• Tidak ada hasil yang ditemukan

Materi Pelajaran Fiqih Kelas 10 Semester 1 dan 2 Kurikulum 2013 Bab 6 Ushul Fikih

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Materi Pelajaran Fiqih Kelas 10 Semester 1 dan 2 Kurikulum 2013 Bab 6 Ushul Fikih"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

KOMPETENSI INTI (KI)

KI-1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya.

KI-2. Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerja sama, toleran, damai) santun, responsif dan pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.

KI-3. Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingintahunya tentang ilmu pengetahuan, tehnologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesiik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah.

KI-4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metode sesuai kaidah keilmuan.

KOMPETENSI DASAR (KD)

1.6 Menyadari pentingnya proses pengambilan hukum melalui ushul ikih 2.8 Memiliki rasa ingin tahu sebagai implementasi materi konsep ilmu ikih 3.8 Menelaah konsep ushul ikih

4.8 Menyajikan peta konsep ushul ikih

Ushul Fikih

(2)

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mengamati, menanya, mengeksplorasi, asosiasi dan komunikasi siswa dapat: 1. Menjelaskan pengertian ushul ikih

2. Membedakan antara ikih dan ushul ikih 3. Menjelaskan obyek ushul ikih

4. Menjelaskan hikmah mempelajari ushul ikih

AYO MENGAMATI

1. Amatilah yang ada di sekitar kita kemudian tentukan masalah yang membutuhkan hukum!

2. Bacalah buku yang membahas tentang ikih dan ushul ikih! Menanya

1. Bagaimana sikapmu jika menghadapi masalah yang berkaitan dengan hukum ! 2. Apa yang anda lakukan jika di sekitarmu ada pelanggaran hukum?

AYO MENDALAMI MATERI

Ushul ikih merupakan pola penalaran dan metode istinbāṭ hukum. Ilmu ini dibutuhkan ketika perkembangan Islam sudah begitu pesat dan perkembangan masalah hukum banyak terjadi sehingga para ulama menyusun ilmu ushul ikih. Permasalahan-permasalahan hidup manusia tidak akan mengalami stagnasi melainkan terus berkembang sampai akhir zaman. Begitu pula permasalahan hukum akan terus berkembang selama masih ada manusia di kehidupan ini. Menghadapi perihal tersebut para ulama membuat ilmu ushul ikih. Dalam bab ini akan dijelaskan tentang permasalahan tersebut yang meliputi pengertian ushul ikih, perbedaan ilmu ikih dengan ushul ikih, ruang lingkup ushul ikih dan hubungan antara ilmu ushul ikih dan ilmu ikih.

Pengertian

(3)

kata iqh menurut bahasa artinya memahami, mengerti, yaitu bentuk masdar dari (هقف) artinya faham, mengerti, pintar dan kepintaran.

Sedangkan menurut istilah yaitu semua hukum yang dipetik dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. melalui usaha pemahaman dan ijtihad tentang perbuatan orang mukallaf baik wajib, haram, mubah, sah atau selain dari itu hanya berupa cabang-cabangnya saja.

Jadi ushul iqh itu adalah ilmu yang mempelajari dasar-dasar atau jalan yang harus ditempuh di dalam melakukan istimbath hukum dari dalil-dalil syara’. Terdapat beberapa ulama yang mendeinisikan ushul ikih sebagai berikut:

a. Menurut Abdul Wahhab Khallaf

Ilmu tentang kaidah-kaidah (aturan-aturan/ketentuan-ketentuan) dan pembahasan-pembahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.

b. Menurut Muhammad Abu Zahrah

Ilmu yang menjelaskan jalan-jalan yang ditempuh oleh imam-imam mujtahid dalam mengambil hukum dari dalil-dalil yang berupa nas-̣naṣsyara’ dan dalil-dalil yang didasarkan kepadanya, dengan memberi ’illat (alasan-alasan) yang dijadikan dasar ditetapkannya hukum serta kemaslahatan-kemaslahatan yang dimaksud oleh syara’.

c. Menurut Syekh Muhammad al-Hudhori memberikan rumusan ushul ikih sebagai berikut:

ِةَلِدَاْا َنِم ِةَيِعْ َشلا ِم َكْحَا

ْا ُطاَبْنِتْسِا اَهِب ُلَسَوَتُي ِتَلا ُدِعاَوَقلْا َوُه

“Ushul iqh yaitu sesuatu ilmu tentang anggaran dasar (qaidah) yang menjadi perantara

untuk istinbath hukum syara (dari suatu dalil)”.

