Aspek Pemberdayaan Perempuan
Dibalik Lembaga Kredit Mikro
M. Firdaus dan Titik Hartini
1Pendahuluan
Banyak alasan yang bisa dikemukakan mengapa Lembaga Keuangan Mikro (LKM) bisa eksis sebagai sumber
NHXDQJDQ ³DOWHUQDWLI´ GL GHVD-desa belakangan ini. Alasan ini biasanya hampir sama ditemui dari beberapa
lembaga non-bank atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mempunyai kegiatan tersebut. LKM
alternatif, biasanya muncul akibat dari ketidakmampuan lembaga formal seperti bank melayani nasabah yang
PHPSXQ\DL VSHVLILNDVL WHUWHQWX 6DODK VDWX FRQWRKQ\D DGDODK NHEXWXKDQ SLQMDPDQ ³
lekas saji
´ EDJL SHWDQL GL
pedesaan untuk membeli bibit saat waktu tanam tiba, saat pemberian pupuk, serta saat panen; prosedur
peminjaman ke bank yang berbelit seperti terjadi pada Perempuan Usaha Kecil-mikro (PUK) yang harus
menyertakan izin suami bila mengajukan peminjaman kredit ke bank. Padahal PUK biasanya berperan besar
GDODP XVDKD 0HQXUXW GDWD %36 \DQJ WHUWXDQJ GDODP ³
Indikator Sosial Wanita Indonesia 1997
´ GLVHbutkan
EDKZDSHQGXGXNSHUHPSXDQ\DQJEHNHUMDGLGHVD\DQJWHUPDVXNGDODPSHNHUMDDQ³XWDPD´VHEDQ\DN
dan laki-laki yang bekerja berjumlah 61,43%
2.
Dalam konteks itu, bank akan menyerah mengurusi nasabah-QDVDEDK³XQLN´VHSHUWLLWXNDUHQDVHFDUDHNRQRPL
biayanya tinggi dan memerlukan banyak tenaga lapang yang harus menagih terus-menerus kepada nasabah
yang jumlDKQ\D SXOXKDQ EDKNDQ ULEXDQ $NLEDWQ\D QDVDEDK ³XQLN´ WHUVHEXW DNDQ PHQFDUL VXPEHU NHXDQJDQ
yang cepat dan tidak berbelik-belit. Para nasabah tidak mempersoalkan tingginya tingkat suku bunga asal
pinjamannya lekas dikucurkan dan gampang didapat. Peranan ini biasanya ditempati para tengkulak. Untuk
menanggulangi posisi tengkulak yang memberi bunga sangat tinggi, LKM kemudian menjadi sumber keuangan
DOWHUQDWLI/.0EHUIXQJVLVHEDJDLOHPEDJDSHQDPSXQJGDQSHQ\DOXUNDSLWDOVHEDJDL³
akselator
´SHPEDQJXQDQ
pada
ODSLVDQ GHVD VHUWD VHEDJDL ³
center of excellence, learning, and Practice
´ XQWXN ODSLVDQ GHVD \DQJ
menyangkut dua hal pokok yaitu, kewirausahaan dan manajemen
3.
.UHGLW0LNUR.0´SLQWXµ3HPEHUGD\DDQ
1 M. Firdaus, Divisi Program Sekretariat ASPPUK dan Titik Hartini, Direktur Eksekutif Nasional ASPPUK.
2 /LKDW³Indikator Sosial Wanita Indonesia´\DQJGLNHOXDUNDQROHK%36'DODPFDWDWDQQ\DGLVHEXWkan bahwa perempuan di
GHVDVHEDQ\DNEHNHUMDGLVHNWRU\DQJGLNDWHJRULNDQSHNHUMDDQ³primer´XWDPDGDULWLJDODSDQJDQSHNHUMDDQ\DQJDGDGL
pedesaan (dua lainnya sekunder dan tersier). Sedangkan laki-laki yang bekerja di desa untuk pekerjaan yang VLIDWQ\D ³primer´
sebanyak 61,43%.
KM yang dikelola Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK) juga mengambil peran seperti
disebutkan di atas. ASPPUK, dulunya YASPPUK, adalah lembaga jaringan beranggotakan 53 LSM yang
tersebar di 22 propinsi di Indonesia. LKM, dikenal ASPPUK sebagai Program KM, yang dijalankan ASPPUK
secara jaringan baru berjalan dari tahun 1998. Namun, secara internal di masing-masing LSM anggotanya,
program kredit mikro ini sudah berjalan bertahun-tahun. LKM ini dibangun untuk memenuhi misi bersama
anggota jaringan, yaitu pemberdayaan perempuan melalui pengembangan usaha kecil. Dalam pandangan
ASPPUK, untuk memberdayakan PUK diperlukan kegiatan yang dapat memenuhi kebutuhan praktis dan
strategis mereka
4. Konkritnya, ASPPUK melakukan kegiatan
revolving fund
(RF) melalui Kelompok Perempuan
usaha Kecil (KPUK). Pinjaman tersebut dapat digunakan untuk usaha dan pemenuhan kebutuhan perempuan
lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan pemilikan aset produktif.
Pilihan sasaran terhadap PUK dilandasi pemikiran bahwa pertama, penduduk Indonesia sebagian besar tinggal
di pedesaan dan sebanyak 50,23% adalah perempuan. Secara kultural perempuan memegang peranan penting,
baik di keluarga maupun di masyarakat. Perempuan banyak terlibat dalam aktivitas ekonomi seperti warungan,
kerajinan, perdagangan dll. Mayoritas dari mereka mempunyai usaha dengan skala yang sangat kecil. Sebagai
anggota keluarga, perempuan menjadi pengatur keuangan keluarga, pendidik anak, sekaligus pencari nafkah
bersama-sama suaminya. Gambaran di atas diugkapkan dalam data statistik yang dikeluarkan oleh BPS tahun
1997 yang memperlihatkan bahwa di sektor lapangan pekerjaan utama (primer), di pedesaan, keterlibatan
perempuan tidak kalah besarnya dengan laki-laki
5. Jumlahnya mungkin lebih besar bila dikaitkan dengan kondisi
krisis yang menempa Indonesia.
Kedua
, dari hasil identifikasi sementara ASPPUK terhadap dampingan LSM anggota yang tersebar di 22
propinsi, terungkap bahwa kendala paling utama dihadapi oleh usaha kecil-mikro adalah permodalan. Hasil
survey usaha kecil (industri skala kecil dan industri rumah tangga) Januari 1992, menunjukkan bahwa secara
terinci kendala usaha kecil-mikro adalah: modal (35,1%), pemasaran (25,9%), persaingan (16,1%), keahlian
dalam tehnik produksi (3,4%), dan keahlian pengelolaan (3,4%). Data survey tersebut belum mencakup kendala
khas perempuan yang berkaitan dengan perannya dihadapan laki-laki (persoalan gender). Secara spesifik,
kendala-kendala yang dihadapi PUK, di antaranya adalah: 1) lokasi kelompok yang sangat jauh dari lembaga
formal; 2) kegiatan usaha yang masih kecil, sehingga dana tambahan yang dibutuhkan juga sangat kecil dan
tidak akan dilayani lembaga formal karena tidak efesien; 3) administrasi keuangan di KPUK masih belum dikelola
dengan baik, sehingga tidak memenuhi standar pembukuan yang disyaratkan lembaga keuangan formal; dan 5)
keterbatasan pemilikan asset yang bisa dijadikan jaminan kredit di lembaga formal.
Program KM yang sudah berjalan empat tahun ini awalnya mempunyai dua tujuan utama.
Pertama
, menguatkan
LSM anggota dalam rangka memfasilitasi kredit mikro pada KPUK yang didampingi yang memerlukan modal di
luar modal swadayanya sendiri, namun belum dapat berhubungan dengan lembaga keuangan formal (bank).
Kedua
, pemenuhan kebutuhan modal dan kebutuhan-kebutuhan spesifik perempuan seperti pendidikan,
perumahan, kesehatan dalam rangka peningkatan kondisi dan posisi PUK. Penerima kredit adalah PUK, yang
menjadi anggota KPUK, dengan kriteria menjadi dampingan LSM anggota, telah memiliki pengurus, dan
mempunyai jadwal pertemuan rutin. Selain itu, PUK harus menerapkan sistem pembukuan yang memadai,
peraturan kelompok secara tertulis, telah melakukan pemupukan modal swadaya, serta menganut sistem
tanggung renteng
.
[image:5.612.148.434.334.599.2]Program KM ASPPUK terdiri dari dua jenis, yaitu kredit usaha untuk pengembangan usaha yang sudah ada dan
pembetukan usaha baru serta kredit kebutuhan perempuan untuk pendidikan (khususnya untuk anak dan
perempuan), kesehatan, perumahan dan pemilikan aset produktif. Secara singkat dibawah ini bagan skema
kredit ASPPUK (gambar 1) dan skema pengajuan KM ASPPUK (gambar 2).
Gambar 1.
Sekretariat
ASPPUK
LSM anggota
KPUK
PUK PUK PUK
Gambar 2.
Kredit diberikan kepada KPUK setelah melewati beberapa tahap.
Pertama
, pemohon (lewat LSM pendamping)
mengajukan permohonan kredit dengan melampirkan profil anggota KPUK, kelayakan usaha, dan rencana
penggunaan kredit.
Kedua
, pemohon kredit harus ditembuskan kepada forum wilayah (Forwil) atau koordinator
wilayah (Korwil) masing-masing, kalau diperlukan untuk mendapatkan rekomendasi.
Ketiga
, permohonan kredit
akan ditanggapi minimal 3 (tiga) hari oleh sekretariat dan maksimal 1 bulan.
Keempat
, LSM anggota harus
PHPLOLNL³DJXQDQ´EHUXSDWDEXQJDQVROLGDULWDVGLUHNHQLQJEDQN$6PPUK.
