• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRAFFICKING DALAM AL-QUR’AN (STUDI ANALISIS TERKAIT PENAFSIRAN SURAT AN-NUR,24: 33 DAN YUSUF, 12: 19-20).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TRAFFICKING DALAM AL-QUR’AN (STUDI ANALISIS TERKAIT PENAFSIRAN SURAT AN-NUR,24: 33 DAN YUSUF, 12: 19-20)."

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

TRAFFICKING DALAM AL-

QUR’A

<<<<<<<<<<<N

(Studi Analisis Terkait Penafsiran Surat

An-Nu>r

, 24: 33 dan Surat

Yu>suf

, 12: 20)

SKRIPSI:

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata

Satu (S-1) dalam Ilmu Al-Qur

an dan Tafsir

Oleh:

JULLUL WARA

NIM: E03212014

PRODI ILMU AL QUR

AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

v

ABSTRAK

Nama : Jullul Wara

Judul : Trafficking Dalam Al-Qur’a>n (Studi Analisis Terkait Penafsiran Surat An-Nu>r, 24: 33 dan Yusu>f, 12: 19-20)

Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah: Pertama, bagaimana penafsiran terhadap surat an-N>u>r, 24: 33 dan surat Yu>suf, 12: 19-20 dan teori apa yang dipakai?. Kedua, bagaimana kontekstualisasi penafsiran terhadap surat an-Nu>r, 24:33 dan Yu>suf, 12:20 beserta kaitannya dengan trafficking?

Dalam menjawab permasalahan tersebut, maka penelitian ini mengunakan jenis penelitian kualitatif, kemudian menggunakan metode penelitian library research (penelitian perpustakaan), sumber data primer yang digunakan berasal dari kitab tafsi>r Ibnu kathi>r, tafsi>r al-mis{ba>h, al-Maraghi> serta data sekunder yang berasal dari kitab-kitab tafsir yang lain atau buku-buku penunjang yang membahas tentang trafficking yang relevan dengan penelitian ini. selanjutnya analisis datanya menggunakan metode deskriptifkualitatif.

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa para mufassir yakni Ibnu Kathi>r, Quraish S{ih{a>b dan Must{afa> al-Maraghi> sepakat bahwa dalam surat an-Nu>r lafad al-Bigha>’ diartikan dengan prostitusi dan ayat tersebut membicarakan eksploitasi seksual. Akan tetapi terdapat perbedaan kaidah yang mereka pakai, Quraish menggunakan kaidah kebahasaan atau semantik leksial dan kaidah بﺎ ا صﻮﺼﺨ ﻻ ﻆ ا مﻮ ﻌ ةﺮ ﻌ ا, sedangkan Ibnu Kathi>r dan Must{afa al-Maraghi> memakai kaidah ﻆ ا مﻮ ﻌ ﻻ بﺎ ا صﻮﺼﺨ ةﺮ ﻌ ا (yang menjadi landasan adalah kekhususan sebab bukan keumuman dari lafad).

Selanjutnya dalam surat Yu>suf, 12: 20 mereka terdapat perbedaan juga ketika menafsirkan d{amir kalimat sharauhu (mereka menjualnya). Ibnu Kathi<r berpendapat d{amir tersebut ditujukan kepada saudara-saudara Yu>suf , Ibnu Kathi>r mengukuhkan pendapatnya karena memakai muna>sabat kalimat antar kalimat dalam satu ayat, yaitu dikaitkan dengan ayat sesudahnya yakni lafad اﻮ ﺎ و

ﺪھاﺰ ا ﮫ . Sedangkan Must{afa> al-Maraghi> dan Quraish S{ih{ab berpendapat bahwa damir tersebut untuk para kafilah. mereka memakai

muna>sabah ayat antar ayat dalam satu surat yaitu merujuk kepada ayat sebelumnya yakni lafad ھدراو اﻮ رﺄ ةرﺎ تءﺎﺟو.

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

ABSTRAKSI ... v

KATA PENGANTAR ... vi

MOTTO ... ix

PERSEMBAHAN ... x

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xi

DAFTAR ISI ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Kegunaan Penelitian ... 9

E. Kajian Pustaka ... 10

F. Metode Penelitian ... 11

G. Sistematika Pembahasan ... 14

BAB II TEORI ASBA<B AL-NUZU<L DAN MUNA<SABAT A. Asba>b al-Nuzu>l ... 16

1. Definisi asba>b al-Nuzu>l ... 16

2. Hubungan sebab akibat dalam kaitannya dengan asba>b al-Nuzu>l ... 17

B. Muna>sabat ... 22

1. Definisi muna>sabat ... 22

(8)

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG TRAFFICKING

A. Definisi dan Unsur-unsur Trafficking ... 28

B. Bentuk dan Modus Trafficking ... 33

1. Bentuk Trafficking ... 33

2. Modus Trafficking ... 42

C. Faktor-faktor Pendorong Terjadinya Trafficking ... 44

D. Trafficking di Indonesia ... 52

BAB IV PENAFSIRAN TERKAIT AYAT-AYAT TRAFFICKING A. Penafsiran Terhadap Surat An-Nu>r, 24: 33 ... 57

1. Penafsiran Ibnu Kathi>r ... 58

2. Penafsiran M. Quraish S{iha>b ... 65

3. Penafsiran Must{afa> Al-Maraghi> ... 71

B. Penafsiran Terhadap Surat Yu>suf, 12: 19-20 ... 73

1. Penafsiran Ibnu Kathi>r ... 74

2. Penafsiran M. Quraish S{iha>b ... 79

3. Penafsiran M. Must{afa> Al-Maraghi> ... 83

C. Analisis Terkait Beberapa Penafsiran Mufassir Terhadap Surat An-Nu>r, 24: 33 dan Yu>suf, 12: 19-20 Beserta Kaitannya Dengan Trafficking ... 86

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ` ... 99

B. Saran ... 101

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Arus kapitalisme yang berjalan dengan globalisasi, mengantarkan manusia

pada materialistis. Tak dapat disangkal bahwa industrialisasi sebagai salah satu

cirinya menunjukkan perkembangan yang semakin pesat. Berbagai komoditi yang

dijadikan sebagai obyek dalam industrialisasi tersebut berdampak pada kreasivitas

manusia dalam menemukan jenis komoditi yang mendatangkan banyak

keuntungan (uang).

Salah satu kreasivitas bebas yang ditemukan oleh manusia adalah

menjadikan manusia sebagai komoditi industri. Manusia diperdagang jual belikan,

seperti layaknya komoditi lain. Sederhananya manusia berdagang manusia, istilah

ini biasanya dikenal dengan trafficking.

Kegiatan trafficking menjadi isu global yang mengemuka. Dalam

perkembangannya, perdagangan manusia adalah bentuk modern perbudakan yang

luas terjadi di seluruh dunia. Memperdagangkan manusia adalah industri

kejahatan yang cepat pertumbuhannya dan merupakan perbudakan dengan bentuk

dan modus baru yang semakin canggih dan terstruktur. Hal ini terbukti bahwa

perdagangan manusia berlangsung tidak hanya dalam negara saja tetapi juga

melewati lintas batas negara.

Semestinya, eksploitasi terhadap manusia, baik terhadap perempuan

(10)

2

modern. perdagangan manusia dipandang sebagai musuh bersama oleh seluruh

bangsa-bangsa yang ada di dunia karena merupakan pelanggaran besar bagi Hak

Asasi Manusia (HAM) dan secara yuridis banyak ditentang diberbagai negara.

Namun, kenyataan tidaklah demikian bahkan bisnis woman trafficking termasuk

dalam tiga besar setelah perdagangan obat-obatan terlarang dan perdagangan

senjata.

Dilihat dari aspek sosial, kegiatan trafficking lebih banyak disebabkan oleh

faktor kemiskinan, baik pelaku maupun korban trafficking sehingga tidak sedikit

orang tua membujuk, merelakan bahkan memaksa anaknya untuk

diperdagangkan. Alasan lain dari munculnya trafficking gaya hidup masyarakat

yang semakin memuja kekayaan materi, mementingkan kesenangan di atas segala

hal.

Buruknya sistem ekonomi cikal juga yang membuat masyarakat sulit

untuk bersaing, memaksa masyarakat mencari pekerjaan keluar negeri atau

bahkan melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Hal

ini diperburuk oleh dampak globalisasi yang tidak dapat dihindari oleh bangsa

Indonisia. Yang mana faktor kemiskinan sering dimanfaatkan oleh pihak-pihak

tertentu untuk kepentingan bisnis, dimana korban diperjual belikan bagaikan

barang yang tidak berharga melalui tipu muslihat.1 Sulitnya perekonomian mebuat

masyarakat terjebak dalam lilitan hutang, kondisi inilah yang memaksa

masyarakat terjebak dalam praktek trafficking yang berupa tindakan menyewakan

tenaga anggota keluarga untuk melunasi hutang.

