TRAFFICKING DALAM AL-
QUR’A
<<<<<<<<<<<N
(Studi Analisis Terkait Penafsiran Surat
An-Nu>r
, 24: 33 dan Surat
Yu>suf
, 12: 20)
SKRIPSI:
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata
Satu (S-1) dalam Ilmu Al-Qur
’
an dan Tafsir
Oleh:
JULLUL WARA
NIM: E03212014
PRODI ILMU AL QUR
’
AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
v
ABSTRAK
Nama : Jullul Wara
Judul : Trafficking Dalam Al-Qur’a>n (Studi Analisis Terkait Penafsiran Surat An-Nu>r, 24: 33 dan Yusu>f, 12: 19-20)
Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah: Pertama, bagaimana penafsiran terhadap surat an-N>u>r, 24: 33 dan surat Yu>suf, 12: 19-20 dan teori apa yang dipakai?. Kedua, bagaimana kontekstualisasi penafsiran terhadap surat an-Nu>r, 24:33 dan Yu>suf, 12:20 beserta kaitannya dengan trafficking?
Dalam menjawab permasalahan tersebut, maka penelitian ini mengunakan jenis penelitian kualitatif, kemudian menggunakan metode penelitian library research (penelitian perpustakaan), sumber data primer yang digunakan berasal dari kitab tafsi>r Ibnu kathi>r, tafsi>r al-mis{ba>h, al-Maraghi> serta data sekunder yang berasal dari kitab-kitab tafsir yang lain atau buku-buku penunjang yang membahas tentang trafficking yang relevan dengan penelitian ini. selanjutnya analisis datanya menggunakan metode deskriptifkualitatif.
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa para mufassir yakni Ibnu Kathi>r, Quraish S{ih{a>b dan Must{afa> al-Maraghi> sepakat bahwa dalam surat an-Nu>r lafad al-Bigha>’ diartikan dengan prostitusi dan ayat tersebut membicarakan eksploitasi seksual. Akan tetapi terdapat perbedaan kaidah yang mereka pakai, Quraish menggunakan kaidah kebahasaan atau semantik leksial dan kaidah بﺎ ا صﻮﺼﺨ ﻻ ﻆ ا مﻮ ﻌ ةﺮ ﻌ ا, sedangkan Ibnu Kathi>r dan Must{afa al-Maraghi> memakai kaidah ﻆ ا مﻮ ﻌ ﻻ بﺎ ا صﻮﺼﺨ ةﺮ ﻌ ا (yang menjadi landasan adalah kekhususan sebab bukan keumuman dari lafad).
Selanjutnya dalam surat Yu>suf, 12: 20 mereka terdapat perbedaan juga ketika menafsirkan d{amir kalimat sharauhu (mereka menjualnya). Ibnu Kathi<r berpendapat d{amir tersebut ditujukan kepada saudara-saudara Yu>suf , Ibnu Kathi>r mengukuhkan pendapatnya karena memakai muna>sabat kalimat antar kalimat dalam satu ayat, yaitu dikaitkan dengan ayat sesudahnya yakni lafad اﻮ ﺎ و
ﺪھاﺰ ا ﮫ . Sedangkan Must{afa> al-Maraghi> dan Quraish S{ih{ab berpendapat bahwa damir tersebut untuk para kafilah. mereka memakai
muna>sabah ayat antar ayat dalam satu surat yaitu merujuk kepada ayat sebelumnya yakni lafad ھدراو اﻮ رﺄ ةرﺎ تءﺎﺟو.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv
ABSTRAKSI ... v
KATA PENGANTAR ... vi
MOTTO ... ix
PERSEMBAHAN ... x
PEDOMAN TRANSLITERASI ... xi
DAFTAR ISI ... xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Kegunaan Penelitian ... 9
E. Kajian Pustaka ... 10
F. Metode Penelitian ... 11
G. Sistematika Pembahasan ... 14
BAB II TEORI ASBA<B AL-NUZU<L DAN MUNA<SABAT A. Asba>b al-Nuzu>l ... 16
1. Definisi asba>b al-Nuzu>l ... 16
2. Hubungan sebab akibat dalam kaitannya dengan asba>b al-Nuzu>l ... 17
B. Muna>sabat ... 22
1. Definisi muna>sabat ... 22
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG TRAFFICKING
A. Definisi dan Unsur-unsur Trafficking ... 28
B. Bentuk dan Modus Trafficking ... 33
1. Bentuk Trafficking ... 33
2. Modus Trafficking ... 42
C. Faktor-faktor Pendorong Terjadinya Trafficking ... 44
D. Trafficking di Indonesia ... 52
BAB IV PENAFSIRAN TERKAIT AYAT-AYAT TRAFFICKING A. Penafsiran Terhadap Surat An-Nu>r, 24: 33 ... 57
1. Penafsiran Ibnu Kathi>r ... 58
2. Penafsiran M. Quraish S{iha>b ... 65
3. Penafsiran Must{afa> Al-Maraghi> ... 71
B. Penafsiran Terhadap Surat Yu>suf, 12: 19-20 ... 73
1. Penafsiran Ibnu Kathi>r ... 74
2. Penafsiran M. Quraish S{iha>b ... 79
3. Penafsiran M. Must{afa> Al-Maraghi> ... 83
C. Analisis Terkait Beberapa Penafsiran Mufassir Terhadap Surat An-Nu>r, 24: 33 dan Yu>suf, 12: 19-20 Beserta Kaitannya Dengan Trafficking ... 86
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ` ... 99
B. Saran ... 101
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Arus kapitalisme yang berjalan dengan globalisasi, mengantarkan manusia
pada materialistis. Tak dapat disangkal bahwa industrialisasi sebagai salah satu
cirinya menunjukkan perkembangan yang semakin pesat. Berbagai komoditi yang
dijadikan sebagai obyek dalam industrialisasi tersebut berdampak pada kreasivitas
manusia dalam menemukan jenis komoditi yang mendatangkan banyak
keuntungan (uang).
Salah satu kreasivitas bebas yang ditemukan oleh manusia adalah
menjadikan manusia sebagai komoditi industri. Manusia diperdagang jual belikan,
seperti layaknya komoditi lain. Sederhananya manusia berdagang manusia, istilah
ini biasanya dikenal dengan trafficking.
Kegiatan trafficking menjadi isu global yang mengemuka. Dalam
perkembangannya, perdagangan manusia adalah bentuk modern perbudakan yang
luas terjadi di seluruh dunia. Memperdagangkan manusia adalah industri
kejahatan yang cepat pertumbuhannya dan merupakan perbudakan dengan bentuk
dan modus baru yang semakin canggih dan terstruktur. Hal ini terbukti bahwa
perdagangan manusia berlangsung tidak hanya dalam negara saja tetapi juga
melewati lintas batas negara.
Semestinya, eksploitasi terhadap manusia, baik terhadap perempuan
2
modern. perdagangan manusia dipandang sebagai musuh bersama oleh seluruh
bangsa-bangsa yang ada di dunia karena merupakan pelanggaran besar bagi Hak
Asasi Manusia (HAM) dan secara yuridis banyak ditentang diberbagai negara.
Namun, kenyataan tidaklah demikian bahkan bisnis woman trafficking termasuk
dalam tiga besar setelah perdagangan obat-obatan terlarang dan perdagangan
senjata.
Dilihat dari aspek sosial, kegiatan trafficking lebih banyak disebabkan oleh
faktor kemiskinan, baik pelaku maupun korban trafficking sehingga tidak sedikit
orang tua membujuk, merelakan bahkan memaksa anaknya untuk
diperdagangkan. Alasan lain dari munculnya trafficking gaya hidup masyarakat
yang semakin memuja kekayaan materi, mementingkan kesenangan di atas segala
hal.
Buruknya sistem ekonomi cikal juga yang membuat masyarakat sulit
untuk bersaing, memaksa masyarakat mencari pekerjaan keluar negeri atau
bahkan melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Hal
ini diperburuk oleh dampak globalisasi yang tidak dapat dihindari oleh bangsa
Indonisia. Yang mana faktor kemiskinan sering dimanfaatkan oleh pihak-pihak
tertentu untuk kepentingan bisnis, dimana korban diperjual belikan bagaikan
barang yang tidak berharga melalui tipu muslihat.1 Sulitnya perekonomian mebuat
masyarakat terjebak dalam lilitan hutang, kondisi inilah yang memaksa
masyarakat terjebak dalam praktek trafficking yang berupa tindakan menyewakan
tenaga anggota keluarga untuk melunasi hutang.
