• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nasihat Dan Doa Dalam Rumpaka Tembang Cianjuran: Pemahaman Intertekstualitas.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Nasihat Dan Doa Dalam Rumpaka Tembang Cianjuran: Pemahaman Intertekstualitas."

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

NASIHAT DAN DOA DALAM RUMPAKA TEMBANG

CIANJURAN:

Pemahaman Intertekstualitas

Oleh: Kalsum

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

2007

(2)

JUDUL MAKALAH:

NASIHAT DAN DOA DALAM RUMPAKA TEMBANG CIANJURAN: Pemahaman Intertekstualitas

Mengetahui:

Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Daerah Fakultas Sastra - Universitas Padjadjaran

Drs. Taufik Ampera, M.Hum.

(3)

PRAKATA

Alhamdulilah makalah yang berjudul:

NASIHAT DAN DOA DALAM RUMPAKA TEMBANG CIANJURAN:

Pemahaman Intertekstualitas, selesai disusun tepat pada waktunya. Abstrak dari makalah ini lolos pada proses seleksi Bidang Ilmiah Panitia Simposium Kebudayaan Indonesia Malayasia (SKIM) X yang diselenggarakan di Kuala Lumpur pada tanggal 29-31 Mei 2007, panitia diketuai oleh Prof. Dr. Armida Alisjahbana. Kepada Sdr Drs. Samson yang banyak memberikan sumber-sumber tentang Cianjuran saya sampaikan terima kasih.

Bandung, Februari 2007

(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………...………..i

DAFTAR ISI ………ii

I. Pendahuluan ………..1

II. Asal-Usul Tembang Cianjuran dan Rumpaka………..2

III. Nasihat dan Doa ……….3

IV. Pemahaman Intertekstualitas terhadap Rumpaka Nasihat dan Doa Tembang Cianjuran ...5

V. Kesimpulan ...25

(5)

NASIHAT DAN DOA DALAM RUMPAKA TEMBANG CIANJURAN: Pemahaman Intertekstualitas

Oleh: Kalsum

I. Pendahuluan

Tembang Cianjuran adalah seni musik masyarakat Sunda, yaitu masyarakat yang

berdomisili di Pulau Jawa bagian Barat, dengan wilayah pemerintahan Provinsi Jawa Barat dan Banten. Nama Cianjuran berasal dari kata Cianjur, yaitu sebuah kota kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Barat. Kesenian ini karena menyerap pula langgam dari daerah lainnya, ada yang menamakan Tembang Sunda (dalam pembahasan menggunakan istilah

Tembang Cianjuran). Seni suara Sunda secara garis besar dibedakan dalam dua jenis yakni

kawih dan tembang.

Tembang Cianjuran didukung oleh perangkat, seni sastra, musik pengiring, dan vokal.

Rumpaka/guguritan yakni syair lagu yang digunakan dalam Tembang Cianjuran. Sejumlah

besar rumpaka Tembang Cianjuran dalam bentuk pupuh. Pupuh merupakan kreasi sastra tradisional yang berasal dari khasanah kesusastraan Jawa, masuk ke dalam kesusastraan Sunda pada abad ke-17 M.

Pupuh sebuah genre sastra khas, ikatan bahasanya digubah menurut pola metrum yang disebut dangding serta kandungan isinya menurut karakter setiap pupuh. Dangding meliputi banyaknya larik (padalisan) dalam satu bait (pada) (dinamakan guru gatra), jumlah suku kata dalam setiap padalisan (guru wilangan), dan bunyi vocal dalam setiap akhir padalisan (guru lagu). ”Pupuh yang terkenal sebanyak 17 macam, 4 macam Pupuh Ageung meliputi, Kinanti, Asmarandana, Sinom, dan Dangdanggula, selebihnya termasuk Pupuh Alit. Jenis

pupuh yang banyak digunakan dalam rumpaka Tembang Cianjuran yakni Pupuh Ageung.

Karakter Kinanti: prihatin, harapan, penantian; Sinom, gembira dan senang; Asmarandana kasmaran, saling mencintai; Dangdanggula kebahagiaan dan keagungan” (Salmun, 1958: 41-44)

Tembang Cianjuran dibedakan dalam 4 surupan (musikalitas ?) Pelog, Sorog, Mandalungan, dan Salendro. Dalam surupan Pelog terdapat wanda (lagam) Papantunan,

Rarancagan, Dedegungan, dan Jejemplangan. Konon Papantunan baik syair maupun lagu

berasal dari lantunan kesenian Pantun. Kesenian Pantun merupakan hasil kreasi seni masyarakat Sunda asli yang secara historis sudah ada sejak tahun 1518, kata pantun disebut dalam naskah Sanghiyang Siksa Kanda ng Karesiyan.

Istilah pantun dalam kesenian Sunda berbeda dengan kesusastraan Melayu. Kesenian

(6)

kerajaan-kerajaan di Pasundan (wilayah Sunda). Kisah dibawakan oleh seorang juru pantun semalam suntuk, diselingi lantunan lagu, dengan petikan kecapi perahu.

Tembang Cianjuran dinyanyikan sendiri (anggana), dengan etika pertunjukan memakai busana tradisional Sunda, dan duduk bersila, diiringi oleh petikan kecapi perahu, suling (untuk surupan Pelog, Sorog, Mandalungan) dan rebab untuk surupan Salendro. Sehabis menyanyikan serangkaian lagu pokok/Cianjuran kemudian ditutup oleh lagu panambih ’tambahan’ lagu kawih. Tembang tidak terikat oleh irama, kaya dengan ornamen lagu (dongkari), adapun kawih terikat oleh irama, ornamen lagu tidak sekaya dalam tembang. Lagu panambih bisa dibawakan secara bersama (rampak).

II. Asal-Usul Tembang Cianjuran dan Rumpaka

Tembang Cianjuran ini mula-mula dirintis oleh Regent Cianjur Raden Aria Adipati

Kusumahningrat yang bergelar Dalem Pancaniti (1834 – 1862), beliau seorang yang cerdas, taat beragama, perhatiannya besar pada kebudayaan Sunda terutama kesenian (Surianingrat; 1982, 1940-1942; Sueb, 1997; Kurnia., dkk, 2003, 48-50). Perhatian beliau terhadap seni, tidak serta-merta muncul, bakat dan sifat beliau secara turun-temurun diwariskan oleh leluhurnya sejak putra pendiri ”Nagara Cianjur” Aria Wangsa Goparana bernama R. Candramanggala kemudian turun-temurun sampai kepada Dalem Pancaniti.

Pada awalnya kesenian ini hanya berkembang seputar kadaleman, kemudian menyebar ke seluruh Pasundan. Mulanya Tembang Cianjuran hanya dinyanyikan oleh kaum pria, putri hanya boleh menyanyi lagu panambih (Kurnia, Ibid) namun menginjak abad ke-20 muncul para penembang wanita. ( Ibid).

Kini tembang berkembang ke berbagai aspek kehidupan antara lain sebagai berikut: Pada kedinasan penerimaan pimpinan baru dan pelepasan pimpinan lama, dan melepas seseorang menjalani masa pensiun terdengar alunan kelembutan tembang. Pada rangkaian upacara adat perkawinan, petatah-petitih sejak upacara penyiraman calon mempelai sampai upacara sawer sehabis akad nikah dilantunkan tembang.

Rumpaka pun mengalami perkembangan, menurut Dadan Sukandar seorang penembang

Cianjuran berusia lanjut, sebelum tahun tujuhpuluhan isi rumpaka seputar perenungan

keagungan ciptaan Tuhan dan keluhuran budi para raja Sunda namun kemudian bergeser ke hal-hal yang bertemakan cinta (Pikiran Rakyat, 27 Januari 2007).

Asal-usul Rumpaka Tembang seperti dikemukakan sebelumnya, ada dua pokok yakni dalam bentuk pupuh yang terikat oleh dangding, kedua cuplikan-cuplikan dari kesenian

(7)

memiliki asal-usul yang sangat beragam, yakni dari wawacan, guguritan, penciptaan khusus bait-bait tertentu, dan penciptaan khusus dalam lagu tertentu (rumpaka sanggian).

