• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKNA SESAJEN DALAM RITUAL TILEM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL KEAGAMAAN (Studi Pada Umat Hindu Di Desa Bali Sadhar Tengah Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MAKNA SESAJEN DALAM RITUAL TILEM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL KEAGAMAAN (Studi Pada Umat Hindu Di Desa Bali Sadhar Tengah Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan)"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

MAKNA SESAJEN DALAM RITUAL TILEM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL KEAGAMAAN

(Studi Pada Umat Hindu Di Desa Bali Sadhar Tengah Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan)

Skripsi

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana S1 dalam Ilmu Ushuluddin

Oleh

Leni Erviana

NPM : 1331020007

Jurusan : Studi Agama-Agama

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN

LAMPUNG

(2)

MAKNA SESAJEN DALAM RITUAL TILEM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL KEAGAMAAN

(Studi PadaUmat Hindu Di Desa Bali Sadhar Tengah Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan)

Skripsi

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana S1 dalam Ilmu Ushuluddin

Oleh

Leni Erviana

NPM : 1331020007

Jurusan: Studi Agama-Agama

PembimbingI : Dr. H. M. AfifAnshori, M.Ag Pembimbing II: Dra. Hj. Ida Firdaus, M.Pd.I

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN

LAMPUNG

(3)

ABSTRAK

MAKNA SESAJEN DALAM RITUAL TILEM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP SOSIAL KEAGAMAAN (STUDI PADA UMAT HINDU DI DESA BALI SADHAR TENGAH KECAMATAN BANJIT KABUPATEN

WAY KANAN) Oleh Leni Erviana

Tulisan ini menjelaskan bagaimana maksud sesajen pada ritual Tilem serta implikasinya terhadap sosial keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Sesajen tersebut dipersembahkan kepada Tuhan, dewa, roh leluhur yang disebut sebagai begu jabu. Sesajen sebagai wujud atau pernyataan diri bahwa saat itu mereka melakukan pemujaan pada dewa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang bersifat menggambarkan (deskripsi).

Untuk memperoleh informasi tentang makna, tujuan, bentuk dan jenis, cara persembahna sesajen, serta tata cara ritual Tilem dan implikasinya pada kehidupan sehari-hari. Peneliti melakukan wawancara mendalam dengan informan kunci seperti pemimpin umat Hindu, Kepala Desa, Pemangku Adat, Tokoh masyarakat dan beberapa umat Hindu sendiri. Observasi dilakukan untuk mengamati kegiatan- kegiatan yang dilakukan oleh umat Hindu, khususnya di Desa Bali Sadhar Tengah, dalam hal upacara Ritual Tilem.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis dan bentuk sesajen yang digunakan adalah berupa bunga yang bermakna cinta kasih, ketulusan, rasa hormat. Buah–buahan memiliki makna hasil jerih payah manusia didalam berkerja yang akan dipersembahkan. Air merupakan sarana penyucian jiwa dan badaniah seseorang. Api yang disimbolkan dalam bentuk dupa yang memiliki makna sebagai peghubung antara pemuja dengan yang dipuja, sebagai saksi penghantar persembahan, serta penetralisir dari roh-roh jahat. Beras sebagai lambang kemakmuran dan kesuburan. Minyak wangi sebagai lambang ketenangan jiwa, pengendalian diri, serta sebagai penambah keharuman dari sesajen. Makanan berupa ketupat dan makanan tradisional lainnya merupakan makna dari hasil kreatifitas dan pengetahuan manusia, dan sebagai pelengkap dan memperindah isi dari sesajen. Uang perak sebagai lambang dari kemakmuran.

(4)

Pada awal-awalnya di Desa Bali Sadhar Tengah ini masyarakatnya kurang semangat dalam menjalani ibadahnya yakni menjalankan Ritual Tilem sehingga banyak juga hal-hal yang kurang baik seperti bermain judi, sabung ayam, minum-minuman keras, khususnya para remajanya yang suka hura-hura, pergaulan yang kurang baik. Dengan tertibnya pelaksanaan ritual ini nampaknya membawa dampak yang positiv sangat terlihat perbedaanya antara umat yang melaksanakan upacara ini dengan yang tidak melaksanakanya. Umat yang melaksanakan upacara Tilem ini banyak hal-hal yang didapat baik dalam atau luar dirinya seperti menambah panca dan sradanya (iman dan keyakinannya), kekuatan spiritualnya dan menambah banyak saudara.

(5)
(6)
(7)

KEMENTRIAN AGAMA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

FAKULTAS USHULUDDIN

Alamat : Jl. Let.Kol. H. Endro Suratmin Sukarame I Bandar Lampung Tepl. (0721) 703260

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini saya:

Nama : Leni Erviana Npm : 1331020007

Jurusan : Studi Agama-Agama Fakultas : Ushuluddin

Alamat : Gunung Sari, Kecamata Rebang Tangkas Kabupaten Way Kanan

No. Telp/Hp : 082282717706

Judul Skripsi : Makna Sesajen Dalam Ritual Tilem Dan Implikasinya Terhadap Kehidupan Sosial Keagamaan (Studi Di Desa Bali Sadhar Tengah Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan)

Menyatakan bahwa naskah skripsi ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian/karya saya sendiri kecuali bagian-bagian yang dirujuk sebagai sumbernya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Bandar Lampung, Januari 2017 Yang menyatakan,

(8)

MOTTO

“persembahan yang dilakukan tanpa diketahui maknanya adalah sia -sia, sama

dengan mempersembahkan kebodohan dan persembahan itu tak ada bedanya

dengan segenggam abu “(manava dharma sastra III.97)1

Bunga adalah lambang ketulusan dan keiklasan pikiran yang suci. (Lontar Yadnya Prakerti). Siapapun yang sujud kepadaku dengan persembahan setangkai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan, atau seteguk air akan aku terima sebagai bakti persembahan dari orang yang

berhati suci. (Bagawad Gita IX.26)2

1

Hindu Se-Nusantara, “Hindu Alukta” (On-Line), Tersedia Di Http://Hindualukta.Blogspot.Com.Html. Diakses Pada Tanggal 05 Mei 2017

2

(9)

PERSEMBAHAN

Dengan penuh rasa syukur atas kekuasaan allah SWT. Dengan semua pertolonganya sehingga dapat tercipta karya tulis ini. Maka peneliti mempersembahkan tulisan ini kepada:

1. Kepada orang tua, ibundaku tercinta Siti Khomariyah dan Ayahandaku tercinta Sadi Antoni, yang telah mendidik, mengarahkan, memberikan dukungan (motivasi) dan mencurahkan kasih sayang serta do‟a restunya sehingga peneliti

dapat menyelesaikan kuliah ini dengan baik. Terimakasih atas semua pengorbanan yang telah diberikan, semoga Allah membalasnya dengan kebaikan yang lebih dari dunia sampai akhirat.

2. Kepada Adindaku tercinta Yani Tri Astuti dan keluarga besar tercinta yang menantikan kesuksesanku.

3. Para dosen Fakultas Ushuluddin UIN Raden Intan Lampung yang telah memberikan ilmu pengetahuanya kepada peneliti selama belajar di Fakultas Ushuluddin UIN Raden Intan Lampung, khususnya jurusan Studi Agama-Agama.

(10)

RIWAYAT HIDUP

Leni Erviana, dilahirkan di Gunung Sari, Desa Air Melintang Kecamatan Rebang Tangkas Kabupaten Way Kanan pada tanggal 30 Januari 1995. Anak ke1 dari 2 bersaudara, dari pasangan Bpk Sadi Antoni Dan Ibu Siti Khomariyah.

Pendidikan dimulai pada SDS Sri Rahayu Kabupaten Way Kanan, selesai 23 Juni 2007. MTS Bahrul Ulum Kabupaten Way Kanan, selesai pada tanggal 7 Mei 2010. SMK Islam Adiluwih Kabupaten Pringsewu, selesai pada tanggal 24 Mei 2013. Kemudian melanjutkan pendidikan di PerguruanTinggi IAIN Raden Intan Lampung, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Studi Agama-Agama di mulai semester 1 TA. 2013/2014

(11)

Ritual Tilem dan Implementasinya Terhadap Sosial Keagamaan (Studi di Desa Bali Sadhar Tengah Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan.

Bandar Lampung, 04 Mei 2017

(12)

KATA PENGANTAR

Untaian mutiara puja tersirat syukur atas nikmat, yang tak pernah tergeserkan oleh sang singgasana sang maha raja ALLAH SWT yang telah melimpahkan segala taufiq dan hidayah-nya kepada peneliti, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: “ MAKNA SESAJEN DALAM

RITUAL TILEM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL KEAGAMAAN” dengan baik tanpa kendala yang berarti.

Shalawat serta salam semoga selalu tercurah ke haribaan Nabi besar akhir zaman beliau baginda Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya yang senantiasa membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang, dari zaman jahiliyyah menuju zaman yang penuh ilmu dan iman.