1
3
Apabila ditinjau dari aspek sejarah, jejak perbudakan selalu ada dalam
setiap bangsa yang beradab. Terbukti kebudayaan Yahudi, Romawi dan Jerman
kuno yang banyak mempengaruhi keberadaan hukum modern juga mengenal
perbudakan. Bentuk perbudakan dibagi menjadi dua bagian yakni penghambaan
petani dan perbudakan dalam rumah tangga. Tentunya praktek ini menimpa kaum
lemah, terutama wanita dan anak-anak. Hal inilah yang menjadi masalah utama
trafficking, yaitu perbudakan atau eksploitasi atas kaum lemah baik terhadap
wanita maupun anak-anak.2
Dalam tinjauan agama, Islam melarang trafficking dan menghapus segala
bentuk anti-kemanusiaan seperti eksploitasi ataupun perbudakan. Manusia tidak
boleh diperbudak atau mengekspotasi manusia lain dengan alasan apapun. Hal ini
karena Islam telah mengangkat derajat manusia laki-laki maupun perempuan,
anak-anak maupun dewasa. Orang-orang yang lemah harus senantiasa dilindungi
oleh orang yang kuat. Pernyataan tersebut dijelaskan dalam Qur’a>n Q.S
al-Isra>’: ayat 70
ﺸﺪﺴﺴ ﺴو
ﺎﺴ ﺸﺮﺴ
ِ ﺴ
ﺴمﺴدآ
ﺸُﺎﺴ ﺸ ﺴﺴﺴو
ِ
ﱢﺮﺴـﺸﺒ
ِﺮﺸ ﺴ ﺸﺒ ﺴو
ﺸُﺎﺴ ﺸـ ﺴزﺴﺜﺴو
ﺴِ
ِتﺎﺴ ﱢ ﺒ
ﺸُﺎﺴ ﺸ ﺴ ﺴو
ﻰﺴ ﺴ
ﺳﺮ ِ ﺴ
ﺸ ِ
ﺎﺴ ﺸﺴ ﺴ
ِ ﺸﺴـ
)
ﻀ٠
(
Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.3
Secara lebih spesifik dalam surat an-Nu>r ayat 33 melarang tentang
trafficking sebagaimana berikut: 2
M. Alfatih Suryadilaga, Trafficking dalam Hadis dan Perkembangangnya dalam Konteks Kekinian dalam Jurnal Musawa, Vol. 4, No. 3, Oktober 2006, 315.
3
4
ِ ِﺸﺴـﺸﺴ ﺸ ﺴو
ﺴ ِﺬ ﺒ
ﺴنوُﺪ ِﺴ
ﺎ ًﺎﺴ ِ
ﻰ ﺴ
ُُﻬﺴـِ ﺸ ُـ
ُ ﺒ
ﺸِ
ِِ ﺸ ﺴ
ﺴ ِﺬ ﺒ ﺴو
ﺴنﻮُ ﺴـﺸ ﺴـ
ﺴبﺎﺴ ِﺸﺒ
ﺎ ِ
ﺸ ﺴ ﺴ ﺴ
ﺸُ ُ ﺎ ﺴﺸ ﺴأ
ﺸُﻮُ ِ ﺎﺴ ﺴ
ﺸنِﺐ
ﺸُ ﺸِ ﺴ
ﺸِﻬ ِ
ﺒ ًﺮﺸـﺴ
ﺸُﻮُ آ ﺴو
ﺸِ
ِلﺎ ﺴ
ِ ﺒ
يِﺬ ﺒ
ﺸُﺎﺴ آ
ﺴو
ﺒﻮُِﺮﺸ ُ
ﺸُ ِ ﺎﺴ ﺴـﺴـ
ﻰﺴ ﺴ
ِءﺎﺴ ِ ﺸﺒ
ﺸنِﺐ
ﺴنﺸدﺴﺜﺴأ
ﺎً ﺴﺴ
ﺒﻮُ ﺴـﺸ ﺴ ِ
ﺴضﺴﺮﺴ
ِةﺎﺴ ﺴﺸﺒ
ﺎﺴ ﺸـﺪ ﺒ
ﺸﺴﺴو
ِﺮﺸ ُ
نِﺈﺴ
ﺴ ﺒ
ﺸِ
ِﺪﺸﺴـ
ِﻬِﺒ ﺴﺮﺸ ِﺐ
ﺲﺜﻮُﺴ
ﺲ ِﺴﺜ
)
ﺼﺼ
(
Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat Perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.4
Kandungan dalam surat an-Nu>r di atas secara singkat dapat disimpulkan
dalam beberapa hal. Pertama, kewajiban memberikan perlindungan terhadap
mereka yang lemah, ini lebih ditujukan kepada kaum perempuan karena mereka
adalah kelompok masyarakat yang dilemahkan dalam konteks masyarakat Arab
ketika itu.
Kedua, kewajiban membebaskan orang-orang yang terperangkap dalam
perbudakan. Ketiga, kewajiban menyerahkan hak-hak ekonomi mereka. Hak-hak
mereka yang bekerja untuk majikannya harus diberikan. Keempat, haramnya
mengekploitasi tubuh perempuan untuk kepentingan duniawi.
Secara implisit Nabi Muhammad saw. juga mengecam tindakan kejahatan
semacam trafficking, salah satu hadis beliau yang berkaitan dengan anti
trafficking adalah hadis yang diriwayakan oleh al-Bukha>ri dan Ah{mad.
4
5
ﺎ أ ﺔ :ﷲﺒ لﺎ :لﺎ و ﷲﺒ ﻰ ﺒ ﷲﺒ ﻰ ﺜ ةﺮﺮ ﻰ أ
ﻬ
ﺮ ﺄ ﺒ ﺜ و ﺎ ﺮ غﺎ ﺜ و ﺜﺪ ﻰ ﻰ أ ﺜ ﺔ ﺎ ﺒ مﻮ
ﱠﺪ أ و ىﺜﺎ ﺒ ﺒوﺜﱡ ﺮ أ و ﺒﻮ ﻮ ﺒﺮ
Dari Abu H{urairah{ Radiyallahu‘anhu dari Nabi SAW bersabda: “ Allah SWT berfirman: ada tiga kelompok yang dihari kiamat nanti yang akan menjadi musuh besar saya. Pertama, seorang yang bersumpah atas namaku tapi tidak menepatinya. Kedua, seorang yang menjual orang merdeka kemudian memakan harganya. Ketiga, seorang yang menyewa tenaga seseorang pekerja yang telah menyelesaikan pekerjaan itu akan tetapi dia tidak membayar upahnya. ( HR. Imam Bukha>ri)
Hadis di atas menjelaskan bahwa Allah melaknat perdagangan manusia
dan akan menjadi musuh Allah kelak di hari kiamat bagi siapapun yang
memperdagangkan manusia baik anak-anak ataupun perempuan.
Di sinilah pemahaman dan aktualisasi agamawan Islam terhadap teks-teks
suci, karena al-Qura>n merupakan kitab petunjuk yang dapat menuntun umat
manusia menuju jalan kebenaran. Selain itu, al-Qura>n juga berfungsi sebagai
pemberi penjelas terhadap segala sesuatu dan pembeda antara kebenaran dan
kebatilan. Untuk mengungkap petunjuk dan penjelasan dari al-Qura>n, telah
dilakukan berbagai upaya oleh sejumlah pakar dan ulama’ yang berkompeten
untuk melakukan penafsiran terhadap al-Qura>n, sejak masa awal hingga
sekarang ini. Meski demikian, keindahan bahasa al-Qura>n, kedalaman maknanya
serta keragaman temanya, membuat pesan-pesannya tidak penah berkurang,
apalagi habis, meski telah dikaji dari berbagai aspeknya.5
Trafficking adalah sebuah kejahatan kemanusiaan berupa perdagangan
orang, dan menjadi isu global yang mengemuka pada saat ini. Adapun
5
6
kebanyakan yang menjadi korbannya adalah kaum wanita dan anak-anak.
Berangkat dari fenomena ini penulis tertarik ingin meneliti dan mengkaji tentang
terafficking ketika dikaitkan dengan kitab suci al-Qur’a>n, apakah dalam salah
satu surat atau ayat dalam al-Qur’a>n ada yang berbicara tentang trafficking?
karena al-Qur’a>n itu sendiri adalah sebagai kitab pedoman yang tidak ada
keraguan di dalamnya. Itulah sebabnya al-Qur’a>n di jadikan refrensi utama
dalam menyelesaikan problem kehidupan yang semakin kompleks sesuai dengan
jargon teologisnya yaitu s{a>lih li kulli zama>n wa maka>n.
Ternyata ketika bererbicara tentang trafficking ada tiga istilah dalam
al-Qur’a>n yang hemat penulis mengandung pengertian atau unsur-unsur trafficking,
yaitu:
1. Menjual (Shira)
Dalam Q.S. Yu>suf, 12: 20
ُ ﺸوﺴﺮﺴ ﺴو
ﺳ ﺴﺴ ِ
ﺳ ﺸ ﺴ
ﺴِﺒ ﺴﺜﺴد
ﺳةﺴدوُﺪﺸﺴ
ﺒﻮُ ﺎﺴ ﺴو
ِ ِ
ﺴِ
ﺴ ِﺪِﺒﺰ ﺒ
)
ﺻ٠
(
Dan mereka menjual Yu>suf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yu>suf.6
Al-Qur’a>n menggunakan kata shara dalam ayat tersebut untuk
menunjukkan indikasi atau adanya perilaku seseorang yang menjual seorang
anak yaitu Nabi Yu>suf kepada orang lain.