Kelima
, penandatanganan akad kredit
dilakukan antara wakil ASPPUK dan masing-masing LSM anggota diketahui oleh wakil masing-masing KPUK.
Keenam
, jika disetujui, ASPPUK
mentransfer
dana kredit untuk KPUK melalui LSM anggota.
Ketujuh
, KPUK
mengangsur kredit melalui kredit LSM anggota ke ASPPUK, dengan tenggang waktu angsuran 1 bulan pada
awal penandatanganan kredit.
Kedelapan
, KPUK mengangsur kredit melalui LSM anggota ke ASPPUK setiap 6
bulan.
Kesembilan
, LSM anggota melaporkan perkembangan penggunaan kredit dan profil pemanfaat kredit, jika
diperlukan ASPPUK dibantu Korwil melakukan monitoring ke lapangan.
Sementara persyaratan yang harus dipenuhi para pemohon adalah pelampiran berkas-berkas kelayakan usaha,
profil PUK, serta rencana penggunaan kredit. Bunga pinjaman rata-rata 11% tetap per tahun untuk pinjaman
jenis usaha, sementara untuk jenis pinjaman kebutuhan perempuan tidak dikenai bunga. Surat permohonan
pinjaman harus diajukan maksimal satu bulan sebelumnya dan waktu pinjaman maksimal dua belas bulan. LSM
anggota yang memperoleh KM dapat mengakses dana pendampingan dan pelatihan sesuai dana yang ada di
PUK mengisi dan mengirim format pengajuan ke KPUK masing-masing.
KPUK mengisi dan mengirimkan format pengajuan ke LSM pendampingnya.
LSM mengisi dan mengirimkan format pengajuan ke sekretariat ASPPUK.
sekretariat ASPPUK. Selain itu, berlaku juga persyaratan lain yang disusun berdasarkan kesepakatan antara
LSM anggota lewat forwil-forwilnya
6.
´%HUFHUPLQµGDUL3HQJDODPDQ
Menginjak tahun kelima KM ASPPUK, tingkat pengembalian pinjaman anggota mencapai level di atas rata-rata,
yaitu antara 90% ± 95% dari total pinjamanya. Tingkat pengembalian kredit dari PUK tersebut, terjadi dari tahun
ke tahun
7. Temuan penting di lapangan menunjukkan bahwa para PUK menginginkan kegiatan KM ini terus
berlanjut. Menurut PUK yang berhasil diwawancarai, ada beberapa manfaat yang dirasakan dari KM, yaitu 1)
memperbesar modal sekaligus menjadi alat untuk mengembangkan dan memperlancar usaha PUK sehingga
memiliki akses ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya; 2) membantu pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan perempuan, seperti biaya pendidikan dan biaya kesehatan, sehingga PUK dapat terhindar
dari lilitan
rentenir;
3) meningkatkan penghasilan pendapatan rumah tangga PUK; 4) mendorong terjadinya
peningkatan pengetahuan PUK terutama dalam pengelolaan uang dan memupuk rasa tanggung jawab dalam
pengelolaan uang, karena KM sekaligus menjadi wadah pendidikan bagi PUK
8. Ini lah mungkin yang
membedakan KM ASPPUK dengan kredit dari LKM lain atau bank. ASPPUK tidak hanya memberikan fasilitas
kredit tanpa bunga untuk pemenuhan kebutuhan perempuan yang mendasar tetapi juga memfasilitasi kredit
untuk usaha sekaligus menjadi wadah pendidikan bagi anggota KM.
Hal-hal yang dapat menjadi pelajaran dari KM yang dijalankan oleh ASPPUK di antarannya adalah
pertama
,
prosedur yang berlaku untuk pengajuan kredit dari PUK, tidak berbelit-belit. Bahkan dalam pengajuannya pun
ada proses pendampingan dari LSM pendamping, serta ada peroses dialog antar-LSM untuk menentukan
kelayakannya. Selain itu, PUK dibebaskan dari agunan.
Kedua
, lokasinya pun ramah terhadap kehidupan masyarakat setempat, khususnya bagi perempuan usaha
mikro di pedesaan. ASPPUK menjalankan programnya dengan lebih kreatif melalui sistem menjemput bola
(nasabah) atau bisa terjadi pola kekeluargaan yang mementingkan kesejahteraan bersama antara pemohon dan
pendamping. Bila ada kemacetan dalam pengembalian, dipecahkan bersama dengan teman-teman
kelompoknya dibantu staf LSM pendamping. Hal ini dapat terjadi karena ada pertemuan kelompok di antara PUK
setiap dua minggu sekali. Pendamping LSM terus memantau perkembangan KPUK, bahkan terkadang KPUK
sendiri yang melaporkan perkembamgannya. Proses pengembaliannya pun tidak secepat bank, ada tenggang
waktu yang cukup lama agar PUK mempunyai kesempatan yang cukup untuk mengembangkan bisnisnya.
6 Pedomana KM ASPPUK, Ibid.
7 'DODPODSRUDQ\DQJGLNHOXDUNDQLQWHUQDO$6338.VHWLDSEXODQDQGHQJDQMXGXO³Informasi Kredit Mikro Periode 1999 ± 2001,
hingga Juli 2001´GLVHEXWNDQEDKZDEDKZDWLQJNDWSHQJHPEDOLDQ38.GDULSURSLQVL± kecuali daerah konflik, yang sedikit ada keterlambatan ± mencapai hasil di atas 90%.
8 Lihat laporan secretariat ASPPUK tentang temuan-WHPXDQ ODSDQJ \DQJ GLEHUL MXGXO ³Evaluasi Kredit Mikro YASPPUK,
Ketiga
, di samping ada pemenuhan kebutuhan untuk kelangsungan usaha PUK, ASPPUK juga memberikan
kredit untuk pemenuhan kebutuhan perempuan tanpa bunga.
Keempat
, ada pertemuan rutin kelompok KPUK minimal dua minggu sekali. Dalam pertemuan ini dibahas semua
keluhan yang dialami PUK, peserta saling berbagi pengalaman dalam mengelola pembukuan atau
pengembangan bisnisnya. Biasanya, untuk kelompok baru, LSM pendamping selalu datang hadir dalam proses
dialog. LSM pendamping diberi dana pendampingan (walaupun tidak besar) agar bisa bekerja secara maksimal
memantau perkembangan pijaman dan usahanya.
Terakhir, sebelum atau ditengah-tengah berlangsungnya kredit mikro, ada beberapa pelatihan yang diikuti oleh
ketua KPUK yang nantinya bisa diinformasikan ke anggotannya dalam pertemuan kelompok. Jenis pelatihan
yang dilakukan di antaranya pembukuan yang baik, kelayakan usaha, studi pasar, dan menajemen keuangan.
Sambil melakukan proses pendampingan, para PUK juga mendapat
siraman
pengetahuan kesadaran gender. Ini
dilakukan, karena KM menjadi pintu masuk untuk pemberdayaan PUK yang lebih mendalam (Lihat Dina L
:1999)
9.
Melihat Hambatan, Menggali Otokritik
,EDUDW SHSDWDK ´
tak ada gading yang tak retak
", begitu pula dengan LKM yang dijalankan ASPPUK. Setelah
berjalan cukup lama, ada beberapa kelemahan dan hambatan yang perlu dibenahi.
Pertama
, jangkauan wilayah
ASPPUK yang luas. Kondisi ini menyulitkan sekretariat untuk memantau perkembangan anggotanya secara rutin
dan sistematis. Walaupun dalam kegiatannya sekretariat dibantu tenaga lapang dari LSM pendamping, namun
kegiatan LSM tidak terfokus pada penanganan kredit mikro. Bagi LSM pendamping, aktivitas kredit mikro
umumnya hanya menjadi salah satu kegiatan lembaganya. Oleh karena itu, pada jangka panjang ASPPUK
merencanakan di tiap kabupaten ada LKM yang diurus oleh KPUK sendiri. Di beberapa daerah yang PUK-nya
sudah lama menjadi dampingan LSM anggota ASPPUK, pengawasan mandiri ini sudah terjadi.
Kedua
, sampai saat ini sekretariat ASPPUK belum bisa membuat indikator yang dapat mengukur dampak LKM
bagi PUK. Oleh karena itu, kegiatan kredit mikro masih menjadi aktivitas ekonomi semata. Salah satu sebabnya
DGDODK NXUDQJQ\D VXPEHU GD\D \DQJ ³
capable
´ XQWXN PHODNXNDQ KDO WHUVHEXW GDQ PHPDQJ WHUNDGDQJ VLVWHm
manajemen data di LSM pendamping kurang tertangani dengan baik. Padahal, bila ada pengukuran dampak
dengan indikator yang jelas, dapat diketahui secara
general
apakah kegiatan KM mempunyai pengaruh yang
diantaranya, membantu mengembangkan usaha produktif anggota KSM dengan memperdayakan PUK, dan untuk menambah pengetahuan tenaga penamping KPUK.
signifikan bagi usaha PUK atau malah sebaliknya. Hal ini penting diketahui, sebab bagi ASPPUK aktivitas kredit
PLNURPHQMDGL³
entry point
´SHPEHUGD\DDQ38.
Ketiga
, di wilayah-wilayah yang dilanda konflik, kadang PUK terlambat mengembalikan kredit. Hal ini memang
berkaitan dengan kondisi sosial makro yang tidak kondusif terhadap iklim perkembangan usaha mikro di
pedesaan dan kondisi sosial makro ekonomi Indonesia secara keseluruhan.