1

(11)

3

Apabila ditinjau dari aspek sejarah, jejak perbudakan selalu ada dalam

setiap bangsa yang beradab. Terbukti kebudayaan Yahudi, Romawi dan Jerman

kuno yang banyak mempengaruhi keberadaan hukum modern juga mengenal

perbudakan. Bentuk perbudakan dibagi menjadi dua bagian yakni penghambaan

petani dan perbudakan dalam rumah tangga. Tentunya praktek ini menimpa kaum

lemah, terutama wanita dan anak-anak. Hal inilah yang menjadi masalah utama

trafficking, yaitu perbudakan atau eksploitasi atas kaum lemah baik terhadap

wanita maupun anak-anak.2

Dalam tinjauan agama, Islam melarang trafficking dan menghapus segala

bentuk anti-kemanusiaan seperti eksploitasi ataupun perbudakan. Manusia tidak

boleh diperbudak atau mengekspotasi manusia lain dengan alasan apapun. Hal ini

karena Islam telah mengangkat derajat manusia laki-laki maupun perempuan,

anak-anak maupun dewasa. Orang-orang yang lemah harus senantiasa dilindungi

oleh orang yang kuat. Pernyataan tersebut dijelaskan dalam Qur’a>n Q.S

al-Isra>’: ayat 70

ﺸﺪﺴﺴ ﺴو

ﺎﺴ ﺸﺮﺴ

ِ ﺴ

ﺴمﺴدآ

ﺸُﺎﺴ ﺸ ﺴﺴﺴو

ِ

ﱢﺮﺴـﺸﺒ

ِﺮﺸ ﺴ ﺸﺒ ﺴو

ﺸُﺎﺴ ﺸـ ﺴزﺴﺜﺴو

ﺴِ

ِتﺎﺴ ﱢ ﺒ

ﺸُﺎﺴ ﺸ ﺴ ﺴو

ﻰﺴ ﺴ

ﺳﺮ ِ ﺴ

ﺸ ِ

ﺎﺴ ﺸﺴ ﺴ

ِ ﺸﺴـ

)

ﻀ٠

(

Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.3

Secara lebih spesifik dalam surat an-Nu>r ayat 33 melarang tentang

trafficking sebagaimana berikut: 2

M. Alfatih Suryadilaga, Trafficking dalam Hadis dan Perkembangangnya dalam Konteks Kekinian dalam Jurnal Musawa, Vol. 4, No. 3, Oktober 2006, 315.

3

(12)

4

ِ ِﺸﺴـﺸﺴ ﺸ ﺴو

ﺴ ِﺬ ﺒ

ﺴنوُﺪ ِﺴ

ﺎ ًﺎﺴ ِ

ﻰ ﺴ

ُُﻬﺴـِ ﺸ ُـ

ُ ﺒ

ﺸِ

ِِ ﺸ ﺴ

ﺴ ِﺬ ﺒ ﺴو

ﺴنﻮُ ﺴـﺸ ﺴـ

ﺴبﺎﺴ ِﺸﺒ

ﺎ ِ

ﺸ ﺴ ﺴ ﺴ

ﺸُ ُ ﺎ ﺴﺸ ﺴأ

ﺸُﻮُ ِ ﺎﺴ ﺴ

ﺸنِﺐ

ﺸُ ﺸِ ﺴ

ﺸِﻬ ِ

ﺒ ًﺮﺸـﺴ

ﺸُﻮُ آ ﺴو

ﺸِ

ِلﺎ ﺴ

ِ ﺒ

يِﺬ ﺒ

ﺸُﺎﺴ آ

ﺴو

ﺒﻮُِﺮﺸ ُ

ﺸُ ِ ﺎﺴ ﺴـﺴـ

ﻰﺴ ﺴ

ِءﺎﺴ ِ ﺸﺒ

ﺸنِﺐ

ﺴنﺸدﺴﺜﺴأ

ﺎً ﺴﺴ

ﺒﻮُ ﺴـﺸ ﺴ ِ

ﺴضﺴﺮﺴ

ِةﺎﺴ ﺴﺸﺒ

ﺎﺴ ﺸـﺪ ﺒ

ﺸﺴﺴو

ِﺮﺸ ُ

نِﺈﺴ

ﺴ ﺒ

ﺸِ

ِﺪﺸﺴـ

ِﻬِﺒ ﺴﺮﺸ ِﺐ

ﺲﺜﻮُﺴ

ﺲ ِﺴﺜ

)

ﺼﺼ

(

Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat Perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.4

Kandungan dalam surat an-Nu>r di atas secara singkat dapat disimpulkan

dalam beberapa hal. Pertama, kewajiban memberikan perlindungan terhadap

mereka yang lemah, ini lebih ditujukan kepada kaum perempuan karena mereka

adalah kelompok masyarakat yang dilemahkan dalam konteks masyarakat Arab

ketika itu.

Kedua, kewajiban membebaskan orang-orang yang terperangkap dalam

perbudakan. Ketiga, kewajiban menyerahkan hak-hak ekonomi mereka. Hak-hak

mereka yang bekerja untuk majikannya harus diberikan. Keempat, haramnya

mengekploitasi tubuh perempuan untuk kepentingan duniawi.

Secara implisit Nabi Muhammad saw. juga mengecam tindakan kejahatan

semacam trafficking, salah satu hadis beliau yang berkaitan dengan anti

trafficking adalah hadis yang diriwayakan oleh al-Bukha>ri dan Ah{mad.

4

(13)

5

ﺎ أ ﺔ :ﷲﺒ لﺎ :لﺎ و ﷲﺒ ﻰ ﺒ ﷲﺒ ﻰ ﺜ ةﺮﺮ ﻰ أ

ﺮ ﺄ ﺒ ﺜ و ﺎ ﺮ غﺎ ﺜ و ﺜﺪ ﻰ ﻰ أ ﺜ ﺔ ﺎ ﺒ مﻮ

ﱠﺪ أ و ىﺜﺎ ﺒ ﺒوﺜﱡ ﺮ أ و ﺒﻮ ﻮ ﺒﺮ

Dari Abu H{urairah{ Radiyallahu‘anhu dari Nabi SAW bersabda: “ Allah SWT berfirman: ada tiga kelompok yang dihari kiamat nanti yang akan menjadi musuh besar saya. Pertama, seorang yang bersumpah atas namaku tapi tidak menepatinya. Kedua, seorang yang menjual orang merdeka kemudian memakan harganya. Ketiga, seorang yang menyewa tenaga seseorang pekerja yang telah menyelesaikan pekerjaan itu akan tetapi dia tidak membayar upahnya. ( HR. Imam Bukha>ri)

Hadis di atas menjelaskan bahwa Allah melaknat perdagangan manusia

dan akan menjadi musuh Allah kelak di hari kiamat bagi siapapun yang

memperdagangkan manusia baik anak-anak ataupun perempuan.

Di sinilah pemahaman dan aktualisasi agamawan Islam terhadap teks-teks

suci, karena al-Qura>n merupakan kitab petunjuk yang dapat menuntun umat

manusia menuju jalan kebenaran. Selain itu, al-Qura>n juga berfungsi sebagai

pemberi penjelas terhadap segala sesuatu dan pembeda antara kebenaran dan

kebatilan. Untuk mengungkap petunjuk dan penjelasan dari al-Qura>n, telah

dilakukan berbagai upaya oleh sejumlah pakar dan ulama’ yang berkompeten

untuk melakukan penafsiran terhadap al-Qura>n, sejak masa awal hingga

sekarang ini. Meski demikian, keindahan bahasa al-Qura>n, kedalaman maknanya

serta keragaman temanya, membuat pesan-pesannya tidak penah berkurang,

apalagi habis, meski telah dikaji dari berbagai aspeknya.5

Trafficking adalah sebuah kejahatan kemanusiaan berupa perdagangan

orang, dan menjadi isu global yang mengemuka pada saat ini. Adapun

5

(14)

6

kebanyakan yang menjadi korbannya adalah kaum wanita dan anak-anak.

Berangkat dari fenomena ini penulis tertarik ingin meneliti dan mengkaji tentang

terafficking ketika dikaitkan dengan kitab suci al-Qur’a>n, apakah dalam salah

satu surat atau ayat dalam al-Qur’a>n ada yang berbicara tentang trafficking?

karena al-Qur’a>n itu sendiri adalah sebagai kitab pedoman yang tidak ada

keraguan di dalamnya. Itulah sebabnya al-Qur’a>n di jadikan refrensi utama

dalam menyelesaikan problem kehidupan yang semakin kompleks sesuai dengan

jargon teologisnya yaitu s{a>lih li kulli zama>n wa maka>n.

Ternyata ketika bererbicara tentang trafficking ada tiga istilah dalam

al-Qur’a>n yang hemat penulis mengandung pengertian atau unsur-unsur trafficking,

yaitu:

1. Menjual (Shira)

Dalam Q.S. Yu>suf, 12: 20

ُ ﺸوﺴﺮﺴ ﺴو

ﺳ ﺴﺴ ِ

ﺳ ﺸ ﺴ

ﺴِﺒ ﺴﺜﺴد

ﺳةﺴدوُﺪﺸﺴ

ﺒﻮُ ﺎﺴ ﺴو

ِ ِ

ﺴِ

ﺴ ِﺪِﺒﺰ ﺒ

)

ﺻ٠

(

Dan mereka menjual Yu>suf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yu>suf.6

Al-Qur’a>n menggunakan kata shara dalam ayat tersebut untuk

menunjukkan indikasi atau adanya perilaku seseorang yang menjual seorang

anak yaitu Nabi Yu>suf kepada orang lain.

