SKRIPSI
AKIBAT HUKUM DARI WANPRESTASINYA
DEVELOPER DALAM PERJANJIAN KERJASAMA
DALAM BIDANG PEMBANGUNAN,
PENGEMBANGAN, PEMASARAN DAN PENJUALAN
TOWN HOUSE YANG BERTEMPAT DI KABUPATEN
BADUNG
I PUTU DONNY LAKSMANA PUTRA NIM. 1116051076
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
AKIBAT HUKUM DARI WANPRESTASINYA DEVELOPER
DALAM PERJANJIAN KERJASAMA DALAM BIDANG
PEMBANGUNAN, PENGEMBANGAN, PEMASARAN DAN
PENJUALAN TOWN HOUSE YANG BERTEMPAT DI
KABUPATEN BADUNG
Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana
I PUTU DONNY LAKSMANA PUTRA
NIM.1116051076
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI PEMBIMBING
PADA TANGGAL 20 Januari 2016
Pembimbing I
I Nyoman Darmadha, SH.,MH
NIP. 195412311981031033
Pembimbing II
Om Swastiastu
Puji astungkara kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala Asung Kerta dan
Wara Nugrahanya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Akibat Hukum Dari Wanprestasinya Developer Dalam Perjanjian Kerjasama Dalam Bidang Pembangunan, Pengembangan, Pemasaran dan Penjualan Town House Yang
Bertempat Di Kabupaten Badung”.
Mengingat kemampuan penulis yang terbatas, sehingga penulisan skripsi ini masih
jauh dari kata sempurna.Atas kekurangan dalam penulisan skripsi ini penulis sangat
mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun guna penyempurnaan dari
penulisan skripsi ini.
Maka pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang memberikan pengarahan serta bimbingan guna
penyelesaian skripsi ini kepada :
1. Bapak I Nyoman Darmadha S.H., M.H., Pembimbing I yang telah memberikan
bimbingan serta petunjuk dalam menyelesaikan skripsi.
2. Bapak I Nyoman Bagiastra S.H., M.H., Pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan serta arahan dalam penulisan skripsi.
3. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H., M.H., Dekan Fakultas Hukum
Universitas Udayana, beserta Pembantu Dekan I, II dan III Fakultas Hukum
Universitas Udayana, atas dukungan dan kepercayaan yang diberikan untuk dapat
4. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, S.H., M.H., Ketua Bagian Hukum Perdata
Fakultas Hukum Universitas Udayana.
5. Bapak I Gde Putra Ariana, S.H., M.Kn, Dosen Pembimbing Akademik di Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
6. Bapak/Ibu Pegawai Administrasi Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah
banyak membantu selama mengikuti kuliah di Fakultas Hukum Universitas
Udayana.
7. Bapak I Nyoman Suada, yang telah memberikan keterangan-keterangan dalam
penulisan skripsi ini.
8. Bapak Putu Sasmita Darma Putrakusuma, yang telah memberikan informasi
dalam penulisan skripsi ini.
9. Bapak I Gusti Kardinal Made Maswibawa, S.H., M.Kn, yang telah mendukung
dan memberikan keterangan-keterangan dalam penulisan skripsi ini.
10.Seluruh staff Kantor Notaris/PPAT I Gusti Kardinal Made Maswibawa, S.H.,
M.Kn.
11.Bapak, Ibu, Adik, Kakek saya yang telah banyak mendukung dan memberikan
semangat serta doa kepada saya baik dalam menempuh pendidikan di Fakultas
Hukum Universita Udayana maupun di dalam penyelesaian skripsi ini.
12.Keluarga besar di Kaje Kangin, Belong Gede Denpasar dan seluruh kerabat,
sahabat keluarga dan orang tercinta yang telah mendukung saya dalam menempuh
pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.
13.Teman-teman Fakultas Hukum angkatan 2011 yang tidak dapat disebutkan satu
persatu dalam skripsi ini yang telah membantu penulis dalam bentuk pikiran,
Akhirnya pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa penulis selalu berdoa untuk beliau-beliau
tersebut agar mendapatkan imbalan-imbalan dan pahala serta selalu mendapatkan kasih dan
berkat dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Denpasar, 20 Januari 2016
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan ini penulis menyatakan bahwa Karya Ilmiah/ Penulisan Hukum/ Skripsi ini
merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang
pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan
disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi
ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau
pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi
akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.
Demikian Surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggung jawaban ilmiah tanpa
ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.
Denpasar, 20 Januari 2016
Yang menyatakan,
I Putu Donny Laksmana Putra
HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii
KATA PENGANTAR ... vi
HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... vii
DAFTAR ISI ... viii
HALAMAN ABSTRAK ... xi
HALAMAN ABSTRACT ... xii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 8
1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 8
1.4 Orisinalitas Penelitian ... 9
1.5 Tujuan Penelitian ... 11
1.5.1 Tujuan Umum ... 11
1.5.2 Tujuan Khusus ... 12
1.6 Manfaat Penelitian ... 12
1.6.1 Manfaat Teoritis ... 12
1.6.2 Manfaat Praktis ... 13
1.7 Hipotesis ... 13
1.8.1 Jenis Penelitian ... 15
1.8.2 JenisPendekatan ... 16
1.8.3 Data dan Sumber Data ... 16
1.8.4 Teknik Pengumpulan Data ... 17
1.8.5 Teknik Analisis Data ... 18
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI, PERJANJIAN KERJASAMA, dan DEVELOPER 2.1Wanprestasi ... 20
2.1.1 Pengertian Wanpretasi ... 20
2.1.2 Bentuk-Bentuk dan Syarat Terjadinya Wanprestasi ... 23
2.2Perjanjian Kerjasama ... 26
2.2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama ... 26
2.2.2 Asas-Asas dan Ketentuan Umum Perjanjian Kerjasama ... 30
2.3Developer ... 37
2.3.1 Pengertian Developer ... 37
2.3.2 Hak dan Kewajiban Developer ... 38
BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL DARI WANPRESTASI 3.1Perjanjian Kerjasama I Nyoman Suada dengan Putu Sasmita Darma Putrakusuma ...40
3.2Akibat Hukum Yang Timbul Dari Wanprestasi Perjanjian Kerjasama ... 44
52
4.2Akibat Hukum Atas Pembatalan Perjanjian Kerjasama ... 57
BAB V PENUTUP
5.1Simpulan ... 68
5.2Saran ... 69
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
Pertumbuhan ekonomi mendorong seseorang untuk lebih kreatif dalam mengembangkan sebuah bisnis, dalam hal tesebut perjanjian dapat digunakan untuk menunjang sebuah bisnis agar makin maju.Memberikan pemahaman mengenai peranan Perjanjian Kerjasama dan akibat hukum apabila terjadi pembatalan dalam perjanjian kerjasama bidang pembangunan, pengembangan, pemasaran penjualan town house dan toko.
