PENDEKATAN COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY DALAM
MENGONTROL EMOSI NEGATIF SISWA TERISOLIR
(Studi Kasus Siswa X di SMP Negeri 1 Gedangan)
SKRIPSI
Oleh:
Asma Rohma Dzulhijjah NIM. D03212041
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM
PENVEKATAN COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY VALAM MENGONTROL
EMOSI NEGATIF SISWA TERISOLIR (Studi Kasus Siswa X di SMP Negeri 1 Gedangan)
Oeh :
Asma Rohma Vzulhijjah ABSTRAK
Pendekatan Cognitive Behavior Therapy adalah pendekatan konseling yang
dirancang untuk menyelesaikan permasalahan konseli pada saat ini dengan cara melakukan restrukturisasi kognitif dan perilaku yang menyimpang. Pendekatan ini akan berupaya membantu klien mengubah pikiran-pikiran atau pernyataan diri negatif, keyakinan-keyakinan dan sikap klien yang tidak rasional. Emosi negatif pada dasarnya dapat dirubah ke arah yang lebih positif melalui konseling, dan
salah satu konseling yang tepat yakni melalui Pendekatan Cognitive Behavior
Therapy. Seperti yang dialami oleh siswa X yang terisolir di SMPN 1 Gedangan-Sidoarjo ini mengalami gejala emosi negatif dapat diberikan konseling terapi
melalui Pendekatan Cognitive Behavior Therapy.
Dalam penelitian ini, masalah yang diteliti adalah bagaimana kondisi emosi negatif pada siswa X yang terisolir di SMPN 1 Gedangan-Sidoarjo, bagaimana
pelaksanaan pendekatan Cognitive Behavior Therapy dalam mengontrol emosi
negatif pada Siswa X yang terisolir di SMPN 1 Gedangan-Sidoarjo, bagaimana
evaluasi dan follow up pendekatan Cognitive Behavior Therapy dalam
mengontrol emosi negatif siswa X yang terisolir di SMPN 1 Gedangan-Sidoarjo. Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi emosi negatif pada siswa X yang terisolir di SMPN 1 Gedangan-Sidoarjo, untuk
mengetahui pelaksanaan pendekatan Cognitive Behavior Therapy dalam
mengontrol emosi negatif pada Siswa X yang terisolir di SMPN 1
Gedangan-Sidoarjo, untuk mengetahui evaluasi dan follow up pendekatan Cognitive
Behavior Therapy dalam mengontrol emosi negatif siswa X yang terisolir di SMPN 1 Gedangan-Sidoarjo.
Jenis penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian Deskriptif Kualitatif dengan menggunakan Studi Kasus. Adapun informan penelitiannya adalah Konselor (Guru BK), Konseli (Seorang yang membutuhkan bantuan), Wali kelas dan teman satu kelas konseli. Teknik pengumpulan data meliputi observasi, interview dan dokumentasi. Adapun analisis data meliputi reduksi data, penyajian data, dan verifikasi data.
Pelaksanaan konseling terapi melalui pendekatan Cognitive Behavior
Therapy dalam mengontrol emosi negatif pada Siswa X yang terisolir di SMPN 1 Gedangan-Sidoarjodapat dikatakan berhasil, hal ini dapat dilihat dari perubahan perilaku yang ditunjukkan siswa X setelah pemberian terapi. Siswa X berusaha dalam mengontrol emosi negatifnya lebih baik ke arah positif dengan selalu mengontrol diri dan mengingat kolereasi konsekuensi positif jika melakukan
perilaku positif yaitu berupa reward dan konsekuensi negatif jika melakukan
perilaku negatif yaitu berupa punishment.
x DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... 1
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... 2
PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... 3
PERSEMBAHAN ... 4
MOTTO ... 5
ABSTRAK ... 6
KATA PENGANTAR ... 7
DAFTAR ISI ... 10
BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Masalah ... 10
D. Manfaat Penelitian... 10
E. Definisi Operasional ... 12
F. Sistematika Pembahasan ... 16
BAB II LAPORAN PELAKSANAAN OBSERVASI A. Emosi Negatif Siswa Terisolir ... 18
1. Pengertian Emosi Negatif ... 18
2. Ciri-Ciri Emosi Negatif ... 19
3. Proses Terjadinya Emosi Negatif ... 21
4. Definisi Siswa Terisolir... 23
6. Faktor yang Menyebabkan Siswa Terisolir... 26
7. Akibat Siswa Terisolir... 28
B. Pendekatan Cognitive Behavior Therapy ... 29
1. Pengertian Cognitive Behavior Therapy...29
2. Hakikat Manusia Menurut Cognitive Behavior Therapy...32
3. Perilaku Bermasalah dalam Cognitive Behavior Therapy...34
4. Tujuan Cognitive Behavior Therapy...36
5. Hubungan Konselor dan Konseli dalam Cognitive Behavior Therapy...37
6. Langkah-Langkah Cognitive Behavior Therapy...38
7. Teknik-Teknik dalam Cognitive Behavior Therapy...41
C. Pendekatan Cognitive Behavior Therapy dalam Mengontrol Emosi Negatif Siswa Terisolir...46
BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 49
B. Informan Penelitian ... 50
C. Teknik Pengumpulan Data ... 52
D. Teknik Analisa Data ... 54
E. Teknik Pemeriksaan Data... 55
F. Tahapan Penelitian ... 58
BAB IV LAPORAN PENELITIAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian ... 60
xii
2. Data Identitas Sekolah ... 60 3. Visi dan Misi Sekolah ... 61 B. Sajian Data ... 62 1. Kondisi Emosi Negatif Pada Siswa X yang Terisolir di SMP Negeri 1
Gedangan-Sidoarjo ... 62 2. Pelaksanaan Pendekatan Cognitive Behavior Therapy dalam
Mengontrol Emosi Negatif pada Siswa X yang Terisolir di SMP Negeri 1 Gedangan-Sidoarjo ... 72 3. Evaluasi dan Follow Up Pendekatan Cognitive Behavior Therapy
dalam Mengontrol Emosi Negatif Siswa X yang Terisolir di SMP Negeri 1 Gedangan-Sidoarjo ... 77 C. Analisa Data ... 79 1. Kondisi Emosi Negatif Pada Siswa X yang Terisolir di SMP Negeri 1
Gedangan-Sidoarjo ... 79 2. Pelaksanaan Pendekatan Cognitive Behavior Therapy dalam
Mengontrol Emosi Negatif pada Siswa X yang Terisolir di SMP Negeri 1 Gedangan-Sidoarjo ... 82 3. Evaluasi dan Follow Up Pendekatan Cognitive Behavior Therapy
dalam Mengontrol Emosi Negatif Siswa X yang Terisolir di SMP Negeri 1 Gedangan-Sidoarjo ... 87
BAB V PENUTUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia terlahir dengan potensi masing-masing. Dan setiap
manusia pula memiliki kelebihan dan kekurangan pada dirinya. Potensi
yang ada dalam diri manusia perlu dikembangkan demi mencapai
kebahagiaan dan kesempurnaan dalam kehidupan. Kesempurnaan,
kemuliaan, serta kebahagiaan tidak mungkin datang dengan sendirinya.
Maka dari itu dibutuhkan usaha sadar manusia terutama manusia dewasa
untuk menghantarkan anak-anak mereka. Untuk memenuhi semua
kebutuhan dapat diwujudkan melalui pendidikan formal, nonformal dan
informal.1
Jika mengamati proses pendidikan di Indonesia, proses belajar
mengajar lebih banyak diarahkan pada kemampuan kognitif saja. Siswa
jarang diajarkan atau dilatih untuk mengembangkan aspek emosinya.
Sebagai contoh pelatihan tentang bagaimana mengontrol emosi siswa,
menghadapi konflik, berkomunikasi secara positif, mengelola stres dan
keterampilan hidup lainnya. Akibatnya, banyak siswa yang tidak terampil
dalam mengontrol emosi dan stres kehidupan. Ketidakmampuan
mengontrol ini membuat siswa tidak berdaya menghadapi situasi penuh
tekanan dan konflik, akibatnya siswa melakukan tindakan destruktif untuk
mengontrol emosi, konflik dan stres yang dihadapinya.
2
Siswa di masa remaja, kerap kali mengalami gejolak emosi yang
labil di dalam hidupnya. Hal ini selaras dengan pendapat Mappiare yang
mengungkapkan bahwa masa remaja menurutnya berlangsung antara umur
12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan
22 tahun bagi pria. Dimana masa perkembangannya siswa mengalami
banyak gejolak emosi, Sehingga apabila siswa tidak bisa berinteraksi
dengan baik maka siswa akan mengalami suatu permasalahan yang
nantinya akan mengganggu perkembangannya.2
Individu yang sedang mengalami permasalahan dan mengakibatkan
gangguan emosional pada dirinya, pada umumnya menunjukkan gejala
psikis, gejala fisik, dan sosial yang khas. Seperti murung, sedih
berkepanjangan, sensitif, mudah marah dan tersinggung, hilang semangat,
hilang rasa percaya diri, hilangnya konsentrasi, dan menurunnya daya
tahan.
