• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Lingkungan

2.1.1. Definisi Lingkungan

Lingkungan adalah suatu konsep yang memiliki beragam arti pada tiap orang, lingkungan tidak mempunyai batasan yang jelas. Menurut kamus Oxford English secara sederhana lingkungan dapat berarti 'suatu kondisi atau pengaruh pada beberapa orang atau sesuatu yang hidup atau berkembang'. Menurut Chandra (2007:5,6,9,10) beberapa contoh dalam interaksi manusia dan lingkungan interaksi merupakan keadaan dimana saat manusia langsung dipengaruhi oleh lingkungannya yang dilakukan secara berulang - ulang sampai seterusnya dan bisa saja akan terjadi pada saat prepatogenesis dari suatu penyakit.

2.1.2. Kesehatan Lingkungan

Menurut World Health Organization (WHO) dalam buku

Indikator Perbaikan Kesehatan Lingkungan Anak (2009:11) mengenai

istilah kesehatan lingkungan, lingkungan bukan hanya mencakup alam saja,

namun juga dunia buatan manusia di rumah, sekolah, tempat kerja dan

lingkungan tetangga. kesehatan lingkungan bukan hanya pengaruh fisik

dan kimiasaja, tetapi juga faktor sosial dan faktor-faktor lainnya yang dapat

memengaruhi kesehatan kita. WHO menyebutkan fokus yang dilengkapi

(2)

oleh konteks fisik yang didalamnya anak-anak dapat berinteraksi dengan dunia mereka, yaitu lingkungan sekitar(dunia udara yang lebih luas, air, daratan, dan makhluk hidup lainnya), komunitas(lingkungan sosial atau lingkungan bertetangga tempat mereka tinggal) dan lingkungan rumah.

2.1.3. Manusia dan Lingkungan

Lingkungan menurut Chandra (2007:5,6) dibedakan menjadi 2, yaitu lingkungan hidup internal dan lingkungan hidup eksternal.

Lingkungan hidup internal adalah proses fisiologis dan biokimia yang berlangsung dalam tubuh manusia pada saat tertentu yang juga mampu menyesuaikan diri dengan perubahan dan keadaan yang terjadi diluar tubuh untuk kelangsungan hidupnya atau disebut juga bersifat homeostatis.

Lingkungan hidup eksternal adalah segala sesuatu yang berupa benda

hidup atau mati, ruang energi, keadaan sosial, ekonomi, maupun budaya

yang dapat membawa pengaruh terhadap perkehidupan manusia di

permukaan bumi ini. Lingkungan hidup eksternal terdiri dari tiga

komponen, yaitu lingkungan biologis bersifat komponen biotik adalah

makhluk hidup yang meliputi hewan, tumbuhan dan manusia. Lingkungan

fisik bersifat komponen abiotik adalah benda-benda tak hidup(mati),

antara lain air, tanah, batu, udara dan cahaya matahari.Lingkungan sosial

yang berupa kultur, adat-istiadat, kebiasaan, kepercayaan, agama, sikap,

standardangayahidup, pekerjaan,kehidupan kemasyarakatan, organisasi

sosial dan politik. manusia dipengaruhi oleh lingkungan sosial melalui

berbagai media seperti radio, TV, pers, seni, literatur, cerita, lagu, dan

sebagainya.

(3)

2.1.4. Lingkungan Keluarga Kaitannya dengan Perilaku Anak

Lingkungan keluarga merupakan media pertama dan utama yang secara langsung atau tak langsung berpengaruh terhadap perilaku anak.

Menurut Dalyono (2009) menyebutkan bahwa yang mempengaruhi perilaku anak dapat digolongkan menjadi dua faktor yaitu: (1) Faktor internal (yang berasal dari dalam diri anak) yaitu faktor fisik yang meliputi kesehatan, inteligensi, bakat, minat, motivasi, dan cara belajar, (2) Faktor eksternal yang berasal dari luar diri anak) yaitu meliputi lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat.

Slameto (2003:60) menyatakan bahwa anak akan menerima pengaruh dari keluarga berupa cara orang tua mendidik anak, relasi antara anggota keluarga, suasana rumah tangga dan keadaan ekonomi keluarga.

Faktor-faktor tersebut apabila dapat menjalankan sesuai dengan fungsi

dan peranannya masing-masing dengan baik, kemungkinan dapat

menciptakan situasi dan kondisi yang dapat mendorong anak untuk lebih

giat belajar. Pendapat Slameto (2003:61) sebagai berikut orang tua kurang

memperhatikan pendidikan anaknya, mereka acuh tak acuh terhadap

belajar anaknya,tidak memperhatikan sama sekali kepentingan-

kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan anak dalam belajar ,tidak

mengatur waktu belajarnya,tidak menyediakan/melengkapi alat

belajar,tidak perhatikan apakah anak belajar atau tidak,tidak mau tahu

kemajuan belajar anaknya, kesulitan-kelsulitan dalam belajar dan lain-lain,

dapat menyebabkan anak tidak/kurang berhasil dalam belajarnya.

(4)

Menurut Slameto (2003:54) faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap perilaku anak dapat dibagi atas dua, yaitu faktor intern atau yang berasal dari dalam diri manusia dan faktor ekstern yang bersumber dari luar diri manusia. Faktor-faktor yang bersumber dari dalam diri manusia dapat diklasifikasikan menjadi dua yakni faktor biologis dan faktor psikologis. Faktor biologis meliputi usia, kematangan, dan kesehatan, sedangkan yang dapat dikategorikan sebagai faktor psikologis adalah kelelahan, suasana hati, motivasi, minat, dan kebiasaan belajar. Faktor yang bersumber dari luar diri manusia dapat diklasifikasi menjadi dua, yakni faktor manusia (keluarga, sekolah, masyarakat) dan faktor lingkungan fisik.

Keluarga memegang peranan penting dalam menanamkan norma dan mengembangkan berbagai kebiasaan dan perilaku anak. Hal ini sesuai dengan pendapat Slameto (2003:60) anak akan menerima pengaruh dari keluarga berupa cara orang tua mendidik anak, relasi anatara anggota keluarga, suasana rumah tangga, dan ekonomi keluarga.