2. Prostitusi (al-Bigha>’)

Dalam al-Qur’a>n kata al-Bigha>’ terdapat sebanyak 96 kali.7

Misalnya dalam Q.S. an-Nu>r ayat 33.

6

(15)

7

ﺴو

ﺒﻮُِﺮﺸ ُ

ﺸُ ِ ﺎﺴ ﺴـﺴـ

ﻰﺴ ﺴ

ِءﺎﺴ ِ ﺸﺒ

ﺸنِﺐ

ﺴنﺸدﺴﺜﺴأ

ﺎً ﺴﺴ

ﺒﻮُ ﺴـﺸ ﺴ ِ

ﺴضﺴﺮﺴ

ِةﺎﺴ ﺴﺸﺒ

ﺎﺴ ﺸـﺪ ﺒ

ﺸﺴﺴو

ِﺮﺸ ُ

نِﺈﺴ

ﺴ ﺒ

ﺸِ

ِﺪﺸﺴـ

ِﻬِﺒ ﺴﺮﺸ ِﺐ

ﺲﺜﻮُﺴ

ﺲ ِﺴﺜ

)

ﺼﺼ

(

Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.8

Dalam ayat ini al-Qur’a>n berbicara prostitusi atau pelacuran yang

mana al-Bigha>’ atau prostitusi ini adalah seks untuk pencaharian yang

mengandung beberapa tujuan yang ingin diperoleh di antaranya uang.

Al-Bigha>’ bisa diartikan juga kepada ekploitasi seks terhadap perempuan.

3. Perbudakan (Raqabah)

Kata raqabah dalam al-Qur’a>n diulang sebanyak enam kali dalam

bentuk tunggal dan bentuk jama’. Adapun dalam bentuk Tunggal yaitu dalam

Q.S. an-Nisa>’, 4: 92 diulang sebanyak tiga kali, Q.S. al-Ma>idah, 5: 9, Q.S.

al–Muja>dalah, 58:3 dan Q.S. al-Balad ayat 13. Dan dalam bentuk jamaknya

yaitu riqab, Misalnya dalam Q.S. an-Nisa>’ ayat 92, Q.S. al-Baqarah ayat

177, Q.S. At-Taubah ayat 60 dan Q.S. Muh{ammad ayat 4.

Dari penjelasan di atas, penulis tertarik membahas tema mengenai

Trafficking dalam al-Qura>n dengan menggunakan kajian tema terkait ayat-ayat

trafficking menurut beberapa penafsiran para mufassir.

Fokus pembahasan pada skripsi ini, tertitik dan tertuju pada ayat-ayat

Trafficking dalam al-Qur’a>n, yakni surat an-Nur>, 24: 33 dan surat Yu>suf ayat

7

Muh{ammad Fu’ad al-Ba>qi’, Mu’jam Mufah{ras li alfaz{ al-Qur’a>n al-Kari>m

(Indonesia: Maktabah Dahlan, tth), 167. 8

(16)

8

20. penulis hanya mengambil surat an-Nu>r, 24: 33 dan surat Yu>suf, 12: 20

karena hemat penulis hanya dua surat ini dalam al-Qur’a>n yang secara spesifik

mengandung pengertian atau unsur-unsur trafficking. Dan fokus penelitian ini

juga tertuju kepada penafsiran tiga mufassir yaitu Ibnu Kathi>r mewakili

penafsiran bil-riwa>yat dan ra’yi, Ah{mad Must{afa> al-Maraghi> dan M.

Quraish S{ih>ab yang mewakili penafsiran al-Adabi> al-Ijtima>’i> (sosial

kemasyarakatan).

B. Rumusan Masalah

Agar lebih jelas dan memudahkan operasional penelitian, maka perlu

diformulasikan beberapa rumusan permasalahan pokok, sebagai berikut:

1. Bagaimana penafsiran terhadap surat an-Nu>r, 24: 33 dan teori apa yang

dipakai?

2. Bagaimana penafsiran terhadap surat Yu>suf, 12: 19-20 dan teori apa yang

dipakai?

3. Bagaimana kontekstualisasi penafsiran terhadap surat an-Nu>r, 24: 33 dan

surat Yu>suf, 12: 19-20 beserta kaitannya dengan trafficking?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini mempunyai

beberapa tujuan yang ingin dicapai, di antaranya:

(17)

9

2. Mengetahui penafsiran terhadap surat Yu>suf, 12: 19-20 dan teori yang

dipakai.

3. Mengetahui kontekstualisasi terhadap penafsiran surat an-Nu>r, 24: 33 dan

surat Yu>suf, 12: 19-20 beserta kaitannya dengan trafficking.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih keilmuan

dalam bidang tafsir. Agar penelitian ini benar-benar berguna untuk pengembangan

ilmu pengetahuan, maka perlu dikemukakan kegunaan dari penelitian ini.

Adapun kegunaan tersebut ialah sebagai berikut:

1. Kegunaan secara teoritis

Hasil penelitian ini berguna untuk menambah wawasan dalam

pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam penelitian tafsir yang

terkait dengan pengertian trafficking dalam al-Qur’a>n, ayat-ayat trafficking,

dan penafsiran ayat-ayat trafficking.

2. Kegunaan secara praktis

Implementasi penelitian ini diharapkan bisa memberi kontribusi agar

dapat memberi wawasan dan solusi terhadap masyarakat terhadap perilaku

(18)

10

E. Kajian Pustaka

Mengenai Penelitian tentang trafficking cukup banyak dan beragam.

Namun keberagaman tema tersebut justru merefrensikan suatu yang berbeda, baik

mengenai obyek maupun fokus penelitian. Hal ini dapat dipahami dalam beberapa

penelitian sebagai berikut:

Dalam bentuk skripsi, “Trafficking Perempuan Dalam Hadis: Kajian

Ma’a>ni Hadi>th”9 karya M. Shofwan membicarakan tentang pemaknaan hadis

dan relevansinya terhadap trafficking masa kekinian.

Sedang dalam bentuk buku, Faqihuddin ‘Abdul Qadi>r dkk. menulis Fiqh

Anti Trafficking Jawaban atas Berbagai Kasus Kejahatan Perdaganagan

Manusia Dalam Perspektif Hukum Islam.10 Dalam bukunya hanya menjelaskan

trafficking berdasarkan kajian fiqh. Berbeda dengan penelitian ini, di mana

peneliti mencoba mnguraikan trafficking dalam perspektif al-Qur’a>n.

Pada tulisan jurnal M. Alfatih Suryadilaga menulis Trafficking dalam

Hadis dan Perkembangangnya dalam Konteks Kekinian.11 Tulisan ini membahas

asal-usul trafficking, bentuk dan perkembangannya. Meski trafficking

permasalahannya dikaitkan dengan kekinian namun fokusnya adalah dihubungkan

dengan hukum atau fiqh. Berbeda dengan penelitian ini yang fokusnya adalah

terhadap penafsiran para ulama terhadap ayat-ayat trafficking dan

implementasinya terhadap konteks kekinian.

9 M. Shofwan, “Trafficking Perempuan dalam Hadis: Kajian Ma’a>ni Hadi>th”, Skripsi

Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta 2009

10

Faqihuddin ‘Abdul Qadi>r, Fiqh Anti Trafficking Jawaban atas Berbagai Kasus Kejahatan Perdagangan Manusia Dalam Perspektif Hukum Islam (Cirebon: Fahmina Institut, 2006), 16.

11

(19)

11

Beberapa buku yang dikemukakan di atas sedikit banyak akan mendukung

dalam pembahasan penelitian ini. Namun, dari beberapa bahan pustaka tersebut

tidak satupun yang spesifik membahas tentang trafficking dalam perspektif

al-Qura>n. Oleh karena itu, penelitian ini berupaya menambahkan wacana mengenai

trafficking perspektif al-Qur’a>n: Studi analisis tekait penafsiran surat an-Nu>r,

24: 33 dan Yu>suf, 12: 19-20 dan kaitannya dengan isu trafficking saat ini.

F. Metode Penelitian

Sebagai karya ilmiah, maka tidak bisa dilepaskan dari penggunaan metode,

karena metode merupakan pedoman agar kegiatan penelitian terlaksana dengan

sistematis.12Dengan demikian, metode merupakan pijakan agar penelitian tercapai

dengan maksimal. Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode

sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yaitu prosedur

penelitian yang menghasilkan data deskriptif beberapa kata-kata tertulis atau

lisan dari suatu objek yang dapat diamati dan diteliti.13Di samping itu,

penelitian ini juga menggunakan metode penelitian library research

(penelitian perpustakaan), dengan mengumpulkan data dan informasi dari

12

Anton Bekker dan Ahmad Haris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 10.

13

(20)

12

data-data tertulis baik berupa literatur berbahasa arab maupun literatur

berbahasa indonesia yang mempunyai relevansi dengan penelitian.

2. Sumber Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini, bersumber dari dokumen

perpustakaan tertulis, seperti kitab, buku ilmiah dan referensi tertulis lainnya.

