• Tidak ada hasil yang ditemukan

MOTIVASI, KEPUASAN KERJA DAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN DI KABUPATEN CIANJUR JAWA BARAT FIRMANSYAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MOTIVASI, KEPUASAN KERJA DAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN DI KABUPATEN CIANJUR JAWA BARAT FIRMANSYAH"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

FIRMANSYAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Motivasi, Kepuasan Kerja dan Kinerja Penyuluh Kehutanan di Kabupaten Cianjur Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015 Firmansyah I351120101

(3)
(4)

Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Dibimbing oleh SITI AMANAH dan DWI SADONO.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan profil penyuluh kehutanan, menganalisis tingkat motivasi, kepuasan kerja dan kinerja penyuluh kehutanan, serta menganalisis sejauhmana profil penyuluh, motivasi dan kepuasan kerja berhubungan dengan kinerja penyuluh kehutanan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-April 2014 di Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Metode pengumpulan data menggunakan kuesioner, wawancara, observasi, studi literatur, dan teknik sensus (43 penyuluh kehutanan). Peubah-peubah yang diamati dan diduga mempengaruhi kinerja penyuluh kehutanan terdiri atas: (1) profil penyuluh (umur, masa kerja, tingkat pendidikan, dan frekuensi pelatihan), (2) motivasi kerja (tingkat berprestasi, tingkat kepekaan terhadap informasi, tingkat pemaknaan kerja, tingkat kewenangan dan tanggung jawab, tingkat dukungan administrasi dan kebijakan, tingkat dukungan pembinaan dan supervisi, tingkat imbalan, tingkat hubungan interpersonal, dan kondisi wilayah kerja), dan (3) kepuasan kerja (faktor psikologi, faktor sosial, faktor finansial, dan faktor fisik).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar penyuluh kehutanan Kabupaten Cianjur Jawa Barat mempunyai kategori umur tua, yaitu di atas 48 tahun (72 persen), mempunyai masa kerja lama, yaitu di atas 23 tahun (58 persen), tingkat pendidikan tinggi, yaitu S1-S2 (70 persen), dan frekuensi pelatihan yang rendah, yaitu 1-3 kali per tahun (67 persen). Tingkat motivasi kerja termasuk kategori tinggi cenderung sedang, tingkat kepuasan kerja termasuk kategori tinggi, dan tingkat kinerja termasuk kategori sedang. Terdapat hubungan nyata antara motivasi kerja dengan kinerja penyuluh kehutanan, namun tidak terdapat hubungan nyata antara profil penyuluh dan kepuasan kerja dengan kinerja penyuluh kehutanan.

Subpeubah profil penyuluh dan kepuasan kerja tidak ada yang berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh kehutanan. Hal ini dikarenakan meskipun terdapat proses transfer ilmu, pengetahuan, dan pengalaman yang baik antara sesama penyuluh kehutanan serta sistem kerja yang berjalan baik berupa pelaksanaan monev di Dishutbun Cianjur, namun frekuensi pelatihan yang rendah dan tingkat pendidikan tinggi penyuluh kehutanan yang kurang sesuai dengan bidang kehutanan menyebabkan kinerja penyuluh kehutanan menjadi kurang optimal.

Subpeubah motivasi kerja yang berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh kehutanan adalah tingkat berprestasi, tingkat kepekaan terhadap informasi, tingkat pemaknaan kerja, tingkat kewenangan dan tanggung jawab, tingkat dukungan administrasi dan kebijakan, tingkat dukungan pembinaan dan supervisi, serta kondisi wilayah kerja. Sebaliknya, subpeubah motivasi kerja yang tidak berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh kehutanan adalah tingkat imbalan dan tingkat hubungan interpersonal. Adanya totalitas penyuluh dalam melaksanakan tupoksinya walaupun dengan keterbatasan tunjangan operasional yang ada, dan tingginya tingkat kewenangan, pengetahuan serta kemandirian penyuluh dalam pelaksanaan tupoksinya menyebabkan kinerja penyuluh kehutanan tetap cukup baik.

