan situasi sosial yang dipilih hendaknya adalah situasi
yang relative banyak merangkum informasi tentang domain-domain yang tercakup
dalam topik penelitian (organizing domain), yang menjadi muara bagi
domain-domain yang lain. Disamping itu, situasi sosial tersebut harus bersifat cukup
sederhana untuk diamati, relative mudah diakses dan berlangsung relative sering
atau berulang (frequently recurring activities)16.
Kedua, jumlah sampel (informan atau situasi) tidak dipersoalkan, bisa
sedikit, bisa juga banyak, tergantung pada ketepatan pemilihan informan kunci dan
kompleksitas serta keragaman fenomena sosial yang diteliti. Sewaktu-waktu
pengambilan sampel dapat dihentikan ketika dianggap sudah tidak ditemukan lagi
variasi informasi atau sudah terjadi replikas perolehan informasi
Untuk melakukan metode obsevasi partisipasi, maka peneliti akan masuk ke
dalam aktifitas pengajian al-Ikhlas untuk dapat melihat realitas tentang berbagai
15 Burhan Bungin, Analisa Data Penelitian Kualitatif, 54
20
bauran pemasaran sosial yang dilakukan oleh para pengurus al-Ikhlas. Observasi
pastisipasi ini akan mampu membantu penjelasan lebih terperinci dalam kegiatan
bauran pemasasran sosial yang dilakukan pengurus. Penggunaan metode ini sebagai
komplementer dari metode wawancara adalah dikarenakan potensi hambatan dalam
wawancara dimana subyek penelitian kurang mampu menjelaskan dan menjawab
dari instrument penelitian. Terkadang sumber data kurang memahami maksud
pertanyaan penelitian dan tidak mengetahui realitas yang dimaksud dari
istilah-istilah bauran pemasaran sosial. Sehingga diperlukan pengamatan dari peneliti
untuk melengkapi deskripsi eksplanasi yang dibutuhkan dalam rumusan masalah
penelitian.
5. Metode analisis data
Penjelasan para ahli dalam mendefinisikan pengertian analisis data sebagai
berikut17: Menurut Patton (1980), Analisis data adalah proses mengatur urutan data,
mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar.
Menurut Bogdan dan Taylor (1975), analisis data adalah proses yang merinci usaha
secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan hipotesis (ide) seperti yang
disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan
hipotesis tersebut. Menurut Lexy J. Moloeng (2000), analisis data adalah proses
mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan
uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja
seperti yang disarankan data.
21
Menurut Moh. Nazir, tahap-tahap yang harus dilakukan dalam melakukan
analisa data untuk penelitian karya kualitatif adalah sebagai berikut18:
1. Editing, data atau keterangan yang telah dikumpulkan dalam record book,
daftar pertanyaan ataupun pada interview guide perlu dibaca sekali lagi dan
diperbaiki untuk menghilangkan keraguan atas data.
2. Koding, yakni memberikan kode pada data-data yang telah dikumpulkan
untuk memudahkan proses pengorganisasi data.
3. Membuat tabulasi untuk memproses data dalam bentuk tabel-tabel dan
mengatur angka-angka sehingga dapat dihitung jumlah kasus dalam
berbagai kategori.
4. Menganalisis data dengan cara mengelompokkan, membuat suatu urutan,
memanipulasi, serta mengingkatkan data sehingga mudah untuk dibaca.
Tujuan dari proses ini adalah untuk menerangkan sesuatu atau memberikan
deskripsi terhadap sesuatu.
5. Penafsiran data yakni mencari pengertian yang lebih luas tentang
penemuan-penemuan dari proses analisa data, sehingga penafsiran
merupakan aspek tertentu dari proses analisa.
Adapun metode analisis dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik
analisa data kualitatif. Teknik analisa kualitatif adalah suatu analisa data yang
diperoleh dengan diwujudkan dalam tulisan yang sistematis dan sesuai dengan
teoritis yang pada akhirnya dapat disimpulkan.
