• Tidak ada hasil yang ditemukan

Congenital Talipes Equino Varus (CTEV).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Congenital Talipes Equino Varus (CTEV)."

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

SARI PUSTAKA

CONGENITAL TALIPES EQUINO VARUS (CTEV)

Oleh:

dr. IGB IndraAngganugraha PJ

Pembimbing :

dr. KadekAyuCandra Dewi, SpOT

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU BEDAH

BAGIAN/SMFILMU BEDAH FK UNUD/RSUP SANGLAH

DENPASAR

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Sari Pustaka ini telah disetujui

pada ...

Pembimbing

dr. Kadek Ayu Candra Dewi, SpOT

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Bedah

FK Unud/RSUP Sanglah

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan Sari Pustaka yang merupakan salah satu tugas dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis Bedah FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar. Sari Pustaka ini mengambil judul tentang Congenital Talipes Equinovarus (CTEV).

Adapun tujuan penulisan sari pustaka ini adalah untuk memperdalam wawasan tentang CTEV serta melatih kemampuan membuat tulisan ilmiah dan prasyarat dalam mengikuti pendidikan bedah dasar di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana – Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. DR. Dr. Sri Maliawan, SpBS., sebagai Kepala Bagian Ilmu Bedah FK Unud/RSUP Sanglah yang telah memberikan izin demi terlaksananya Sari Pustaka ini.

2. Dr. IB Darmaputra, SpB-KBD, sebagai Kepala SMF Ilmu Bedah FK Unud/RSUP Sanglah yang telah menyediakan fasilitas ilmiah di SMF Bedah.

3. Dr. Wiargitha, SpB., sebagai Ketua Program Studi Ilmu Bedah FK Unud/RSUP Sanglah yang telah memberikan motivasinya.

4. dr. Kadek Ayu Candra Dewi, SpOT, sebagai pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan terbaiknya.

Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam Sari Pustaka ini karena itu dengan segala kerendahan hati penulis menerima saran dan kritik dari siapapun demi perbaikan.

Denpasar, Januari 2016

(4)

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ……….. i

Kata Pengantar ………. ii

Daftar Isi ……… iii

BAB I : PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ……… 1

1.2.Tujuan ………. 1

1.3.Manfaat ……….. 2

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Definisi ………... 3

2.2.Epidemiologi ………... 3

2.3.Etiopatogenesis……….……… 4

2.4.Klasifikasi ……….... 5

2.5.Patologi Anatomi..………... 7

2.6.Diagnosis……….. 8

2.7.Pemeriksaan Penunjang ……….. 8

2.8.Penatalaksanaan ……….. 8

BAB III : PENUTUP 3.1. Kesimpulan .……….… 24

(5)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Congenital idiopathic talipesequinovarus (CTEV) atau yang dikenaljugasebagaiclubfoot, merupakansalahsatudefekkongenital yang paling seringterjadi.Hipocratesmemperkenalkankelainaninisekitar 300 tahunsebelummasehi.Prevalensikejadian 1-2 per 1000 kelahiran.Biasanyaanaklaki-lakilebihseringterkenadengan ratio 2:1.Padakasus unilateral, kaki kananlebihseringterkena.Penyebabnyasampaisaatinibelumdiketahuisecarapasti,

namunbanyakteori yang diajukanolehbebrapapeneliti.Clubfoot dapatdenganjelasterlihatsaatbayilahir, ditandaidenganempatkomponenyaituequinus, midfootcavus, forefoot adduction danhindfootvarus.

Penanganan clubfoot sebaiknyadimulaisesegeramungkin, di hari-hariawalusiaanakuntukmendapatkanhasil yang memuaskan. Terapinon operatiflebihdisukaidandisarankan di berbagaibelahanduniadibandingkandenganterapioperatif.

Tindakanoperatifmemilikihasiljangkapendek yang baik, namununtukjangkapanjangberbagaikomplikasibanyakditemukan.Terapinon operatif yang popular adalahmetodedariPonseti, koreksidilakukandenganmanipulasidanpemakaian serial cast.Namunsekitar 50% kasusdenganterapinon operatifmemerlukantindakanoperatifuntukkoreksi yang optimal.

1.2 Tujuan

1. Menjelaskantentanginsiden,definisidanklasifikasidariCTEV 2. MenjelaskantentangprinsippenangananCTEV

(6)

1.3Manfaat

1. Untukakademisi

:meningkatkanpengetahuantentangCTEVdansebagaiacuankepustakaanilmiah. 2. Untukpraktisi

(7)

BAB II

CONGENITAL TALIPES EQUINOVARUS (CTEV)

2.1 DEFINISI

CTEV, bisa disebut juga dengan clubfoot, merupakan suatu kombinasi deformitas yang terdiri dari supinasi dan adduksi forefoot pada sendi midtarsal, heel varus pada sendi subtalar, equinus pada sendi ankle, dan deviasi pedis ke medial terhadap lutut (1,6). Deviasi pedis ke medial ini akibat angulasi neck talus dan sebagian internal tibial torsion (Salter, 1999).