Jadi ushul ikih adalah ilmu yang mempelajari cara-cara atau kaidah-kaidah, teori-teori dan sumber-sumber secara terinci dalam rangka menghasilkan hukum Islam.

A. Objek Kajian Ilmu Ushul Fikih

Menurut ulama mazhab Syai’i yang menjadi obyek kajian para ulama ushul ikih adalah dalil-dalil yang bersifat global seperti kehujahan ijmā’ dan qiyās, cara menetapkan hukum dari dalil-dalil tersebut, dan status orang yang menggali dalil serta pengguna hukum tersebut. Untuk yang disebut ini mencakup syarat-syarat mujtahid serta syarat-syarat taqlīd.

Menurut Dr. Wahbah az-Zuhaili yang menjadi obyek kajian ushul ikih adalah sebagai berikut :

1. Mengkaji sumber hukum Islam atau dalil-dalil yang digunakan dalam menggali hukum syara’, baik yang disepakati (seperti kehujahan al-Qur’an dan sunah Nabi Saw.), maupun yang diperselisihkan (seperti kehujahan istịsān dan al-maṣlạah al-mursalah) 2. Mencarikan jalan keluar dari dalil-dalil yang secara lahir dianggap bertentangan,

(4)

atau tasāqut ad-dalīlain (pengguguran kedua dalil yang bertentangan). Misalnya, pertentangan ayat dengan ayat, ayat dengan hadis, atau hadis dengan pendapat akal. 3. Pembahasan ijtihad, syarat-syarat, dan sifat-sifat orang yang melakukannya (mujtahid),

baik yang menyangkut syarat-syarat umum maupun syarat-syarat khusus keilmuan yang harus dimiliki mujtahid.

4. Pembahasan tentang hukum syara’ (naṣ dan ijmā’), yang meliputi syarat dan macam-macamnya, baik yang bersifat tuntutan untuk berbuat, meninggalkan suatu perbuatan, memilih untuk melakukan suatu perbuatan atau tidak, maupun yang berkaitan dengan sebab, syaraṭ, māni’, ṣah, fāsid, serta azīmah dan rukhṣah. Dalam pembahasan hukum ini juga dibahas tentang pembuat hukum (al-mạkūm alaih), ketetapan hukum dan syarat- syaratnya, serta perbuatan-perbuatan yang dikenai hukum.

5. Pembahasan tentang kaidah-kaidah yang digunakan dan cara menggunakannya dalam mengistinbatkan hukum dari dalil-dalilnya, baik melalui kaidah bahasa maupun melalui pemahaman terhadap tujuan yang akan dicapai oleh suatu nạ (ayat atau hadis).

Dengan demikian terlihat jelas perbedaan antara obyek ushul ikih dan obyek ikih itu sendiri. Obyek kajian ushul ikih adalah dalil-dalil, sedangkan obyek ikih adalah perbuatan seseorang yang telah mukallaf (telah dewasa dalam menjalankan hukum). Jika ahli ushul ikih membahas dalil-dalil dan kaidah-kaidah yang bersifat umum, maka ahli ikih mengkaji bagaimana dalil-dalil juz’i (sebagian) dapat diterapkan pada peristiwa-peristiwa khusus.

Misalnya, perintah adalah wajib, hal ini merupakan ketentuan universal yang sesuai dengan bagian-bagiannya sebagaimana irman Allah dalam al-Qur’an bahwa aqīmu aṣ-ṣalāh (dirikanlah shalat) dan ātu az-zakāh (keluarkan zakat).