22
Analisa data kualitatif terdiri atas tiga alur kegiatan yang terjadi secara
bersamaan, jalin-menjalin pada saat sebelum, selama dan sesudah pengumpulan
data dalam bentuk yang sejajar untuk membangun wawasan umum yang disebut
analisis. Tiga kegiatan analisis tersebut yakni:
1. Reduksi data
Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul
dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data merupakan suatu
bentuk analisis yang berorientasi menajamkan, menggolongkan,
mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi data
sedemikian rupa sehingga kesimpulan finalnya dapat ditarik dan
diverifikasi. Proses reduksi berlangsung terus-menerus selama penelitian
yang berorientasi kualitatif berlangsung. Selama pengumpulan data
berlangsung, terjadilah tahapan reduksi selanjutnya (membuat ringkasan,
mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus, membuat partisi,
menulis memo). Reduksi data/proses transformasi ini berlanjut terus
sesudah penelitian lapangan, hingga laporan akhir lengkap tersusun19
2. Penyajian data
Penyajian data adalah proses menyusun sekumpulan informasi yang
memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan. Karena peneliti tidak mungkin memproses informasi yang sangat
19 Matthew B. Miles & A. Michael Huberman, Analisa Data Kualitatif (Jakarta: UI Press, 1992),
23
besar jumlahnya, maka perlu menyederhanakan informasi yang kompleks
kedalam kesatuan bentuk yang sederhana dan selektif atau konfigurasi yang
mudah dipahami. Penyajian data kualitatif dapat menggunakan berbagai
jenis matriks, grafik, jaringan, dan bagan yang dirancang untuk
menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang padu dan
mudah diraih. Dengan demikian, peneliti dapat melihat apa yang sedang
terjadi dan menentukan apakah menarik kesimpulan yang benar segera
dilakukan.
3. Penarikan kesimpulan/verifikasi
Penarikan kesimpulan adalah proses mencari makna dari keteraturan,
pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur
sebab-akibat, dan proporsisi dari sekumpulan informasi kualitatif. Makna-makna
yang muncul dari data-data tersebut harus diuji kebenarannya,
kekokohannya, dan kecocokannya atau validitasnya.
Kesimpulan-kesimpulan final mungkin tidak muncul sampai pengumpulan data berakhir,
tergantung pada besarnya kumpulan-kumpulan catatan lapangan,
pengkodeannya, penyimpanan dan metode pencarian ulang yang digunakan.
Akan tetapi seringkali kesimpulan itu telah dapat dirumuskan sebelumnya
24
Gambar 1.1. Model Analisis Data Interaktif20
Keterangan diatas berkedudukan untuk menjelaskan berbagai kegiatan
analisis data penelitian. Dan pada penelitian ini, teknik analisis data yang dilakukan
peneliti merujuk kepada teknik Miles-Huberman seperti dijelaskan diatas, yakni
mulai dari tahap memilih dan mengedit data, memberikan kode, mengelompokkan
berdasarkan tahap-tahap strategi bauran pemasaran sosial, serta
menginterpretasikan data hingga menjadi sebuah kesimpulan yang mampu
menjawab rumusan masalah. Pada teknik analisa tersebut akan dilakukan secara
intensif dan berulang-ulang agar didapatkan data yang valid dan teruji.
Data yang didapatkan dari sumber data tidak dapat langsung disimpulkan
dan disajikan dalam eksplanasi penelitian, melainkan perlu dilakukan pengujian
atas kecocokan terhadap variable penelitian. Terdapat kemungkinan atas jawaban
sumber data mengalami penyimpangan dari topik instrument atau bahkan tidak
berhubungan sama sekali dengan instrumen penelitian. Maka dari data-data yang
20 Matthew B. Miles & A. Michael Huberman, Analisa Data Kualitatif (Jakarta: UI Press, 1992),
20
Pengumpulan
Penyajian
Reduksi
25
tidak relevan dengan variabel penelitian akan disisihkan dan peneliti berusaha
mencari data kembali kepada sumber data yang terkait dengan variabel penelitian.