Kata talipes equinovarus berasal dari bahasa Latin, dimana talus (ankle), pes (foot), equinus menunjukkan tumit yang terangkat seperti kuda, dan varus berarti inversidan adduksi (inverted and adducted) (Noordin et al, 2002).

Deformitas CTEV meliputi tiga persendian, yaitu inversi pada sendi subtalar, adduksi pada sendi talonavicular, dan equinus pada ankle joint. Komponen yang diamati dari clubfoot adalah equinus, midfoot cavus, forefoot adduction, dan hindfoot varus (Meena et al, 2014)

2.2 EPIDEMIOLOGI

CTEV rata-rata muncul dalam 1-2:1000 kelahiran bayi di dunia dan merupakan salah satu defek saat lahir yang paling umum pada system musculoskeletal(Baruah et al, 2013).

Insidensi CTEV beragam pada beberapa Negara, di Amerika Serikat 2,29:1000 kelahiran; pada ras Kaukasia 1,6:1000 kelahiran; pada ras Oriental 0,57:1000 kelahiran; pada orang Maori 6,5-7,5:1000 kelahiran; pada orang China 0,35:1000 kelahiran; pada ras Polinesia 6,81:1000 kelahiran; pada orang Malaysia 1,3:1000 kelahiran; dan 49:1000 kelahiran pada orang Hawaii (Hosseinzaideh, 2014).

Terdapat predominansi laki-laki sebesar 2:1 terhadap perempuan, dimana 50% kasusnya adalah bilateral. Pada kasus unilateral, kaki kanan lebih sering terkena. (Bergerault et al, 2013).

(8)

2.3 ETIOPATOGENESIS

Etiologi dari CTEV belum sepenuhnya dimengerti. CTEV umumnya merupakan isolated birth defect dan diperkirakan idiopatik, meskipun kadang muncul bersamaan dengan myelodysplasia, arthrogryposis, atau kelainan kongenital multiple (Dobbs, 2009).

Ada beberapa teori yang telah diajukan untuk menjelaskan etiologi CTEV, yaitu (Nordin, 2002) :

1. Faktor mekanik in utero

Teori ini merupakan yang pertama dan tertua, diutarakan oleh Hippocrates. Dia percaya bahwa kaki tertahan pada posisi equinovarus akibat adanya kompresi dari luar uterus. Namun Parker pada 1824 dan Browne pada 1939 mengatakan bahwa keadaan dimana berkurangnya cairan amnion, seperti oligohidramnion, mencegah pergerakan janin dan rentan terhadap kompresi dari luar. Amniocentesis dini diperkirakan memicu deformitas ini.

2. Defek neuromuskuler

Beberapa peneliti masih berpendapat bahwa equinovarus adalah akibat dari adanya defek neuromuskuler, walaupun ada beberapa studi yang menemukan gambaran histologis normal. Peneliti menemukan adanya jaringan fibrosis pada otot, fascia, ligament dan tendon sheath pada clubfoot, hal ini diperkirakan mengakibatkan kelainan pada tulang (Maranho et al, 2011). Adanya jaringan fibrosis ini ditandai dengan terekspresinya TGF-beta dan PDGF pada pemeriksaan histopatologis, keadaan ini juga berperan dalam kasus-kasus resisten (Herring, 2014).

3. Primary germ plasma defect

(9)

 Pengaruh lingkungan

Beberapa zat seperti agen teratogenik (rubella dan thalidomide) serta asap rokok memiliki peran dalam terbentuknya CTEV, dimana terjadi temporary growth arrest pada janin (Meena et al, 2014)

5. Herediter

Pada janin perkembangan kaki terbagi menjadi dua fase, yaitu fase fibula (6,5

– 7 minggu kehamilan) dan fase tibia (8-9 minggu kehamilan). Ketika terjadi gangguan perkembangan saat kedua fase tersebut, maka kemungkinan terjadinya CTEV akan meningkat (Herring, 2014).

Semua teori di atas belum dapat menjelaskan secara pasti etiologi dari CTEV, namun kita dapat menyimpulkan bahwa penyebab CTEV adalah multifactorial dan proses kelainan telah dimulai sejak limb bud development (Herring, 2014).

2.4 KLASIFIKASI

Untuk menilai suatu CTEV sangatlah subyektif dan berdasarkan keparahan deformitas dan fleksibilitas kaki pasien, namun ada juga yang menggolongkannya berdasarkan pemeriksaan radiologis (Maranho et al, 2011).Klasifikasi diperlukan untuk membantu menentukan prognosis dan juga mengevaluasi keberhasilan terapi (Herring, 2014).

Ada beberapa system skoring dan klasifikasi yang dipakai di berbagai Negara, namun system klasifikasi dari Dimeglio dan Pirani yang paling banyak digunakan. Keduanya memberikan nilai berdasarkan pemeriksaan fisik. (Meena et al, 2014).

Dimeglio pada tahun 1991 membagi CTEV menjadi empat kategori berdasarkan pergerakan sendi dan kemampuan untuk mereduksi deformitas (Nordin et al, 2002):

1. Soft foot; dapat disebut juga sebagai postural foot dan dikoreksi dengan standard casting atau fisioterapi.

2. Soft > Stiff foot; terdapat pada 33% kasus. Biasanya lebih dari 50% kasus dapat dikoreksi, namun bila lebih dari 7 atau 8 tidak didapatkan koreksi maka tindakan operatif harus dilakukan.