Digunakan metode penelitian empiris yang bertujuan untuk melihat langsung fakta-fakta di lapangan mengenai akibat hukum dari wanprestasinya developer dalam perjanjian kerjasama bidang pembangunan, pengembangan, pemasaran dan penjualan town house.Mempergunakan analisis deskriptif kualitatif apabila keseluruhan data telah didapatkan.
Salah satu bentuk hukum perjanjian adalah perjanjian kerjasama dalam bidang pembangunan town house yang melibatkan antara I Nyoman Suada dengan Putu Sasmita Darma Putrakusuma, yang mana ada wanprestasi yang dilakukan sehingga menimbulkan akibat hukum.Akibat hukum yang harus ditanggung bisa dikenakan biaya ganti rugi dan pembatalan perjanjian. Semua proses perjanjian maupun penyelesaian sengketa tersebut memerlukan itikat baik dalam penyelesaiannya.
ABSTRACT
Economic growth encourage people to be more creative in developing a business, in terms of proficiency level agreements can be used to support a business in order to become more advanced. Providing an understanding of the role of the Partnership Agreement and the legal consequences in case of cancellation of the agreement of cooperation in the construction, development, sales marketing town house and shop.
Used methods of empirical research aimed to see first hand the facts on the ground regarding the legal consequences of default developer in the field of development cooperation agreements, development, marketing and sale town house. Using descriptive qualitative analysis when all the data has been obtained.
One of the legal form of agreement is a cooperation agreement in the field of construction of town houses involving between I Nyoman Suada with Putu Sasmita Darma Putrakusuma, where there tort committed giving rise to legal consequences. The legal consequences to be borne could be charged damages and cancellation of the agreement. All agreements and dispute resolution processes that require goodwill in its completion.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan bermasyarakat orang-orang tidak akan terlepas dari sebuah
hubungan dalam suatu interaksi sosial yang mana sebuah interaksi tersebut dapat
menimbuklan satu kesepakatan antara orang yang satu dengan orang lainnya.
Kesepakatan yang timbul tersebut didasari oleh beberapa kepentingan yang mereka
miliki satu sama lain, didalam suatu kesepakatan memiliki sebuah tujuan yang sama,
yang mana hal tersebut dimaksudkan untuk mempermudah mencapai tujuan yang
diinginkan. Suatu Perikatan, lahir karena suatu persetujuan, kesepakatan atau karena
undang-undang. Adapun yang dimaksud dengan “perikatan” oleh buku III
KUHPerdata, ialah : Suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara
dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari
yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.1 Bentuk perikatan yang paling
sederhana, ialah perikatan yang masing-masing pihak hanya ada satu orang dan satu
prestasi yang seketika juga dapat ditagih pembayarannya. Disamping bentuk yang
paling sederhana itu, terdapat berbagai macam perikatan lain, yaitu :
a. Perikatan bersyarat (voorwaardelijk).
1
b. Perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu (tijdsbepaling).
c. Perikatan yang membolehkan memilih (alternatief).
d. Perikatan tanggung-menanggung (hoofdelijk atau solidair).
e. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi.
f. Perikatan dengan penetapan hukuman (strafbeding).2
Persetujuan merupakan bagian penting yang menjadi dasar dari terjadinya
perjanjian. Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat
ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena
alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan subyek
hukum untuk berbuat sesuatu, kemudian mereka mengadakan negosiasi dengan pihak
lain, dan sudah barang tentu keinginan itu sesuatu yang baik. Itikad baik yang sudah
mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua belah
pihak sebagai suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut prestasi yang berupa
penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu
perbuatan.
Sebagaimanaa ditentukan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, agar dapat terjadi persetujuan yang sah harus memenuhi 4 syarat:
2
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu hal tertentu, dan
4. Suatu sebab yang halal.
Keempat syarat tersebut biasa juga disingkat dengan sepakat, cakap, hal tertentu
dan sebab yang halal.3
Dua syarat pertama disebut juga dengan syarat subyektif, sedangkan syarat
ketiga dan keempat disebut syarat obyektif. Dalam hal tidak terpenuhinya unsur
pertama (kesepakatan) dan unsur kedua (kecakapan) maka kontrak tersebut dapat
dibatalkan. Sedangkan apabila tidak terpenuhinya unsur ketiga (suatu hal tertentu)
dan unsur keempat (suatu sebab yang halal) maka kontrak tersebut adalah batal demi
hukum.
Suatu persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di
dalamnya melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut
berdasarkan keadilan, kebiasaan atau undang-undang. Syarat-syarat yang selalu
diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam suatu
persetujuan, walaupun tidak dengan tegas dimasukkan di dalamnya.
Perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan
diri terhadap satu orang lain atau lebih. Pengertian ini mengundang kritik dari banyak
3
Ahmadi Miru, 2010, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT RajaGrafindo, Jakarta, h.
ahli hukum, karena menimbulkan penafsiran bahwa perjanjian tersebut yang bersifat
sepihak, padahal dalam perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang bersifat timbal
balik dikedua belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing.
Untuk itu secara sederhana perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan
dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain.
Menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap lahir
pada saat pihak yang melakukan penawaran (offerte) menerima jawaban yang
termasuk dalam surat tersebut, sebab detik itulah yang dapat dianggap sebagai detik
lahirnya kesepakatan. Walaupun kemudian mungkin yang bersangkutan tidak
membuka surat itu, adalah menjadi tanggungannya sendiri. Sepantasnyalah yang
bersangkutan membaca surat-surat yang diterimanya dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya, karena perjanjian sudah lahir. Perjanjian yang sudah lahir tidak dapat
ditarik kembali tanpa izin pihak lawan. Saat atau detik lahirnya perjanjian adalah
penting untuk diketahui dan ditetapkan, berhubung adakalanya terjadi suatu
perubahan undang-undang atau peraturan yang mempengaruhi nasib perjanjian
tersebut, misalnya dalam pelaksanaannya atau masalah beralihnya suatu risiko dalam
suatu perjanjian jual beli.