Setelah didapatkan data-data yang relevan tentang bauran pemasaran sosial
lembaga pengajian, maka peneliti akan melakukan penataan eksplanasinya, dengan
cara mengelompokkan data-data sesuai dengan variabel penelitian dan kemudian
menyajika penjelasan data tersebut dengan metode eksplanasi atau penjelasan
terperinci. Dan dari eksplanasi data-data bauran pemasaran sosial pengajian
al-Ikhlas tersebut akan dapat ditarik kesimpulan mengenai berbagai strategi bauran
pemasaran yang dilakukan maupun yang tidak dilakukan oleh pengurus organisasi.
G. Sistematika pembahasan
Secara umum, penelitian ini akan disusun dalam sistematika pembahasan
sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan
Pada bab ini penulis banyak menjelaskan mengenai fenomena permasalahan
terkait adanya lembaga pengajian yang berdakwah kepada kaum waria Surabaya
yang menjadi latar belakang penelitian ini, rumusan masalah yang menjadi
pertanyaan besar dan menjadi fokus dalam menganalisis, serta penulis
menampilkan beberapa penelitian terdahulu sejenis sebagai bukti bahwa penelitian
ini masih orisinil dan masih termasuk dalam ruang lingkup penelitian manajemen
dakwah.
26
Pada bab ini penulis menjelaskan mengenai teori bauran pemasaran sosial
yang menjadi pisau analisis atas eksistensi dakwah lembaga pengajian al-ikhlas,
serta juga penulis menjelaskan konsep-konsep terkait dakwah pengajian.
Bab III Gambaran Objek Penelitian
Pada bab ini penulis menjelaskan mengenai profil keberadaan lembaga
pengajian al-ikhlas dan dinamika manajemen dakwahnya dalam upaya berdakwah
menyadarkan para waria muslim di Surabaya.
Bab IV Analisa dan Pembahasan
Pada bab ini penulis mencoba menganalisis fenomena perjalanan
manajemen dakwah pengajian waria al-ikhlas dengan menggunakan sudut pandang
teori bauran pemasaran sosial.
Bab V Kesimpulan dan Saran
Pada bab ini penulis mencoba menarik poin-poin kesimpulan terkait setiap
strategi bauran pemasaran sosial yang sedang berlaku di dalam upaya manajemen
dakwah lembaga pengajian al-ikhlas. Lebih lanjut juga penulis memberikan
BAB II
BAURAN PEMASARAN SOSIAL PADA WARIA
Konsep mengenai bauran pemasaran telah banyak terdapat pada teori
pemasaran secara umum. Teori pemasaran terbagi menjadi tiga, yakni pemasaran
barang, pemasaran jasa dan pemasaran sosial. Pemasaran pada lembaga pengajian
perlu ditinjau dengan menelaah ketiga konsep pemasaran tersebut. Teori bauran
pemasaran pun disusun berdasarkan tiga jenis pemasaran tersebut.
Bauran pemasaran untuk produk barang, terdapat konsep 4p, yakni Product,
Price, Place, dan Promotion. Konsep bauran pemasaran 4p’s pada pemasaran produk barang kemudian dikembangkan menjadi 7p dalam pemasaran jasa, yakni
4p tersebut ditambah dengan People, Process dan Physical Evidence1.
Pengembangan tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa pada produk jasa
selalu menghadapi konteks pengelolaan antarmuka dengan pelanggan (customer
interface), sehingga konsep 4p dianggap kurang memenuhi karakteristik produk
jasa2 3. Jasa sendiri adalah kegiatan ekonomi yang ditawarkan oleh satu pihak ke
pihak lain, dalam jangka waktu tertentu, dalam bentuk suatu kegiatan yang akan
membawa hasil yang diinginkan kepada penerima, namun penerima tidak akan
mendapatkan hak milik dari unsur-unsur fisik yang terlibat dalam penyediaan jasa
1 Christopher Lovelock, et al, Pemasaran Jasa: Manusia, Teknologi, Strategi Perspektif Indonesia,
(Jakarta: Erlangga, 2011), 25.