2. Prostitusi (al-Bigha>’)
Dalam al-Qur’a>n kata al-Bigha>’ terdapat sebanyak 96 kali.7
Misalnya dalam Q.S. an-Nu>r ayat 33.
6
7
ﺴو
ﺒﻮُِﺮﺸ ُ
ﺸُ ِ ﺎﺴ ﺴـﺴـ
ﻰﺴ ﺴ
ِءﺎﺴ ِ ﺸﺒ
ﺸنِﺐ
ﺴنﺸدﺴﺜﺴأ
ﺎً ﺴﺴ
ﺒﻮُ ﺴـﺸ ﺴ ِ
ﺴضﺴﺮﺴ
ِةﺎﺴ ﺴﺸﺒ
ﺎﺴ ﺸـﺪ ﺒ
ﺸﺴﺴو
ِﺮﺸ ُ
نِﺈﺴ
ﺴ ﺒ
ﺸِ
ِﺪﺸﺴـ
ِﻬِﺒ ﺴﺮﺸ ِﺐ
ﺲﺜﻮُﺴ
ﺲ ِﺴﺜ
)
ﺼﺼ
(
Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.8
Dalam ayat ini al-Qur’a>n berbicara prostitusi atau pelacuran yang
mana al-Bigha>’ atau prostitusi ini adalah seks untuk pencaharian yang
mengandung beberapa tujuan yang ingin diperoleh di antaranya uang.
Al-Bigha>’ bisa diartikan juga kepada ekploitasi seks terhadap perempuan.
3. Perbudakan (Raqabah)
Kata raqabah dalam al-Qur’a>n diulang sebanyak enam kali dalam
bentuk tunggal dan bentuk jama’. Adapun dalam bentuk Tunggal yaitu dalam
Q.S. an-Nisa>’, 4: 92 diulang sebanyak tiga kali, Q.S. al-Ma>idah, 5: 9, Q.S.
al–Muja>dalah, 58:3 dan Q.S. al-Balad ayat 13. Dan dalam bentuk jamaknya
yaitu riqab, Misalnya dalam Q.S. an-Nisa>’ ayat 92, Q.S. al-Baqarah ayat
177, Q.S. At-Taubah ayat 60 dan Q.S. Muh{ammad ayat 4.
Dari penjelasan di atas, penulis tertarik membahas tema mengenai
Trafficking dalam al-Qura>n dengan menggunakan kajian tema terkait ayat-ayat
trafficking menurut beberapa penafsiran para mufassir.
Fokus pembahasan pada skripsi ini, tertitik dan tertuju pada ayat-ayat
Trafficking dalam al-Qur’a>n, yakni surat an-Nur>, 24: 33 dan surat Yu>suf ayat
7
Muh{ammad Fu’ad al-Ba>qi’, Mu’jam Mufah{ras li alfaz{ al-Qur’a>n al-Kari>m
(Indonesia: Maktabah Dahlan, tth), 167. 8
8
20. penulis hanya mengambil surat an-Nu>r, 24: 33 dan surat Yu>suf, 12: 20
karena hemat penulis hanya dua surat ini dalam al-Qur’a>n yang secara spesifik
mengandung pengertian atau unsur-unsur trafficking. Dan fokus penelitian ini
juga tertuju kepada penafsiran tiga mufassir yaitu Ibnu Kathi>r mewakili
penafsiran bil-riwa>yat dan ra’yi, Ah{mad Must{afa> al-Maraghi> dan M.
Quraish S{ih>ab yang mewakili penafsiran al-Adabi> al-Ijtima>’i> (sosial
kemasyarakatan).
B. Rumusan Masalah
Agar lebih jelas dan memudahkan operasional penelitian, maka perlu
diformulasikan beberapa rumusan permasalahan pokok, sebagai berikut:
1. Bagaimana penafsiran terhadap surat an-Nu>r, 24: 33 dan teori apa yang
dipakai?
2. Bagaimana penafsiran terhadap surat Yu>suf, 12: 19-20 dan teori apa yang
dipakai?
3. Bagaimana kontekstualisasi penafsiran terhadap surat an-Nu>r, 24: 33 dan
surat Yu>suf, 12: 19-20 beserta kaitannya dengan trafficking?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini mempunyai
beberapa tujuan yang ingin dicapai, di antaranya:
9
2. Mengetahui penafsiran terhadap surat Yu>suf, 12: 19-20 dan teori yang
dipakai.
3. Mengetahui kontekstualisasi terhadap penafsiran surat an-Nu>r, 24: 33 dan
surat Yu>suf, 12: 19-20 beserta kaitannya dengan trafficking.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih keilmuan
dalam bidang tafsir. Agar penelitian ini benar-benar berguna untuk pengembangan
ilmu pengetahuan, maka perlu dikemukakan kegunaan dari penelitian ini.
Adapun kegunaan tersebut ialah sebagai berikut:
1. Kegunaan secara teoritis
Hasil penelitian ini berguna untuk menambah wawasan dalam
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam penelitian tafsir yang
terkait dengan pengertian trafficking dalam al-Qur’a>n, ayat-ayat trafficking,
dan penafsiran ayat-ayat trafficking.
2. Kegunaan secara praktis
Implementasi penelitian ini diharapkan bisa memberi kontribusi agar
dapat memberi wawasan dan solusi terhadap masyarakat terhadap perilaku
10
E. Kajian Pustaka
Mengenai Penelitian tentang trafficking cukup banyak dan beragam.
Namun keberagaman tema tersebut justru merefrensikan suatu yang berbeda, baik
mengenai obyek maupun fokus penelitian. Hal ini dapat dipahami dalam beberapa
penelitian sebagai berikut:
Dalam bentuk skripsi, “Trafficking Perempuan Dalam Hadis: Kajian
Ma’a>ni Hadi>th”9 karya M. Shofwan membicarakan tentang pemaknaan hadis
dan relevansinya terhadap trafficking masa kekinian.
Sedang dalam bentuk buku, Faqihuddin ‘Abdul Qadi>r dkk. menulis Fiqh
Anti Trafficking Jawaban atas Berbagai Kasus Kejahatan Perdaganagan
Manusia Dalam Perspektif Hukum Islam.10 Dalam bukunya hanya menjelaskan
trafficking berdasarkan kajian fiqh. Berbeda dengan penelitian ini, di mana
peneliti mencoba mnguraikan trafficking dalam perspektif al-Qur’a>n.
Pada tulisan jurnal M. Alfatih Suryadilaga menulis Trafficking dalam
Hadis dan Perkembangangnya dalam Konteks Kekinian.11 Tulisan ini membahas
asal-usul trafficking, bentuk dan perkembangannya. Meski trafficking
permasalahannya dikaitkan dengan kekinian namun fokusnya adalah dihubungkan
dengan hukum atau fiqh. Berbeda dengan penelitian ini yang fokusnya adalah
terhadap penafsiran para ulama terhadap ayat-ayat trafficking dan
implementasinya terhadap konteks kekinian.
9 M. Shofwan, “Trafficking Perempuan dalam Hadis: Kajian Ma’a>ni Hadi>th”, Skripsi
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta 2009
10
Faqihuddin ‘Abdul Qadi>r, Fiqh Anti Trafficking Jawaban atas Berbagai Kasus Kejahatan Perdagangan Manusia Dalam Perspektif Hukum Islam (Cirebon: Fahmina Institut, 2006), 16.
11
11
Beberapa buku yang dikemukakan di atas sedikit banyak akan mendukung
dalam pembahasan penelitian ini. Namun, dari beberapa bahan pustaka tersebut
tidak satupun yang spesifik membahas tentang trafficking dalam perspektif
al-Qura>n. Oleh karena itu, penelitian ini berupaya menambahkan wacana mengenai
trafficking perspektif al-Qur’a>n: Studi analisis tekait penafsiran surat an-Nu>r,
24: 33 dan Yu>suf, 12: 19-20 dan kaitannya dengan isu trafficking saat ini.
F. Metode Penelitian
Sebagai karya ilmiah, maka tidak bisa dilepaskan dari penggunaan metode,
karena metode merupakan pedoman agar kegiatan penelitian terlaksana dengan
sistematis.12Dengan demikian, metode merupakan pijakan agar penelitian tercapai
dengan maksimal. Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode
sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yaitu prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif beberapa kata-kata tertulis atau
lisan dari suatu objek yang dapat diamati dan diteliti.13Di samping itu,
penelitian ini juga menggunakan metode penelitian library research
(penelitian perpustakaan), dengan mengumpulkan data dan informasi dari
12
Anton Bekker dan Ahmad Haris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 10.
13
12
data-data tertulis baik berupa literatur berbahasa arab maupun literatur
berbahasa indonesia yang mempunyai relevansi dengan penelitian.
2. Sumber Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini, bersumber dari dokumen
perpustakaan tertulis, seperti kitab, buku ilmiah dan referensi tertulis lainnya.