Prasyarat LKM Supaya Bertahan
Dari pengalaman di atas, nyata sekali kelenturan LKM, khususnya LKM ASPPUK, dalam prasyarat pengajuan
kredit. Ini berbeda sekali dengan lembaga keuangan formal seperti bank, yang peraturannya tegas untuk
mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa melihat posisi nasabah. Kelenturan itu terlihat dalam
perumusan aturan agar kredit mikro terlaksana dan saling menguntungkan bagi pengelola dan nasabah. Dalam
konteks ini, peran tenaga lapang yang mendampingi PUK (dari LSM pendamping kalau di ASPPUK) menjadi
sentral. Merekalah yang membangun hubungan baik dengan para nasabahnya dan melakukan pemantauan di
lapangan. Bila para tenaga lapang tidak bisa menjaga hubungan baik atau malas, bahkan lalai memantau, maka
SDUDQDVDEDKMXJDELVD³ODODL´WDSLLQLWLGDNVHODOXWHUMDGLPHQJHPEDOLNDQNUHGLWQ\D
Perbedaan lainnya adalah adanya tanggung jawab LKM untuk membantu nasabah dalam proses pengembalian
kredit. Pada kasus KM ASPPUK, PUK kerap merasa bingung menghadapi persolan dalam pengembalian
kreditnya. Oleh karena itu, ASPPUK memberikan pertolongan kepada para PUK-nya melalui berbagai program
training yang dapat membantu menyelesaikan masalah praktis seperti pembukuan, manajemena usaha,
kelayakan pasar, serta training sensitivitas gender sebagai penunjang. Bagi ASPPUK, program training ini
adalah bentuk tanggung jawabnya terhadap pemberdayaan nasabah dalam pengembalian kreditnya. Hal
tersebut bermakna bahwa nasabah dan lembaga pemberi kredit, harus sama-sama saling mengambil manfaat
dari aktivfitas yang dikerjakan bersama. Pandangan ini menjadi dasar pelaksanaan program KM bagi ASPPUK.
Hubungan yang baik dengan nasabah dan saling menguntungkan mungkin menjadi tali pengikat bagi
keberlanjutan program KM di ASPPUK.
Satu hal yang penting disadari dalam program KM ini adalah penyelenggara program harus menyingkirkan
pandangan bahwa masyarakat kecil itu tidak bisa diajak maju. Sebab, semua masyarakat itu pada intinya sama,
hanya lingkungan dan intervensi pendidikan yang memanusiakanlah yang akan bisa meningkatkan kehidupan
masyarakat untuk lebih baik. Dari sini jelas pentingnya basis LKM yang tidak dibatasi wialayah, ramah dengan
kearifan lokal, dan senantiasa ada dialog di antara pemanfaat kredit dan tenaga lapang dari LSM pendamping
dalam perumusan mekanisme kredit.
Pemerintah dan Bank Indonesia berencana mengeluarkan Undang-Undang yang mengatur LKM. Ada beberapa
catatan penting mengenai rencana tersebut. Di antaranya terjadi
kontradiksi
antara apa yang dipikirkan secara
mulia oleh pemerintah dan BI, terutama pada ide tentang perumusan RUU LKM. Menyimak artikel dari salah
satu pejabat BI ± Abdul Salam dalam ceramahnya pada 12 Juni 2001² yang menyatakan bahwa RUU LKM
dibuat untuk mengantisipasi terjadinya penyalahgunaan dana dari oknum orang atau lembaga, yang
mengumpulkan dana dari masyarakat untuk kepentingan dirinya
10. Kesannya mulia memang, namun bila dilihat
secara serius, pasal-pasal dalam RUU LKM hanya memberikan pembatasan-pembatasan atau rambu-rambu
justru dapat merangsang bekembangnya benih-benih KKN (kulusi, korupsi dan nepotisme). Contohnya pada
pasal-pasal 3, 8, 18, yang menetapkan bahwa pendirian LKM harus seizin pemda setempat. Pemerintah lewat
pemda juga bisa mendirikan LKM. Artinya, pemerintah menjadi pemain dan pengumpul dana masyarakat.
Pertanyaanya, apa fungsi eksekutif daerah kemudian ?
Kedua, hal yang membahayakan dari RUU LKM ini adalah pembatasan lokasi (wilayah kerja) LKM. Menurut
penulis, tampaknya penyususun RUU LKM tidak memahami dinamika LKM sendiri. Kenyataannya, LKM
mempunyai wilayah kerja yang luas karena para nasabahnya tersebar di desa-desa yang tidak pernah dijangkau
oleh lembaga keuangan formal manapun. LKM biasanya sudah tumbuh mengakar di masyarakat karena muncul
atas tuntutan kebutuhan masyarakat sendiri. Banyak LKM yang sudah berpuluh-puluh tahun menjadi dampingan
LSM penyelenggara dan sudah berhasil membangun hubungan yang baik dan erat dengan nasabahnya. Apabila
kemudian pemerintah akan membatasi wilayah-wilayah kerja LKM, maka hal ini akan mengganggu tatanan yang
sudah terbangun di antara LKM-LKM dengan nasabahnya. Di sini letak bahayanya bila pengaturan LKM
dilakukan tanpa mencermati dinamika masyarakat, apalagi bila kemunculan LKM tidak lahir dari proses dialog
antar-masyarakat dan penyelenggara LKM. Ini tidak beda dengan program-program pemerintah di era orde baru,
yang selalu berangkat dari anggapan bahwa masyarakat itu bodoh, bukan dari kebutuhan masyarakat sendiri.
Menurut penulis, perancang RUU LKM ini belum mengadakan penelitian secara serius tentang keradaan LKM.
Adanya kekhawatiran akan ketidakbecusan atau dibawa kaburnya dana yang telah dikumpulkan dari
masyarakat, misalnya terkesan mengada-ada. Justru yang terjadi dana-dana dari masyarakat itu dibawa kabur
oleh pemilik bank-bank nasional. Di LKM, dana yang disalurkan biasanya bukan dana yang ditarik dari
masyarakat --walaupun ada dana masyarakat pengakes kredit, namun itu sedikit --, melainkan dana yang
dihibahkan dari donatur atau pihak luar. Dalam konteks ini, nasabah kredit (dalam hal ini usaha kecil-mikro) jauh
GDULDVSHN³SHQFXULDQ´GDULSLKDNODLQDWDXSHQJXPSXOGDQD
PDV\DUDNDW VHQGLUL 6LNDS ³VRN WDKX´ SHPHULQWDK PHODOXL LQWHUYHQVL MXVWUX DNDQ PHUXVDN WDWDQDQ \DQJ VXGDK
ada. Tugas pemerintah adalah pengawal yang mensinergikan sumber daya di masyarakat dengan sedikit
mungkin campur tangan. Artinya aspek penegakan hukum harus mendapat perhatian utama.
10 $EGXO6DODP ³Peran Bank Indonesia dalam Menciptakan Iklim Finansial Kondusif Bagi Usaha Kecil Mikro´ DUWLNHO\DQJGLVDMLNDQ
LKM: BEBERAPA CATATAN SEJARAH
Erna Ermawati Chotim dan A. Diana Handayani
1P e n g a n t a r
Lembaga Keuangan Mikro (selanjutnya disingkat dengan LKM) sebagai sebuah institusi sudah membuktikan dirinya
sebagai institusi yang menopang kehidupan usaha-usaha mikro, usaha-usaha kecil, dan masyarakat berpenghasilan
rendah umumnya. Bahkan pada situasi-situasi sulitpun LKM telah menjadi bagian dari strategi
survive
usaha-usaha
mikro, kecil, dan masyarakat berpenghasilan rendah. Studi-studi dampak krisis yang dilakukan AKATIGA dan
beberapa lembaga lain memperlihatkan bahwa pada masa puncak krisis, ketika keuangan formal tidak berperan,
usaha-usaha mikro dan kecil masih dapat bertahan karena dukungan institusi keuangan mikro. Salah satunya
ditunjukkan oleh data Riza Primahendra
2(2001) yang memperlihatkan bahwa ada 78,60% industri rumah tangga dan
39,79% industri kecil memilih atau terpaksa mengakses kredit dari sumber lain selain bank dan koperasi.
Sebagai sebuah institusi, keuangan mikro memiliki ciri dan dinamika spesifik. Mereka muncul, tumbuh, dan
berkembang fleksibel menyesuaikan dengan kebutuhan penggunanya. Pengetahuan dan pemahaman LKM yang
sangat baik terhadap kelompok/komunitas sasarannya menjadi salah satu faktor yang membuat mereka bisa
bertahan sampai dengan saat ini. Faktor-faktor lain apa yang membuat institusi keuangan mikro bertahan dan
faktor-faktor apa yang membuat institusi keuangan mikro tidak berkembang, menarik dan penting untuk dicermati.
Pemahaman yang baik terhadap faktor-faktor pendorong dan penghambat peran institusi keuangan mikro dalam
aktivitas ekonomi mikro diharapkan bisa menjadi bahan untuk menjaga institusi keuangan mikro dari berbagai
µVHQWXKDQ¶ ±
berupa kebijakan dan non-kebijakan
²
yang akan menghambat atau bahkan mematikan institusi
keuangan mikro itu sendiri.
Berbagai literatur dan hasil penelitian memperlihatkan bahwa institusi keuangan mikro di Indonesia sudah ada sejak
sebelum negara ini berdiri. Tulisan ini mencoba mengindetifikasi dari berbagai hasil penelitian, makalah maupun
tulisan di media massa untuk menggali beberapa hal, yaitu faktor kemunculan institusi keuangan mikro, faktor-faktor
yang mempengaruhi format/bentuk dan dinamika institusi keuangan mikro, faktor-faktor pendukung dan penghambat
berkembangnya institusi keuangan mikro, dan strategi-strategi apa yang dilakukan oleh institusi keuangan mikro
untuk bisa tetap bertahan sampai saat ini. Upaya tersebut diawali dengan mencoba mendefinisikan institusi atau
LKM itu sendiri, kemudian mencoba membuat pembabakan perkembangan institusi keuangan mikro pada masa
1 Kedua penulis adalah staf Pusat Analisis Sosial AKATIGA ± Bandung.
sebelum kemerdekaan dan masa sesudah kemerdekaan. Pembabakan ini dibuat terutama untuk mencoba
menangkap corak perubahan yang terjadi pada institusi keuangan mikro serta untuk memudahkan proses pencarian
dan analisis informasi. Terakhir, adalah kesimpulan seluruh uraian untuk melihat benang merah dan mencari
pelajaran-pelajaran penting dari masing-masing pembabakan sebagai bahan pelajaran untuk pihak-pihak yang
berkepentingan dengan keberadaan instituasi keuangan mikro saat ini dan masa depan. Informasi dan data yang
berhasil ditangkap untuk tulisan ini sebagai besar mencatat fenomena di wilayah Jawa sehingga sangat mungkin
tulisan singkat sangat bias Jawa.
