Bab II
Review Literatur
2. 1 Entrepreneur
Istilah entrepreneur sudah dikenal dalam sejarah ilmu ekonomi sebagai
ilmu pengetahuan sejak tahun 1755. Istilah “entrepreneur” berasal dari bahasa Perancis yang memiliki arti perantara5. Seorang ahli ekonomi Perancis keturunan
Irlandia bernama Richard Cantillon, dianggap sebagai orang pertama yang
menggunakan istilah entrepreneur dan entrepreneurship. Cantillon menyatakan
entrepreneur sebagai seorang yang membayar harga tertentu untuk produk
tertentu, untuk kemudian dijual dengan harga yang tidak pasti, sambil membuat
keputusan-keputusan tentang upaya mencapai keuntungan, memanfaatkan sumber
daya dan menerima resiko berusaha (Holt, 1993). Dalam perkembangannya,
muncul beberapa pandangan mengenai entrepreneur, menurut Winardi (2008)
entrepreneurship dilukiskan sebagai sebuah proses dan para entrepreneur
dianggap sebagai innovator yang memanfaatkan proses tersebut untuk
menghancurkan suatu kondisi tertentu, melalui kombinasi-kombinasi baru,
sumber daya dan metode perniagaan yang baru. Pendapat lain menyebutkan
bahwa entrepreneur merupakan orang yang senantiasa mencari perubahan,
kemudian ia bereaksi terhadapnya dan memanfaatkanya sebagai sebuah peluang
usaha (Drucker, 1986). Di Indonesia sendiri kebanyakan entrepreneur dalam
menjalankan bisnisnya, dilakukan sebagai usaha untuk keberlangsungan hidup
mereka, hal ini sesuai dengan pernyataan Zimmerer et al. (2002) bahwa
entrepreneur adalah seorang yang menciptakan sebuah bisnis baru, dengan
menghadapi resiko dan ketidakpastian, serta memiliki tujuan untuk memperoleh
laba disertai pertumbuhan, melalui identifikasi peluang-peluang dengan
kombinasi sumber daya yang ada, untuk mendapatkan suatu manfaat.
Penelitian Hornaday (1982) menyatakan bahwa entrepreneur yang sukses
memiliki karakteristik-karakteristik tertentu. Hornaday merupakan salah seorang
5
yang memanfaatkan survei-survei dan wawancara intensif untuk mengembangkan
suatu daftar mengenai karakterisitik entrepreneur yang sukses, seperti memiliki
kepercayaan pada diri sendiri, kemampuan untuk menerima resiko yang sudah
diperhitungkan, memiliki kreativitas, memiliki fleksibilitas, memiliki reaksi
positif terhadap tantangan-tantangan yang dihadapi, memiliki jiwa dinamis dan
kepemimpinan, memiliki kepekaan untuk menerima saran, memahami pasar,
memiliki inisiatif, memiliki jiwa optimis, berorientasi pada laba, memiliki
keuletan serta kebulatan tekad untuk mencapai sasaran yang menjadi tujuan.
2. 2 Entrepreneurial activity
Seorang entrepreneur6 adalah orang yang berani mengambil resiko untuk
mengejar tujuannya. Untuk mencapai tujuannya, entrepreneur harus melakukan
tindakan yang berhubungan dengan kewirausahaan atau bisa disebut dengan
entrepreneurial activity. Menurut Rukmayadi (2010) aktivitas kewirausahaan
adalah orang yang melakukan aktivitas kewirausahaan dapat dilihat dari cara
mereka mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun
strategi dan memasarkannya. Lebih lanjut, Winardi (2008) mengatakan aktivitas
kewirausahaan sebagai perilaku atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang
ketika melakukan manajemen terhadap bisnis yang ditekuninya.
Perilaku ini dapat berupa keterampilan-keterampilan yang bersifat
teknikal, komunikasi, pengetahuan mengenai bidang finansial, interpersonal skill
dan pengambilan keputusan. Aktivitas lain yang biasanya dilakukan oleh
entrepreneur sebelum memasuki dunia bisnis adalah membuat rencana bisnis.
