Sejarah Tionghoa sebagai Pendidikan Kebhinekaan.

llustrasi: Festival dan Lomba Mural - 60 Tahun Universitas Sanata Dharma 2015, "Bengkel Pendidikan'i Apriliya lrwanti, pery Surya Atmala, lgnatius Mayo Aquino Pang, Marinus Skotsa Febrianto

Sejarah

Tionghoa

s ebagai

Pendidilcan

Kebhinelcaan

H E N D R A

K U R N I A W A N

I n d o n e s i a

m e m i l i k i

s t r u k t u r

m a s y a r a k a t

m a j e m u k

y a n g

u n i k .

Secara

horizontal,

masyarakat

terbentuk

oleh ikatan-ikatan

p r i m o r d i a l ,

s e p e r t i

h u b u n g a n

d a r a h ,

s u k u ,

a g a m a ,

a d a t istiadat,

dan wilayah

tinggal.

Namun,

secara

vertikal,

dalam masyarakat

j u g a ada perbedaan

a n t a r a

l a p i s a n

a t a s

d a n bawah.

slsv8

Stoz'te-a)

unqer'zr-r

r.roruoN

8t

zr roruoN saldda) q€lrBnla{ ouodoqpnl Suequreg opsng uaprsard ueqelurJeruad esuur uped 'arqrqeH uaprsard qalo sndeqp qe1a1 eSnt (eoq8uor;/rrunqrrduou uep runqud) rrduou-r.rd qelrl$ ueeunSSuad e.r(urunlaqag 'uequqnrad w8uqraq >1u1o1 _{{pF rpeluaru rseruroJeU}

'9f6i qgg ue8uap ueBueluapaq uep ersnuuur rses€ {€q drsuud reSSuelaru selaf nluapal

selrunruo{ nele Sueroesas depeqral yl}Burrurrrlsrp uenlegad uep ue8uupued 'unqel ueqnlnd Bru€Ias eoq8uorl le4eredseru rueprp Sued prsos rselar ruEIEp JIlBurrurDISrp uep lersoso>1sd >leduup ue>llnqruruatu ur ue4efrqay' Lg6r wn 1 gz p33ue1 L96r I 9 I qvy'sat 4

/go-SS Jo{uoN eradury laurq€X unrprsald uuJepg tBJnS rnleleru ue{rlestp €urC qelr}sl ueeunSSua6

'runqud ue8uap eoq8uorl €relue JorJaJur uep rouadns ueeserad

uu4sndeq8uau nele r8uern8uaur ledep ue4dereqrp BUIC qelqsl ueuunSSuad aplq 'uoq8uor; leleredseru eurq8uaru uup ualqupuaJau {nlun pruolo{ eseur eped uuleun8rp n1np uurC qelqq >1o13uor1 srunurol uB+EDIa{

ue)Feqrlau e8npp 8ue.{ 996r requraldag of u€{EraC ecsed SunpuBS Ip (ru$V) erseuopul4llqndaS elefuasrag uele>13uy r33ur1 err,,r,urad-eru,uad uenruapad urepp ue4snlndrp BurC qellq ueeunS8uad e./vrqeq uu4sulaluaru

eleurpedrng oe.I 'Brsauopul rp eoq8uol; le4erudsuru lnqaduau {n}un eurC q€1psl ue4eun8rp qeurad nreg

apro €seru eped 'rleqtuel ue4eun8rp rur4 uep g96r unqel unlaqas ue4eun8rp qeurad rur q€lqq €npa)

'uur3 ere8au edurge 4o46uot1uep €urC Suero edurpe ootl1uotl 'uoluey Eseqeq ruepq '€rseuopul rp eoq8uorl Suero

qalo ue>[€un8p 8ued4o43uor; rp BSBr{Eq n}ES qules 'uo1uulq ESBr{Bq _{rJep IESEJeq Io4Suor; uup eoq8uorl}

r1elrl$ €,.lrr{Eq rre4sela luaru ouosrclrg olu ErlsrrqC 'Brsauopul lele.redseru renl rp lBua{rp 4epp 4o43uor1

uep eoq8uorJ qelqq'411qn8uq €r€ces 'Brsauopq rp

4oq8uorg rJep I€s€Jaq 3uu,( Suero-8ueJo r{alo rJrpues ue4uldrcrp rur qBIIlq 'eoq8uor; r{BII}q ue8uap gSSuedrp