(5)

yang masih rendah, mengarahkan agar pendidikan tinggi yang akan ditempuh oleh penyuluh agar sesuai dengan bidang kehutanan, dan lebih meningkatkan kesejahteraan penyuluh kehutanan mengingat totalitas penyuluh dalam menjalankan tupoksinya dengan segala keterbatasan yang ada. Selanjutnya, Dishutbun Kabupaten Cianjur perlu melakukan rekruitmen penyuluh kehutanan mengingat penyuluh kehutanan yang ada sebagian besar akan segera memasuki usia pensiun. Pembinaan dan kaderisasi Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM) di setiap desa merupakan salah satu upaya untuk mengatasi keterbatasan jumlah penyuluh kehutanan. Pentingnya penelitian lanjutan untuk mengetahui faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kinerja penyuluh kehutanan sebagai informasi dan upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan penyuluhan kehutanan.

(6)

Extension Workers in Cianjur District West Java Province. Supervised by SITI AMANAH and DWI SADONO.

This study aims to describe the profile of forestry extension, analyze the level of motivation, job satisfaction and performance of forestry extension in Cianjur, and analyzes the extent of extension profiles, motivation and job satisfaction related to the performance of extension forestry. The data gathering was conducted from March to April 2014 in Cianjur Regency West Java Province. Methods of data collection using questionnaires, interviews, observation and study of literature with census techniques (43 forestry extension). Variables were observed and expected to affect the performance of forestry extension consists of: (1) extension profile (age, years of service, education level, and frequency of training), (2) work motivation (achievement level, the sensitivity of the information, meaning of work, levels of authority and responsibility, administrative support and policy level, the level of support coaching and supervision, the level of benefits, the level of interpersonal relationships, and the condition of the working area), and (3) job satisfaction (psychological factors, social factors, financial factors, and factors physical).

The results showed that the majority of forestry extension has older age categories, above 48 years (72 percent), has a long working period, above 23 years (58 percent), higher education level, S1-S2 (70 percent), and frequency of training is low, ie 1-3 times a year (67 percent). The level of work motivation were high tended to moderate, work satisfaction were high, and the level of performance including the moderate categories. There is an positive significant correlation between motivation to the performance of forestry extension workers, and there is no significant correlation between the profile of forestry extension and job satisfaction to the performance of forestry extension workers.

Subvariable the extension profile and job satisfaction no real associated with the performance of forestry extension. This is because even though there is knowledge transfer, knowledge, and experience both among forestry extension and working system that runs well in Dishutbun Cianjur, but the low frequency of training and higher education level forestry extension that was not relevant to the forestry sector’s causes the performance of forestry extension be less than optimal.

Subvariable motivation to work related to the performance of forestry extension is the level of achievement, the sensitivity of the information, meaning the level of employment, levels of authority and responsibility, administrative support and policy level, the level of coaching support and supervision, as well as the condition of the working area. Instead, work motivation subvariable unrelated to the performance of forestry extension is the rate of return and the level of interpersonal relationships. The totality of forestry extension in carrying out their duties despite the limitations of the existing allowance, and high levels of authority, knowledge and independence in the execution of his duty cause the performance of forestry extension still quite good.

(7)

sector, and further improve the welfare of the extension forestry considering the totality of extension in their duties with all the limitations that exist. Furthermore, there needs to be an effort to recruit candidates for forestry extension considering most will soon retire. The importance of further research to determine other factors associated with the performance of extension agents as information and efforts to improve the quality of forestry extension services.

Key words: forestry extension workers, motivation, job satisfaction, job performance.