Sebuah rencana bisnis akan membantu entrepreneur dalam bisnis mereka, seperti
mengubah ide menjadi realita, memberikan gambaran terhadap eksekusi dan
informasi mengenai bisnis yang bersangkutan. Perilaku tersebut akan membantu
entrepreneur dalam melakukan pengembangan terhadap usaha mereka.
6
Dalam penelitan yang dilakukan oleh Budhiyanto (2009) ditemukan
adanya indikator yang menunjukan bisnis entrepreneur sedang mengalami
perkembangan, seperti perluasan tempat usaha, memperbanyak jumlah tenaga
kerja dan penambahan jenis dan jumlah produk.
2. 3 Ethnic Entrepreneurship
Sejak awal abad ke 19, banyak orang dari seluruh dunia mulai menuju ke
suatu daerah yang memiliki perekonomian berkembang untuk mencari peluang
kewirausahaan, sehingga munculah konsep ethnic entrepreneurship7. Sehingga
ethnic entreprenuership sudah bukan merupakan sebuah fenomena baru yang
terjadi dalam masyarakat modern saat ini, tetapi merupakan suatu konsenkuensi
dari migrasi yang dilakukan oleh entrepreneur karena sebab–sebab tertentu, seperti motif ekonomi, faktor alam, perang, bencana dan lain–lain. Secara khusus kota-kota besar di dunia industri, khususnya daerah dengan perekonomian
berkembang telah terjadi arus migrasi orang dengan asal-usul sosial budaya atau
etnis yang berbeda8.
Dalam perkembangannya mulai muncul beberapa pengertian mengenai
ethnic entrepreneurship. Menurut Light dan Bonacich (1988) ethnic
entrepreneurship adalah usaha kepemilikan yang dilakukan oleh imigran dan
anggota etnis kelompok tertentu. Sebagai contoh, orang Cina yang bermigrasi ke
Amerika, memiliki daerah khusus pecinan di China Town. Pada dasarnya,
literatur ethnic entreprenuership berpendapat bahwa kelompok etnis bergabung
untuk melakukan kegiatan kewirausahaan untuk mencari peluang dalam bidang
ekonomi. Menurut Waldinger et al. (1990) menyatakan bahwa ethnic
entreprenuership adalah suatu set koneksi dan pola interaksi teratur antara orang
dari latar belakang yang sama yang melakukan migrasi untuk melakukan kegiatan
kewirausahaan di suatu negara tertentu.
7
Sallaf et al. (2002), ”ETHNIC ENTREPRENEURSHIP, SOCIAL NETWORKS, AND THE ENCLAVE, (Agustus, 2002)
8
Levent et al. (2008), “Diversity and ethnic entrepreneurship: Dialogue through exchanges in the
2. 4 Bisnis Keluarga
Menurut pandangan Anderson et al. (2005) bisnis keluarga merupakan
bisnis yang dimiliki, dikelola dan dijalankan oleh anggota keluarga yang
bersangkutan (baik nuclea r family9 maupun extended family10). Sedangkan
Simanjuntak (2010) menyatakan bahwa bisnis keluarga adalah bisnis yang
dimiliki serta dijalankan oleh sejumlah orang yang memiliki hubungan
kekeluargaan, baik suami-istri maupun keturunannya, termasuk hubungan
persaudaraan. Ciri utama dari bisnis keluarga adalah dengan dipegangnya posisi
kunci dalam bisnis oleh anggota keluarga. Contoh family business di Indonesia
yaitu : PT Sidomuncul, PT Maspion, PT Indofood, Wings Group, dan lain-lain.
Keterlibatan anggota keluarga dalam bisnis keluarga dapat dilakukan dengan dua
cara, secara formal maupun informal. Secara formal berarti anggota keluarga
terlibat aktif dalam bisnis yang dijalankan. Sedangkan secara informal anggota
keluarga tidak terlibat secara aktif, hanya memberi bantuan berupa ide atau
masukan pada entrepreneur (Budhiyanto, 2009).