Berdasarkan uraian diatas jadi lingkungan keluarga mempunyai

pengaruh yang sangat penting dalam kehidupan anak-anak dan

mempersiapkan anak-anak untuk mencapai masa depan yang baik bagi diri

sendiri, lingkungan keluarga serta orang lain. Keluargalah yang mula-mula

bertanggung jawab atas perilaku anak. Keluarga dapat dikatakan sebagai

peletak dasar bagi pola tingkah laku serta perkembangan pribadi anak-anak

serta keluarga juga berperan dalam membimbing mengawasi dan

melindungi anak-anaknya juga berusaha untuk menemukan, menganalisis

dan memecahkan kesulitan yang dihadapi anak dalam hidupnya. Dalam

(5)

penelitian ini dikaitkan dengan perilaku anak yang mengalami permasalahan atau gangguan makan.

2.1.5. Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Perilaku

Menurut Green dalam Notoadmodjo (2012). Perilaku di pengaruhi 3 faktor oleh tiga faktor yaitu :

a. Faktor Predisposisi

Faktor ini mencangkup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakatterhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan sebagainya.

b. Faktor Pemukin

Faktor yang memukinkan individu beriperilaku karena tersedianya sumber daya, keterjangkauan, rujukan dan ketrampilan

c. Faktor Penguat

Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku petugas kesehatan. Termasuk undang- undang, peraturan baik dari pusat maupun dari pemerintah daerah, yang terkait dengan kesehatan.

Menurut Notoatmodjo (2010) mengatakan bahwa terdapat faktor- faktor yang mempengaruhi perilaku, yaitu:

a. Faktor personal (internal) perilaku manusia

Stimulus atau rangsangan dari luar tidak akan langsung menimbulkan

respons dari orang yang bersangkutan. Stimulus tersebut memerlukan

proses pengolahan terlebih dahulu dari orang yang menerima

stimulus. Pengolahan stimulus ini terjadi dalam diri orang yang

(6)

bersangkutan. Pengelolahan stimulus dalam diri orang tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor dalam diri orang tersebut (persepsi, emosi, perasaan, pemikiran, kondisi fisik dan sebagainya). Faktor internal yang berpengaruh dalam pembentukan perilaku dikelompokkan ke dalam faktor biologis dan psikologis.

1) Faktor biologis

DNA seseorang menyimpan seluruh memori warisan biologis yang diterima dari kedua orang tuanya. Menurut hasil pengalaman empiris bahwa DNA tidak hanya membawa warisan fisiologis dari pada generasi sebelumnya, tetapi juga membawa warisan perilaku dan kegiatan manusia.

2) Faktor sosio-psikologis

Faktor psikologis ini adalah faktor internal yang sangat besar pengaruhnya terhadap terjadinya perilaku. Faktor-faktor psikologis adalah sebagai berikut:

a) Sikap

Sikap merupakan konsep yang sangat penting dalam komponen sosio-psikologis, karena merupakan kecenderungan bertindak dan berpersepsi. Sikap merupakan kesiapan tatanan saraf (neural setting) sebelum memberikan respons konkret (Allport, 1924).

b) Kepercayaan

Kepercayaan adalah komponen kognitif dari faktor sosio-

psikologis. Kepercayaan tersebut tidak ada hubungannya

dengan hal-hal yang gaib, tetapi hanyalah keyakinan bahwa

(7)

seseuatu itu benar atau salah. Kepercayaan dibentuk oleh pengetahuan, kebutuhan, dan kepentingan.

c) Kebiasaan

Kebiasaan adalah aspek perilaku manusia yang menetap, berlangsung secara otomatis, dan tidak direncanakan.

Kebiasaan merupakan hasil pelaziman yang berlangsung dalam waktu yang lama atau sebagai reaksi khas yang diulang berkali-kali.

d) Kemauan

Kemauan sebagai dorongan tindakan yang merupakan usaha orang untuk mencapai tujuan. Kemauan meruapakn hasil keinginan untuk mencapai tujuan tertentu yang begitu kuat sehingga mendorong orang untuk mengorbankan nilai-nilai yang lain.

b. Faktor situasional (eksternal) perilaku manusia

a) Faktor situasional adalah mencakup faktor lingkungan di mana manusia itu berada atau bertempat tinggal, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi respons manusia dalam bentuk perilaku. Faktor-faktor situasional mencakup:

Faktor ekologis, Keadaan alam, geografis, iklim, cuaca dan

sebagainya mempengaruhi perilaku orang.

(8)

b) Faktor desain dan asitektur, struktur dan bentuk bangunan, pola pemukiman dapat mempengaruhi pola perilaku manusia yang tinggal di dalamnya.

c) Faktor temporal, telah terbukti adanya pengaruh waktu terhadap bioritme manusia, yang akhirnya mempengaruhi perilakunya.

d) Suasana perilaku (behavior setting), tempat keramaian, pasar, ma;, tempat ibadah, sekolah/kampus, kerumunan massa akan membawa pola perilaku orang.

e) Faktor teknologi, perkembangan teknologi terutama teknologi informasi akan berpengaruh pada pola perilaku orang.

f) Faktor sosial, peranan faktor sosial yang terdiri dari struktur umur, pendidikan, status sosial, agama dan sebagainya akan berpengaruh kepada perilaku seseorang.

2.2. Konsep Balita

2.2.1. Definisi Balita

Balita adalah anak usia kurang dari lima tahun sehingga bayi usia

dibawah satu tahun juga termasuk golongan ini. Sementara, menurut

Departemen Kesehatan (2006) didefinisikan balita sebagai anak usia 12-59

bulan. Balita usia 1-5 tahun dapat dibedakan menjadi dua yaitu anak usia

lebih dari satu tahun sampai tiga tahun (1-3 tahun) dikenal dengan batita

dan anak usia lebih dari tiga tahun sampai lima tahun yang dikenal dengan

usia prasekolah (Proverawati, 2011).