2 Rambat Lupiyoadi, Manajemen Pemasaran Jasa: Berbasis Kompetensi, (Jakarta: Salemba Empat,
2013), 92.
3 Fandi Tjiptono, Pemasaran Jasa: Prinsip, Penerapan, Penelitian, (Yogyakarta: CV Andi Offset,
28
tersebut4. Dapat disimpulkan bahwa fokus pemasaran jasa adalah memberikan
layanan maksimal untuk kepentingan pelanggan, dan pelanggan memberikan
kompensasi kepada penyedia layanan sebagai timbal balik.
Konsep bauran pemasaran sosial disusun sebagaimana pemasaran barang,
yakni terdapat 4p. Namun karakteristik pemasaran sosial membedakan dirinya
dengan pemasaran barang. Pemasaran sosial fokus terhadap produk berupa
perubahan ide, gagasan dan perilaku. Pendekatan pemasaran sosial digunakan
untuk orientasi perubahan sosial, yakni untuk perubahan perilaku.5
Entitas lembaga pengajian apabila ditinjau berdasarkan tujuannya adalah
berorientasi untuk perubahan perilaku masyarakat. Lembaga pengajian dapat
dikatakan sebagai organisasi non profit, dilihat dari pengertian organisasi non profit
oleh Peter F. Drucker bahwa organisasi non-profit ada untuk membawa perubahan
dalam individu dan masyarakat.6 Sehingga komitmen lembaga non profit adalah
murni untuk kepentingan sosial atau kemanusiaan. Teori pemasaran untuk lembaga
sosial (non-profit) yang dianggap tepat adalah pemasaran sosial. Karakteristik
lembaga non profit tidak berkomitmen terhadap pemberian layanan untuk
mendapatkan kompensasi dari pelanggan, melainkan berkomitmen terhadap
perubahan masyarakat itu sendiri, baik dalam tataran pemikiran maupun perilaku.
Konsep bauran pemasaran yang relevan dalam konteks lembaga sosial merujuk
kepada 4p dalam teori pemasaran sosial.
4 Christopher Lovelock, et al, Pemasaran Jasa: Manusia, Teknologi, Strategi Perspektif Indonesia,
(Jakarta: Erlangga, 2011), 16.
5 Philip Kotler dan Eduardo L. Roberto, Social Marketing: Strategies for Changing Public
Behavior, (New York: The Free Press, 1989), 24.
29
A. Konsep Pemasaran Sosial dan Waria
1. Konsep Pemasaran Sosial
Konsep dasar pemasaran sosial dalam dunia akademis dimulai pada
penjelasan Philip Kotler dan Gerald Zaltman lewat jurnal yang ditulisnya
berjudul Sosial Marketing: An Approach to Planned Sosial Change.
Menurut Kotler, social marketing adalah “the design, implementation, and
control of the programs calculated to influence the acceptability of sosial ideas and involving considerations of product planning, pricing, communication, distribution, and marketing research”.7
Kotler dan Roberto mengatakan bahwa pemasaran sosial adalah strategi
untuk mengubah kebiasaan8. Pemasaran sosial mencoba untuk mengubah
kebiasaan atau perilaku dari yang tidak positif menjadi positif. Oleh karena
itu keberhasilan dari sebuah pemasaran sosial terlihat apabila telah
berubahnya pola kebiasaan dari masyarakat yang tidak positif menjadi
positif. Pemasar membangun pengetahuan dalam diri konsumen sehingga
konsumen tergerak untuk berubah untuk tidak memiliki kebiasaan yang
tidak positif. Dalam pemasaran sosial, ide dan kebiasaan adalah produk
yang dipasarkan.
Pemasaran sosial adalah penerapan prinsip dan teknik pemasaran pada
upaya-upaya melakukan perubahan sosial yang positif, misalnya kampanye
bahaya merokok, peningkatan partisipasi masyarakat dalam program
7 P. Kotler and Zaltman, Sosial Marketing: An Approach to planned sosial change, Journal of
Marketing, (August, 1971), 5.