Rumpaka yang berasal dari wawacan memiliki variasi bentuk sastra yang beragam.

Wawacan adalah ceritera yang dibangun oleh bentuk-bentuk pupuh, merupakan pengaruh

dari kesusastraan Jawa (Lihat tentang pupuh). Dari kata wawacan muncul kata mamaos yang berarti menembang, maos bahasa halus dari maca (membaca).

Karena lahirnya dari bentuk wawacan inilah kiranya muncul bentuk-bentuk unik dalam

rumpaka Tembang Cianjuran, antara lain terdapat rumpaka berbahasa Jawa dan transformasi

dari ceritera Jawa di antaranya; cuplikan dari kisah Roro Mendut.

Khasanah kesusastraan Sunda memiliki genre sisindiran, meliputi paparikan (pantun di

dalam kesusastraan Melayu) dan wawangsalan (jenis sisindiran yang mengandung terkaan). Seiring perkembangan, wawacan pun dihiasi pula oleh bentuk sisindiran ini, baik paparikan maupun wawangsalan. Sisindiran setelah masuk ke dalam wawacan muncul bentuk baru, yakni sisindiran yang telah digubah dalam bentuk dangding.

Bentuk paparikan, pada umumnya satu pada sampiran dan satu pada isi. Paparikan

dangding ini masuk pula dalam rumpaka tembang secara berdiri sendiri, kemudian

pada-pada sampiran terlepas pula dari pada-pada isinya. Lazimnya para penembang hanya

menggunakan pada sampiran yang tak memiliki arti, namun pada-pada demikian terus-menerus ditembangkan sehingga kata-katanya hafal di luar kepala.

III. Nasihat dan Doa

Rumpaka Tembang Cianjuran yang berisi nasihat dan doa yang diedisi oleh Sobirin dalam

dua buku surupan Pelog dan Sorog Salendro dari 123 dan 124 lagu berjumlah 36 sebanyak 14,5% dengan catatan ada beberapa rumpaka yang digunakan dalam beberapa lagu dan ada pula rumpaka yang tidak dituliskan lagunya hanya disebut nama pupuhnya. Rumpaka

Tembang nasihat dan doa ini dilihat dari sudut komunikasi memiliki kemiripan yakni

adanya tujuan pengungkapan yang disampaikan pada pendengar. Nasihat adalah harapan supaya isi pesan rumpaka sampai kepada pencengar dan doa, harapan yang dipohonkan kepada Tuhan.

Rumpaka digubah oleh seorang penggubah, selanjutnya ditembangkan oleh sejumlah

penembang/ juru mamaos/juru tembang. Dalam hal ini juru tembang setuju dengan isi

rumpaka kemudian ingin menyampaikannya kembali kepada pendengar, termasuk pula

rumpaka yang berisi doa. Penembang pada umumnya memilih pula isi kandungan dari

(8)

doa disampaikan kepada Tuhan, keduanya berada dalam wilayah religius. Nasihat merupakan

Hablum Minanas dan Doa merupakan Hablum Minallah. Amanat yang disampaikan melalui

lantunan tembang terasa lebih hidmat baik dirasakan oleh penembang maupun didengar oleh penikmat.

Dilihat dari segi historis, unsur nasihat dan doa yang berada dalam wilayah religius ini memiliki kedudukan penting pada Rumpaka Tembang Cianjuran. Perintis awal Tembang

Cianjuran Dalem Pancaniti, seorang taat beragama, bahkan ada yang menganggap ”Alima al

alamah (ulama pandai), mencapai Waliyullah ((Su’eb, 1997: 36). Pernyataan tersebut sejalan

dengan keterangan yang disampaikan oleh Dadan Sukandar bahwa sebelum tahun enampuluhan Tembang Cianjuran mengusung tentang hal keteladanan. Bukti-bukti itu tersirat pula pada sebuah pada pupuh Sinom Liwung yang diterima oleh R. Bakang Abubakar dari

komaraning daya sastra Kasundaan

(Ischak, 1988: 63)

kewibawaan dari kekuatan sastra

Kasundaan

Diperkirakan rumpaka ini telah ada jauh sebelum tahun 1949. Dalam pupuh ini ada tanda yang kuat yakni Rasa Suci, Rasa Suci mengacu kepada Inti Kedirian manusia yang dianugrahkan Tuhan yakni Nurullah atau disebut juga Badan Rohani (Lihat dalam Wawacan

Jaka Ula Jaka Uli). Kata kedua yakni babaran kaelingan ’pembahasan tentang keimanan’.

Pengertian eling ’iman’ dalam naskah-naskah ajaran Teosofi Tasawuf adalah Manunggaling

kaula-Gusti. Menghadirkan Allah di dalam Badan Rohani’ Pupuh ini berceritera tentang

ajaran keimanan yang menuntun manusia ke arah kebahagiaan lahir dan batin. Namun apabila dihubungkan dengan judul lagu yakni Liwung, tidak sesuai. Dengan demikian diperkirakan ada lagu pemakai rumpaka ini sesuai isi. Dilihat dari rumpaka di atas, jelaslah kekuatan dari kesusastraan Sunda pada suatu masa, dilihat dari segi bobot isinya.

(9)

Pada waktu berkembangnya sastra tembang/pupuh banyak tulisan-tulisan yang

menyajikan ajaran Tasawuf atau tulisan yang hanya mengungkapkan nasihat (sastra

piwulang) atau tembang yang isinya mengenai budi pekerti luhur menurut Islam. Tulisan

semacam ini dinamakan guguritan. Periode ini termasuk sastra Sunda lama (setelah masuknya agama Islam).

Lebih jauh lagi, sastra Sunda kuno (sebelum masuk agama Islam) kesusastraan hanya memuat, sejarah, ilmu pengetahuan, dan hal yang bersifat religius. Dengan demikian adanya nasihat dan doa, di dalam rumpaka Cianjuran walaupun di dalam perkembangan kemudian persentase hanya mencapai 14, 50 % namun jenis ini memiliki kedudukan kuat dilihat dari aliran sejarah sastra Sunda, yang kemungkinan pada awal perkembangan Rumpaka Tembang

Cianjuran jenis inilah yang mendasarinya. Bagaimanapun aliran karya sastra ada dalam

ketegangan antara konvensi dan inovasi.

IV Pemahaman Intertekstualitas terhadap Rumpaka Nasihat dan Doa dalam Tembang Cianjuran

Membaca suatu teks menurut Derrida (Pemahaman kembali, 2002: 30) pembaca

mengadakan pemisahan antara membaca teks atau tulisan; dan membaca sang penulis yang berdiri bersembunyi di balik teks atau tulisan yang disebut metafisika-kehadiran atau atau

kehadiran-metafisik, atau kehadiran –sang gaib… yang harus dikritisi ialah kekerasan,

intervensi, atau tendensi kehadiran sang-gaib dan kawan-kawannya. Sejalan dengan pemikiran ini Kristeva berpendapat bahwa ”every text take shape as a mosaic of citation,

every text takes is the absorption and transformation of other texts (Culler, 1975: 139).

Kajian intertekstualitas adalah penelusuran hipogram berupa teks-teks terdahulu atau sezaman yang turut merekonstruksi sebuah karya sastra

Makna teks Tembang Cianjuran dalam pertunjukan, selain unsur verbal, secara inherent didukung oleh seni musik unsur non verbal yakni petikan kecapi, tiupan suling atau gesekan

rebab dan etika penyajian (kostum sikap penyajian penembang termasuk siapa penembangnya) (Samson, 2006). Tembang Cianjuran yang termasuk unsur verbal tersebut pun lantunan lagunya mendukung makna pula, apalagi Tembang Cianjuran sangat kaya dengan ornamen lagunya (Ibid). Pembahasan selanjutnya melepas unsur nonverbal dan lagu hanya seputar teks yang dimuat dalam tulisan.