Emosi merupakan keadaan yang ditimbulkan oleh situasi tertentu.
Dimana keadaan tersebut terangsang dari organisme mencakup
perubahan--perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya, dan menjadi
perubahan perilaku. Emosi setiap orang adalah mencerminkan keadaan
jiwanya, yang akan tampak secara nyata pada perubahan jasmaninya, dan
2 Mohammad, Ali, Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008),
3
cenderung terjadi perilaku yang mengarah (approach) atau menyingkir
(avoidance) terhadap sesuatu.3
Pada dasarnya emosi manusia bisa dibagi menjadi dua kategori
umum jika dilihat dari dampak yang ditimbulkannya. Kategori pertama
adalah emosi positif atau bisa disebut afek positif, yang berupa tenang,
santai, rileks, gembira, lucu, haru dan senang. Sedangakan kategori yang
kedua adalah emosi negatif atau afek negatif, yang berupa sedih, kecewa,
cemas, putus asa, gelisah, stress, depresi, tidak berdaya, frustasi, marah,
dendam, iri, dan masih banyak lagi. Dimana ketika kita merasakan emosi
negatif ini dampak yang kita rasakan adalah semua menjadi negatif, tidak
menyenagkan, dan menyusahkan.4
Menurut Helmi (2000) ada empat ciri-ciri reaksi emosi negatif dan
sterss yang dialami oleh setiap orang. Yaitu reaksi psikologis, fisiologis,
proses berfikir (kognitif) dan tingkah laku, antara lain yaitu:5
a. Psikologis. Aspek ini biasanya lebih dikaitkan pada aspek emosi,
seperti mudah marah, sedih, egois, acuh tak acuh, dan mudah
tersinggung atau sensitif
b. Fisiologis. Biasanya muncul dalam bentuk keluhan fisik, seperti
pusing, nyeri tengkuk, tekanan darah naik, nyeri lambung, gatal-gatal
di kulit, ataupun rambut rontok
3 Triantoro Safaria, Manajemen Emosi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hlm 12 4 Ibid, hlm 13
4
c. Proses berfikir (kognitif). Biasanya tampak pada gejala sulit
berkonsentrasi,semangat belajar menurun, mudah lupa, ataupun sulit
mengambil keputusan
d. Tingkah laku. Para remaja tampak pada perilaku-perilaku
menyimpang seperti menghindar bertemu dengan temannya,
membolos saat sekolah, jail atau suka mengganggu merokok,
menonton pornografi, tawuran antar pelajar, bahkan mabuk ataupun
ngepil.
Ketika seorang mengalami emosi negatif, mereka cenderung untuk
mencari alternatif lain untuk menginterpretasikan peristiwa itu dalam
rangka mereduksi emosinya. Misalnya melakukan penolakan atau
penyangkalan, atau menghibur diri dengan harapan-harapan yang sifatnya
khayal (entertaining illusionary hopes).6 Emosi negatif yang dirasakan
biasanya dapat dihindari dan dihilangkan. Adakalanya emosi dapat
dikendalikan, dan ada yang tidak. Ketika gagal dalam mengendalikan
emosi negatif ini maka keadaan suasana hati akan menjadi semakin buruk.
Ketika penulis melakukan observasi di Sekolah Menengah Pertama
Negeri 1 Gedangan-Sidoarjo, penulis mendapat informasi dari informan
penelitian yakni Guru BK terkait siswa yang mengalami emosi negatif,
dilihat dari gejala-gejala yang terlihat seperti, mudah marah, cuek atau
acuh tak acuh terhadap lingkungan, egois, mudah tersinggung, jail, suka
6 Baihaqi, Psikiatri (Konsep dan Gangguan-gangguan), (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm
5
keluyuran dan perilaku yang berindikasi menyimpang lainnya. Menurut
beliau ada beberapa siswa yang mengalami kategori tersebut. Namun
beliau mengungkapkan bahwa ada salah satu siswa di kelas VIII-C yang
mengalami emosi negatif sehingga siswa X tersebut menjadi terisolir.
Dikarenakan kompleksnya permasalahan yang dialaminya, seperti tidak
bisa berinterksi dengan baik, pilih-pilih teman, jail, suka mengganggu dan
sering melanggar tata tertib sekolah. Berdasarkan keterangan tersebut,
akhirnya penulis melakukan observasi di kelas VIII-C saat jam pelajaran
dan di luar jam pelajaran dengan melihat reaksi dan perilaku siswa X.
Selain itu dengan membuktikan kebenaran tersebut, penulis memakai alat
tes Problem Check List dan Sosiometri.
Diantara pernyataan yang dipilih oleh siswa X dalam Problem
Check List ialah “saya sukar menyesuaikan diri, mudah marah, sukar
menerima kekalahan, sering tidak menepati janji dan sering ditegur karena
kurang sopan”. Sedangkan dari hasil analisa sosiometri, siswa X tergolong
terisolir karena tertolak atau tidak dipilih oleh teman-temannya dengan
berbagai alasan, diantaranya seperti: suka mengganggu, jail, tidak asyik,
kurang sopan, suka marah dan pilih-pilih teman. Maka disini terlihat
beberapa kesamaan dari gejala-gejala dan ciri-ciri siswa terisolir yang
mengalami emosi negatif.
Secara kodrati manusia merupakan makhluk sosial. Sehingga setiap
manusia memiliki kecenderungan untuk bergaul dengan orang lain,
6
terlupakan untuk bisa menyesuaikan diri, baik dalam berperilaku,
kesopanan bahasa, maupun sikap yang kesemuanya dasar perubahan.7
Tidak terkecuali siswa sebagai kelompok manusia, karena siswa yang
menurut usia perkembangan, tergolong sebagai remaja juga tidak lepas
dari kehidupan sosialnya. Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup
sosialnya, maka siswa juga dituntut untuk memiliki keterampilan sosial,
agar mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.
Siswa yang status usianya masih remaja, secara sosial
perkembangannya memiliki dua arah gerak, yakni memisahkan diri
dengan orang tua dan gerak menuju ke arah teman-teman sebayanya.
Kedua jenis gerak sosial ini saling berurutan dan terkait erat, sehingga jika
gerak pertama dilakukan dan gerak kedua tidak, maka siswa tersebut
menjadi atau tergolong siswa terasing.8
Siswa yang terisolasi akan menjadi pribadi yang tidak matang
secara sosial, emosional dan spiritual. Siswa tersebut akan memiliki
kepribadian yang terganggu akibat kehilangan kasih sayang dan cinta dari
lingkungan sosialnya, sehingga dirinya akan menjadi pribadi anti sosial.
Akibatnya siswa tersebut tidak bisa mengembangkan hubungan yang
harmonis dengan orang lain. 9
Siswa yang terisolasi secara sosial akan menunjukkan gejala-gejala
yang tidak sehat. Gejala ini merupakan suatu penyakit sosial yang bisa
7 Yusak burhanudin, Kesehatan Mental, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm 51
8 FJ. Monks, A.M.P, Psikologi Perkembangan, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2004),
hlm 277
7
disebut rasa malu. Akibat jangka panjang dari malu yang berlebihan ini
dapat memunculkan penyakit sosial seperti kesepian, rendah diri, menarik
diri, kecewa, minder atau kurang percaya diri, merasa bersalah, merasa
tidak sempurna atau tidak berdaya, penilaian sosial yang kurang baik,
bahkan dikatakan sebagai individu yang tidak ramah.10
Siswa yang dikucilkan (tidak disukai) memiliki karakteristik
negatif seperti suka menyerang, agresif, bertindak anti sosial, sulit bekerja
sama, egois, acuh terhadap lingkungan, sulit berempati, mudah marah dan
suka mengganggu kesenangan temannya. Sedangkan kondisinya seperti
penampilan fisik yang tidak sesuai dengan standar kelompok teman
sebaya, status ekonomis berada di bawah status ekonomis teman
kelompok, atau hubungan kurang baik dengan keluarga.11 Itu semua ialah
karakteristik dan kondisi yang menyebabkan remaja di tolak dalam
penerimaan sosial. Sedangkan jika siswa yang disukai dan diterima di
sosial ialah kebalikan dari karakteristik dan kondisi di tas.