Brsauopul 1p €ulJ nele 4o43uor;8uero-8uerg 'eoq8uo1l uueperaqe>l rrup uelsedaflp fedep {EpIi 1ul esBueq qerefas uuuuplrad'eduqnSSunsas 'n1r Euar€{ qa16 'eduqerep qedurnl qeuul re8eqas ersauopul

de8Suu8uaru eoq8uorg Suero lenqurau €rseuopuJ rp nJnc {EuBJaq uep 'nunqrrd Suero ue8uap r{E{ruau 'qeryeu rreruaru 'dnplq peqe-p€qereq €urelas '4eduuq Suqed 8ue.,( eduqeprnf eoq8uor;3uero 'edorg uep 'Brpul

'qery Suero ue4Surpueqrq 'a{n€JeIAI redures Suuqeg rr€p Blo>l derlas 1p rnruolrp ludep uep Jeqasral eoq8uorl

Suero 'ersauopui ry Fqeped 'leuorseu qerulas s{a}uo{ 1u13uerp 8ue;eI eoq8uorl lnlereds€ut'rur Errr€las

'leuors€u qerefas uu1!e>1 ruBIEp pn[n,r,r.ra1 runlaq Suere4as _{redues Sued qepul '(9 :600z 'rlsepuJu( uep} euedplq sn8y) es8ueq ue4nuralerua{ reure^\au lnrnl

e8n[ Sued ueBuolo8 uep qodruola>1 re8eqreq ueue.rad ue4rpeq8uaur ue8uap us8ueq rsur8alur eped qeru8uaru

snrBq leuorseu qerefas e,{ulrq>1e epe4 'su1uo,,(eru 1oduro1a4 uep elrla tune I rJBp edueq ue4nq'le4urudseu

ue8uolo8 re8uqraq rrBp selr rDIB uelde4Sun8uau npad nlr {nlun'le4eredseru ue8uequra>pad rqnru8uaduraur

Sued ue1en4a4 re8eqraq ue4re.rn8uaru ndrueur snreq leuorseu qeretag'.,ruBIBp uep qereles,, ue>1de48un8uaur

8ue.,( _{qerelas uu>ledmau €rseuopul leuorseN qerefag} B.{\q€q ue>leqnura8uau o fp.rrpop€) ouoUBS 'BISJuopuI _{lBuorseu qe.refas ruelup uoqBuoLI} slulJ

u€leql1rala{ uep uerad re8eqraq ueldelSuriSuaru ue8tiap ualsnJnlrp npad rur Ipadas ueJr{tuad 'iJrpuas iii'ir ueleruelasa{ uu4Surluauraru e.iueq uep'ue qu ie Luad E seur eped epuelag {Bqruaru qrqal qnpn}rp 'e,tuarusrleuorseu BSeJ 'leuorseu qe"relas urBIBp _{uerad r4r1ruau 4epq dearp}

€rsauopul a>1 3ue1up epuelag unloqes qnefepe qepns Suud eoq8uolJ slutg 'eoq8uor; depeqral nreg epro

quluuaruad gpeurrurDlsrp uen4epad qalo Suoroprp e8n[rur pq'se4aquau qrseu Sued upuelag leruolo{ uqeftqa4 ]€ql{B urBIaS 'lersose uup >11r1ode Suud Suero e.uquq uedeSSue uduepe qBIupB eduuqepseru;ad

ru{e nles qups 'eoq8uor;1n1ereds€u }rDIJaJ

eoqFuoll

qere[oS

'runqrrd LUne>I q€IEpE qepuaJ Suged BlErlS 'Brpq uup 'qery'.resaqral ue8uolo8 re8eqas

'eoq8uor; nlred'8ursu JnrurJ Suero ue8uolo8 qeppu eduln4rrag 'edo.rg uep EpuBIeg Suero qeppe r33urga1