(10)

Bangkong dikongkorong kujang ka cai kundang cameti, da kole kole di buah hanggasa

ulah ngomong samemeh leumpang, da hirup

hirup katungkul ku pati paeh teu nyaho di mangsa

(Sobirin, 1987: 31)

Katak berkangkalung kujang

memasuki air bersandang cemeti, kole

kole pada buah hanggasa

jangan berbicara sebelum berjalan, dalam hidup

hidup ditunggu maut ajal tak tahu kapan

Rumpaka ini di-tembang-kan dalam surupan Pelog Jejemplangan, tidak terikat oleh

pupuh, penulis Anonim. Dilihat dari isinya kemungkinan digubah oleh seorang sufi. “Teks

diperoleh oleh R. Bakang Abubakar dari gurunya pada tahun 1944 (Ischak, 1988: 31).

Tatalegongan dipandang dari sudut arti sebagai satu rangkaian informasi mengungkapkan

tentang pengembaraan.

”Katak” pada teks-teks naskah teosofi Tasawuf sebagai teks hipogram, simbol dari salik (pencari jalan menuju Allah), yaitu orang yang senantiasa menghadirkan Allah dalam dirinya atau yang lazim disebut Manunggaling kaula-Gusti dengan ungkapan bangkong

ngaheungheum liangna ‘katak mengulum lubangnya’ (Lihat Wawacan Gandasari dan

Wawacan Buana Wisesa). Katak dianalogi sebagai simbol salik, karena selanjutnya muncul

wejangan yang bersifat religius.

Katak pada teks dituturkan berkalung kujang. Kujang, yaitu sejata para raja Sunda jaman kuna yang bersifat sakral dan religius. Kata ”Kujang” dalam teks hipogram sebagai berikut:

wanci nyaring jeung caringcing, geus beurang geura bral miang, wangkingan pusaka

kujang, tamengna wawanen hate, pangraksana ku iatna’((Ischak, 1988: 13) artinya: ’masa

terjaga dan bersiaga, sudah siang berangkatlah, pegangan dengan pusaka kujang, dengan tameng keberanian hati, dilindungi oleh kehati-hatian’

Kole adalah nama sejenis pisang. Kole dalam teks hipogram mantra pengobatan, simbol dari kenyamanan: tiis alahbatan birit leuwi, comrek alahbatan hate kole ’lebih dingin daripada lubuk sungai yang dalam, lebih dingin daripada bagian dalam batang pisang kole’. Hanggasa semacam buah yang enak dimakan.

Pada bagian akhir diungkapkan nasihat ”janganlah berbicara sebelum menjalani sesuatu (tidak tekebur), dalam kehidupan. Hipogram bagian ini terdapat pada teks Wawacan Buwana

Wisesa tentang menutup lubang mulut, maksudnya tidak berkata yang sia-sia supaya amal

(11)

selalu berdzikir kepada Allah (Lihat wawacan Jaka Ula Jaka Uli dan Wawacan Pulan Palin). Ungkapan terakhir, hidup dinanti oleh ajal, waktunya pun kapan, kita tak tahu.

Penerapan teks hipogram pada Tatalegongan dengan ekserp ’excerpt’ (pengintisarian) dan modifikasi ’modification’ (pengubahan) (Lihat Sardjono, 1986). Fungsi semiotik penerapan hipogram memperdalam makna. Matriks dari teks ini adalah, pengembaraan di jalan Allah. Tatalegongan mengungkapkan kehati-hatian dalam menjalani hidup. Katak yang kehidupannya nyaman di air yang disimbulkan oleh kole, namun selalu membekali diri dengan cemeti. Hal ini memiliki makna bahwa subjek walau dalam ketenangan namun selalu mencambuk dirinya supaya tak terlena oleh kesenangan duniawi hanggasa, yang mejerumuskan dirinya.

Pucung tergolong Pupuh Alit, karakter pupuh mengungkapkan wejangan pemberitahuan,

kaget, dan kesadaran, Laras Pelog dalam Dedegungan (bernada tinggi). Pupuh Pucung banyak diajarkan di Sekolah Dasar, berisi paedogogis (lihat pembahasan selanjutnya).

Rumpaka ini mengusung nasihat apabila memiliki cita-cita harus berjuang dengan tekun

supaya berhasil.

sudah waktunya berjaga, pikirkanlah kebaikan

(12)

lagu Kapati-pati ’Mengalami penderitaan batin seolah-olah menjelang ajal’ dalam Surupan

Sorog” (Ischak, 1988: 60). Yang lebih tepat penggunaan rumpaka ini lagu Cirebonan karena

sesuai dengan karakter Sinom, yakni untuk mengungkapkan kebahagiaan keoptimisan dalam pergantian malam ke siang (Lihat bahasan selanjutnya). Teks lagu Cirebonan dipandang dari sudut arti sebagai satu rangkaian informasi mengungkapkan tentang perjalanan waktu

Judul lagu ”Cirebonan” tidak serta merta tanpa memberikan muatan makna, namun mendukung isi rumpaka bagian akhir, tentang perenungan kehidupan. Cirebonan berasal dari kata Cirebon, sebuah kota di pantai utara yang terkenal dengan seorang wali penyebar Agama Islam yang bergelar Sunan Gunung Jati. Kearifan seorang tokoh yang berasal dari suatu daerah biasanya dinamai menurut daerah masing-masing antara lain, Ajian Sukawayana, Sumedangan, begitu pula Cirebonan.

Sejarah Asal-Usulnya Cirebon (Mutiah, 1980) sebuah ’karya sastra sejarah’/’sastra kitab.’ yang sangat sarat dengan pesan religius Islam. Diperkirakan ajaran-ajaran tersebut berasal dari para penyebar Islam pada awal Islamisasi di Cirebon. Menurut seorang kasepuhan di Talaga R. Adin Yudakaria Almarhum penganut Ajian Kacirebonan, bahwa Ajian Kacirebonan meliputi: pertama sabar, kedua tawakal, ketiga tidak menyebarkan aib orang lain, keempat tidak menolak rizki yang sedikit, kelima apabila menikah tidak segera menggaulinya namun ada tenggang waktu. Puasa Ratu (kemungkinan berasal dari Sunan Gunung Jati karena beliau mendapat sebutan Pandita Ratu yakni apabila sedang nikmat makan harus segera dihentikan.

Pada lagu lain yang mirip dengan Ajian Kacirebonan terdapat pada lagu Kinanti

Nunggeulis sebagai berikut: Hirup kumbuh nu saestu, poma jail hiri dengki, pantrang ti

ngupat sinuat, kiwari geus lain musim, nitenan laku nu lian, saeutik teu ngandung harti.’

Dalam menjalani kehidupan yang benar, jangan sekali-kali menjahili dan iri dengki, pantang menceriterakan keburukan orang, tak sesuai (dengan ajaran kebaikan), meneliti perilaku orang lain, sedikit pun tak berfaedah’. (lihat pula tentang pandangan kepada sikap orang lain dalam pembahasan Naratas Jalan).

(13)

4. Naratas jalan

kehilangan akal yang akan menyertai kita

Naratas Jalan Surupan Pelog, pupuh Sinom. Kedua bait merupakan kesatuan yang

mendukung pada judul Naratas Jalan ’Membuka Jalan’. Apabila dikaitkan dengan penggunaan pupuh, ”membuka jalan” pada konteks ini, memiliki makna membuat pijakan hidup dalam mencari kebahagiaan untuk diteladani oleh orang-orang kemudian. Teks

Naratas Jalan dipandang dari sudut arti sebagai satu rangkaian informasi, tentang menjalani

kehidupan.

Rumpaka ini mengemukakan bahwa hidup dengan sesama untuk saling tolong-menolong bukan untuk berselisih. Teks hipogram dalam pupuh Pucung seperti berikut: Utamana jalma

kudu rea batur, keur silih tulungan, silih asih silih bere, budi akal lantaran ti pada jalma.

’Yang paling utama orang harus memiliki kawan banyak, untuk saling menolong, saling memberi, budi dan akal melalui sesama manusia.’