Menulis penulis, Siswa X telah mengalami emosi negatif sehingga
terisolir dari teman-temannya. Mengenai permasalahan yang dialami oleh
siswa X ini, guru BK telah berupaya memberikan bantuan berupa layanan
konseling individu terhadapnya. Namun begitu, upaya tersebut tidak
sepenuhnya bisa membantu siswa X bangkit dan merubah emosi negatif
yang ada pada dirinya. Sampai saat ini pun siswa X masih belum bisa
10 Ibid, hlm 13
8
mengelola emosi negatif tersebut sehingga dia terisolir dari
teman-temannya.12
Pada gangguan emosional berat dapat menimbulkan depresi, dan
diperlukan terapi serta pengobatan yang efektif untuk mengurangi hal
tersebut, namun pada gangguan emosional ringan dan sedang, dapat
dilakukan terapi terhadap diri sendiri untuk mengurangi gejala-gejala
depresi, misalnya pada kasus gangguan emosi negatif siswa yang
mengalami isolasi sosial, bisa diberi treatment pendekatan Cognitive
Behavior Therapy (CBT).
Pendekatan Cognitive Behavior Therapy (CBT) adalah konseling
terapi yang memusatkan perhatian pada proses berpikir klien yang
berhubungan dengan gangguan emosional dan psikologi klien. Pendekatan
ini akan berupaya membantu klien mengubah pikiran-pikiran atau
pernyataan diri negatif dan keyakinan-keyakinan klien yang irasional.
Pendekatan ini merupakan terapeutik yang memodifikasi pikiran, asumsi,
dan sikap yang ada pada individu.13
Jadi dapat disimpulkan Pendekatan Cognitive Behavior Therapy
adalah suatu proses pemberian bantuan kepada seorang/konseli guna
memperbaiki pola tingkah lakunya dan cara-cara berfikir yang tidak logis
menjadi logis.
Salah satu usaha atau upaya untuk mengarahkan dan mengontrol
emosi negatif siswa yang terisolir tersebut ialah dengan melalui teratment
12 Hasil wawancara terhadap Guru BK SMPN 1 Gedangan, tanggal 20 Oktober 2015
13 Namora Lumongga, Depresi Tinjauan Psikologis, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
9
pendekatan Cognitive Behavior Therapy. Dimana dengan cara
prosedur-prosedur yang ada dilaksanakan dengan berurutan dan continue sehingga
dapat membantu merubah pikiran-pikiran dan tingkah laku negatif siswa
tersebut.
Di sinilah penulis ingin membantu menumbuhkan semangat baru
dan motivasi yang kuat dalam mengontrol emosi negatif siswa terisolir
tersebut menjadi ke arah yang lebih positif. Sehingga ia mampu menjadi
pribadi yang mantap, unik, mandiri, terampil, dan diterima di lingkungan
sosialnya, serta dapat bersosialisasi dengan baik. Khususnya pada teman
sekelas dan seluruh warga yang ada di sekolahnya.
Dari pemaparan tersebut menjadi menarik bagi peneliti untuk
melakukan penelitian dengan judul Pendekatan Cognitive Behavior Therapy dalam Mengontrol Emosi Negatif Siswa Terisolir. Yang akan
dilakukan Studi Kasus Siswa X di SMP Negeri 1 Gedangan-Sidoarjo.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti dapat
merumuskan pokok permasalahan yaitu:
1. Bagaimana Kondisi Emosi Negatif Pada Siswa X yang Terisolir di
SMP Negeri 1 Gedangan-Sidoarjo?
2. Bagaimana Pelaksanaan Pendekatan Cognitive Behavior Therapy
dalam Mengontrol Emosi Negatif pada Siswa X yang Terisolir di SMP
10
3. Bagaimana Evaluasi dan Follow Up Pendekatan Cognitive Behavior
Therapy dalam Mengontrol Emosi Negatif Siswa X yang Terisolir di
SMP Negeri 1 Gedangan-Sidoarjo?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk Mengetahui Kondisi Emosi Negatif Pada Siswa X yang
Terisolir di SMP Negeri 1 Gedangan-Sidoarjo
2. Untuk Mengetahui Pelaksanaan Pendekatan Cognitive Behavior
Therapy dalam Mengontrol Emosi Negatif pada Siswa X yang
Terisolir di SMP Negeri 1 Gedangan-Sidoarjo
3. Untuk Mengetahui Evaluasi dan Follow Up Pendekatan Cognitive
Behavior Therapy dalam Mengontrol Emosi Negatif Siswa X yang
Terisolir di SMP Negeri 1 Gedangan-Sidoarjo
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari dilaksanakannya penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Harapan dari adanya penelitian ini adalah dapat menambah wawasan,
pengetahuan, dan masukan tentang treatment yang dilakukan melalui
11
Negatif siswa Terisolir di SMP Negeri 1 Gedangan-Sidoarjo, serta
dapat memberikan sumbangan konseptual bagi penelitian sejenis untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan Bimbingan
dan Konseling guna meningkatkan pelayanan Bimbingan dan
Konseling di lapangan serta dan mewarnai khazanah keilmuan di
bidang pendidikan. Sehingga, hasil dari penelitian dapat dijadikan
sumber bacaan bagi siapa saja yang peduli terhadap pendidikan. Selain
itu, penelitian ini juga dapat digunakan sebagai sumber referensi bagi
calon peneliti lainnya untuk melakukan penelitian yang relevan dengan
penelitian ini secara lebih mendalam.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini memiliki manfaat terhadap penyempurnaan pemberian
treatment yang dilakukan untuk membantu siswa bermasalah di SMP
Negeri 1 Gedangan-Sidoarjo sebagai berikut:
a. Membantu peneliti untuk mengetahui treatment yang dilakukan
melalui Pendekatan Cognitive Behavior Therapy dalam
Mengontrol Emosi Negatif siswa Terisolir di SMP Negeri 1
Gedangan-Sidoarjo dan memberikan gambaran tentang kondisi
dunia pembelajaran yang nyata di SMP N 1 Gedangan-Sidoarjo
12
b. Membantu guru BK untuk mengetahui perannya dalam mengelola
emosi negatif para siswa yang bermasalah, khususnya pada
masalah sosialnya.
c. Memberi masukan kepada sekolah/madrasah dan juga
lembaga-lembaga yang bertugas dalam peningkatan kualitas layanan serta
diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat digunakan sebagai
salah satu alternatif dalam meningkatkan kemampuan mengelola
emosi negatif saat mengalami masalah tertentu.
E. Definisi Operasional
Untuk menghindari salahnya persepsi dan memudahkan
pemahaman dalam skripsi ini, maka penulis perlu memberikan penegasan
terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam judul di atas, yaitu :
1. Pendekatan Cognitive Behavior Therapy
Cognitive Behavior Therapy adalah terapi yang dikembangkan oleh
Beck tahun 1976, yang konsep dasarnya meyakini bahwa pola
pemikiran manusia terbentuk melalui proses rangkaian
Stimulus-Kognisi-Respon (SKR), yang saling berkait dan membentuk semacam
jaringan dalam otak manusia, dimana proses kognitif akan menjadi
faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berpikir,
merasa dan bertindak.14
14 Kasandra Oemarjoedi, Pendekatan Cognitive Behavior dalam Psikoterapi, (Jakarta: Creativ
13
Gambar 1. Konsep Dasar SKR Cognitive Behavior Therapy
Pendekatan CBT memusatkan perhatian pada proses berpikir klien
yang berhubungan dengan gangguan emosional dan psikologi klien.
Pendekatan ini akan berupaya membantu klien mengubah
pikiran-pikiran atau pernyataan diri negatif dan keyakinan-keyakinan klien
yang irasional.
Tujuan terapi Cognitive Behavior adalah untuk mengajak klien
menentang pikiran dan emosi yang salah dan membelenggu dengan
menampilkan bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinan klien
tentang masalah yang dihadapi. Dalam proses terapi ini, beberapa ahli
Cognitive Behavior memiliki pendapat bahwa masa lalu tidak perlu
menjadi fokus penting dalam terapi, karenanya cognitive Behavior
lebih banyak bekerja pada status kognitif masa kini untuk dirubah dari
negatif menjadi positif. 15
15 Ibid, hlm 9
STIMULUS
KOGNISI EMOSI TINGKAH LAKU
RESPON
14
Selama terapi ini berlangsung klien berfokus pada ingatan
traumatik yang dialaminya, keyakinan dan emosi negatif yang
menyertainya serta sensasi tubuh yang mengganggu menjadi
keyakinan dan emosi yang positif. Perlahan lahan namun pasti, klien
akan mendapatkan perubahan persepsi dan konsep dirinya dalam
gambaran yang lebih positif.
Jadi dapat disimpulkan Pendekatan CBT (Cognitive Behavior
Therapy) adalah suatu proses pemberian bantuan kepada
seorang/konseli guna memperbaiki pola tingkah lakunya dan
digunakan untuk mengelola emosi negatif serta meningkatkan
motivasi belajar siswa.
