ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA TIGARKSA
NOMOR: 2598/PDT.G/2018/PA.TGRS TENTANG SYARAT FAKULTATIF DAN KUMULATIF IZIN POLIGAMI MENURUT PERSPEKTIF
TEORI MASLAHAH MURSALAH
(STUDI KASUS PENGADILAN AGAMA TIGARAKSA)
Desi Permata Sari
Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten [email protected]
Hapizul Ahdi
Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten [email protected]
Abstract
The purpose of this study was to determine the facultative and cumulative requirements for polygamy permits from the perspective of the theory of Maslahah Mursalah.
To findiout the legal considerations in terms of the facultative and cumulative requirements for polygamy permits in the decision 2598/Pdt.G/2018/PA.Tgrs. The research method used is normative legal research, namely research that focuses on secondary and primary materials (laws thathave binding power) and then analyzed qualitatively. The subject matter of the study comes from the quality of the rule of law it self, legal principles, legal doctrines, and supporting information regarding the law related to the problem being studied. Based onithe results ofithe research, the authors get several conclusions, namely: the perspective of maslahah mursalah, the harm must be eliminated. In this case the husband is polygamous without first asking permission from his previous wife, then his polygamy will obviously reap big problems and also harm in the household, such as: Causing jealousy between wives, Causing worries and anxiety among wives if the husband cannot act fairly, Children- children born to different mothers are very prone to hostility or unfair competition, and chaos in the economic field. In theidecision 2598/Pdt.G/PA.Tgrs, the wife's or wives' consentican be given in writingeor orally, even though the written consent must be reaffirmed verbally at the trial.
Key Words: Marriage Law, Polygamy Abstrak
Tujuan dariapenelitian ini adalah untukimengetahui persyaratan fakultatif dan kumulatif dari izin poligami yang ditinjau dari perspektif teori kaidah Maslahah Mursalah dan untuk mengetahui pertimbangan hukum dari hakim mengenai persyaratan fakultatif dan kumulatif untuk izin poligami dalam Putusan 2598/Pdt.G/2018/PA.Tgrs. Adapun metode penelitian yang digunakan ialah normative law research yakni penelitian yang menitikberatkan pada data-data sekunder dan primer (hukum yang memiliki kekuatan
mengikat) kemudian ditelaah secara kualitatif. Pokok kajiannya berasal dari kualitas kaidah hukum itu sendiri, prinsip-prinsipihukum, doktrin-doktrinihukum, dan informasi pendukung mengenai hukum yang berkaitan dengan masalahiyang sedang diteliti. Berdasarkan hasil penelitian, dapat penulis simpulkan bahwa menurut perspektif Maslahah Mursalah, kemudharatan itu harus di hilangkan. Dalam hal ini, suami berpoligami tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada istri sebelumnya maka poligaminya jelas akan menuai masalah besar dan juga kemudharatan dalam rumah tangga, misalnya muncul rasa cemburu di antara isteri, menimbulkan rasa khawatir dan cemas di antara istri apabila suami tidakadapat berlakuiadil kepadanya, bagi anak-anak yangidilahirkan dari ibu yang berbeda sangat rentan terhadap permusuhan dan persaingan yang tidak sehat, bahkan bisa mengakibatkan kekacauan ekonomi dalam hubungan keluarga. DalamiPutusan Nomor 2598/Pdt.G/PA.Tgrs ini persetujuaneistri atau beberapa istriadapat diberikan secara tulis ataualisan. Apabila persetujuan dari istri dinyatakanisecara tertulis, maka dalam persidangan pernyataan tersebut harus ditegaskan kembali secara lisan.
Kata Kunci: Hukum Perkawinan, Poligami dan Perceraian
A. PENDAHULUAN
Secara umum tujuan perkawinan ialah untuk memenuhi kehidupan rumah tanggaiyang sakinah, mawaddah, dan warahmah. Berdasarkan Undang-undangiNomor 1 Tahun 1974, perkawinan mengikuti asas monogamiasebagaimana disebutkan dalamiPasal 3 Ayat (1) yaitu: “Pada prinsipnya seorang.pria hanya dapat beristri satu dan seorang wanitaihanya dapat bersuami satu”.1 Namun, seorang suami dapatimemiliki lebih dari satu istri jika pasangannya menginginkannya. Akan tetapi, hal ini dapat terjadi jika suami dapat memenuhi persyaratan tertentu dan pengadilan sudah memberi hasil keputusan bahwa hal ini disebut dengan perkawinan poligami.2
Hukum Islam mengatur adanya poligami sebagai sesuatu yang hukumnya boleh (mubah). Islam membolehkanaseorang pria beristri sampai empat orang (biasa dikenal dengan poligami), selama pria itu dapat memperlakukan istri-istrinya dengan adil.3 Perlakuan adil ini meliputi pemenuhan kebutuhan lahir dan batin untuk istri-istrinya, seperti kebutuhan biologis, nafkah, pakaian, tempat tinggal, dan sejenisnya.