Teks hipogram lainnya dari guguritan Asmarandana Lahir Batin karya RA Bratawijaya sebagai berikut: Ulah sirik ka pangampih, ulah nyacad ka nu lian, deungeun pikeun eunteung

bae, nu lian pikeun tuladan, hade goreng kasawang, ukur ku tangtung sakujur, sasaran di

badan urang. ’Jangan iri kepada yang lebih tinggi, jangan mencacat orang lain, orang lain

(14)

Rasa kebersamaan dilantunkan pula pada bagian teks hipogram dari lagu Campaka

Kembar Surupan Sorog (Sobirin, 1987: 84) dalam bentuk sampiran dan isi: ... Ayun-ayunan,

dina tangkal waru doyong, sabilulungan, runtut raut gotong royong, ayun-ayunan, dina

tangkal kayu manis, sabilulungan, sapapait samamanis ’Berayun-ayun, pada pohon waru

doyong, bersatu padu, bersama sama bergotong royong, berayun-ayun pada pohon kayu manis, bersatu padu, bersama-sama dalam pahit dan manis.

Penerapan teks hipogram pada Naratas Jalan dengan ekserp ’excerpt’ (pengintisarian) (Lihat Sardjono, 1986) dan modifikasi ’modification’ (pengubahan) (Lihat Riffaterre, 1978). Fungsi semiotik teks hipogram untuk penyajian makna maksud. Matriks teks: Jalan kehidupan mulia adalah bersatu padu.

Pesan dari rumpaka Naratas Jalan yakni; dalam menjalani kehidupan hendaknya yakin kepada pendirian diri dan hati nurani yang disertai oleh keimanan, namun tidak disertai rasa sombong karena kesombongan menuju kebinasaan. Harus pandai menghargai orang lain, dan orang lain dijadikan teman dalam tolong-menolong, bukan untuk berselisih karena perselisihan menimbulkan kehilangan akal sehat.

.

(Salaka Domas) untuk dijadikan azimat negara

teguh keyakinan tak terpengaruh goncangan (lindu=gempa)

(15)

hati yang tersirat dari sikap optimis tokoh, walau berat menjalankan amanat ayah bundanya. Bait ini sebuah transformasi dari ceritera pantun Mundinglaya di Kusumah putra Prabu Siliwangi yang harus mencari azimat Salaka Domas berupa layang-layang yang harus direbut dengan perjuangan gigih melalui perlawanan terhadap guriang tujuh yang sangat sakti. Teks

Salaka Domas dipandang dari sudut arti sebagai satu rangkaian informasi, yakni perjuangan

meraih Salaka Domas.

Tokoh dalam lirik tunduk dan hormat pada ibu dan ayah, dengan selalu menyebut-nyebut Yang Maha Suci (sumambat ka Maha Suci), tidak tergoda oleh apa pun. Sumambat ka Maha

Suci mengingatkan kepada Dzikir Sir atau yang lazim diungkapkan dengan Manunggaling

kaula – Gusti, selalu menghadirkan Allah dalam Badan Rohani. Sinkretisasi antara

kepercayaan Islam dengan pra-Islam di dalam kisah-kisah kesusastraan lama merupakan hal yang lazim baik dalam karya sastra Sunda maupun dalam karya sastra Nusantara (Lihat

Wawacan Batara Rama dan Hikayat Seri Rama).

Hipogram tunduk dan berbakti kepada ibu dan ayah antara lain, sebagai berikut: Indung

tunggul rahayu, bapa tangkal darajat, nya munjung kudu ka Indung, nya muja kudu ka bapa’

Ibu pokok keselamatan, ayah pohon kemuliaan, harus tunduk kepada ibu, hormat kepada ayah. Dalem Pancaniti memberikan keteladanan menyatakan bakti kepada orang tua, dengan perilaku yaitu apabila berderma beliau berkata: Tah kaula mere nyatu ka maneh,

ganjaranana disanggakeun ka indung bapa kaula. ’Aku memberimu makanan, pahalanya

diberikan kepada Ibu dan Ayahanda.’

Hipogram dalam pupuh Maskumambang sebagai berikut: Eh barudak kudu mikir ti

leuleutik, maneh kahutangan, ka kolot ti barang lahir, nepi ka ayeuna pisan. ’Wahai

anak-anak kau semua harus menyadari sejak kecil, kau berutang budi, kepada orang tua sejak lahir, sampai sekarang.’

”Pemerolehan Layang Salaka Domas yang bisa mengancam nyawa Mundinglaya di Kusumah karena harus menempuh perjalanan berbahaya ke sajabaning langit yang dijaga oleh 7 guriang sakti ini, sebenarnya untuk kepentingan negara yakni sebagai penawar bencana yang melanda Negeri Pajajaran (Su’eb, 1997: 18-19). Jadi pada ini menyaran secara tersirat pada bela negara.

Hipogram dari bela negara banyak diungkapkan dalam Tembang Cianjuran, antara lain lagu Talutur Surupan Salendro (Sobirin, 1987: 91)

(16)

menolak, harus kuat dan teguh, tak-takut, gagah penuh dengan keberanian, dalam melaksanakan - maksud bersatu, menuju kebesaran bangsa, menuju kehidupan subur makmur, (negara) termashur berwibawa dan sejahtera.’

Perjuangan bela negara dalam teks lagu Kinayungan Surupan Salendro (?) pupuh

Dangdanggula (Sobirin, 1987: 106) sebagai berikut:

Kewes pantes satria pinilih, lugay yuda tegang lali jiwa, ampuhna lir pamor, macan tinemu musuh, daweung ludeung teu gimir ku pati, ngabela pusaka nagara, anu dipigandrung, lemah cai tanah endah, mo kaduhung lamunna kasoran jurit, dapon keur balarea. ’Satria

terpilih yang tampan, berangkat ke medan perang dengan mengorbankan jiwa, kesaktiannya seperti pamor (garis pada keris yang terbuat dari meteor), seperti macan dihadapkan pada musuh, tegak, berani, tak gentar kehilangan nyawa, untuk memperoleh pusaka negara. Yang menjadi angan-angan, tanah air yang indah (tentram-damai ?). Tak akan menyesal walau kalah dalam peperangan, untuk masyarakat.

Penerapan teks hipogram pada teks lagu Salaka Domas dengan ekserp ’excerpt’ (pengintisarian) (Lihat Sardjono, 1986). Fungsi semiotik teks hipogram untuk penyajian makna maksud. Matriks teks: Menjalankan perbuatan mulia.

Lagu Sasaka Domas ini menasihatkan berbakti kepada orang tua, mengingat Tuhan selalu, dan bela negara untuk kesejahteraan bangsa dengan penuh ketangguhan.

(17)

aneh menghayati pergerakan batin ’usiking diri’. Dalam kehidupan ia merasakan dua suasana batin yang saling menggantikan yakni susah dan bahagia, dengan ungkapan duka ngantosan

suka, ceurik ngaganti seuri. Ungkapan ini berpusat pada penantian sesuai karakter pupuh,

yakni dalam kesusahan menanti kebahagiaan dalam kebahagiaan sebagai penantian kedukaan.

Hipogram konsep dikotomi, adalah teks guguritan Asmarandana Lahir Batin karya RA Bratawijaya sebagai berikut:

Sugih papacangan miskin, beunghar papacangan lebar, hade papacangan goreng, bagja pacangan cilaka, suka pacangan duka, ngariung bakal pahatu, kasukan bakal midangdam. Isuk deui sore deui, ti peuting datang ka beurang, wawangsalan gopes jawer, tansah di canggehgar karang, kokotak wayah pajar, manuk huut anu jalu, ngirab jangjang di buruan. Nu tapis ngawih janari. Tegesna bangsa kaula, salawasna ngadadago, ngadago lapar jeung dahar, sare sartana hudang, ngadago bungah jeung mesum, samantara nunggu ajal. Sawisik pasti kapanggih, nguntun tipung nambang beas, ngan kudu laksana bae. ’Sugih berpasangan

dengan miskin, kaya berpasangan dengan kekurangan, baik berpasangan dengan buruk, keberuntungan pasangan musibah, suka pasangan susah, kebersamaan (dengan ayah ibu) akan yatim piatu, senyum-simpul akan tersedu sedan. Pagi lagi sore lagi, malam menuju siang, wawangsalan ”jambul lebar,” selalu menjadi canggehgar (ayam hutan) halaman rumah, burung jantan pemakan dedak, mengipas-kipas sayap di halaman, yang pandai

me-ngawih pada pagi buta (Isi terkaan/teka-teki ”ayam”). Artinya manusia sebagai makhluk,

selalu menanti, menunggu lapar dan makan, tidur serta berjaga, menunggu gembira dan bersedih, sementara (ketika hidup) menunggu ajal. Semua (manusia) sama mengalami, menguntun tepung membuat tambang dari beras (teka-teki wawangsalan), pasti mengalami (isinya laksa)