2. Emosi Negatif Siswa Terisolir
Emosi adalah bentuk komunikasi yang dapat mempengaruhi orang
lain. Menurut franken emosi merupakan hasil interaksi antara faktor
subyektif (proses kognitif), faktor lingkungan (hasil belajar), dan
faktor biologik (proses hormonal). Dengan kata lain, emosi muncul
pada saat manusia berinteraksi dengan lingkungan dan merupakan
hasil upaya untuk beradaptasi dengan lingkungannya. 16
Emosi hakikatnya muncul sebagai sebagai bentuk pengalaman
afektif (senang/tak senang), merangsang individu untuk
membangkitkan penjelasan kognitif (menghubungkan sebab-sebab
dalam dirinya sendiri atau lingkungan), memicu variasi penyesuaian
16 Baihaqi, Psikiatri (Konsep dan Gangguan-gangguan), (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm
15
internal (misal: detak jantung makinkuat), serta mendatangkan tingkah
laku yang sering, tetapi tidak selalu, ekspresif (ketawa/menangis),
mengarahkan tujuan (membantu/menolak), dan adaptif (mengubah
perilaku atau sesuatu yang mengancam kehidupan individu).
Pada dasarnya, arah emosi dasar manusia dapat dibagi menjadi dua
yaitu emosi negatif dan emosi positif. Emosi negatif bersifat destruktif
(merusak), baik diri sendiri maupun orang lain. Menurut Goleman,
emosi negatif adalah perasaan individu yang dirasakan kurang
menyenangkan (ketakutan, kekhawatiran, kecemasan, kebencian,
kemarahan) yang berlebihan dapat membuat individu bertindak dan
berasumsi negatif pada dinya sendiri dan orang lain.17
Emosi negatif atau afek negatif adalah emosi yang berupa sedih,
kecewa, cemas, putus asa, gelisah, stress, depresi, tidak berdaya,
frustasi, marah, dendam, iri, dan masih banyak lagi. Dimana ketika
kita merasakan emosi negatif ini dampak yang kita rasakan adalah
semua menjadi negatif, tidak menyenagkan, dan menyusahkan.
Siswa terisolir, Istilah siswa menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia diartikan murid atau pelajar.18 Sedangkan menurut peter
Salim, siswa adalah orang yang menuntut ilmu di sekolah menengah
atau di tempat-tempat kursus.19 Sedangkan kata terisolir berasal dari
17Emosi Negatif dan Penyebabnya, tersedia di www.psychologymania.com/2012/06/emosi-negatif-dan-penyebabnya.html, diakses pada tanggal 13 Oktober 2015
18 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1989), hlm 849
16
kata isolasi yang artinya pemisahansuatu hal untuk memencilkan
individu dari individu lain, kata terisolir ini mempunyai arti terisolasi
atau terasingkan.20
Sedangkan pengertian siswa terisolir adalah seseorang yang
memiliki hubungan sosial yang sangat kurang atau sangat dangkal.
Bisa dikatakan seseorang yang tidak dipilih oleh seorang pun.21
Jadi siswa terisolir yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
siswa yang terasingkan karena menarik diri dari suatu kelompok atau
dikucilkan dari kelompok tersebut karena kurang nya pilihan dari
seseorang atau teman-temannya.
Kemudian emosi negatif siswa terisolir yang dimaksud ialah
bentuk-bentuk atau jenis-jenis emosi negatif yang dialami oleh siswa
yang terisolir, misalnya seperti siswa yang terasingkan karena menarik
diri dari suatu kelompok atau dikucilkan dari kelompok tersebut
karena kurang nya pilihan dari seseorang atau teman-temannya
menjadi anak yang nakal, jail, pemarah, acuh tak acuh, egois, suka
mengganggu teman-temannya, sulit bergaul, dan sebagainya.
F. Sistematika Pembahasan
Untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh dari deskripsi
penelitian ini, penulis membagi sistematika pembahasan skripsi menjadi
lima bab dengan rincian setiap bab sebagai berikut:
20 Ibid, hlm 72
17
Bab I : Pendahuluan yang meliputi tentang : latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi
operasional, dan sistematika pembahasan.
Bab II : Kajian teori yang meliputi tentang: A. Teori tentang Emosi
Negatif Siswa terisolir, terdiri dari: pengertian emosi negatif, ciri-ciri
emosi negatif, dan proses terjadinya emosi negatif, definisi siswa terisolir,
ciri-ciri siswa terisolir, faktor yang menyebabkan siswa terisolir, serta
akibat siswa terisolir. B. Pendekatan Cognitive Behavior Therapy, terdiri
dari: pengertian Cognitive Behavior Therapy, hakikat manusia menurut
Cognitive Behavior Therapy, perilaku bermasalah dalam Cognitive
Behavior Therapy, tujuan Cognitive Behavior Therapy, hubungan
konselor dan konseli dalam Cognitive Behavior Therapy, langkah-langkah
Cognitive Behavior Therapy, dan teknik-teknik dalam Cognitive Behavior
Therapy. C. Pendekatan Cognitive Behavior Therapy dalam Mengontrol
emosi negatif siswa terisolir.
Bab III : Metode penelitian, yang meliputi tentang: pendekatan dan
jenis penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data, terdiri
dari: observasi, interview atau wawancara, dokumentasi, teknik analisa
data, teknik pemeriksaan data, tahap penelitian, terdiri dari: tahap pra
penelitian, tahap penelitian, dan tahap penulisan laporan.
Bab IV : Laporan hasil penelitian, yang meliputi tentang: paparan
hasil penelitian dan pembahasan substansi atau inti dari laporan penelitian
18
Yang terdiri dari: Bagaimana Kondisi Emosi Negatif Pada Siswa X yang
Terisolir di SMP Negeri 1 Gedangan-Sidoarjo, Bagaimana Pelaksanaan
Pendekatan Cognitive Behavior Therapy dalam Mengontrol Emosi Negatif
pada Siswa X yang Terisolir di SMP Negeri 1 Gedangan-Sidoarjo,
Bagaimana Evaluasi dan Follow Up Pendekatan Cognitive Behavior
Therapy dalam Mengontrol Emosi Negatif Siswa X yang Terisolir di SMP
Negeri 1 Gedangan-Sidoarjo.
Bab V : Penutup, sebagai bagian terakhir bab ini berisi tentang
kesimpulan dari skripsi dan saran-saran dari penulis untuk
18 BAB II
KAJIAN TEORI
A. Teori Tentang Emosi Negatif Siswa Terisolir
1. Pengertian Emosi Negatif
Emosi adalah bentuk komunikasi yang dapat mempengaruhi
orang lain. Menurut franken emosi merupakan hasil interaksi antara faktor subyektif (proses kognitif), faktor lingkungan (hasil belajar), dan faktor biologik (proses hormonal). Dengan kata lain, emosi
muncul pada saat manusia berinteraksi dengan lingkungan dan merupakan hasil upaya untuk beradaptasi dengan lingkungannya. 1
Emosi hakikatnya muncul sebagai sebagai bentuk pengalaman afektif (senang/tak senang), merangsang individu untuk membangkitkan penjelasan kognitif (menghubungkan sebab-sebab
dalam dirinya sendiri atau lingkungan), memicu variasi penyesuaian internal (misal: detak jantung makinkuat), serta mendatangkan tingkah
laku yang sering, tetapi tidak selalu, ekspresif (ketawa/menangis), mengarahkan tujuan (membantu/menolak), dan adaptif (mengubah perilaku atau sesuatu yang mengancam kehidupan individu).
Pada dasarnya, arah emosi dasar manusia dapat dibagi menjadi dua yaitu emosi negatif dan emosi positif. Emosi negatif bersifat
destruktif (merusak), baik diri sendiri maupun orang lain. Menurut
19
Goleman, emosi negatif adalah perasaan individu yang dirasakan kurang menyenangkan (ketakutan, kekhawatiran, kecemasan, kebencian, kemarahan) yang berlebihan dapat membuat individu
bertindak dan berasumsi negatif pada dinya sendiri dan orang lain.2
Dimana ketika kita merasakan emosi negatif ini dampak yang kita
rasakan adalah semua menjadi negatif, tidak menyenagkan, dan menyusahkan.3
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa emosi negatif
adalah perasaan dan keadaan dalam diri seseorang yang dirasa tidak menyenangkan sehingga mempengaruhi pikiran dan perilaku individu
dalam berhubungan dengan orang lain.