Ucapan terimakasih sedalam-dalamnya peneliti sampaikan kepada semua yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, dan bantuan dalam bentuk apapun yang sangat besar bagi peneliti. Ucapan terimakasih terutama peneliti sampaikan kepada:

1. Bpk Prof. Dr. Mohammad Mukri, M.Ag., selaku Rektor UIN Raden Intan Lampung yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menuntut ilmu pengetahuan di kampus UIN RadenIntan Lampung

(13)

3. Dosen pembimbing bapak Dr. M. Afif Anshori M. Ag., dan ibu Dra. Ida Firdaus, M.Pd.I., selaku pembimbing I dan II yeng telah memberikan bimbingan-bimbingan dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Para staf akademik fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung yang telah memberikan pelayanan dengan baik.

5. Perpustakaan pusat IAIN Raden Intan Lampung dan perpustakaan fakultas ushuluddin dan semua pihak yang terkait.

6. Bapak kepala Desa Bali Sadhar Tengah beserta aparatnya, tokoh agama dan tokoh masyarakat serta masyarakat yang ada di Desa Bali Sadhar Tengah dan sekitarnya yang telah memberikan bantuan dan keterangan serta hal-hal yang terkait dengan skripsi.

7. Para sahabat seperjuangan jurusan Studi Agama-Agama (Agustina Wulandari, Nanda FH Harahap, Irawati, Miftachul Jannah, Marantika, Nia Andesta, Istoqomah, Dani Erlangga, Nur Hidayat, Mega Rahayu, Kholisotul Marhamah, Saiful Anwar, Khoiru Razak, Gunawan, Rohmad, Etya Rosanani) dalam perkuliahan yang telah mengukir sejarah panjang bersama, memberikan dukungan, arahan dan do‟anya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi

ini dengan baik.

(14)

Bandar Lampung, 04 Mei 2017 Peneliti,

(15)

DAFTAR ISI

(16)

4. Konsep Dasar Ritual Tilem ... 45

C. Kajian Teoristis ... 46

1. Teori Tentang Dewa Tertinggi ... 47

2. Teori Tentang “Yang Gaib” Atau “Keramat” ... 48

3. TeoriYang Di Dasarkan Pada Upacara Religi ... 49

4. Teori Smiotika ... 50

5. Teori Fungsionalisme ... 51

BAB III DESKRIPSI LOKASI DESA BALI SADHAR A. Filosofi Desa Bali Sadhar... 53

B. Geografi dan Demografi Desa Bali Sadhar ... 55

C. Sarana dan Prasarana, Kondisi Dan Kehidupan Masyarakat Bali Sadhar Tengah ... 59

1. Bidang Pendidikan ... 59

2. Bidang keberagamaan ... 61

3. Bidang Sosial Kemasyarakatan ... 64

BAB IV SESAJEN DALAM RITUALTILEM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL KEAGAMAAN DI BALI SADHAR A. Makna Sesajen Dalam Ritual Tilem ... 66

B. Implikasi Ritual Tilem Dalam Kehidupan Sosial Keagamaan ... 86

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 90

B. Saran ... 91

C. Kata Penutup ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 94

(17)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Data daftar kepala kampung desa Bali Sadhar Tengah…….………….……. 50 2. Letak wilayah………..……... 51

3. Jumlahpenduduk………. 52

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Sk Dekan Fakultas Ushuluddin 2. Surat Tugas Seminar

3. Surat Keputusan

4. Surat Izin Research Dari Dekan 5. Surat Izin Research Dari Kesbangpol 6. Pedoman Wawancara

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Penegasan Judul

Judul pada skripsi ini adalah : “MAKNA SESAJEN DALAM RITUAL TILEM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL KEAGAMAAN”. Untuk menghindari kesalahpahaman dalam penafsiran judul

skripsi ini, maka terlebih dahulu peneliti akan mengemukakan penegasan dari kata-kata yang terdapat dalam judul skripsi ini, agar dapat menghindari perbedaan persepsi terhadap pokok permasalahan dalam skripsi ini.

Makna yaitu arti atau maksud yang terkandung didalam suatu hal.3 Makna didalam pelaksanaan penelitian ini adalah arti atau maksud yang terkandung didalam ajaran Hindu Dharma.

Sesajen adalah makanan (bunga-bungaan dsb) yang disajikan kepada orang halus dan sebagainya.4 Sesajen merupakan suatu sesajian-sesajian yang berbentuk benda, makanan, binatang, bunga, dan lain - lain yang dipersembahkan (diberi) sebagai tanda penghormatan atau rasa syukur kepada Tuhan, dewa, roh nenek moyang, mahluk halus yang dianggap dapat mendatangkan keberuntungan, menolak kesialan dan rasa syukur terhadap semua yang terjadi di masyarakat dengan berbagai macam ritual religi.5

3

WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum -Bahasa Indonesia (Jakarta:Balai Pustaka, 1984), h. 345.

4

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa) (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008). Edisi Ke Empat, h. 112

5 Ida Padanda Gde Nyoman Jelantik Oke, Sanatana Hindu Dharma (Denpasar: Widya

(20)

Ritual adalah tata cara dalam keagamaan.6 Ritual memperlihatkan tatanan atas simbol-simbol yang diobjekan, simbol-simbol ini mengungkapkan perilaku dan perasaan, serta membentuk disposisi pribadi dari para pemuja mengikuti modelnya masing-masing.7 Serangk aian kegiatan yang dilaksanakan terutama untuk tujuan simbolis. Ritus yaitu alat manusia relegius untuk melakukan perubahan atau sering disebut dengan agama dalam tindakan.8 Ritual dilaksanakan berdasarkan suatu agama atau bisa juga berdasarkan tradisi dari suatu komunitas tertentu. Kegiatan dalam ritual biasanya sudah diatur dan ditentukan serta tidak dapat dilaksanakan secara sembarangan.

Tilem ialah hari suci bagi umat Hindu, yang berarti bulan mati (gelap-gelapnya bulan di dalam satu bulan), sehingga malam hari menjadi gelap yang biasanya disimbolkan dengan titik hitam pada kalender Bali.9

Ritual Tilem bermakna serangkaian tindakan yang dilakukan oleh sekelompok umat Hindu guna melaksanakan upacara pemujaan terhadap Dewa Surya, pada saat hari Tilem dilaksanakan sembahyang dan pemujaan memohon berkah dan karunia dari Hyang Widhi. Ritual Tilem dilakukan setiap malam pada waktu bulan mati (Krisna Paksa), 30 hari sekali.

Sedangkan yang dimaksud dengan sosial keagamaan yaitu sebagaimana yang diungkapkan oleh M. Rasyidi bahwa sosial keagamaan adalah “sikap

6

Departement Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 125

7 Maria Susai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995) h. 174 8Adeng Muchtar Ghazali, Antropologi Agama (Bandung, Alfabeta, 2011) h 51

9

(21)

masyarakat dalam mengaplikasikan ajaran agama secara umum dalam bidang sosial kemasyarakatan.10

Berdasarkan uraian diatas, maka yang dimaksud judul skripsi ini adalah sebuah penelitian tentang makna sesajen dalam Ritual Tilem yang diadakan secara rutin setiap satu bulan sekali pada saat bulan mati serta implikasinya terhadap pola perilaku manusia terhadap sosial keagamaan baik secara vertikal maupun horizontal yang dilakukan oleh umat Hindu di Desa Bali Sadhar Tengah Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan.

B. Alasan Memilih Judul

Adapun yang menjadi alasan peneliti memilih judul ini adalah sebagai berikut:

1. Sesajen merupakan suatu persembahan atau tanda penghormatan yang dilaksanakan secara turun temurun dari nenek moyang sejak dahulu hingga sekarang, dikarenakan sesajen yang dibawa oleh nenek moyang pada jaman dahulu hingga saat ini belum tentu sama pelaksanaanya dan makna dari sesajen itu sendiri, serta jika dilihat dari makna yang terdapat di dalam buku-buku yang menjelaskan tentang apa itu sesajen belum tentu juga sama arti dan isinya pada sebuah realita yang ada khusunya di daerah Bali Sadhar Tengah itu sendiri.

2. Dapat diketahui bahwa ritual Tilem yaitu salah satu ritual yang sangat berpengaruh pada masyarakat Bali Sadhar Tengah dikarenakan ritual ini

10M. Rasyidi, Empat Kuliyah Agama -Agama Islam Pada PerguruanTinggi (Jakarta:

(22)

dianggap sebagai hari yang suci yang bertujuan untuk menyucikan diri dari hal-hal yang negatif. Karena itu peneliti merasa tertarik akan adanya ritual Tilem yang ada di Desa Bali Sadhar Tengah ini serta implikasiya terhadap kehidupan sosial keagamaan, apakah Ritual Tilem sangat membawa dampak yang positif dan sangat berpengaruh besar dalam sebagian kehidupan sehari-hari atau hanya sebatas formalitas saja. Khususnya di Desa Bali Sadhar Tengah Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan. Peneliti juga ingin memperkenalkan budaya yang diimplementasikan melalui sebuah ritual yakni ritual Tilem yang lebih mendalam, khusunya di jurusan Studi Agama-Agama yang belum tentu semua mengetahui akan keberadaan ritual tersebut dikarenakan ritual Tilem belum banyak dikenal oleh masyarakat umum. Maka dari itu peneliti ingin meneliti lebih dalam dan menggambarkan dengan fakta yang ada dilapangan untuk dijadikan dalam sebuah karya tulis.