Hipogram konsep dikotomi ditemukan pada ceritera lisan Si Kabayan (tokoh humoris) dia menangis ketika suasana gembrira karena tahu akan menjelang musibah dan tersenyum apabila mengalami kesedihan karena menjelang kebahagiaan.Hipogram konsep dikotomi ini acapkali diungkapkan para sufi, hendaknya menjalani kehidupan secara rata, dalam arti mengalami kebahagiaan jangan berlebih-lebihan begitu pun mengalami penderitaan jangan terlalu merasa sedih, karena susah dan bahagia dibagi rata kepada umat manusia sebagai cobaan dari Allah yang diturunkan secara silih berganti.

Penerapan teks hipogram pada teks lagu Ceurik Abdi dengan ekserp ’exerpt’ (pengintisarian). Fungsi semiotik teks hipogram untuk penyajian makna maksud. Matriks teks: Menjalani hidup yang benar yakni menerima kebahagiaan dan penderitaan secara ikhlas.

Rumpaka ini menyampaikan nasihat bahwa, apabila memperoleh kesulitan jangan terlalu

bersedih serta mohon kepada Tuhan Pemilik Kasih Sayang yang menurunkan penderitaan dan kebahagiaan.

(18)

Tangkal bungur ngarangrangan

Sinom Bungur Surupan Sorog, lagu dan rumpaka oleh Maman. Teks lagu Sinom Bungur

dipandang dari sudut arti sebagai satu rangkaian informasi, tentang perjalanan hidup.

Rumpaka ini mengusung lima baris awal mengungkapkan pohon bungur baik daun maupun

bunganya yang berguguran, sebagai pembuka pada ungkapan yang sesungguhnya tentang ajal manusia, semua manusia akan mengalami hari terakhir, pulang ke Alam Keabadian.

Hipogram tentang ajal antara lain pada teks lagu Tatalegongan (lihat pembahasan sebelumnya, pada lagu Luminjing ‘Berkelana’ Surupan Sorog (Sobirin, 1987: 52):

Luminjing di alam lahir, teu kongang sawenang-wenang, horeng ari ngalalakon sagala teu

sakahayang, sok aya bae halangan, teu weleh diukur waktu, tebih ti karep sorangan.

‘Berkelana di alam dunia, tak bisa sewenang-wenang, ternyata menjalani lelakon, semua tak menurut keinginan, ada pembatas, diukur waktu, sangat jauh dari dugaan manusia’.

Menurut Haji Hasan Mustapa, dunia ini lembur saheulaanan, samemeh balik ka jati ‘kampung sementara sebelum pulang ke Kehakikian’(dalam Rosidi, 1989: 198)

Penerapan teks hipogram pada teks lagu Sinom Bungur dengan modifikasi ’modification’ (pengubahan) (Lihat Riffaterre, 1978). Fungsi semiotik teks hipogram untuk penyajian makna maksud. Matriks teks: Hidup akan diakhiri ajal. Rumpaka ini mengingatkan bahwa kehidupan dunia fana, pada suatu hari terakhir akan didatangi oleh ajal.

(19)

tembang (lagu), dengan demikian teks ini sebagai teks sandingan yang bisa dilagukan oleh sejumlah lagu Tembang Cianjuran dengan dasar, pupuh Sinom. Teks ini dipandang dari sudut arti sebagai satu rangkaian informasi, tentang perjalanan hidup.

Di dalam teks ini diungkapkan seolah-olah ada suara dari kejauhan yang mengingatkan bahwa hidup harus berhati-hati menjaga seluruh perbuatan. Hipogram dari bagian ini mengacu kepada suara hati dalam teks Teosofi Tasawuf Wawacan Jaka Ula Jaka Uli bahwa

Badan Rohani manusia disirati Sifat Dua Puluh dari Allah, di antaranya sifat Samma

’mendengar’ dan Bashar ’melihat.’ Kehadiran sifat Samma inilah kiranya yang dimaksud oleh teks yang mampu mendengar tentang kebenaran.

Hipogram - berhati-hati dalam menjalani hidup antara lain dalam teks yang digubah oleh Haji Hasan Mustapa sebagai berikut:

Doraka jalma balaka, wungkul teu buda teu budi, teu rusia teu rusia, teu tata titi paniti,teu surti ati-ati, mun parung-parung dirarud, mun catang-catang dirumpak, eusina sato istuning, nu tilelep ti harga kamanusaan. ’Berdosa, orang tanpa kendali, hidup tak beragama dan tak

berbudi, di dalam batinnya pun tak menghadirkan Tuhan (rusia dimaknai Dzikir Sir), (perbuatannya) tanpa aturan, sungai berbahaya dilewati, dirinya sungguh-sungguh binatang, jatuh dari nilai kemanusiaan.’

Hipogram lainnya teks lagu Ligar ’Mekar’ Surupan Pelog (Sobirin, 1987: 68):

Pasrahkeun ka Maha Agung, Nu pasti Asih jeung Adil, nu wenang nyiksa ngaganjar, Anjeun teu pilih kasih, nu dosa tangtu disiksa, nu bersih tangtu diasih. ’Serahkan kepada Yang Maha

Agung, Pasti Dia Pengasih dan Adil, mampu menyiksa dan memberi pahla, Dia tidak pilih kasih, orang berdosa tentu disiksa, orang bersih tentu dikasihi.’

Penerapan teks hipogram pada teks lagu Sinom dengan modifikasi, dari teks lagu Ligar dengan konversi ’conversion’ pemutarbalikan (Lihat Sardjono, 1986). Fungsi semiotik teks hipogram untuk penyajian makna maksud. Matriks teks: Berhati-hati menjaga perbuatan karena ada pembalasan. Rumpaka ini mengingatkan untuk berhati-hati dalam berbuat, membuka hijab (alangan) hati supaya dapat menangkap suara hati nurani .

(20)

Rumpaka Asmarandana Erang ini merupakan pada pertama, yang sangat dikenal baik oleh anak-anak maupun orang dewasa, ditembangkan dalam sejumlah lagu, di antaranya Lagu

Wani-Wani ’Berani-berani’ Surupan Pelog (Sobirin, 1987: 65) dan Harempoy ’Berjalan

Merendah’ Laras Salendro (?) (Sobirin, 1987: 133). Teks ini dipandang dari sudut arti sebagai satu rangkaian informasi, tentang menjalani kehidupan.