BlErlS 'B{alau ue8uquade{ rurap e1er1s u8q rpefuaur le4erefseru uu>plulo{-{€}o8uau epueleg EIpulH leruolo{

qeluuaurad B{r}a{ rueleuaru 1uI IEq ]leryal ueleosrad '(tgt :rroz) es8ueq uarualarelue uBeJ€pnBSJad uep'ueerelasa4'ueseqaqa4 drsurrd ueqnuaruad UEIBp ue8uequrasa4 epe e4rt ueqepaq

ludep'ersauopul rpadas rnqruIrlFur uues8ueqa4 rrep uenl€sJad ere8au Jpul

rpn,1 ue>Iule>Irp eueruru8eqag '{luuo>I ncruad rpefuaur nrlsnf ue4nq'{er{ld €nruas ue48unlun8uau Sued e.{epnq

S O S I A L Tahun 2oL4 yangrlremulihkan kembali sebutan Republik

Rakyat Tiongkok untuk menyebut negara Republik Rakyat Cina dan Tionghoa untuk menyebut orang atau komunitas Cina di Indonesia.

Tionghoa Indonesia mulai berdatangan ke Nusantara pada abad IX, zaman Dinasti Tang, untuk berdagang dan mencari kehidupan baru (Benny G. Setiono, 2oo8: 21). Keberadaannya dalam sejarah Indonesia adalah unik, bukan hanya karena budaya yang berbeda tetapi juga karena keterlibatan mereka dalam perjuangan bangsa sejak zaman kolonialisme Belanda, Kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi.

Pada masa kolonialisme Belanda, masyarakat Tionghoa sengaja ditempatkan pada kelas sosial tertinggi untuk menciptakan garis pemisah antara Tionghoa dengan bumiputera agar lebih mudah memanfaatkannya sebagai alat kekuasan pemerintah kolonial (Onghokham, zoo8: z). Keuletan dan kemampuan dagangnyayang mumpuni juga dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi Kolonial Belanda.

Pada masa Pergerakan Nasional, melalui Partai Tionghoa Indonesia (PTI) dengan tokohnya Liem Koen Hian, masyarakat Tionghoa dengan tegas menyatakan ikut aktif memperjuangkan tercapainya Indonesia merdeka (Benny G. Setiono, 2oo8: So9). Beberapa orang Tionghoa, kemudian juga ikut duduk dalam kabinet maupun lembaga legislatif pada masa Kemerdekaan. Pada masa ini beberapa partai dan kelompok sosial Tionghoa berdiri.

Tahun 195o-an, status kewarganegaraan Tionghoa di Indonesia mulai diatur bersama pemerintah Tiongkok. Masalah kewarganegaraan pada waktu itu mendapat sorotan karena adanya status dwi kewarganegaraan warga Tionghoa di Indonesia. Kemudian, mereka wajib memilih untuk kembali ke Tiongkok atau ikut Republik Indonesia. Kebanyakan dari mereka menjatuhkan pilihan pada opsi kedua karena sudah sejak berabad-abad lalu masyarakat Tionghoa bertempat tinggal, hidup, dan beranak cucu di Indonesia.

Pada masa Orde Baru, kebijakan asimilasi diterapkan sebagai upaya meniadakan segala aspek kehioupan masyarakat Tionghoa agar menjadi sama dengan yang lain. Untuk itu, diadakan upaya pembauran dan dorongan kawin campur. Tentu saja tidak semudah itu, nilai-nilai budaya dan pola sosial masyarakat Tionghoa sudah terinternalisasi dalam diri masing-masing. Kebebasan budaya dikekang apalagi kesempatan dalam bidang sosial politik jelas hanya mimpi belaka.

Masyarakat Tionghoa diperlakukan sebagai warga negara kelas dua dengan berbagai kebijakan diskriminasi yang dilakukan pemerintah Orde Baru. Tionghoa hanya diberi peran dalam bidang ekonomi sehingga seringkali dianggap sebagai binatang ekonomi (economic animql).

Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru telah menempatkan masyarakat Tionghoa pada posisi yang dilematis. Karena beberapa di antaranya berkemampuan ekonomi di atas rata-rata dan cenderung eksklusif, sehingga terjadilah jurang kesenjangan sosial. Ketika Tragedi 1998 meletus akibat krisis moneter yang berkepanjangan, masyarakat Tionghoa pun menjadi sasaran amuk massa.

Meskipun harus diawali dengan menelan pil pahit, pada masa Reformasi masyarakat Tionghoa mulai merasakan kebebasan dalam bidang budaya, sosial, bahkan politik. Hal ini diharapkan akan meruntuhkan tembok diskriminasi yang selama ini dibangun oleh rezim Orde Baru. Saat ini banyak tokoh Tionghoa yang berhasil dalam aktivitas politik. Tumbuhnya kesadaran diri warga Tionghoa sebagai bagian dari warga negara Indonesia 4an keterbukaan masyarakat dalam menerima figur Tionghoa dalam dinamika politik menjadi wujud pembangunan demokrasi.

Pendidikan Kebhinnekaan Memasukkan kajian Tionghoa dalam Sejarah

Indonesia merupakan suatu kebutuhan penting. Selama ini kebhinnekaan bangsa belum sepenuhnya dipahami oleh segenap warga masyarakat sebagai sesuatu yanggiuen, takdir Tuhan, dan bukan faktor bentukan manusia. Memang masyarakat telah memahami sepenuhnya bahwa setiap manusia terlahir berbeda, baik secara fisik maupun non-fisik, tetapi nalar kolektif masyarakat belum bisa menerima realitas bahwa setiap individu atau kelompok tertentu memiliki sistem keyakinan, budaya, adat, agama, dan tata cara ritual yang berbeda. Nalar kolektif

masyarakat tentang multikulturalisme kebangsaan dapat ditumbuhkan melalui pendidikan. Untuk itulah kajian mengenai Tionghoa dapat menjadi wahana pendidikan kebhinnekaan yang baik.

Pendidikan memainkan peran fundamental bagi pembangunan pribadi maupun masyarakat. pendidikan merupakan tiang pancang kebudayaan dan fondasi utama untuk membangun peradaban sebuah bangsa. Jelaslah bahwa pendidikan bukan melulu urusan otak namun juga penanaman nilai-nilai untuk pembentukan

slsvg

sr0z're-a)

unqer'zr-tl,rorloN

09

'8ooz'ElpawsuurJ :BilB)Ief '4!l!Iod uDJDSnd uDlDp DoUiuolJ,.9 duuag ,ouorlag

'BOOZ'nqruBg seilunluo) :"ue>luf 'msauopul lp DutC slwg ltototag :out3 uD1DJaD uop 'out1 ausqoVdoy ,outg 4uy,useq4oq8ug

'6ooz'eruu4py B{UaU ;4 :Sunpueg 'slJr44rLl4s o 6 6utg sntfuTay-st6o147 _{uDe : Dsauopul}