Perjanjian harus ada kata sepakat kedua belah pihak karena perjanjian
merupakan perbuatan hukum bersegi dua atau jamak. Perjanjian merupakan
perbuatan-perbuatan yang untuk terjadinya disyaratkan adanya kata sepakat antara
dalam hukum perjanjian ini dikenal dengan asas konsensualisme. asas ini adalah pada
dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya sudah dilahirkan sejak detik
tercapainya kata sepakat.
Syarat pertama di atas menunjukkan kata sepakat, maka dengan kata-kata itu
perjanjian sudah sah mengenai hal-hal yang diperjanjikan. Untuk membuktikan kata
sepakat ada kalanya dibuat akta baik autentik maupun tidak, tetapi tanpa itupun
sebetulnya sudah terjadi perjanjian, hanya saja perjanjian yang dibuat dengan akta
autentik telah memenuhi persyaratan formil.
Subyek hukum atau pribadi yang menjadi pihak-pihak dalam perjanjian atau
wali/kuasa hukumnya pada saat terjadinya perjanjian dengan kata sepakat itu dikenal
dengan asas kepribadian. Dalam praktek, para pihak tersebut lebih sering disebut
sebagai debitur dan kreditur. Debitur adalah yang berhutang atau yang berkewajiban
mengembalikan, atau menyerahkan, atau melakukan sesuatu, atau tidak melakukan
sesuatu. Sedangkan kreditur adalah pihak yang berhak menagih atau meminta
kembali barang, atau menuntut sesuatu untuk dilaksanakan atau tidak dilaksanakan.
Menurut Treitel, “freedom of contract” digunakan untuk merujuk kepada dua
asas umum (general principle). Asas umum yang pertama mengemukakan bahwa
“hukum tidak membatasi syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak, asas
tersebut tidak membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu perjanjian hanya karena
syarat-syarat perjanjian tersebut kejam atau tidak adil bagi satu pihak. Jadi ruang
sendiri isi perjanjian yang ingin mereka buat, dan yang kedua bahwa pada umumnya
seseorang menurut hukum tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjnjian.
Intinya adalah bahwa kebebasan berkontrak meliputi kebebasan bagi para pihak
untuk menentukan dengan siapa dia ingin atau tidak ingin membuat perjanjian. Tanpa
sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat
tidak sah. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang
diberikan dengan dipaksa adalah contradictio in terminis. Adanya paksaan
menunjukkan tidak adanya sepakat. Yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah
untuk memberikan pihak kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada
perjanjian yang dimaksud atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian yang
dimaksud. Dengan akibat transasksi yang diinginkan tidak dapat dilangsungkan.
Inilah yang terjadi dengan berlakunya perjanjian baku di dunia bisnis pada saat ini.
Kontrak atau perjanjian merupakan suatu peristiwa hukum dimana seorang
berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu, selain itu kontrak merupaakan suatu peristiwa yang konkret dan
dapat diamati, baik itu kontrak yang dilakukan secara tertulis maupun tidak tertulis.
Hal ini berbeda dari perikatan yang tidak konkret, tetapi abstrak atau tidak dapat
diamati karena perikatan itu merupakan akibat dari adanya kontrak tersebut yang
menyebabkan orang atau para pihak terikat untuk memenuhi apa yang dijanjikan.4
4
Namun belakangan ini masih banyak orang yang belum memahami tentang
arti suatu perjanjian akan tetapi melakukan perjanjian, yang mana hal tersebut dapat
membahayakan dirinya sendiri dan orang lain. Karena akibat dari belum memahami
arti sebuah perjanjian dengan benar maka orang lain yang memiliki kelebihan tentang
perjanjian dapat dengan mudah memanfaatkan dan melakukan kecurang-kecurangan
dengan iming-iming uang yang akan diberikan lebih banyak atau berlipat ganda.
Salah satu contoh hukum perjanjian adalah perjanjian kerjasama dalam bidang
pembangunan town house yang melibatkan antara I Nyoman Suada dengan Putu
Sasmita Darma Putrakusuma, Sarjana Sience Terapan Pariwisata, kerjasama tersebut
bergerak pada bidang pengaplingan, pembangunan, pengembangan, pemasaran dan
penjualan 14 unit town house dan 1 unit toko diatas tanah tersebut yang bertempat di
Jalan Siligita, Benoa, Badung, Bali. Perjanjian ini dilakukan untuk mengikatkan diri
antara satu dengan yang lain dengan memiliki tujuan yang sama. Dalam penjanjian
ini bertujuan untuk mengembangkan lahan atau tanah, yang mana lahan tersebut akan
dikelola dan dibangun beberapa town house dan toko dan setelah jadi akan dijual atau
dipasarkan, tetapi pada kenyataannya itu tidak berjalan sesuai dengan apa yang ada
dalam perjanjian yang dibuat. Karena salah satu pihak yang melakukan perjanjian
tersebut melakukan wanprestasi yang mengakibatkan salah satu pihak mengajukan
pembatalan perjanjian. Pembatalan perjanjian menimbulkan akibat hukum bagi para
pihak. Dengan adanya pembatalan perjanjian penulis tertarik untuk melakukan
Pemasaran dan Penjualan Town House Yang Bertempat Di Kabupaten Badung”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang akan
dibahas dalam penulisan skipsi ini adalah:
1. Apa akibat hukum dari wanprestasinya developer dalam perjanjian kerjasama
bidang pembangunan, pengembangan, pemasaran penjualan town house dan
toko ?