(10)

4. Stiff foot; merupakan kategori paling parah, sering kali bilateral dan memerlukan tindakan koreksi secara operatif.

(11)

Tabel 2 Klasifikasi Dimeglio

Gambar 2

(12)

Setiap komponen mayor dari clubfoot (equinus, heel cavus, medial, roatasi calcaneopedal block, forefoot adduction) dikategorikan dari I – IV. Poin tambahan ditambahkan untuk deep posterior dan medial creases, cavus dan kondisi oto yang buruk (Meena et al, 2014).

Sistem klaifikasi Pirani memiliki suatu skala perhitungan yang sederhana, yang terdiri dari tiga variable pada hindfoot dan tiga pada midfoot. Setiap variable dapat menerima nilai nol, setengah, dan satu poin (Maranho et al, 2011).

Gambar 3 Klasifikasi Pirani

(13)

2.5PATOLOGI ANATOMI

Deformitas mayor clubfoot termasuk hindfoot varus dan equinus dan forefoot adductus dan cavus. Kelainan ini merupakan hasil abnormalitas intraosseus (abnormal morfologi) dan abnormalitas interosseus (hubungan abnormal antar tulang) (Hoosseinzaideh, 2014).

Deformitas intraosseus paling sering muncul di talus, dengan neck talar yang pendek dan medial dan plantar deviasi dari bagian anterior. Pada permukaan inferior talus, facet medial dan anterior belum berkembang. Kelainan pada calcaneus, cuboid, dan navicular tidaklah terlalu parah dibandingkan talus. Pada calcaneus ditemukan lebih kecil dari kaki normal, dan sustentaculum yang belum berkembang (Herring, 2014).

Deformitas interosseus terlihat seperti medial displacement dari navicular pada talar head dan cuboid pada calcaneus, secara berurutan. Herzenberg dkk menunjukkan bahwa talus dan calcaneus lebih internal rotasi sekitar 20o terhadap aksis tibiofibular pada clubfoot dibandingkan dengan kaki normal. Pada studinya, body of the talus dilaporkan eksternal rotasi di dalam ankle mortise. Adanya internal tibial torsion pada clubfoot masih kontroversial (Hoosseinzaideh, 2014).

Kontraktur dan fibrosis ligament sisi medial kaki, termasuk spring ligament, master knot of Henry, ligament tibionavicular, dan fascia plantaris, juga berkontribusi dalam abnormalitas clubfoot (Hoosseinzaideh, 2014).

Abnormalitas otot telah diamati selama operasi release deformitas clubfoot. Dobbs dkk melaporkan bahwa flexor digitorum accesorius longus muscle terlihat pada anak-anak yang menjalani operative release sekitar 6,6% dan lebih banyak lagi pada anak-anak dengan adanya riwayat keluarga (prevalensi 23%). Flexor digitorum accesorius longus dilaporkan ada sekitar 1% sampai 8% pada cadaver dewasa normal. Anomalous soleus muscle juga telah dijelaskan dan dilaporkan berhubungan dengan tingginya angka rekurensi (Hoosseinzaideh, 2014).

(14)

2.6 DIAGNOSIS

Diagnosis clubfoot dapat ditegakkan sejak prenatal, setidaknya paling cepat pada trimester kedua. Biasanya diagnosis terbukti saat kelahiran bayi yang ditandai dengan adanya heel equinus dan inverted foot terhadap tibia. True clubfoot harus dibedakan dengan postural clubfoot, dimana kaki tidak dapat sepenuhnya dikoreksi secara pasif (Hoosseinzaideh, 2014).

Postural clubfoot terjadi karena posisi janin saat di dalam uterus. Pada kelainan ini tidak didapatkan kontraktur yang signifikan, skin creases yang dalam atrofi dan rigiditas ekstremitas (Herring, 2014).

Dalam pemeriksaan kita harus menyingkirkan juga apakah kasus yang dihadapi idiopatik atau nonidiopatik. Pada kasus nonidiopatik akan memiliki prognosis yang lebih buruk dan memiliki tingkat rekurensi yang tinggi. CTEV dengan arthrogryposis, diastrophic dysplasia, Mobius atau Freeman-Sheldon syndrome, spina bifida dan spinal dysraphism, serta fetal alcohol syndrome penanganannya hampir pasti meliputi tindakan operatif. Terkecuali CTEV dengan Down syndrome dan Larsen syndrome, penanganan seringkali hanya secara nonoperatif (Herring, 2014).

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan radiologi dini tidaklah informatif dibandingkan dengan pemeriksaan fisik, dikarenakan hanya akan tampak ossification center pada tulang tarsal, calcaneus, dan metatarsal. Setelah usia 3 atau 4 bulan, tulang-tulang tersebut telah cukup terosifikasi, dan pemeriksaan radiologi dapat dilakukan dengan proyeksi film anteroposterior dan lateral dengan stress dorsofleksi (Baruah et al, 2013).