(9)

Hockenberry dan Wilson (2007) menyebutkan usia 0-1 tahun disebut fase bayi, 1-3 tahun disebut fase toddler dan usia 3-6 tahun disebut fase prasekolah. Berdasarkan pendapat Hockenberry dan Wilson (2007), dapat dilihat bahwa fase balita sebenarnya melibatkan fase bayi, toddler dan prasekolah. Istilah balita ialah untuk anak dibawah lima tahun yang dimulai dari 0-59 bulan. Mengapa dimulai dari 0 tahun, karena hal ini memperlihatkan kepentingan stimulasi dini tumbuh kembang diperlukan sejak awal proses kehidupan. Sementara 59 bulan sebagai batas atas untuk usia balita, mengikuti konsep yang disampaikan Departemen Kesehatan (Puwandari, 2014). Pada masa ini anak berusaha mencari tahu atau mencari hal baru dan bagaimana mengontrol orang lain melalui kemarahan, penolakan, dan tindakan keras kepala. Hal ini merupakan masa yang sangat penting untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan intelektual secara optimal(Cintya, 2015:15).

2.2.2. Pola Makan Balita

Pada usia 1-3 tahun anak termasuk dalam konsumen pasif, artinya anak menerima makanan dari apa yang disediakan ibu atau keluarganya.

Sementara, pada usia 3-5 tahun anak menjadi konsumsi aktif, yaitu mereka

sudah dapat memilih makanan yang disukainya. Menu pada batita adalah

menu peralihan dari menyusui dan makanan lunak (MP-ASI) ke makanan

semi padat, contohnya adalah nasi tim, bubur, dan lauk pauk. Menu

makanan pada usia 3-5 tahun hampir menyerupai menu orang dewasa,

hanya bumbu yang dipakai tidak boleh terlalu tajam, terlalu pedas atau

(10)

asam, karena dapat menganggu sistem pencernaan anak (Proverawati, 2011). Pola makan balita, menurut Arifin Z,(2015) meliputi :

a. Frekuensi : Pola makan yang baik pada usia ini yaitu bila frekuensi makan 5-6 kali sehari dengan makan makanan selingan diantara makan dan jumlahnya banyak serta jenisnya yang bergizi seimbang.

b. Variasi atau jenis: cobalah untuk memberikan makanan yang bervariasi setiap kali makan, misalnya: makanan hewani, kaya zat besi (daging, telur, dan produk susu), kacang-kacangan, buah, sayur- sayuran, dan sumber kalsium seperi susu.

c. Waktu : waktu pemberian makan balita terdiri dari 3 kali makan besar (utama), yaitu makan pagi, siang dan malam, 2 kali makan selingan (snack), diberi sebelum makan siang dan makan malam serta (Sutomo, 2010) .

d. Porsi atau jumlah :porsi yang dianjurkan perhari untuk sayuran 3 porsi, buah 2 porsi, makanan pokok 3 porsi, makanan tinggi kalsium 3 kali, dan kaya protein 2 porsi.

2.2.3. Tumbuh Kembang Balita

Tumbuh kembang merupakan manifestasi yang kompleks dari

perubahan morfologi, biokimia, dan fisiologi yang terjadi sejak konsepsi

sampai maturitas (dewasa). Pertumbuhan merupakan perubahan yang

bersifat kuantitatif yaitu ber-tambahnya jumlah, ukuran, dimensi pada

tingkat sel, organ, maupun individu. Perkembangan menyangkut proses

diferensial sel tubuh, jaringan tubuh, organ, dan sistem organ yang

(11)

berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya (Soetjiningsih, 2013).

Tabel 2.3 Standar Tinggi dan Berat Badan Anak Usia 1-5 Tahun Berdasarkan NCHS (dalam median).

Usia (tahun)

Laki-laki Perempuan

Berat (kg) Tinggi (cm) Berat (kg) Tinggi (cm)

1 10,2 76,1 9,5 74,3

2 12.3 85.6 11.8 84.5

3 14.6 95.6 14.1 93.5

4 16.7 102.9 16.0 101.6

5 18.7 109.3 17.7 108.4

Sumber: Rahayu, 2009.

2.2.4. Kebutuhan Gizi Balita

Kebutuhan gizi seseorang adalah jumlah yang diperkirakan cukup untuk memelihara kesehatan pada umumnya. Secara garis besar, kebutuhan nutrisi/gizi ditentukan oleh usia, jenis kelamin, aktivitas, berat badan, dan tinggi badan. Antara asupan zat gizi dan pengeluarannya harus ada keseimbangan sehingga diperoleh status gizi yang baik (Proverawati, 2011).

1. Kebutuhan energi, kebutuhan ini pada bayi dan balita relatif besar dibandingkan dengan orang dewasa, sebab pada usia ini pertumbuhan balita masih sangat pesat. Kecukupannya akan semakin menurun seiring dengan bertambahnya usia.

2. Kebutuhan zat pembangun, secara fisiologis balita sedang dalam masa

pertumbuhan sehingga kebutuhannya relatif lebih besar daripada

orang dewasa. Namun, jika dibandingkan dengan bayi yang usianya

kurang dari satu tahun, kebutuhannya relatif lebih kecil.

(12)

3. Kebutuhan zat pengatur, kebutuhan air bayi dan balita dalam sehari berfruktuasi seiring dengan bertambahnya usia.

Balita memerlukan enam zat gizi utama untuk membantu proses pertumbuhan dan perkembangan, diantaranya karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan air. Keenam macam gizi ini tidak bisa dipenuhi hanya dari satu macam makanan saja karena tidak ada satu pun makanan dari alam yang mempunyai kandungan gizi lengkap sehingga diperlukan konsumsi makanan yang beragam (Proverawati, 2011).

1. Karbohidrat

Kerbohidrat merupakan sumber energi utama bagi manusia, umumnya 70% dari kebutuhan energi berasal dari karbohidrat.

Sumber karbohidrat adalah padi-padian, umbi-umbian, kacang- kacangan, gula dan hasil olahannya seperti bihun, mie, roti, selai, sirup, dan sebagainya. Sumber karbohidrat yang banyak dimakan sebagai makanan pokok di Indonesia adalah beras, jagung, ubi, singkong, talas, dan sagu (Almatsier, 2009).