2. Bagaimana akibat hukum apabila terjadi pembatalan dalam perjanjian
kerjasama tersebut ?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka kiranya perlu terlebih dahulu
dikemukakan mengenai ruang lingkup masalah mengenai akibat hukum dari
wanprestasinya developer dalam perjanjian kerjasama bidang pembangunan,
pengembangan, pemasaran penjualan town house dan toko yang bertempat Di
Kabupaten Badung. Dalam penyusunan skripsi maka perlu ditetapkan secara tegas
tentang isi pokok yang dibahas agar tidak menyimpang dari pokok permasalahan
yang ada, maka fokus pembahasan akan menitikberatkan pada hal-hal sebagai berikut
Pertama akan dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai akibat hukum dari
wanprestasinya developer dalam perjanjian kerjasama, dilanjutkan pembahasan kedua
mengenai akibat hukum apabila terjadi pembatalan dalam perjanjian kerjasama
bidang pembangunan, pengembangan, pemasaran penjualan town house dan toko.
1.4 Orisinalitas Penelitian
Dengan ini penulis menyatakan bahwa tulisan yang berjudul Akibat Hukum
Dari Wanprestasinya Develover Dalam Perjanjian Kerjasama Dalam Bidang
Pembangunan, Pengembangan, Pemasaran dan Penjualaan Town House Yang
Bertempat Di Kabupaten Badung adalah sepenuhnya hasil pemikiran dan tulisan yang
ditulis oleh penulis sendiri dengan menggunakan 3 (tiga) skripsi sebagai refrensi.
Beberapa peneliti yang berkaitan dengan penelitian ini dapat dikemukakan sebagai
berikut:
No Judul Penulis Rumusan Masalah
3 Faktor-Faktor Yang
Penulisan skripsi bagi seorang mahasiswa merupakan syarat akhir untuk
berhak menyandang gelar kesarjanaan yang sesuai dengan disiplin ilmu yang
dimiliki. Dalam penulisan skripsi ini ada dua tujuan pokok yaitu :
1.5.1 Tujuan umum
a. Melaksanakan Tri Darma Perguruan Tinggi, khususnya pada bidang
penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa.
b. Untuk mendalami teori dan menambah ilmu pengetahuan dalam hukum
terutama dalam hukum perjanjian.
d. Untuki meyumbangkan pikiran kepada yang membutuhkan pengetahuan
lebih mengenai perjanjian.
e. Mengembangkan diri mahasiswa untuk kedalam kehidupan masyarakat.
f. Pembulat studi mahasiswa untuk memenuhi persyaratan SKS dari jumlah
beban studi untuk memperoleh gelar sarjana hukum.
1.5.2 Tujuan Khusus
a. Untuk memahami akibat hukum dari wanprestasinya developer dalam
perjanjian kerjasama bidang pembangunan, pengembangan, pemasaran
penjualan town house dan toko.
b. Untuk memahami akibat hukum apabila terjadi pembatalan dalam
perjanjian kerjasama bidang pembangunan, pengembangan, pemasaran
penjualan town house dan toko.
1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Manfaat Teoritis
Bahwa melalui penelitian yang dilakukan maka dapat bermanfaat untuk
memberi masukan bagi ilmu pengetahuan dalam bidang hukum perjanjian dan
sebagai pemicu dalam mendewasakan cara berfikir, meningkatkan daya nalar,
memahami lebih mendalam menganai wanprestasi, perjanjian kerjasama dan
kepekaan terhadap masalah-masalah hukum yang terjadi dalam masyarakat sehingga
pada akhirnya menjadi insan yang mampu memecahkan masalah-masalah hukum
1.6.2 Manfaat Praktis
Untuk dapat mengetahui perwujudan secara nyata dalam bentuk serangkaian
proses perilaku pelaksanaan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum
perjanjian, yang diharapkan dapat memberi pengetahuan yang lebih dalam mengenai
akibat hukum dari wanprestasi dalam perjanjian kerjasama, pembatalan perjanjian,
dan ganti rugi akibat dari terjadinya wanprestasi developer.
1.7 Hipotesis
Perjanjian merupakan “suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan
hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak
berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak
lain berhak untuk menuntut pelaksanaan janji tersebut”.5
Yang dimaksud dengan perjanjian atau persetujuan menurut ketentuan Pasal
1313 KUHPerdata adalah sebagai berikut: “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih”. Adapun untuk sahnya suatu perjanjian-perjanjian yang akan dilakukan harus
memenuhi ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Hak dan kewajiban yang timbul didasarkan pada sebab tertentu yang membuat
terjadinya kesepakatan kedua belah pihak atas semua syarat perjanjian. Hal ini terikat
pada Pasal 1337 KUHPerdata yang menyatakan bahwa : “Suatu sebab terlarang,
5
Wiryono Prodjodikoro, 1981, Hukum Perdata tentang Persetujuan Tertentu, Sumut, Bandung,
apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau
ketertiban umum”.
Pasal 1340 KUHPerdata menjelaskan bahwa : “Perjanjian-perjanjian hanya
berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya”. Yang mana terdapat keterikatan yang
tidak dapat dilepas karena dalam melakukan perjanjian dibutuhkan hukum untuk
mengatur jalannya suatu perjanjian dengan baik.
Berdasarkan uraian dan rumusan masalah tersebut diatas, maka dapat
dikemukakan dua jawaban yang bersifat sementara yang masih perlu diteliti dan diuji
kebenarannya dengan penelitian yang obyektif sesuai dengan fakta-fakta yang ada,
kemudian dianalisa sehingga dari analisa tersebut dapat diyakini kebenarannya.
Hipotesis yang dapat ditarik adalah :
1. Akibat hukum dari wanprestasinya developer dalam perjanjian kerjasama
bidang pembangunan, pengembangan, pemasaran penjualan town house dan
toko dapat dijelaskan pada Pasal 1338 KUHPerdata semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali tapi jika kedua belah
pihak sepakat untuk menarik perjanjian itu maka perjanjian tersebut dapat
ditarik kembali, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang
dinyatakan untuk itu.
2. Akibat hukum apabila terjadi pembatalan dalam perjanjian kerjasama adalah
dilakukannya. Tujuan dari pembatalan perjanjian adalah membatalkan
perjanjian yang terdahulu dan akibat-akibat yang timbul di masa yang akan
datang telah ditiadakan. konskwensi kelanjutaan adalah apabila pembatalan
salah satu pihak tidak melaksanakaan kewajibannya maka pihak yang lain
dapat mengajukan gugatan revindikasi, sesuai yang terdapat pada Pasal 574
KUHPerdata.