Pada proyeksi AP diukur sudut talocalcaneal (30-50o) dan talo-metatarsal I (0-10o), sedangkan pada proyeksi lateral diukur sudut talocalcaneal (30-50o) dan tibiocalcaneal (10-20o). Sudut-sudut tersebut akan menghilang/berkurang pada CTEV, sehingga dapat memprediksi keparahan dan respon terhadap intervensi yang akan diberikan (Nordin, 2001).

2.8 PENATALAKSANAAN

(15)

Tata laksana CTEV sebaiknya dimulai pada beberapa hari awal kehidupan sang bayi. Tujuannya adalah mendapatkan kaki yang estetik, fungsional, bebas nyeri dan plantigrade (Bergerault, 2013). Prinsip terapi meliputi koreksi pasif yang gentle, mempertahankan koreksi untul periode waktu yang lama, dan pengawasan anak hingga usai masa pertumbuhan (Salter, 2009).

Pengawasan diperlukan karena walaupun telah terkoreksi, 50% kasus akan terjadi rekurensi dan adanya kontraktur soft tissue dapat menyebabkan terbatasnya pergerakan sendi. Tata laksana non-operatif lebih disukai di berbagai belahan dunia karena extensive surgery memiliki hasil yang buruk dalam jangka panjang (Bergerault, 2013).

Metode Ponseti

Metode ini diperkenalkan oleh Ignacio Ponseti pada akhir tahun 1940an sebagai jawaban atas terapi operatif yang sedang popular namun masih menimbulkan nyeri dan deformitas residu (Dobbs, 2009).

Komponen dari metode ini meliputi serial manipulasi yang gentle dan casting setiap minggunya, diikuti Achilles tenotomy. Terkadang digunakan juga foot abduction brace untuk mencegah dan mengatasi relaps (Dobbs, 2009).

Ponseti memberikan sebuah akronim CAVE sebagai panduan untuk tahapan koreksi CTEV. Pada metode ini terjadi relaksasi kolagen dan atraumatik remodeling pada permukaan sendi dan menghindari fibrosis, seperti yang terjadi bila dilakukan operasi release (Herring, 2014).

Dibutuhkan komitmen dan kerjasama yang baik dengan orang tua pasien, dikarenakan metode ini setidaknya butuh waktu selama 4 tahun. Terapi dapat dimulai dalam beberapa hari setelah kelahiran. Batas akhir usia belum ditentukan dikarenakan adanya keberhasilan metode ini saat diterapkan pada anak usia lebih dari 1 tahun. Tercatat sekitar 95% kasus yang ditangani dengan metode ini tidak memerlukan posterior medial dan laterat release. Terkadang diperlukan sedasi pada anak-anak usia lebih dari 15 bulan karena nyeri yang ditimbulkan saat manipulasi (Dobbs, 2009). Dalam setiap sesi manipulasi, disarankan bersamaan dengan waktu memberi makan anak. Hal ini bertujuan agar sang anak lebih relaks sehingga lebih mudah saat pemasangan cast (Herring, 2014).

(16)

dari jari kaki hingga 1/3 atas paha dengan lutut fleksi 90o dan akan diganti setiap 5-7 hari (Dobbs, 2009). Biasanya diperlukan 5-6 kali penggantian cast untuk mendapatkan koreksi yang baik (Herring, 2014).

Walaupun biasanya metode Ponseti digunakan pada idiopathic clubfoot, pada beberapa kasus dapat juga digunakan pada non-idiopathic clubfoot (yang disertai dengan arthrogryposis, myelomeningocele, berbagai syndrome genetic, dan kelainan neuromuskuler. Metode Ponseti juga digunakan pada complex clubfoot dan kasus relaps meski telah menjalani extensive soft tissue release surgery (Dobbs, 2009).

Deformitas cavus dikoreksi terlebih dahulu dengan cara supinasi forefoot relatif terhadap hindfoot melalui penekanan pada metatarsal I. Pada kebanyakan kasus, deformitas cavus akan terkoreksi dengan satu kali pemasangan long leg cast (Herring, 2014).

Forefoot adduction, hindfoot varus, dan hindfoot equinus akan dikoreksi pada pemasangan cast ke 2-4. Koreksi aduksi forefoot dan hindfoot varus dilakukan secara simultan dengan supinasi pedis dan counterpressure pada head of talus. Dengan teknik ini calcaneus, navicular dan cuboid akan displace secara gradual ke lateral. Manuver penting ini mengoreksi mayoritas deformitas dari clubfoot dan harus dilakukan pada setiap sesi dengan memperhatikan tiga hal:

 Abduksi forefoot harus dilakukan dengan dengan sedikit supinasi pedis, sehingga koreksi pada deformitas cavus tetap terjaga dan colinearity dari metatarsal tetap terjaga.

 Jangan melakukan dorsofleksi premature terhadap tumit, hal ini bertujuan agar calcaneus dapat terabduksi secara bebas dibawah talus dan eversi ke posisi pedis netral, serta mencegah rocker bottom deformity.