Data-data tertulis tersebut terbagi menjadi dua jenis sumber data. Yaitu

sumber data primer dan sumber data sekunder, yaitu:

a. Sumber data primer merupakan rujukan data utama dalam penelitian ini,

yaitu:

1) Tafsi>r Ibnu Kathi>r

2) Tafsi>r al-Maraghi>

3) Tafsi>r al-Mis{ba>h{

b. Sumber data sekunder, merupakan referensi pelengkap sekaligus sebagai

data pendukung terhadap sumber data primer. Adapun sumber data

sekunder dalam penelitian ini diantaranya:

1) Penganten Pesanan Pos: Modus Operandi Human Trafficking di

Indonesia, Zulkipli Lessy

2) Politik Perdagangan Perempuan, Andi Yentriani

3) Hati-hati Modus Baru Human Trafficking, Dwi Indah Puspita

4) Trafficking Tantangan Bagi Indonisia, Enny Zuhni Khayati

5) Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Nas{iruddin Baidan

6) Mafa>tih al-Ghaib, Fakhruddi>n al-Razi>

(21)

13

8) Trafficking (Sebuah Pelanggaran Hak Asasi Perrempuan), Nurani

9) Tafsi>r Bahr al-Muhi>t{, Abu> Hayyan al-Andalus>i

10) Aspek Perdagangan Orang di Indonisia, Karya Dra. Farhana, M.H

3. Teknik Pengumpulan Data

Data-data dalam penelitian ini diperoleh dari buku-buku serta

dukumen yang terkait dengan objek penelitian. Adapun teknik pengumpulan

data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan kartu data, yaitu

mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip,

skripsi, buku, dan sebagainya.14 Sedangkan data yang berkaitan dengan

analisis dilacak dari literatur dan penelitian terkait. Sumber skunder ini

diperlukan terutama untuk mempertajam analisis.

4. Metode Analisis Data

Untuk sampai pada prosedur akhir penelitian, maka penulis

menggunakan metode analisa data untuk menjawab persoalan yang akan

muncul di sekitar penelitian ini. Data yang terkumpul, baik primer maupun

sekunder diklasifikasi dan dianalisis sesuai dengan sub bahasan

masing-masing. Setelah itu dilakukan telaah mendalam terhadap penafsiran ayat-ayat

trafficking dengan menggunakan Deskriptif Kualitatif.

Deskriptif yaitu menggambarkan atau melukiskan keadaan obyek

penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) berdasarkan

fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya dengan menuturkan atau menafsirkan

14

(22)

14

data yang berkenaan dengan fakta, keadaan, variable dan fenomena yang

terjadi saat penelitian berlangsung dan menyajikan apa adanya.15

Penelitian Deskritif Kualitatif yakni penelitian berupaya untuk

mendeskripsikan yang saat ini berlaku. di dalamnya terdapat upaya

mendeskripsikan, mencatat, analisis, dan menginterpretasikan kondisi yang

sekarang ini terjadi. Dengan kata lain penelitian deskriptif kualitatif ini

bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi mengenai keadaan yang

ada.16

G. Sistematika Pembahasan

Penelitian ini akan disusun dalam beberapa bab dan sub bab sesuai dengan

keperluan kajian yang akan dilakukan.

Bab pertama adalah pendahuluan yang merupakan pertanggung jawaban

metodologis penelitian, terdiri atas latar belakang masalah, identifikasi, rumusan

masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, telaah pustaka, metodologi

penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua ialah landasan teori yang akan digunakan sebagai batu pijakan

dalam penelitian ini, antara lain berisikan tentang: Pengertian asba>b al-Nuzu>l,

kaidah asba>b al-Nuzul> berupa keumumam lafad dan kekhususan sabab,

pengertian muna>sabat dan kaidah muna>sabat atau bentuk-bentuknya.

15

Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002), 3.

16

(23)

15

Bab ketiga ialah penjelasan tentang pengertian trafficking dan

Unsur-unsurnya, bentuk-bentuk dan modus trafficking, faktor-faktor trafficking, dan

trafficking di Indonesia.

Bab keempat, ialah data dan analisis. Pertama, penafsiran Ibnu Kathi>r

terhadap surat an-Nu>r, 24: 33 dan Yu>suf, 12: 19-20 dan teori yang dipakai.

Kedua, Penafsiran Quraish S{ih{ab terhadap surat an-Nu>r, 24:33 dan Yu>suf,

12: 19-20 dan teori yang dipakai. Ketiga, penafsiran Must{afa al-Maraghi>

terhadap surat an-Nu>r, 4:33 dan yu>suf, 12: 19-20 dan teori yang dipakai.

Bab kelima merupakan bab terakhir berisi kesimpulan dari uaraian-uraian

yang telah dibahas dan diperbincangkan dalam keseluruhan penulisan penelitian.

Bahasan ini sebagai jawaban terhadap masalah-masalah yang diajukan dalam

(24)

BAB II

TEORI ASBA<B AL-NUZU<L DAN MUNA<SABAT

A. Asba>b al-Nuzu>l

1. Definisi asba>b al-Nuzu>l

Asba>b al-Nuzu>l adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa

turunnya ayat, baik sebelum maupun sesudah turunnya, dimana kandungan

ayat tersebut berkaitan atau dapat dihubungkan dengan suatu peristiwa.1

Al-Zarqa>ni> berpendapat secara subtansi yang dimaksud Asba>b

al-Nuzu>l ialah sesuatu yang menjadi latar belakang turunnya suatu ayat baik

berupa peristiwa atau dalam bentuk pertannyaan yang diajukan kepada Nabi

SAW.2 Sedangkan Manna’ al-Qat{t{an berpendapat bahwa Asba>b Nuzu>l

ialah sesuatu yang turun al-Qur’a>n berkenaan dengannya pada waktu

terjadinya seperti suatu peristiwa yang tejadi atau ada pertanyaan.3

Dari berbagai definisi asba>b nuzu>l al-Qur’a>n yang dikemukakan

di atas tampak tidak jauh dari yang dikemukakan oleh al-Zarqani. Artinya

secara substansial, mereka sepakat bahwa yang dimaksud dengan asba>b

al-nuzu>l ialah sesuatu yang menjadi latar belakang turunnya suatau ayat baik

berupa peristiwa atau dalam bentuk pertanyaan yang diajukan kepada Nabi.4

1

M. Quraish S{iha>b, Kaidah Tafsi>r (Tangerang: Lentera Hati, 2013), 235. 2

Nas{iruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsi>r (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 136.

3

Manna’ al-Qat{t{an, Pengantar Studi al-Qur’a>n (Jakarta: Pustaka al-Kauthar, 2013), 95.

4

(25)

17

2. Hubungan Sebab Akibat Dalam Kaitannya Dengan Asba>b Al- Nuzu>l Ulama telah membahas tentang hubungan antara sebab yang terjadi,

dengan ayat yang turun. Hal seperti ini dianggap penting karena sangat erat

kaitannya dengan penerapan hukum. Adanya perbedaan pemahaman tentang

suatu ayat berlaku secara umum berdasarkan bunyi lafalnya, atau terkait

sebab turunnya, mengakibatkan lahirnya dua kaidah antara lain:5

a. Kaidah al-Ibrah bi Umu>m al-Lafd{i La> Bikhus{u>s{ As-Saba>b

بﺎ ﺒ ﺠﻮ ﻆ ﺒ مﻮ ةﺮ ﺒ

(yang menjadi ibrah atau pegangan dalam memahami makna ayat ialah lafazhnya yang bersifat umum bukan sebabnya).6

b. Kaidah al-Ibrah bi Khus{u>s{ As-Saba>b La> bi Umu>m al-Lafd{i

ﻆ ﺒ مﻮ بﺎ ﺒ ﺠﻮ ةﺮ ﺒ

(yang menjadi ibrah atau pegangan dalam memahami makna ayat adalah kekhususan sebab bukan keumuman lafad).7

Dalam pengaplikasian atau pemakaian kaidah Asba>b al-Nuzu>l di

atas, akan diberikan contoh ayat al-Qur’a>n surat al-Ma>’idah ayat 93,

sebagaimana berikut:

ﺴ ﺸ ﺴ

ﻰﺴ ﺴ

ﺴ ِﺬ ﺒ

ﺒﻮُ ﺴآ

ﺒﻮُ ِﺴ ﺴو

ِتﺎ ﺴِ ﺎ ﺒ

ﺲﺘﺎﺴ ُ

ﺎ ﺴ ِ

ﺒﻮُِﺴ

ﺒﺴﺛِﺐ

ﺎ ﺴ

ﺒ ﺸﻮﺴـ ﺒ

ﺒﻮُ ﺴآ ﺴو

ﺒﻮُ ِﺴﺴو

ِتﺎ ﺴِ ﺎ ﺒ

ُ

ﺒ ﺸﻮﺴـ ﺒ

ﺒﻮُ ﺴآﺴو

ُ

ﺒ ﺸﻮﺴـ ﺒ

ﺒﻮُ ﺴﺸﺴأ ﺴو

ُ ﺒ ﺴو

ُِ

ﺴ ِ ِ ﺸ ُﺸﺒ

)

ﻂﺼ

(

Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan

5

Baidan, Wawasan Baru, 146. 6

Ibid. 7

(26)

18

yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.8

Menurut pengertian arti ayat di atas, terkesan bahwa ayat itu

membenarkan orang yang beriman makan atau minum apa saja, walaupun

haram, selama mereka beriman dan bertakwa. Makna ini jelas salah, makna

demikian adalah akibat ketiadaan pengetahuan tentang sebab turunnya ayat

tersebut. Diriwayatkan bahwa ketika turun ayat pengharaman minuman

keras, sementara sahabat Nabi bertanya: Bagaimana nasib mereka yang

telah wafat, padahal tadinya mereka gemar meminum khamar? ayat di atas

menjelaskan bahwa Allah tidak meminta pertanggungjawaban mereka yang

telah wafat itu sebelum datangnya ketetapan hukum tentang haramnya

makanan dan minuman tertentu selama mereka beriman.9

Demikian terlihat betapa Saba>b al-Nuzu>l dalam ayat ini dan

sekian ayat yang lain amat dibutuhkan. Kendati demikian, harus diakui pula

bahwa tidak semua ayat ditemukan riwayat sebabnya, sementara ada juga

ayat dapat dipahami dengan baik tanpa mengetahui atau memperhatikan

sebabnya.10

Dari redaksi riwayat yang menampilkan Saba>b al-Nuzu>l tersirat

sifat sebab itu. Jika perawinya menyebut satu peristiwa, kemudian dia

menyatakan Fa Nazalat al-Ayat

(

ﺔ ﻻا ْ َ َﺰَ َ

)

atau menegaskan bahwa ayat

ini turun disebabkan oleh ini, yakni menyebutkan peristiwa tertentu, maka

8

Al-Qur’a>ndan Terjemahannya, al-Ma>idah, 5: 93.