Sedangkan cara menggunakan ketentuan-ketentuan universal dalam menggali hukum syara’ ialah, irman Allah aqīmu kalimat perintah yang menunjukkan makna ṭalab (tuntutan) yaitu kerjakan dan tidak ada tanda-tanda yang mengalihkan perkataan dari makna perintah kepada makna lainnya.

Oleh karena itu, setiap kalimat yang menunjukkan arti perintah selama tidak ada hal yang mengalihkan dari makna asalnya maka kalimat tersebut menunjukkan wajib. Hasilnya, bahwa aqīmu menuntut wajibnya pekerjaan yang dituntut aqimu yaitu shalat. Akhirnya, sebuah produk hukum yang dikandung dalam aqīmu aṣ-ṣalāh bahwa shalat itu wajib.

B. Tujuan mempelajari Ushul Fikih

(5)

1. Untuk mengetahui proses pengambilan keputusan hukum/istimbath dari dalil-dalil na dan alasan-alasanya.

2. Untuk mengetahui mana yang disuruh mengerjakan dan mana pula yang dilarang mengerjakannya. Dan mana yang ̣arām, mana yang ̣alāl, mana yang ṣạ, mana yang baṭal dan mana pula yang fāsid, yang harus diperhatikan dalam hal segala perbuatan yang disuruh harus di kerjakan dan yang dilarang harus ditinggalkan.

3. Untuk mengetahui hukum-hukum syari’at Islam dengan jalan yakin (pasti) atau dengan jalan ̣ann (dugaan, perkiraan).

4. Untuk menghindari taqlīd (mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui alasan-alasannya) hal ini dapat berlaku.

5. Dapat mengambil hukum soal-soal cabang kepada soal-soal yang pokok atau dengan mengembalikan soal-soal cabang kepada soal-soal pokok.

6. Orang dapat menghidangkan ilmu pengetahuan agama sebagai konsumsi umum dalam dunia pengetahuan yang selalu maju dan berkembang mengikuti kebutuhan hidup manusia sepanjang zaman.

7. Sekurang-kurangnya, orang dapat memahami mengapa para mujtahid zaman dulu merumuskan hukum ikih seperti yang kita lihat sekarang. Pedoman dan norma apa saja yang mereka gunakan dalam merumuskan hukum itu. Kalau mereka menemukan sesuatu peristiwa atau benda yang memerlukan penilaian atau hukum Agama Islam, apa yang mereka lakukan untuk menetapkannya; prosedur mana yang mereka tempuh dalam menetapkan hukumnya.

8. Mengetahui bagaimana hukum ikih itu diformulasikan dari sumbernya.

Dengan itu orang juga dapat memahami apa formulasi itu masih dapat dipertahankan dalam mengikuti perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan sekarang; atau apakah ada kemungkinan untuk direformulasikan. Dengan demikian, orang juga dapat merumuskan hukum atau penilaian terhadap kenyataan yang ditemuinya sehari-hari dengan ajaran Islam yang bersifat universal itu.

C. Perbedaan Ushul Fikih dan Fikih

1. Pengetahuan ikih itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul ikih

2. Pokok bahasan ilmu ikih adalah perbuatan orang-orang mukallaf, yakni orang-orang yang telah dibebani ketetapan-ketetapan hukum agama Islam. Sedang ushul ikih menyelidiki keadaan dalil-dalil syara’ dan menyelidiki bagaimana caranya dalil-dalil tersebut menunjukkan hukum-hukum yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf. Karena itu, yang dibicarakan oleh ushul ikih ialah dalil-dalil syara’ dari segi penunjukannya kepada hukum atas perbuatan orang mukallaf.

(6)

menghasilkan (produk hukum) yang dilakukan melalui metode istimbat hukum, berdasar dalil, kaidah, alasan tertentu sehingga perbuatan itu apakah wajib, sunnah, haram, mubah atau makruh dilaksanakan oleh mukallaf.