3. Tersedianya literatur pustaka maupun data yang ada dilapangan cukup memadai mengenai judul pada penelitian tersebut, serta lokasi yang dapat dijangkau oleh peneliti di Desa Bali Sadhar Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan.

C. Latar Belakang Masalah.

Setiap agama membawa misi sebagai pembawa kedamaian dan keselarasan hidup, bukan saja antarmanusia, tetapi juga antar sesama mahluk Tuhan penghuni semesta ini.11 Setiap manusia memiliki kebudayaan masing-masing, dan masing-masing manusia tersebut mewujudkan kebudayaannya dalam

(23)

bentuk ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan yang ada pada masyarakat, dan suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, serta benda-benda hasil karya manusia.12 Wujud dari kebudayaan yang diungkapkan tersebut terdapat juga didalam sistem religi (kepercayaan) yang ada pada setiap masyarakat, dan juga merupakan kenyataan hidup dari masyarakat yang tidak dapat dipisahkan. Kebudayaan dan adat istiadat yang dimiliki oleh masyarakat merupakan alat pengatur dan memberi arahan kepada setiap tindakan, perilaku dan karya manusia yang menghasilkan benda– benda kebudayaan. Kebudayaan yang ada pada masyarakat juga mempengaruhi pola–pola perbuatannya, bahkan juga cara berpikir dari setiap masyarakat.

Agama Hindu merupakan salah satu agama yang menyatu dengan kebudayan suku bangsa, sehingga agama Hindu melebur dengan kebudayaan lokal yang menghasilkan bentuk pemujaan yang berbeda-beda. Agama Hindu menggunakan sesajen didalam melakukan kegiatan religinya. Sepertinya sesajen yang terdapat pada Agama Hindu merupakan kewajiban yang tidak dapat ditiadakan. Sesajen dan agama Hindu sudah menjadi satu kesatuan yang utuh, Sehingga setiap penganut agama Hindu dimanapun berada dalam melaksanakan kegiatan religinya menggunakan sesajen. Adapun Ritual atau upacara keagamaan dalam Agama Hindu tidak dapat dipisahkan dengan Susila dan Tatwa atau etika dan filsafat didalamnya. Sehingga pelaksanaan ritual dilaksanakan dengan sakral dan suci sifatnya dan persembahyangan hari suci Tilem ini adalah salah satu dari jenis upacara keagamaan yang dilaksanakan rutin setiap 30 hari sekali.

12

(24)

Sebagaimana yang disebutkan pula setiap ritual bulan Tilem, umat Hindu biasanya mengadakan prosesi persembahyangan dengan atas dasar perhitungan waktu dari prinsip beredarnya bumi mengelilingi matahari yang terkait dengan rtam yaitu hukum Tuhan yang mengatur semua kehendak-Nya.13 Jadi ritual bulan Tilem adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh sekelompok umat beragama yang ditandai dengan adanya berbagai macam unsur dan komponen, yaitu adanya waktu, tempat-tempat dimana upacara dilakukan serta alat-alat dalam upacara yang betujuan untuk mendapatkan berkah atau rezeki yang banyak dari suatu pekerjaan dan pengendalian diri agar kegelapan dialam semesta ini tidak menggelapi hati setiap orang untuk senantiasa dapat berfikir positif berkata benar dan berbuat suci, serta menolak balak. Karena perubahan atau siklus dalam kehidupan manusia terutama pada saat tidak tampaknya bulan Tilem (gelap).

Seperti yang dijelaskan di atas, sesajen sangat erat kaitannya dengan ritual Tilem yang ada dalam ajaran Hindu Dharma. Jika dilihat dari judul awal yang berkaitan dengan implikasi makna sesajen tersebut dengan kehidupan sosial keagamaan maka secara tidak langsung membicarakan bagaimana aktualisasinya sesajen tersebut dikehidupan sehari-hari apakah besar pengaruhnya dalam merubah kehidupan sosial atau masuk kekehidupan nyata, ataukah hanya sebagai simbolisasi saja, dari sini timbul pertanyaan-pertanyaan yang mungkin harus terselesaikan melalui terjun langsung kelapangan penelitian, karena dengan memahami ilmu sosial keagamaan maka kehidupan dalam suatu masyarakat akan sejahtera lahir batin serta interaksi antar masyarakat dapat terjalin dengan baik,

13

(25)

dengan ilmu sosial keagamaan yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat yang umumnya sulit membangun komunikasi maka akan menjadi mudah berkomunikasi antar masyarakat.

Demikian halnya yang sedang terjadi di daerah penelitian, peneliti ingin menggali lebih dalam bagaimana makna sesajen pada ritual Tilem dan apakah Ritual Tilem tersebut memiliki ikatan yang erat terhadap kehidupan sehari-hari, adakah implementasinya sangat membawa pesan yang positif ataukah hanya sebagai simbolis saja oleh masyarakat di Desa Bali Sadar Tengah Kecamatan Banjit. Hal tersebut perlu dilakukan kajian untuk menggambarkan makna sesajen pada Ritual Tilem dan implementasiya pada kehidupan sosial keagamaan dalam ajaran Agama Hindu yang ada di Desa Bali Sadhar Tengah Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan.

D. Rumusan Masalah

Berdasar dari latar belakang masalah tersebut diatas masalah pokoknya adalah:

1. Apa makna sesajen dalam Ritual Tilem pada umat Hindu di Desa Bali Sadhar Tengah?

2. Bagaimanakah implikasi Ritual Tilem dalam kehidupan sosial keagamaan di Desa Bali Sadhar Tengah?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukanya peneliltian yaitu:

(26)

2. Untuk menjelaskan bagaimana implementasi dari Ritual Tilem dalam kehidupan sosial keagamaan di Desa Bali Sadhar Tengah.

F. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini diharapkan sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu Agama.

b. Diharapkan dapat memperkaya kajian ilmu Antropologi Agama.

2. Secara Praktis

a. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi pedoman masyarakat dalam mengembangkan toleransi beragama.

b. Membantu pemerintah untuk dijadikan refrensi dalam menjaga toleransi antar umat beragama dan sebagai kerangka acuan dalam menentukan kebijaksanaan sosial keagamaan.

G. Kajian Pustaka

Tinjauan pustaka dilakukan, idealnya agar peneliti mengetahui hal-hal apa yang telah diteliti dan yang belum diteliti sehingga tidak terjadi duplikasi penelitian. Ada beberapa hasil penelitian yang peneliti temukan, terkait dengan penelitian ini, yaitu sebagaimana berikut :

(27)

Adiguna Tarigan, tahun 2010, Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Sumatra Utara, Medan. Skripsi ini menyorot tentang makna sesajen pada penganut agama Hindu etnis Karo, jenis dan bentuk sesajen yang digunakan, serta cara persembahan sesajen. Sesajen tersebut dipersembahkan kepada Tuhan, dewa, roh leluhur yang disebut sebagai begu jabu. Etnis karo yaitu suatu kelompok agama Hindu yang masih baru mengenal agama Hindu dibanding dengan etnis-etnis lainya yang ada di Indonesia ini. Akan tetapi etnis Karo sudah menggunakan sesajen pada kegiatan religi tradisionalnya.

Jadi sesajen yang dibahas dalam skripsi ini yaitu berkaitan dengan etnis baru atau etnis karo yang memaknai sesajen dalam nilai-nilai ritualnya, yang belum begitu mengenal agama Hindu secara mendalam. Perbedaan dari skripsi peneliti terlihat dari masyarakatnya yang sudah pasti berbeda dan pemaknaan sesajen tidak harus sama dengan apa yang ada direalita dan dengan yang ada didalam buku, sesajen yang peneliti bahas yaitu mengenai arti dari sebuah sesajen itu sendiri yang dikaitkan dengan salah satu ritual yang ada di Agama Hindu yaitu ritual Tilem dan implikasi dari ritual itu sendiri dikehidupan sosial keagamaan.

2. Skripsi ini berjudul SESAJEN PADA PELAKSANAAN WALIMATUL „URSY DI DESA SAMUDERA JAYA KECAMATAN TARUMA JAYA,

BEKASI UTARA, yang ditulis oleh Halimah, Tahun 2011, Progam Studi Perbandingan Mahzab dan Hukum, Konsentrasi Hukum, Fakultas Syari‟ah

(28)

makna sesajen pada pelaksanaan pesta perkawinan atau Walimatul „Ursy.

Dalam penyelenggaraanya tujuan penggunaan sesajen tergantung pada yang mempunyai hajat, tetapi tujuan utamanya yaitu meminta berkah dari arwah leluhur supaya keluarga yang mengadakan acara tersebut menjadi keluarga yang bahagia, rukun dan langgeng. Jadi sesajen yang dibahas dalam skripsi ini yaitu suatu kepercayaan dimana masyarakat modern masih terpengaruh oleh ajaran animisme dan dinamisme. Perbedaan dari skripsi peneliti yakni jika skripsi diatas membahas tentang arti atau makna sesajen dalam pelaksanaan pesta perkawinan serta siapa yang mempunyai hajat maka dialah yang berkewajiban mempersembahkan suatu sesajen dengan tujuan kemakmuran dalam hidup, sedangkan sekripsi peneliti yaitu berkaitan dengan makna sesajen pada ritual Tilem, sebagaimana semua umat Hindu Dharma wajib menggunakan sesajen dalam perantara beribadah hususnya Di Desa Bali Sadhar Tengah Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan.

H. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan peneliti lakukan ini berupa penelitian lapangan (field research). Dinamakan studi lapangan karena tempat penelitian ini dilapangan kehidupan, dalam arti bukan dilaboraturium atau diperpustakaan. Karena itu data yang dianggap sebagai data primer adalah data yang diperoleh dari lapangan penelitian.14 Data yang terdapat dilapangan dicari kecocokannya

14

(29)

dengan teori yang terdapat dalam literatur. Dalam hal ini peneliti menjadikan Desa Bali Sadar Tengah Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan sebagai objek penelitian.

2. Sifat Penelitian

Dilihat dari sifatnya, penelitian ini bersifat penelitian deskriptif, yaitu sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.15 Dengan metode penelitian deskripsi, maka akan dapat menggambarkan secara mendalam makna sesajen sebagi salah satu bagian yang sangat penting pada setiap upacara religi Hindu, khususnya yang ada di Desa Bali Sadhar Tengah. Agar dapat menggambarkan (mendiskripsikan) makna sesajen yang terdapat pada penganut agama Hindu, maka dibutuhkan informasi yang lengkap, sehingga dibutuhkan alat pengumpulan data.

3. Sumber Data

Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) dengan menggunakan pendekatan kualitatif, yang digunakan sebagai sumber primer. Pendekatan kualitatif yaitu penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analis, proses dan makna lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif, landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan fakta di lapangan.16 Sedangkan penelitian kepustakaan (library research) sebagai sumber sekunder, sehingga sumber data berupa literatur

15 Hadar Nawawi, Metode Penelitian Sosial (Yogyakarta: Gama Press, 1987), h. 63.

16

(30)

yang diperoleh dari kepustakaan dikumpulkan serta diolah melalui telaah buku yang releven dengan permasalahan yang dikaji. Untuk mempermudah penulisan, sumber data dalam kajian ini dikelompokkan sebagai berikut :

a. Data Primer

Abdurrahmat Fathoni mengungkapkan bahwa data primer adalah data alam yang langsung dikumpulkan oleh peneliti dari sumber pertama.17 Data primer dalam studi lapangan didapatkan dari hasil wawancara kepada informan terkait penelitian. Informan adalah objek penting dalam sebuah penelitian, informan disebut juga orang-orang dalam latar penelitian yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Informan dalam penelitian ini adalah masyarakat desa Bali Sadar Tengah serta informasi didapatkan dari Kepala Desa, tokoh agama Hindu, tokoh masyarakat dan masyarakat yang terlibat dalam objek penelitian.

b. Data Sekunder

Dalam bahasa Inggris disebut secondary resources. Data yang diperoleh dari tangan kedua, artinya tidak langsung dari sumber.18 Sumber data sekunder adalah data yang sudah jadi biasanya tersusun dalam bentuk dokumen, misalnya mengenai data demografis suatu daerah dan sebagainya.19 Data sekunder merupakan data pelengkap dari data primer yang diperoleh dari buku-buku literatur dan informan lain yang ada hubungannya dengan masalah yang sedang diteliti.

17

Abdurrahmat Fathoni, Metedologi Penelitian Dan Teknik Penyusunan Skripsi(Jakarta: Rineka Citra, 2011), h. 38.

18Sugiono, MetodePenelitian Kuantitatif Kualitatif Rdan (Jakarta : Alfabeta,2005),h. 38 19

(31)

4. Metode Pengumpulan Data

Penelitian menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut :

a. Pengamatan (Observasi)

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan seraca sistematik terhadap unsur-unsur yang tampak dalam suatu gejala-gejala pada objek penelitian. Unsur-unsur yang tampak itu disebut data atau informasi yang harus diamati dan dicatat sacara benar dan lengkap.20 Dalam hubungan ini Yehoda dan kawan-kawan menjelaskan bahwa pengamatan adalah alat pengumpulan data yang dilakukan cara mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diselidiki.21 Metode ini digunakan dengan jalan mengamati dan memcatat segala fenomena-fenomena yang nampak dalam objek penelitian. Metode ini juga dapat bermanfaat untuk mensinyalir data yang kurang objektif dari data yang dikemukakan oleh para informan melalui interview, dengan demikian data yang diperoleh benar-benar merupakan data yang dapat dipertanggung jawabkan.

b. Wawancara (Interview)

Wawancara atau interview adalah pengumpulan data dengan jalan mengajukan pertanyaan secara langsung oleh peneliti (pengumpulan data) kepada informan, dan jawaban-jawaban informan dicatat atau direkam dengan alat perekam atau handphone.22 Hal ini dilakukan untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan berkaitan dengan penelitian. Dengan kata lain merupakan alat pengumpulan informasi dengan cara mengajukan pertanyaan

20

Hadari Nawawi, Instrumen Penelitian Sosial (Yogyakarta : Gajah Mada University, 1995), h. 74.

21 Cholid Narbuko Dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT. Bumi Aksara,

2007), h. 70

22

(32)

secara lisan, untuk dijawab secara lisan pula antara pencari informasi dan sumber informasi.23 Adapun menurut Cholid Narbuko wawancara merupakan suatu proses Tanya-jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dalam mana dua orang atau lebih bertatap muka mendengar secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan.24 Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak yang bisa memberikan informasi berkaitan dengan objek penelitian.

Adapaun pihak-pihak yang peneliti wawancarai dan sekaligus dijadikan sebagai responden adalah Kepala Desa, tokoh agama Hindu, tokoh masyarakat dan masyarakat pada umumnya yang ada di Desa Bali Sadhar Tengah. Disini peneliti tidak menetapkan berapa jumlah orang yang akan peneliti wawancarai dengan tujuan akan memperoleh data secara luas sesuai yang diperlukan dalam penelitian ini dengan memilih informan yang dianggap mengetahui informasi dan masalah secara mendalam serta dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dan akurat secara tidak merekayasa.

Oleh sebab itu, peneliti dalam melakukan wawancara menggunakan tehnik snowball yaitu pengggalian data melalui wawancara dari satu responden ke

responden lain atau dari satu informan ke informan lainya dan seterusnnya. Sampai peneliti tidak menemukan informasi baru lagi.25 Jadi, tehnik wawancara dalam penelitian ini dilakukan secara berantai dengan menggali informasi pada orang (informan) yang diwawancarai, demikian dan seterusnya. Tehnik ini

23

Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta : Gajah Mada University, 1995), h.111

24

Cholid Narbuko Dan Abu Achmadi, Op.Cit., h. 83

25

(33)

melibatkan beberapa informan yang dapat memberikan informasi secara lengkap dan benar berhubungan dengan objek penelitian.

Dalam melaksanakan interview ini digunakan metode interview bebas terpimpin. Dalam pelakasanaannya peneliti berpegang kepada kerangka pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya, karena itu sebelum melakukan interview peneliti terlebih dahulu mempersiapkan kerangka pertanyaan yang disusun sedemikian rupa sehingga para informan dapat memberikan jawaban tidak terbatas pada beberapa kata saja.26 Metode ini memberi peluang yang wajar kepada informan untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diberikan secara bebas dan mendalam. Dengan metode ini diharapkan akan menghindari kekaburan dari proses tanya jawab yang dilakukan. Metode interview ini dijadikan metode utama dalam pengumpulan data untuk kepentingan penelitian.

c. Dokumentasi

Metode dokumentasi ialah tehnik pengumpulan data dengan cara mengumpulkan bahan-bahan berupa peninggalan-peninggalan yang berhubungan dengan peneliti teliti. dari segi penggunaan bahasa serta latar belakang bahasa seperti peta wilayah, foto-foto dokumenter aktivitas masyarakat khususnya di Desa Bali Sadhar Tengah.

26

(34)

5. Metode Pendekatan

a. Pendekatan Antropologi

Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Antropologi. Antropologii adalah ilmu tentang manusia khususnya tentang asal usul, aneka warna bentuk fisik, adat istiadat, dan kepercayaan pada masa lampau. Antropilogi disebut juga sebagai ilmu pengetahuan tentang manusia mengenai asalnya, jenis dan kebudayaan.27 Ilmu antropologi bertujuan untuk memperoleh suatu pemahaman totalitas manusia sebagai mahluk hidup, baik di masa lampau maupun masa sekarang. Antropologi itu tidak lebih dari suatu usaha untuk memahami keseluruhan pengalaman sosialnya. Maka hasil maksimum yang diperoleh dari antrolopogi adalah fenomena-fenomena yang menunjukan adanya Tuhan. Agama juga tidak diteliti secara tersendiri, tetapi diteliti dalam kaitannya dengan aspek-aspek budaya yang berada pada sekitarnya. Biasanya Agama tidak terlepas dari unsur-unsur simbol.28 Pendekatan yang digunakan oleh para ahli Antropologi dalam meneliti wacana keagamaan adalah pendekatan simbol yaitu melihat agama sebagai inti kebudayaan yang penuh dengan simbol-simbol.29 Jadi dalam penelitian yang peneliti teliti juga berkaitan dengan simbol-simbol yang terdapat di dalam sesajen itu sendiri.