Besar kebutuhan energi dapat dihitung dengan cara:

a. Kebutuhan energi harian (kalori) = 1000 + (100 x Usia dalam tahun)

b. Keb. energi usia 1-3 tahun= 100 kalori/kg BBI Keb. energi usia 4-5 tahun= 90 kalori/kg BBI BBI = (usia dalam tahun x 2) + 8

Maka, kebutuhan karbohidrat = (70% x total energi harian) : 4=

x gram

(13)

2. Lemak

Lemak merupakan zat gizi yang berperan dalam pengangkut vitamin A, D, E dan K yang larut dalam lemak. Kebutuhan lemak tidak dinyatakan secara mutlak. WHO (1990) mengajurkan konsumsi lemak sebanyak 20-30% dari kebutuhan energi total dianggap baik untuk kesehatan. Sumber utama lemak adalah minyak tumbuh-tumbuhan (minyak kelapa, kelapa sawit), mentega, margarine, dan lemak hewan (lemak daging dan ayam). Sumber lemak lain adalah kacang-kacangan, biji-bijian, krim susu, keju dan kuning telur (Almatsier, 2009).

Kebutuhan lemak= (20% x total energi harian) : 9= x gram 3. Protein

Protein merupakan zat gizi yang berfungsi khas yang tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain, yaitu dalam pembentukan dan pemeliharaan sel-sel dan jaringan tubuh. Bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang baik, dalam jumlah maupun mutu, seperti telur, susu, daging, unggas, ikan dan kerang. Sumber protein nabati adalah kacang kedelai dan olahannya, seperti tempe dan tahu, serta kacang-kacangan lain (Almatsier, 2011). Kebutuhan protein adalah sebesar 10% dari total energi harian, dapat dihitung :

Kebutuhan protein sehari (kalori) = (10% x total energi harian) : 4 = x gr

4. Vitamin

Vitamin adalah zat-zat organik kompleks yang dibutuhkan dalam

jumlah sangat kecil dan pada umumnya tidak dapat dibentuk oleh

tubuh. Vitamin terbagi menjadi dua yaitu vitamin larut lemak (vitamin

(14)

A,D, E, dan K) dan vitamin larut air.Vitamin berperan dalam beberapa tahap reaksi metebolisme energi, pertumbuhan, dan pemeliharaan tubuh, pada umumnya sebagai koenzim atau sebagian dari enzim (Almatsier, 2009).

5. Mineral

Sekitar 4% tubuh kita terdiri atas mineral, mineral dikelompokkan menjadi dua kelompok besar (elemen, unsure) berdasarkan kuantumnya ialah: a) Makro elemen, yang terdapat dalam kuantum yang relatif besar, misalnya K, Na, Ca, Mg, dan P, S serta Cl.; b) Mikro elemen, yang dalam kuantum yang relatif sedikit, seperti Fe, Cu, Co, se, Zn dan J, serta F yang benar-benar diperlukan tubuh dan harus ada (Jauhari, 2013).

2.3. Konsep Nutrisi

2.3.1. Pengertian Nutrisi

Menurut Kozier, et al, 2010, dalam Setiawan, (2014: 80, 81). Nutrisi

merupakan sesuatu yang di konsumsi seseorang untuk memenuhi

kebutuhan tubuh dan kebutuhan yang sangat penting untuk membantu

proses pertumbuhan, perkembangan anak. Suharjo, 1996 dalam

Setiawan(2014) mengatakan status gizi anak di tentukan oleh kebuhtuhan

fisik energi dan zat gizi lain yang di peroleh dari pangan dan makanan yang

bergizi.

(15)

2.3.2. Status Nutrisi Pada Anak a. Status gizi tidak langsung

1) Survei konsumsi makanan

Untuk mengetahui kebiasaan makan makanan zat gizi tingkat kelompok, rumah tangga dan perorangan. Metode pengukurannya dengan menggunakan konsumsi makanan berdasarkan sasaran pengamatan dan pengguna, Supariasa, et al 2002, dalam Setiawan, (2014: 81).

2) Statistik vital

Cara mengetahui keadaan gizi dengan menggunakan statistik kesehatan dapat diperhitungkan kegunaannya sebagian dari penggunaan pengukuranya di status gizi masyarakat.

3) Ekologi

Hasil yang saling mempengaruhi interaksi beberapa faktor biologi, fisik dan lingkungan budaya. Jadi jumlah makanan yang ada bergantung pada lingkungan.

b. Gizi secara langsung

Menurut Setiawan (2014) sebagai berikut:

1) Pemeriksaan klinis

Dengan melihat adanya kelainan gangguan yang terjadi pada mulut, rambut, kulit, mukosa mulut, dan bagian tubuh yang lain yang termasuk ciri-ciri masalah kurang gizi.

2) Biokimia

Pengukuran dengan menggunakan berbagai zat gizi dan tes kimia

dalam darah dan urin.

(16)

3) Biofisik

Melihat dari kemampuan fungsi jaringan dan perubahan struktur pada anak.

4) Antropometri

Pemantauan status gizi anak menggunakan pengukuran tubuh, komposisi tubuh berbagai tingkat umur dan tingkat gizi anak.

2.3.3. Nutrisi Pada Anak

Menurut Setiawan, (2014: 86, 87) kebutuhan nutrisi pada anak yaitu:

a. Air

Tabel 2.1 Kebutuhan Air

Usia Air per Kg per hari

3 hari 80-100 cc

10 hari 125-150 cc

3 bulan 140-160 cc

6 bulan 130-155 cc

9 bulan 125-145 cc

1 tahun 120-135 Cc

Sumber: Setiawan, 2014.

b. Protein

Nilai gizi protein hewani lebih besar dari pada nilai protein nabati dan sangat mudah diserap oleh tubuh.

c. Lemak

Pada usia bayi sampai krang lebih dari 3 bulan , lemak merupakan kolesterol yang tidak dapat dibuat dari kabohidrat. Lemak berfungsi untuk mengabsorbsi vitamin yang larut dalam lemak.

d. Kabohidrat

Sumber energi untuk bayi dan anak, pada anak usia 2-5 tahun

kebutuhan kabohidratnya : BB 15-20 kg, permukaan tubuh 0,60-0,70

m

2

, Cal 45 kg.

(17)

e. Vitamin dan mineral

Sejumlah zat yang ada dalam makanan berfungsi untuk mempertahankan daya tahan tubuh anak.