9

S{iha>b, Kaidah Tafsi>r, 328. 10

(27)

19

berarti ayat tersebut turun semasa atau bersamaan dengan peristiwa yang

disampaikan. Tetapi apabila redaksinya menyatakan nazalat al-Ayat fi

(

ﻲَ ﺔَ ﻻا ْ َ َﺰَ

)

yang menegaskan bahwa ayat ini turun menyangkut suatu hal,

baru kemudian menyebut peristiwa, maka hal itu berarti bahwa kandungan

ayat itu menckup peristiwa tersebut.11

Dalam konteks pemahaman makna ayat-ayat dikenal kaidah yang

menyatakan:

بﺎ ﺒ ﺠﻮ ﻆ ﺒ مﻮ ةﺮ ﺒ

Patokan atau yang menjadi pegangan dalam memahami makna ayat ialah

lafazhnya yang bersifat umum bukan sebabnya.

Setiap peristiwa memiliki atau terdiri dari unsur-unsur yang tidak

dapat dilepaskan darinya, yaitu waktu, tempat, situasi tempat, pelaku,

kejadian, dan faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa itu.

Kaidah di atas menjadikan ayat tidak terbatas berlaku terhadap

pelaku, akan tetapi bagi siapapun selama redaksi yang digunakan ayat

bersifat umum. Perlu diingat bahwa yang dimaksud dengan Khusu>s

al-Saba>b adalah sang pelaku saja, sedang yang dimaksud dengan redaksinya

yang bersifar umum harus dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi,

bukannya terlepas dari peristiwanya.12

Dalam Firman Allah Surat al-Ma>’idah ayat 33 diterangkan, sebagai

berikut:

11

S{iha>b, Kaidah Tafsi>r, 328. 12

(28)

20

ﺎ ﺴ ِﺐ

ُءﺒ ﺴﺰﺴ

ﺴ ِﺬ ﺒ

ﺴنﻮُ ِﺜﺎ ﺴُ

ﺴ ﺒ

ُﺴﻮُﺴﺜﺴو

ﺴنﺸﻮﺴ ﺸﺴ ﺴو

ِ

ِضﺸﺜﻷﺒ

ﺒًدﺎ ﺴﺴ

ﺸنﺴأ

ﺒﻮُـ ﺴُـ

ﺸوﺴأ

ﺒﻮُ ﺴ ُ

ﺸوﺴأ

ﺴ ﺴُـ

ﺸِﻬ ِﺪﺸ ﺴأ

ﺸُﻬُ ُﺸﺜﺴأ ﺴو

ﺸِ

ﺳﺧ ِ

ﺸوﺴأ

ﺒ ﺸﻮﺴﺸـُـ

ﺴِ

ِضﺸﺜﻷﺒ

ﺴ ِ ﺴﺛ

ﺸُﻬﺴ

ﺲيﺸﺰِ

ِ

ﺎ ﺴ ﺸـﺪ ﺒ

ﺸُﻬﺴ ﺴو

ِ

ِةﺴﺮِ ﺒ

ﺲبﺒﺴﺬﺴ

ﺲ ِﻈﺴ

)

ﺼﺼ

(

Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.13

Salah satu riwayat menyatakan bahwa ayat ini turun berkaiatan

dengan hukuman yang diterapkan oleh beberapa sahabat Nabi dalam kasus

suku al-‘Urainiyin. Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa sekelompok orang

dari suku ‘Ukal dan ‘Urainah datang menemui Nabi setelah menyatakan

bahwa mereka telah Islam. Mereka mengadu tentang sulitnya kehidupan

mereka. Maka Nabi memberi mereka sejumlah unta agar dapat mereka

manfaatkan. Di tengah jalan mereka membunuh pengembala unta itu, bahkan

mereka murtad. Mendengar kejadian tersebut Nabi mengutus pasukan

berkuda yang berhasil menangkap mereka sebelum sampai di perkampungan

mereka. Pasukan itu, memotong tangan, tangan dan kaki, serta mencungkil

mata mereka dengan besi yang dipanaskan, kemudian ditahan hingga

meninggal.14

Apabila memahami makna memerangi Allah dan Rasul-Nya dan

melakukan perusakan di bumi dalam pengertian umum, terlepas dari Saba>b

al-Nuzu>l, maka banyak sekali kedurhakaan yang dapat dicakup oleh redaksi

13

Al-Qur’a>n dan Terjemahannya, al-Ma>idah, 5: 33. 14

(29)

21

tersebut. Keumuman lafad itu terkait dengan bentuk peristiwa yang menjadi

Saba>b al-Nuzu>l sehingga ayat ini hanya berbicara tentang sanksi hukum

bagi pelaku yang melakukan perampokan yang disebutkan oleh sebab di atas,

yaitu kelompok orang dari suku ‘Ukal dan ‘Urainah, serta semua yang

melakukan seperti apa yang dilakukan oleh rombongan kedua suku tersebut

(perampokan).15

Sementara Ulama masa lampau tidak menerima kaidah tersebut.

Mereka menyatakan bahwa:16

ِﻆﺸﺴﺸﺒ ِمﺸﻮُُ ِ ﺴ ِ ﺴ ﺒ ِﺠﺸﻮُ ُِ ة ﺴﺮﺸـِﺴﺒ

Pemahaman ayat ialah berdasarkan sebabnya bukan redaksinya,

kendati redaksinya bersifat umum.17

Jadi menurut mereka ayat di atas hanya berlaku terhadap kedua suku

tersebut, yakni suku ‘Ukal dan ‘ Urainah. Sementara sebagian Ulama berkata

bahwa kendati kedua rumusan diatas bertolak belakang, tetapi hasilnya akan

sama, karena hukum perampokan yang dilakukan selain mereka dapat ditarik

dengan menganalogikan kasus baru dengan kasus turunnya ayat di atas.18

B. Muna>sabat

1. Definisi Muna>sabat

15

S{iha>b, Kaidah Tafsir, 239. 16

Ibid.

17 Ibid. 18

(30)

22

Tanas>bub dan muna>sabat berasal dari akar kata yang sama, yaitu

, al-muna>saba>t, mengandung arti berdekatan atau bermiripan. Oleh karena itu ungkapan ن ﺎ ن si fulan itu mirip dengan fulan yang lain,

dua orang yang bersaudara disebut satu nasi>b ( ) karena keduanya

bermiripan.19As-Suyu>t{i mengatakan muna>sabat dalam bahasa adalah

kepadanan dan kedekatan. Dan tempat kembalinya pada ayat-ayat adalah

kepada suatu makna yang berhubungan dengannya, baik yang umum atau

yang khusus, yang bersifat logis atau indrawi atau hubungan-hubungan yang

lain atau juga keterkaitan yang besifat logika seperti antara sebab dengan

akibat, antara dua hal yang sepadan, dua hal yang berlawanan dan

sebagainya.20

Dari pengertian lughawi itu diperoleh gambaran bahwa tana>sub atau

muna>sabat itu terjadi minimal antara dua hal yang mempunyai pertalian,

baik dari segi bentuk lahir, ataupun makna yang terkandung dalam kedua

kasus itu. Al-Muna>sabat fi al-Illat dalam kajian us{ul fiqh (qiyas) ialah titik

kesamaan atau kemiripan dua kasus dalam suatu hukum. Jadi muna>sabat

seperti digambarkan itu bisa dalam bentuk konkrit (hissi) dan bisa pula dalam

bentuk abstrak (‘aqli atau khayali).21

Kedua bentuk muna>sabat itu ditemukan dalam al-Qur’a>n. Dari itu

al-Alma’i mendefinisikan muna>sabat itu dengan “pertalian antara dua hal

19

Badruddi>n Abi> Abdilla>h al-Zarkashi, al-Burha>n Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, ed. Muhammad Abu> al-Fadl Ibrahi>m (Mesir: Isa al-Ba>bal Halabi, t.t.), 35

20

Jala>luddin As-Suyu>t{i>, al-Itqa>n Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Terj. Farikh Marzuki, dkk(Surabaya: Bina Ilmu, 2008), 529.