27 Kuntjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 9 28Op.cit.Romdon, h. 121.

29 Sayuthi Ali, Metodologi Penelitian Agama, Pendekatan Teori dan Praktek (Jakarta:

(35)

b. Pendekatan Fenomenologis

Fenomenologis beraasal dari kata ”phaenein” yang berarti memeperlihatkan dan “pheineimenon” yang bererti suatu yang muncul terlihat, sehingga dapat diartikan “back to the thinks themselves” atau kembali pada benda

itu sendiri. Menurut Harun Hadiwijoyo, kata fenomena berarti “penampakan” sperti pilek, demam dan meriang yang yang menunjukkan fenomena penyakit.30 Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenoloogi karena disesuaikan dengan bentuk penelitian yakni penelitian kualitatif. Dalam fenomenologi terdapat 2 cara kerja:

1. Lexi J. Moeleong mengatakan, pendekatan dengan melihat dan memahami kejadian-kejadian atau fenomena yang ada pada objek penelitian lalu menginterpretasikan atau disebut dengan verstehen (pengertian interpretative terhadap pemahaman manusia).

2. Selain itu terdapat metode lain dalam pendekatan fenomenologi yaitu penelitian yang bersifat apoce yanki penelitian yang dikonsepkan sebelumnya harus ditunda sampai fenomena itu sendiri bicara untuk dirinya.31 Hal ini merupakan metode dari pendekatan fenomenologi yang dapat menyingkirkan jenis subjektifitas yang dapat melemahkan riset ilmiah, objektifitas ini berarti membiarkan fakta berbicara untuk dirinya.

30

Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h. 140

31

(36)

6. Pengolahan dan Analisis Data

Analisa data merupakan kegiatan tahap akhir dari penelitian. Jadi keseluruhan data yang dipergunakan terkumpul, maka data tersebut di analisa. Data yang diperoleh diteliti kembali apabila data tersebut telah cukup baik untuk di proses. Langkah berikutnya apabila dipandang telah cukup baik untuk diproses, lalu jawaban tersebut diklasifikasikan kemudian dianalisa dan dalam menganalisa data ini peneliti menggunkan analisa kualitatif, dengan pertimbangan data yang diperoleh adalah bentuk kasus-kasus yang sulit untuk di kuantitatifkan, dan juga data yang diperoleh tidak berbentuk angka-angka melainkan dalam bentuk kategori-kategori.

Koentjaraningrat dalam buku metode-metode penelitian masyarakat menyatakan tak berarti variable kualitatif tak dapat di ukur atau tak dapat dinyatakan nilai-nilai dalam bentuk angka-angka, dengan kemajuan ilmu social telah berkembang cara-cara khas dimana konsepsi rumit pun dapat dikualitatifkan.32 Jenis penelitian Kualitatif berdasarkan data yang muncul berwujud kata-kata dan bukan rangkaian angka. Serta dengan metode penelitian deskriptif artinya melukiskan variabel demi variabel, satu demi satu yang bertujuan mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada, mengidentifikasi masalah.

Dalam melakukan pengelompokan akhir dilakukan pengelompokan data yang ada agar dapat diambil pengertian yang sebenarnya sebagai jawaban penelitian dalam skripsi ini. Selanjutnya setelah data dikumpulkan dan dianalisa,

32

(37)

maka sebagai langkah selanjutnya akan ditarik kesimpulan data dan saran-saran mengenai bagian-bagian akhir dari penulisan penelitian ini.

(38)

BAB II

SESAJEN DAN RITUAL TILEM

A. SESAJEN

1. Pengertian Sesajen

Sesajen atau sajen adalah sejenis persembahan kepada dewa atau arwah nenek moyang pada upacara adat dikalangan penganut kepercayaan kuno di

Indonesia, Menurut Haryono Suyono sesaji/sajian adalah suatu rangkaian makanan kecil, benda-benda kecil, bunga-bungaan serta barang hiasan yang tentunya disusun menuruti konsepsi keagamaan sehingga merupakan lambang (simbol) yang mengandung arti. Dengan mempersembahkan sajian itu kepada Tuhan, Dewa, atau makhluk halus penghuni alam gaib lainnya manusia bermaksud berkomunikasi dengan makhluk-makhluk halus.

Sesaji merupakan aktualisasi dari pikiran, keinginan, dan perasaan pelaku untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Sesaji juga merupakan wahana simbol yang digunakan sebagai sarana untuk negosiasi spiritual kepada hal-hal gaib, dengan pemberian makan secara simbolis kepada roh halus, diharapkan roh tersebut akan jinak, dan mau membantu hidup manusia.33 Sesaji dilakukan agar makhluk-makhluk halus diatas kekuatan manusia tidak mengganggu manusia. Wujud sesaji bermacam-macam tergantung kebutuhan yang diperlukan.

Istilah sesajen menurut KBBI yaitu macam-macam makanan yang disediakan untuk roh halus.34 Pada dasarnya sesajen atau banten merupakan suatu

33

I Ketut Wiana, Makna Upacara Yajna Dalam Agama Hindu (Surabaya: Paramita, 2002), h. 1-5

34

(39)

persembahan dari isi bumi yakni Mataya: segala yang tumbuh, seperti daun-daunan, buah, dan bunga. Kemudian mantiga:artinya telur termasuk yang terlahir dari telur diantaranya ayam, itik, angsa, ikan, dan lain-lain. Kemudian Maharya yang hidup tak ditetaskan seperti binatang berkaki empat, kambing, babi, kerbau, dan sebagianya. Banten adalah tradisi Hindu Bali yang memiliki pengetahuan yang maha luasbaik dalam pembuatanya yang harus bersungguh-sungguh,isi,warna, bentuk dari sesajen yang sangat diperhatikan, tempat atau wadahnya, cara peletakanya yang masing-masing memiliki banyak arti.35

Perlengkapan sesaji biasanya sudah menjadi kesepakatan bersama yang tidak boleh ditinggalkan, karena sesaji merupakan sarana pokok dalam sebuah ritual. Setiap kegiatan ritual yang dilakukan umat Hindu mengandung makna simbolik yang terdapat didalamnya, baik dari sesaji, doa, waktu, dan lain sebagainya. Sesajen juga termasuk suatu keharusan yang pasti ada dalam setiap upacara guna perlengkapan umat Hindu untuk persembahan tiap harinya. Persembahan ini dapat ditemui di berbagai Pura, tempat sembahyang kecil di rumah-rumah, dan di jalan-jalan sebagai bagian dari sebuah persembahan yang lebih besar lagi.36

Menurut beberapa literatur, mengatakan bahwa setiap upacara agama Hindu (Weda) harus ada lima unsur yang bersinergi membangun kesucian upacara agama Hindu tersebut, lima unsur tersebut adalah:

1. Mantra : doa pujaan yang dijadikan pengantar upacara oleh pendita atau penandita.

35 Pedoman Pelaksanaan Manusa Yajna Di Jawa, Direktorat Jenderal Bimbingan

Masyarakat Hindu (Departemen Agama, 2009) h. 82

36

(40)

2. Tantra : niat dan hasrat suci yang kuat. 3. Yantra : simbol-simbol yang penuh arti.

4. Yadnya : laksana yang didasarkan pada keiklasan yang tulus untuk berkorban atau korban suci.

5. Yoga : tercapainya hubungan yang harmonis antara manusia dengan tuhan, antara manusia dengan sesamanya dan antara manusia dengan alam lingkungan.

Dalam lima unsur tersebut, yantra merupakan unsur yang ketiga. Sesajen atau banten adalah salah satu bentuk yantra.37 Jadi banten itu adalah bahasa untuk menjelaskan ajaran agama Hindu dalam bentuk simbol. Sesajen itu bukanlah suguhan untuk makanan Tuhan. Sesajen merupakan bahasa agama dalam bentuk simbol yang mona. Mona berarti diam, sesajen memang berbentuk diam sama dengan aksara tetapi kalau diungkap dengan sabar maka sesajen itu akan banyak menuturkan kita dalam berbagai ajaaran agama Hindu yang sesuai dengan konsep Weda dan kitab-kitab sastranya. Lewat sesajen nilai Hindu dapat di tanamkan kedalam lubuk hati secara motorik. Sesajen yang digunakan dalam pelaksanaan upacara ritual Tilem umat Hindu mengatasnamakan sesajen dengan sebutan daksina, banten daksina disamping lambang penghormatan juga sebagai lambang Bhuvana Agung Sthana Hyang Widhi Wasa. 38 Nampak dalam bahan-bahan yang membentuk Daksina tersebut.

37Alexia Cahyaningtyas, “Jurnal Kejawen (Filosofi Sesajen)” (On-Line), Tersedia Di

Http://Www.Alexiacahyaningtyas.Blogspot.Com/2016/10.Html.