(17)

Gambar 4 Teknik koreksi Ponseti

Equinus merupakan deformitas terakhir yang dikoreksi, dan koreksi harus dilakukan ketika hindfoot dalam posisi sedikit valgus dan pedis abduksi 70o relative terhadap cruris. Derajat abduksi tampak ekstrem namun diperlukan untuk mencegah rekurensi deformitas. Equinus dapat dikoreksi dengan dorsofleksi pedis secara progresif setelah varus dan adduksi pedis telah terkoreksi. Dorsofleksi pedis dilakukan dengan penekanan pada seluruh bagian telapak kaki dan kurangi penekan pada head metatarsal untuk menghindari rocker bottom deformity. Equinus dapat dengan sempurna dikoreksi melalui stretching dan casting yang progresif.

Setelah cast keempat, pedis harus bisa abduksi 50o dan varus harus sudah terkoreksi, namun biasanya equinus masih ada (1). Calcaneus akan terkoreksi dengan sendirinya tanpa manipulasi menjadi eversi dan dorsofleksi (3).

(18)

Orthosis terdiri dari dua sepatu yang dihubungkan dengan sebuah papan yang mampu memposisikan sepatu selebar bahu. Papan harus mampu menahan sepatu 70 derajat eksternal rotasi dan 5-10 derajat dorsofleksi. Pada kasus unilateral, kaki normal harus berada di 40 derajat eksternal rotasi. Menahan kaki selebar bahu membantu abduksi pedis. Orthosis digunakan setiap hari hingga 3-4 bulan, lalu dilanjutkan pemakaian saat tidur siang dan malam selama 2-4 tahun.

Pada 90% kasus diperlukan adanya Achilles tenotomy (percutaneous Achilles Tenotomy/ pAT) untuk mengoreksi kontraktur equinus. Tindakan ini dilakukan dengan anestesi local pada anak usia dibawah 1 tahun (tanpa adanya overlengthening atau kelemahan otot) dan dengan sedasi di ruang operasi untuk anak yang lebih tua. Untuk anestesi local disarankan hanya menggunakan anestesi topical terlebih dahulu dan anestesi injeksi diberikan setelah prosedur tenotomy. Hal ini untuk menghindari kesulitan dalam palpasi tendon sehingga berpotensi merusak neurovaskuler di area tersebut. Tenotomy dapat dilakukan dengan thin cataract knife yang steril di klinik (setelah EMLA cream menganastesi kulit secara local selama 30 menit). Beberapa dokter lebih memilih mengerjakan di ruang operasi untuk anak >3 bulan, karena akan lebih mudah memasang cast tanpa adanya resistensi dari anak (Herring, 2014).

Setelah steril, pedis ditahan oleh asisten dengan tekanan dorsofleksi yang ringan hingga sedang. Tekanan yang terlalu kuat akan cenderung mengencangkan kulit dan menyulitkan untuk palpasi tendon dengan baik. Pisau memasuki kulit sepanjang batas medial tendon Achilles. Karena biasanya calcaneus terelevasi pada fat pad, maka penting untuk memotong tendon 0,5 – 1 cm proksimal dari insersinya, dimana akan cenderung untuk menyebar ke tuberositas calcaneus. Setelah dimasukkan, pisau didorong ke medial tendon dan dirotasikan di bawahnya. Counterpressure dengan jari telunjuk dari arah berlawanan akan mendorong tendon ke pisau dan mencegah laserasi yang tidak diinginkan. Pergerakan yang berlebihan dari pisau ke arah lateral akan berisiko mencederai vena saphena dan nervus suralis. Tenotomy yang berhasil ditandai dengan palpable pop dan adanya kemampuan untuk dorsofleksi tambahan sejauh 15-20o. Tidak perlu ada jahitan dan dipasangkan cotton cast padding steril, diikuti dengan pemasangan long leg cast pada maksimal dorsofleksi dengan abduksi 70 derajat.

(19)

dorsofleksi 5-10o (1,3). Suatu studi menyebutkan bahwa penyembuhan tendon terjadi dalam 3 minggu saat terpasang cast (Dobbs, 2009).

Gambar 5

Percutaneous heel cord tenotomy

Suatu alternatif dari percutaneous heel cord tenotomy telah disarankan oleh Alvarez dkk. Toksin Botulinum A diinjeksikan ke kompleks otot triseps surae untuk melemahkan fungsinya. Dilaporkan keberhasilan jangka pendek sekitar 50 dari 51 bayi dengan clubfoot.

Teknik modifikasi diterapkan pada kaki yang complex idiopathic atau atypic. Kaki ini biasanya pendek dan tebal, dengan fixed equinus dan posterior crease yang dalam, serta hiperfleksi metatarsal. Saat pemasangan cast, forefoot harus diabduksi, dan dorsofleksi melalui penekanan pada head metatarsal, serta pAT dilakukan lebih awal (3).

Terkadang penekanan pada metatarsal sebelum mengoreksi calcaneal varus mengakibatkan iatrogenic conves foot atau rocker bottom deformity. Keadaan ini ditangani dengan pemasangan cast dalam posisi slight equinus selama 1-2 minggu untuk retraksi plantar ligament (3).