Keadilan bagi istri-istrinya harus diberikan dengan penuh tanggung jawab. Allah SWT. Berfirman dalam Q.S. An-Nisa (4) ayat 3 yang berbunyi:
1 Pasal 3iayat (1) Undang-undang Nomori1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
2 Masfuk Zuhdi,iMasail Fiqhiyan, (Jakarta: Haji Mas Agung. 1993), h. 10.
3 Abdur Rahman,iPerkawinan dalam Syariat Islam,i(Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992), h.44.
َعٰبُرَو َثٰلُ ثَو ٰنْٰثَم ِء ۤا َسِ نلا َنِ م ْمُكَل َباَط اَم اْوُحِكْناَف ىٰمٰتَ يْلا ِفِ اْوُطِسْقُ ت الََّا ْمُتْفِخ ْن ِاَو ْنِاَف ۚ
ْوُلْوُعَ ت الََّا ٰنْٰدَا َكِلٰذ ْمُكُناَْيَْا ْتَكَلَم اَم ْوَا ًةَدِحاَوَ ف اْوُلِدْعَ ت الََّا ْمُتْفِخ ا
ۚ
“Dan jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) wanita yang yatim (jika kamu menikahinya), maka nikahilah wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya wanita yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”
Ayat yang diterangkan di atas menyampaikan beberapa batasan, yaitu batas maksimal seorang pria beristri ialah empat orang, dan perbuatan ini hanya boleh dilakukan apabila pria yang ingin berisri lebih dari satu wanita tersebut dapat bersikap adil kepada istri-istrinya.
Oleh karena itu, bersikap adil dalam hal ini menjadi persyaratan yang harus dipenuhi, apabila tidak terpenuhi, maka perkawinan poligami tidak akan diberi izin.
Seorang suami yang hendak menikah lebih dari satu wanita, maka ia harus mengajukanipermohonan izin poligami ke Pengadilan Agama setempat. Selanjutnya, pihak Pengadilan akan memutuskan apakah permohonan untuk berpoligami dikabulkankan atau ditolak. Dasarihukum yang dipakai oleh para Hakim ketika memutuskan permohonan izin poligami dilandasi oleh peraturan perundang-undangan Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam. Dalam hal ini, Hakim Pengadilan memiliki hak sepenuhnya dalam menyelesaikan perkara poligami, dan memiliki pandangan sendiri dalam menafsirkan permohonan tersebut sebagaimana fungsi pengadilan yaitu mengadili perkara (AbsoluteiCoupetensial).4
Bagi suami yang mengajukan permohonan izin poligami harus melengkapi beberapaipersyaratan dan memberikan bukti yang nyata agar pihak pengadilan segera memproses permohonan tersebut. Pengadilan Agama dapat menerima izin poligami sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 4 ayat (1) yaitu: “Jika seorang suami hendak berpoligami, sebagaimana
4 Direktorat PembinaanaBadan Peradilan Agama Departemen Agama,iPedoman Beracara PadaiPengadilan Agama. (Jakarta: t.n.p. 1980-1981), h.1.
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, ia harus mengajukan permohonan secara sah ke Pengadilan di dekat tempat tinggalnya”.
Bersumber pada Pasal 4 ayat (1) di atas, Pengadilan Agamaihanya dapat memberikan izinikepada seorang suami yang hendak menikahi wanita lebih dari satuiapabila seorang istri tidak mampu memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai seorang istri,istri itu telah cacat badan atau memiliki suatu penyakit yangitidak dapat disembuhkan, atau seorang istri itu tidak dapatimelahirkan sosok anak.
Di satu sisi, dijelaskan pula dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan bahwasannya pada Pasal 4 ayat (1) menjelaskan beberapa persyaratan yang harus dilengkapi untuk mengajukanapermohonan izin poligami keaPengadilan Agama setempat, yaitu di antaranya:
a. Memiliki persetujuanidari istrinya;
b. Dapat dipastikan bahwasannya seorang suami tersebut dapat mengurus hal-hal yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup istri-istri dan keturunannya;
c. Ada suatu jaminan yang membuktikan bahwa suami mampu memperlakukan istri dan keturunannya dengan adil;
d. Persetujuanisebagaimana yang dipaparkan pada ayat (1) huruf a, bahwasannya tidak diharuskan bagi suami jika istrinyaitidak dapat dimintai persetujuan, tidak mampu mencapai kesepakatan, sang istri tidak memberi kabar selama 2 tahun lamanya atau karena alasan tertentu lainnya yang membuat Hakim Pengadilan dapat memutuskan persetujuan permohonan tersebut.