1.8 Metode Penelitian
Robert Bogdan dan Steven J. Taylor mengatakan bahwa Metode adalah
proses, prinsip, dan prosedur dengan kita mendekati masalah-masalah dan mencari
jawaban. Dalam ilmu-ilmu sosial istilah ini berlaku untuk bagaimana seseorang untuk
melakukan penelitian.6
Metode Penelitian adalah cara kerja untuk dapat memahami obyek yang
menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Untuk dapat memahami
obyek dari skripsi ini maka digunakan pendekatan dan metode tertentu sehingga
dapat dihasilkan suatu karya ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Adapun
metode yang digunakan adalah sebagai berikut:
1.8.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah
penelitian empiris, yaitu pendekatan berdasarkan peraturan hukum yang memiliki
kaitan dengan permasalahan ini. Pendekatan emperis yaitu dilakukan dengan cara
6
melihat dan meneliti fakta-fakta di lapangan tentang akibat hukum dari
wanprestasinya developer dalam perjanjian kerjasama bidang pembangunan,
pengembangan, pemasaran dan penjualaan town house yang bertempat di Kabupaten
Badung.
1.8.2 Jenis Pendekatan
Adapun mengenai jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini :
1. Pendekatan Kasus ( The Case Approach )
Merupakan pendekatan yang dilakukan dengan menganalisis kasus yang
terjadi dengan melihat berkas-berkas yang berkaitan dengan kasus
tersebut dan melakukan sesi tanya jawab untuk menemukan solusi untuk
kasus tersebut.
2. Pendekatan Fakta ( The Fact Approach )
Pendekatan fakta digunakan bertujuan untuk mendapatkan informasi dari
I Gusti Kardinal Made Maswibawa, SH,.MKn, I Nyoman Suada, Putu
Sasmita Darma Putrakusuma yang merupakan narasumber dalam
permasalahan ini dan untuk menemukan jawaban permasalahan yang
dirumuskan dalam rumusan masalah.
1.8.3 Data dan Sumber Data
Adapun sumber data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini ada 2
1. Data Primer
yaitu data yang bersumber dari responden yang terlibat langsung dalam
kasus yang menjadi obyek penelitian yang diperoleh dari lapangan dengan
jalan mengadakan penelitian langsung ke lapangan yakni di Kantor
Notaris I Gusti Kardinal Made Maswibawa.SH,.MKn serta mendengarkan
dan menanyakan kepada para pihak tentang permasalahan ini.
2. Data Sekunder
Bahan hukum yang menunjang bahan hukum primer yang antara lain
berupa rancangan undang-undang, hasil penelitian, pendapat pakar
hukum, karya tulis hukum yang termuat dalam media massa, buku-buku
hukum (text book), jurnal-jurnal hukum.7 Dalam penelitian ini
menggunakan bahan hukum sekunder berupa hasil penelitian, buku-buku
hukum dan pendapat pakar hukum.
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,8 seperti Kamus Hukum
dan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dalam penelitian ini menggunakan
bahan hukum tersier berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia.
1.8.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang dipakai dalam penelitian ini terkait pengumpulan data yakni :
7
Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 182.
8
Amiruddin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.
1. Teknik Studi Dokumen
Teknik Studi Dokumen digunakan agar data yang diperoleh dari data yang
bersumber dari data kepustakaan yang relevan dengan permasalahan
penelitian dikumpulkan dengan cara membaca dan mencatat kembali data
yang dikumpulkan kemudian dikelompokkan secara sistematis.
2. Teknik Wawancara
Kegiatan wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan
keterangan-keterangan secara lisan melalui bercakap-cakap yang bermuatan tanya
jawab antara peneliti dan orang yang diteliti.9 Teknik Wawancara
digunakan agar data diperoleh melalui proses wawancara kepada
pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan penelitian di lapangan yaitu I
Nyoman Suada, Putu Sasmita Darma Putrakusuma, I Gusti Kardinal Made
Maswibawa, SH,.MKn, untuk memperoleh kebenaran informasi dan data
yang pasti.
1.8.5 Teknik Analisis
Data-data yang dikumpulkan berdasarkan data primer dan data sekunder
diolah dan dianalisa secara kualitatif. artinya data-data yang diperoleh dari beberapa
sumber yang dikumpulkan untuk mendapatkan data yang relevan dari masalah yang
diangkat, kemudian dianalisis secara deskriptif analisis, Yaitu dengan
9
Ade Saptomo, 2009, Pokok-Pokok Penelitian Hukum Empiris Murni Sebuah Alternatif,
menggambarkan secara lengakap tentang aspek-aspek tertentu yang bersangkutan
dengan permasalahan dan selanjutnya dianalisa kebenarannya.10
10
TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI, PERJANJIAN KERJASAMA, dan DEVELOPER
2.1 Wanprestasi
2.1.1Pengertian Wanprestasi
Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda “wanprestatie”
yang artinya tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan
terhadap pihak-pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan yang
dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena
undang-undang.
Pengertian mengenai wanprestasi belum mendapat keseragaman, masih
terdapat bermacam-macam istilah yang dipakai untuk wanprestasi, sehingga tidak
terdapat kata sepakat untuk menentukan istilah mana yang hendak dipergunakan.
Istilah mengenai wanprestasi ini terdaspat di berabgai istilah yaitu: “ingkar janji,
cidera janji, melanggar janji, dan lain sebagainya.
Dengan adanya bermacam-macaam istilah mengenai wanprestsi ini, telah
menimbulkan kesimpang siuran dengan maksud aslinya yaitu “wanprestsi”. Ada
beberapa sarjana yang tetap menggunakan istilah “wanprestasi” dan memberi
“pelaksanaan janji untuk prestasi dan ketiadaan pelaksanaannya janji untuk
wanprestasi”.
Untuk mengetahui wanprestasi lebih mendalam ada baiknya dahulu kita
mengenal yang dimaksud dengan prestasi. Prestasi adalah sesuatu yang wajib
dipenuhi oleh debidur dalam setiap perikatan.1 Pada Pasal 1234 KUHPerdata
menentukan bahwa “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat
sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu”. Dalam literature, hal tersebut lazim disebut
prestasi. Jadi, prestasi bukanlah objek perjanjian, akan tetapi cara pelaksanaan
perjanjian.