2. Ciri-Ciri Emosi Negatif
Kondisi emosi negatif dijelaskan oleh Saanin (1976) dengan
ciri-ciri sebagai berikut:
a. Emosinya tidak dapat diprekdisikan (Unpredictable)
b. Tidak dapat atau sulit dikendalikan (Uncontrollable)
c. Sensitive berlebihan (Oversensitiveness)
d. Tidak ada ketetapan (Instability)
2 Emosi Negatif dan Penyebabnya, tersedia di
www.psychologymania.com/2012/06/emosi-negatif-dan-penyebabnya.html, diakses pada tanggal 13 Oktober 2015
20
e. Adanya ketidaktepatan dalam mempersepsi diri sendiri atau lingkungannya (Inadequate self and environment
perceptions)
Sedangkan menurut Helmi (2000) ada empat ciri-ciri reaksi emosi negatif dan sterss yang dialami oleh setiap orang. Yaitu reaksi
psikologis, fisiologis, proses berfikir (kognitif) dan tingkah laku, antara lain yaitu:4
a. Psikologis. Aspek ini biasanya lebih dikaitkan pada aspek emosi,
seperti mudah marah, sedih, egois, acuh tak acuh, dan mudah tersinggung atau sensitif
b. Fisiologis. Biasanya muncul dalam bentuk keluhan fisik, seperti
pusing, nyeri tengkuk, tekanan darah naik, nyeri lambung, gatal-gatal di kulit, ataupun rambut rontok
c. Proses berfikir (kognitif). Biasanya tampak pada gejala sulit berkonsentrasi, semangat belajar menurun, mudah lupa, ataupun sulit mengambil keputusan
d. Tingkah laku. Para remaja tampak pada perilaku-perilaku menyimpang seperti menghindar bertemu dengan temannya,
membolos saat sekolah, jail atau suka mengganggu merokok, menonton pornografi, tawuran antar pelajar, bahkan mabuk
ataupun ngepil.
21
3. Proses Terjadinya Emosi Negatif
Menurut pandangan teori kognitif, emosi lebih banyak ditentukan oleh hasil interpretasi kita terhadap sebuah peristiwa. Kita
bisa memandang dan menginterpretasikan sebuah peristiwa dalam persepsi atau penilaian negatif, tidak menyenangkan, menyengsarakan,
menjengkelkan, mengecewakan, atau sebaliknyadalam persepsi yang lebih positif seperti sebuah kewajaran, hal yang indah, sesuatu yang mengharukan, atau membahagiakan. Interpretasi yang kita buat atas
peristiwa akan mengkondisikan dan membentuk perubahan fisiologis kita secara internal. Ketika kita menilai sebuah peristiwa secara negatif
maka perubahan fisiologis kita pun lebih menjadi negatif begitupun sebaliknya. Berikut gamabar proses terjadinya emosi.5
Gambar 2. Proses terjadinya emosi (Adaptasi dari Greenberg & Watson, 2002)
22
Proses kemunculan emosi melibatkan faktor psikolgis maupun faktor fisiologis. Kebangkitan emosi pertama kali muncul akibat adanya stimulus atau sebuah peristiwa, yang bisa netral, positif
maupun negatif. Stimulus tersebut kemudian ditangkap oleh reseptor, melalui otak dapat diinterpretasikan kejadian tersebut sesuai dengan
kondisi pengalaman dan kebiasaan individu dalam mempersepsikan sebuah kejadian. Interpretasi yang diolah kemudian memunculkan perubahan secara internal dalam tubuh. Perubahan tersebut misalnya
napas tersengal, mata memerah, keluar air mata, dada menjadi sesak, perubahan raut wajah, intonasi suara, cara menatap, dan perubahan
tekanan darah.
Franken (1993) menjelaskan proses emosi negatif bekerja dalam tubuh dan fikiran seseorang melalui hukum-hukum emosi, diantaranya
yaitu:6
a. Hukum makna situasional (Law of situational meaning)
Maksudnya bahwa situasi harus sesuai dengan struktur kognitif, yang oleh orang tersebut akan diberikan emosi. Misalnya: jatuh cinta-romantis, kematian-sedih
b. Hukum kepedulian (Law of concern)
Emosi merupakan pengalaman subyektif yang muncul sebagai
respon terhadap peristiwa yang penting bagi tujuan, motivasi, dan kepedulian manusia. Misalnya: seseorang ingin menjadi dokter,
23
kalau berhasil akan muncul kebanggaan, tetapi kalau gagal akan muncul kemaluan bahkan bisa stress.
c. Hukum kebiasaan (The law of habituation)
Yaitu kecenderungan untuk melanjutkan kebiasaan-kebiasaan baik yang memuaskan atau yang sebaliknya. Misalnya: seseorang
puas berhasil mendaki Gunung Jayawijaya, kemudian ingin mendaki gunung lain yang lebih menantang.
d. Hukum pemeliharaan momentum emosional (The law of
conservation of emotional momentum)
Bahwa emosi dipelihara oleh peristiwa emosional yang luar biasa.
Misalnya: kalau seseorang ‘melihat’ air gemericikatau suara debur sungai, maka ia segera ‘teringat’ gelombang tsunami yang pernah menerjang keluarganya. Jadi: meliahat X membuat
teringat X (peristiwa tragis yang pernah dialaminya) e. Hukum beban paling terang (The law of lightest load)
Ketika seseorang mengalami emosi negatif, maka cenderung untuk mencari alternatif lain untuk menginterpretasikan peristiwa itu dalam rangka mereduksi emosinya. Misalnya: melakukan
penolakan atau penyangkalan, atau menghibur diri dengan harapan-harapan yang sifatnya khayal
24
Siswa terisolir, Istilah siswa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan murid atau pelajar.7 Sedangkan menurut peter
Salim, siswa adalah orang yang menuntut ilmu di sekolah menengah
atau di tempat-tempat kursus.8 Sedangkan kata terisolir berasal dari
kata isolasi yang artinya pemisahan suatu hal untuk memencilkan
individu dari individu lain, kata terisolir ini mempunyai arti terisolasi atau terasingkan.9
Sedangkan pengertian siswa terisolir adalah seseorang yang
memiliki hubungan sosial yang sangat kurang atau sangat dangkal. Bisa dikatakan seseorang yang tidak dipilih oleh seorang pun.10
Menurut Hurlock, siswa terisolir yakni siswa yang tidak
mempunyai sahabat diantara teman sebayanya atau sepermainannya. Terisolir yang diambil dari kata isolasi atau isolate ini dibagi menjadi
dua macam, yaitu voluntary isolate dan involuntary isolate. voluntary isolate adalah suatu perbuatan atau sikap menarik diri dari kelompok karena adanya kurang minat atau keinginan untuk menjadi anggota
suatu kelompok. Sedangkan involuntary isolate adalah sikap atau perbuatan menolak terhadap orang lain untuk masuk dalam
kelompoknya meskipun dia ingin menjadi anggota kelompok tersebut.
Involuntary yang subyektif beranggapan bahwa seorang siswa tidak
7 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm 849
8 Peter Salim, Kamus Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English Press, 1991), hlm 102 9 Ibid, hlm 72
25
dibutuhkan lagi oleh kelompoknya dan merasa terbuang, sedangkan involuntary yang obyektif sebaliknya dia benar-benar dihalangi dan
ditolak untuk masuk dalam kelompoknya.11
Menurut Andi Mappiare siswa terisolir adalah siswa yang jarang dipilih atau seringkali mendapat penolakan dari lingkungannya, salah
satunya adalah kemampuan daya pikirnya yang rendahatau bisa dikatakan bodoh.12 Kemudian pendapat lain mengemukakan bahwa
siswa terisolir ialah suatu sikap siswa yang tidak dapat menyerap dan
menerima norma-norma ke dalam kepribadiannya dan ia juga tidak mampu untuk berperilaku yang pantas atau menyesuaikan diri
menurut tuntutan lingkungan yang ada. 13
Jadi dapat disimpulkan bahwa siswa terisolir adalah siswa yang terasingkan karena menarik diri dari suatu kelompok atau dikucilkan
dari kelompok tersebut karena kurangnya pilihan dari seseorang atau teman-temannya, kurangnya minat untuk bergaul, dan sering
mendapat penolakan dari kelompoknya.