Peraturan-peraturan yang diterangkan dalam Pasal 4 dan 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinanadisebut juga sebagai syarat fakultatif danakumulatif. Syarat fakultatif ialah persyaratan yang harus dipenuhi berupa alasan yang memicu seorang suami mengajukan permohonanipoligami.5 Keadaan yang meringankan syarat fakultatif bisa berupa
5 Mardani, HukumiKeluarga Islam di Indonesia,i(Jakarta: Prenamedia Group, 2016), h. 97.
isteri tidak bisa menjalankanakewajibannya, istri memiliki cacatabadan atau suatu penyakit yang tidak dapat disebuhkan, atau istriatidak dapat melahirkan anak.6
Sementara itu, syaratakumulatif ialah persyaratan yang harus terpenuhi dalam proses pengajuan permohonan poligami meliputi persetujuan dari istri, jaminan suami untuk memenuhi kebutuhan dan jaminan untuk berlaku adil.7 Sebagaimana yang diterangkan pada Bab IX KompilasiaHukum Islam yang merupakan suatu pengembangan dari pengetahuan hukum perkawinan yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selain diatur dalamiUndang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, permohonan izin poligami juga diatur pada Bab VIII Pasal 40-44 PeraturanaPemerintah Nomor 9 Tahun 1975 TentangaiPelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang PelaksanaaniUndang- undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwasannya Pengadilan Agama harus memeriksa permohonan izin poligami mengenai ada atauatidak adanyaialasan yang dapat diterima jika seorang suami ingin kawin lagi sepeti dikarenakan isteri tidakimampu memenuhi kewajiban danatanggung jawabnya sebagai seorang istri, memiliki cacat fisik atau suatu penyakitlyang tidakidapat disembuhkan,iatau istri tidak mampu melahirkan anak. Ada atauatidak adanya persetujuan secara lisan atautulis dari isteri. Namun, ketika di persidangan persetujuan poligami dari istri tetap harus diutarakan secara lisan di hadapan Hakim Pengadilan. Ada ataultidak adanya bukti yang menujukkan seorang suami mampu memenuhi kebutuhan hidup isteri-isteriadan keturunannya, seperti bukti perolehan gaji suami yang ditandatangani oleh staff administrasi tempat kerjanya, surat keterangan pajak penghasilan,iatau bukti lainnya sesuai dengan ketentuan. Dan yang terakhir, ada atauatidak adanya suatu jaminan yang menyatakan kalau suami mampu memperlakukan isteri-isterildan keturunannya dengan adil, di mana bukti pernyataan ini dibuat dengan bentuk yang sudah ditentukan oleh Pengadilan Agama.
6 Khaeron Sirrin, Perkawinan Mazhab Indonesia:iPergulatan Antar Negara, Agama, dan Perempuan, (Yogyakarta: Deepublish, 2018), h. 37.
7 Sirrin, Perkawinan Mazhab Indonesia, h. 37.
Syarat fakultatif dan kumulatif ialah syarat yang harusidipenuhi oleh suamiayang akan mengawini istri lebih satu atau biasa disebut dengan poligami. Jika syarat fakultatif dan kumulatif ini dapat dipenuhi, maka hakim Pengadilan akan memberikan izin kepadaesuami untuk berpoligami. Akan tetapi, jika syarat fakultatif dan kumulatif tidak dapat dipenuhi, maka hakim Pengadilan akan menolak permohonan izin poligami tersebut. Namun, pada kenyataannya penulis menemukan adanya perbandingan putusan hakim dalam mengeluarkan izin berpoligami, seperti yang ada di Putusan PengadilaneAgama Tigaraksa Nomor:
2598/Pdt.G/2018/PA.Tgrs.
Pada putusan tingkat pertama, hakim memberikan izin poligami kepada suami padahal pada saat pengajuan permohonan poligami suami ternyata tidak memenuhi syarat fakultatif dan kumulatif. Hal ini menunjukkan bahwa isteri dia sebenarnya tidak memilikilcacat atau suatu penyakitiyang tidakidapat disembuhkan dan isterinya mampu melahirkan anak yang dapat dibuktikan bahwa selama menjalin pernikahan suami dan isteri telah dikaruniai 4 orang anak dan pernyataan isteri dengan jelas dan tegas di depan persidangan mengatakan bahwa isteri tidak memberikan izin kepada suaminya untuk berpoligami.
Pertimbang hakim dalam memberikan izin poligami pada suami ialah dengan mendengarkan keterangan para saksi yang menyatakan bahwa isteri rela dipoligami asalkan secara sirri/poligami secara agama. Dengan pernyataan para saksi, maka Majelis Hakim menafsirkan bahwa isteri bersedia di poligami meskipun izinnya tidak tersurat secara lisan dalam persidangan.Kemudian isteri merasa bahwa hakim Pengadilan Agama tidak adil dalam memberikan putusan sehingga isteri mengajukan ketingkat banding. Setelah itu hakim Pengadilan Tingkat Agama membatalkan putusan tingkat pertama dengan pertimbangan bahwa syarat fakultatif dan kumulatif dalam izin poligami tidak ada satupun yang terpenuhi.