38

(41)

Unsur-unsur yang membentuk Daksina yaitu:

1. Bedongan : dibuat dari janur yang sudah hijau yang bentuknya bulat panjang serta ada batas pinggirnya pada bagian atasnya, bedongan ini lambang pertiwi unsur yang dapat dilihat dengan jelas.

2. Serobong Daksina : disebut juga serobong bedongan dibuat juga dari daun janur yang sudah hijau tanpa tepi maupun dibawahnya. Serobong Daksina ini menjadi lapisan pada bagian tengah dari bebedongan, segala bahan daksina ini masuk kedalam serobong daksina ini menjadi lambang Akasa yanag tanpa tepi.

3. Tampak : dibuat dari empat potong helai janur berbentuk seperti kembang teratai bersegi delapan. Bentuk tampakini melambangkan arah atau kiblat mata angin yang mengarahkan pada delapan penjuru.

4. Telor itik : dibungkus dengan urung ketupat taluh. Telur itik yang dibungkus ketupat taluh ini lambang Bhuvana alit yang menghuni bumi ini.

5. Beras : adalah simbolis dari hasil bumi yang menjadi sumber penghidupan umat manusia di alam raya ini.

6. Benang tukelan (benang bali) : adalah sebagai simbolis dari penghubung jiwataman yang tidak akan berakhir sampai terjadinya pralina. Sebelum pralina atman yang berasal dari paramatman akan terus menerus mengalami penjelmaan yang berulang-ulang sebelum mencapai moksa, dan semuanya akan kembali pada Hyang Widhi kalau sudah pralina.

(42)

kehidupan. Angka 225 itu kalau dijumlahkan menjadi angka Sembilan angka suci lambang Dewata Nawa Sanga yang berada di Sembilan penjuru alam Bhuvana Agung.

8. Pisang, tebu, kekojong : simbol manusia yang menghuni bumi sebagai bagian dari alam ini. Idialnya manusia penghuni bumi ini hidup dengan Tri Kaya Parisudhanya.

9. Porosan dan kembang/bunga : porosan sudah dijelaskan sebelumnya adalah lambang pemujaan pada Hyang Tri Murti. Sedangkan kembang adalah lambang niat suci dalam beryajna pada Hyang Murti. Tujuan bhakti pada Hyang Tri Murti agar manusia mendapatkan tuntunan dalam menciptakan sesuatu yang patut diciptakan dari Hyang Brahma. Tuntunan dari Hyang Wisnu pada saat memelihara sesuatu yang patut dan wajar dipelihara. Dari Hyang Rudra untuk menuntun umat manusia saat meniadakan susatu yang patut dan wajar dihilangkan.

10.Gegantusan : unsur upakara ini lambang di dunia ini mahluk lahir berulang-ulang sesuai dengan tingkatan karmanya.

(43)

apabila mereka mampu melepaskan diri dari ikatan indria. Merekalah yang harus mengikat indria sebagai alat untuk melakukan peruatan yang bijaksana.39

Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa sesaji (sajen) merupakanimplementasi hubungan antara manusia dengan makhluk halus, dengan diberi sesajimakhluk halus akan merasa senang sehingga tidak mengganggu kehidupan manusia / hidup manusia akan nyaman dan tentram. Apabila sesaji tersebut tidak diberikan dipercaya akan menimbulkan bencana atau malapetaka. Adapun sesaji dapat berupa makanan kecil (yang sering dikonsumsi oleh manusia), bunga-bungaan, dan lain-lain. Setiap sesaji tersebut mengandung makna sendiri-sendiri tergantungdari ujubnya (tujuannya).

2. Folosofi sesajen

Menurut Koentjaraningrat sesaji merupakan warisan budaya Hindu dan Budha sebagai salah satu sarana upacara yang tidak bisa ditinggalkan.40 Berarti umurnya sudah tua sekali tetapi orang-orang yang masih memegang budaya jawa erat tetap membuat sesajen pada saat-saat spesial. Dalam Bhuwana Tattwa Maha Rsi Markandeya, disebutkan bahwa Maha Rsi bersama pengikutnya membuka daerah baru pada Tahun Saka 858 di Puakan (Taro-Tegal Lalang, Gianyar, sekarang). Kemudian mengajarkan cara membuat berbagai bentuk upakara

39

I Ketut Wiana,Op.Cit.h. 18-24.

40

(44)

sebagai sarana upacara, mula-mula terbatas kepada para pengikutnya saja, lama kelamaan berkembang kependuduk lain di sekitar Desa Taro.41

Jenis upakara yang menggunakan bahan baku daun, bunga, buah, air, dan api disebut “Bali”, sehingga penduduk yang melaksanakan pemujaan dengan

menggunakan sarana upakara itu disebut sebagai orang-orang Bali.Jadi yang dinamakan orang Bali mula-mula adalah penduduk Taro (penduduk yang masih awam), Lama-lama ajaran Maha Rsi Markandeya ini berkembang keseluruh pulau, sehingga pulau ini dinamakan Pulau Bali, dalam pengertian pulau yang dihuni oleh orang-orang Bali, lebih tegas lagi pulau dimana penduduknya melaksanakan pemujaan dengan menggunakan sarana upakara (Bali).42

Tradisi beragama dengan menggunakan banten kemudian dikembangkan oleh Maha Rsi lain seperti: Mpu Sangkulputih, Mpu Kuturan, Mpu Manik Angkeran, Mpu Jiwaya, dan Mpu Nirartha. Sejak kapan sarana upakara itu berubah nama dari “Bali” menjadi “Banten” dan mengapa demikian, sulit mencari

sumber sastranya. Beberapa Sulinggih yang saya hubungi ada yang menyatakan bahwa banten asal kata dari wanten mengalami perubahan dari kata wantu atau bantu.43

Jadi banten adalah alat bantu dalam pemujaan, sehingga timbul pengertian bahwa bali atau banten adalah “niyasa” atau simbol keagamaan. Umat Hindu

41

Suparta, Kemaha Esaan Tuhan Dalam Veda, (Surabaya: Paramita, 2009), h. 44

42 Mustafid, Makna-Sesajen” (On-Line), Tersedia Di

Http://Www.Kompasiana.Com/Mustafid/ _54ff9087a333116a4a51084e. Html diakses pada tanggal 12 Januari 2017

43Wayan Tarna,”

(45)

melaksanakan ajaran Agama-nya antara lain melalui empat jalan/ cara (marga), yaitu: Bhakti marga, Karma marga, Jnana marga, dan Raja marga.

Bhakti marga dan Karma marga dilaksanakan sebagai tahap pertama yang lazim disebut sebagai “Apara bhakti”, sedangkan tahap berikutnya sesuai dengan

kemampuan nalar diri masing-masing dilaksanakan Jnana marga dan Raja marga yang disebut sebagai “Para bhakti”. Pada tahap apara bhakti pemujaan

dilaksanakan dengan banyak menggunakan alat-alat bantu seperti banten, simbol-simbol dan jenis upakara lainnya, seterusnya pada tahap para bhakti penggunaan banten dan simbol-simbol lainnya berkurang.44

Umumnya di Bali keempat marga itu dilaksanakan sekaligus dalam bentuk upacara Agama dengan menggunakan sarana banten yang terdiri dari bahan pokok: daun, bunga, buah, air ,dan api. Sarana-sarana itu mempunyai fungsi sebagai:

1. Persembahan atau tanda terima kasih kepada Hyang Widhi. 2. Sebagai alat konsentrasi memuja Hyang Widhi.

3. Sebagai simbol Hyang Widhi atau manifestasi-Nya. 4. Sebagai alat pensucian.

5. Sebagai pengganti mantra.

Karena demikian sakralnya makna banten maka dalam Yadnya prakerti disebutkan bahwa mereka yang membuat banten hendaknya dapat berkonsentrasi kepada siapa banten itu akan dihaturkan/ dipersembahkan. Dalam Buku Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu sebagai hasil Paruman Sulinggih

44

(46)

yang disahkan PHDI disebutkan bahwa seorang Tukang Banten hendaknya sudah mensucikan diri dengan upacara mawintenan (sekurang-kurangnya ayaban Bebangkit). Upacara mawintenan atau upanayana berasal dari kata winten (inten) yang berarti nama permata yang berwarna putih mempunyai sifat mulia dapat memancarkankan sinar berkilauan yang menyenangkan hati para peminat serta pemiliknya. Bertitik tolak dari pengertian mawinten sebagaimana telah disebutkan, maka setiap orang yang meyakini ajaran Hindu wajib hukumnya untuk melaksanakan upacara mawinten. Karena upacara ini bertujuan untuk penyucian diri secara lahir batin, dengan tubuh dibersihkan dengan air, pikiran dibersihkan dengan kejujuran, roh dengan ilmu dan tapa, akal dibersihkan dengan kebijaksanaan.45

Tujuannya adalah agar Tukang Banten mengetahui tata cara dan aturan-aturan dalam membuat banten misalnya dengan konsentrasi penuh melaksanakan amanat pemesan banten yang akan mempersembahkannya kepada Hyang Widhi, dikala membuat banten kesucian dan kedamaian hati tetap terjaga, antara lain tidak mengeluarkan kata-kata kasar, tidak dalam keadaan kesal atau sedih, tidak sedang cuntaka, tidak sedang berpakaian yang tidak pantas, menggaruk-garuk anggota badan, atau membuat banten di sembarang tempat.