Data-data tertulis tersebut terbagi menjadi dua jenis sumber data. Yaitu
sumber data primer dan sumber data sekunder, yaitu:
a. Sumber data primer merupakan rujukan data utama dalam penelitian ini,
yaitu:
1) Tafsi>r Ibnu Kathi>r
2) Tafsi>r al-Maraghi>
3) Tafsi>r al-Mis{ba>h{
b. Sumber data sekunder, merupakan referensi pelengkap sekaligus sebagai
data pendukung terhadap sumber data primer. Adapun sumber data
sekunder dalam penelitian ini diantaranya:
1) Penganten Pesanan Pos: Modus Operandi Human Trafficking di
Indonesia, Zulkipli Lessy
2) Politik Perdagangan Perempuan, Andi Yentriani
3) Hati-hati Modus Baru Human Trafficking, Dwi Indah Puspita
4) Trafficking Tantangan Bagi Indonisia, Enny Zuhni Khayati
5) Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Nas{iruddin Baidan
6) Mafa>tih al-Ghaib, Fakhruddi>n al-Razi>
13
8) Trafficking (Sebuah Pelanggaran Hak Asasi Perrempuan), Nurani
9) Tafsi>r Bahr al-Muhi>t{, Abu> Hayyan al-Andalus>i
10) Aspek Perdagangan Orang di Indonisia, Karya Dra. Farhana, M.H
3. Teknik Pengumpulan Data
Data-data dalam penelitian ini diperoleh dari buku-buku serta
dukumen yang terkait dengan objek penelitian. Adapun teknik pengumpulan
data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan kartu data, yaitu
mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip,
skripsi, buku, dan sebagainya.14 Sedangkan data yang berkaitan dengan
analisis dilacak dari literatur dan penelitian terkait. Sumber skunder ini
diperlukan terutama untuk mempertajam analisis.
4. Metode Analisis Data
Untuk sampai pada prosedur akhir penelitian, maka penulis
menggunakan metode analisa data untuk menjawab persoalan yang akan
muncul di sekitar penelitian ini. Data yang terkumpul, baik primer maupun
sekunder diklasifikasi dan dianalisis sesuai dengan sub bahasan
masing-masing. Setelah itu dilakukan telaah mendalam terhadap penafsiran ayat-ayat
trafficking dengan menggunakan Deskriptif Kualitatif.
Deskriptif yaitu menggambarkan atau melukiskan keadaan obyek
penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) berdasarkan
fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya dengan menuturkan atau menafsirkan
14
14
data yang berkenaan dengan fakta, keadaan, variable dan fenomena yang
terjadi saat penelitian berlangsung dan menyajikan apa adanya.15
Penelitian Deskritif Kualitatif yakni penelitian berupaya untuk
mendeskripsikan yang saat ini berlaku. di dalamnya terdapat upaya
mendeskripsikan, mencatat, analisis, dan menginterpretasikan kondisi yang
sekarang ini terjadi. Dengan kata lain penelitian deskriptif kualitatif ini
bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi mengenai keadaan yang
ada.16
G. Sistematika Pembahasan
Penelitian ini akan disusun dalam beberapa bab dan sub bab sesuai dengan
keperluan kajian yang akan dilakukan.
Bab pertama adalah pendahuluan yang merupakan pertanggung jawaban
metodologis penelitian, terdiri atas latar belakang masalah, identifikasi, rumusan
masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, telaah pustaka, metodologi
penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua ialah landasan teori yang akan digunakan sebagai batu pijakan
dalam penelitian ini, antara lain berisikan tentang: Pengertian asba>b al-Nuzu>l,
kaidah asba>b al-Nuzul> berupa keumumam lafad dan kekhususan sabab,
pengertian muna>sabat dan kaidah muna>sabat atau bentuk-bentuknya.
15
Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002), 3.
16
15
Bab ketiga ialah penjelasan tentang pengertian trafficking dan
Unsur-unsurnya, bentuk-bentuk dan modus trafficking, faktor-faktor trafficking, dan
trafficking di Indonesia.
Bab keempat, ialah data dan analisis. Pertama, penafsiran Ibnu Kathi>r
terhadap surat an-Nu>r, 24: 33 dan Yu>suf, 12: 19-20 dan teori yang dipakai.
Kedua, Penafsiran Quraish S{ih{ab terhadap surat an-Nu>r, 24:33 dan Yu>suf,
12: 19-20 dan teori yang dipakai. Ketiga, penafsiran Must{afa al-Maraghi>
terhadap surat an-Nu>r, 4:33 dan yu>suf, 12: 19-20 dan teori yang dipakai.
Bab kelima merupakan bab terakhir berisi kesimpulan dari uaraian-uraian
yang telah dibahas dan diperbincangkan dalam keseluruhan penulisan penelitian.
Bahasan ini sebagai jawaban terhadap masalah-masalah yang diajukan dalam
BAB II
TEORI ASBA<B AL-NUZU<L DAN MUNA<SABAT
A. Asba>b al-Nuzu>l
1. Definisi asba>b al-Nuzu>l
Asba>b al-Nuzu>l adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa
turunnya ayat, baik sebelum maupun sesudah turunnya, dimana kandungan
ayat tersebut berkaitan atau dapat dihubungkan dengan suatu peristiwa.1
Al-Zarqa>ni> berpendapat secara subtansi yang dimaksud Asba>b
al-Nuzu>l ialah sesuatu yang menjadi latar belakang turunnya suatu ayat baik
berupa peristiwa atau dalam bentuk pertannyaan yang diajukan kepada Nabi
SAW.2 Sedangkan Manna’ al-Qat{t{an berpendapat bahwa Asba>b Nuzu>l
ialah sesuatu yang turun al-Qur’a>n berkenaan dengannya pada waktu
terjadinya seperti suatu peristiwa yang tejadi atau ada pertanyaan.3
Dari berbagai definisi asba>b nuzu>l al-Qur’a>n yang dikemukakan
di atas tampak tidak jauh dari yang dikemukakan oleh al-Zarqani. Artinya
secara substansial, mereka sepakat bahwa yang dimaksud dengan asba>b
al-nuzu>l ialah sesuatu yang menjadi latar belakang turunnya suatau ayat baik
berupa peristiwa atau dalam bentuk pertanyaan yang diajukan kepada Nabi.4
1
M. Quraish S{iha>b, Kaidah Tafsi>r (Tangerang: Lentera Hati, 2013), 235. 2
Nas{iruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsi>r (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 136.
3
Manna’ al-Qat{t{an, Pengantar Studi al-Qur’a>n (Jakarta: Pustaka al-Kauthar, 2013), 95.
4
17
2. Hubungan Sebab Akibat Dalam Kaitannya Dengan Asba>b Al- Nuzu>l Ulama telah membahas tentang hubungan antara sebab yang terjadi,
dengan ayat yang turun. Hal seperti ini dianggap penting karena sangat erat
kaitannya dengan penerapan hukum. Adanya perbedaan pemahaman tentang
suatu ayat berlaku secara umum berdasarkan bunyi lafalnya, atau terkait
sebab turunnya, mengakibatkan lahirnya dua kaidah antara lain:5
a. Kaidah al-Ibrah bi Umu>m al-Lafd{i La> Bikhus{u>s{ As-Saba>b
بﺎ ﺒ ﺠﻮ ﻆ ﺒ مﻮ ةﺮ ﺒ
(yang menjadi ibrah atau pegangan dalam memahami makna ayat ialah lafazhnya yang bersifat umum bukan sebabnya).6b. Kaidah al-Ibrah bi Khus{u>s{ As-Saba>b La> bi Umu>m al-Lafd{i
ﻆ ﺒ مﻮ بﺎ ﺒ ﺠﻮ ةﺮ ﺒ
(yang menjadi ibrah atau pegangan dalam memahami makna ayat adalah kekhususan sebab bukan keumuman lafad).7Dalam pengaplikasian atau pemakaian kaidah Asba>b al-Nuzu>l di
atas, akan diberikan contoh ayat al-Qur’a>n surat al-Ma>’idah ayat 93,
sebagaimana berikut:
ﺴ ﺸ ﺴ
ﻰﺴ ﺴ
ﺴ ِﺬ ﺒ
ﺒﻮُ ﺴآ
ﺒﻮُ ِﺴ ﺴو
ِتﺎ ﺴِ ﺎ ﺒ
ﺲﺘﺎﺴ ُ
ﺎ ﺴ ِ
ﺒﻮُِﺴ
ﺒﺴﺛِﺐ
ﺎ ﺴ
ﺒ ﺸﻮﺴـ ﺒ
ﺒﻮُ ﺴآ ﺴو
ﺒﻮُ ِﺴﺴو
ِتﺎ ﺴِ ﺎ ﺒ
ُ
ﺒ ﺸﻮﺴـ ﺒ
ﺒﻮُ ﺴآﺴو
ُ
ﺒ ﺸﻮﺴـ ﺒ
ﺒﻮُ ﺴﺸﺴأ ﺴو
ُ ﺒ ﺴو
ُِ
ﺴ ِ ِ ﺸ ُﺸﺒ
)
ﻂﺼ
(
Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan
5
Baidan, Wawasan Baru, 146. 6
Ibid. 7
18
yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.8
Menurut pengertian arti ayat di atas, terkesan bahwa ayat itu
membenarkan orang yang beriman makan atau minum apa saja, walaupun
haram, selama mereka beriman dan bertakwa. Makna ini jelas salah, makna
demikian adalah akibat ketiadaan pengetahuan tentang sebab turunnya ayat
tersebut. Diriwayatkan bahwa ketika turun ayat pengharaman minuman
keras, sementara sahabat Nabi bertanya: Bagaimana nasib mereka yang
telah wafat, padahal tadinya mereka gemar meminum khamar? ayat di atas
menjelaskan bahwa Allah tidak meminta pertanggungjawaban mereka yang
telah wafat itu sebelum datangnya ketetapan hukum tentang haramnya
makanan dan minuman tertentu selama mereka beriman.9
Demikian terlihat betapa Saba>b al-Nuzu>l dalam ayat ini dan
sekian ayat yang lain amat dibutuhkan. Kendati demikian, harus diakui pula
bahwa tidak semua ayat ditemukan riwayat sebabnya, sementara ada juga
ayat dapat dipahami dengan baik tanpa mengetahui atau memperhatikan
sebabnya.10
Dari redaksi riwayat yang menampilkan Saba>b al-Nuzu>l tersirat
sifat sebab itu. Jika perawinya menyebut satu peristiwa, kemudian dia
menyatakan Fa Nazalat al-Ayat
(
ﺔ ﻻا ْ َ َﺰَ َ
)
atau menegaskan bahwa ayatini turun disebabkan oleh ini, yakni menyebutkan peristiwa tertentu, maka
8
Al-Qur’a>ndan Terjemahannya, al-Ma>idah, 5: 93.