5. Ciri-Ciri Siswa Terisolir
Ada beberapa ciri-ciri siswa yang dikategorikan terisolir dari
lingkungan atau teman kelompoknya. Menurut Elizabeth B. Hurlock ciri-ciri siswa terisolir yakni:14
26
a. Penampilan diri yang kurang menarik b. Kurang sportif
c. Penampilan yang tidak sesuai dengan standar teman
d. Penampilan yang menonjolkan diri, menonjolkan diri, mengganggu orang lain, suka memerintah, tidak bekerjasama dan
kurang bijaksana
e. Mementingkan diri sendiri dan mudah marah
f. Status sosio ekonomi berada di bawah sosio ekonomi kelompok
g. Tempat yang terpencil dari kelompok
Jadi dapat disimpulkan bahwa anak atau siswa yang terisolir
memiliki ciri-ciri seperti minat yang rendah untuk bersosial, kurang bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya, melakukan kegiatan sendirian, tidak dapat menyerap norma-norma dari lingkungannya,
kemampuan daya pikir yang lemah atau rendah, tidak rapi, tidak aktif dalam urusan kelompok, tidak sabar, tidak jujur, tidak suka menolong,
dan tidak bertanggunugjawab.15
6. Faktor yang Menyebabkan Siswa Terisolir
Elizabeth B. Hurlock menyatakan keterkaitan dengan penerimaan dan penolakan sosial remaja, ada beberapa hal yang menyebabkan seorang remaja diterima atau ditolak dalam
15 Wartini Asmidir ilyas, Karakteristik Belajar Siswa Terisolir,
27
kelompoknya, adapun faktor-faktor yang menyebabkan ditolak dalam kelompoknya yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Kesan pertama yang kurang baik karena penampilan diri yang
kurang menarik atau sikap menjauhkan diri, yang mementingkan diri sendiri
b. Terkenal sebagai seorang yang tidak sportif
c. Penampilan yang tidak sesuai dengan standar kelompok dalam hal daya tarik fisik atau tentang kerapihan
d. Kurangnya kematangan, terutama kelihatan dalam hal pengendalian emosi, ketenangan, kepercayaan diri, dan
kebijaksanaan
e. Sifat-sifat kepribadian yang mengganggu orang lain seperti mementingkan diri sendiri, keras kepala, gelisah, dan mudah
marah
f. Status sosio ekonomi berada di bawah status sosio ekonomis
kelompok dan hubungan yang buruk dengan anggota-anggota keluarga
g. Tempat tinggal yang terpencil dari kelompok atau
ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan kelompok karena tanggung jawab keluarga atau karena bekerja sambilan
Selain beberapa faktor di atas, Mappiare mengemukakan
28
a. Penampilan dan perbuatan b. Kemampuan pikiran c. Sikap dan sifat
d. Faktor rumah yang terlalu jauh dari kelompoknya16
7. Akibat Siswa Terisolir
Adanya suatu sebab, maka akan menimbulkan akibat. Lantas yang menjadi akibat dari siswa terisolir ialah siswa akan mengalami tekanan-tekanan baik itu dari luar maupun dari dalam sendiri, dan ini
akan membawa akibat pada ketidak baikan seseorang. Gunarsah mengemukakan masalah siswa yang terisolir itu disebabkan ketidakmampuan individu dalam memahami siapa dirinya.17
Sedangkan Hakim mengatakan bahwa siswa terisolir itu karena ketidakmampuan siswa dalam menyesuaikan diri atau berinteraksi
dengan lingkungan.18
Siswa yang terisolasi secara sosial akan menunjukkan gejala-gejala atau akibat yang tidak sehat. Gejala ini merupakan suatu
penyakit sosial yang bisa disebut rasa malu. Akibat jangka panjang dari malu yang berlebihan ini dapat memunculkan penyakit sosial
seperti kesepian, rendah diri, menarik diri, kecewa, minder atau kurang percaya diri, merasa bersalah, merasa tidak sempurna atau tidak
16 Mappiare, Andi, Psikologi Remaja, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), hlm 172
17 Gunarsah, Singgih, Konseling dan Psikoterapi, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2003), hlm 215
29
berdaya, penilaian sosial yang kurang baik, bahkan dikatakan sebagai individu yang tidak ramah.19
Selain itu, ada beberapa akibat lain yang terjadi pada siswa
terisolir, yakni sebagai berikut:
a. Akan merasa kesepian karena kebutuhan sosial mereka tidak
terpenuhi
b. Tidak bahagia dan tidak aman
c. Menimbulkan kepribadian menyimpang
d. Kurang pengalaman belajar bersosialisasi
e. Merasa sedih karena tidak merasakan kegembiraan teman sebaya
f. Memperkecil peluang keterampilan sosialnya
g. Hidup dalam ketidakpastian, merasa cemas, takut dan sangat sensitif
h. Sering melakukan penyesalan diri secara berlebihan20
B. Teori Tentang Pendekatan Cognitive Behavior Therapy
1. Pengertian Cognitive Behavior Therapy
Cognitive Behavior Therapy adalah terapi yang dikembangkan oleh Beck tahun 1976, yang konsep dasarnya meyakini bahwa pola
pemikiran manusia terbentuk melalui proses rangkaian Stimulus-Kognisi-Respon (SKR), yang saling berkait dan membentuk semacam
jaringan dalam otak manusia, dimana proses kognitif akan menjadi
30
faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berpikir, merasa dan bertindak.21
Aaron T. Beck (1964) mendefinisikan CBT sebagai pendekatan
konseling yang dirancang untuk menyelesaikan permasalahan konseli pada saat ini dengan cara melakukan restrukturisasi kognitif dan
perilaku yang menyimpang. Pendekatan CBT didasarkan pada formulasi kognitif, keyakinan dan strategi perilaku yang mengganggu. Proses konseling didasarkan pada konseptualisasi atau pemahaman
konseli atas keyakinan khusus dan pola perilaku konseli. Harapan dari CBT yaitu munculnya restrukturisasi kognitif yang menyimpang dan
sistem kepercayaan untuk membawa perubahan emosi dan perilaku ke arah yang lebih baik. 22
Pendekatan CBT memusatkan perhatian pada proses berpikir
klien yang berhubungan dengan kesulitan emosional dan psikologi klien. Pendekatan ini akan berupaya membantu klien mengubah pikiran-pikiran atau pernyataan diri negatif, keyakinan-keyakinan dan
sikap klien yang tidak rasional. Jadi fokus teori ini adalah mengganti cara-cara berfikir dan sikap yang tidak logis menjadi logis (Cormier,
1991). Meichenbaun (1979) menyatakan pendekatan CBT ialah
21 Kasandra Oemarjoedi, Pendekatan Cognitive Behavior dalam Psikoterapi, (Jakarta: Creativ Media, 2003), hlm 6
22 Idat Muqodas, Cognitive Behavior Therapy, tersedia di
31
terapeutik yang memodifikasi pikiran, asumsi, dan sikap yang ada pada individu.23
Terapi perilaku kognitif (CBT-Cognitive Behavior Therapy)
merupakan gabungan dua pendekatan dalam psikoterapi yaitu
Cognitive Therapy dan Behavior Therapy.24 Terapi kognitif memfokuskan pada pikiran, persepsi, penilaian, dan pernyataan diri. Terapi kognitif memfasilitasi individu belajar mengenali dan mengubah kesalahan. Terapi kognitif tidak hanya berkaitan dengan
positive thinking, tetapi berkaitan pula dengan happy thinking.
Sedangkan terapi behavior atau terapi tingkah laku membantu
membangun hubungan antara situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan. Individu belajar mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, berpikir
lebih jelas dan membantu membuat keputusan yang tepat.
Pikiran negatif, perilaku negatif, dan emosi negatif dapat membawa individu pada permasalahan psikologis yang lebih serius,
seperti depresi, trauma, dan gangguan kecemasan. Perasaan tidak nyaman atau emosi negatif pada dasarnya diciptakan oleh pikiran dan
perilaku yang disfungsional. Oleh sebab itu dalam konseling CBT ini,
23 Namora Lumongga, Depresi Tinjauan Psikologis, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm 142
32
pikiran dan perilaku yang disfungsional harus direkonstruksi sehingga dapat kembali berfumgsi secara normal.
Berdasarkan pemaparan definisi CBT diatas, dapat disimpulkan
bahwa pendekatan terapi kognitif perilaku atau (CBT-Cognitive Behavior Therapy) ialah pendekatan konseling yang menitikberatkan
pada restrukturisasi atau pembenahan kognitif yang menyimpang akibat kejadian yang merugikan dirinya baik secara fisik maupun psikis. CBT merupakan konseling yang dilakukan untuk
meningkatkan dan merawat kesehatan mental. Konseling ini akan diarahkan kepada modifikasi fungsi berfikir, merasa, dan bertindak,
dan memutuskan kembali. Sedangkan pendekatan pada aspek behavior diarahkan untuk membangun hubungan yang baik antara situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permesalahan.
Tujuan dari CBT yaitu mengajak individu untuk belajar mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik,
berfikir lebih jelas dan membantu membuat keputusan yang tepat. Hingga pada akhirnya dengan CBT diharapkan dapat membantu
konseli dalam menyelaraskan berpikir, merasa dan bertindak.