Sedangkan family business dalam terminologi bisnis11 terbagi menjadi dua
macam. Pertama adalah family owned enterprise (FOE), yaitu perusahaan yang
dimiliki oleh keluarga atau anggota, tetapi aktivitas bisnis tersebut ditangani oleh
profesional yang berasal dari luar lingkaran keluarga. Keluarga hanya berperan
sebagai pemilik dan tidak melibatkan diri dalam kegiatan di lapangan. Perusahaan
seperti ini merupakan bentuk lanjutan dari usaha yang semula dikelola oleh
keluarga yang mendirikannya. Jenis perusahaan keluarga yang kedua adalah
family business enterprise (FBE), yaitu perusahaan yang dimiliki dan dikelola
oleh keluarga pendirinya. Perusahaan tipe ini dicirikan dengan dipegangnya
posisi-posisi kunci dalam perusahaan oleh anggota keluarga. Jenis perusahan
keluarga inilah yang banyak terdapat di Indonesia.
9 Nuclear family
adalah kelompok keluarga yang terdiri dari orang tua dan anak-anaknya, biasanya ayah, ibu, dan anak.
10
Extended family adalah keluarga inti ditambah dengan saudara-saudara, seperti : nenek, kakek dan keponakan.
11
Agustinus Simanjuntak, “Prinsip-Prinsip Manajemen Bisnis Keluarga” , Jurnal Manajemen dan
Dalam pengelolaan usaha bisnis keluarga, jaringan dimanfaatkan sebagai
sumber daya yang penting untuk kelanjutan bisnis keluarga (Budhiyanto, 2009).
Jaringan yang dibentuk dalam bisnis keluarga dilakukan untuk memastikan bahwa
perusahaan akan bertahan dan berkembang ketika pengelolaannya dilakukan oleh
generasi-generasi berikutnya (Chakrabarty, 2009). Penelitian Litz (1995)
menunjukkan bahwa esensi dari bisnis keluarga adalah niat dari keluarga untuk
mempertahankan kendali bisnis dari masa lalu sampai generasi sekarang.
2. 5 Pemasaran
Banyak pengertian mengenai pemasaran yang dikemukakan oleh beberapa
penulis. Shimp (2002) mengatakan pemasaran merupakan sekumpulan kegiatan di
mana entrepreneur menyalurkan nilai-nilai (pertukaran) antara mereka dengan
pelanggannya. Sedangkan menurut Kotler (2000) pemasaran merupakan sebuah
falsafah bisnis yang berhadapan dengan tiga macam orientasi bisnis yang telah
dikemukakan, seperti keharusan perusahaan menjadi lebih efektif dibandingkan
dengan pesaingnya dalam hal menciptakan, memberikan dan mengkomunikasikan
nilai untuk para pelanggan.
Dalam memasarkan produk, entrepreneur dapat menggunakan dua cara,
yaitu cara tradisional dan modern. Untuk cara tradisional, entrepreneur
menggunakan cara word of mouth atau dari mulut ke mulut. Word of mouth
(WOM) merupakan pertukaran komentar, pemikiran atau ide–ide antara dua konsumen atau lebih (Mowen dan Minor, 2002).
Sedangkan cara modern, pemasaran dapat dilakukan dengan menggunakan
media online, yang paling menyolok adalah dalam hal promosi. Dengan
menggunakan media online, biaya promosi dapat ditekan, keuntungan lain adalah
respon yang lebih cepat, penyampaian detail produk yang lebih tepat dan akurat
(Kusuma, 1999).
Menurut Winardi (2008) tujuan dari pemasaran adalah untuk
meningkatkan volume penjualan. Adapun alasan-alasan perusahaan melakukan
perusahaan yang lambat, persaingan yang semakin tajam dan terjadinya
perubahan dalam pola-pola pembelian.
2. 6 Jaringan dan Modal sosial
Menurut Hatch (2000) jaringan bisnis merupakan proses membangun
hubungan saling menguntungkan dengan pengusaha lain, klien potensial dan
pelanggan. Manfaat dari jaringan bisnis adalah meningkatkan pendapatan, untuk
pertukaran ide, informasi dan dukungan. Jaringan bisnis yang efektif akan
menciptakan hubungan yang saling menguntungkan.
Berbisnis dalam ekonomi global seperti sekarang, mencerminkan
kemampuan entrepreneur untuk mengambil bagian dalam jaringan bisnis
(networking). Jaringan merupakan suatu sarana dalam dunia bisnis untuk ikut
ambil bagian dalam suatu industri global sekaligus menikmati bagian dari nilai
tambah bisnis tersebut, seperti kemudahan akses terhadap informasi, akses
terhadap perkembangan teknologi dan fasilitas-fasilitas lain dalam jaringan
tersebut. Sebagai contoh, Toyota menyebarkan pembuatan produksi
komponennya di berbagai Negara seperti Indonesia, Thailand dan Malasyia.