B. Pembahasan
1. Analisis Perspektif Maslahah Mursalah Terhadap Syarat Fakultatif dan Kumulatif dalam Izin Poligami
Perkawinan di Indonesia pada prinsipnya mengandung asas monogami, yang mana asas ini terdapat pada Pasal 3 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, bahwa “seorang pria hanya boleh memiliki seorang suami”. Akan tetapi asas tersebut tidaklah mutlak sehingga Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 3 Ayat (2) memberikan pengecualian atas dibolehkannya seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila hal tersebut dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Terkait pengecualian tersebut, Undang-undang Perkawinan memberikan pembatasan yang cukup berat, yaitu berupa suatu pemenuhan syarat dengan suatu alasan tertentu dan izin pengadilan seperti yang dicantumkan dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Khoirudin Nasution membagi syarat poligami menjadi dua jenis yaitu syarat fakultatif dan syarat kumulatif. Syarat fakultatif yang dimaksud terdapat didalam Pasal 4 Ayat (2) adalah istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mempunyai cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Sedangkan syarat kumulatif terdapat pada Pasal 5 Ayat (1) yaitu adanya persetujuan tertulis dari istri, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak- anak mereka, dan ada jaminan tertulis bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.8 Adapun perbedaan antara Pasal 4 dan Pasal 5 mengenai aturan tentang izin poligami yang terdapat pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ialah bahwa pada Pasal 4 berisi persyaratan yang mana salah satu syarat yang diajukan pada Pasal 4 harus ada atau terpenuhi agar suami dapat diberikan izin poligami oleh pengadilan.
Sedangkan Pasal 5 ialah persyaratan yang mana seluruh syarat yang ada pada Pasal 5 harus dapat dipenuhi oleh seorang suami dalam mengajukan izin poligami ke pengadilan.
Aturan hukum lainnya atas izin poligami ditentukan atau terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada Bab IX Pasal 55, 56, 57, 58, dan Pasal 59. Dari beberapa ketentuan, syarat poligami dijelaskan pada Pasal 55 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi9 : 1) Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri,, 2) Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya, 3) Apabila syarat utama yang disebut pada Ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, maka suami dilarang beristri lebih dari seorang.
8 Reza Fitra Ardhian, Satrio Anugrah, Setyawan Bima, “Poligami dalam hukum islam dan hukum positif Indonesia serta urgensi pemberian izin poligami di Pengadilan Agama”, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, (Privat Law Vol. III No 2 Juli-Desember 2015), h.103
9 Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: PT. Akademika Pressindo, 2010), h.126
Berbagai ketentuan hukum yang dimual dalam pasal-pasal perundang-undangan hak Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam maka dengan jelas ketentuan tersebut mengatur secara ketat tentang aturan seorang suami jika hendak menikah kembali atau berpoligami, yakni dengan adanya persyaratan-persyaratan tersebut yang harus dipenuhi oleh seorang suami yang hendak berpoligami dan harus mengajukan permohonan ke pihak pengadilan dan disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Salah satu tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal sehingga terbentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah atau dapat disebut dengan keluarga yang tentram dan penuh dengan cinta juga kasih sayang. Maka dari itu di dalam rumah tangga keberadaan suami istri perlu saling membantu dan saling melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dalam mencapai suatu kesejahteraan baik secara spiritual maupun secara material. Sehingga jika rumah tangga diantara suami dan istri ada sebuah perkawinan dengan sistem poligami maka harus mempertimbangkan berbagai ketentuan dan peraturan hukum baik yang terdapat dalam hukum syara’ maupun hukum positif.
Dalam pandangan Islam bahwa poligami itu diperbolehkan namun tetap menetapkan berbagai syarat poligami yang ketat, seperti suami yang mampu dari segi seksual, mampu dari segi materil dan mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya kelak. Sehingga dalam hal ini, terlihat bahwa Islam tidak dengan mudah mengizinkan umatnya berpoligami dikarenakan Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dalam keluarga dan juga kemaslahatan keluarga.
Para ulama ushul fiqh bersepakat bahwa penetapan hukum syara’ bertujuan untuk mewujudkan dan memelihara kemaslahatan untuk manusia baik di dunia dan juga di akhirat.
Salah satu metode penetapan hukum yang diambil berdasarkan kemaslahatan manusia adalah maslahah mursalah.10 Selain itu, para ulama pun secara umum membagi ketentuan-ketentuan syara’ yang berkaitan dengan masalah ibadah yang sudah menjadi hak Allah Swt. dan ketentuan syara’ yang berkaitan dengan muamalah yang mana ketentuan ini untuk menjaga keseimbangan hubungan di antara semua makhluk Allah Swt.