2.4. Konsep Avoidant/Restrictive Food Intake Disorder

2.4.1. Sejarah DSM-5 (Avoidant/Restrictrive Food Intake Disorder)

Menurut (Kenny L, 2013), Diagnosa ARFID (DSM-5) muncul sejak tahun 2013 di organisasi American Psychiatric Association. Awal mulanya sebelum diagnosa ARFID muncul diagnosa DSM-IV terlebih dahulu yang di gunakan dari tahun 2000 sampai 2012. banyak yang belum mengetahui bahwa Diagnosa DSM-IV muncul sejak tahun 2000. Pada diagnosa DSM- IV dijelaskan bahwa anak dengan gangguan pola makanlebih ditekankan sebagai faktor potensial dalam perkembangan gangguan makan. Ketika orang tua memberi makanan dan anak mereka menolaknya maka semua itu akan menyebabkan kegelisahan pada anak. Selain itu, DSM-IV menunjukkan bahwa anak dengan gangguan makan lebihtidak terprediksi.

DSM-IV lebih kita kenal dengan istilah Picky Eater dan Neophobia makan.

Perbedaan ARFID dengan Picky eater adalah karakteristik ARFID lebih komplek daripada Picky eater. Picky eater adalah salah satu tanda gejala ARFID.

Beberapa orang percaya bahwa gangguan makan dipengaruhi oleh

faktor orangtua dan lingkungan seperti yang ada dalam definisi DSM-

IV.Salah satu keterbatasan diagnosis yang lebih lama adalah penekanan

pada penurunan berat badan atau kegagalan untuk menambah berat badan

(18)

yang diperlukan dalam penentu klinis penyakit ini (Bryant-Waugh et al.

2010). Seiring perkembangan zaman di tahun 2013 DSM IV diperbarui menjadi DSM-5 yang muncul bulan mei 2013. Di diagnosa DSM-5 ini mengevaluasi kembali dari DSM-IV tentang gangguan asupan makan secara terus menerus pada anak usia dini (Kenny. L. 2013).

2.4.2. Definisi Avoidant/Restrictive Food Intake Disorder

Avoidant/Restrictive Food Intake Disorder(Neophobia) merupakan jenis

gangguan makan yang berupa memilih makanan, mengalami keterbatasan dalam makan, ketidakmauan atau keengganan makan didepan orang lain sampai menimbulkan kesulitan untuk mendapatkan nutrisi atau kalori yang di butuhkan oleh tubuh dapat terjadi pada anak-anak, remaja dan orang dewasa (Norris L, at el, 2016).

Menurut(Lindsay Kenney & Walsh, 2013) ARFID adalah gangguan pola makan secara terus menerus yang mengarah pada konsekuensi kesehatan, seperti penurunan berat badan, pertumbuhan lambat, kekurangan kalori dan hanya tergantung pada suplemen atau sonde, ketidakteratuan dalam makan dan membatasi atau mengurangi asupan nutrisi yang disertai dengan sikosomatik.

Menurut(Helland SH, et al, 2017) Food Neophobia pada ARFID yaitu

rasa takut dengan makanan yang baru dilihatnya sehingga anak akan

menolak makanan baru yang diberikan kepadanya namun mereka juga

cenderung lebih berhati-hati jika mencoba dalam merespon hal

baru(makanan).

(19)

2.4.3. Penyebab Avoidant/Restrictrive Food Intake Disorder

Menurut (Zero, 2005) penyebab Avoidant/Restrictrive Food Intake Disorder yaitu: a). Penyebab ARFID di awali dengan kebiasaan anak yang sejak dini sering rewel dalam makan, sulit makan, makan tidak teratur, malas makan dan terbiasa makan sambil nonton tv, b). Hilangnya nafsu makan, c). Keengganan anak untuk makan setelah terjadi peristiwa buruk seperti tersedak, d). Gangguan proses makanan di mulut, e).

Pengaruh psikologis pada anak yang menyebabkan kebiasaan sejak dini dibawa sampai remaja sehingga anak memiliki tubuh yang kurus.

Menurut (Krlie. K. et al, 2016) penyebab Avoidant/Restrictrive Food Intake Disorder yaitu: a). Perilaku ibu dalam pemberian makan seperti memaksa makan, b). Memarahin anak saat makan juga dapat membuat anak malas makan dan akhirnya bisa mengarah ke ARFID, c).

Faktor genetik, d). Faktor sosiologi dan budaya. Sedangkan Menurut (Zickgraf et al, 2016) penyebab Avoidant/Restrictrive Food Intake Disorder yaitu: a). Pilih-pilih makanan dikaitkan dengan keadaan keluarga.

Contohnya keluarga yang memiliki gangguan mental (stres), b). Masalah saat diberikan makan.

2.4.4. Gejala Avoidant/Restrictrive Food Intake Disorder

Gejala ARFID menurutNational Eating Disorders Association, (2013)

sebagai berikut : a). Membatasi atau mengurangi asupan nutrisi yang di

sertai dengan sikosomatik, b). Kurangnya minat makan atau nafsu makan

pada anak, dan biasanya anak rewel, c). Ketidakmauan atau keengganan

makan di depan orang lain atau teman mereka sendiri, d). Selalu mengalami

pilih-pilih makan yang belum berubah pada masa kanak-kananya, d).

(20)

Mengalami keterbatasan dalam hal makan yang di alami anak, e).

Ketakutan dalam hal makanan baru atau berfikir negatif tentang makanan baru, misalnya takut muntah, alergi, tersedak, g). Mengalami penurunan berat badan, kegagalan memiliki pertumbuhan yang di harapkan, h).

Kekurangan gizi, i). Ketergantungan pada suplemen atau sonde, j).

Gangguan fungsi psikososial pada anak, k). Ketidakteraturan dalam hal makan, kekurangan sumber daya yang tersedia.

2.4.5. Dampak Avoidant/Restrictive Food Intake Disorder

Konsekuensi kesehatan menurut National Eating Disorders Association, 2013 sebagai berikut: a). Adanya peningkatan resiko kegagalan

untuk berkembang pada anak karena kurangnya asupan nutrisi tidak adekuat. (Tidak masuk di standar pertumbuhan anak), b). Pertumbuhan anak terhambat akibanya penurunan berat badan, dan pengaruh ke tinggi badan pada anak, c). Penurunan kepadatan tulang pada anak, d).