Seperti dijelaskan diatas, objek perjanjian adalah barang, maka cara
pelaksanaanya adalah dengan menyerahkan barang. Apabila objek perjanjian adalah
jasa, maka cara pelaksanaanya adalah dengan memberikan jasa.
Disamping cara pelaksanaan perjanjian berupa memberikan sesuatu, berbuat
sesuatu dan tidak berbuat sesuatu, ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata
menentukan juga bahwa “perjanjian harus dilaksanakan dengan etikat baik”. Etikad
1
Abdulkadir Muhammad, 1990, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung,
memperoleh suatu kebendaan dengan cara memperoleh hak milik”.2
Prestasi merupakan sebuah esensi daripada suaru perikatan. Apabila esensi
ini tercapai dalam arti dipenuhi oleh debitur maka perikatan itu berakhir. Agar esensi
itu dapat tercapai yang artinya kewajiban tersebut dipenuhi oleh debitur maka harus
diketahui sifat-sifat dari prestasi tersebut ,yakni :
1. Harus sudah tertentu atau dapat ditentukan
2. Harus mungkin
3. Harus diperbolehkan (halal)
4. Harus ada manfaatnya bagi kreditur
5. Terdiri dari suatu perbuatan atau serentetan perbuatan.3
Namun apabila salah satu pihak tidak melaksanakan prestasinya yang
merupakan suatu kewajibannya, maka perjanjian itu dapat dikatakan cacat.
Wanprestasi merupakan suatu prestasi yang buruk, yaitu para pihak tidak
melaksanakan kewajibannya sesuai isi perjanjian yang dibuat. Wanprestasi dapat
terjadi baik karena kelalaian maupun kesengajaan.
Pasal 1238 KUHPerdata menyatakan “Si berhutang adalah lalai, apabila ia
dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau demi perikatannya sendiri,
2
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Puta, Implementasi Ketentuan-Ketentuan
Hukum Perjanjian dalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Bali, h. 34. 3
seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh
debitur disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yaitu :
a. Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi
kewajiban maupun karena kelalaian.
b. Karena keadaan memaksa (overmarcht), force majeure, jadi diluar
kemampuan debitur. Debitur tidak bersalah.4
2.1.2Bentuk-Bentuk dan Syarat Terjadinya Wanprestasi
Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi, yaitu:
1. Tidak melaksanakan prestasi sama sekali. Sehubungan dengan dengan debitur
yang tidak melaksanakan prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi
prestasi sama sekali.
2. Melaksanakan prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru. Debitur yang
melaksanakan prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak
dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama
sekali.
4
debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap
memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
Untuk mengetahui sejak kapan debitur dalam keadaan wanprestasi, perlu
diperhatikan apakah dalam perkataan itu ditentukan tenggang waktu pelaksanaan
pemenuhan prestasi atau tidak. Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan
perstasi “tidak ditentukan”, perlu memperingatkan debitur supaya ia memenuhi
prestasi. Tetapi dalam hal telah ditentukan tenggang waktunya, menurut ketentuan
pasal 1238 KUHPerdata debitur dianggap lalai dengan lewatnya tenggang waktu
yang telah ditetapkan dalam perikatan.5
Dalam hal bentuk prestasi para pihak dalam perjanjian yang berupa tidak
berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan pihak tersebut melakukan
wanprestasi yaitu sejak pada saat salah satu pihak berbuat sesuatu yang tidak
diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan bentuk prestasi para pihak yang berupa
berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam
perjanjian maka menurut pasal 1238 KUHPerdata para pihak dianggap melakukan
wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak ditentukan
mengenai batas waktunya maka untuk menyatakan seseorang melakukan wanprestasi,
diperlukan surat peringatan tertulis.
5
1. Syarat meteriil, yaitu adanya kesengajaan berupa:
a) Kesengajaan, adalah suatu hal yang dilakukan seseorang dengan di
kehendaki dan diketahui serta disadari oleh pelaku sehingga
menimbulkan kerugian pada pihak lain
b) Kelalaian, adalah suatu hal yang dilakukan dimana seseorang yang wajib
berprestasi seharusnya tabu atau patut menduga bahwa dengan perbuatan
atau sikap yang diambil olehnya akan menimbulkan kerugian.
2. Syarat formil, yaitu adanya peringatan atau somasi
Hal kelalaian atau wanprestasi pada pihak debitor harus dinyatakan dahulu
secara resmi, yaitu dengan memperingatkan debitor, bahwa kreditor menghendaki
pembayaran seketika atau dalam jangka waktu yang pendek. Somasi adalah teguran
keras secara tertulis dari kreditor berupa akta kepada debitor, supaya debitor
melakukan prestasi dengan mencantumkan tanggal terakhir debitor harus berprestasi
dan disertai dengan sanki atau denda atau hukuman yang akan dijatuhkan atau
diterapkan, apabila debitor wanprestasi atau lalai.
Beberapa kemungkinan yang dapat dipilih oleh seorang debitor yang
melakukan wanprestasi;
1. Kreditor dapat meminta pelaksanaan perjanjian, meskipun perjanjian
dideritanya. karena perjanjian tidak atau terlambat dilaksanakan, atau
dilaksanakan tetapi tidak sebagaimana mestinya
3. Kreditor dapat menuntut pelaksanaan perjanjian disertai dengan
penggantian kerugian yang disertai olehnya sebagai akibat
terlambatnya pelaksanaan perjanjian
Dalam hal suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban timbal-balik, kelalaian saru
pihak memberikan hak kepada pihak yang lain untuk meminta pada hakim supaya
perjanjian dibatalkan, disertai dengan permintaan pengganti kerugian.
2.2 Perjanjian Kerjasama
2.2.1Pengertian Perjanjian Kerjasama
Istilah “perjanjian” dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari kata
“ovreenkomst” dalam bahasa belanda atau istilah “agreement” dalam bahasa inggris.
Jadi, istilah “hukum perjanjian” berbeda dengan istilah “hukum perikatan”. Karena
dengan istilah “perikatan” dimaksudkan sebagai semua ikatan yang diatur dalam
KUHPerdata, jadi termasuk juga baik perikatan yang terbit karena undang-undang
maupun perikatan yang terbit dari perjanjian.6
Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, memang
perikatan itu paling banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian, tetapi sebagaimana
sudah dikatakan tadi, ada juga sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan.