10 Nur Aisah, Istilah dan Aplikasinya Dalam Penetapan Hukum Islam, Jurnal HUkum Dikktum, Vol.
14, No. 2 (Desember 2016), h. 150
Menurut al-Ghazali, maslahah adalah sesuatu yang mendatangkan manfaat (keuntungan) dan menghindarkan mudharat (bahaya/kerusakan). Yang dimaksud dengan manfaat adalah memelihara tujuan syara’ ialah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta kekayaan. Sehingga semua hal yang memenuhi kelima unsur tersebut disebut sebagai maslahah, dan sebaliknya hal-hal yang menyalahi unsur tersebut disebut mafsadat.11 Maka jika suatu penetapan hukum mengandung tujuan memelihara tujuan syara’ maka hukum tersebut termasuk dalam maslahah dan sebaliknya apabila penetapan hukum tidak bertujuan untuk memelihara syara’ maka hukum yang ditetapkan termasuk dalam mafsadah. Jika penulis kaitkan dengan salah satun syarat kumulatif dalam izin poligami maka penulis berpendapat bahwa meminta izin terlebih dahulu kepada istri sebelumnya untuk menikahi perempuan lain adalah untuk memelihara agama, akal, keturunan dan juga harta. Karena jika tidak ada izin dari istri sebelumnya untuk suami berpoligami, kemungkinan besar akan terjadi kerusakan pada agama, keturunan, pemeliharaan rumah tangga serta menimbulkan kemudharatan. Kemudian persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang suami jika hendak berpoligami ialah mempunyai rasa keadilan yang mana adil dalam hal memenuhi hak akan istri-istrinya, memenuhi hak akan anak-anaknya baik dalam hal nafkah, pangan, maupun pendidikan anak, karena keadilanm dalam Islam bertujuan mewujudkan kemaslahatan secara universal.
Dengan demikian bahwa pada dasarnya poligami hanya diperbolehkan dalam keadaan dharurat atau sebagai rukhsah, misalnya salah satu syarat fakultatif dalam izin poligami yaitu istri tidak dapat memberikan keturunan sementara anak itu merupakan salah satu dari tujuan syara’ yaitu memelihara keturunan. Maka dalam keadaan tersebut seorang suami berhak melakukan perkawinan poligami, namun apabila salah satu syarat fakultatif itu tidak dipenuhi maka seorang suami tidak dapat melakukan perkawinan poligami, karena pada fitrahnya manusia mempunyai watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh sehingga ditakutkan akan mendatangkan sebuah kesakitan hati pada istri dan dapat mengganggu keharmonisan rumah tangga jika suami berpoligami dengan tidak memenuhi syarat tersebut.
Al-Ghazali menyatakan bahwa setiap maslahah yang kembali untuk memelihara tujuan syara’ yang diketahui Al-Qur’an, Sunnah dan juga ijma, serta maslahah tersebut tidak
11 Asnawi, Konseptualisasi Teori Maslahah, Salam: Jurnal filsafat danBudaya Hukum, Vol. 12, No.2, (Desember 2014), h. 314
keluar dari dalil-dalil tersebut maka maslahah itu tidak disebut dengan qiyas, tetapi dinamakan maslahah mursalah.12
Persetujuan istri terhadap suami yang hendak berpoligami secara metode maslahah mursalah dapat diterima karena ada banyaknya ‘illat yang terdapat dalam poligami terutama pada sang istri, alasan tersebut adalah bahwa poligami dapat mewujudkan kemudharatan bagi suami dan istri juga keluarga. Suami yang berpoligami tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada istri sebelumnya maka poligaminya jelas akan menuai masalah besar dan juga kemudharatan dalam rumah tangga dan jelas membuat hati istri tersakiti. Sehingga efek dari kemudharatan tersebut memicu istri tidak nyaman dan mencari cara agar perkawinan poligami suaminya hancur ataupun hingga putus. Dengan demikian syarat adanya persetujuan dari istri sebelumnya sangat diperlukan untuk menjaga keharmonisan rumah tangga. Menjaga keharmonisan adalah bagian dari maqhasid syariah atau tujuan syara’ yaitu dalam memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan juga memelihara harta. Oleh karena itu, meminta persetujuan istri bertujuan untuk memelihara kemaslahatan dan menghilangkan kemudharatan. Hal tersebut sejalan dengan sebuah kaidah yang menyatakan bahwa :
ُلاَزُ يُراَراضلَا
“Kemudharatan harus dihilangkan”
Dalam kaitannya dengan syarat fakultatif dan kumulatif dalam izin poligami, metode maslahah mursalah tidak terlepas dari perwujudan sebagai upaya yang dilakukan untuk menolak berbagai kemudharatan yang ditimbulkan akibat poligami serta untuk menjamin segala kemaslahatan didalam rumah tangga, mengingat keluarga yang berpoligami cenderung memiliki banyak kemudharatannya ketimbang kemaslahatannya. Sekalipun poligami itu sendiri terdapat kemaslahatan yang sifatnya individual dan cenderung mengarah kepada kemaslahatan suami secara personal namun kerusakannya dinilai lebih besar dan berdampak kepada istri dan juga anak. Karena ketika kerusakan itu berhasil ditolak atau dihindari maka
12 Zainal Azwar, Pemikiran Ushul Fikih Al-Ghazali Tentang Al-Maslahah Al-Mursalah (Studi Eksplorasi Terhadap Kitab al-Mustashfa’min, (Ilmi al-Ushul Karya Al-Ghazali), Jurnal Fitrah, vol. 01, no, 01 (Januari-Juni 2015), h. 65
dengan sendirinya kemaslahatan ini terwujud. Hal tersebut sejalan dengan kaidah sebagai berikut :
َحلَصَمَو ٌةَدَسْفَم َضَراَعَ ت اَذِإَف ِحِلِاَصَمْلا ِبْلَج ْنِم لىْوا ِدِساَفَمْلا ُءْرَد اًبِلاَغ ِةَدَسْفَمْلا ُعْفَد َمِدُق ٌت
“Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik maslahah dan apabila berlawanan antara yang mafsadah dan maslahah maka yang didahulukan adalah menolak mafsadahnya”.