(8)

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(10)
(11)

NIM : I351120101

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Siti Amanah, MSc Ketua

Dr Ir Dwi Sadono, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Prof Dr Ir Sumardjo, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:

(12)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah penyuluh kehutanan, dengan judul Motivasi, Kepuasan Kerja dan Kinerja Penyuluh Kehutanan di Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada:

1. Komisi pembimbing Dr Ir Siti Amanah MSc (Ketua) dan Dr Ir Dwi Sadono MSi (Anggota) yang telah membimbing dan memberikan saran, masukan serta arahan dalam penyusunan karya ilmiah ini.

2. Penguji luar komisi Prof Dr Ir Aida Vitayala S Hubeis atas masukan dan sarannya.

3. Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Prof Dr Ir Sumardjo MS dan seluruh Dosen beserta karyawan PPN IPB atas semua ilmu dan bantuannya.

4. Ayahanda dan Ibunda tercinta Bapak Ibnu Mas’ud dan Ibu Sultonih atas doa dan kasih sayangnya selama ini.

5. Istriku tercinta Rahayu Ningsih dan Anakku tersayang Khairul Azzam, atas dukungan, kasih sayang dan pengorbanannya.

6. Rekan-rekan PPN IPB Angkatan 2012 yaitu Mujiburrahmad, Aan Hermawan, Ismilaili, Rindi Metalisa, Nurul Dwi Novikarumsari, Lina Asnamawati dan Annisa Yulia Handayani. Terima kasih atas kebersamaan kita yang tak terlupakan.

7. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Cianjur Jawa Barat atas perkenannya memberikan segala data dan informasi yang diperlukan.

8. Seluruh Penyuluh Kehutanan Kabupaten Cianjur Jawa Barat atas kerjasamanya terutama Bapak Hadi Firmansyah dan seluruh keluarganya yang telah memberikan bantuan akomodasi penginapan selama penelitian. 9. Pusat Penyuluhan Kehutanan Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM

Kehutanan Kementerian Kehutanan atas beasiswa pascasarjana dan biaya penelitian yang diberikan.

10. Seluruh Penyuluh Kehutanan Ahli di Pusat Penyuluhan Kehutanan atas dukungan dan sarannya.

11. Semua pihak terkait yang tidak dapat penulis sebutkan yang turut membantu kelancaran penyusunan karya ilmiah ini.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini belumlah sempurna, namun penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi pengembangan ilmu penyuluhan di bidang kinerja penyuluh.

.

Bogor, Januari 2015

Firmansyah I351120101

(13)

DAFTAR TABEL ii DAFTAR GAMBAR ii DAFTAR LAMPIRAN ii 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 3 Tujuan Penelitian 4 Manfaat Penelitian 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 Motivasi Kerja 5 Kepuasan Kerja 7 Kinerja 9

Kebijakan dan Pembangunan Penyuluhan Kehutanan 12

Penyuluh Kehutanan 14

Jabatan dan Tupoksi Penyuluh Kehutanan 15

Kerangka Berpikir Penelitian 17

Hipotesis Penelitian 20

3 METODE PENELITIAN 20

Lokasi dan Waktu Penelitian 20

Populasi dan Sampel 20

Desain Penelitian 20

Pengembangan Instrumen Penelitian 20

Definisi Operasional dan Pengukuran Peubah 21

Uji Coba Instrumen 26

Teknik Pengumpulan Data 27

Analisis Data 28

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 29

Gambaran Umum Wilayah Penelitian 29

Profil Penyuluh Kehutanan 31

Tingkat Motivasi Kerja 34

Tingkat Kepuasan Kerja 42

Tingkat Kinerja Penyuluh Kehutanan 45

Hubungan Profil dengan Kinerja Penyuluh Kehutanan 51 Hubungan Motivasi Kerja dengan Kinerja Penyuluh Kehutanan 53 Hubungan Kepuasan Kerja dengan Kinerja Penyuluh Kehutanan 57

5 SIMPULAN DAN SARAN 59

DAFTAR PUSTAKA 60

(14)