Disimpulkan bahwa ketika membuat banten, dikondisikan situasi yang suci, sakral, konsentrasi penuh, rasa bhakti dan kasih sayang kepada Hyang Widhi. Lihatlah ketika banten disiapkan untuk upacara besar di Besakih, tempat

45Anak Manusia “Makna Upacara Mawinten” (On-line), tersedia di

(47)

membuat banten disebut sebagai “Pesucian” yang tidak boleh dimasuki oleh

sembarang orang atau orang yang tidak berkepentingan.“Dewasa” atau hari baik untuk mulai membuat banten ditetapkan dengan teliti oleh para Sulinggih. Dalam puja-stuti pereresik banten juga diucapkan doa agar banten tidak dilangkahi anjing, ayam, atau dipegang oleh anak kecil, atau orang yang sedang cuntaka.46

Beberapa jenis banten utama bahkan hanya boleh dibuat oleh Sang Dwijati, misalnya Catur, dan Pangenteg Gumi.Untuk menegaskan penting dan sakralnya banten, Mpu Jiwaya salah seorang tokoh pemimpin Agama di abad ke-10 mengajarkan membuat “reringgitan” dengan bahan daun kelapa, enau atau lontar. Reringgitan itu kadang demikian sulit sehingga konsentrasi kita harus penuh. Jika tidak, bisa reringgitannya rusak atau tangannya yang teriris pisau.

Makna membuat banten seperti yang dikemukakan di atas tiada lain agar kita dapat mewujudkan rasa bhakti dan kasih sayang kepada Hyang Widhi. Zaman beredar dan kini kita hidup di zaman millennium. Kemampuan kita menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi zaman ini diuji dengan berbagai masalah, antar lain:

Kelangkaan bahan-bahan bakubanten. Waktu yang terbatas untuk membuat banten. Tidak semua umat Hindu di Bali bisa membuat banten sendiri. Tentang kelangkaan bahan-bahan baku banten sudah kita maklumi, karena busung, pisang, kelapa, telur bebek, dan ayam, tidak sedikit yang sudah didatangkan dari luar Bali.

46

(48)

Waktu yang terbatas bagi umat Hindu di Bali dalam menyiapkan sarana-sarana upakara menyebabkan sebagian besar umat Hindu membeli banten dari tukang-tukang banten, istilahnya “nunas puput”. Generasi muda mulai bertanya -tanya, mengapa kok melaksanakan ajaran Agama Hindu di Bali dalam bentuk ritual/ upacara menjadi sangat sulit dan mahal.

“Model” umat Hindu-Bali di perkotaan melaksanakan upacara yadnya kini

terlihat sudah lumrah seperti: sewa tenda, sewa kursi, pesan katering, dan nunas ayaban di Geria lengkap dengan Sulinggih yang muput. Serba praktis dan ekonomis walaupun segi-segi adat-dresta kegotong-royongan hilang, dan segi sakral membuat banten pada Sang Yajamana hilang.47

Jika dikaitkan dengan ajaran Maha Rsi Markandeya dan Mpu Jiwaya seperti diuraikan di atas, agaknya hal yang paling patut dipikirkan adalah segi sakralnya suatu banten. Apalah artinya banten jika Sang Yajamana tidak mengerti dengan makna banten yang dipersembahkan kepada Hyang Widhi. Ibaratnya kita memberikan sesuatu kepada orang tua kita tetapi ketika ditanya orang lain, apa yang kamu berikan pada orang tuamu? Jawabannya ya, nggak tau! Aneh bukan? Fenomena seperti itu akan terus berkembang lebih-lebih bilamana dalam suatu rumah tangga sang ayah dan sang ibu masing-masing sibuk dengan profesinya mencari nafkah karena tuntutan kebutuhan hidup yang makin banyak. Jadi dengan seiring perkembangan zaman dan perbaikan ekonomi banten kini sudah dikemas menjadi sedemikian rupa serta diwijudkan dalam hal yang sepraktis-praktisnya

47Wijayananda, Mpu Jaya, Tetandingan Lan Sorohan Banten ( Surabaya: Paramitha,

(49)

dengan tidak mengurangi arti dan makna dari persembahan sesajen atau banten tersebut dalam persyaratan suatu upacara religi didalam agama Hindu.

3. Maksud Dan Tujuan Sesajen

Sesajen bukanlah makanan untuk disuguhkan pada Hyang Widhi. Sesajen adalah bahasa simbol yang sakral menurut pandangan agama Hindu. Sebagai bahasa simbol sesajen sebagai media untuk mengaktualisasikan ajaran-ajaran Hindu. Sebagai media untuk menyampaikan Sraddha dan Bhakti pada kemahakuasaan Hyang Widhi. Sejarah suatu bentuk budaya sakral keagamaan Hindu yang berwujud lokal, namun didalamnya terdapat nilai-nilai universal global.48

Kehidupan masyarakat Hindu di Bali tidak dapat dipisahkan dari berbagai macam upacara yang dilakukan sehari-hari. Para leluhur umat Hindu di Bali selalu mengajarkan agar umat menjaga keharmonisan hidup, baik dengan Sang Pencipta, maupun dengan alam dan lingkungan sekitar. Upacara Yadnya merupakan satu bentuk kewajiban yang harus dilakukan oleh umat Hindu di Bali setiap harinya. Bagi umat Hindu, upacara Yadnya memiliki arti yang penting untuk meningkatkan kualitas hidup mereka sebagai manusia, baik secara vertikal dengan Tuhan Yang Maha Esa maupun secara horizontal dengan sesama umat manusia. Adapun tujuan dari pelaksanaan upacara Yadnya yaitu sebagai berikut :

48

(50)

1. Untuk mengamalkan ajaran Veda

2. Untuk meningkatkan kualitas diri

3. Untuk penyucian

4. Sarana berhubungan dengan Tuhan

5. Mencetuskan rasa terima kasih.49

Pandangan masyarakat tentang sesajen yang terjadi disekitar masyarakat, khususnya yang terjadi didalam masyarakat yang masih mengandung adat istiadat yang sangat kental seperti di Desa Bali Sadhar Tengah, sesajen mengandung arti pemberian sesajian-sesajian sebagai tanda penghormatan danbentuk penyatuan diri dalampenyembahan terhadap Tuhan serta rasa syukur terhadap semua yang terjadi dimasyarakat.50

Sesajen juga merupakan warisan budaya Hindu dan Budha yang biasa dilakukan untuk memuja para dewa, roh tertentu atau penunggu tempat (pohon, batu, persimpangan) dan lain-lain yang mereka yakini dapat mendatangkan keberuntungan dan menolak kesialan.

Sesajen ini memiliki nilai yang sangat sakral bagi pandanganmasyarakat yang masih mempercayainya, tujuan dari pemberian sesajen ini untuk mencari berkah. Pemberian sesajen ini biasanya dilakukan ditempat-tempat yang dianggap

49

I Nyoman Singgih Wikarman Dkk., Hari Raya Hindu Bali-India, (Surabaya: Paramita, 2005) h. 33

50Mustafid, “ Makna Sesajen”, (On

-Line), Tersedia Di

(51)

keramat dan mempunyai nilai magis yang tinggi. Prosesi ini terjadi sudah sangat lama, bisa dikatakan sudah berasal dari nenek moyang kita yang mempercayai adanya pemikiran-pemikiran yang religius. Kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat guna mencapai sesuatu keinginan atau terkabulnya sesuatu yang bersifat duniawi.51

Menurut Jarwanti, melalui kegiatanritual umat Hindu ingin mengetahui serta ingin menyatakan keagamaan itusendiri, berupaya menyatukan diri dengan sesuatu hal yang berarti di balikkenyataan fisik, bahkan suatu hal yang transenden. Namun manusia yang terbatastidak mampu mencapainya, karena

itulah manusia menggunakan simbol sebagaimedia budaya.Itulah akar simbolisme dalam agama Hindu,Karena keterbatasankekuatan manusia sehingga menciptakan simbol sebagai usaha untukmendekatkan diri kepada Tuhan. Makna simbolik yang terdapat dalam ritual jika dapat dipahami dandiamalkan maka akan membawa manusia kedalam keselamatan yang dinginkan.52

Dalam ritual keagamaan terdapat simbol-simbol yang digunakan dalam ritus itu. Banyak benda-benda, tindakan panganut suatu agama yang mengandung simbol serta makna yang ada dalam simbol tersebut.53 Simbol adalah gambaran penting yang membantu jiwa yang sedang melakukan pemujaan untuk memahami realitasspiritual dan sekaligus sebagai perantara dalam melakukan persembahyangan.54 Simbol secara etimologi adalah tanda yang digunakan untuk

51

I Nyoman Singgih Wikarman Dkk, Loc.Cit.