Dengan demikian berdasarkan pendekatan maslahah mursalah bahwa kandungan hukum yang termuat dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 terkait syarat fakultatif dan kumulatif dalam izin poligami telah sesuai dengan prinsip-prinsip kemaslahatan karena dengan adanya persyaratan tersebut maka perkawinan poligami yang cenderung mendatangkan kemadharatan akan ditolak dan dihindari demi upaya terciptanya kemaslahatan.
Dampak negatif yang ditimbulkan dari berpoligami terutama bagi istri (pertama) dan anak-anaknya dapat disebutkan sebagai berikut diantaranya :
1. Dampak Psikologis
Istri lebih sering menyalahkan diri sendiri karena merasa tindakan suaminya berpoligami akibat ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya dan juga ketidakmampuan membahagiakan suaminya.
2. Dampak Ekonomi Rumah Tangga
Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Walaupun ada beberapa suami yang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, tetapi dalam praktiknya lebih sering ditemukan bahwa suami lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anak-anaknya yang terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.
3. Kekerasan Terhadap Perempuan
Kekerasan terhadap perempuan baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis. Hal ini umumnya terjadi pada rumah tangga poligami, walaupun begitu kekerasan juga terjadi pada rumah tangga yang monogami.
4. Dampak Hukum
Seringnya terjadi nikah dibawah tangan (perkawinan yang tidak di catatkan pada Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama), sehingga perkawinan dianggap tidak sah oleh Negara. Walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama, pihak perempuan akan di rugikan karena konsekuensinya perkawinan yang tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya.
5. Dampak Kesehatan
Kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami atau isteri rentan terhadap Penyakit Menular Seksual (PMS), bahkan rentan terjangkit virus HIV/AIDS.
Hal-hal negatif dari perkawinan poligami yang menyebabkan timbulnya kemudharatan dan hilangnya kemaslahatan (Maslahah Mursalah) bagi anggota keluarga yakni :
a) Menimbulkan kecemburuan antar istri.
b) Menimbulkan kekhawatiran dan kegelisahan di kalangan istri jika suami tak dapat berlaku adil.
c) Anak-anak yang lahir dari ibu yang berbeda sangat rawan terjadi permusuhan atau persaingan yang tidak sehat.
d) Kekacauan dalam bidang ekonomi.13
2. Pertimbangan Hukum Hakim Putusan Nomor: 2598/Pdt.G/2018/PA. Tgrs Tentang Syarat Fakultatif dan Kumulatif dalam Izin Poligami
Peran utama kewenangan dalam persidangan adalah hakim dan hakim merupakan sosok yang sangat berkuasa didalam sistem peradilan. Dalam mempertimbangkan fakta-fakta hukum dalam persidangan, sikap hakim sangat penting dalam menentukan nilai-nilai keadilan yang akan diwujudkan dalam putusan-putusannya, karena sikap hakim merupakan cerminan atas tanggung jawab yang telah diberikan oleh Undang-undang.
Perkara Nomor 2598/Pdt.G/2018/PA.Tgrs. merupakan perkara permohonan Izin Poligami yang diajukan oleh seorang suami kepada Pengadilan Agama Tigaraksa
13 Khoirul Abror, Poligami dan Relevansinya dengan Keharmonisan Rumah Tangga, Lampung: LP2M IAIN Raden Intan Lampung, 2016, h.47
sebagaimana terdaftar pada Kepaniteraan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor 2598/Pdt.G/2018/PA.Tgrs.
Dalam surat permohonanya, Pemohon memohon kepada Majelis Hakim untuk memberikan izin poligami dengan alasan bahwa pemohon ingin melaksanakan pernikahan kembali (poligami) sesuai dengan syari’at agama dan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Selain itu alasan lainnya adalah bahwa pemohon telah mempunyai calon istri yang sesuai dengan keinginannya tanpa adanya unsur paksaan dari pihak manapun.
Berdasarkan permohonan tersebut, Majleis Hakim yang menangani dan memeriksa perkara tersebut mengabulkan permohonan pemohon dengan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Majelis Hakim yang menangani dan memeriksa perkara Nomor 2598/Pdt.G/2018/PA.Tgrs. berpendapat bahwa posita permohonan Pemohon menunjukkan perkara ini adalah sengketa di bidang perkawinan, Pemohon dan Termohon berdomisili di wilayah hukum Pengadilan Agama Tigaraksa, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009, perkara ini termasuk dalam kompetensi absolut dan relative Pengadilan Agama Tigaraksa.14
Selian itu, Majelis Hakim juga berpendapat bahwa maksud dan kehendak Pemohon tersebut dipandang telah memenuhi ketentuan Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 dan untuk memenuhi ketentuan syariat agama Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Majelis Hakim yang menangani dan memeriksa perkara Nomor 2598/Pdt.G/2018/PA.Tgrs. berpendapat bahwa sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 41 ayat (2) dan (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 58 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, bahwa untuk memenuhi unsur formil sebagai pihak yang berhak dalam permohonan poligami ini, Pemohon harus memenuhi syarat-syarat adanya persetujuan dari istri untuk berpoligami, adanya kepastian bahwa Pemohon mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-
14 Salinan Putusan Nomor 2598/Pdt.G/PA. Tgrs, h. 13
anaknya, dan adanya jaminan bahwa Pemohon akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak- anaknya (syarat kumulatif).15
Pertimbangan Majelis Hakim bahwa Pasal 4 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 41 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 57 KHI, menentukan bahwa seorang suami yang akan berpoligami hanya dapat dikabulkan apabila istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan istri tidak dapat melahirkan keturunan (syarat fakultatif).