2. Hakikat Manusia Menurut Cognitive Behavior Therapy
Teori Cognitive Behavior Therapy pada dasarnya meyakini bahwa manusia memiliki pola pemikiran yang terbentuk melalui
33
dimana proses kognitif akan menjadi faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berfikir, merasa dan bertindak.25
Oemarjoedi mengungkapkan pandangan tentang manusia
menurut Cognitive Behavior Therapy, diantaranya yakni:26
a. Manusia memiliki potensi untuk menyerap pemikiran yang
rasional dan irasional, dimana pemikiran irasional dapat menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku
b. Manusia menginterpretasikan setiap kejadian yang dilaluinya,
dimana nantinya akan berpengaruh terhadap kondisi reaksi emosional dan tingkah laku yang diperbuatnya
c. Manusia melakukan dialog internal atau Self Talking dalam dirinya untuk menghasilkan persepsi, penilaian terhadap- setiap sederetan peristiwa yang dilaluinya dalam dunia ini. Sehingga
apapun tanggapan dari pikiran tersebut tergantung dari seberapa baik individu tersebut menilai sederetan peristiwa yang dialaminya, baik penilaian positif ataupun negatif.
3. Perilaku Bermasalah dalam Cognitive Behavior Therapy
Penilaian-penilaian yang terjadi dalam pikiran individu, akan
diolah dan sangat ditentukan oleh seberapa baik pengamatan individu tersebut pada suatu situasi. Tidak jarang penilaian tersebut mengalami
kekacauan kognitif atau disebut disorsi kognitif. Beck meyakinkan bahwa konseli dengan gangguan emosi cenderung memiliki kesulitan
25 Kasandra Oemarjoedi, Pendekatan Cognitive Behavior dalam Psikoterapi, (Jakarta: Creativ Media, 2003), hlm 6
34
berfikir logis yang menimbulkan gangguan pada kapasitas pemahamannya. Yang pada akhirnya akan mengalami disorsi kognitif,
antara lain:27
a. Mudah membuat kesimpulan tanpa data yang mendukung,
cenderung berfikir secara ‘catastrophic’ atau berfikir
seburuk-buruknya. Contoh: seorang pria yang mengalami keagalan dalam hubungan perkawinannya menjadi enggan untuk membangun hubungan baru karena yakin akan gagal lagi
b. Memiliki pemahaman yang selektif, membatasi kesimpulan berdasarkan hal-hal yang terbatas. Contoh: seorang wanita
menentukan kriteria yang terlalu tinggi untuk memilih calon suami, berakibat kepada sulitnya kriteria tersebut terpenuhi, lalu menyimpulkan bahwa ia tidak layak untuk bersuami
c. Medah melakukan generalisasi, sebagai proses meyakini sebuah kejadian untu diterapkan secara tidak tepat pada situasi lain.
Contoh: pengalaman anak yang memiliki ayah berselingkuh menumbuhkan keyakinan bahwa semua laki-laki suka berselingkuh dan tidak setia
d. Kecenderungan memperbesar dan memperkecil masalah,
membuat konseli tidak mampu menilai masalah secara objektif.
Contoh: kegagalan kecil dianggap sebagai akhir dari segala-galanya
35
e. Personalisasi, memuat konseli cenderung menghubungkan antara kejadian eksternal dengan diri sendiri dan menyalahkan diri sendiri. Contoh: ketika konseli tidak datang kembali untuk sesi
konselingnya, konselor meyakini bahwa hal itu disebabkan karena kegagalan dalam memberikan konseling
f. Pemberian label atau kesalahan memberi label, menentukan identitas diri berdasarkan kegagalan atau kesalahan. Contoh: kegagalan untuk diterima bekerja membuat seseorang dengan
distorsi kognitif menilai bahwa dirinya tidak berharga
g. Pola pemikiran yang terpolarisasi, kecenderungan untuk berfikir
dan menginterpretasikan segala sesuatu dalam bentuk ‘all or nothing’ (semua atau tidak sama sekali).
Menurut Beck, yang menjadi dasar pemikiran dari konseling
CBT atau Cognitive Behavior Therapy bahwa:28
a. Apabila individu sedang mengalami depresi, kecemasan atau
emosi negatif lainnya, maka individu tersebut akan berfikir secara tidak logis atau negatif dan secara tidak sadar akan melakukan tindakan yang menyalahkan diri sendiri.
b. Apabila individu dapat melakukan sesuatu dengan sedikit usaha, individu akan dapat melatih diri untuk meluruskan pola pikiran
individu tersebut yang terputar terbalik
36
c. Apabila individu dapat menghilangkan gejala rasa sakit, individu akan bahagia dan produktif kembali serta mulai menghargai diri sendiri
d. Sasaran untuk menghilangkan gangguan emosi dapat dicapai dalam waktu relatif singkat dengan menggunakan metode-metode
yang langsung pada tujuan
4. Tujuan Cognitive Behavior Therapy
Tujuan Cognitive Behavior Therapy adalah untuk mengajak
konseli menentang pikiran dan emosi yang salah dengan menampilkan bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinan mereka tentang masalah yang dihadapi. 29 prinsip dasar terapi ini menekankan kepada
konseli dalam menemukan diri sendiri dan merubah pola pikirnya demi memperoleh cara pandang yang berbeda terhadap diri dan
sekelilingnya.
Dalam proses konseling, beberapa ahli CBT berasumsi bahwa masa lalu tidak perlu menjadi fokus penting dalam konseling. Oleh
sebab itu CBT dalam pelaksanaannya lebih menekankan kepada masa sekarang daripada masa lalu, akan tetapi bukan berarti mengabaikan
masa lalu. CBT tetap menghargai masa lalu sebagai bagian dari hidup konseli dan mencoba membuat konseli menerima masa lalunya untuk tetap melakukan perubahan pada pola pikir masa sekarang untuk
mencapai perubahan di waktu yang akan datang. Oleh sebab itu, CBT
37
lebih banyak bekerja pada status kognitif saat ini untuk dirubah dari status kognitif negatif menjadi positif.
5. Hubungan Konselor dan Konseli dalam Cognitive Behavior
Therapy
Sebelum berupaya merubah keyakinan dan tingkah laku konseli,
seorang konselor perlu memahami dan menghargai dunia mereka secara mendalam. Beberapa konseli mungkin akan bersikap tertutup dan waspada terhadap usaha konselor dalam mengeksporasi dirinya,
namun dengan dasar teori Psikologi Belajar dan Psikologi Ingatan, konseli dapat diajak untuk memahami bahwa perubahan perilaku lah yang hanya dapat memberikan hasil efektif dalam mengatasi masalah
yang dialaminya, apabila konseli mau mengeksplorasi pikiran dan kepercayaan negatifnya, sehingga seluruh proses konseling Cognitive
Behavior Therapy menjadi lancar adanya.
Hubungan antara konselor dan konseli dalam proses konseling
Cognitive Behavior Therapy yang harus dibina diantaranya yakni: 30
a. Konselor diharapkan mampu berfungsi sebagai guru dan konseli sebgai murid, dimana seorang konselor harus bersikap direktif
dan mengajarkan konseli mekanisme SKR (Stimulus Kognisi Respon) yang baru untuk merubah struktur kognitifnya
38
b. Konselor juga diharapkan mampu menolong klien dalam menentukan keyakinan yang salah dan membuka alternatif lain untuk melanjutkan kehidupannya
c. Konselor mampu mengolah jaringan SKR negatif yang ada pada konseli menjadi jaringan SKR yang positif dengan dimodifikasi
perilaku secara bertahap, dimana konselor nantinya akan menggunakan variasi teknik-teknik terapi yang sesuai dengan kebutuhan konseli
d. Konselor diharapkan mampu memberikan dukungan dan semangat pada konseli untuk melanjutkan mekanisme
pembentukan SKR positif dalam proses penyelesaian masalahnya yang lain dengan mandiri dan menjadikannya keterampilan baru
bagi konseli agar tidak selalu tergantung pada konselornya.
6. Langkah-Langkah Cognitive Behavior Therapy
Pada umumnya Terapi Cognitive Behavior memerlukan sedikitnya 12 sessi, namun penerapannya di Indonesia seringkali
mengalami hambatan, sehingga memerlukan penyesuaian yang lebih fleksibel. Efisiensi proses terapi dilaksanakan menjadi 5 sessi dan
diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih jelas dan mengundang kreativitas yang lebih tinggi. Berikut penjelasannya:31
Sessi 1: Assesmen dan diagnosa awal
39
Dalam sessi ini konselor diharapkan mampu melakukan assesmen, observasi, anamnesa, dan analisa gejala untuk mendapatkan diagnosa awal mengenai gangguan yang terjadi,
memberikan dukungan dan semangat kepada konseli untuk melakukan perubahan, memperoleh komitmen dari konseli untuk
melakukan konseling terapi dan pemecahan masalah terhadap gangguan yang dialami, menjelaskan kepada konseli formulasi masalah dan situasi kondisi yang dihadapi
Sessi 2: Mencari emosi negatif, pikiran otomatis dan keyakinan utama yang berhubungan dengan gangguan
Dalam sessi ini konselor diharapkan mampu memberikan bukti bagaimana sistem keyakinan dan pikiran otomatis sangat erat hubungannya dengan emosi dan tingkah laku, dengan cara
menolak pikiran negatif secara halus dan memberikan pikiran positif sebagai alternatif untuk dibuktikan bersama, konselor juga
diharapkan memperoleh komitmen konseli untuk melakukan modifikasi secara menyeluruh, mulai dari pikiran, perasaan sampai perbuatan dari negatif menjadi positif.