Insitusi Keuangan Mikro : Sebuah Pengertian
Pengertian institusi sering dirancukan dengan pengertian organisasi atau lembaga dan istilah tersebut dalam
keseharian sering digunakan secara bergantian. Padahal kedua istilah tersebut sebenarnya memiliki pengertian yang
berbeda. Ada berbagai definisi atau pengertian mengenai institusi. Dalam tulisan pendek ini, institusi didefinisikan
sebagai tata kelakukan yang terorganisir atau mengacu pada pola prosedur
3. Ada beberapa tekanan yang
terkandung dalam istilah institusi, yaitu norma, sistem, proses (berlangsungnya pembentukan pola perilaku), hasil
proses
±
yang menghasilkan pola, hasil proses
±
yang menghasilkan organisasi. Ragam tekanan dalam pengertian
institusi berbeda dengan ragam tekanan yang ada pada pengertian organisasi yang hanya meliputi proses
pengorganisasian dan hasil proses dalam bentuk badan/organisasi.
Frank Knight
4PHQJNDWHJRULNDQ LQVWLWXVL PHQMDGL GXD 3HUWDPD LQVWLWXVL \DQJ GLEHQWXN ROHK µWDQJDQ \DQJ WHUOLKDW¶
Institusi dalam kategori ini bukan organisasi atau lembaga. Kedua, institusi yang sengaja dibuat. Kategori ini
mengacu pada pengertian institusi sebagai sebuah organisasi atau lembaga. Institusi pada dasarnya memiliki
nilai-nilai untuk masyarakat umum lebih dari orang-orang yang memegang peranan (
stakeholder
) tertentu dari institusi itu
sendiri. Institusi memiliki kumpulan
stakeholder
yang tersebar, sementara
stakeholder
dari suatu organisasi lebih
sempit dan spesifik. Institusi merupakan kumpulan norma dan tingkah laku yang tahan lama dan mempunyai
sejumlah tujuan yang dinilai secara kolektif, sedangkan organisasi atau lembaga merupakan struktur dari
peranan-peranan yang dikenal dan diterima baik secara formal maupun informal.
Dalam konteks aktivitas keuangan mikro, institusi dipahami sebagai norma, sistem, dan tingkah laku yang ada pada
pelaku-pelaku yang memiliki kepentingan dengan aktivitas keuangan mikro. Pelaku-pelaku tersebut
mempertahankan norma dan aturan di dalamnya untuk kepentingan keberlanjutan institusi, termasuk
kepentingannya. Pengertian institusi ini yang lebih dominan mengawali kemunculan institusi keuangan mikro di
3 Wiradi, Gunawan. 1995. Analisis Kelembagaan Dalam Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bahan diskusi dalam seminar rutin Pusat Penelitian Ekonomi Pertanian, Bogor.
Indonesia, khususnya pada masa sebelum kemerdekaan. Saat itu, hampir tidak ada lembaga keuangan formal yang
dikenal masyarakat. Keberadaan institusi keuangan pada saat itu dikenal masyarakat dan keberlanjutannya juga
dipelihara masyarakat. Dengan kata lain institusi keuangan mikro dibangun dari, oleh, dan untuk masyarakat tanpa
intervensi pihak luar. Kebanyakan institusi keuangan mikro dibangun dalam konteks pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan cepat, mendesak, dan
income generating
untuk meningkatkan kesejahteraan kelompok sasarannya.
Dalam konteks ini, institusi keuangan mikro memiliki dimensi pemerataan yang tumbuh dari bawah dan
mengandalkan kekuatan sendiri. Pada sisi tertentu institusi keuangan mikro dipandang juga sebagai bagian dari
EDVLVSHQJXDWDQPDV\DUDNDWGLWLQJNDWORNDO\DQJVHULQJNDOLWLGDNGDSDW³WHUEDFD´SRWHQVLQ\DROHKVLVWHPHNRQRPL
formal yang lebih besar (makro). Penguatan yang dilakukan institusi keuangan mikro di tingkat lokal juga seringkali
dicirikan dengan proses tatap muka cukup intensif
±
saling mengenal, saling percaya, kepentingan atau kebutuhan
yang relatif sama-- yang memunculkan hubungan timbal balik di antara orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Hubungan tersebut dipercaya dapat menjadi kemampuan potensial untuk melakukan tindakan bersama (kolektif)
demi kepentingan bersama (kolektif).
Pada perkembangan selanjutnya sejalan dengan perkembangan aktivitas ekonomi yang dijalankan masyarakat,
institusi keuangan mengalami pergeseran peranan dan format atau bentuk. Meskipun di tingkat fakta sulit
membedakan secara tegas pergeseran atau perubahan format yang terjadi. Pada akhirnya penggunaan istilah
institusi dan lembaga seringkali bergantian. Institusi keuangan mikro berkembang dengan berbagai variasi dari.
Institusi keuangan berkembang ke arah format yang lebih formal dalam bentuk lembaga /organisasi keuangan, di
dalamnya berkembang proses pengorganisasian dari nilai-nilai bersama yang kemudian dibakukan sebagai aturan
bersama. Dalam konteks ini kelompok sasaran atau anggota baru mengikuti aturan main
±
cenderung lebih formal--
yang ada tanpa memiliki peluang untuk mempengaruhi aturan main. Berdasarkan hasil penelitian yang dirangkum
dalam buku Ekonomi Rakyat
5, variasi lembaga keuangan mikro yang muncul dari format informal sampai format
yang sangat formal di antaranya adalah
revolving fund
, Karya Usaha Mandiri (KUM), koperasi, Baitul Maal Wal
Tamwil (BMT), Badan Perkreditan Rakyat (BPR), dll. Tercatat bahwa dorongan perubahan format LKM dari informal
menjadi formal dilatarbelakangi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal di antaranya kebijakan
organisasi/lembaga untuk menyesuaikan diri dengan luasan cakupan/jangkauan kelompok sasaran yang semakin
luas. Sementara faktor eksternal berupa dorongan dari peraturan pemerintah tertentu yang mengharuskan
perubahan format. Perubahan format ini kemudian menciptakan dinamika tersendiri pada keberadaan LKM
selanjutnya.
Masa Sebelum Kemerdekaan
Dari sedikit publikasi yang ada, disertasi Soemitro Djoyohadikusumo
6memberikan informasi tentang LKM pada
tahun-tahun tertentu sebelum kemerdekaan (sekitar tahun 1930-an). Tercatat bahwa keberadaan institusi keuangan
mikro muncul sejalan dengan aktivitas ekonomi mayoritas yang ada pada masyarakat. Pada masa sebelum
kemerdekaan, institusi keuangan mikro muncul dan berperan aktif di sektor pertanian sebagai basis aktivitas
ekonomi mayoritas masyarakat saat itu. Sumber kredit yang penting untuk petani pada saat itu di antaranya berasal
dari saudagar atau agen-agen mereka. Mereka adalah pemborong hasil pertanian dan hortikultur untuk
didistribusikan lebih lanjut di dalam negeri dan atau diekspor. Sumber kredit lain pada tahun 1930-an -- berbarengan
dengan masa depresi, sebelum lahirnya
Algemene Volkscredietbank
(AVB) yang juga berasal dari perkreditan
rakyat
²
adalah lumbung desa, bank desa, dan bank kredit rakyat. Pada masa ini lembaga perkreditan desa tidak
memiliki status hukum tersendiri, namun lembaga tersebut sejak semula diorganisasikan sebagai badan usaha yang
berdiri sendiri dan mengelola sumber-sumber keuangan sendiri
Peranan kredit pada sektor pertanian dirancang seirama dengan tahapan musim dan pekerjaan yang berlaku pada
sektor tersebut. Pada masa itu, kredit diberikan dalam bentuk-bentuk: 1) pinjaman padi untuk benih dan konsumsi di
masa paceklik yang akan dibayar kembali saat panen dengan padi lagi sebanyak 1- 1,5 kali padi yang dipinjam; 2)
pinjaman uang yang akan dibayar setelah panen ditambah padi sesuai kesepakatan sebelumnya; 3) pinjaman uang
yang dibayar dengan kerja yang dianggap sepadan dengan nilai pinjaman; dan 4) pinjaman uang yang dibayar
dengan uang ditambah bunga sesuai ketetapan sebelumnya. Dalam konteks itu, perkreditan rakyat tidak
membedakan secara tegas antara kredit produksi dan kredit konsumsi. Kebutuhan riil petani pada masa itu adalah
kebutuhan produksi untuk penggarapan lahannya, seperti kebutuhan terhadap bibit padi, peralatan pertanian,
pupuk, sewa lahan, membeli atau menambah lahan garapannya atau membeli ternak. Perkreditan rakyat juga
memainkan peranannya di dalam memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat terutama untuk memenuhi kebutuhan
hidup pada masa paceklik, membeli pakaian, perabotan rumah, dll. Pada banyak kasus, dana yang berasal dari
perkreditan rakyat ini seringkali juga dimanfaatkan untuk membayar utang petani kepada lintah darat.