Dalam proses persidangan. Termohon dalam jawabannya secara tertulis di persidangan, menyatakan keberatan jika Pemohon menikah lagi dengan seorang wanita, namun dari keterangan saksi-saksi Termohon dihubungkan dengan kesimpulan Termohon yang menyatakan bahwa Termohon sesungguhnya tidak keberatan dipoligami asalkan secara sirri/poligami secara agama. Hal ini menujukkan sikap Termohon yang dapat ditafsirkan oleh Majelis Hakim sebagai izin yang tidak tersurat yang dinyatakan oleh Termohon secara lisan dalam persidangan. Dengan demikian pernyataan Termohon tersebut dipandang telah memenuhi ketentuan Pasal 41 huruf (b) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 58 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam.
Menurut pendapat Majelis Hakim, bahwa ketentuan pasal-pasal tersebut diatas menyatakan bahwa lembaga poligami ini adalah suatu jalan keluar yang bersifat dharuriy (emergency exit) dan berdasarkan fakta di persidangan maka permohonan Pemohon dapat dipertimbangkan. Dan berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagaimana tersebut diatas, permohonan Pemohon telah cukup alasan, oleh karena itu berdasarkan Pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, maka permohonan Pemohon patut dikabulkan dengan memberi izin kepada Pemohon untuk menikah lagi dengan seorang wanita.
Berdasarkan uraian di atas, tergambar bahwa Majelis Hakim yang menangani dan memeriksa perkara Nomor 2598/Pdt.G/2018/PA.Tgrs. tentang izin poligami telah memberikan izin kepada Pemohon untuk menikah lagi dengan wanita lain, karena dianggap telah memenuhi persyaratan sesuai ketentuan yang berlaku.
15 Salinan Putusan Nomor 2598/Pdt.G/PA. Tgrs, h. 15
Setelah penulis memeriksa, meneliti dan mencermati Putusan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor 2598/Pdt.G/2018/PA.Tgrs., penulis berpendapat bahwa dalam putusan tersebut terdapat kesalahan Majelis Hakim dalam menilai peristiwa hukum. Selain itu, pertimbangan-pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam putusannya hanya mempertimbangkan dari segi kepentingan Pemohon semata, dan Majelis Hakim tidak mempertimbangkan jawaban Termohon yang menyatakan bahwa Termohon keberatan untuk memberikan izin kepada Pemohon untuk berpoligami.
Selain itu, Majelis Hakim juga tidak mempertimbangkan persyaratan fakultatif dalam hal permohonan izin poligami, diantaranya adalah bahwa antara Pemohon dan Termohon sudah dikaruniai anak, dan Termohon masih dapat melaksanakan kewajibannya sebagai istri.
Berdasarkan hal tersebut, maka persyaratan fakultatif dan kumulatif yang diajukan oleh Pemohon tidak terpenuhi. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa telah salah dan keliru dalam memberikan pertimbangan hukum dan amar putusan tentang alasan poligami, dimana dalam pertimbangannya Majelis Hakim tidak menerapkan Pasal 4 ayat (2) dan pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, serta Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan dan Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam.
Selain itu, Majelis Hakim juga telah salah dan keliru dalam memberikan pertimbangan hukum dan amar putusan tentang izin tidak tersurat. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 41 huruf (b) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 “menyatakan bahwa ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan didepan sidang pengadilan”. Selain itu, Pasal 58 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam menyatakan
“bahwa persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama”.
Kedua pasal di atas menyatakan bahwa inti pemberian izin oleh Pengadilan Agama bagi seorang suami untuk berpoligami adalah persetujuan dari istri pertama yang harus diucapkan di depan sidang Pengadilan. Ini merupakan persyaratan mutlak. Bahkan jika sebelumnya seorang istri memberikan persetujuan kepada suaminya untuk beristri lagi, baik persetujuan lisan maupun tertulis, hakim tetap harus meminta istri pertama untuk
mengucapkan persetujuan tersebut di depan sidang Pengadilan. Hal ini dimaksudkan agar persetujuan istri pertama yang diberikan kepada suaminya adalah persetujuan yang tulus ikhlas dan keluar dari lubuk hatinya yang paling dalam, bukan karena adanya paksaan atau intimidasi dari pihak lain, karena persetujuan yang terpaksa akan merusak keharmonisan hubungan rumah tangga.