9
S{iha>b, Kaidah Tafsi>r, 328. 10
19
berarti ayat tersebut turun semasa atau bersamaan dengan peristiwa yang
disampaikan. Tetapi apabila redaksinya menyatakan nazalat al-Ayat fi
(
ﻲَ ﺔَ ﻻا ْ َ َﺰَ
)
yang menegaskan bahwa ayat ini turun menyangkut suatu hal,baru kemudian menyebut peristiwa, maka hal itu berarti bahwa kandungan
ayat itu menckup peristiwa tersebut.11
Dalam konteks pemahaman makna ayat-ayat dikenal kaidah yang
menyatakan:
بﺎ ﺒ ﺠﻮ ﻆ ﺒ مﻮ ةﺮ ﺒ
Patokan atau yang menjadi pegangan dalam memahami makna ayat ialah
lafazhnya yang bersifat umum bukan sebabnya.
Setiap peristiwa memiliki atau terdiri dari unsur-unsur yang tidak
dapat dilepaskan darinya, yaitu waktu, tempat, situasi tempat, pelaku,
kejadian, dan faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa itu.
Kaidah di atas menjadikan ayat tidak terbatas berlaku terhadap
pelaku, akan tetapi bagi siapapun selama redaksi yang digunakan ayat
bersifat umum. Perlu diingat bahwa yang dimaksud dengan Khusu>s
al-Saba>b adalah sang pelaku saja, sedang yang dimaksud dengan redaksinya
yang bersifar umum harus dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi,
bukannya terlepas dari peristiwanya.12
Dalam Firman Allah Surat al-Ma>’idah ayat 33 diterangkan, sebagai
berikut:
11
S{iha>b, Kaidah Tafsi>r, 328. 12
20
ﺎ ﺴ ِﺐ
ُءﺒ ﺴﺰﺴ
ﺴ ِﺬ ﺒ
ﺴنﻮُ ِﺜﺎ ﺴُ
ﺴ ﺒ
ُﺴﻮُﺴﺜﺴو
ﺴنﺸﻮﺴ ﺸﺴ ﺴو
ِ
ِضﺸﺜﻷﺒ
ﺒًدﺎ ﺴﺴ
ﺸنﺴأ
ﺒﻮُـ ﺴُـ
ﺸوﺴأ
ﺒﻮُ ﺴ ُ
ﺸوﺴأ
ﺴ ﺴُـ
ﺸِﻬ ِﺪﺸ ﺴأ
ﺸُﻬُ ُﺸﺜﺴأ ﺴو
ﺸِ
ﺳﺧ ِ
ﺸوﺴأ
ﺒ ﺸﻮﺴﺸـُـ
ﺴِ
ِضﺸﺜﻷﺒ
ﺴ ِ ﺴﺛ
ﺸُﻬﺴ
ﺲيﺸﺰِ
ِ
ﺎ ﺴ ﺸـﺪ ﺒ
ﺸُﻬﺴ ﺴو
ِ
ِةﺴﺮِ ﺒ
ﺲبﺒﺴﺬﺴ
ﺲ ِﻈﺴ
)
ﺼﺼ
(
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.13
Salah satu riwayat menyatakan bahwa ayat ini turun berkaiatan
dengan hukuman yang diterapkan oleh beberapa sahabat Nabi dalam kasus
suku al-‘Urainiyin. Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa sekelompok orang
dari suku ‘Ukal dan ‘Urainah datang menemui Nabi setelah menyatakan
bahwa mereka telah Islam. Mereka mengadu tentang sulitnya kehidupan
mereka. Maka Nabi memberi mereka sejumlah unta agar dapat mereka
manfaatkan. Di tengah jalan mereka membunuh pengembala unta itu, bahkan
mereka murtad. Mendengar kejadian tersebut Nabi mengutus pasukan
berkuda yang berhasil menangkap mereka sebelum sampai di perkampungan
mereka. Pasukan itu, memotong tangan, tangan dan kaki, serta mencungkil
mata mereka dengan besi yang dipanaskan, kemudian ditahan hingga
meninggal.14
Apabila memahami makna memerangi Allah dan Rasul-Nya dan
melakukan perusakan di bumi dalam pengertian umum, terlepas dari Saba>b
al-Nuzu>l, maka banyak sekali kedurhakaan yang dapat dicakup oleh redaksi
13
Al-Qur’a>n dan Terjemahannya, al-Ma>idah, 5: 33. 14
21
tersebut. Keumuman lafad itu terkait dengan bentuk peristiwa yang menjadi
Saba>b al-Nuzu>l sehingga ayat ini hanya berbicara tentang sanksi hukum
bagi pelaku yang melakukan perampokan yang disebutkan oleh sebab di atas,
yaitu kelompok orang dari suku ‘Ukal dan ‘Urainah, serta semua yang
melakukan seperti apa yang dilakukan oleh rombongan kedua suku tersebut
(perampokan).15
Sementara Ulama masa lampau tidak menerima kaidah tersebut.
Mereka menyatakan bahwa:16
ِﻆﺸﺴﺸﺒ ِمﺸﻮُُ ِ ﺴ ِ ﺴ ﺒ ِﺠﺸﻮُ ُِ ة ﺴﺮﺸـِﺴﺒ
Pemahaman ayat ialah berdasarkan sebabnya bukan redaksinya,
kendati redaksinya bersifat umum.17
Jadi menurut mereka ayat di atas hanya berlaku terhadap kedua suku
tersebut, yakni suku ‘Ukal dan ‘ Urainah. Sementara sebagian Ulama berkata
bahwa kendati kedua rumusan diatas bertolak belakang, tetapi hasilnya akan
sama, karena hukum perampokan yang dilakukan selain mereka dapat ditarik
dengan menganalogikan kasus baru dengan kasus turunnya ayat di atas.18
B. Muna>sabat
1. Definisi Muna>sabat
15
S{iha>b, Kaidah Tafsir, 239. 16
Ibid.
17 Ibid. 18
22
Tanas>bub dan muna>sabat berasal dari akar kata yang sama, yaitu
, al-muna>saba>t, mengandung arti berdekatan atau bermiripan. Oleh karena itu ungkapan ن ﺎ ن si fulan itu mirip dengan fulan yang lain,
dua orang yang bersaudara disebut satu nasi>b ( ) karena keduanya
bermiripan.19As-Suyu>t{i mengatakan muna>sabat dalam bahasa adalah
kepadanan dan kedekatan. Dan tempat kembalinya pada ayat-ayat adalah
kepada suatu makna yang berhubungan dengannya, baik yang umum atau
yang khusus, yang bersifat logis atau indrawi atau hubungan-hubungan yang
lain atau juga keterkaitan yang besifat logika seperti antara sebab dengan
akibat, antara dua hal yang sepadan, dua hal yang berlawanan dan
sebagainya.20
Dari pengertian lughawi itu diperoleh gambaran bahwa tana>sub atau
muna>sabat itu terjadi minimal antara dua hal yang mempunyai pertalian,
baik dari segi bentuk lahir, ataupun makna yang terkandung dalam kedua
kasus itu. Al-Muna>sabat fi al-Illat dalam kajian us{ul fiqh (qiyas) ialah titik
kesamaan atau kemiripan dua kasus dalam suatu hukum. Jadi muna>sabat
seperti digambarkan itu bisa dalam bentuk konkrit (hissi) dan bisa pula dalam
bentuk abstrak (‘aqli atau khayali).21
Kedua bentuk muna>sabat itu ditemukan dalam al-Qur’a>n. Dari itu
al-Alma’i mendefinisikan muna>sabat itu dengan “pertalian antara dua hal
19
Badruddi>n Abi> Abdilla>h al-Zarkashi, al-Burha>n Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, ed. Muhammad Abu> al-Fadl Ibrahi>m (Mesir: Isa al-Ba>bal Halabi, t.t.), 35
20
Jala>luddin As-Suyu>t{i>, al-Itqa>n Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Terj. Farikh Marzuki, dkk(Surabaya: Bina Ilmu, 2008), 529.