Sedangkan Singapura dipilih sebagai pusat koordinasi dan manajemen (Kakisina ,
1999).
Bicara mengenai penciptaan jaringan bisnis (networking) hal ini dapat
dilakukan juga secara domestik. Sebagai contoh entrepreneur batik di kota
Semarang untuk ketersediaan barang dalam bisnisnya, mengambil barang dari
entrepreneur batik di kota Pekalongan (Hasil wawancara entrepreneur di kota
Semarang, 2012).
Di Australia, penelitian Dean (1997) mengungkapkan manfaat pengalaman
pengembangan jaringan usaha yang dirintis melalui proyek program jaringan,
seperti ATVC, ATVC adalah Automotive Trim and Upholstrey Contra ctors
Network. Dimana 8 perusahaan bekerjasama membentuk jaringan usaha untuk
ini kontrak tersebut selalu dimenangkan oleh Bridgestone dari Jepang atau
Amerika Utara.
Penelitian yang dilakukan oleh Leadbeater (1997) menyatakan bahwa
modal sosial selalu diawali dengan penyertaan modal sosial yang dimiliki oleh
entrepreneur. Selanjutnya dibangun jaringan kepercayaan dan kerjasama secara
berkala, sehingga terdapat kemudahan akses terhadap pembangunan fisik, aspek
keuangan dan SDM. Pada saat unit usaha mulai dibentuk dan saat modal sosial
mulai menguntungkan, maka makin banyak hubungan sosial yang dibangun.
Sebagai contoh, keberhasilan negara Jerman dan Jepang adalah karena akar dari
long-term relationship dan etika kerjasama yang mereka jalin sejak lama,
sehingga dapat menumbuhkan inovasi dan mengembangkan industri otomotif di
negara masing-masing.
Menurut penelitian yang dilakukan Budhiyanto (2009) mengatakan bahwa
modal sosial adalah proses menciptakan relasi saling menguntungkan yang
berdasarkan norma kepercayaan dan saling memberi. Modal sosial merupakan
hasil investasi seseorang yang harus dijaga dan dirawat dari waktu ke waktu,
sehingga semakin lama usaha berdiri, maka akan semakin kuat jaringan usaha
yang dimilikinya. Menurut Santosa (2007) modal sosial merupakan modal paling
penting yang dapat diciptakan oleh entrepreneur, karena hal terpenting dalam
membangun kemitraan yang paling utama adalah nilai–nilai seperti saling pengertian (shared value), kepercayaan (trust) dan budaya kerjasama (a culture of
cooperation), semuanya merupakan modal sosial. Sebaliknya, modal sosial tanpa
adanya nilai-nilai tersebut akan membuat modal sosial menjadi lemah.
2. 7 Social embeddeness
Penelitian Granovetter dan Swedberg (1992) menyatakan bahwa konsep
“embeddeness” diperlukan dalam menganalisa tindakan ekonomi. Tindakan
secara sosial dan dikontruksikan secara sosial. Kontribusi konsep “embeddeness” dalam menganalisa tindakan ekonomi terlihat pada pendekatan jaringan, teori
organisasi dan sosialisasi dengan orang lain.
Disini dapat dilihat bagaimana “embeddeness” begitu melekat pada proses sosial ekonomi. Embeddeness yang coba diciptakan entrepreneur dengan
lingkungan sosial akan mempermudah entrepreneur dalam melakukan tindakan
ekonomi. Kemudahan itu dapat berupa akses untuk memperoleh informasi dan
sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan bisnis entrepreneur. Jadi dapat dilihat bagaimana “embeddeness” menjadi faktor yang sangat penting bagi entrepreneur untuk kelangsungan bisnis mereka.