Penurunan perkembangan otak pada anak.

2.4.6. Faktor Resiko Avoidant/Restrictrive Food Intake Disorder

Menurut (Kenny L, 2013) faktor risiko Avoidant/Restrictrive Food Intake Disorderyaitu: a). Gangguan kecemasan, gangguan obsesif- kompulsif, gangguan perhatian defisit, dan spektrum, b). Orang dengan riwayat kondisi gastrointestinal seperti gastroesophageal reflux mungkin mengembangkan masalah gangguan makan, tetapi diagnosis ARFID harus ditugaskan hanya ketika gangguan makan yang memerlukan pengobatan signifikan di luar itu diperlukan untuk masalah pencernaan.

Sedangkanmenurut (Green, et al, 2015) faktor

resikoAvoidant/Restrictrive Food Intake Disorderyaitu: a). Genetik, b).

(21)

Mengalami kesulitan saat makan seperti sering muntah, c). Kelahiran anak dalam keluaga (sering dialami pada anak pertama), d). Variasi makanan selalu sedikit, e). Makanan yang di tawarkan bertekstur buruk.

2.4.7. Cara Menangani Anak dengan Avoidant/Restrictrive Food Intake Disorder

Menurut (Green, et al., 2015) cara menangani anak dengan Avoidant/Restrictrive Food Intake Disorderyaitu: a). Memberikan pelayanan

kepada anak sesuai dengan usia mereka, b). Memberikan pengenalan makanan sesuai rencana dan persiapan anak, c). Memasukkan makanan di menu perencanaan, d). Membuat pilihan makanan sehat seperti buah, sayur, dan makanan sehat lainnya, e). Memberikan anak makanan ringan seperti snack, f). Berhati-hati dalam memberikan makanan, g). Berikan contoh positif terkait perilaku makan.

Sedangkan menurut (Lindsay,at al, 2013)cara menangani anak dengan Avoidant/Restrictrive Food Intake Disorderyaitu: a). Bentuk terapi pemaparan sangat penting untuk anak yang mengalimi depresi atau kecemasan yang mempengaruhi pola makan anak (ARFID), b). Terapi perilaku kognitif untuk mengatasi gangguan makan pada anak, c).

Perawatan lain seperti pendekatan efektif mengobati gangguan makan pada anak.

Sedikit yang saat ini diketahui tentang intervensi pengobatan yang

efektif bagi individu yang mengalami ARFID. Namun, mengingat perilaku

menghindari makanan sangat menonjol, tampaknya mungkin bahwa

intervensi perilaku, seperti bentuk terapi pemaparan akan menjadi peran

penting. Untuk seseorang dengan gangguan emosional seperti depresi atau

(22)

kecemasan yang mempengaruhi makan, terapi perilaku kognitif dan perawatan lain untuk kondisi yang mendasari mungkin pendekatan efektif untuk terapi pengobatan gangguan makan.

2.4.8. Hubungan Lingkungan Terhadap Terjadinya Avoidant/Restrictive Food Intake Disorder

Faktor yang dapat dihubungkan antara ARFID dengan lingkungan yaitu salah satu contoh awal ialah lingkungan keluarga karena lingkungan keluargalah tingkatan pertama yang ditemui oleh anak dan menjadi contoh terrhadap anak yang cenderung mungkin membuat anak berperilaku picky eating. Perilaku ini muncul karena adanya perilaku pola makan yang tidak

teratur atau abnormal yang dilakukan secara terus-menerus dan berulang

yang diajarkan kepada anak atau ditiru/dicontoh oleh anak karena melihat

lingkungan sekitar. Beberapa studi terkait faktor-faktor di Indonesia

sendiri masih belum ada publikasi penelitian yang lebih rinci terkait faktor

lingkungan dengan pola makan namun ada beberapa penjelasan yang

sempat diteliti sebelummnya contohnya sejak kecil anak tidak

diperkenalkan makanan seperti sayuran atau yang lain-lain sebagai contoh

dalam penjelasan dan penelitian Damayanti (2015:9) hanya 2 atau 3 jenis

makanan saja diperkenalkan (35%) dan perilaku picky eating pada anak

menunjukan bahwa anak jarang makan sayur (70%) data ini kemudian di

dukung penelitian Antolis (2012) jenis makanan keluarga yang paling

sering sering diberikan adalah sop sayur, yang mana ditunjukkan dari

jumlah orang tua yang memberikan makanan tersebut sebanyak 41 orang,

walaupun ada juga yang memberikan ikan, daging, tahu, tempe dan lain-

lain. Lingkungan sosial-budaya adalah contoh kedua karena Indonesia

(23)

sendiri memiliki banyak mitos-mitos atau budaya yang sudah lama ada namun bertentangan dengan ilmu gizi hal ini dikarenakan informasi terkait pemberian makan kepada anak mengikuti mitos-mitos maupun budaya yang terdapat di dalam masyarakat yang jika tidak dikritisi dapat berdampak menjadi kesulitan dan menjadi pantangan makan bagi anak sehingga dalam beberapa studi menjelaskan anak yang mempunyai makanan pantangan berisiko mengalami karakteristik picky eaters 9,9 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang tidak mempunyai makanan pantangan (Kusumawardhani, et al. 2013:24).

2.4.9. Pengukuran Avoidant/Restrictrive Food Intake Disorder

ARFID atau yang dikenal dengan neophobia makanan adalah suatu keadaan menghindari makanan, enggan untuk mencoba makanan baru dan makanan asing. Neophobia makanan merupakan periaku yang negatif. Salah satu alat untuk mengukur neophobia makanan atau ARFID adalah CFNS (Child Food Neophobia Scale). Kuisioner CFNS (Child Food Neophobia Scale) merupakan metode umum untuk menilai masalah makan pada komunitas dan layanan permasalahan terkait dengan neophobia makanan pada anak.