4. Ilmu ikih segala pekerjaan para mukallaf yang berkaitan dengan hukum taklīfī berdasar dalil yang telah ditetapkan. Sedang ilmu ushul ikih membicarakan tentang al-Qur’an dan hadis dari segi lafalnya, baik dalam bentuk amr, nahyi,’ām, khāṣ muṭlaq, mahfūm, maslạatul mursalah, syariat yang ditetapkan bagi umat yang terdahulu, yang dapat dijadikan dasar dalam penetapan hukum pada setiap ucapan dan perbuatan mukallaf.

D. Ruang Lingkup Kajian Ushul Fikih

1. Bentuk-bentuk dan macam-macam hukum, seperti hukum taklīfī (wajib, sunnat, mubah, makruh, haram) dan hukum wạ’i (sabab, syaraṭ, māni’, ‘illāt, ṣạ, baṭal, āzimah dan rukhṣah).

2. Masalah perbuatan seseorang yang akan dikenai hukum (mạkūm fīhi) seperti apakah perbuatan itu sengaja atau tidak, dalam kemampuannya atau tidak, menyangkut hubungan dengan manusia atau Tuhan, apa dengan kemauan sendiri atau dipaksa, dan sebagainya. 3. Pelaku suatu perbuatan yang akan dikenai hukum (mạkūm ‘alaihi) apakah pelaku itu

mukallaf atau tidak, apa sudah cukup syarat taklīf padanya atau tidak, apakah orang itu

ahliyah atau bukan, dan sebagainya.

4. Keadaan atau sesuatu yang menghalangi berlakunya hukum ini meliputi keadaan yang disebabkan oleh usaha manusia, keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha manusia yang pertama disebut awārid muktasabah, yang kedua disebut awārid samāwiyah.

5. Masalah istinbāṭ dan istidlāl meliputi makna ̣āhir naṣ, ta'wīl dalālah laf̣, manṭūq dan mafhūm yang beraneka ragam, ām dan khās, muṭlaq dan muqayyad, nāsikh dan mansūkh, dan sebagainya.

6. Masalah ra’yu, ijtihād, ittibā’ dan taqlīd; meliputi kedudukan ra'yu dan batas-batas penggunaannya, fungsi dan kedudukan ijtihād, syarat-syarat mujtahid, bahaya taqlīd dan sebagainya.

7. Masalah adillah syar’iyah, yang meliputi pembahasan al-Qur’an, as-sunnah, ijmā’, qiyās, istịsān, istiṣlạ̄, istiṣ̣āb, mazhabus ṣạābi, al-‘urf, syar’u man qablanā, barā’atul aṣliyah, sadduż żarī’ah, maqāṣidus syarī’ah/Asās asy-syarī’ah.

8. Masalah ra’yu dan qiyās; meliputi: aṣl, far’u, illāt, masālikul illāt, al-waṣf al-munāsib, as-sabru wa at-taqsīm, tanqị̄ al-manāṭ, ad-dauran, as-syabhu, ilgaul farīq; dan selanjutnya dibicarakan masalah ta’ārụ wa at-tarjị̄ dengan berbagai bentuk dan penyelesaiannya.

E. Hubungan antara Ushul Fikih dan Ilmu Lainnya

1. Hubungan Ilmu Ushul Fikih dengan Ilmu Fikih

(7)

segi penetapan hukum, klasiikasi argumentasi serta situasi dan kondisi yang melatar belakangi dalil-dalil tersebut. Hubungan antara ushul ikih dan ikih, ikih adalah hasil istinbāṭ, sedangkan cara istinbāṭ dipelajari dalam ilmu ushul ikih. Jadi hasil perolehan dari ushul ikih akan dibahas oleh ilmu ikih yang tergolong dalam hukum lima yaitu halal, haram, sunnah, wajib dan makruh. Kesimpulannya seorang ahli ikih tidak dapat terlepas dari ushul ikih.