2. 8 Hambatan dalam bisnis
Secara umum, hal-hal yang menjadi hambatan bagi entrepreneur dalam
menjalankan bisnis ada bermacam-macam. Menurut Stoner et al. (1996) hambatan
yang biasanya dialami oleh entrepreneur adalah kendala untuk memasuki industri
ketika awal usaha, kurangnya pengetahuan tentang pasar, kesulitan modal,
membangun kepercayaan dengan relasi dan tidak memiliki pengetahuan dasar
tentang bisnis. Sedangkan menurut penilitian yang dilakukan oleh Hafsah (2004)
ada dua hambatan yang pada umumnya dihadapi oleh UKM, seperti faktor
internal dan eksternal. Faktor internal meliputi kurangnya permodalan, SDM yang
terbatas dan lemahnya jaringan usaha serta kemampuan penetrasi terhadap pasar.
Sedangkan faktor eksternal meliputi kebijakan yang dilakukan Pemerintah,
terbatasnya sarana dan prasarana usaha, implikasi perdagangan bebas dan
terbatasnya akses ke pasar. Menurut Haeruman (2000) tantangan bagi dunia
usaha, terutama pengembangan UKM mencakup aspek yang luas, seperti
peningkatan kualitas SDM dalam hal kemampuan manajemen, organisasi dan
teknologi, kompetensi kewirausahaan, akses terhadap permodalan, informasi
pasar yang transparan dan persaingan bisnis yang ketat.
Sedangkan dalam penelitian Gede (2009) menyatakan bahwa hambatan yang dihadapi
tersebut kurang dikembangkan oleh Pemerintah sampai saat ini. Jika Pemerintah
tidak menjalankan fungsinya secara maksimal, peran Pemerintah dalam
mendukung pengembangan UKM akan menjadi kurang efektif dan optimal.
Peran Pemerintah sebagai katalisator adalah proses yang dilakukan untuk
mendukung berkembangnya UKM menjadi Fast Moving Enterpise, yaitu UKM yang
telah memiliki jiwa kewirausahaan dan akan melakukan transformasi menjadi
usaha besar. Untuk mencapai perkembangan Fast Moving Enterprise, Pemerintah
Daerah perlu ikut terlibat dalam dalam proses tersebut, namun tidak sampai
terlibat dalam mengatur keseluruhan proses perubahan. Keterlibatan Pemerintah
Daerah dalam keseluruhan proses tidak boleh dilakukan, karena keterlibatan peran
Pemerintah yang terlalu banyak dalam kegiatan perekonomian akan menyebabkan
perekonomian menjadi tidak efisien lagi sebab pasar tidak dapat bergerak secara
alami.
2. 9 Peran Pemerintah
Usaha Kecil dan Menengah (UKM) mempunyai peran yang cukup besar
dalam pembangunan ekonomi nasional, hal ini terlihat dari kontribusinya terhadap
Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang terus meningkat setiap tahunnya
(Hafsah, 2004). Dalam penelitian Gede (2009) menyatakan bahwa dalam
pengembangan UKM, peran Pemerintah yang efektif dan optimal dapat
diwujudkan sebagai fasilitator, regulator dan katalisator.
Sebagai fasilitator, Pemerintah memiliki peran dalam memfasilitasi UKM
untuk mencapai tujuan pengembangan usaha yang dimiliki oleh UKM. Tugas
fasilitator adalah memberikan bantuan terhadap UKM dengan berbagai cara,
misalnya dengan memberikan pelatihan secara rutin dan berkala. Fungsi
Pemerintah sebagai regulator adalah membuat kebijakan-kebijakan sehingga
mempermudah usaha UKM dalam mengembangkan usaha. Sebagai regulator,
Pemerintah berfungsi untuk menjaga kondisi lingkungan usaha agar tetap
kondusif, supaya masyarakat tertarik untuk melakukan investasi dan membuat
Pemerintah adalah sebagai katalisator yaitu mempercepat terjadinya pertumbuhan
dan perkembangan dari UKM.
Menurut Wayan (2004) pengembangan Usaha Kecil dan Menengah
(UKM) merupakan tanggung jawab bersama antara Pemerintah dan masyarakat.
Dengan mencermati permasalahan yang dihadapi oleh UKM saat ini, maka di
masa depan perlu dilakukan penciptaan iklim usaha yang kondusif, bantuan
permodalan, perlindungan usaha, pengembangan kemitraan, pelatihan,