Tingkat reliabilitas dan validitas CFNS (Child Food Neophobia Scale ) dapat digunakan secara ekstensif dalam mengukur karakteristik ARFID. CFNS (Child Food Neophobia Scale ) terdiri dari 10 item dengan 5 pertanyaan neophilic (positif) dan 5 pertanyaan neophobic (negatif ) tentang jenis makanan

yang dikonsumsi atau situasi yang berkaitan dalam mengonsumsi

makanan. Penilain Kuisioner CFNS terdiri dari 3 kategori. Pertama

dikatakan Neophobia Rendah bila skor nilai CFNS (Child Food Neophobia

(24)

Scale ) berjumlah ≤ 17, kedua dikatakan Neophobia Sedang bila skor nilai

CFNS(Child Food Neophobia Scale) berjumlah 18-24 dan yang ketiga dikatakan Neophobia Tinggi ketika skor berjumlah ≥ 25.

2.5. Perbedaan Avoidant/Restrictrive Food Intake Disorder

2.5.1. Perbedaan Avoidant/Restrictrive Food Intake Disorder dan penyakit lainya

Menurut Kenny (2013) Kehadiran gangguan psikologis lainnya

mungkin faktor risiko untuk ARFID, seperti gangguan kecemasan,

gangguan obsesif-kompulsif, gangguan perhatian defisit, dan spektrum

gangguan autisme Jika seorang individu menyajikan dengan salah satu dari

penyakit ini dan masalah makan, diagnosis ARFID harus diberikan hanya

ketika gangguan menyusui itu sendiri yang menyebabkan gangguan klinis

yang signifikan, yang memerlukan intervensi di luar biasanya itu diperlukan

untuk kondisi lainnya. Demikian pula, orang dengan riwayat kondisi

gastrointestinal seperti gastroesophageal reflux mungkin mengembangkan

masalah gangguan makan, tetapi diagnosis ARFID harus ditugaskan hanya

ketika gangguan makan yang memerlukan pengobatan signifikan di luar itu

diperlukan untuk masalah pencernaan.

(25)

2.5.2. Penyebab Avoidant/Restrective Food Itake Disorder

Menurut Zero (2005) penyebab Avoidant/Restrective Food Itake Disorder yaitu :

a. Diawali dengan kebiasaan anak yang sejak dini sering rewel saat makan, sulit makan, makan tidak teratur, malas makan dan terbiasa makan sambil nonton tv.

b. Hilangnya nafsu makan.

c. Keengganan anak untuk makan setelah terjadi peristiwa buruk seperti tersedak.

d. Pilih-pilih makanan ( Picky eater ).

e. Gangguan proses makan di mulut.

f. Pengaruh psikologis pada anak yang menyebabkan kebiasaan sejak dini dibawa sampai remaja sehingga anak memiliki tubuh yang kurus.

Sedangkan menurut Krlie,et al. dan Zickgraf, et al.(2016) penyebab Avoidant/Restrective Food Itake Disorderyaitu :

a. Perilaku ibu dalam pemberian makan secara dipaksa

b. Memarahi anak saat makan dapat membuat anak malas makan c. Pilih-pilih makanan(Picky Eater) dikaitkan dengan keadaan

keluarga khususnya ekonomi dan pengetahuan.

d. Masalah saat diberi makan

2.5.3. Dampak Avoidant/Restrictrive Food Intake Disorder.

Konsekuensi kesehatan menurut Natoinal Eating Disorder

Association (2013) sebagai berikut :

(26)

a. Adanya peningkatan resiko kegagalan untuk berkembang pada anak karena kurangnya asupan nutrisi tidak adekuat.

b. Pertumbuhan anak terhambat akibatnya berat badan menurun, dan pengaruh ke tinggi badan pada anak

c. Kekurangan gizi

d. Penurunan kepada berat badan padaanak e. Penurunan perkembangan otak pada anak

2.6. Definisi Food Neophobia

Food neophobia, yaitu rasa takut dengan makanan yang baru dilihatnya yang juga

ditandai oleh variasi makanan yang rendah, menolak makanan baru, dan gangguan problematik dengan hubungan orangtua dan anak. Lazim dillaporkan bahwa anak pemilih makanan atau food neophobia. Satu studi longitudinal menunjukkan bahwa insiden ARFID atau yang lebih spesifik yaitu food neophobia terjadi pada anak usia 2 tahun. 2 tahun pertama sangat penting dalam pengembangan kebiasaan makan yang sehat, pola makan dan preferensi makanan yang ditetapkan pada awal kehidupan terus berlanjut sampai dewasa (Natasha Chong Cole, et al, 2017).

Food Neophobia didefinisikan sebagai anak yang mengkonsumsi variasi makanan

tidak memadai dan tidak mencukupi, dengan memahami variabel-variabel yang

mempengaruhi faktor-faktor perkembangan(usia, kepribadian, jenis kelamin,

pengaruh sosial, ekonomi, keinginan untuk mencoba makanan) dan kita dapat

lebih jauh memahami persamaan dan perbedaan antara picky eating, food neophobia

dan ARFID dengan beberapa faktor seperti tekanan untuk makan, faktor

kepribadian, praktik orangtua atau gaya makan, pengaruh sosial dan ekonomi akan

memiliki efek yang sama besarnya dan durasi dari perilaku ini. Pada sisi lain hal ini

(27)

mungkin dipengaruhi secara berbeda oleh faktor usia, pertahanan taktil, lingkungan dan budaya serta ekonomi(Terence M. Dovey, 2008) .

2.6.1 Penyebab Neophobia

Beberapa penyebab atau alasan yang menyebabkan terjadinya neophobia sebagai berikut :

a. Faktor psiko-sosial: Seorang anak cukup mengamati kebiasaan makanan dan preferensi orang tua dan anggota keluarganya. Anak dapat mengembangkan kesukaan dan kebencian yang serupa dengan orang tuanya. Kecenderungan neophobia dapat dihasilkan pada balita dengan mengamati kebiasaan dan selera makanan orang tua.

b. Kejadian lingkungan: Neophobia kadang-kadang dapat disebabkan karena kejadian lingkungan tertentu. Pengalaman masa lalu di mana asupan makanan baru dikaitkan dengan keracunan makanan atau penderitaan selanjutnya dapat menimbulkan ketakutan di benak balita.