23
dalam aspek apapun dri berbagai aspeknya”.22Definisi ini umum sekali,
karena itu bila diterapkan pada ayat-ayat al-Qur’a>n maka dapat dikatakan
bahwa yang dimaksud dengan muna>sabat dalam kajian ilmu tafsir ialah
pertalian yang terdapat di antara ayat-ayat al-Qur’a>n dan surat-suratnya,
baik dari sudut makna, susunan kalimat, maupun letak surat, ayat dan
sebagainya. Inilah yang dimaksud Manna’ al-Qat{t{an dengan mengatakan
bahwa muna>sabat mengandung pengertian ada aspek hubungan antara satu
kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat, atau antara satu ayat dengan ayat
lain dalam himpunan beberapa ayat ataupun hubungan surat dengan surat
yang lain.23
Adapun Quraish S{ih{ab dalam mengedepankan pengertian
muna>sabat dalam ulu>m al-Qur’a>n adalah kemiripan-kemiripan yang
terdapat pada hal-hal tertentu dalam al-Qur’a>n baik surat maupun ayat-ayat
yang menghubungkan uraian satu dengan yang lainnya.
Dari beberapa definisi tentang mun>asabat di atas kendati tampil
dalam redaksi yang berseda-beda, namun hakikatnya tak jauh berbeda. Bila
diteliti lebih jauh, kesamaan itu dapat mengacu pada tiga kata kunci yaitu:
al-muraqa>bat (berdekatan), al-mushakalat (bermiripan), al-irtiba>t
(bertalian). Tartib al-Qur’a>n sebagaimana tersaji dalam mushaf yang
ditemukan sekarang merupakan susunan yang mempunyai pertalian yang
demikian kuatnya sehingga ayat-ayat dan surat-surat di dalamnya terasa
sekali mempunyai hubungan erat satu sama lain.
22
Baidan, Wawasan Baru, 184. 23
24
2. Bentuk-bentuk Tana>sub
a. Muna>sabat antara surat dengan surat
Muna>sabat ini seperti surat-surat al-Fa>tihah, al-Baqarah, dan
Ali Imran.24 Penempatan ketiga surat ini secara berurutan menunjukkan
bahwa ketiganya mengacu pada tema sentral yang memberikan kesan
masing-masing surat saling menyempurnakan bagi tema tersebut. Hal ini
sebagaimana dijelaskan oleh al-Suyu>t{i> bahwa al-Fa>tihah
mengandung tema sentral yaitu: ikrar ketuhanan, perlindungan kepada
Tuhan, dan terpelihara dari agama Yahudi dan Nasrani. Sedangkan surat
al-Baqarah mengandung tema sentral pokok-pokok (akidah) agama,
sementara surat Ali Imran mengandung tema sentral menyempurnakan
maksud yang terdapat dalam pokok-pokok agama itu.25
b. Muna>sabat antara nama surat dengan tujuan turunnya.
Keserasian serupa itu menurut al-Biqa’i merupakan inti
pembahasan surat tersebut serta penjelasan menyangkut tujuan surat itu.
Sebagaimana diketahui surat kedua dalam Qur’a>n diberi nama
al-Baqarah yang berarti lembu betina. Cerita tentang lembu betina yang
terdapat dalam surat itu pada hakikatnya menunjukkan kekuasaan Allah
dalam membangkitkan orang yang telah mati, sehingga dengan demikian
tujuan dari surat al-Baqarah adalah menyangkut kekuasaan Tuhan dan
keimanan pada hari kemudian.26
24
Baidan, Wawasan Baru, 192. 25
Ibid. 26
25
c. Muna>sabat antar kalimat dengan kalimat dalam satu ayat.
Muna>sabat ini dapat dilihat dari dua segi, yakni a) muna>sabat
yang secara jelas dapat dilihat dan dikuatkan dengan huruf at{af, dan b)
muna>sabat dari dua kalimat dalam satu ayat tanpa huruf at{af.
d. Muna>sabat antara ayat dengan ayat dalam satu surat.
Sebagai contoh dari muna>sabat ini ialah seperti ayat-ayat di
awal surat al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 20. Ayat-ayat tersebut dapat
dikategorikan ke dalam tiga kelompok: pertama, berbicara tentang
keimanan dari ayat 1-5. kedua, berbicara tentang kekufuran ayat 6-7 dan
ketiga, berbicara tentang kemunafikan dari ayat 8-20. Oleh karena itu,
untuk membedakan ketiga kelompok ayat itu seara jelas, perlu ditarik
hubungan ayat-ayat itu.
e. Muna>sabat antar fa>s{ilat (penutup) ayat dengan isi ayat tersebut.
Muna>sabat dalam bentuk ini diturunkan dalam berbagi pola
yaitu:
a) Tamkin (memperkokoh), artinya dengan fa>s{ilat suatu ayat maka
makna yang terkandung di dalamnya menjadi lebih kokoh dan
mantap seperti kata اﺰ ﺰ ﺎ ﻮ (Maha kuat dan perkasa) dalam
menutup ayat 25 dari surat al-Ahzab ( ﺎ ﻮ ﷲ نﺎ و لﺎ ا ﺆ ا ﷲ ﻰ و اﺰ ﺰ ). Dijelaskan dalam ayat ini bahwa Allah menghindarkan
orang-orang mukmin dari peperangan. Hal itu bukan karena mereka lemah,
melainkan untuk menunjukkan kemaha kuasaan dan keperkasaan
26
b) Ighal (penyesuaian dengan fasilat ayat sebelumnya,27 seperti اﻮ و اذإ ﺮ ﺪ (apabila mereka berpaling membelakang) fas>i{lat ayat 80
dari al-Naml ﺮ ﺪ ﻮ و اذإ ءﺎ ﺪ ا ﺼ ا و . Dari sudut konotasi,
fas>ilat itu tidak memberikan makna baru, melainkan sekadar
tambah penjelasan tentang arti ﺼ ا (orang tuli). Namun dari segi
lafalnya, tambahan tersebut menjadikan fasilat ayat ini amat cocok
dengan fa>s{ilat ayat 80 itu, yakni ا ﺤ ا.
c) Tas{dir, menyebut lafad fa>s{ilat dalam celah-celah redaksi ayat
yang ditempati oleh fa>s{ilat itu baik di awal, di tengah, maupun di
akhirnya.
d) Makna yang terkandung dalam fas{ilat telah disyaratkan dalam
redaksi ayat yang ditempati fa>s{ilat itu seperti dalam ayat 37 dari
ya>sin: نﻮ ﻈ ھاذﺈ رﺎﮭ ا ﮫ ﺢ ا ﮭ ﺔ او. fas>ilatنﻮ ﻈ (mereka
dalam kegelapan) sama artinya dengan رﺎﮭ ا ﮫ ﺢ (kami
tanggalkan darinya siang) karena apabila siang telah hilang pasti
gelap langsung datang tanpa perantara. Jadi jelas kandungan makna
fasilat نﻮ ﻈ tergambar dalam lafad رﺎﮭ ا ﮫ ﺢ tersebut.
f. Muna>sabat awal uraian surat dengan akhirnya
Adapun contoh muna>sabat ini seperti dalam ayat نﻮ ﺆ ا ﺢ أ ﺪ
yang terletak di awal surat tersebut yang menegaskan bahwa orang-orang
kafir tidak beruntung نوﺮ ﺎ ا ﺢ ﮫ إ. Pertalian tersebut terasa sekali
27
27
karena antara iman dan kufur tak ada batas, sama halnyadengan
perumpamaan terang dan gelap.
g. Muna>sabat antara akhir suatu surat dengan awal surat berikutnya.
Adapun muna>sabat ini seperti akhir surat an-Nisa>’ yang berisi
perintah agar mentauhidkan Allah dan beribadah hanya kepada-Nya serta
berlaku adil terhadap manusia, khususnya dalam pembagian harta
warisan (ayat 172-174 dan 176). Kemudian pada awal al-Ma>idah
penegasan-penegasan tersebut disusul pula dengan perintah memenuhi
semua janji-janji baik janji kepada Allah maupun terhadap manusia ( ﺎﮭ أ ﺎ ﺎ اﻮ وأ اﻮ ا ﺬ ا
دﻮ ). Dengan demikian tampak dan terasa dalam dalam
benak pembaca dan pendengarnya suatu hubungan yang kuat dan serasi
antara kedua surat itu.