(31)

23

dalam aspek apapun dri berbagai aspeknya”.22Definisi ini umum sekali,

karena itu bila diterapkan pada ayat-ayat al-Qur’a>n maka dapat dikatakan

bahwa yang dimaksud dengan muna>sabat dalam kajian ilmu tafsir ialah

pertalian yang terdapat di antara ayat-ayat al-Qur’a>n dan surat-suratnya,

baik dari sudut makna, susunan kalimat, maupun letak surat, ayat dan

sebagainya. Inilah yang dimaksud Manna’ al-Qat{t{an dengan mengatakan

bahwa muna>sabat mengandung pengertian ada aspek hubungan antara satu

kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat, atau antara satu ayat dengan ayat

lain dalam himpunan beberapa ayat ataupun hubungan surat dengan surat

yang lain.23

Adapun Quraish S{ih{ab dalam mengedepankan pengertian

muna>sabat dalam ulu>m al-Qur’a>n adalah kemiripan-kemiripan yang

terdapat pada hal-hal tertentu dalam al-Qur’a>n baik surat maupun ayat-ayat

yang menghubungkan uraian satu dengan yang lainnya.

Dari beberapa definisi tentang mun>asabat di atas kendati tampil

dalam redaksi yang berseda-beda, namun hakikatnya tak jauh berbeda. Bila

diteliti lebih jauh, kesamaan itu dapat mengacu pada tiga kata kunci yaitu:

al-muraqa>bat (berdekatan), al-mushakalat (bermiripan), al-irtiba>t

(bertalian). Tartib al-Qur’a>n sebagaimana tersaji dalam mushaf yang

ditemukan sekarang merupakan susunan yang mempunyai pertalian yang

demikian kuatnya sehingga ayat-ayat dan surat-surat di dalamnya terasa

sekali mempunyai hubungan erat satu sama lain.

22

Baidan, Wawasan Baru, 184. 23

(32)

24

2. Bentuk-bentuk Tana>sub

a. Muna>sabat antara surat dengan surat

Muna>sabat ini seperti surat-surat al-Fa>tihah, al-Baqarah, dan

Ali Imran.24 Penempatan ketiga surat ini secara berurutan menunjukkan

bahwa ketiganya mengacu pada tema sentral yang memberikan kesan

masing-masing surat saling menyempurnakan bagi tema tersebut. Hal ini

sebagaimana dijelaskan oleh al-Suyu>t{i> bahwa al-Fa>tihah

mengandung tema sentral yaitu: ikrar ketuhanan, perlindungan kepada

Tuhan, dan terpelihara dari agama Yahudi dan Nasrani. Sedangkan surat

al-Baqarah mengandung tema sentral pokok-pokok (akidah) agama,

sementara surat Ali Imran mengandung tema sentral menyempurnakan

maksud yang terdapat dalam pokok-pokok agama itu.25

b. Muna>sabat antara nama surat dengan tujuan turunnya.

Keserasian serupa itu menurut al-Biqa’i merupakan inti

pembahasan surat tersebut serta penjelasan menyangkut tujuan surat itu.

Sebagaimana diketahui surat kedua dalam Qur’a>n diberi nama

al-Baqarah yang berarti lembu betina. Cerita tentang lembu betina yang

terdapat dalam surat itu pada hakikatnya menunjukkan kekuasaan Allah

dalam membangkitkan orang yang telah mati, sehingga dengan demikian

tujuan dari surat al-Baqarah adalah menyangkut kekuasaan Tuhan dan

keimanan pada hari kemudian.26

24

Baidan, Wawasan Baru, 192. 25

Ibid. 26

(33)

25

c. Muna>sabat antar kalimat dengan kalimat dalam satu ayat.

Muna>sabat ini dapat dilihat dari dua segi, yakni a) muna>sabat

yang secara jelas dapat dilihat dan dikuatkan dengan huruf at{af, dan b)

muna>sabat dari dua kalimat dalam satu ayat tanpa huruf at{af.

d. Muna>sabat antara ayat dengan ayat dalam satu surat.

Sebagai contoh dari muna>sabat ini ialah seperti ayat-ayat di

awal surat al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 20. Ayat-ayat tersebut dapat

dikategorikan ke dalam tiga kelompok: pertama, berbicara tentang

keimanan dari ayat 1-5. kedua, berbicara tentang kekufuran ayat 6-7 dan

ketiga, berbicara tentang kemunafikan dari ayat 8-20. Oleh karena itu,

untuk membedakan ketiga kelompok ayat itu seara jelas, perlu ditarik

hubungan ayat-ayat itu.

e. Muna>sabat antar fa>s{ilat (penutup) ayat dengan isi ayat tersebut.

Muna>sabat dalam bentuk ini diturunkan dalam berbagi pola

yaitu:

a) Tamkin (memperkokoh), artinya dengan fa>s{ilat suatu ayat maka

makna yang terkandung di dalamnya menjadi lebih kokoh dan

mantap seperti kata اﺰ ﺰ ﺎ ﻮ (Maha kuat dan perkasa) dalam

menutup ayat 25 dari surat al-Ahzab ( ﺎ ﻮ ﷲ نﺎ و لﺎ ا ﺆ ا ﷲ ﻰ و اﺰ ﺰ ). Dijelaskan dalam ayat ini bahwa Allah menghindarkan

orang-orang mukmin dari peperangan. Hal itu bukan karena mereka lemah,

melainkan untuk menunjukkan kemaha kuasaan dan keperkasaan

(34)

26

b) Ighal (penyesuaian dengan fasilat ayat sebelumnya,27 seperti اﻮ و اذإ ﺮ ﺪ (apabila mereka berpaling membelakang) fas>i{lat ayat 80

dari al-Naml ﺮ ﺪ ﻮ و اذإ ءﺎ ﺪ ا ﺼ ا و . Dari sudut konotasi,

fas>ilat itu tidak memberikan makna baru, melainkan sekadar

tambah penjelasan tentang arti ﺼ ا (orang tuli). Namun dari segi

lafalnya, tambahan tersebut menjadikan fasilat ayat ini amat cocok

dengan fa>s{ilat ayat 80 itu, yakni ا ﺤ ا.

c) Tas{dir, menyebut lafad fa>s{ilat dalam celah-celah redaksi ayat

yang ditempati oleh fa>s{ilat itu baik di awal, di tengah, maupun di

akhirnya.

d) Makna yang terkandung dalam fas{ilat telah disyaratkan dalam

redaksi ayat yang ditempati fa>s{ilat itu seperti dalam ayat 37 dari

ya>sin: نﻮ ﻈ ھاذﺈ رﺎﮭ ا ﮫ ﺢ ا ﮭ ﺔ او. fas>ilatنﻮ ﻈ (mereka

dalam kegelapan) sama artinya dengan رﺎﮭ ا ﮫ ﺢ (kami

tanggalkan darinya siang) karena apabila siang telah hilang pasti

gelap langsung datang tanpa perantara. Jadi jelas kandungan makna

fasilat نﻮ ﻈ tergambar dalam lafad رﺎﮭ ا ﮫ ﺢ tersebut.

f. Muna>sabat awal uraian surat dengan akhirnya

Adapun contoh muna>sabat ini seperti dalam ayat نﻮ ﺆ ا ﺢ أ ﺪ

yang terletak di awal surat tersebut yang menegaskan bahwa orang-orang

kafir tidak beruntung نوﺮ ﺎ ا ﺢ ﮫ إ. Pertalian tersebut terasa sekali

27

(35)

27

karena antara iman dan kufur tak ada batas, sama halnyadengan

perumpamaan terang dan gelap.

g. Muna>sabat antara akhir suatu surat dengan awal surat berikutnya.

Adapun muna>sabat ini seperti akhir surat an-Nisa>’ yang berisi

perintah agar mentauhidkan Allah dan beribadah hanya kepada-Nya serta

berlaku adil terhadap manusia, khususnya dalam pembagian harta

warisan (ayat 172-174 dan 176). Kemudian pada awal al-Ma>idah

penegasan-penegasan tersebut disusul pula dengan perintah memenuhi

semua janji-janji baik janji kepada Allah maupun terhadap manusia ( ﺎﮭ أ ﺎ ﺎ اﻮ وأ اﻮ ا ﺬ ا

دﻮ ). Dengan demikian tampak dan terasa dalam dalam

benak pembaca dan pendengarnya suatu hubungan yang kuat dan serasi

antara kedua surat itu.

Begitulah semua surat al-Qur’a>n disusun dalam mushaf

sehingga terasa sekali al-Qur’a>n itu sebagai satu kesatuan yang utuh

dari awal (surat al-Fa>tihah) sampai akhir surat an-Nisa>’.28

28

(36)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG

TRAFFICKING

A. Definisi dan Unsur-unsur Trafficking

Definisi trafficking adalah konsep dinamis dengan wujud yang berubah

dari waktu kewaktu, sesuai perkembangan ekonomi, sosial dan politik. Sampai

saat ini tidak ada definisi trafficking yang disepakati secara internasional,

sehingga banyak perdebatan dan respon tentang definisi yang dianggap paling

tepat tentang fenomena kompleks yang disebut trafficking ini.1

Misalnya Caouette memberi batasan tentang perdagangan sebagai suatu

perekrutan dan transfortasi orang atau sekelompok orang di dalam dan melawati

perbatasan nasional menggunakan kekerasan terhadap orang lain. para korban

dirayu,ditipu,diculik atau dalam berbagai cara diakali untuk masuk prostitusi.2

Menurut Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan

Orang (PTPPO) pasal 1 ayat 1, dedinisi trafficking adalah tindakan perekrutaan,

pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan

seseorang dengan ancaman kekerasan, penculikan, penipuan, penyekapan,

peyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi

bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh peretujuan dari orang yang

memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara

1

Nurani, Trafficking: Sebuah Pelanggaran Hak Asasi Manusia (Yogyakarta: Elsaq Press, 2011), 299.