30
keluarga berencana (KB) penyadaran masyarakat untuk tidak membuang
sampah di sungai, penggunaan kondom untuk hubungan seks yang aman
dan sebagainya. Pemasaran sosial berbeda dengan pemasaran komersial
seperti yang dikenal secara luas, khususnya di lingkungan ilmu manajemen
dan bisnis. Seperti telah diungkapkan sebelumnya, konsep pemasaran sosial
seringkali dipahami secara keliru sebagai societal marketing, yakni program
pemasaran komersial yang memperhatikan kepentingan masyarakat atau
kepentingan sosial. Pemasaran sosial adalah irisan ilmu-ilmu sosial dengan
disiplin ilmu pemasaran.
Dalam konsep pemasaran sosial, target adopter adalah penyebutan
untuk konsumen atau pasar. Target adopter terdiri dari satu atau lebih
kelompok yang dapat dibagi berdasarkan usia, status sosial, letak geografis9.
Istilah target adopter digunakan bilamana pemasaran sosial berusaha untuk
merubah perilaku pasar melalui kesadaran apa yang diyakininya. Pasar yang
awalnya memiliki nilai dan perilaku tertentu, kemudian menerima produk
sosial berupa kampanye himbauan, nasihat, petunjuk, maupun ajakan untuk
melakukan suatu perilaku tertentu, keadaan tersebut kemudian dianggap
bahwa pasar telah mengadopsi nilai-nilai dan perilaku yang
dikampanyekan. Target pemasar dalam pemasaran sosial bukanlah
keuntungan atau profit materi, melainkan pasar yang dituju telah
menjalankan perilaku yang dipasarkan.
9 Ricardi S. Adnan, dkk, Pemasaran Sosial, Edisi kedua, (Tangerang Selatan: Universitas Terbuka,
31
Pasar dalam pemasaran sosial cenderung difokuskan kepada
sekelompok orang yang dijadikan target sasaran10. Dikarenakan produk
yang dijual pada konsumen pemasaran sosial adalah berupa pesan-pesan
yang diharapkan dapat mengubah sikap dan perilaku orang lain, maka
targetnya adalah pasar mengadopsi inti pesan yang dipasarkan dengan
adanya indikasi perubahan perilaku dalam diri mereka. Oleh sebab itu, pasar
sasaran bukan dianggap sebagai konsumen yang hanya membeli satu atau
beberapa kali, melainkan pasar sasaran dalam pemasaran sosial diharapkan
mengadopsi seterusnya perilaku yang dikampanyekan.
Pemasaran sosial mengelompokkan pasar menjadi dua macam, yaitu
pasar eksisting dan pasar potensial. Pasar eksisting adalah pasar yang telah
ada saat ini, yaitu yang telah terbiasa dan pernah membeli produk sosial
sebelumnya. Pasar eksisting dibagi menjadi dua kategori, yakni pasar
primer dan pasar sekunder. Pasar primer adalah pasar sasaran utama yang
hendak dibidik dan yang memiliki kebutuhan mendesak kepada produk
sosial. Sedangkan pasar sekunder adalah pasar yang tidak terlalu memiliki
kebutuhan yang mendesak pada produk. Contoh ilustrasi akan dua kategori
pasar eksisting diatas misalnya terdapat produk sosial kampanye anti
merokok, pasar primernya adalah para perokok, sedangkan pasar
sekundernya adalah semua orang yang tidak merokok. Orang-orang yang
tidak merokok dikatakan pasar dikarenakan mereka adalah pasar yang
10 Ricardi S. Adnan, Target Adopter: Transformasi Pemasaran Sosial yang mengubah wajah
32
mempunyai peran dalam mensukseskan kampanye anti merokok untuk para
perokok aktif.
Pasar potensial merupakan semua target adopter atau audience yang
memiliki kebutuhan atau keinginan tertentu yang sesuai dengan program
pemasaran sosial. Mereka adalah orang-orang yang berpotensi untuk
menjadi target adopter atau audience namun belum memiliki sikap atau
perilaku yang sesuai dengan pesan atau konsep dari pemasaran sosial11.