Begitulah semua surat al-Qur’a>n disusun dalam mushaf
sehingga terasa sekali al-Qur’a>n itu sebagai satu kesatuan yang utuh
dari awal (surat al-Fa>tihah) sampai akhir surat an-Nisa>’.28
28
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG
TRAFFICKING
A. Definisi dan Unsur-unsur Trafficking
Definisi trafficking adalah konsep dinamis dengan wujud yang berubah
dari waktu kewaktu, sesuai perkembangan ekonomi, sosial dan politik. Sampai
saat ini tidak ada definisi trafficking yang disepakati secara internasional,
sehingga banyak perdebatan dan respon tentang definisi yang dianggap paling
tepat tentang fenomena kompleks yang disebut trafficking ini.1
Misalnya Caouette memberi batasan tentang perdagangan sebagai suatu
perekrutan dan transfortasi orang atau sekelompok orang di dalam dan melawati
perbatasan nasional menggunakan kekerasan terhadap orang lain. para korban
dirayu,ditipu,diculik atau dalam berbagai cara diakali untuk masuk prostitusi.2
Menurut Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang (PTPPO) pasal 1 ayat 1, dedinisi trafficking adalah tindakan perekrutaan,
pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan
seseorang dengan ancaman kekerasan, penculikan, penipuan, penyekapan,
peyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi
bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh peretujuan dari orang yang
memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara
1
Nurani, Trafficking: Sebuah Pelanggaran Hak Asasi Manusia (Yogyakarta: Elsaq Press, 2011), 299.
2
29
maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang
tereksploitasi.3
Pada tahun 1994 PBB mendefinisikan trafficking sebagai pergerakan dan
penyelundupan orang secara sembunyi-sembunyi melintasi batas-batas negara dan
internasional, kebanyakan berasal dari negara berkembang dan negara-negara
yang ekonominya berada dalam masa transisi, dengan tujuan untuk memaksa
perempuan dan anak-anak masuk ke dalam sebuah situasi secara seksual maupun
ekonomi terkompresi, dan situasi eksploitatif demi keuntungan perekrut,
penyelundup, dan sindikat kriminal seperti halnya aktivitas ilegal lainnya yang
terkait dengan perdagangan (trafficking), misalnya pekerja rumah tangga paksa,
perkawinan palsu, pekerja yang diselundupkan dan adopsi palsu.4
Menurut resolusi senat AS no. 2 tahun 199, trafficking adalah salah satu
atau lebih bentuk penculikan, penyekapan, perkosaan, penyiksaan, buruh paksa
atau praktek-praktek seperti perbudakan dan menghancurkan hak asasi manusia.
Trafficking memuat segala tindakan yang termasuk dalam proses rekruitmen atau
pemindahan orang di dalam ataupun antar negara, melibutkan penipuan , paksaan
atau dengan tujuan menempatkan orang-orang pada situasi penyiksaan atau
eksploitasi seperti prustitusi paksa, penyiksaan dan kekejaman luar biasa, buruh di
pabrik dengan kondisi buruk atau pekerja rumah tangga yang dieksploitasi.5
3
Zunly Nadia, “Perlindungan Kehidupan Perempuan Dalam Keluarga dan Masyarakat” Dalam Jurnal Musawa , Vol. 10, No. 2, Juli 2011.
4
Anonim, Human Right in Practice A Guide To Assist Trafficked Women And Children
(Bangkok: Global Alience Trafficking in Woman, 1999), 12.
5
30
Sebelum Undang-undang tindak pidana disahkan, pengertian tindak pidana
perdagangan orang (trafficking) yang umum paling banyak digunakan adalah
protokol PBB. Adapun menurut protokol PBB tersebut pengertian trafficking
adalah:
a. Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penjualan, penampungan atau
penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau
bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau
penyaalah gunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima
pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh
persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan
eksploitasi. Eksploitassi termasuk, paling tidak eksploitasi untuk melacurkan
orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau
pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek serupa perbudakan,
pengahambaa atau pengambilan organ tubuh.
b. Persetujuan korban perdagangan orang terhadap eksploitasi yang dimaksud
yang dikemukakan dalam sub line (a).
c. Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seorang
anak untuk tujuan eksploitasi dipandang sebagai perdagangan orang bahkan
jika kegiatan ini tidak melibatkan satu pun cara yang dikemukakan dalam sub
babline (a).
d. Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 tahun.6
6
31
Pengertian di atas tidak menekankan pada perekrutan dan pengiriman yang
menentukan suatu perbuatan tersebut adalah tindak pidana perdagangan orang,
tetapi juga kondisi eksploitatif terkait ke dalam mana orang diperdagangkan.
Dari pengertian tersebut ada tiga unsur yang berbeda yang saling berkaitan
satu sama lainnya, yaitu:7
1. Tindakan atau perbuatan yang dilakukan, yaitu perekrutan, pengiriman,
pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang.
2. Cara: menggunakan ancaman, penggunaan kekerasa atau bentuk-bentuk
paksaan lain, penculikan, tipu daya, penipuan, pemberian atau penerimaan
pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari
orang-orang.
3. Tujuan atau maksud, untuk tujuan eksploitsi. Eksploitasi mencakup
setidak-tidaknya eksploitasi pelacuran dari orang lain atau bentuk-bentuk eksplotasi
seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, pengahambaan atau pengambilan
organ tubuh.
Dari definisi di atas ada beberapa hal yang menjadi ciri utama dari
beberapa pengertian trafficking yaitu:
1. Adanya proses perekrutan, pengiriman, eksploitasi, pemindahan,
penampungan atau penerimaan manusia baik itu lintas wilayah maupun
negara.
2. Ada pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan dengan memanfaatkan
perempuan maupun anak untuk melakukan sebuah pekerjaan (dibayar atau
7
32
tidak), sebagai hubungan kerja yang eksploitatif (secara ekonomi atau
seksusal), baik itu TKW, prostitusi, buruh manual atau industri, perkawinan
paksa, atau pekerjaan lainnya.
3. Ada korban baik perempuan maupun anak yang karena keperempuanan dan
kekanakannya dimanfaatkan dan di eksploitasi baik secara ekonomi maupun
seksual, guna kepentingan pihak-pihak tertentu dengan cara paksa, disertai
ancaman, maupun tipuan ataupun penculikan, penipuan, kebohongan,
kecurangan atau penyalahgunaan kekuasaan. Dalam hal ini termasuk juga
terhadap beberapa korban yang menyatakan persetujuan yang mana dipahami
bahwa situasi-situai tertentu yang mengakibatkan para korban setuju,
misalnya karena kebutuhan ekonomi, ada tekanan kekuasaan dan lain
sebagainya.
Melihat dari beberapa definisi yang telah dipaparkan tentang pengertian
trafficking di atas dapat diambil benang merahnya bahwa kategori trafficking akan
terpenuhi apabila memenuhi tiga unsur yaitu: proses, jalan atau cara dan tujuan.
Proses disni meliputi perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan dan
penjualan, sedangkan cara atau jalannya ialah dengan kekerasan,pemaksaan,
penipuan, kebohongan dan penculikan. Adapun tujuannya adalah untuk
eksploitasi, baik seksual atupun ekslpoitasi yang lain seperti perbudakan dan
33
B. Bentuk dan Modus Trafficking
1. Bentuk Trafficking
Seiring berjalannya waktu bentuk dan modus trafficking pun semakin
komplek, banyak model dan bentuk perdagangan yang dipergunakan agar
misi trafficking berhasil. Ini tidak dapat dipungkiri karena sudah menjadi
fenomena yang menjamur diberbagai belahan dunia termasuk Indonisia.