(20)

Untuk anak lebih dari 3 tahun dengan kombinasi hindfoot varus dan supination forefoot memerlukan pendekatan yang berbeda. Hindfoot varus dan adduction dikoreksi terlebih dahulu dan diikuti dengan serial casting. Setelah terkoreksi, dilakukan full tibialis tendon transfer ke cuneiform ketiga dan diikuti dengan casting selama 6 bulan tanpa perlu pemakaian brace lagi (Dobbs, 2009).

Gambar 6 Ponseti cast

Gambar 7 Brace orthosis

(21)

anak yang lebih tua akan lebih sulit memasang cast. Pemakaian brace merupakan keharusan untuk menjaga hasil koreksi. Pada 2/3 kasus relaps lainnya memerlukan intervensi bedah, namun tidak untuk anak <18 bulan. Jenis operasi meliputi heel cord lengthening, posterior ankle release, atau plantar facial release akan mampu mengembalikan plantigrade foot.

Pada pasien lebih dari 2-3 tahun dynamic swing phase supination deformity akan muncul sebagai akibat medial overpull dari tendon tibialis anterior. Reduksi inkomplit dari navicular ke head of talus akan mengubah fungsi tendon ini dari dorsifleksor menjadi foot supinator. Bila tidak dikoreksi, keadaan ini akan menjadi hindfoot varus berulang. Pada pasien-pasien ini dilakukan transfer anterior tibialis ke 3rd cuneiform setelah beberapa koreksi dengan cast. Untuk mencegah bowstringing, tendon sebaiknya dibiarkan di bawah anterior retinaculum ankle. Sangat penting untuk menilai rekurensi equinus karena untuk menentukan kebutuhan Achilles tendon Z-lengthening saat transfer tibialis anterior. Walaupun operasi akan sukses, namun tidak menjamin hasil akan menjadi plantigrade.

Pada beberapa studi, pasien relaps yang memerlukan tindakan operatif sekitar 32-35%. Prosedur paling umum yang dikerjakan adalah transfer tendon tibialis anterior yang mengoreksi swing phase supination. Pada pasien relaps yang gagal dalam terapi non operatif dan memerlukan complete posteromedial release biasanya terdeteksi dini dan mendapatkan operasi sebelum mereka berusia 2 tahun.

French Method

Selain metode Ponseti, terdapat satu metode populer lain sebagai alternative menghindari tindakan operasi, yaitu French atau functional method. Metode ini memerlukan manipulasi setiap harinya dan diikuti dengan pemakaian adhesive tapping untuk menjaga posisi kaki yang telah dikoreksi dengan peregangan (stretching). Pemakaian taping akan tetap memberikan beberapa pergerakan, berbeda dengan Ponseti. Metode ini juga focus pada penguatan otot peroneus sebagai cara untuk menjaga hasil koreksi (Dobbs, 2009).

(22)

Tujuan dari terapi ini adalah mereduksi talonavicular joint, stretch out dari medial tissue, dan secara berurutan mengoreksi forefoot adduction, hindfoot varus, dan calcaneus equinus (Herring, 2014).

Pada tahap pertama, os navicular di-release secara progresif dari malleolus medial dan dari posisi medialnya pada head talus. Awalnya, relaksasi ini akan belum sempurna karena talus masih pada posisi patologis, namun akan membaik seiring waktu.

Tahap kedua adalah mengoreksi forefoot adduction dengan stabilisasi dari adduksi menyeluruh calcaneus-forefoot block. Manuver ini meregangkan semua sendi (naviculocuneiform, cuneiform-metatarsal, dan MTP). Setelah semua sendi teregang, forefoot adduction akan terus berkurang dengan melanjutkan peregangan medial skin crease. Untuk menjaga pasif ROM yang baru, ekstensor ibu jari dan peroneal harus dikuatkan. Untuk itu, terapis merangsang reflek kutaneus dengan memijat halus bagian lateral pedis.

Tahap ketiga adalah reduksi progresif dari hindfoot varus. Diawali setelah talonavicular joint tereduksi dan dapat dilakukan bersamaan dengan koreksi forefoot adduction. Calcaneus bergerak secara gradual kearah posisi netral dan akhirnya menjadi valgus. Ankle tereksternal rotasi bersamaan saat calcaneus diposisikan menjadi valgus. Lutut dijaga tetap 90 derajat selama maneuver.

Tahap akhir dari program ini adalah mengoreksi equinus dari calcaneus, dimana sering sulit karena kontraktur dari posterior sof tissue yang tidak mudah diregangkan dengan manipulasi. Calcaneus dibawa secara progresif dari plantar fleksi ke dorsofleksi sementara lutut tetap dalam fleksi. Lalu lutut diekstensikan dengan hati-hati. Manuver ini dilakukan berulang-ulang.Lateral arch ditopang dengan baik untuk melindungi midfoot teregang (midfoot break).

(23)

Gambar 8 French method

TINDAKAN OPERATIF

Tindakan operatif sebaiknya dihindari dan dibatasi hanya sebagai terapi tambahan terapi konservatif. Indikasi tindakan operatif adalah pada kasus resisten, kasus yang berkaitan dengan sindroma dan neurogenic, kasus rekuren, dan adanya deformitas residu setelah tindakan extensive soft tissue release (Dobbs, 2009).