Sebagai contoh pada produk sosial anti merokok, maka pasar potensialnya
adalah semua remaja atau orang yang belum pernah merokok, namun
berpotensi untuk merokok.
2. Waria sebagai Target Adopter dalam Pemasaran Sosial
Waria merupakan salah satu kelompok di dalam masyarakat yang
memiliki karakteristik tertentu. Pengertian tentang waria dapat ditemui
pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yakni akronim dari wanita
pria; pria yang bersifat dan bertingkah laku seperti wanita, atau pria yang
mempunyai perasaan sebagai wanita; wadam12. Menurut Kemala Atmojo,
secara umum waria adalah seorang laki-laki yang berdandan dan berlaku
sebagai wanita13. Hal ini sebagaimana juga dikemukakan oleh
Koeswinarno, bahwa akibat dari sifat waria seperti itu, perilaku yang
mereka tampilkan dalam kehidupan sehari-hari cenderung mengarah
11 Ricardi S. Adnan, Target Adopter, 72.
12 https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/waria (diakses pada 4 Mei 2017, pukul 13.48).
13 Kemala Atmojo, Kami Bukan Lelaki: Sebuah Sketsa Kehidupan Kaum Waria, (Jakarta: PT.
33
kepada perempuan, baik dari cara berjalan, berbicara maupun berdandan
(make up)14.
Menurut pandangan agama, atribut sebagai waria adalah sesuatu
yang dilarang dan dianggap tidak sesuai dengan norma keagamaan yang
ada. Berdasarkan fatwa Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) tertanggal 31
Desember 2014 yang ditandatangani oleh Prof. Dr. H. Hasanuddin, AF.
MA bahwa homoseksual merupakan perbuatan yang hukumnya haram,
merupakan suatu bentuk kejahatan dan pelakunya dijatuhi hukuman mati.
Sehingga dapat dikatakan bahwa pilihan menjadi waria adalah tindakan
yang konsekuensinya berupa dosa. Waria menurut terminologi fiqih
disebut sebagai kaum khuntsa yang dirumuskan ulama sebagai seseorang
yang mempunyai organ kelamin pria dan organ kelamin wanita. Dari
rumusan diatas waria terbagi atas dua jenis waria: Pertama, waria dengan
indikasi yang lebih cenderung kearah jenis kelamin kelaki-lakian atau
sebaliknya, disebut khuntsa ghaira musykil. Kedua, waria yang tidak
tampak indikasi yang menunjukan kearah jenis kelamin tertentu, disebut
khuntsa musykil. Waria dianggap sebagai penyimpangan atau orang yang abnormal, merupakan dosa besar serta sebagai sumber maksiat dan
kejahatan15. Transeksual dari sudut pandang kitab suci dan sejarah agama
dianggap telah menyalahi ketentuan Tuhan (scipione, 1997)
14 Koeswinarno, Hidup sebagai Waria, (Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara, 2004), 1.
15 Novi M. S. Dan Indriyanti Eko P., Hubungan Kebermaknaan Hidup Dengan Penerimaan Diri
34
Walaupun dapat dikaitkan dengan kondisi fisik seseorang, namun
gejala waria adalah bagian dari aspek sosial transgenderisme. Dalam
wacana psikologi, waria termasuk penderita transeksualisme, yakni
seseorang yang secara fisik memiliki jenis kelamin yang jelas dan
sempurna, namun secara psikis cenderung untuk menampilkan diri sebagai
lawan jenisnya16. Beberapa contoh dari para waria dapat ditemui di
kalangan masyarakat yakni jika terdapat laki-laki yang mengubah dadanya
dengan operasi plastik atau suntik, membuang penis serta testisnya dan
membentuk lubang vagina17.