Kemudian jika penulis melihat pertimbangan hakim dari kaca mata maslahah mursalah maka pertimbangan hakim yang memberikan izin poligami terhadap Pemohon dengan mengesampingkan syarat fakultatif dan juga syarat kumulatif telah jauh dari subtansi dasar kemaslahatan. Karena faktanya kandungan yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) dan juga Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan telah selaras dengan prinsip-prinsi maslahah mursahah yang mana jika suatu penetapan hukum mengandung tujuan memelihara tujuan syara‟ maka hukum tersebut termasuk dalam maslahah dan sebaliknya apabila penetapan hukum tidak bertujuan untuk memelihara syara‟
maka hukum yang ditetapkan termasuk dalam masfsadah.
C. Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian mengenai syarat fakultatif dan kumulatif dalam permohonan izin poligami menurut perspektif Maslahah Mursalah dan menurut pertimbangan hukum hakim terhadap PutusanaNomor 2598/Pdt.G/PA.Tgrs, dan PutusanaaNomor 0014/Pdt.G/2019/PTA.Btn, maka penulis dapat simpulkan:
1. Pasal 5 ayat (1)aUndang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, menjelaskan dengan tegas bahwasannya perolehan izin dari seorang isteri merupakan syarat bagi suami yang ingin berpoligami. Akan tetapi, syarat ini bisa saja tidak berlaku bagiasuami yang ingin berpoligami jika: (a) Isterinyaitidak dapat dimintai persetujuan;i(b) Tidak bisa menjadiipihak dalamaperjanjian dan; (c) Tidaksada kabar dari isterinyaesekurang-kurangnya selama 2 tahun atauakarena alasan tertentu lainnya yang membuat Hakim Pengadilan dapat memutuskan persetujuan permohonan poligami. Jadi, seorang suami hanya dapat mengajukan permohonanaizin poligami ke Pengadilan Agama jika sang istri tidak mampuimemenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya, memiliki cacat atau suatu penyakit yang tidak dapatadisembuhkan atau istri tidak mampu melahirkan anak.
2. Permohonan yang tertera dalamaaaPutusan Nomor: 2598/Pdt.G/2018/PA.Tgrs, dikabulkan oleh Hakim Pengadilan di mana Hakim telah memperkenankan Pemohon untuk kawin lagi dengan mempertimbangkan secara tertulis kalau Termohon telah mengizinkannya. Ketentuan ini sesuai dengan Pasal 41 hurufab PeraturaniPemerintah Nomor 9 Tahuni1957 jon dan Pasal 58 ayata(2) Kompilasi HukumaIslam, bahwasannya persetujuan dari istri atau beberapa istri dapatidiberikan secara tulis maupun lisan. Apabila persetujuanaistri dinyatakan secara tertulis,anamun dalam pernyataan tersebut harus ditegaskan kembali secara lisan.
3. Hal-hal negatif dari perkawinan poligami yang menyebabkan timbulnya kemudharatan dan hilangnya kemaslahatan (Maslahah Mursalah) bagi anggota keluarga yakni, muncul rasa cemburu di antara istri, menimbulkan rasa khawatir dan cemas di antara istri apabila suami tidak mempu berlaku adil,ibagi anak-anakayang dilahirkan dari ibu yangaberbeda sangat rentan terjadinya permusuhan dan persaingan yang tidak sehat, bahkan bisa mengakibatkan kekacauan ekonomi dalam hubungan keluarga.
D. Daftar Pustaka
Abdur Rahman, Perkawinan dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992)
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Departemen Agama. Pedoman Beracara Pada Pengadilan Agama. (Jakarta: t.n.p. 1980/1981)
H. Masyfuk Zuhdi. Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Haji Mas Agung. 1993)
Hasim Efendi “Tinjaun Hukum Islam Terhadap Perzinahan Sebagai Alasan Poligami (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Agama Temanggu No. 070/Pdt.G/2014/PA.
Tmg)”, Skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015.
Khaeron Sirrin, Perkawinan Mazhab Indonesia: Pergulatan Antar Negara, Agama, dan Perempuan, (Yogyakarta: Deepublish, 2018)
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenamedia Group, 2016)
Meray Hendrik Mezak, Jenis, Metode, dan Pendekatan Dalam Penelitian Hukum (Lab Review, Fakultas HukumUniversitas Pelita Harapan, Vol. 5 No. 3, Maret 2006)
Mohamad Arik Borneo, “Penolakan Hakim Terhadap Izin Poligami (Analisis Putusan Nomor 1143/Pdt.G/2012/PA. JB)”, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019.
Muhammad Irfan Nur Hadi, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Izin Poligami Karena Istri Bekerja Diluar Negri (Studi Putusan Pengadilan Agama Sleman Nomor 185/Pdt.G/2012/PA. Smn), Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.
Muhammad Najmul Walid , “Analisis Izin Poligami Di Pengadilan Agama (Studi Putusan Hakim Terhadap Izin Poligami Di PA Semarang Tahun 2016)”, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang, 2017.
Pasal 3 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2005)
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012)
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta, Universitas Indonesia,1986)