Eling memiliki arti iman, atau ingat. Makna eling dalam teks ini, eling menurut Tasawuf yakni Manunggaling kaula-Gusti, menghadirkan Allah di dalam Badan Rohani (bermakrifat). Allah ber-tajalli kepada manusia yang dikehendaki-Nya yaitu manusia yang mampu menghilangkan hijab (alangan) pada dirinya, manusia yang selalu berada pada jalan yang diridoi-Nya. Badan Rohani ini disebut juga Nurullah/Rasa Rasulullah, ialah Nur yang diciptakan Allah pada awal penciptaan manusia (Wawacan Jaka Ula Jaka Uli). Badan

Rohani/Nurullah/Rasa Rasulullah ini merupakan inti kedirian manusia, kemudian manusia

setelah mengembara di dunia fana, harus bisa kembali ke Kesucian Awal (Lihat uraian selanjutnya). Para Sufi menyebut Kesucian Awal ini sebagai “Lembur” ‘Kampung Halaman Sejati’ (Tentang pengembaraan manusia di dunia fana, lihat hipogram lainnya pada pupuh

Sinom Surupan Sorog - Salendro (Sobirin, 1987: 127)

Wawayangan dari kata wayang, yaitu kesenian pergelaran wayang, kesenian asli Nusantara. ”Beberapa ahli sepakat, wayang telah ada kurang lebih seribu tahun SM” (Mulyono, 1978: 54). Hipogram wayang, terdapat dalam “naskah Sunda Kuno Sewaka

Darma dari Kabuyutan Ciburuy yang diperkirakan ditulis ketika Agama Hindu/Budha masih

dianut masyarakat” (Sardjono., dkk, 1987: 4). Di dalam teks naskah tersebut sudah ada kata

giringsing wayang (sejenis kain), serta kata wayang yang digunakan sebagai simbol dari

kehidupan manusia, yang dituturkan sebagai berikut:

Awaking ayeuna ini ai(ng) upama wayang, ra(m)pes beunang ngeureuti, dijieunan suku tangan, ditata pano(n) pangreungeu, geus ma urang dikudangkeun. Sakageui(ng) nu nyarita, mana leumpang dileumpangkeun, na leungeun dipa(ng)nyokotkeun, na ceuli dipa(ng)reungeukeun, na mata dipa(ng)nyeueungkeun, na irung dipa(ng)a(m)beukeun, mana nyarek dicarek(k)eun. ‘Kami seumpama wayang, siap untuk dipotong-potong, kaki tangan

dibuat, penglihatan dan pendengaran diatur, sesudahnya kami dikotakkan, dibangunkan oleh yang berceritera, bila berjalan dijalankan, lengan diambilkan, telinga dibantu untuk mendengarkan, mata dilihatkan, hidung diciumkan, bicara dibantu berbicara. (Ibid: 77 dan 62)

Hipogram lainnya pada pupuh Sinom Surupan Sorog - Salendro (Sobirin, 1987: 127):

(21)

menyembah kepada Yang Maha Suci, teguh kuat pendirian dalam menjalankan perbuatan yang diridoi-Nya.

Kata wawayangan, erat hubungannya dengan ngumbara ’mengembara’. Hipogram “mengembara” antara lain teks lagu Talutur ‘Nasihat/Pijakan’ pupuh Dangdanggula

Surupan Salendro:

Lemah cai ngageuing ka eling, banjar karang ngahudang panyawang, ngebrehkeun kereteg hate, Ngusikkeun daya kalbu, nungtun eling ka Purwadaksi, sarengkak paripolah, ngageuing nu linglung, anu lewang sumoreang, geus pinasti elingna engke di akhir, waktuna balitungan. ‘Tanah air mengingatkan untuk eling, kampung halaman membangkitkan

pandangan, (pandangan) memperlihatkan kepada gerak hati, menggerakkan daya batin, membimbing untuk eling kepada Asal. Gerak Hati, mengingatkan kepada yang linglung, yang diliputi kekhawatiran, sudah pasti (ia) ingat di penghujung (umur ?/di Alam Nanti), ketika penghitungan (baik buruk).’

Kata kunci eling terdapat tiga kali dengan makna berbeda, eling pertama dan kedua mengacu pada eling bermakrifat. Eling ketiga berarti ingat. Kata kunci lainnya lemah cai,

banjar karang, dan Purwadaksi, merupakan satu mata rantai dari rangkaian makna yang

mengacu pada Kampung Halaman Sejati dan Asal (Ina Lillahi Waina Ilaihi Rojiun dari Allah dan harus kembali kepada Allah, lihat pembahasan sebelumnya dan selanjutnya). Apabila hidup hanya diliputi kekhawatiran (urusan dunia), sehingga lupa kepada Asal, penyesalan di penghujung umur ketika akan menghadapi penghitungan baik buruk

Hipogram pada naskah-naskah Tasawuf bahwa, manusia diciptakan dalam ada

hawadis/ada indrawi/ dan Ada Kekal yakni Badan Rohani atau Nurullah. Karena manusia

Laa Hawla Wala Kuwwata Ila Billahi Aliyul Adzim, tak memiliki daya apa pun maka

hidupnya harus melalui jalan yang diridoi Allah. Tujuan hidup manusia Ina Lillahi Waina

Ilaihi Rojiun, Berasal dari Allah (Yang Maha Suci) dan harus bisa kembali kepada Allah .

Apabila perbuatan tersesat, (menuruti nafsu) akibatnya penyesalan, badanlah yang menderita. Dari teks sebelumnya, kemudian pada pernyataan larik ini, terdapat titik-titik atau kerompangan. Pengisian kerompangan makna ini terpenuhi dengan hipogram dari pemikiran Tasawuf tersebut bahwa, manusia oleh Allah dianugrahi Badan Rohani yang diemanasi sifat dua puluh Allah di antaranya mampu mendengar, melihat, berpikir, dan mempertimbangkan buruk baik. Dengan demikian apabila tersesat badan yang menderita. Badan pada kata ini kembali pada pengertian di atas yakni manusia memiliki raga hawadis dan Badan Rohani. Teks mengacu pada keduanya, apabila menjalani kesesatan maka badan akan mengalami penderitaan di dunia dan akhirat. Tentang siksaan dunia, di Desa Cimaja, Cikakak Sukabumi terungkap bahwa sorga dan neraka dialami di dunia dengan istilah naraka dan sawarga

majaji.

(22)

I yu nekahkeun raga, mamolahkeun sarira, ngalengkahkeun suku tangan, suku milang awak

urang, lamunna salah leumpangna, eta matak urang papa, leungeun lamun salah cokot, eta matak urang papa, ceuli lamun salah denge, eta matak urang papa, mata lamun salah jeueung, eta matak urang papa. Sungut lamun salah hakan inum, manguni salahna sabda, lamun sabda tan tahu, lamun hamo rahayu, lamun mo tiis babon, eta nu disalahkeun, nu mangka papa kalesa, sanyarah na angen-angen, samilang pangeusi raga, dadi piawak sarira, eta na mulut ngarurud, eta nu ngindit ngarampid, na maanan ka ra kawah. ‘Itu

mengolahkan raga, menggerakkan badan, melangkahkan kaki tangan, kaki menghitung badan kita, apabila salah langkah, itu menyebabkan kita sengsara, apabila tangan salah ambil, itu menyebabkan kita dosa, telinga bila salah mendengar, itu menyebabkan kita sengsara,apabila mata salah lihat, itu menyebabkan kita celaka, hidung bila salah cium, itu menyebabkan kita sengsara. Mulut bila salah makan minum, berkata salah ucap, bila perkataan tidak jujur, maka tidak akan selamat, bila sampai kurang pendapatan, itu yang disalahkan, itu yang menjadi sumber dosa, hanyut oleh angan-angan, menghitung mengejar nafsu, hanya memikirkan diri sendiri, itulah mulut yang mengurangi (pahala ?), yang menyebabkan pergi, yang membawa ke kawah (neraka). (Sardjono., dkk, 1987: 21 dan 59).

Pada upacara tradisional kelahiran bayi sekitar tahun 50-60-an di Kecamatan Talaga –

Kabupaten Majalengka memelihara penciuman, pendengaran, penglihatan, pengucap, disampaikan kepada bayi setelah dimandikan dengan istilah ditirag. Untuk memelihara tangan dan kaki dilakukan setelah seminggu pada upacara diradinan yakni mengikat pergelangan kaki tangan dengan benang.

Teks lagu Ceurik Rahwana ‘Tangisan Rahwana’ Surupan Sorog (Sobirin, 1987: 103) merupakan transformasi dari teks lagu Asmarandana Erang, sebagai berikut:

Kaduhung Akang kaduhung, kataji nu lain-lain, kaiwat goda rancana, kagembang ku Sintawati, geuning kieu balukarna, malindes malik ka diri. ‘Menyesal kakanda menyesal,

tertarik kepada perempuan lain, tergoda oleh nafsu, tergoda oleh Sintawati, begini akibatnya, membalik ke badan sendiri.