Pada kalangan masyarakat, terdapat kebingungan dalam
menempatkan gender waria karena para waria selalu menempatkan dirinya
pada posisi perempuan padahal secara fisik merupakan laki-laki. Apabila
ditempatkan pada kalangan gender laki-laki, gaya dan perilaku mereka
sangat jauh dari maskulinitas. Seorang waria memakai pakaian atau atribut
perempuan karena dirinya secara psikis merasa sebagai wanita18. Mereka
tidak memandang hal itu sebagai suatu penyimpangan karena mereka telah
mengidentifikasi dirinya sebagai perempuan, dan bukan laki-laki. Seorang
laki-laki memilih menjadi waria dapat dikaitkan dengan keadaan
biologisnya, orientasi seksual homoseksualitas maupun akibat
pendonsisian lingkungan. Masyarakat juga masih menganggap waria
16 Koeswinarno, Hidup sebagai Waria, 12.
17 James Danadjaja, Homoseksual atau heteroseksual, dalam Srintil (ed.), Menggugat Maskulinitas
dan Feminitas, (Jakarta: Kajian Perempuan Desantara, 2003), 35.
35
identik dengan pelacuran, seks bebas, penyakit kotor, atau pelaku seksual
menyimpang19.
Masalah yang dihadapi seorang waria tidak hanya menyangkut
moral dan perilaku yang dianggap tidak wajar, tapi juga dorongan seksual
yang sudah menetap dan membutuhkan penyaluran20. Psikologis waria
mendorong memiliki orientasi seksual yang sama seperti perempuan, yang
ingin memiliki pasangan laki-laki dan bahagia bersama pasangannya.
Sebagai seorang manusia, kebutuhan dasar seksualitas menjadi tuntutan
bagi mereka untuk dipenuhi, namun objek pemenuhan seksual mereka
justru berasal dari kaum laki-laki.
Sebab terjadinya transeksual yang dilakukan oleh para waria
menurut Hesti dan Sugeng antara lain: pertama, faktor biologis yang
dipengaruhi oleh hormon dan genetik seseorang. Kedua, faktor psikologi
dan sosial budaya termasuk pula pola asuh lingkungan yang
membesarkannya. Ketiga, memiliki pengalaman yang sangat hebat dengan
lawan jenis sehingga mereka berkhayal dan memuja lawan jenis sebagai
idola dan ingin menjadi seperti lawan jenis21.
Dalam posisi waria sebagai manusia yang memiliki kesadaran dan
mampu berpikir, mereka juga memiliki potensi untuk memikirkan agama
sebagai salah satu jalan hidup. Bagi waria yang memiliki kesadaran
19 Koeswinarno, Hidup sebagai Waria, 12.
20 Kartini Kartono, Psikologi Abormal dan Abnormalitas Seksual, (Bandung: CV Mandar Maju,
1998), 257.
21 Hesti Puspitosari dan Sugeng Pujileksono, Waria dan Tekanan Sosial, (Malang: UMM Press,
36
relegiusitas, agama berfungsi sebagai pengingat tentang dosa, juga menjadi
suatu pedoman dan pertimbangan bagi subyek dalam bertindak. Manusia
tidak mampu menolak keberadaan religious instink, yaitu naluri untuk
meyakini dan mengadakan penyembahan kepada suatu kekuatan diluar
dirinya (Spinks, 1963). Didalam hati manusia, walaupun mereka memiliki
gender apapun, terdapat naluri untuk percaya kepada Tuhan. Kepercayaan
terhadap Tuhan adalah hal yang dapat dikatakan taken for granted pada
manusia (Muthaharri, 2007).
Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, waria seringkali memilih
untuk bergabung pada organisasi tertentu, khususnya organisasi yang
merupakan kumpulan sesama waria. Motif terbesar bagi para waria untuk
bergabung pada suatu organisasi adalah untuk memperjuangkan nasib
sebagai waria. Alasan berikutnya biasanya adalah ingin mengetahui
kegiatan organisasi, menunjukkan jati diri dan memperoleh kesempatan
berkenalan dengan waria lain. Ada juga yang ingin memperoleh
ketenangan hidup22.