1p{o"t6ottots1H_':Y-iTl"_c_1:lsn8y'euef

p141

IIOZ'Eruelll e)lB$nd BrperuBJc

Jd :uUe>IEf

' DlrsDxuDd

sDlqDry4v uop,so1rlnuotsoy

'so71s.uo1s1g

: ou"mduo1 o.n6a71.1pn

1 Jpe-I

'rooz.JSISNI

:epapdSoa' 6un fioqtal sDltunruo4-sDquruuox

: sautunlaruoJ

paut0otul.lcrpauag,uosrapuy

'rroz '4equrg Uqreued :egapdSoa

' tlo to fa

g uo.to

[o7

a qua 4 6 DuID

ag p p o l,u, uevty

NV)nfnu

'epap.{8o1'erureqq BlBupS

seilsJalru1f

qerelag ualrprpuad uasop

'pd'I41 suuinurulny BJpuaH

o .Erseuopul

-8uaur qnSSuns-qn88uns

4n1un uederell

.ure1

uedereq

uaprpeq8uaru uee>lauurqqa>I

ue>ltprpuad

e4eur,Bursuru

-Surseru

Is€sB

{eq p8eqas qnqrunl e,,(uue>gerquaru

uep 'rsuuralol'peuuoq8uaur

Surps daps uerelel eped

Suepuedrp

ueepaqrad

rur Bru€Ies

e4r1 .edurde88ueuaur

4eqrd rcSuqraq

eueunu8eq

p33uq ,ueurx8unura>I

ualJe^ euaur qBlat ep" Suud ueposrad uep ueJnle

re8eqrag 'rur ua8au rp Ieuorseu uu4rprpuad ualrfrpufuaru

uue>lauurqqa4

ue4prpuad epqede sr8ol lu8ueg

'qnqun] ue4ur4Sunurrp

Sueuraru

uealauurqqe{

ue4rprpuad

qruaq-qruaq

,rur uerle4 qedelptr Erurla{ rJeC

'(L6 :ttoz'ueury) (filatcos /lmr) tueperu le4eredsuru

ualnluaquad uep rser4oruap

uerueqeurad

ue4raqruaur

Sued ersauopul puorsnlqsuo>1

qerefes (9) uup

'1e4e.redseur

qerefas

n€l€ prsos qeretas (t) ,F{ol qerefas

uep leuorsuu qerelas (t) ,ueedepnqe{

u€p ueqeperad

qurelas (z) 'ueerue8ea{

}EJeslg

u€p uerDlrruad

qereles

(r) :n1rcd

u"lfe{ qe.,(e1pr

eduraqaq

ru€lep edur8eqruaru

o,ftng o>1oiq

'nll IEq lrDIraJ .re[e ueqeq ue8uuqrua8uad

mplaru uDInlEIrp ludep uee4auurqqa>1

ue4rprpuad

euuqe r re8eqas

eoq8uora

quruleg uerele1aqrua4

'ue>lrs€]uoualdurup

ledep Sued uee,{ecsrual

nlens ue4eduaru uee>lauuqqa>i

ue4rprpuad

eduluV.rrr48undrp

{Bpl} 1ul es8ueq

sulqernld ueeludua4

emqeq

>1edrue1

rur urod TuBIBO

'..us8ueq

ue4nuraferua4

uep ,prn11ruI

IBIIu

,ueeruu8ea>1

relru'ersnu€ru

rsese

4uq r33uq 8unlunfuaur ue8uep

JrleururJ{srp {Bprl Buss uBlrp€e>IJaq

u€p sr}BDloruap

BJeces

ue>IBuBS{BIrp

sru€q uailprpuag,, rdunqraq Bued

t 1ef,e

'b psed se8agadgp

,1nqasre1

nn tuelep qlseur

eluur 'es8uuq {elea ualnluequad el8uer rrrBIBO

'qe.,nef

SunSSuEUeq

EUas

squDloruap

Sued

ere8eu e8rervr

rpufuaru

uep ,rlrpu€ru .;peaq ,de4ec

'nrulrreq'1eqas,erlnur

{Elrpl€Jaq,esg

uqe141

Buerl

uBrInJ epedaq B DIBileq uup u€rurJeq

Bued

ersnueur

rpuluau ru8e 4prp elrasad rsualod edu8ueqrua4.raq

4nlun uenfnpaq,es8ueq

uednprqa4

ue{sepJeJuaru

a18uer ruelep leqepeuJeq Sue,{ esBueq

ueqeperad

epas

{BlE/r {quequeul uup uendrueura>1

ue48uequra8uaur

ts8ury.raq

lBuorseu

ualprpuad B.r qeq ue4lnqa,(ueru

Bued

t psed (seqrpsrg) IEuors"N ualrprpued rrre6rs Buelual

tooz unqe; oz roruoN nn qalo rnlerp qe1a1

1rsr1ds1a

eJeces

uelprpuad urepp relu-rBlru uerupu€uad

.rur ere8au "ot1lo{

6utpuno{ atll'ouley Sung qalo unpoqura8-requra8rp

eueurre8eqas

1utppnq JalcDJDUc

puD uotlDN.JaqEJnI