6
antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perikatan lahir dari perjanjian. Pasal
1233 KUHPerdata mengatur bahwa : “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena
perjanjian, baik karena undang-undang”.
Perjanjian secara umum diatur dalam buku III KUHPerdata tentang Perikatan.
Dalam KUHPerdata buku III perjanjian bersifat terbuka dalam arti perjanjian boleh
dibuat tanpa mengikuti semua ketentuan dalam buku III asal tidak bertentangan
dengan hukum, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Pasal 1313 KUHPerdata mencoba untuk memberikan pengertian tentang
perjanjian yaitu “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.”
Menurut J.Satrio perjanjian dapat mempunyai dua arti, yaitu “arti luas dan arti
sempit, dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan
akibat hukum sebagai yang dikehendaki oleh para pihak termasuk didalamnya
perkawinan, perjanjian kawin, dll, dan dalam arti sempit perjanjian disini berarti
hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum
kekayaan saja, seperti yang dimaksud oleh buku III kitab undang-undang hukum
ketentuan tersebut, seperti yang dinyatakan oleh Mariam Darus Badrulzaman (dkk)
dalam bukunya Kompilasi Hukum Perikatan bahwa : Definisi perjanjian yang
terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata adalah tidak lengkap dan terlalu
luas, tidak lengkap karena yang dirumuskan Itu hanya mengenai perjanjian sepihak
saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan-perbuatan
di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin yang merupakan perjanjian
juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku
III perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara
materiil, dengan kata lain dinilai dengan uang.
Berdasarkan kelemahan dari pengertian perjanjian yang di berikan Pasal 1313
KUHPerdata ini, maka para sarjana ahli hukum mencoba memberikan pengertian
perjanjian tersebut dari sudut pandang mereka mesing-masing. Pengertian perjanjian
menurut para sarjana tersebut antara lain :
Subekti mengatakan bahwa, “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana
seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu hal”.7
Perjanjian adalah suatu kesepakatan di antara dua atau lebih pihak yang
menimbulkan, memodifikasi, atau menghilangkan hubungan hukum (Hendry
Campbell Black, 1968 : 394).8
7
sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.9
Abdul Kadir Muhammad menyatakan “Perjanjian adalah suatu persetujuan
dengan mana dua orang pihak atau lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu
hal dalam lapangan harta kekayaan”.10
Sedangkan Setiawan, mendefinisikan perjanjian sebagai suatu perbuatan
hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan
diri terhadeap satu orang atau lebih.11
Hampir seperti perjanjian biasanya, Perjanjian kerjasama secara umum diatur
dan dasarnya adalah buku III KUHPerdata tentang Perikatan. Pengertian perjanjian
kerjasama tidak dijelaskan dalam buku III KUHPerdata, akan tetapi secara umum
perjanjian kerjasama merupakan suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang
menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat suatu hal yang khusus. Yang
mana dalam perjanjian tersebut kedua pihak atau lebih memiliki tujuan yang sama
dan tujuan itu sifatnya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan
dan tidak dilarang oleh Undang-Undang.
8
Munir Fuandy, op.cit. h. 181.
9
Wirjono Prodjodikoro, 1986, Asas-Asas Hukum Perjanjian, PT. Bale, Bandung, h. 9.
10
Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 225.
11
Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Hukum Perdata Di Indonesia, Prestasi Pustaka
Hukum perjanjian mengenal beberapa asas penting, yang merupakan dasar
kehendak pihak-pihak dalam mencapai tujuan. Beberapa asas tersebut adalah sebagai
diuraikan berikut ini :
Asas kebebasan berkontrak. Setiap orang bebas mengadakan perjanjian apa
saja, baik yang sudah diatur atau belum diatur dalam undang-undang. Tetapi
kebebasan tersebut dibatasi oleh tiga hal yaitu tidak dilarang oleh undang-undang,
tidak bertentangan dengan ketertiban umum, tidak bertentangan dengan kesusilaan.12
Asas kebebasan berkontrak (feedom of contract) ini mengajarkan bahwa
ketika hendak membuat kontrak/perjanjian, para pihak secara hukum berada keadaan
bebas untuk melakukan hal-hal apa saja yang mereka ingin uraikan dalam kontrak
atau perjanjian tersebut. Akan tetapi sekali mereka sudah membuat/menandatangani
kontrak atau perjanjian tersebut, maka para pihak sudah terikat (tidak lagi bebas )
keadaa apa-apa saja yang telah mereka telah sebutkan dalam kontrak atau perjanjian
tersebut.
Suatu kontrak merupakan tindakan sukarela dari seseorang dimana ia berjanji
sesuatu kepada orang lain dengan maksud orang lain itu akan menerimanya.13 Asas
kebebasan berkontrak ini adalah sebagai konsekuensi dari “system terbuka” (open
system) dari hukum kontrak atau hukum perjanjian tersebut. Jadi siapapun bebas
12
Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 225.
13
Sultan Remy Sjahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi
1320 KUHPerdata.
b. Tidak dilanggar oleh undang-undang
c. Tidak melanggar kebiasaan yang berlaku
d. Dilaksanakan sesuai dengan unsur itikad baik.14
Asas kebebasan berkontrak tidak disebutkan secara khusus dalam
KUHPerdata, namun hal ini dapat disimpulkan dari bunyi Pasal 1338 ayat 1
KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas kebebasan berkontrak yang merupakan pilar hukum perjanjian dalam
sejarahnya merupakan produk individualism, liberalisme dan kolonialisme. Dalam
system hukum nasional Indonesia sekarang, asas hukum perjanjian secara umum dan
kebebasan berkontrak secara khususnya berakar pada Pancasila, UUD 1945, maka
asas kebebasan berkontrak tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD
1945. Palsafah Pancasila mengatur keseimbangan antara pelaksanaan hak asasi dan
kewajiban asasi. Asas kebebasan berkontrak berkaitan erat dengan asas hukum
khususnya hukum perdata yang menyatakan bahwa pada asasnya orang bebas untuk
14
pembatasan terhadap kebebasan berkontrak dalam Pasal 1337 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang
-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.”