2

(37)

29

maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang

tereksploitasi.3

Pada tahun 1994 PBB mendefinisikan trafficking sebagai pergerakan dan

penyelundupan orang secara sembunyi-sembunyi melintasi batas-batas negara dan

internasional, kebanyakan berasal dari negara berkembang dan negara-negara

yang ekonominya berada dalam masa transisi, dengan tujuan untuk memaksa

perempuan dan anak-anak masuk ke dalam sebuah situasi secara seksual maupun

ekonomi terkompresi, dan situasi eksploitatif demi keuntungan perekrut,

penyelundup, dan sindikat kriminal seperti halnya aktivitas ilegal lainnya yang

terkait dengan perdagangan (trafficking), misalnya pekerja rumah tangga paksa,

perkawinan palsu, pekerja yang diselundupkan dan adopsi palsu.4

Menurut resolusi senat AS no. 2 tahun 199, trafficking adalah salah satu

atau lebih bentuk penculikan, penyekapan, perkosaan, penyiksaan, buruh paksa

atau praktek-praktek seperti perbudakan dan menghancurkan hak asasi manusia.

Trafficking memuat segala tindakan yang termasuk dalam proses rekruitmen atau

pemindahan orang di dalam ataupun antar negara, melibutkan penipuan , paksaan

atau dengan tujuan menempatkan orang-orang pada situasi penyiksaan atau

eksploitasi seperti prustitusi paksa, penyiksaan dan kekejaman luar biasa, buruh di

pabrik dengan kondisi buruk atau pekerja rumah tangga yang dieksploitasi.5

3

Zunly Nadia, “Perlindungan Kehidupan Perempuan Dalam Keluarga dan Masyarakat” Dalam Jurnal Musawa , Vol. 10, No. 2, Juli 2011.

4

Anonim, Human Right in Practice A Guide To Assist Trafficked Women And Children

(Bangkok: Global Alience Trafficking in Woman, 1999), 12.

5

(38)

30

Sebelum Undang-undang tindak pidana disahkan, pengertian tindak pidana

perdagangan orang (trafficking) yang umum paling banyak digunakan adalah

protokol PBB. Adapun menurut protokol PBB tersebut pengertian trafficking

adalah:

a. Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penjualan, penampungan atau

penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau

bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau

penyaalah gunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima

pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh

persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan

eksploitasi. Eksploitassi termasuk, paling tidak eksploitasi untuk melacurkan

orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau

pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek serupa perbudakan,

pengahambaa atau pengambilan organ tubuh.

b. Persetujuan korban perdagangan orang terhadap eksploitasi yang dimaksud

yang dikemukakan dalam sub line (a).

c. Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seorang

anak untuk tujuan eksploitasi dipandang sebagai perdagangan orang bahkan

jika kegiatan ini tidak melibatkan satu pun cara yang dikemukakan dalam sub

babline (a).

d. Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 tahun.6

6

(39)

31

Pengertian di atas tidak menekankan pada perekrutan dan pengiriman yang

menentukan suatu perbuatan tersebut adalah tindak pidana perdagangan orang,

tetapi juga kondisi eksploitatif terkait ke dalam mana orang diperdagangkan.

Dari pengertian tersebut ada tiga unsur yang berbeda yang saling berkaitan

satu sama lainnya, yaitu:7

1. Tindakan atau perbuatan yang dilakukan, yaitu perekrutan, pengiriman,

pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang.

2. Cara: menggunakan ancaman, penggunaan kekerasa atau bentuk-bentuk

paksaan lain, penculikan, tipu daya, penipuan, pemberian atau penerimaan

pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari

orang-orang.

3. Tujuan atau maksud, untuk tujuan eksploitsi. Eksploitasi mencakup

setidak-tidaknya eksploitasi pelacuran dari orang lain atau bentuk-bentuk eksplotasi

seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, pengahambaan atau pengambilan

organ tubuh.

Dari definisi di atas ada beberapa hal yang menjadi ciri utama dari

beberapa pengertian trafficking yaitu:

1. Adanya proses perekrutan, pengiriman, eksploitasi, pemindahan,

penampungan atau penerimaan manusia baik itu lintas wilayah maupun

negara.

2. Ada pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan dengan memanfaatkan

perempuan maupun anak untuk melakukan sebuah pekerjaan (dibayar atau

7

(40)

32

tidak), sebagai hubungan kerja yang eksploitatif (secara ekonomi atau

seksusal), baik itu TKW, prostitusi, buruh manual atau industri, perkawinan

paksa, atau pekerjaan lainnya.

3. Ada korban baik perempuan maupun anak yang karena keperempuanan dan

kekanakannya dimanfaatkan dan di eksploitasi baik secara ekonomi maupun

seksual, guna kepentingan pihak-pihak tertentu dengan cara paksa, disertai

ancaman, maupun tipuan ataupun penculikan, penipuan, kebohongan,

kecurangan atau penyalahgunaan kekuasaan. Dalam hal ini termasuk juga

terhadap beberapa korban yang menyatakan persetujuan yang mana dipahami

bahwa situasi-situai tertentu yang mengakibatkan para korban setuju,

misalnya karena kebutuhan ekonomi, ada tekanan kekuasaan dan lain

sebagainya.

Melihat dari beberapa definisi yang telah dipaparkan tentang pengertian

trafficking di atas dapat diambil benang merahnya bahwa kategori trafficking akan

terpenuhi apabila memenuhi tiga unsur yaitu: proses, jalan atau cara dan tujuan.

Proses disni meliputi perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan dan

penjualan, sedangkan cara atau jalannya ialah dengan kekerasan,pemaksaan,

penipuan, kebohongan dan penculikan. Adapun tujuannya adalah untuk

eksploitasi, baik seksual atupun ekslpoitasi yang lain seperti perbudakan dan

(41)

33

B. Bentuk dan Modus Trafficking

1. Bentuk Trafficking

Seiring berjalannya waktu bentuk dan modus trafficking pun semakin

komplek, banyak model dan bentuk perdagangan yang dipergunakan agar

misi trafficking berhasil. Ini tidak dapat dipungkiri karena sudah menjadi

fenomena yang menjamur diberbagai belahan dunia termasuk Indonisia.

Adapun bentuk-bentuk tarfficking diantaranya adalah:

a) Eksploitasi Seksual

Eksploitasi seksual dibedakan menjadi dua yaitu: Pertama,

eksploitasi seksual komersial untuk prostitusi. Misalnya perempuan yang

miskin dari kampung atau mengalami perceraian karena akibat kawin

muda atau putus sekolah kemudian diajak bekerja ditempat hiburan

kemudian dijadikan pekerja seks atau panti pijat. Korban bekerja untuk

mucikari atau disebut juga germo yang punya peratutan yang eksploitatif,

misalnya jam kerja yang tak terbatas agar menghasilkan uang yang

jumlahnya tidak ditentukan.8 Korban tidak berdaya untuk menolak

melayani laki-laki hidung belang yang menginginkan tubuhnya dan jika

ia menolak maka sang mucikari tidak segan-segan untuk menyiksanya

karena biasanya mereka punya bodigard-budigard yang mengawasi

mereka. Kesempatan untuk melepaskan diri sangatlah sulit sekali,

sehingga korban bagaikan buah si malakama. Jika korban protes maka

mereka diharuskan membayar sejumlah uang sebagai ganti dari biaya

8

(42)

34

hidup yang digunakan oleh korban. Dalam prakteknya korban dalam

posisi yang lemah dan diskenariokan untuk selalu tergantung atau merasa

membutuhkan aktor baik untuk kebutuhan rasa aman maupun kebutuhan

secara ekonomis.9

Kedua, eksploitasi non komersial, misalnya pencabulan terhadap

anak, perkosaan dan kekerasan seksual. Banyak pelaku pencabulan dan

perkosaan yang dapat dengan bebas menghirup udara kebebasan dengan

tanpa dijerat hukum. Sementara perempuan sebagai korban harus

menderita secara lahir dan batin seumur hidup bahkan ada yang putus asa

dan mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, ada juga yang karena tidak

sanggup menghadapi semuanya terganggu jiwanya. Di Indonesia

keberadaan perempuan yang dijerumuskan ke dalam prostitusi yang

diperdagangkan seksualitasnya dan perempuan yang digunakan untuk

memproduksi bahan-bahan pornugrafi merupakan fakta yang tidak

terbantahkan. Dalam banyak kasus, perempuan semula dijanjikan oleh

pihak-pihak tertentu untuk bekerja sebagai buruh migran, pembantu

rumah tangga, pekerja restoran, pelayan toko, dan lain sebagainya. tetapi

kemudian dipaksa pada industri seks pada saat mereka tida pada daerah

tujuan.