Sessi 3: Menyusun rencana intervensi dengan memberikan konsekuensi positif-konsekuensi negatif kepada konseli dan
kepada ‘significant persons’
40
kemajuan proses belajarnya. Keterlibatan ‘significant persons’
untuk turut memberi dan menerima konsekuensi yang telah disepakati akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan terapi.
Penggunaan konsekuensi positif dan negatif ini pada tahap selanjutnya bahkan dianggap sebagai faktor utama dalam
kemapuan konseli mengatasi replace (kekambuhan).
Sessi 4: Formulasi stautus, fokus terapi, intervensi tingkah laku
lanjutan
Pada sessi ini, formulasi status yang dilakukan adalah lebih kepada kemajuan dan perkembangan terapi. Konselor diharapkan
dapat memberikan feed back atas hasil atas kemajuan dan perkembangan terapi, mengingatkan fokus terapi, dan mengevaluasi pelaksanaan intervensi tingkah laku dengan
konsekuensi positif negatif yang telah disepakati. Beberapa perubahan mungkin dilakukan untuk memberikan efek yang lebih
maksimal. Dalam sessi ini konselor diharapkan mampu memberikan dukungan dan semangat kepada kemajuan yang dicapai konseli, serta keyakinan untuk tetap fokus kepada
masalah utama.
Sessi 5: Pencegahan relapse
41
melakukan ketrampilan lain dengan teknik yang ada dalam CBT untuk mencegah relapse (kembalinya gejala gangguan). Pengetahuan umum tentang istilah relapse perlu diperjelas oleh
konselor di awal sessi untuk meyakinkan agar konseli memahami artinya dan mampu memilih tindakan yang harus dilakukan.
Dalam sessi ini, konselor diharapkan mampu memperoleh: komitmen konseli untuk melanjutkan terapi dalam sessi yang lebih jarang dan melakukan metode ‘self help’ secara
berkesinambungan, komitmen konseli untuk secara aktif membentuk pikiran-perasaan-perbuatan positif dalam setiap
masalah yang dihadapi.
7. Teknik-Teknik dalam Cognitive Behavior Therapy
Terapi Cognitive Behavior harus memberikan teknik-teknik
yang praktis dan bervariasi sesuai kebutuhan konseli untuk memperbaiki pola pikir dan perilaku negatifnya. Konselor harus mencoba untuk memberi semangat konseli dalam mencari pemikiran
yang lebih positif dan rasional. pertanyaan seperti “Apa?, Mengapa
tidak?, Mengapa begitu?” harus diperkaya dan dimodifikasi seperti “Mengapa tidak seperti ini?, Maukah anda mencoba untuk berangkat dari pemikiran yang berbeda, misalnya...?”. konselor diharapkan mapu memberikan dukungan pada konseli untuk tertarik agar
42
penyerangan terhadap sistem keyakinan klien harus ditunjukkan pada pola pemikiran negatifnya.
Teknik-teknik yang digunakan dalam pelaksanaan Terapi
Cognitive Behavior menurut Beck adalah sebagai berikut:32
a. Jadwal aktifitas harian. Teknik ini menuntut seorang konseli
membuat dan menyusun jadwal aktifitas harian yang dilakukannya setiap hari sehingga memungkinkan konseli untuk fokus kepada rencana-rencana yang akan dilakukannya setiap
hari. Dengan begitu dimungkinkan akan mengurangi kecenderungan konseli selalu diserang oleh pemikiran dan
keyakinan negatif yang timbul, selain itu konseli juga mencatat keberhasilan yang diperolehnya yang nantinya dapat meningkatkan kesadaran terhadap pengalaman positif yang
dialaminya
b. Teknik Home Work. Sejumlah tugas rumah harus dibuat tiap
minggu untuk membantah dan mengurangi gejala emosi negatifnya. Konseli mengidentifikasi situasi-situasi dan pikiran-pikiran dengan memantau dan mencatat di luar konseling dalam
bentuk tugas rumah. Dengan menggunakan data konseli, konselor dan konseli dapat bekerjasama untuk menentukan manakah
diantara itu terdapat situasi-situasi dan pikiran-pikiran negatif,
43
kemudian dimodifikasi, diolah dan dirubah menjadi yang lebih positif.
c. Teknik Assertive Trainning. Latihan assertive adalah latihan
keterampilan sosial yang tergolong populer di terapi tingkah laku. Yang mana latihan asertif ini akan membentuk perilaku dari
pola-pola yang dipelajari oleh konseli di lingkungan sebagai reaksi terhadap situasi sosial dalam kehidupannya. Latihan ini bertujuan untuk melihat perilaku penyesuaian sosial melalui ekspresi diri
dari perasaan, sikap, harapan, pendapat, dan hak nya.
Selain teknik-teknik tersebut, Safaria dan Saputra (2007)
menjelaskan beberapa teknik Terapi Cognitive Behavior yang dapat di terapkan dalam proses konseling, diantaranya:33
a. Teknik pencatatan pikiran negatif. Pelaksanaan pencatatan
pemikiran negatif digunakan untuk melatih diri sendiri dalam mengenali dan mencatat pikiran-pikiran yang sifatnya mencela atau mengkritik diri sendiri, pada saat itu, melintas di benak
konseli sendiri. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut: Pertama, tuliskan secara ringkas setiap kejadian yang
menimbulkan emosi negatif. Kedua, tentukan jenis emosi negatif yang sedang dirasakan, kemudian tentukan kadar emosinya dari 1-100%. Ketiga, tuliskan pikiran-pikiran negatif yang muncul saat
itu, kemudian identifikasi distorsi kognitif yang hadir saat itu
44
sesuai jenis-jenis distorsi kognitif. Keempat, tuliskan tanggapan rasional terhadap pikiran-pikiran negatif yang ada dengan jujur. Kelima, tentukan hasil akhir emosi secara berurutan, kadarnya
0-100%.
b. Teknik pembuatan kesenangan. Teknik ini bertujuan agar dapat
merangkai kegiatan konseli, sehingga terhindar dari perilaku menyimpang akibat dari emosi negatif. Langkah-langkahnya yakni: Pertama, tuliskan dan jadwalkan sejumlah kegiatan yang
memungkinkan terjadinya kepuasan dan kesenangan pribadi pada pagi hari. Kedua, lakukanlah sejumlah kegiatan tersebut
diantaranya sendirian dan sejumlah lainnya dengan orang lain, serta catatlah dengan siapa konseli akan melakukan kegiatan tersebut. Ketiga, prediksikan seberapa memuaskan kegiatan
tersebut antara 0-100%, lalu lakukan, dan terakhir, tuliskan seberapa menyenangkannya masing-msing kegiatan tadi di akhir
hari setelah terlaksana semua
c. Teknik menvisualisasikan keberhasilan. Teknik ini adalah dengan membuat daftar keuntungan dari suatu tindakan produktif
yang selama ini dilakukan, seperti mengerjakan tugas sekolah yang begitu berat, lingkungan sekolah yang membosankan, dan
45
banyak teman adalah hal yang menyenangkan, mempunyai banyak teman dapat bermain dan bercanda gurau bersama, disenangi banyak teman menjadi terasa tenang dan bahagia
karena banyak yang sayang dan peduli”. Kedua, setiap malam sebelum tidur konseli diharapkan mengkhayalkan atas apa yang
telah dicatat dan digambarkan keberhasilannya tadi jika memili banyak teman, dalam keadaan tenang dan rileks. Ketiga, membuat sugesti positif di dalam diri dan yakin akan berhasil untuk
merealisasikan gambaran tersebut dalam kehidupan konseli yang sesungguhnya.
d. Teknik Self Control and Self Management. Teknik kontrol diri dan manajemen diri ini merupakan dua gabungan teknik yang saling berkaitan dan telah banyak dilakukan oleh para ahli.
Teknik ini terdiri atas pencatatan diri, evaluasi diri, dan pengukuhan diri. Pencatatan diri ialah pencatatan setiap perilaku
positif maupun negatif yang terjadi setiap harinya untuk membuat konseli sadar dengan perilakunya sendiri. Evaluasi diri ialah pemberian nilai terhadap diri sendiri dengan menggunakan skor
antara 50-100, yang berguna untuk membandingkan perilaku konseli pada hari kemarin dan hari sekarang serta memberi