2. Hubungan Ilmu Ushul Fikih dengan Ilmu Qawāidul Fikih

Ilmu qawā’idikihiyah membahas tentang kaidah-kaidah hukum secara umum yang diambil dari berbagai permasalahan ikih yang berserakan., Masalah-masalah ikih yang mempunyai persamaan dalam hukum dijadikan satu, sehingga menghasilkan sebuah kaidah. Ilmu ushul ikih membahas tentang kaidah-kaidah di dalam ikih.

3. Hubungan Ilmu Ushul Fikih dengan Bahasa Arab

Ilmu bahasa Arab, yaitu ilmu-ilmu yang membahas tentang bahasa Arab dengan segala cabangnya. Ilmu ushul ikih bersumber dari bahasa Arab, karena ilmu ini mempelajari teks-teks yang ada di dalam al-Qur’an dan hadis yang keduanya menggunakan bahasa Arab. Ilmu bahasa Arab ini mempunyai hubungan yang paling erat dengan ilmu ushul ikih, karena mayoritas kajiannya adalah berkisar tentang metodologi penggunaan dalil-dalil syar’i, baik yang bersifat laf̣i (tekstual) maupun yang bersifat ma’nawi (substansial) di mana keduanya adalah pembahasan tentang bahasa Arab

4. Hubungan Ilmu Ushul Fikih dengan Ilmu Mantiq

Ilmu mantiq merupakan kaidah berikir yang memelihara akal agar tidak terjadi kerancuan dalam berikir. Sedang Ilmu ushul ikih merupakan kaidah yang memelihara fuqahā agar tidak terjadi kesalahan dalam meng-istinbāṭ-kan hukum. Istinbāṭ hukum dan penyusunan kaidah-kaidah ikih, ilmu mantiq sangat penting dalam istinbāṭ hukum. 5. Hubungan Ilmu Ushul Fikih dengan Ilmu al-Qur’an dan Hadis

Ilmu ushul ikih pembahasanya didasarkan pada dalil yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis, maka pengetahuan menyangkut kedua ilmu tersebut tidak dapat dipisahkan. Artinya pembahasan ilmu ushul ikih tidak akan keluar dari sumber dalil naṣ yang paling absah kebenarannya.

RANGKUMAN

(8)

Jawablah pertanyaan berikut dengan baik dan benar. 1. Jelaskan pengertian ushul ikih!

2. Jelaskan perbedaan antara ilmu ikih dan ushul ikih!

3. Jelaskan pendapat Wahbah Az-Zuhaili tentang obyek kajian ushul ikih! 4. Jerlaskan ruang lingkup ushul ikih!

Referensi

Dokumen terkait

Seni budaya lokal yang bernafaskan Islam adalah segala macam bentuk kesenian yang berasal dan berkembang dalam masyarakat Indonesia serta telah mendapat pengaruh dari agama

pada bulan Ramadhan kepada semua orang Islam, orang yang merdeka, atau.. hamba sahaya laki-laki atau perempuan, sebanyak 1 sha’ (3,1

Idul Fitri berasal bahasa Arab yaitu dari kata Id dan Fitri. Kata Id berarti kembali dan kata Fitri berarti suci atau bersih. Jadi kata Idul Fitri berarti kembali menjadi

8 Orang yang melaksanakan shalat Jumat tidak perlu shalat zuhur. 9 Shalat tahiyatul masjid dilaksanakan

Pikirkan bagaimana susunan buku teks, seperti: buku matematika, isika, biologi, kimia, dan IPS dari berbagai jenisnya (misalnya jenis buku matematika, tersedia buku

Sebuah fungsi f dikatakan mempunyai limit di titik c jika dan hanya jika nilai fungsi untuk x dari kiri dan kanan menuju ke bilangan yang sama. Tidak semua fungsi mempunyai

Penyebaran Islam di Nusantara dilakukan juga melalui pendidikan. Para ulama dan guru-guru agama Islam mendirikan lembaga-lembaga pendidikan Islam. Lembaga pendidikan

Mengenai tentang yang berhak menerima zakat fitrah, ulama berbeda pendapat. Menurut pendapat ulama yang kuat, Orang yang berhak menerima zakat fitrah