Institusi lain di luar perkreditan rakyat yang ada pada tahun-tahun berikutnya adalah bank rakyat. Peran yang
dimainkan bank rakyat, selain peran-peran yang juga dimainkan institusi perkreditan rakyat, adalah pemberian kredit
bagi masyarakat atau orang bergaji untuk kegunaan sosial dalam kurun waktu yang lebih panjang. Dana tersebut
dimanfaatkan untuk pembelian harta tidak bergerak yang akan dimanfaatkan setelah masa pensiun sehingga
peminjam bisa memperoleh penghasilan tambahan dari pemilikan sawah. Melalui kepemilikan harta tidak bergerak
LQLGLKDUDSNDQµRUDQJEHUJDML¶MXJDWHUE
ebas dari lintah darat.
Pada masa depresi intitusi perkreditan kecil maupun bank-bank rakyat tidak dapat menjalankan perannya secara
utuh. Pada masa ini orang-orang atau lembaga-lembaga tidak berani memberikan pinjaman untuk kebutuhan
produktif maupun konsumtif, karena persentasi nilai tunggakan sangat tinggi. Jikapun masih dialirkan kredit maka
persyaratannya menjadi sangat berat. Kondisi ini menjadi masalah berat bagi masyarakat hampir di semua level.
Ketika itu, ada beberapa kebijakan yang keluar dan
VLIDWQ\D WLGDN µQDVLRQDO¶ DWDX VHUDJDP XQWXN VHOXUXK ZLOD\DK
namun muncul dari wilayah-wilayah tertentu dengan maksud memotivasi debitur membayar tunggakkannya. Salah
VDWX NHELMDNDQ \DQJ FXNXS WHUNHQDO DGDODK µ.HELMDNDQ .DUDZDQJ¶ DWDX µ.HELMDNDQ $JXVWXV¶
Kebijakan ini muncul
diawali proses penelitian individual untuk menjaring dan menemukan penyebab tunggakan, mengklasifikasikan faktor
penyebabnya dari yang tidak mampu hingga yang tidak mau, serta membuat peraturan pembayaran yang realistis
sesuai faktor-faktor penyebab. Salah satu sistem pembayaran kembali yang cukup berhasil dan tetap dikembangkan
sampai saat ini adalah sistem pembayaran tunggakan dengan asas kolektivitas. Dalam sistem ini, institusi keuangan
memandang komunitas desa sebagai suatu keseluruhan organis dan berusaha memanfaatkan rasa kebersamaan
yang hidup di dalamnya untuk membangun tanggung jawab dan kontrol bersama. Salah satu cara yang dibangun
untuk mencapai hal tersebut adalah melakukan perkumpulan/pertemuan warga yang cukup intensif.
Lembaga kredit lain yang bersifat formal mulai muncul pada akhir abad 19 dalam bentuk Bank Bantuan dan
Tabungan Pegawai Pemerintah Bangsa Indonesia. Bank tersebut didirikan oleh R. Bei Aria Wirjaatmadja di
Purwokerto, selanjutnya disebut Bank Purwokerto. Tujuan utama pendirian lembaga kredit formal ini adalah
membebaskan para pegawai pemerintahan dari rentenir dan pengijon. Bank Purwokerto dianggap sebagai cikal
bakal perkembangan bank di Indoensia. Bank ini memberikan pelayanan kredit bagi pegawai negeri pribumi, tukang,
dan pertani. Catatan yang menarik adalah bank menetapkan persyaratan penggunaan uang kepada para
nasabahnya. Syaratnya adalah kredit tidak boleh dipinjamkan lagi kepada orang lain untuk mencari bunga yang lebih
tinggi, tidak boleh digunakan untuk membiayai pesta yang tidak perlu, dan tidak boleh digunakan untuk membeli
perhiasan. Kredit harus digunakan untuk kegiatan produktif. Pada tahapan ini lembaga keuangan mulai
µPHPLVDKNDQ¶ NHEXWXKDQ SURGXNWLI GDQ NRQVXPWLI 6D\DQJQ\D WLGDN DGD LQI
ormasi yang menjelaskan bagaimana
membangun mekanisme untuk memastikan pengguna kredit menggunakan kreditnya sesuai ketentuan bank dan
respons-respons apa yang muncul dari pengguna akibat pemisahan kebutuhan tersebut.
Pada tahun 1898
7, di pedesaan, didirikan lembaga perkreditan yang memberikan pinjaman natura dalam bentuk padi
untuk kebutuhan pangan ketika paceklik atau untuk bibit ketika musim tanam tiba juga untuk memberantas rentenir.
Lembaga ini kemudian berkembang menjadi lumbung desa yang dibentuk dari dan oleh masyarakat desa sendiri.
7 Lihat Suharto, Pandu. 1991. Peran, Masalah, dan Prospek Bank Perkreditan Rakyat. Jakarta: LPPI; dan Suharto, Pandu. 1987. Masalah
Pengurus lumbung desa adalah sebuah komisi yang terdiri dari kepala desa, juru tulis, dan 2 orang wakil warga
desa. Kredit diberikan kepada warga desa oleh komisi tersebut. Lumbung desa menetapkan bunga pinjaman
sebesar 25% sebagai pemupukan modal untuk keberlanjutan aktivitasnya. Lumbung desa dikontrol kecamatan.
Pada tahun 1904 lumbung desa secara perlahan beralih fungsi menjadi Badan Kredit Desa (BKD) yang mengubah
bentuk pinjaman natura menjadi pinjaman uang. Peralihan fungsi ini terjadi karena kebutuhan akan uang meningkat.
Sampai tahun 1937 tercatat ada 7.714 BKD dan setelah merdeka tinggal 3.325. Kini BKD tidak berkembang lagi
karena beberapa sebab, di antaranya manajemen, tata kerja, dan kegiatannya tidak berubah serta sifat pinjamannya
yang statis dianggap tidak cukup berhasil meningkatkan kesejahteraan.
Masa Setelah Kemerdekaan
Perkembangan LKM setelah kemerdekaan tampaknya cukup pesat dan banyak variasinya. Hal ini tidak terlepas dari
kebijakan pembangunan pemerintah saat itu yang memberikan banyak dukungan terhadap pengembangan usaha.
Pada periode 1945-1950, Indonesia yang baru merdeka tengah menata sistem bernegara secara keseluruhan
termasuk sistem ekonominya. Pada saat itu pemerintah menerapkan kebijakan liberalisasi sistem ekonomi untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi. Model ini memberikan banyak lisensi istimewa kepada pengusaha. Pada awal
kemerdekaan pemerintah dituntut merealisasikan janji kemakmuran setelah merdeka. Pada 1959-1965, situasi
politik di Indonesia tidak menguntungkan bagi pengusaha karena terombang-ambing dalam dinamika politik yang
cukup tajam dan berakhir dengan pergantian presiden. Peraturan kebijakan ekonomi yang muncul saling tumpang
tindih. Pada 1965-90-an merupakan era pembangunan. Pada era ini pemerintahan baru menerapkan kebijakan pintu
terbuka bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah memberikan berbagai fasilitas kepada para pengusaha
melalui berbagai kebijakan yang menguntungkan, termasuk upaya-upaya untuk mendorong pertumbuhan
perekonomian di pedesaan. Pada masa ini pemerintah mengintrodusir berbagai bentuk lembaga kredit yang
beroperasi di desa, seperti Koperasi Unit Desa (KUD) , Badan Usaha Unit Desa (BUUD), Badan Kredit Kecamatann
(BKK) dll.
Dari sisi kelembagaan, setelah merdeka, AVB menjadi BRI yang memberikan kredit kecil dan kredit pedesaan.
Pandu Suharto
8mencatatat perkembangan penting pada periode 1970-an. Setelah ordonansi Badan Kredit Desa
(BKD) dan peraturan lainnya tentang BKD dicabut, di Jabar muncul bank
±
bank desa. Bank desa ini dibentuk dengan
tujuan: 1) menggerakkan, mengembangkan, dan meningkatkan produksi serta daya tukar masyarakat desa; 2)
mencegah aliran uang dari desa ke kota; 3) menghimpun dana dari masyarakat desa dan mengalirkannya kembali
dalam berbagai bentuk kredit; 4) membantu pemerintah membangun ekonomi desa dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat desa. Hingga akhir 1988 di Jabar terdapat 217 BKPD. Namun, pada tahun 1970 muncul
larangan untuk mendirikan BKPD baru dalam rangka penertiban BPR sehubungan dengan akan diundanngkannya
UU N0.14 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan. Namun demikian, Gubernur Kepala Daerah dapat
mendirikan lembaga atau badan perkreditan baru sebagai penyalur kredit di daerah masing-masing untuk membantu
rakyatnya. Merespons peluang ini, di Jabar didirikan lembaga perkreditan nonbank yang disebut Lembaga Dana dan
Kredit Pedesaan (LKPD). Di Jateng didirikan Badan Kredit Kecamatan (BKK), di Jatim KURK, di Sumatera Barat
Lumbung Pitih Nagari (LPN), di Bali Lembaga Perkreditan Desa (LPD). Lembaga-lembaga ini memberikan pinjaman
dengan tingkat bunga rata-rata 24%-45% per tahun dengan sistem angsuran pasaran, mingguan, atau 2 mingguan.