2.6.2 Cara Mencegah Food Neophobia

Penyebab anak-anak umumnya mengalami food neophobia adalah karena mereka memiliki sensitivitas yang tinggi ketika melihat, merasakan, atau mengalami suatu hal yang baru. Mereka cenderung berhati-hati dalam merespons hal baru. Apalagi jika mereka melihat makanan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya(Natasha Chong Cole, et al, 2017). Cara mengatasi food neophobia sebagai berikut:

a) Hindari memasukkan makanan ke mulut anak secara paksa

Berbeda dengan anak yang malas makan atau hanya tidak suka rasa sayur, misalnya, anak yang mengalami food neophobia memiliki efek emosional.

Karena itu, hindari mencekok atau memaksakan makanan masuk ke dalam

(28)

mulutnya. Ketika anak takut dan khawatir dengan makanan yang baru dilihatnya, memaksakan rasa dan bentuk asing padanya akan membuatnya semakin ketakutan. Penolakan akan makanan baru pun berlangsung kian lama.

b) Kreasi Makanan

Food neophobia bisa dikenali dalam dua hal, rasa takut akan rasa baru dan rasa takut akan bentuk baru. Jika anak Anda takut dengan bentuk makanan yang dilihatnya, cobalah kreasikan makanan dalam berbagai bentuk dan jenis masakan. Misalnya wortel, Anda bisa menyajikannya secara utuh, memotongnya kecil-kecil, atau menghiasnya hingga menjadi bentuk tertentu. Namun hal ini juga berkaitan dengan kondisi tingkat pengetahuan orangtua serta ekonomi untuk membentuk banyaknya bahan makanan hingga tampak menarik keinginanan makan anak untuk makan saat melihat bentuk.

c) Memakan Langsung Didepannya

Anak kecil belajar dengan menirukan apa yang terjadi di lingkungannya.

Untuk anak yang masih cemas ketika melihat makanan baru, Anda bisa meredakan kecemasannya dengan menyantap makanan tersebut langsung di depannya. Alangkah baiknya jika ingin mengenalkan makanan baru pada anak makanlah didepan anak sehingga anak dapat meniru berdasarkan lingkungannya.

2.6.3. Cara Mengobati Neophobia

Masalah neophobia yang dialami oleh seorang balita mungkin benar-

benar diperburuk jika dia diberi tekanan untuk makan makanan yang tidak ingin

mereka makan. Yang terbaik adalah mengadopsi praktik sederhana untuk

(29)

menangani perilaku neophobia pada balita yang sedang tumbuh(Infant and Toddler Forum. 2016:2).

a. Tawarkan penghargaan non-makanan dan buat itu menarik bagi anak:

Anak-anak biasanya tergoda dengan mainan, stiker, atau pertunjukan kartun baru. Pilihan yang bagus untuk menawarkan hadiah apa pun jika balita itu mencoba dan makan makanan baru.

b. Trik pengalih perhatian: Balita mungkin akan terganggu jika mereka terlibat dalam permainan favorit mereka seperti bermain doh atau buku cerita yang menarik atau mungkin acara televisi yang menarik. Yang terbaik adalah memberi mereka makan dengan sesuatu yang baru pada saat mereka tidak melihat dengan cermat apa yang mereka makan.

c. Pemaparan berulang dan penyajian dengan jenis makanan yang sama:

Semakin banyak terpapar makanan tertentu secara bertahap akan membantu anak mengatasi ketakutannya mengenai konsumsi makanan tertentu, jika seorang balita ditawari makanan yang sama berulang-ulang, mungkin akan menolaknya selama sepuluh atau lima belas kali, tetapi pada akhirnya penerimaan akan berkembang.

2.7. Kesimpulan Perawat

Menurut (Kenny, 2013), Pola istimewa dari asupan makan yang biasa

terjadi selama masa kanak-kanak, tetapi tidak memiliki signifikan klinis dan

mengirimkan tanpa intervensi. Misalnya, anak-anak biasanya menolak untuk

makan Kubis Brussel, dan ini bukan merupakan gangguan makan. Namun,

penciptaan kategori lebih diagnostik inklusif untuk Avoidant Restrictive Food Intake

Disorder harus bermanfaat dalam memungkinkan lebih label spesifikasi diagnostik

untuk diberikan kepada gejala klinis yang signifikan yang bisa dinyatakan tidak

(30)

teridentifikasi atau tidak terobati. Selain itu, sejak literatur sistematis belum ada,

definisi Avoidant Restrictive Food Intake Disorder(Neophobia) di DSM-5 diharapkan

akan memfasilitasi penelitian untuk menentukan kejadian, prevalensi, dan hasil

gangguan makan ini.

Gambar

Tabel  2.3  Standar  Tinggi  dan  Berat  Badan  Anak  Usia  1-5  Tahun  Berdasarkan NCHS (dalam median)
Tabel 2.1 Kebutuhan Air

Referensi

Dokumen terkait

Siklus hidup sistem informasi adalah pendekatan melalui beberapa tahap untuk menganalisis dan merancang sistem yang dimana sistem tersebut telah dikembangkan dengan

Melalui identi- fikasi awal hambatan melaluipembelajaran bersama dengan guru PAUD Gugus 11 Arjowinangun untuk menemukenali faktor kegagalan pemahaman pada K13 PAUD dari

Dengan mengamati gambar dan teks percakapan melalui grup WhatsApp/Zoom/Google Meet , siswa dapat membaca kalimat sederhana yang di dalamnya memuat aturan penggunaan tanda titik

Voltmeter untuk mengukur tegangan antara dua titik, dalam hal ini adalah tegangan pada lampu 3, voltmeter harus dipasang secara paralel dengan beban yang hendak diukur, posisi

Indeks bias kaca preparat dan tebal lapisan tipis ZnO pada kaca preparat dapat diketahui dengan menghitung jumlah perubahan frinji atau transisi frinji N akibat

Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kemampuan motorik halus anak dengan kegiatan menggambar melalui teknik memercik pada anak kelompok B TK Aisyiyah

Untuk memastikan bahwa yang diases tersebut benar-benar adalah kompetensi riil individu (peserta didik) tersebut, maka asesmen harus dilakukan secara (4) otentik (nyata,

Wahyuningsih, I., 2003, Peningkatan Kelarutan dan Absorbsi Pentagamavunon-0 (PGV-0) secara In Vitro dan In Situ melalui Pembentukan Kompleks dengan PVP pada Tikus Putih