Eksploitasi seksual baik yang komersial maupun yang non

komersial kedua-duanya sama-sama menjadi penyakit penyebar HIV dan

9

Suyanto, Perdagangan Anak Perempuan, Kekerasan Seksual dan Gagasan Kebijakan

(43)

35

AIDS, sebuah virus yang menggerogoti sistem kekebalan tubuh sehingga

jika seseorang sudah tertular maka kekebalan tubuhnya sudah tidaki ada

lagi. Dari tahun ke tahun penularan penyakit ini perkembangannya

semakin pesat, yang tertular tidak hanya di kalangan masyarakat kota tapi

juga sampai ke pelosok desa seperti papua.

Ini adalah masalah yang sangat besar, satu sisi agama dan negara

mencegah dengan peraturan-peraturannya namun disisi lain kejahatan

semakin merajalela dan semakin canggih.

b) Pekerja Rumah Tangga

Pembantu rumah tangga yang bekerja baik di luar maupun di

dalam wilayah Indonesia dijadikan korban kedalam kondisi kerja yang

dibawah paksaan, pengekangan dan tidak diperbolehkan menolak

bekerja. mereka bekerja dengan jam kerja yang panjang, upah yang tidak

dibayar.10

Selama ini juga pekerja rumah tangga tau yang disebut pembantu

tidaklah dianggap sebagai pekerja formal melainkan sebagai hubungan

informal antara pekerja dan majikan, dan pekerjaan kasar yang tidak

membutuhkan keterampilan. upah yang diterima sangat rendah dibawah

UMR yang tidak sebanding dengan pekerjaan yang dilakukan, dimana

jam kerja yang sangat panjang, tidak ada libur, bahkan banyak yang tidak

ada waku untuk istirahat. Perlakuan yang lebih buruk lagi adalah mereka

diperlakukan layaknya budak, baik ketika menyuruh suatu pekerjaan atau

10

(44)

36

dalam hal makan, di mana mereka diberi makan yang sedikit dan tidak

memenuhi standar gizi yang dapat memberikan asupan tenaga, dilarang

menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya bahkan di luar negeri

seringkali majikan dan agen menyita paspor TKW agar tidak bisa kabur

jika mereka diperlakukan oleh semua majikan karena ada juga majikan

yang baik dalam memperlakukan pembantu rumah tangganya bahkan

menganggapnya sebagai keluarga.

c) Penjualan Bayi

Di sejumlah negara maju, motif adopsi anak pada keluarga

modern menjadi salah satu penyebab maraknya incaran trafficker.

Keluarga modern yang enggan mendapatkan keturunan dari hasil

pernikahan menjadi rela mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk

mengadopsi anak. Kebutuhan adopsi massal itulah yang menyebabkan

lahirnya para penjual bayi, calo-calo anak dan segenap jaringannya.

Di sisi lain, negara-negara berkembang masih dipenuhi warga

miskin dengan segala persoalannya, yang kemudian menjadi sasaran

pencarian anak-anak yang akan diadopsi melalui proses perdagangan.

Misalnya hilangnya 300 anak pasca sunami di Aceh yang kemudian

dilarikan oleh LSM. Banyak pihak yang menduga anak itu dilarikan ke

Amerika.11

Selama tahun 2007, gugus tugas anti trafficking Menteri Negara

Pemberdayaan Perempuan (GTA MNPP) menemukan sekitar 500 anak

11

(45)

37

Indonesia yang diperdagangkan ke Swedia. Para trafficker tidak hanya

mengambil anak-anak usia belita, usia sekolah dan remaja saja janinpun

bisa mereka tampung.

Dari sumber yang sama menyebutkan bahwa pada tahun 2003 di

perbatasan Indonesia-Malaysia harga orok bermata sipit dan berkulit

putih dihargai sekitar 18.000 -25.000 Ringgit Malaysia. Sedangkan untuk

orok bermata bundar dan berkulit hitam dihargai 10.000-15.000 Ringgit

Malaysia.

Cara atau modus penjualan bayi bervariasi. Misalnya, beberapa

buruh migran Indonesia yang menjadi korban sebagai perkawinan palsu

saat di luar negeri, dipaksa untuk menyerahkan bayinya untuk diadopsi

secara illegal. Dalam kasus lain, ibu rumah tangga Indonesia ditipu oleh

pembantu rumah tangga kepercayaannya yang melarikan bayi

majikannya kemudian menjual bayi tersebut kepasar gelap.

d) Jeratan Hutang

Jeratan hutang adalah salah satu bentuk dari perbudakan

tradiional, di mana korban tidak bisa melarikan diri dari pekerjaan atau

tempatnya bekerja sampai hutangnya lunas. Ini terjadi mislanya pada

para TKW, di mana ketika mereka berangkat ke negara tujuan dibiayai

oleh PJTKI dan mereka harus mengganti dengan gaji sekitar empat

bulanan yang padahal jika dihitung-hitung baiaya yang dikeluarkan oleh

PJTKI tidak sebanyak gaji TKW tersebut. Ini menjadikan para TKW

(46)

38

habis masa kontrak. Karena itulah jeratan hutang dapat mengarah pada

kerja paksa dan membuka kemungkinan terjadinya kekerasan dan

eksploitasi terhadap pekerja.12

Pekerja kehilangan kebebasannya untuk bekerja karena orang

yang menghutangkan ingin memastikan bahwa pekerja tidak akan lari

dari hutangnya. Meskipun secara teori mereka hutang tersebut dapat

dibayarkan dalam jangka waktu tertentu tetapi hutang tersebut akan terus

ditingkatkan sampai si peminjam tidak dapat melunasinya.

e) Pengedar Narkoba dan Pengemis

Dunia saat ini sudah diserang virus berbahaya yang namanya

narkoba. Narkoba sudah mengglobal di seluruh dunia dan sulit untuk

dicegah penyebarannya mulai dari kota besar sampai kepelosok desa.

karena secara materi hasil dari penjualan narkoba sangat fantastis

dibanding dengan pekerjaan atau bisnis apapun.

Inilah salah satu yang menyebabkan orang-orang terjun

kelingkungan mafia, karena satu sisi hasilnya sangat menggiurkan dan

disisi lain ia sulit menemukan pekerjaan yang layak dengan penghasilan

besar walaupun resikonya juga sangat besar. Kemudian juga

dimanfaatkan oleh bandar-bandar narkoba untuk mengedarkan pil

setannya juga menjadi penggunanya. Misalnya banyak kasus dalam

tayangan berita di mana muda mudi tertangkap menyeludupkan narkoba

termasuk heroin atau ganja tertangkap polisi. Mereka sangat sulit sekali

12

(47)

39

untuk membuka siapa yang ada dibalik mereka, karena biasanya mereka

sudah diikat dengan perjanjian untuk tidak membuka dan kadangkala

mereka sendiri tidak tau siapa pihak pertama atau pemilik barang haram

tersebut. Akhirnya merekalah yang harus menerima resikonya sementara

bandar narkobanya bebas melenggang.

Pekerjaan lain yang juga menjadi penyakit adalah adanya sindikat

bagi para pengemis. Banyak perempuan-perempuan di lampu merah yang

bahkan menggendong anak kecil dengan penampilan yang amat sangat

tidak layak untuk masa sekarang ini yang serba modern berburu kepingan

rupiah dari mereka-mereka yang punya rasa iba. Ternyata banyak

diantara mereka yang dikordinir dan ditempatkan ditempat-tempat yang

sudah ditentukan. Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan kerja keras

dari semua pihak dengan sungguh-sungguh dan bukan penyelesaian yang

hanya bersifat formalitas belaka. Memang sudah ada upaya dari Dinas

Sosial tapi ini mungkin baru sedikit karena buktinya semakin hari

perempuan yang mengemis di jalanan makin banyak.

f) Penga

Referensi

Dokumen terkait

KOMUNIKASI ANTAR KELOMPOK MASYARAKAT BERBEDA AGAMA DALAM MENGEMBANGKAN RELASI DAN TOLERANSI SOSIAL (Studi kasus pada masyarakat desa Ngadas suku tengger kecamatan

Pada prinsipnya, perbedaan tekanan pada sisi upstream dan downstream dari core plug akan menyebabkan fluida dapat mengalir, namun hal yang patut diperhatikan adalah dalam

Bantuan diberikan oleh keluarga batih (nuclear family) dalam bentuk perlindungan bagi calon pengantin laki-laki untuk melakukan “tindakan tersembunyi” dalam tradisi bajapuik, agar

Pengelolaan kebudayaan dan kepariwisataan pada satu kawasan merupakan upaya dalam mensinergiskan berbagai kepentingan sebagaimana makna dari suatu kawasan merupakan

Tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui pembentukan akhlak santri melalui kegiatan majlis shalawat Burdah di Pondok Pesantren Darul Huda Mayak Tonatan Ponorogo

Sehingga banyak remaja berpikir bahwa apa yang mereka pikirkan lebih baik dari pada apa yang dipikirkan orang dewasa, hal tersebut yang menjadi penyebab banyak remaja sering

Hal ini terjadi karena basis sosial teori dan pendekatan ini adalah masyarakat transisi-modern di Amerika pada sekitar tahun 1960-an, di mana media massa belum menjadi sebuah

dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Dari ketentuan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : berkaitan dengan MA. MA merupakan puncak