2 Hasil uji instrumen penelitian 27 3 Distribusi penyuluh, PKSM dan KTH di Kabupaten Cianjur 30 4 Profil penyuluh kehutanan di Kabupaten Cianjur 32 5 Skor tingkat motivasi kerja penyuluh kehutanan Kabupaten Cianjur 35 6 Skor tingkat kepuasan kerja penyuluh kehutanan di Kabupaten Cianjur 42 7 Skor tingkat kinerja penyuluh kehutanan di Kabupaten Cianjur 46 8 Nilai koefisien korelasi profil penyuluh dengan kinerjanya 51 9 Nilai koefisien korelasi motivasi kerja penyuluh dengan kinerjanya 53 10 Nilai koefisien korelasi kepuasan kerja penyuluh dengan kinerjanya 57

DAFTAR GAMBAR

1 Bagan kerangka berpikir penelitian motivasi, kepuasan kerja dan kinerja penyuluh kehutanan di Kabupaten Cianjur Jawa Barat 19

DAFTAR LAMPIRAN

1 Sketsa wilayah penelitian Kabupaten Cianjur 65

2 Luas dan produksi hutan rakyat Kabupaten Cianjur tahun 2012 66 3 Luas kawasan hutan di Kabupaten Cianjur berdasarkan fungsi atau

statusnya 67

4 Hasil uji validitas dan reliabilitas 68

5 Hasil Uji Korelasi Pearson 72

6 Uji beda nyata kinerja penyuluh penyuluh, atasan dan petani 74 7 Sarana dan prasarana penyuluhan di Kabupaten Cianjur 76 8 Hutan dan kebun bibit rakyat di Kabupaten Cianjur 77

(15)

Pembangunan kehutanan penting untuk diperhatikan mengingat saat ini sekitar 48.8 juta orang bergantung hidupnya dari hutan dan 10.2 juta orang secara struktural ekonomi termasuk dalam kategori miskin. Sektor kehutanan juga merupakan salah satu sektor yang berkontribusi dalam pembangunan kelestarian lingkungan hidup. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan pembangunan milenium saat ini (millennium development goals/ MDGs) yang ke-tujuh, berbunyi “Memastikan Kelestarian Lingkungan” (Kemenhut 2012).

Kebijakan pemerintah pusat melalui Kementerian Kehutanan dalam pembangunan kehutanan kini lebih menitikberatkan pada masyarakat sebagai pelaku utama kegiatan. Hal ini sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan pasal 70 dimana pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui partisipasi mereka dalam kegiatan pembangunan kehutanan. Salah satu bentuk upaya pemerintah pusat melalui Kementerian Kehutanan dalam pembangunan kehutanan adalah dengan meningkatkan partisipasi dan peran serta masyarakat melalui pemberdayaan, pembinaan atau pendampingan. Melalui partisipasi dan peran serta masyarakat sebagai pelaku utama dalam kegiatan-kegiatan pembangunan kehutanan, diharapkan kerusakan terhadap sumber daya hutan dapat diminimalisir.

Menurut data Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur (2014), selama periode tahun 1995-2006 diketahui bahwa laju pertambahan penduduk di Kabupaten Cianjur saat ini adalah salah satu yang tertinggi di Provinsi Jawa Barat yakni rata-rata 1.86 persen per tahun. Namun untuk kurun waktu 2005-2015, perkiraan laju pertumbuhan penduduknya diperkirakan 1.62-1.86 persen. Hal tersebut tentu menyebabkan semakin tinggi pula kebutuhan masyarakat akan sandang, pangan, papan, serta berbagai keperluan lainnya. Masalah sosial ekonomi yang diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk tersebut, secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak pula pada kelestarian sumber daya hutan di Provinsi Jawa Barat khususnya di Kabupaten Cianjur.

Luas keseluruhan hutan rakyat di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2010 tercatat 419 041 ha. Kabupaten Cianjur adalah kabupaten yang memiliki hutan rakyat terluas di Jawa Barat yaitu 60 221 ha atau 14.37 persen dari total luas hutan rakyat di Jawa Barat (Kemenhut 2011). Seiring dengan waktu, luas hutan rakyat di Kabupaten Cianjur kini menurun menjadi 47 603 ha (Dishutbun Cianjur 2012).