52 Brian Morris, Antropologi Agama (Kritik Teori-Teori Agama Kontemporer)

(Yogyakarta, Ak Group, 2003), h. 271

53

Adeng Muchtar Ghazali, Antropologi Agama( upaya memahami keragaman kepercayaan, keyakinan dan agama)(Bandung: Alfabeta, 2011), h. 63.

54

(52)

kepentingan ritual tertentu.55 Sedangkan simbol secara terminologi adalah sesuatu yang sudah dianggap atas dasar kesepakatan bersama, sebagai sesuatu yang memberikan sifat alamiah (mewakili) atau mengingatkan kembali atau mengintegralkan kembali dengan memiliki kualitas yang sama atau dengan membayangkan dalam kenyataan dalam hati dan pikiran.56

Menurut Underhill simbol adalah gambaran penting membantu jiwa yang sedang melakukan pemujaan memahami relitas mutlak sementara itu E. Bevan, simbol keagamaan menunjukkan bahwa simbol yang dipergunakan oleh manusia untuk mengungkapkan pemikiranya menganai tuhan sebagaian diambil dari kebiasaan hidup seperti yang diketahuinya dari dirinya sendiri melalui teori-teori orang lain.57 Jadi yang dikatakan dengan simbol itu ketika seseorang melakukan praktek keagamaan pasti tidak lepas menggunakan simbol yang digunakansebagai bentuk perantara untuk memudahkan proses peribadatan. Maka dari itusetiap agama selalu menggunakan simbol, khususnya agama Hindu yang menggunakan bermacam-macam simbol, seperti patung, bunga, air, api, sesajen dan lain sebagainya.

4. Fungsi sesajen

Dalam kehidupan umat Hindu di Bali , masyarakat tidak terlepas dari kehidupan kagamaan yang berkembang sesuai dengan adat istiadat di tempatnya. Dalam melakukan korban suci atau yadnya , umat Hindu khususnya di Bali lebih

55

Indrawan, WS, Kamus Ilmiah Populer Surabaya: Cipta Media,tt),h. 259.

56

H.A Rivay Sirregar, Tasa wuf: Dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme, ( Jakarta: Grafindo Persada, 1979), h. 13

57 Robert W. Crapps, Perkembangan Kepribadian Dan Keagamaan (Yogyakarta:

(53)

banyak melakukan dalam bentuk banten/sesajen. Banten/sesajen adalah wujud korban suci kepada Hyang Widhi. Adapun fungsi banten/sesajen dalam upacara keagamaan adalah:

1. Banten/sesajen adalah wujud dari cetusan hati untuk menyatakan terima kasih kehadapan Hyang Widhi atas semua anugrahnya, memberikan kehidupan dan segala kebutuhan hidup manusia. Bagi mereka yang menjalani yoga semadhi, banten/sesajen bukan syarat mutlak, karena mereka mampu melakukannya dengan tingkat bathin yang tinggi sambil melakukan puasa dan bertapa sebagai wujud cinta kasihnya kpada Hyang Widhi. Bagi mereka yang belum mampu melakukan yoga semadhi, maka banten/sesajen adalah cara sederhana dalam mengungkapkan rasa syukurnya kehadapan Hyang Widhi.

2. Banten/sesajen adalah alat konsentrasi pikiran untuk memuja Hyang Widhi. Saat seseorang sedang membuat banten atau sesajen ini, maka pikirannya akan selalu tertuju pada Hyang Widhi, secara tidak sengaja mereka selalu memuja Hyang Widhi.

3. Banten/sesajen adalah perwujudan/tapakan dari Hyang Widhi. Dalam banten di Bali, pembuatannya memakai bahan yang melambangkan dewa-dewa tertentu, misalnya kelapa wujud Dewa Brahma, air wujud Dewa Wisnu dll. 4. Sesajen merupakan suatu simbol yang melambangkan Hyang Tunggal/

(54)

sebagai simbol Hyang tunggal yang di manifestasikan dari Deva Siwa sebagai penguasa alam semesta ini.58

5. Sesajen sebagai sarana persembahan dalam upacara yadnya. Sesajen merupakansarana yang palig penting dari beberapa jenis upacara yang lain. Sebesar dan semegah apapun pelaksanaan upacara Dewa yajna, tanpa menggunakan sarana sesajen maka upacara itu belum dianggap sempurna karena menggunakan sesajen dianggap sebagai media untuk mendekatkan diri dan mewujudkan kuasa tuhan agar tercipta hubungan manusia sebagai bakti yang akan menyembah Hyang Widi / Tuhan yang Maha Esa yang akan disembah.59

Dalam upacara keagamaan di Bali, banten/sesajen adalah syarat mutlak yang diperlukan agar pemujaan kepada Hyang Widhi dapat dilakukan sesempurna mungkin. Subuah upacara ritual yang ada di Agama Hindu apabila belum ada sesajen maka upacara tersebut belum dianggap sah/sempurna ketimbang upacara yang menggunakan sarana sesajen.

B. RITUAL PURNAMA TILEM

1. Pengertian Ritual Tilem

Makna ritual secara bahasa adalah suatu perayaan, serangkaian tindakan yang dilakukan menurut kebiasaan atau keagamaan yang menandai kesucian suatu peristiwa. Sedangkan menurut istilah ritual merupakan tatacara dalam upacara

58

Ketut Wiana, Sukmaning Banten (Surabaya: Paramitha, 2009) h. 56

59

(55)

atau suatu perbuatan keramat yang dilakukan oleh sekelompok umat beragama, yang ditandai dengan adanya berbagai macam unsur dan komponen.

Tilem berasal dari dua suku kata yaitu Ti yang berarti mati, dan Lem yang berarti selem (hitem/hitam). Maksudnya tidak tampaknya sinar rembulan diwaktu malam hari. Sesuai dengan namanya pelaksanaan upacara ini berlangsung saat bulan gelap pada malam hari dan dilakukan setiap 30 hari sekali. Menurut kepercayaan orang Hindu pada waktu malam hari merupakan waktu yang paling tepat dan dalam bersembahyang atau berdoa. Umat hindu biasanya mengadakan prosesi persembahyangan dengan atas dasar perhitungan waktu.

2. Filosofi Ritual Purnama Tilem

Ritus/ritual adalah alat manusia relegius untuk melakukan perubahan. Sedangkan makna ritual secara bahasa adalah suatu perayaan, serangkaian tindakan yang dilakukan menurut kebiasaan atau keagamaan yang menandai kesucian suatu peristiwa.60 Sedangkan menurut istilah ritual merupakan tatacara dalam upacara atau suatu perbuatan keramat yang dilakukan oleh sekelompok umat beragama, yang ditandai dengan adanya berbagai macam unsur dan komponen, yaitu adanya waktu, tempat-tempat dimana upacara dilakukan , alat-alat dalam upacara, serta orang-orang yang menjalankan upacara.61 Juga bisa dikatakan sebagai tindakan simbolis agama, atau ritual itu merupakan agama dalam tindakan.

Meskipun iman mungkin merupakan bagian dari ritual atau bahkan ritual itu sendiri, iman keagamaan berusaha menjelaskan makna dari ritual serta

60

Hasan Salidi, Ensiklopedia Indonesia, Jilid Vi, (Jakarta: Ikhtiar Van Houve,Tt) 3718.

61

(56)

memberikan tafsiran dalam mengarahkan vitalitas dari pelaksanaan ritual tersebut.62 Dunia yang sekarang bukanlah dunia yang murni, kuat dan kudus. Dunia ini bukan lagi dunia kosmos tempat tinggal para Dewa yang keadaanya baik dan tidak berubah. Oleh karena itu, secara periodik dunia ini perlu diperbaharui kembali. Salah satu cara untuk memperbaharui dunia ini ialah dengan mengulang kembali tindakan penciptaan yang dilakukan para Dewa. Dengan kemikian, ritual suatu alat untuk melakukan perbaikan kondisi yang tidak baik menjadi baik.

Pencarian kehidupan merupakan buah pikiran pokok manusia, dan karena kondisi kultural, tidak semua kebutuhan hidup manusia dapat diatasi melalui pikiran. Maka manusia berusaha memecahkan persoalan-persoalan hidupnya melalui cara-cara non rasional atau memlalui jalan pintas, sebagai alternatif lain yang ditempuhnya. Dari kondisi ini muncul kayakinan bahwa penyebab adanya berbagai problema kehidupan adalah akibat adanya sesuatu kekuatan. Kekuatan inilah yang menjadi objek penyakralan semua dimensi kehidupan yang ada.63 Dengan demikian ritus merupakan jalan keluar bagi emosi kemarahan, hasrat dan aktifitas untuk membebaskan diri dari simbol yang lebih kuat. Dari keyakinan adanya sumber kekuatan ini, muncul sikap penyakralan terhadap segala sesuatu, baik yang ada pada dirinya maupun yang ada dilingkungan sekitarnya.64 Dalam

Agus Bustanuddin, Agama Dalam Kehidupan Manusia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007) h. 95

64

Gambar

Tabel
TABEL I Nama-Nama Kepala Kampung
TABEL II Letak Wilayah
TABEL III BERDASARKAN USIA
+5

Referensi

Dokumen terkait