Dalam konteks ini nampak bahwa masing-masing wilayah berusaha mendirikan LKM
\DQJ µVHVXDL¶ GHQJDQ
kebutuhan wilayahnya. Nama lembaga, prosedur, dan mekanisme yang dijalankannya disesuaikan dengan
masyarakat dan wilayah yang menjadi target sasarannya. Namun, kemudian pemerintah memandang badan-badan
perkreditan tersebut memiliki tujuan dan cara kerja yang sama dengan BPR maka pemerintah mencoba melakukan
µSHQ\HUDJDPDQ¶ GHQJDQ GLEHUODNXNDQQ\D EHUEDJDL NHELMDNDQ PRQHWHU GDQ SHUEDQNDQ SDGD WDQJJDO 2NWREHU
1988. Lembaga-lembaga tersebut secara
de fakto
kemudian berubah menjadi BPR. Tidak ada data yang
PHPSHUOLKDWNDQEHUDSDEDQ\DNOHPEDJD\DQJDGDµPDPSX¶PHPHQXKLSHUV\DUDWDQPHQMDGL%35VHVXDLNHWHQWXDQ
Namun, beberapa tulisan memperlihatkan dampak yang tampak dari perubahan tersebut adalah perubahan prosedur
dan mekanisme dari yang spesifik atau khas wilayah menjadi prosedur dan mekanisme sesuai ketentuan pemerintah
yang berlaku. Dari sisi pemerintah, perubahan tersebut memudahkan pengawasan, namun dari sisi masyarakat
perubahan ini menyebabkan mereka harus berhadapan dengan prosedur perbankan yang kerap menjauhkan
mereka dari sumber kredit yang dibutuhkan.
Kebijakan penting lainnya pada periode tahun 1970-an adalah peluncuran paket kredit masal untuk mendukung
program intensifikasi padi sawah, dalam bentuk kredit bimbingan massal (Bimas). Kredit ini diberikan kepada para
petani untuk meningkatkan produksi sawahnya dalam kerangka mewujudkan swasembada beras. BRI menjadi
satu-satunya institusi yang diserahi tanggung jawab menyalurkan kredit Bimas. Program ini kemudian menjadi cikal bakal
pembentukan BRI Unit Desa. Dalam konteks ini, unit desa dimaknai sebagai keadaan agro ekonomi masyarakat
desa yang memiliki fungsi penyuluhan, perkreditan, penyaluran sarana produksi, pengelolaan, dan pemasaran hasil
pertanian. Pada awalnya, BRI-UD ini hanya menjadi penyalur kredit Bimas. Seluruh dana BRI-UD berasal dari
pemerintah. Namun pada tahun 1974, BRI-UD diberi tugas tambahan unutk menyalurkan paket kredit mini dan paket
kredit midi. Penambahan tugas ini secara perlahan menggiring BRI-UD menjadi lebih mirip BPR. Kemiripan ini
setidaknya terlihat dari dua sisi. Pertama, paket kredit mini dan midi yang diberikan BRI jelas menyasar
kelompok-kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Plafon kredit yang diberikan dalam kedua paket tersebut antara
Rp200.000 s.d. Rp500.000 dengan tingkat suku bunga rata-rata 12% per tahun. Kedua, BRI menyederhanakan
Periode 1980-an mencatat dinamika tersendiri. Kebijakan ekonomi Indonesia pada tahun 1980-an berbasis trilogi
pembangunan dengan pilar pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas. Basis pembangunan ini pada kenyataannya
menciptakan jurang cukup tajam antara akses masyarakat kelas atas
±
termasuk pengusaha besar-- dan akses
kelompok-kelompok kelas bawah
±
termasuk pelaku usaha kecil dan mikro. Kesenjangan terjadi terutama dalam
alokasi pembiayaan usaha rakyat, kerumitan manajemen, dan regulasi yang tidak kondusif di dalam sumber-sumber
atau institusi pembiayaan. Beberapa kebijakan pemerintah pada masa ini sempat dikeluarkan untuk memperkecil
jurang yang terjadi atau paling tidak memperkecil suara kelompok yang mempertanyakan secara kritis kesenjangan
akses yang terjadi. Namun ternyata pada masa ini berkembang pula bentuk-bentuk lain dari pembiayaan bisnis
rakyat dengan berbagai variasinya
±
baik tradisional maupun dalam bentuk-bentuk yang lebih modern. Institusi
SHPEL\DDQ µWUDGLVLRQDO¶ PHUXSDNDQ LQVWLWXVL \DQJ GLRUJDQLVDVLNDQ ROHK GDUL GDQ XQWXN PDV\DUDNDW VHQGLUL WDQSD
kebijakan negara, agen-agen atau institusi pembangunan luar. Dalam bentuk yang lain, di samping di jaring melalui
intervensi dan pengorganisasian kelompok-kelompok bisnis masyarakat oleh institusi Lembaga Swadaya
Masyarakat. Pada masa ini bisnis rakyat mulai dipertemukan dengan institusi-institusi pembiayaan modern. Varian
LQVWLWXVLEHUNDUDNWHUµWUDGLVLRQDO¶VDPSDLµPRGHUQ¶SDGDPDVDLQLGLLVLROHKNHJLDWDQDULVDQ
revolving fund
, koperasi,
BPR.
Pada tingkat realita, terjadi proses dialektika antara institusi atau agen pembangunan luar dan institusi rakyat sendiri.
Khusus dalam pembiayaan bisnis rakyat, proses dialektika ini menampilkan keragaan yang tipikal. Hal spesifik yang
dimunculkan pembiayaan bisnis rakyat adalah pelayanan penyaluran dan penarikan dana yang cukup berbeda
²
jika
tidak bisa dikatakan sangat berbeda
²
dengan keragaan institusi pembiayaan baku yang dijalankan bank-bank
NRPHUVLDO 6HEDJDL VHEXDK DNWLYLWDV ELVQLV LQVWLWXVL SHPELD\DDQ UDN\DW LQL MXJD PHQJHPEDQJNDQ VLVWHP µDWXUDQ¶
main dalam berinteraksi yang memungkinkan terjadinya kontrol dari pengguna jasa kepada lembaga pemberi
pelayanan.
Tipikal lain yang khas dikembangkan institusi pembiayaan rakyat adalah mengaksentuasikan sumber-sumber
potensi masyarakat di tingkat lokal. Praktek-praktek pembiayaan usaha rakyat ini sesungguhnya memantulkan
dimensi pemerataan pembangunan yang tidak dicanangkan sisi
mainstream
. Dimensi ini muncul dari basis yang
paling penting dan menentukan, yaitu masyarakat sendiri. Dari sisi pendekatan, gerakan ini dapat dinilai sebagai
gerakan memperjuangkan kesejahteraan lokal yang mengandalkan kekuatan lokal tanpa melepaskan keterlibatan
sistem penguat dari luar berkaitan dengan keterbatasan-keterbatasan yang ada.
Pada tahun 1980-an muncul varian baru LKM, yaitu lembaga pendanaan berbasis syariah. Embrionya lahir di
Bandung dalam bentuk Baitul Tamwil
±
Salman Bandung (BT-SB)
9. BT-SB ini muncul sebagai respons kelompok
muslim yang mengharamkan riba dalam praktek perbankan. Pada perkembangannya kemudian BT menjadi salah
satu alternatif bagi usaha kecil-mikro mengakses kredit untuk memenuhi kebutuhan modal. Bank syariahnya sendiri
mulai berkembang sejak diberlakukannya UU No. 7/1992 tentang perbankan yang memberi peluang didirikannya
bank syariah. Hingga tahun 1999 tercatat ada 45 bank syariah. Sementara BT sebagai embrio bank syariah juga
tumbuh menjamur di berbagai daerah di Indonesia
Namun demikian, dari sekian banyak lembaga perkreditan formal, bank dan bukan bank, masih belum sepenuhnya
mampu melayani dan diakses kelompok masyarakat kecil, sekalipun telah ada ketentuan bagi bank untuk
menyalurkan 20% kredit kepada usaha kecil. Pada tahun 1992 jumlah kredit yang disalurkan kepada usaha kecil
baru mencapai 3%-5% dari jumlah yang semestinya
10. Data Riza primahendra pada bagian awal tulisan ini
menunjukkan ketidak mamuan bank melayani usaha kecil dan mikro sehingga usaha kecil mengakses LKM informal.
ADB
11mencatat ada empat tipe sumber keuangan informal, yaitu 1) pinjaman langsung dari teman dan keluarga; 2)
kredit tanpa ikatan dari pelepas uang, pegadaian, dan lembaga keuangan bukan bank lainnnya; 3) kredit terikat
yang dikaitkan dengan transaksi lain, misal kredit yang diberikan oleh pemasok bahan mentah untuk produsen kecil,
kredit dari tengkulak, dll; 4) pembiayaan berkelompok. Masih menurut studi ADB, ada dua hal yang menyebabkan
LKM informal bisa berkembang. Pertama, seperti halnnya lembaga keuangan formal, lembaga keuangan informal
berjalan atas dasar prinsip kepercayaan yang timbal balik. Bahkan LKM informal bekerja di luar pengawasan
pemerintah dan peraturan hukum dagang. Nama baik, watak, ikatan persaudaraan, dan hubungan persaudaraan
menjadi jaminan tak nyata yang cukup mengikat di antara mereka. Kedua, hubungan pinjam-meminjam dibangun di
DWDV³SHUDVDDQEHUVDPD´\DQJEHUVXPEHUGDULVROLGDULWDVNHNH
luargaan, persaudaraan, dan kemasyarakatan.
Kebijakan-Kebijakan Yang Mempengaruhi Perkembangan LKM
Tercatat banyak kebijakan yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi perkembangan LKM. Paling
tidak terdapat tiga kebijakan yang dianggap sangat penting dan berpengaruh terhadap sistem pembiayaan formal
dan informal di Indonesia, yakni deregulasi Juni 1983 (Pakjun), Oktober (Pakto) 1988 dan Januari (Pakjan) 1990.
Deregulasi-deregulasi tersebut berorientasi pasar yang memberi peluang kepada pengusaha nasional untuk
memobilisasi faktor-faktor produksi agar menghasilkan sejumlah barang dan jasa sekaligus merupakan upaya
mengoptimalkan kapasitas produksi nasional serta mengoreksi kekurangan deregulasi sebelumnya.