Berkenaan dengan hal tersebut, maka diperlukan upaya penanggulangan gangguan terhadap kelestarian sumber daya hutan secara umum dan secara khusus meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan kehutanan. Kegiatan penyuluhan kehutanan merupakan salah satu solusi yang dinilai efektif dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya hutan secara optimal.

Jumlah penyuluh kehutanan Pegawai Negeri Sipil yang ada di Indonesia masih sangat terbatas, yakni 4 091 orang yang terdiri dari Penyuluh Kehutanan

(16)

Tingkat Terampil sebanyak 2 726 orang, dan Penyuluh Kehutanan Tingkat Ahli sebanyak 1 365 orang. Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki jumlah penyuluh kehutanan tertinggi ketiga di Indonesia setelah Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu sekitar 480 orang atau 11.73 persen dari total penyuluh kehutanan di Indonesia. Kabupaten Cianjur adalah kabupaten yang memiliki jumlah penyuluh kehutanan tertinggi di Provinsi Jawa Barat yakni 50 orang penyuluh kehutanan atau 10.4 persen dari jumlah penyuluh kehutanan yang ada di Provinsi Jawa Barat (Kemenhut 2013).

Kementerian Kehutanan (2010) mencatat jumlah desa yang berhubungan dengan kawasan hutan di Indonesia sebanyak 31 957 desa yang terdistribusi di dalam kawasan hutan sebanyak 1 305 desa (4.08 persen), tepi kawasan hutan sebanyak 7 943 desa (24.86 persen), dan di sekitar kawasan hutan tercatat sebanyak 22 709 desa (71.06 persen). Apabila dibandingkan antara jumlah penyuluh kehutanan dengan jumlah desa hutan yang ada, maka terdapat perbedaan yang sangat besar dimana setiap penyuluh harus membina sekitar delapan desa. Mengingat terbatasnya jumlah penyuluh kehutanan yang ada, maka optimalisasi kinerja penyuluh kehutanan sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan pembangunan sektor kehutanan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka hal-hal yang berhubungan dengan optimalisasi kinerja dari penyuluh kehutanan menjadi sangat penting untuk diteliti.

Penelitian yang berkaitan dengan kinerja penyuluh kehutanan sampai saat ini masih sangat terbatas. Penelitian terhadap kinerja penyuluh kehutanan sebelumnya pernah dilakukan oleh Asmoro (2009) di Kabupaten Kuningan dan Purwakarta Provinsi Jawa Barat yang merekomendasikan perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kinerja penyuluh kehutanan.

Penelitian terhadap kinerja penyuluh kehutanan sampai saat ini belum mengkaji secara khusus dan mendalam faktor individu dan faktor psikologis penyuluh. Pada penelitian sebelumnya, pengukuran tingkat kinerja penyuluh kehutanan hanya berdasarkan teori penilaian kinerja dan belum mengacu pada pelaksanaan tugas pokok dan fungsi penyuluh kehutanan sesuai Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 27 Tahun 2013. Hal ini mendasari pentingnya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kinerja penyuluh kehutanan berdasarkan pelaksanaan tugas pokoknya.

Kinerja penyuluh kehutanan pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Kinerja penyuluh kehutanan seperti halnya penyuluh pertanian sangat dipengaruhi oleh faktor individu, faktor psikologis dan lingkungan atau organisasi tempat penyuluh bertugas. Hubeis (2007) mengemukakan bahwa hubungan kepuasan kerja dengan produktivitas penyuluh pertanian lapangan di Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat bernilai positif namun tidak berkorelasi secara nyata. Kusumawati (2008) mengemukakan bahwa terdapat hubungan nyata antara kepuasan kerja dengan kinerja pegawai. Suhanda et al. (2009) menyatakan bahwa terdapat hubungan sangat nyata antara motivasi intrinsik sebagai faktor motivator dan motivasi ekstrinsik sebagai faktor hygiene dengan kinerja penyuluh pertanian di Provinsi Jawa Barat.