Operasi berulang sebaiknya dihindari karena haya akan mengakibatkan kekakuan sendi, luka operasi, pengerasan jaringan dan bahkan atrofi karena imobilisasi dalam waktu lama. Salah satu penyebab operasi berulang biasanya adalah koreksi yang tidak adekuat, sehingga memerlukan koreksi berikutnya.

(24)

dan subtalar, cukup untuk mengoreksi sisa equinus dan minimal hindfoot varus. Sekitar 15% idiopati clubfoot memerlukan posteromedial release.

Beberapa teknik operasi dan prosedur telah dikemukakan untuk mengembalikan clubfoot kembali ke posisi anatomis, beberapa diantaranya adalah:

1. Turco : One stage posteromedial release

Koreksi terhadap calcaneus dengan dilakukan subtalar release (lateral, posterior, medial) dan juga calcaneofibular ligament.

2. Carrol : Plantar fascial release dan capsulotomy dari calcaneocuboid joint 3. Goldner : Koreksi dari rotasi talus dan tibiotalar joint release

4. McKay dan Simons : Prosedurnya lebih ekstensif, mayoritas struktur peritalar dibebaskan.

Komplikasi pasca operasi dapat ditemui bila tidak dilakukan pengawasan yang baik, meliputi beberapa hal diantaranya:

1. Hilangnya koreksi

Penyebabnya adalah setelah minggu ke 4 pasca operasi, cast menjadi terlalu longgar dan tidak diganti sehingga posisi kaki akan berubah. Bila terjadi infeksi luka operasi, posisi kaki harus tetap dipertahankan saat perawatan luka. Walaupun terjadi infeksi pada pin tract, sangat penting untuk tetap dipertahankan mengingat risiko hilangnya koreksi dan navicular dorsal subluxation bila pin dilepas secara premature. Perawatan luka dan pemberian antibiotic dapat diberikan hingga waktu pelepasan pin sesuai waktunya.

2. Navicular dorsal subluxation

Hal ini menyebabkan kaki cavovarus yang memendek. Dikatakan sering terjadi setelah prosedur Turco dan Carrol, serta pelepasan pin yang premature. Terjadi rotasi subluksasi, dimana bagian medial navicular terputar ke superior. Operasi revisi dilakukan untuk mereduksi navicular dan sebaiknya pada anak <6 tahun.

3. Valgus overcorrection

Gejalanya berupa nyeri pada bagian medial kaki dan memerlukan operasi revisi untuk memperbaikinya.

4. Dorsal bunion

(25)

kapsulotomi sendo MTP yang terfleksi, pemanjangan flexor hallucis longus tendon, dan release atau transfer flexor hallucis brevis untuk menjadi ekstensor.

Revisi dan Prosedur Sekunder

Timbulnya rekurensi walupun pernah tercapai hasil koreksi yang memuaskan, merupakan hal yang memerlukan perhatian khusus. Biasanya rekurensi diakibatkan oleh koreksi yang tidak sempurna pada awalnya. Bila kita sudah yakin bahwa koreksi

telah sempurna maka perlu dicurigai adanya suatu”true recurrence” yang dapat disebabkan oleh kelainan lainnya, seperti kelainan neurologis (occult spinal dysraphism). Untuk ememastikannya diperlukan pemeriksaan elektrofisiologi dan MRI.

Prevalensi terjadinya rekurensi setelah dilakukan soft tissue release berkisar pada 10%., namun tidak semua memerlukan revisi karena persepsi dan keputusan dokter dan keluarga berbeda-beda. Dalam menentukan revisi harus dipertimbangkan komplikasinya, seperti kekakuan dan kelemahan otot akibat tindakan bedah dan imobilisasi berulang. Tujuan tindakan revisi adalah untuk mendapatkan “the realistic

foot” dengan sesedikit mungkin prosedur bedah.

Jadi operasi revisi dilakukan harus dengan mengetahui masalah atau deformitas yang ingin dikoreksi, seperti posisi kaki yang buruk (supinasi/inversi) yang nantinya akan menimbulkan nyeri.

Soft Tissue Surgery

Percutaneus Achilles Tenotomy

Prosedur ini dilakukan untuk membantu mengoreksi residual equinus dengan memanjangkan tendon Achilles. Manfaat yang didapat dengan prosedur ini adalah dapat mengurangi lamanya pengobatan, menurunkan risiko rekurensi, mencegah talar flattening (nut cracker effect) atau convex foot, dan mengurangi jumlah surgical release. Adapun risiko yang menyertai seperti triceps insufficiency dan posterior tibial vascular nerve lesion. (Bergerault, 2013)

(26)

diimobilisasi dengan LLC (femoropedal immobilization) tendon akan terlihat continuous melalui ultrasound dan struktur akan tampak normal setelah 1 tahun (Bergerault, 2013).