10 Sadoko, Isono. 1995. Pengembangan Usaha Kecil: Pemihakan Setengah Hati. Bandung: AKATIGA
Deregulasi Juni 1983 menjadi cikal bakal dinamika ekonomi propasar. Pakjun ini merupakan antisipasi menurunnya
oil boom
. Salah satu dampak dari deregulasi ini adalah meningkatnya kemampuan bank memobilisasi dana hingga
mencapai 25% per tahun. Pada saat itu terjadi
boom
dana yang kemudian dialokasikan melalui kredit perbankan
12Di antara kebijakan yang muncul, Paket Oktober 1988 menjadi momen penting untuk aspek kelembagaan dan
penciptaan sistem yang diorientasikan untuk memobilisasi lebih optimal dana masyarakat. Salah satu dampak paling
penting dari Pakto 27 tahun 1988 adalah perambahan jumlah bank dan perluasan cabang-cabang (kantor) bank
komersial, termasuk BPR. Perkembangan dan percepatan pendirian BPR diharapkan dapat mempercepat proses
moneterisasi perekonomian desa dan mengintegrasikan perekonomian desa dengan perekonomian kota. Dalam
kebijakan ini termuat peluang kemudahan dalam pembentukan Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB). Dampak
dari kebijakan ini antara lain perkembangan pesat dari sisi kelembagaan, mobilisasi dana, aktivitas perkreditan, dan
meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Akan tetapi, kebijakan percepatan pertumbuhan
lembaga keuangan bukan bank saat itu tidak disertai dengan monitoring dan kontrol yang baik dan ketat sehingga
kebijakan ini akhirnya menimbulkan mobilisasi dan
DORNDVL GDQD PDV\DUDNDW \DQJ µMRUMRUDQ¶ +DO LQL SDGD DNKLUQ\D
menimbulkan kerugian tidak saja pada para nasabah tetapi juga merugikan perekonomian Indonesia secara
menyeluruh. Ini nampak jelas pada situasi krisis ekonomi yang terjadi , bahwa dari sekian banyak lembaga keuangan
yang berdiri, hanya beberapa saja yang terbukti sehat dan kredibel.
Kebijakan lain yang cukup berpengaruh terhadap dinamika aktivitas usaha kecil dan ekonomi rakyat adalah
Kebijakan Paket Januari 1990. Isu utama dalam kebijakan ini selain penarikan Kredit Likuiditas Bank Indonesia
(KLBI) yang disalurkan kepada bank-bank nasional adalah kewajiban bagi bank-bank menyalurkan minimal 20%
kreditnya untuk usaha kecil. Kepada petani, perbankan diharuskan memberikan Kredit Usaha Tani sebesar 16%
yang disalurkan melalui BRI dan KUD
13. Semangat dari kebijakan ini adalah memberi peluang dan akses kredit
kepada usaha kecil dan menengah. Namun demikian, kewajiban-kewajiban yang terkandung dalam
kebijakan-kebijakan tersebut ternyata menimbulkan persoalan baru. Banyak bank tidak terbiasa melayani dan berurusan
dengan nasabah kecil dengan plafon kredit yang kecil pula sehingga membutuhkan penyesuaian diri untuk
mengimbangi kebijakan yang ada. Bank memperlakukan usaha kecil seperti usaha besar dengan memberlakukan
prosedur, tingkat bunga komersil, dan nilai agunan seperti kepada usaha besar. Akibat ketidakpahaman tersebut,
banyak kendala yang muncul dan tetap menyisakan persoalan rendahnya akses kredit bagi pelaku-pelaku usaha
rakyat. Di tengah persoalan-persoalan yang tetap muncul, terbukti istitusi perkreditan rakyat tetap
survive
karena
mereka mempunyai pemahaman utuh terhadap konteks tempat mereka berada dan kelompok sasarannya.
12 Lihat, Seldadyo. 1994:11. Kredit Untuk Rakyat Dari Mekanisme Arisan Hingga BPR. Bandung: AKATIGA.
Paket kebijakan Januri 1990 disempurnakan dengan paket Mei 1993 yang memberikan kelonggaran bagi sektor
perbankan untuk memberikan kredit kepada dunia usaha melalui pelonggaran ketentuan Kredit Usaha Kecil (KUK).
Kelonggaran yang dihasilkan dari paket ini terhadap KUK antara lain plafonnya mencapai Rp 250 juta, jumlah
maksimum kredit kecil mencapai Rp 25 juta dan dapat diberikan untuk berbagai keperluan, KLBI untuk KUK
diperhitungkan dalam KUK, dan bank yang belum memiliki portofolio kredit untuk KUK dapat membelinya dari bank
lain. Namun demikian, kelonggaran ini tidak dapat sepenuhnya dimanfaatkan usaha kecil karena pertambahan
jumlah kredit ternyata mensyaratkan pertambahan jaminan dan persyaratan formal lainnya yang tidak dapat dipenuhi
langsung oleh usaha kecil. Usaha besarlah yang kemudian memanfaatkan kemudahan tersebut secara optimal.
Usaha kecil kembali memanfaatkan institusi kredit mikro, untuk memenuhi kebutuhannya.
LKM pada perkembangan selanjutnya cukup berkembang pesat. Belum ada studi yang mencoba melihat secara
spesifik faktor apa yang mendorong perkembangan LKM. Apakah mereka tumbuh karena memang kemampuan dan
kepekaannya dalam merespon kebutuhan masyarakat yang ada atau lebih merupakan dampak dari
kebijakan-kebijakan yang memberi tekanan pada percepatan pertumbuhan LKM (bank dan non-bank, formal dan non-formal)?
Menurut data Bank Indonesia terakhir (th. 2000)
14saat ini setidaknya terdapat 53.644 LKM, mulai dari varian bank,
koperasi, lembaga kredit, BMT, dan pegadaian sedangkan LKm nonbank berjumlah 42.186 unit. LKM tersebut
mampu memberikan pelayanan kredit terhadap lebih kurang 27.000.000 nasabah dengan total jumlah pinjaman
Rp24.443.594.000. Namun demikian, masih banyak kelompok usaha kecil dan mikro serta masyarakat
berpenghasilan rendah yang belum terlayani. Kenyataan ini pada satu sisi memperlihatkan kecilnya akses dan
pelayanan bagi usaha kecil tetapi di sisi lain kondisi ini menjadi peluang bagi LKM untuk berkembang. Apalagi
keberadaannya dekat dengan masyarakat dan mudah direplikasi serta cenderung mendapat dukungan dari
berbagai lembaga baik di dalam maupun di luar negeri. Seharusnya dengan jumlah yang besar problem plaku
ekonomi kecil dan mikro dan masyarakat berpenghasilan rendah pada umunya bisa memenuhi kebutuhannya untuk
mengakses terhadap sumber-sumber kredit bagi kelangsungan hidup maupun usahanya.
Perkembangan terakhir saat ini dari LKM berkaitan dengan rencana pemerintah
±
dalam hal ini Departemen
Keuangan, Kantor Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) dan Bank Indonesia
²
adalah
persiapan Rancangan Undang-Undang (RUU) LKM. Dalam waktu dekat RUU LKM ini akan diajukan pemerintah ke
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jika RUU disetujui, pemerintah berharap LKM menjadi suatu lembaga keuangan
alternatif yang dilindungi keberadaannya oleh undang-undang
15. Perlindungan pada LKM menjadi kepentingan
pemerintah saat ini. Namun, pada umumnya perlindungan mensyaratkan satu standar tertentu yang memudahkan
14 Direktorat Pengawasan BPR ± Bank Indonesia, Makalah Lokakarya Nasional Pengembangan dan Perkuatan LKM, Jakarta 17 Juli 2001. 15 Pengarahan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Pada Acara Lokakarya Nasional Pengembangan dan Perkuatan LKM,
pemerintah melalukan fungsi monitoring dan kontrol yang melekat pada fungsi perlindungan yang diberikannya.
Konsekuensi logisnya adalah standarisasi persyaratan, mekanisme, dan prosedur yang harus dijalankan LKM yang
ada. Pertanyaannya adalah bagaimana jika perlindungan pada LKM justru berdampak terjauhkannya lembaga
tersebut dari target sasarannya selama ini? Apakah perlindungan memang sesuatu yang diharapkan LKM saat ini?
Apakah perlindungan yang akan diberikan pemerintah dapat membantu aktivitas perekonomian mikro dalam
memenuhi atau mendekatkan mereka terhadap sumber-sumber kredit atau justru sebaliknya ?
Catatan Pembelajaran
Dengan berbagai dinamikanya LKM masih bisa bertahan sampai saat ini. Hal ini mengindikasikan bahwa LKM masih
dibutuhkan, namun di balik peluang yang ada, LKM sendiri masih menghadapi masalah, baik secara internal
maupun eksternal. Masalah-masalah internal yang dihadapi LKM di antaranya kualitas SDM yang terbatas,
kurangnya inovasi, keterbatasan teknologi dan informasi, kelemahan sistem prosedur, permodalan, dan pendanaan
dalam pengembangan usaha. Di sisi eksternal masalah yang dihadapi di antaranya adalah pengawasan dan
pembinaan, persaingan dengan berbagai program kredit bersubsidi milik pemerintah, relatif rendahnya tingkat
kepercayaan
±VHEDJDLGDPSDNNDVXVNHWHUOLEDWDQ/.0\DQJGLMDGLNDQµWRSHQJ¶GDODPSHQ\DOXUDQEHUEDJDLSURJUDP
Kredit Usaha Tani (KUT), Jaring Pengaman Sosial (JPS),dll--, infrastruktur pendukung yang belum optimal.
LKM saat ini masih menempatkan dirinya sebagai bagian dari sistem keuangan formal, belum sepenuhnya
menempatkan diri sebagai bagian yang dari kebutuhan target sasarannya. Hal ini mengharuskan LKM bertidak
sebagai lembaga keuangan formal yang mensyaratkan prosedur dan mekanisme formal baku yang standar.