Gaya hidup waria ditunjukkan dengan cara mengekspresikan
perilaku yang nampak seperti gender perempuan, yakni dengan berpakaian
dan berdandan seperti perempuan. Dalam hal opini seksualitas, mereka
meyakini bahwa keadaan mereka seperti itu adalah merupakan takdir dari
Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan pada mereka. Sebagaimana salah
22 Ignatius Praptoraharjo, L. Navendorff dan Irwanto, Laporan Penelitian: Survey Kualitas Hidup
37
satu pendapat Waria di Yogyakarta pendiri pesantren khusus waria
Senin-Kamis, sebenarnya waria bukan merupakan penyakit ataupun pilihan. Jika
ini merupakan penyakit, dari sejak kecil hingga dewasa tidak ada dokter
yang bisa menemukan obatnya. Jika itu merupakan pilihan, waria tidak
akan bisa merubah keputusan Tuhan yang menjadikan mereka laki-laki
ketika mereka menginginkan menjadi perempuan23.
B. Teori Bauran Pemasaran Sosial
Sebagai bagian dari konsep pemasaran, dalam aplikasinya social
marketing juga bergantung pada empat variable penting pada pemasaran
komersial yang sering disebut dengan bauran pemasaran atau marketing
mix yang meliputi Product, Price (harga), Place/Distribution (distribusi)
dan Promotion (promosi)24. Pada setiap bauran pemasaran tersebut, memiliki konsep masing-masing yang kemudian akan dipadukan satu sama
lain untuk membentuk satu kesatuan strategi pemasaran sosial yang utuh.
a. Konsep Produk Sosial (SocialProduct)
Dalam konsep pemasaran, produk diartikan sebagai segala sesuatu
yang ditawarkan ke pasar untuk mendapatkan perhatian, dibeli,
dipergunakan dan yang dapat memuaskan keinginan atau kebutuhan25.
Maka Social product adalah sesuatu yang dapat ditawarkan ke pasar
23 Fazlul Rahman, Hermeneutics of the Waria: Waria’s Hermeneutical Tafsir of Al-Fatihah, dalam
Journal Proceding: Tinjauan Terhadap Lesbian Gay Biseksual dan Transgender (LGBT) dari Perspektif Hukum, Pendidikan dan Psikologi, Metro Lampung: Program Pascasarjana STAIN Jurai Siwo, Desember 2016, 11.
24 Philip Kotler and Zaltman, Sosial Marketing: An Approach to planned sosial change, Journal of
Marketing, August 1971.
25 Philip Kotler and Gary Armstrong, Prinsip-prinsip Pemasaran, Jilid 1, (Jakarta: Erlangga,
38
untuk diperhatikan, diperoleh, digunakan atau dikonsumsi untuk
memenuhi kebutuhan, keinginan dan harapan masyarakat dalam
mengatasi masalah sosialnya26.
Jenis-jenis produk social berdasarkan situasinya, dipisahkan oleh
Kotler menjadi tiga macam27. Pertama yaitu “They may offer a social
product that satisfies a need that no other product is satisfying”, contohnya adalah program pemerintah tentang Pekan Imunisasi
Nasional, dimana tidak ada program sejenis yang pernah dilaksanakan
sehingga program ini adalah program satu-satunya yang memuaskan
target adopter. Kedua, “they may offer a social product that satisfies
a need that other social products are addressing but that satisfies it better”, contohnya adalah program Keluarga Berencana, dimana program ini selalu dievaluasi dan dikembangkan menjadi program baru
yang lebih efektif menekan ledakan jumlah kelahiran. Ketiga, “they
may offer a social product that cannot satisfy a need that target adopters currently perceive or have but that nevertheless addresses a real underlying need of people”, contohnya adalah program rehabilitasi bagi para pengguna narkoba, dimana mereka tidak ingin
direhabilitasi namun sebenarnya hal itu sangat mereka butuhkan ketika
mereka sadari.
26 Wahyuni P., Social Marketing: Strategi Jitu Mengatasi Masalah Sosial di Indonesia, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2016), 10.