Selanjutnya Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan
hukum Jerman. Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme,
tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian
riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum
adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian
yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta
bawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan
contractus innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi
bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPerdata
adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.
Asas konsensual dalam suatu perjanjian adalah bahwa suatu perjanjian sudah
sah dan mengikat ketika tercapai kata sepakat, selama syarat-syarat sah perjanjian
sudah dipenuhi.15 Asas konsensual ini mengadung arti bahwa perjanjian itu terjadi
sejak saat tercapainya kata sepakat (consensus) antara pihak-pihak mengenai pokok
perjanjian.16 Dalam hal ini, dengan tercapainya kata sepakat, maka pada prinsipnya
(dengan beberapa kekecualian), perjanjian tersebut sudah sah, mengikat dan sudah
15
Munir Fuandy, op.cit. h. 182.
16
perjanjian tidak harus dibuat secara tertulis. Jadi pada prinsipnya suatu perjanjian
lisanpun sebenarnya sudah sah secara hukum dan sudah mengikat secara penuh.17
Asas konsensualisme disimpulkan dan Pasal 1320 KUHPerdata yang
mengatur bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan 4 syarat yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.18
Pasal 1320 KUHPerdata tersebut tidak menyebutkan formalitas tertentu di
samping kesepakatan yang telah tercapai, artinya dengan adanya kesepakatan maka
perjanjian telah lahir. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pada
umumnya perjanjian bersifat konsensuil, sehinggga apabila undang-undang mengatur
formalitas tertentu maka hal tersebut merupakan pengecualian.
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda
merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Secara harfiah pacta
sunt servanda berarti bahwa “perjanjian itu mengikat”. Dalam hal ini, kalau sebelum
17
Munir Fuandy, op.cit. h. 183.
18
I Wayan Wiryawan & I Ketut Artadi, 2009, Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan,
pihak bebas untuk mengatur sendiri apa-apa yang ingin mereka masukan dalam
perjanjian maka setelah perjanjian ditandatangani atau setelah berlakunya suatu
perjanjian, maka para pihak sudah tidak lagi bebas, tetati sudah terikat terhadap
apa-apa yang mereka telah tentukan dalam perjanjian tersebut.19
Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum
gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar
pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung
makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan
yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangan
selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagao pactum, yang berarti sepakat
yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya.
Asas itikad baik. Dalam hal ini undang-undang mensyaratkan “pelaksanaan”
(bukan “perbuatan”) dari suatu perjanjian harus beritikad baik.20 Di dalam hukum
perjanjian itikad baik itu mempunyai dua pengertian yaitu:
1. Itikad baik dalam arti subyektif, yaitu Kejujuran seseorang dalam melakukan
suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang
19
Munir Fuandy, op.cit. h. 182.
20
didasarkan pada norma kepatutan dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat
dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, dimana hakim diberikan suatu
kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian agar jangan sampai
pelaksanaannya tersebut melanggar norma-norma kepatutan dan keadilan.
Kepatutan dimaksudkan agar jangan sampai pemenuhan kepentingan salah
satu pihak terdesak, harus adanya keseimbangan. Keadilan artinya bahwa
kepastian untuk mendapatkan apa yang telah diperjanjikan dengan
memperhatikan norma-norma yang berlaku.
Asas Kepribadian (personality) merupakan asas yang menentukan bahwa
seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan
perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340
KUHPerdata. Pasal 1315 KUHPerdata menegaskan:
“Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain
untuk dirinya sendiri.”
Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang
tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri.
Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak
hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu
terdapat pengecualiannya sebagaimana dalam Pasal 1317 KUHPerdata yang
menyatakan:
“Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu
perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain,
mengandung suatu syarat semacam itu.”
Dari semua pengertian perjanjian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam
perjanjian harus ada para pihak yang berjanji dan kesepakatan untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu. Atau dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa ketentuan
yang terdapat dalam setiap perjanjian adalah :
1. Ada pihak yang saling berjanji;
2. Ada Persetujuan;
3. Ada tujuan yang hendak di capai;
4. Ada Prestasi yang akan dilaksanakan atau kewajiban untuk melaksanakan
objek perjanjian;
5. Ada bentuk tertentu (lisan atau tertulis);
6. Ada syarat tertentu yaitu syarat pokok dari perjanjian yang menjadi objek
antara pihak-pihak yang membuat perjanjian
2.3 Developer
2.3.1Pengertian Developer
Istilah developer berasal dari bahasa asing yang menurut kamus bahasa
inggris artinya adalah pembangun/pengembang. Sementara itu menurut Pasal 5 ayat
(1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 tahun 1974, disebutkan pengertian
Perusahaan Pembangunan Perumahan yang dapat pula masuk dalam pengertian
developer, yaitu : “Perusahaan Pembangunan Perumahan adalah suatu perusahaan
yang berusaha dalam bidang pembangunan perumahan dari berbagai jenis dalam
jumlah yang besar di atas suatu areal tanah yang akan merupakan suatu kesatuan
lingkungan pemukiman yang dilengkapi dengan prasarana-prasarana lingkungan dan
fasilitas-fasilitas sosial yang diperlukan oleh masyarakat penghuninya”
Selain itu pengertian developer adalah suatu kegiatan yang diarahkan untuk
memenuhi kebutuhan konsumen akan rumah tinggal dan atau ruang usaha dengan
cara pengalihan hak atas produk tersebut dari perusahaan kepada konsumen melalui
proses yang telah ditentukan. Developer juga sebagai badan usaha yang berbadan
hukum, mempunyai kantor yang tetap, memiliki izin usaha dan terdaftar pada
a. Hak Hak Developer
Seperti yang telah disebutkan bahwa developer dapat disebut sebagai pelaku
usaha. Maka berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hak-hak
pelaku usaha antara lain:
1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan niali tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beritikad tidak baik;
3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen;
4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
b. Kewajiban Developer
Kewajiban pelaku usaha dapat dilihat pada Pasal 7 Undang- Undang
Perlindungan Konsumen, yakni:
1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku;
5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba
barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas
barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
Kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dalam melakukan kegiatan
usaha merupakan salah satu asas dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang itikad