Teks hipogram lain, teks lagu Kapilara Surupan Salendro (?) pupuh Sinom (Sobirin, 1987: 114) sebagai berikut:

Ibun subuh nu maruntang, dina dangdaunan kai, bray beurang nyakclak ragragan, kawas tangis nu prihatin, kaendag ku angin leutik, nyakclakna munggah murubut, nyuat manah nu sungkawa, nu nuju nyaliksik diri, keur nyasaran temahna laku lampah. ‘Embun subuh

bergelantungan, pada dedaunan kayu, begitu siang datang menetes jatuh, seperti tangisan orang yang sedang prihatin, tertiup oleh sepoy-sepoy angin, tetesan embun semakin cepat, semakin menambah kesedihan orang yang menyadari kesalahan dirinya, menelusuri akibat dari perbuatan’

Penerapan teks hipogram pada teks lagu Asmarandana Erang dengan ekserp ’excerpt’ (pengintisarian) modifikasi ’modification’ (pengubahan), dan konversi ‘conversion’ ‘pemutarbalikan (Lihat Sardjono, 1986). Fungsi semiotik teks hipogram untuk penyajian makna maksud. Matriks teks: Manusia dianugrahi kemampuan berpikir, jangan sampai tersesat.

(23)

digunakan pada jalan Kehendak Pemilik-Nya. Oleh karena manusia dianugrahi kemampuan berfikir mampu mempertimbangkan buruk baik, manusia jangan sampai melalui jalan sesat yang berakibat penderitaan lahir dan batin, dunia dan akhirat.

10. Pangrawit

arti sebagai satu rangkaian informasi, tentang air yang jatuh di badan. Air adalah air, namun lebih jauh ada keterangan air jernih Cikahuripan. Cikahuripan berasal dari dua kata yakni cai ‘air’ dan hurip ‘hidup’. Hurip memiliki makna yang lebih dalam dari ‘hidup’ yang bisa ditelusuri pada hipogram berikut:

Guguritan Titis Tulis pupuh Asmarandana karya MAS (dalam Rusyana, 1980: 203): Jalma hirup hayang hurip, malar mulya jeung waluya, waras badan jempe hate ’Orang hidup ingin

bahagia lahir batin, supaya mulia di dunia dan selamat di akhirat, raga sehat hati tenang’ Hipogram lain pada teks lagu Jembar Manah pupuh Sinom Surupan Salendro (?) (Sobirin, 1987: 113) sebagai berikut:

Sok rajeun kememelangan, mikiran diri pribadi, ti mana jeung rek kamana, cenah hirup kudu hurip, waluya lahir batin, mana nu bener nu palsu... ’ Sekali-kali merasa hawatir,

memikirkan diri pribadi, dari mana dan akan ke mana, katanya hidup harus hurip, selamat lahir dan batin, mana yang benar mana yang salah.

Dalam pemahaman Tasawuf, hurip ’selamat lahir dan batin’ dengan ngahirupkeun hate ‘menghidupkan hati’/berdzikir di dalam hati/selalu menghadirkan Allah.’ pada Badan

Rohani. Pada teks lagu Pangrawit, terdapat kerompangan. Pemahaman Tasawuf ini

merupakan hipogram untuk menjembatani pemaknaan: ”Apabila (Cikahuripan) mengenai badan, tentu terasa dingin, dingin sampai ke hati, menyusup ke jantung.”

Hipogram teks lagu Ciawiyan, pupuh Asmarandana Surupan Salendro (? )(Sobirin, 1987: 113) sebagai berikut:

Tengtrem nyungsi nu kiwari, pibekalan ngudag jaga, tur teu poho ka bareto, keur urang

diwawadian, kudu jembar panalar, mun mikarep maksud luhung, babaran kamanusaan.

(24)

Kemudian pernyataan, “namun apabila bukan miliknya, tak meresap seperti menimpa daun bolang.” Di dalam Teosofi Tasawuf dikatakan, apabila pada diri manusia terlalu banyak

hijab (alangan karena terlalu banyak menyimpang dari jalan Allah) maka tidak tidak bisa

menyerap dan menyinarkan Nurullah tersebut (menyinarkan dalam arti bermakrifat kepada Allah). Di dalam hipogram Wawacan Buwana Wisesa, hijab dieksplisitkan, yaitu apabila lisan tidak menyatu dengan hati.

Penerapan teks hipogram pada teks lagu Pangrawit dengan modifikasi ’modification’ (pengubahan) (Lihat Sardjono, 1986). Fungsi semiotik teks hipogram untuk penyajian makna maksud. Matriks teks: Menerima dan tidak menerima Nurullah. Teks lagu Pangrawit menasihatkan untuk menghilangkan alangan (hijab) supaya mampu menerima Nurullah.

11. Tahajud

dosa hamba tak bisa dirinci lagi karena besarnya

hamba memohon taufik hidayah-Mu dilimpahkan

kepada hamba yang hina ingin husnul hotimah

semoga Engkau memenuhi permintaan hamba

(25)

yang memanggil-manggil Ilahi Robbi - Tuhan Penguasa Alam. Selanjutnya fokus narasi aku lirik yang memohon kepada Penguasa Alam. Adapun doa tersebut; memohon ampunan dari dosa-dosa besar, akan tunduk kepada kehendak-Nya, mendapat taufik hidayah, dan memohon husnul hotimah. Teks ini dipandang dari sudut arti sebagai satu rangkaian informasi, tentang permohonan kepada Tuhan.

Hipogram menyeru pada Penguasa Alam dari teks lagu Tahajud ini di antaranya teks lagu

Sumambat ’Menyeru’ dan Dangdanggula Madenda sebagai berikut:

Horeng kitu sugri nu kumelip, nu lumampah di saampar jagat, butuh ku Gusti Yang Manon, pada nyuhunkeun tulung, siang wengi mugi dijaring, diraksa salamina, teu petot menekung, pada ear maridangdam, sumambatna mugia hasil ngajadi, maksad teh tinekanan. ’Ternyata

semua makhluk hidup, yang berkeliaran di seluruh jagat, butuh oleh Gusti Yang Manon (Tuhan Yang Maha Melihat), (mereka) sama-sama memohon, siang malam dilindungi, dijaga selamanya, tak putus-putusnya tunduk, semuanya menyeru, seruannya semoga, maksud terlaksana.

Hipogram teks Lumengis Surupan Sorog pupuh Asmarandana (Sobirin, 1987: 83):

Tina katunaan diri, najan hirup tanpa guna, cing atuh Gusti Yang Manon, mugi abdi tangtayungan, saneskara nu tumiba, abdi neda sih pitulung, pitulung anu utama ’Walau

hidup tanpa ilmu, Wahai Gusti Yang Manon (Tuhan Yang Maha Melihat), hamba memohon pengasih dan pertolongan, terhadap segala-sesuatu yang menimpa hamba, pertolongan yang utama.”

Hipogram teks lagu Kinanti Tunggara Surupan Sorog (Sobirin, 1987: 38):

Duh Gusti nu Maha Agung, Nu Luhur tur Welas Asih, Abdi nyuwun kaweningan, Pangasihna Dampal Gusti, mugi kersa nangtayungan, mikawelas ka sim abdi. ’Duh Tuhan Yang Maha

Agung, Yang Maha Mulia Pengasih dan Penyayang, hamba mohon keridoan, Pengasih-Mu, semoga, berkenan melindungi, mengasihi hamba.’

Hipogram teks lagu Kagagas Surupan Sorog (?) pupuh Kinanti (Sobirin, 1987: 16) Abdi nandangan paudur, lantaran kepegat asih, horeng kieu karasana, ari anu sanes tanding, antosan abdi antosan, ngantosan pitulung Gusti. abdi mo weleh panuhun, ka Gusti Robul Ijati, Mugi Gusti nangtayungan, ka diri nu keur prihatin, duh tobat abdi teu kiat, tebihkuen tina berewit. ’Hamba mengalami kenyerian, karena terputus kasih, begini rasanya, (dengan

orang) yang lain martabatnya, hamba menunggu, menunggu pertolongan-Mu, hamba tak kan berhenti memohon.