Implikasinya, LKM harus tegas memisahkan bantuannya hanya untuk kepentingan produktif, tidak bercampur
dengan kebutuhan konsumtif. Padahal, dinamika ekonomi mikro pada banyak kasus justru memperlihatkan pelaku
usaha mikro dan kecil masih tidak memisahkan antara keuangan maupun kebutuhan usaha dan konsumtif. Fakta
sejarah membuktikan hal tersebut, bagaimana institusi keuangan mikro juga berperan dalam situasi paceklik dan
melepaskan keterikatan petani dan pelau usaha mikro dari cengkeraman lilitan rentenir. Hal ini menjadi tantangan
LKM pada masa depan. Bagaimana dalam kecenderungan format formalnya, LKM masih tetap peka terhadap
dinamika dan permasalahan dan target kelompok sasarannya.
Masalah lain yang dihadapi LKM adalah
networking
. Kebanyakan LKM masih lemah dalam pengembangan
jaringannya. Masing-masing LKM cenderung bekerja sendiri-sendiri dan mengakumulasi pengalamannya untuk
VHQGLUL FHQGHUXQJ DV\LN GHQJDQ WDUJHW VDVDUDQQ\D \DQJ NHFLO GDQ VSHVLILN GDQ FHQGHUXQJ µPHQJDPDQNDQ¶ WDUJHW
VDVDUDQQ\DGDULµVHQWXKDQ¶NHORPSRNODLQ.HEHUDGDDQ/.0\DQJWHODKODPDDGD
dan menyebar di seluruh Indonesia
seharusnya menjadi kumpulan pengalaman bahkan kekuatan besar untuk mendukung aktivitas keuangan mikro,
yang sederhana dan memungkinkan LKM saling berhubungan untuk mengkomunikasikan berbagai pengalaman,
kebijakan-kebijakan internal yang di lakukan, persoalan-persoalan yang dihadapi, penerapan kebijakan-kebijakan
pemerintah lokal, maupun keberhasilan atau kegagalan penerapan kebijakan-kebijakan pemerintah lokal yang
berdampak pada perkembangan LKM ke depan. Hal ini tentunya sejalan dengan arus desentralisasi yang berjalan
saat ini. Perjalanan sejarah mencatat bahwa hal ini juga sesuai dengan tipikal khas yang dimiliki dan dikembangkan
institusi pembiayaan rakyat, yaitu mengaksentuasikan sumber-sumber potensi-potensi masyarakat di tingkat lokal
yang di dalmnya memantulkan dimensi pemerataan pembangunan yang tidak dicanangkan sisi
mainstream
. Akan
tetapi justru dimulai dari basis yang paling penting dan menentukan yaitu masyrakat sendiri. Dari sisi pendekatan,
gerakan ini dapat dinilai sebagai gerakan memperjuangkan kesejahteraan lokal yang mengandalkan kekuatan lokal
tanpa melepaskan keterlibatan sistem penguat yang berasal dari luar berkaitan dengan keterbatasan-keterbatasan
yang ada.
Perjalanan waktu memperlihatkan bahwa kreativitas dan inovasi (baca : dalam penggalian potensi dan
resources
lokal) menjadi faktor penting di dalam aktivitas dan keberlangsungan LKM. Peranan LSM tercatat sebagai bagian
yang memperkenalkan atau mempertemukan LKM dengan institusi-institusi pembiayaan modern. Idealnya
SHQJDODPDQLQLPHQMDGLEDVLV/.0PHPRPSDSURIHVLRQDOLWDVQ\DWDQSDKDUXVµPHQLQJJDONDQ¶NDUDNWHULVWLNNKDVQ\D
yang mampu menemukenali persoalan dan kebutuhan target sasarannya dengan mengubah sistem, prosedur,
mekanisme yang pada akhirnya justru menjauhkan LKM dari target sasarannya.
Hal lain yang penting dicatat dari perjalanan LKM selama ini adalah kemampuannya dalam mengembangkan asas
kolektivitas. Dalam sistem ini, institusi keuangan memandang komunitas atau kelompok sasarannya sebagai suatu
keseluruhan organis dan berusaha memanfaatkan rasa kebersamaan yang hidup di dalamnya untuk membangun
tanggung jawab dan kontrol bersama. Hal ini penting dicatat bahwa monitoring dan kontrol yang paling efektif
EHUDVDOGDULµRUDQJ¶DWDXµNRPXQLWDV¶WHUGHNDWQ\DGDODPKDOLQLDGDODKNHORPSRNVDVDUDQQ\D0RQLWRULQJGDQNRQWURO
pemerintah dalam berbagai format kebijakannya tidak akan mampu menandingi kontrol yang berasal dari masyrakat
terdekatnya. Hal ini juga menjadi catatan penting yang harus diantisipasi dampaknya berkaitan dengan rencana
munculnya RUU yang masih kental bernafaskan pengaturan, kontrol, dan penyeragaman.
Peranan pemerintah masih sangat dibutuhkan LKM dengan berbagai penyesuaian terhadap perubahan arus yang
terjadi saat ini. Pemerintah hendaknya menyusun kebijakan yang dapat mendorong lebih aktif pengembangan LKM
informal, khususnya bentuk-bentuk pembiayaan berdasarkan solidaritas, ikatan kekeluargaaan, persaudaraan, dan
kemasyarakatan. Pemerintah harus mengubah perannya dari pelaksana beerbagai program/proyek keuangan mikro
menjadi fasilitator dan promotor keuangan mikro serta mampu menghentikan
capital flow
dari desa. Ada legal and
sasarannya. Di sisi lain, pemerintah juga harus memberikan jaminan pada aksesibilitas untuk nasabah LKM, yang
tampaknya tidak terlalu disentuh dalam RUU yang rencananya akan dikeluarkan beberapa waktu ke depan.
LKM BERBASIS HBK:
GESER-MENGGESER BIAYA SOSIAL
Oleh : Budi Baik Siregar
1TINJAUAN UMUM
Wacana keuangan mikro, sesungguhnya sudah mencapai final alias secara teoritik telah mengalami kejenuhan.
Singkat saja, keuangan mikro itu pasar uang yang marginal, sarat risiko, dan biaya tinggi. Sistem pelayanannya
tidak sama dan tidak bisa disamakan de
QJDQSHUEDQNDQXPXP6HSHUWLNDWD/HGJHUZRRG³
microfinance is
QRWDVLPSO\EDQNLQJLW¶VDGHYHORSPHQWWRRO
2´. Dengan logika
benefit-cost ratio
keuangan mikro tak menarik bagi
pemodal, apalagi statistik paling akhir memperlihatkan pangsa pasar kredit mikro tak terlalu signifikan
3.
Walau begitu, semua peminat juga mafhum keuangan mikro potensial sekaligus strategis bukan hanya dalam
perspektif pasar uang dan ekonomi secara umum, melainkan juga dalam konteks wacana politik dan moral:
keadilan, pemerataan, dan kemanusiaan. Lebih dari 30 juta unit usaha di Indonesia (98%) belum terlibat dalam
pasar uang dalam pengertian umum dan memerlukan usaha-usaha pengembangan. Jika pasar tak relevan
melakukannya, maka keuangan mikro harus diletakkan dalam perspektif yang lebih luas sehingga beragam
kepentingan turut dipertimbangkan dan ambil bagian secara proporsional. Yang pasti, keuangan mikro tidak hanya
memerlukan penataan sistem (regulasi dan penegakannya) yang memberi jaminan dan kemudahan bagi para
pelaku dari beragam ranah kelembagaan untuk bekerja di dalamnya, tetapi memerlukan investasi sosial (
cost of
development
) untuk penyediaan pelayanan dan penyelenggaraan program-program. Demikianlah teori
keuangan mikro.
Bahwa teori semacam itu tak terwujud menjadi kenyataan secara teoritik hal itu juga sudah jenuh. Dalam konteks
masa lalu diketahui masalah utama bersumber dari ranah politik. Penyelenggara kekuasaan negara (pemerintah)
enggan membagi tanggung jawab secara proporsional kepada masyarakat. Apa yang seharusnya dapat
ditanggung oleh masyarakat secara mandiri justru diambil-alih oleh pemerintah melalui struktur birokrasinya yang
korporatis. Tujuannya tak lain demi penguasaan atas sumber-sumber politik. Pemerintah bukan tak mengeluarkan
biaya besar untuk pengembangan keuangan mikro, namun biaya itu hanya boleh tersalur selama berada di dalam
jalur kendali politiknya. Intervensi lalu berbiaya tinggi karena di dalamnya terjadi perebutan manfaat dan
geser-geser risiko inter dan antar ranah kelembagaan. Kemarginalan lalu terlestarikan. Komunitas-komunitas lokal
yang menjadi tujuan dan pelaku utama pembaruan tetap berdaya.
1 Pegiat di Pusat P3R-YAE Bogor.
2 Seperti dikutip Salam, A. 2000. Konsep dan Strategi Keuangan Mikro di Jawa Barat. Disampaikan pada Seminar dan Lokakarya
Memberdayakan Ekonomi Rakyat Melalui Keuangan Mikro, Kerjasama Pusat P3R-YAE, dan Pemda Propinsi Jawa Barat di Bandung 7-8 September 2000.
Sekarang kita sedang menghadapi era baru dengan setting lingkungan yang berubah. Di sini kita ragu sampai
mana konsep dan praktek keuangan mikro masa lalu relevan dengan kebutuhan saat ini. Disadari, tak semua
SHQJDODPDQ PDVD ODOX OD\DN GLDQJJDS ³IRVLO´ PHVNL MXJD WDN VHPXD JDJDVDQ FHUGDV \DQJ
muncul belakang
relevan dengan kebutuhan. Celakanya, kita sendiri ragu apakah cara pandang kita telah berubah, bersedia
berubah, dan sesuai dengan kebutuhan ideal saat ini serta masa datang.
Tulisan ini akan membicarakan tingkah laku LKM dalam konteks HBK, berdasar pada pengalaman empirik
melakukan kajian evaluatif terhadap praktek-praktek HBK di berbagai tempat di Indonesia. Pada bagi