Anterior TIbial Muscle Surgery

Muscular disequilibrium sering terjadi pada m.tibialis anterior pasca terapi, termasuk pemanjangan tendon Achilles. Ditandai dengan dynamic supination pedis saat oscillating phase, dengan kurangnya anteromedial support, piano key sign dan forefoot supination pada dorsofleksi aktif ankle. (Bergerault, 2013)

Bila tidak terkoreksi setelah usia berjalan, akan menyebabkan risiko deformity fixation (pes cavus, forefoot adduction, hindfoot varus, navicular dorsal subluxation). Operasi ini direkomendasikan untuk dilakukan saat pasien berumur 2-3 tahun, dan biasanya ditujukan untuk kasus-kasus rekurensi dengan flexible foot. Beberapa tindakan yang tercakup didalamnya adalah:

 Transfer sebagian tendon tibialis anterior ke cuboid untuk menjaga keseimbangan dorsofleksi.

 Transfer anterior tibialis tendon ke lateral cuneiform. Prosedur ini merupakan bagian integral dari penanganan rekurensi Ponseti. Tercatat 15,2% rekurensi kembali, namun tindakan ini dapat mencegah degenerative joint lesion.

 Z-lengthening tendon anterior tibialis. Prosedur ini juga dikerjakan pada Posteromedial release. Dengan memanjangkan bagian medial akan memendekkan tendon anterior tibialis. (Bergerault, 2013)

Posteromedial Soft-tissue Release (PMR)

(27)

Didapatkan koreksi pada 75-85% kasus dengan 20-40% rekurensi, yang akan memerlukan operasi revisi. Adapun risiko lain adalah hipo dan hiperkoreksi, dorsal bunion, dan triceps insufficiency.

Kualitas terapi akan menurun seiring waktu. Sekitar 20 tahun pasca operasi akan timbul keluhan seperti nyeri, menurunnya kekuatan dan daya tahan, walaupun tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Terdapat juga forefoot dorsoflexion dan adduksi dengan hindfoot equinus. PMR merupakan pilihan terakhir pada kasus resisten terhadap terapi konservatif. (Bergerault, 2013)

Bony Surgery

Lateral Column Shortening

Terkadang koreksi tidak dapat dilakukan karena adanya length disparity pada kedua sisi kaki (medial dan lateral). Prosedur Evans menyarankan untuk mengombinasikan posteromedial release dengan lateral column shortening.

Calcaneal Osteotomy

Dapat dilakukan pada fixed heel varus tanpa atau pun dengan deformitas residual yang signifikan. Prosedur ini dapat dikombinasikan dengan prosedur lain dan tidak mengganggu prosedur triple arthrodesis di masa mendatang.

Supramalleolar Osteotomy

Adanya toe-in gati yang persisten, >2 standar deviasi, merupakan indikasi pada 8-25% pasien.

Triple Arthrodesis

(28)

BAB III

KESIMPULAN

Congenital talipes equinovarus atau CTEV merupakan salah satu deformitas pada bayi yang paling sering ditemui, dengan insidensi 1-2:1000 per kelahiran. Sampai saat ini masih belum dapat dipastikan apa yang menjadi penyebab terjadinya CTEV, walaupun sudah banyak teori yang diajukan namun belum ada satu pun yang dapat menjelaskan dengan sempurna. Diagnosis dapat ditegakkan secara klinis, diamana terdapat supinasi dan adduksi forefoot pada sendi midtarsal, heel varus pada sendi subtalar, equinus pada sendi ankle, dan deviasi pedis ke medial terhadap lutut. Tidak diperlukan bantuan pemeriksaan radiologis sebagai penunjang karena tidak memberikan informasi yang berarti. Biasanya CTEV muncul sebagai kelaianan tersendiri, namun tidak jarang merupakan bagian dari suatu sindrom.

Gambar

Gambar 1 Klasifikasi Dimeglio
Tabel 2 Klasifikasi Dimeglio
Gambar 3 Klasifikasi Pirani
Gambar 4
+4

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui tentang manfaat penatalaksanaan fisioterapi pada kondisi CTEV bilateral pasca operasi achilles tendon Lengthening dengan modalitas IR, Exercise

Dengan adanya penurunan nyeri , odema serta peningkatan LGS dan kekuatan otot memberikan dampak pada aktivitas fungsional pasien yang semakin mudah untuk bergerak

Lingkup Gerak sendi (LGS) Pemeriksaan lingkup gerak sendi gerak sendi adalah suatu cara pengukuran yang bisa dilakukan suatu sendi. Sedangkan tujuan dari pada pengukuran LGS

Osteoartritis atau juga disebut dengan penyakit sendi degeneratif adalah suatu kelainan pada tulang rawan sendi (kartilago) yang ditandai dengan adanya kemunduran pada tulang

Pada kaki Charcot diabetik yang berat bisa dijumpai gambaran deformitas menyerupai pencil pointing pada sendi metatarsofalangeal atau fraktur pada

Home program yang bisa dilakukan antara lain dengan melakukan latihan gerakan pada sendi bahu seperti gerakan fleksi- ekstensi, abduksi- adduksi, dan eksorotasi-

Lingkup Gerak sendi (LGS) Pemeriksaan lingkup gerak sendi gerak sendi adalah suatu cara pengukuran yang bisa dilakukan suatu sendi. Sedangkan tujuan dari pada pengukuran LGS

Dengan adanya penurunan nyeri , odema serta peningkatan LGS dan kekuatan otot memberikan dampak pada aktivitas fungsional pasien yang semakin mudah untuk bergerak