Hipogram ”Akan tunduk pada Kehendak-Mu” di antaranya teks berikut:

Teks lagu Tugenah Surupan Sorog pupuh Asmarandana (Sobirin, 1987: 79):

Takdir teu beunang dipungkir, kadar teu beunang disinglar, sihoreng ari papasten, teu

beunang dihalang-halang, tugenah taya kendatna, gurat kudrat ti Lohmahpud, papasten ti Maha Wenang. ’Takdir tak dapat dicegah, kadar tak tak dapat dihindar, ternyata kepastian

(Tuhan), tak dapat dialang-alangi, resah senantiasa, guratan kudrat dari Lohmahfud, kepastian dari Yang Maha Kuasa’

Hipogram lainnya pada teks berikut:

Duh Gusti kumaha abdi, jait tina kalaraan, abdi mah sumerah bae, da teu wasa ngalangkungan, da Gusti mah nu Kawasa, sok asa bae piraku, Gusti ikhlas ka makhlukna.

(26)

Hipogram teks lagu Pegat Jodo Surupan Salendro pupuh Kinanti (Sobirin, 1987: 115):

Hayang nanjung kawas batur, meureun kahalangan wisit, kulak canggeum bagja awak, kapan cenah mungguh jalmi, kasengker ku tutulisan, meureun kitu tulis kuring. ’Keinginan

beruntung seperti orang lain, mungkin teralang oleh nasib, (tentang) ukuran keberuntungan badan, bukankah manusia terikat oleh tulisan diri, kiranya begitulah tulisan nasibku.’

Hipogram teks lagu Cinta Waas Surupan Sorog pupuh Asmarandana karya RE Suarakusumah (Sobirin, 1987: 50), sebagai berikut:

Najan ceurik da geus takdir, najan aral da geus kadar,(Gusti ampun), rek cerewed da papasten, henteu beunang dihalangan (Aduh), sanajan meuntas lautan, anging lamun nyukcruk hirup, nyasaran lampah sorangan. ”Walau menangis sudah takdir, walau tak

menerima sudah kadar diri, akan cerewet sudah kepastian Tuhan, tak bisa dialangi, walau menyebrangi lautan, hanya tinggal menjalani hidup, kemudian menjaga perbuatan diri’

Hipogram pupuh Dangdanggula (Sobirin, 1987: 122) sebagai berikut:

Moal aya satungkebing langit, sakuriling jagat pramudita, gumelar hayang diereh, kabeh bangsa samaksud, kedal lisan bari jumerit, wakca sabalakana, pada nyebut embung, dijajah iwal ku Allah, nu ngersakeun ngagelarkeun bumi langit, katut sapangeusina. ’Tak ada di

seluruh langit, seluruh jagat, hidup ingin dijajah, semua bangsa satu maksud, bertutur kata sambil memohon di hati, berterus terang, sama mengatakan tak mau dijajah kecuali oleh Allah, yang Menghendaki Menggelar bumi langit, beserta isinya.’

Penerapan teks hipogram pada teks lagu Tahajud dengan modifikasi ’modification’ (pengubahan) (Lihat Sardjono, 1986). Fungsi semiotik teks hipogram untuk penyajian makna maksud. Matriks teks: Memohon dan menyatakan kerendahan. Teks lagu Tahajud memanjatkan doa agar diampuni segala dosa, memperoleh taufik hidayah, husnul hotimah.

IV Kesimpulan

Persentase Rumpaka Nasihat dan Doa terdapat 14,5% dari jumlah lagu; dilihat dari sejarah

sastra maupun sejarah tembang, memiliki benang merah yang jelas; terdapat

rumpaka-rumpaka yang sangat dikenal di masyarakat, lahir dalam bentuk pupuh, bukan pupuh, atau

sisindiran; dalam jenis pupuh, Pucung, Kinanti, Asmarandana, Sinom, dan Dangdanggula,

dalam surupan Pelog, Sorog, dan Madenda. Pemikiran yang menjadi ide teks baik dalam nasihat (hablum minannas) maupun dalam doa (hablum minallah) merupakan genre religius dengan religi Islam.

Setiap ide dalam teks memiliki hipogram yang banyak, dengan demikian ide-ide yang terkandung dalam Rumpaka Tembang Cianjuran yang berisi Nasihat dan Doa merupakan landasan dalam pandangan hidup masyarakat Sunda serta di antaranya terdapat teks yang mengandung kebenaran universal diterima pada zaman Islam dan pra-Islam.

(27)

karena kesombongan menuju kebinasaan; pandai menghargai orang lain, orang lain untuk dijadikan teman dalam tolong-menolong, jangan berselisih karena perselisihan menimbulkan kehilangan akal sehat; berdzikirlah di hati selalu, membuka hijab (alangan) hati supaya dapat menangkap suara hati nurani/Nurullah; jangan terlena oleh dunia karena hidup selalu ditunggu ajal; apabila menemui kesulitan jangan terlalu bersedih, memohon kepada Tuhan Pemilik Kasih Sayang yang menurunkan penderitaan dan kebahagiaan; harus disadari bahwa segala kemampuan diri baik lahir maupun batin hanyalah titipan, harus digunakan pada jalan Kehendak Pemilik-Nya; dan jangan melalui jalan sesat yang berakibat penderitaan lahir dan batin. Doa yang dipanjatkan dalam Rumpaka Tembang yaitu minta diampuni segala dosa, memperoleh taufik hidayah, dan husnul khotimah.

DAFTAR PUSTAKA

Culler, Jonathan, 1975 Structuralism and Linguistic Models (Part One), Great Britain: Unwin Brother Limited.

Derrida, Jacdues 2002 Dekonstruksi Spritual. Merayakan Ragam Wajah Spirtual. Edisi Kedua. Alih bahasa oleh: Firmansyah Agus. Dari judul asli buku:

Off Spirit: Heidegger and the Question. Yogyakarta: Jalasutra. Ischak, C. Aah 1988 Mang Bakang dan Tembang Cianjuran. Bandung : Binakarya.. Kalsum 2006 Wawacan Batara Rama: Edisi Teks, Kajian Struktur, dan

Intertekstualitas, Ringkasan Disertasi. Bandung:

Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.

Kurnia, Ganjar & Arthur S. Nalan. 2003 Deskripsi Kesenian Jawa Barat. Diterbitkan atas kerjasama Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat & Pusat Dinamika Pembangunan UNPAD.

Mulyono, Sri 1978 Wayang dan Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya. Penerbit: PT. Gunung Agung, Jakarta.

Mutiah, Hj. 1980 Sejarah Asal Usulna Cirebon. Diedisi oleh Nandang Rusnandar. Riffaterre, Michael. 1978 Semiotics of Poetry . Library of Conggress Cataloging in Publication Data. Bloomington & London: Indiana University Press. Rosidi, Ajip, 1989 Haji Hasan Mustapa jeung Karya-Karyana. Bandung: Pustaka. Rusyana, Yus & AmiRaksanagara, 1980 Puisi Guguritan Sunda Jakarta: P & K. Samson, 2006. Analisis Pesan Komunikasi Lagu Tahajud Dalam Tembang Sunda

Cianjuran. Skripsi, Bandung: Program Ekstensi Fikom-Unpad

Sardjono Pradotokusumo, Partini 1986 Kakawin Gajah Mada. Disertasi. Cetakan . Pertama. Bandung: Binacipta.

Sardjono, Partini., dkk 1987 Naskah Sunda Kuna. Bandung: P & K Jabar. Sobirin, 1987. Lagu-Lagu Mamaos Tembang Sunda Laras Pelog, Stesilan.

(28)

Su’eb, Ace Hasan. 1997 Wawasan Tembang Sunda. Bandung: Geger Sunten. Suriningrat, Bayu, 1982 Sajarah Cianjur sareng Raden Aria Wira Tanu Dalem

Cikundul Cianjur, Jakarta: Rukun Warga Cianjur

Wiratmadja, Apung S. 1964 Sumbang Asih Kana Tembang Sunda. Bandung:

Wiratmadja, Apung S. 1996 Kuring Jeung Tembang Sunda. Bandung: Citra Mustika.

Naskah:

1. Wawacan Buwana Wisesa, 2. Wawacan Ganda Sari, 3. Wawacan Pulan Palin, 4.

Referensi

Dokumen terkait