Adapun bentuk-bentuk tarfficking diantaranya adalah:
a) Eksploitasi Seksual
Eksploitasi seksual dibedakan menjadi dua yaitu: Pertama,
eksploitasi seksual komersial untuk prostitusi. Misalnya perempuan yang
miskin dari kampung atau mengalami perceraian karena akibat kawin
muda atau putus sekolah kemudian diajak bekerja ditempat hiburan
kemudian dijadikan pekerja seks atau panti pijat. Korban bekerja untuk
mucikari atau disebut juga germo yang punya peratutan yang eksploitatif,
misalnya jam kerja yang tak terbatas agar menghasilkan uang yang
jumlahnya tidak ditentukan.8 Korban tidak berdaya untuk menolak
melayani laki-laki hidung belang yang menginginkan tubuhnya dan jika
ia menolak maka sang mucikari tidak segan-segan untuk menyiksanya
karena biasanya mereka punya bodigard-budigard yang mengawasi
mereka. Kesempatan untuk melepaskan diri sangatlah sulit sekali,
sehingga korban bagaikan buah si malakama. Jika korban protes maka
mereka diharuskan membayar sejumlah uang sebagai ganti dari biaya
8
34
hidup yang digunakan oleh korban. Dalam prakteknya korban dalam
posisi yang lemah dan diskenariokan untuk selalu tergantung atau merasa
membutuhkan aktor baik untuk kebutuhan rasa aman maupun kebutuhan
secara ekonomis.9
Kedua, eksploitasi non komersial, misalnya pencabulan terhadap
anak, perkosaan dan kekerasan seksual. Banyak pelaku pencabulan dan
perkosaan yang dapat dengan bebas menghirup udara kebebasan dengan
tanpa dijerat hukum. Sementara perempuan sebagai korban harus
menderita secara lahir dan batin seumur hidup bahkan ada yang putus asa
dan mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, ada juga yang karena tidak
sanggup menghadapi semuanya terganggu jiwanya. Di Indonesia
keberadaan perempuan yang dijerumuskan ke dalam prostitusi yang
diperdagangkan seksualitasnya dan perempuan yang digunakan untuk
memproduksi bahan-bahan pornugrafi merupakan fakta yang tidak
terbantahkan. Dalam banyak kasus, perempuan semula dijanjikan oleh
pihak-pihak tertentu untuk bekerja sebagai buruh migran, pembantu
rumah tangga, pekerja restoran, pelayan toko, dan lain sebagainya. tetapi
kemudian dipaksa pada industri seks pada saat mereka tida pada daerah
tujuan.
Eksploitasi seksual baik yang komersial maupun yang non
komersial kedua-duanya sama-sama menjadi penyakit penyebar HIV dan
9
Suyanto, Perdagangan Anak Perempuan, Kekerasan Seksual dan Gagasan Kebijakan
35
AIDS, sebuah virus yang menggerogoti sistem kekebalan tubuh sehingga
jika seseorang sudah tertular maka kekebalan tubuhnya sudah tidaki ada
lagi. Dari tahun ke tahun penularan penyakit ini perkembangannya
semakin pesat, yang tertular tidak hanya di kalangan masyarakat kota tapi
juga sampai ke pelosok desa seperti papua.
Ini adalah masalah yang sangat besar, satu sisi agama dan negara
mencegah dengan peraturan-peraturannya namun disisi lain kejahatan
semakin merajalela dan semakin canggih.
b) Pekerja Rumah Tangga
Pembantu rumah tangga yang bekerja baik di luar maupun di
dalam wilayah Indonesia dijadikan korban kedalam kondisi kerja yang
dibawah paksaan, pengekangan dan tidak diperbolehkan menolak
bekerja. mereka bekerja dengan jam kerja yang panjang, upah yang tidak
dibayar.10
Selama ini juga pekerja rumah tangga tau yang disebut pembantu
tidaklah dianggap sebagai pekerja formal melainkan sebagai hubungan
informal antara pekerja dan majikan, dan pekerjaan kasar yang tidak
membutuhkan keterampilan. upah yang diterima sangat rendah dibawah
UMR yang tidak sebanding dengan pekerjaan yang dilakukan, dimana
jam kerja yang sangat panjang, tidak ada libur, bahkan banyak yang tidak
ada waku untuk istirahat. Perlakuan yang lebih buruk lagi adalah mereka
diperlakukan layaknya budak, baik ketika menyuruh suatu pekerjaan atau
10
36
dalam hal makan, di mana mereka diberi makan yang sedikit dan tidak
memenuhi standar gizi yang dapat memberikan asupan tenaga, dilarang
menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya bahkan di luar negeri
seringkali majikan dan agen menyita paspor TKW agar tidak bisa kabur
jika mereka diperlakukan oleh semua majikan karena ada juga majikan
yang baik dalam memperlakukan pembantu rumah tangganya bahkan
menganggapnya sebagai keluarga.
c) Penjualan Bayi
Di sejumlah negara maju, motif adopsi anak pada keluarga
modern menjadi salah satu penyebab maraknya incaran trafficker.
Keluarga modern yang enggan mendapatkan keturunan dari hasil
pernikahan menjadi rela mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk
mengadopsi anak. Kebutuhan adopsi massal itulah yang menyebabkan
lahirnya para penjual bayi, calo-calo anak dan segenap jaringannya.
Di sisi lain, negara-negara berkembang masih dipenuhi warga
miskin dengan segala persoalannya, yang kemudian menjadi sasaran
pencarian anak-anak yang akan diadopsi melalui proses perdagangan.
Misalnya hilangnya 300 anak pasca sunami di Aceh yang kemudian
dilarikan oleh LSM. Banyak pihak yang menduga anak itu dilarikan ke
Amerika.11
Selama tahun 2007, gugus tugas anti trafficking Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan (GTA MNPP) menemukan sekitar 500 anak
11
37
Indonesia yang diperdagangkan ke Swedia. Para trafficker tidak hanya
mengambil anak-anak usia belita, usia sekolah dan remaja saja janinpun
bisa mereka tampung.
Dari sumber yang sama menyebutkan bahwa pada tahun 2003 di
perbatasan Indonesia-Malaysia harga orok bermata sipit dan berkulit
putih dihargai sekitar 18.000 -25.000 Ringgit Malaysia. Sedangkan untuk
orok bermata bundar dan berkulit hitam dihargai 10.000-15.000 Ringgit
Malaysia.
Cara atau modus penjualan bayi bervariasi. Misalnya, beberapa
buruh migran Indonesia yang menjadi korban sebagai perkawinan palsu
saat di luar negeri, dipaksa untuk menyerahkan bayinya untuk diadopsi
secara illegal. Dalam kasus lain, ibu rumah tangga Indonesia ditipu oleh
pembantu rumah tangga kepercayaannya yang melarikan bayi
majikannya kemudian menjual bayi tersebut kepasar gelap.
d) Jeratan Hutang
Jeratan hutang adalah salah satu bentuk dari perbudakan
tradiional, di mana korban tidak bisa melarikan diri dari pekerjaan atau
tempatnya bekerja sampai hutangnya lunas. Ini terjadi mislanya pada
para TKW, di mana ketika mereka berangkat ke negara tujuan dibiayai
oleh PJTKI dan mereka harus mengganti dengan gaji sekitar empat
bulanan yang padahal jika dihitung-hitung baiaya yang dikeluarkan oleh
PJTKI tidak sebanyak gaji TKW tersebut. Ini menjadikan para TKW
38
habis masa kontrak. Karena itulah jeratan hutang dapat mengarah pada
kerja paksa dan membuka kemungkinan terjadinya kekerasan dan
eksploitasi terhadap pekerja.12
Pekerja kehilangan kebebasannya untuk bekerja karena orang
yang menghutangkan ingin memastikan bahwa pekerja tidak akan lari
dari hutangnya. Meskipun secara teori mereka hutang tersebut dapat
dibayarkan dalam jangka waktu tertentu tetapi hutang tersebut akan terus
ditingkatkan sampai si peminjam tidak dapat melunasinya.
e) Pengedar Narkoba dan Pengemis
Dunia saat ini sudah diserang virus berbahaya yang namanya
narkoba. Narkoba sudah mengglobal di seluruh dunia dan sulit untuk
dicegah penyebarannya mulai dari kota besar sampai kepelosok desa.
karena secara materi hasil dari penjualan narkoba sangat fantastis
dibanding dengan pekerjaan atau bisnis apapun.
Inilah salah satu yang menyebabkan orang-orang terjun
kelingkungan mafia, karena satu sisi hasilnya sangat menggiurkan dan
disisi lain ia sulit menemukan pekerjaan yang layak dengan penghasilan
besar walaupun resikonya juga sangat besar. Kemudian juga
dimanfaatkan oleh bandar-bandar narkoba untuk mengedarkan pil
setannya juga menjadi penggunanya. Misalnya banyak kasus dalam
tayangan berita di mana muda mudi tertangkap menyeludupkan narkoba
termasuk heroin atau ganja tertangkap polisi. Mereka sangat sulit sekali
12
39
untuk membuka siapa yang ada dibalik mereka, karena biasanya mereka
sudah diikat dengan perjanjian untuk tidak membuka dan kadangkala
mereka sendiri tidak tau siapa pihak pertama atau pemilik barang haram
tersebut. Akhirnya merekalah yang harus menerima resikonya sementara
bandar narkobanya bebas melenggang.
Pekerjaan lain yang juga menjadi penyakit adalah adanya sindikat
bagi para pengemis. Banyak perempuan-perempuan di lampu merah yang
bahkan menggendong anak kecil dengan penampilan yang amat sangat
tidak layak untuk masa sekarang ini yang serba modern berburu kepingan
rupiah dari mereka-mereka yang punya rasa iba. Ternyata banyak
diantara mereka yang dikordinir dan ditempatkan ditempat-tempat yang
sudah ditentukan. Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan kerja keras
dari semua pihak dengan sungguh-sungguh dan bukan penyelesaian yang
hanya bersifat formalitas belaka. Memang sudah ada upaya dari Dinas
Sosial tapi ini mungkin baru sedikit karena buktinya semakin hari
perempuan yang mengemis di jalanan makin banyak.
f) Penga