Sejalan dengan hal tersebut, Sapar et al. (2011) dan Hamzah (2011) menemukan bahwa terdapat hubungan signifikan antara sejumlah faktor individu seperti umur, pelatihan, masa kerja dan motivasi kerja dengan kinerja penyuluh

(17)

pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa faktor individu dan motivasi kerja juga merupakan unsur penting yang dapat mempengaruhi kinerja dari seorang penyuluh.

Menindaklanjuti hasil penelitian-penelitian tersebut, penyuluh kehutanan sebagaimana halnya pekerja pada umumnya, kinerjanya terkait dengan unsur motivasi kerja (Koys 2001), serta unsur komitmen dan kepuasan kerja (Carmeli & Freud 2004). Hal ini sesuai dengan pendapat pakar bahwa kinerja dipengaruhi oleh kemampuan dan motivasi (Ainsworth et al. 2002). Gibson (2000) kemudian secara jelas menggambarkan adanya hubungan timbal balik antara kinerja dan kepuasan kerja.

Robbins dan Judge (2008) menyatakan bahwa kepuasan kerja dapat mempengaruhi kinerja seseorang di dalam organisasi dimana individu yang memiliki kepuasan kerja yang tinggi mempunyai sikap yang positif terhadap pelaksanaan kerjanya, sedangkan individu yang tidak memiliki kepuasan kerja mempunyai sikap yang negatif terhadap pelaksanaan pekerjaannya. Berdasarkan hal tersebut, faktor-faktor lain yang ingin ditelaah lebih mendalam dan diperkirakan berhubungan dengan kinerja dari penyuluh kehutanan yaitu profil individu penyuluh, motivasi dan kepuasan kerja dari penyuluh kehutanan.

Optimalnya kinerja dari penyuluh kehutanan diharapkan akan berdampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap keberdayaan dan kemandirian masyarakat hutan di suatu daerah. Melalui kinerja penyuluh kehutanan yang baik, diharapkan juga dapat menekan laju degradasi luasan hutan termasuk hutan rakyat di Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Hal tersebut menjadi dasar pentingnya penelitian ini dilakukan sebagai upaya masukan ataupun saran serta informasi kepada pihak-pihak terkait untuk peningkatan profesionalisme penyuluh kehutanan agar lebih baik lagi sesuai dengan tuntutan profesinya.

Perumusan Masalah

Mengingat terbatasnya jumlah penyuluh kehutanan yang ada saat ini, maka optimalisasi kinerja penyuluh kehutanan sangat dibutuhkan untuk mengefektifkan peran dan fungsi mereka sebagai pendamping, pembina maupun pengembang ide-ide kegiatan pembangunan kehutanan. Terlebih lagi peran penyuluh dalam mengatasi masalah-masalah kehutanan di lapangan sangat vital dibutuhkan.

Jumlah penyuluh kehutanan di Kabupaten Cianjur Jawa Barat setiap tahun terus mengalami penurunan. Pada tahun 2012, jumlah penyuluh kehutanan di Kabupaten Cianjur berjumlah 59 orang, dan pada akhir tahun 2013 berubah menjadi sebanyak 50 orang (Kemenhut 2013).

Banyaknya faktor yang menyebabkan penurunan jumlah penyuluh kehutanan, selain karena memasuki usia pensiun, juga disebabkan adanya pindah jabatan yaitu beralih ke jabatan nonstruktural. Hal ini tentu harus menjadi perhatian mengingat Kabupaten Cianjur memiliki potensi kehutanan yang tinggi sehingga membutuhkan penyuluh kehutanan yang memadai baik dari kualitas maupun kuantitasnya.

Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat saat ini tercatat memiliki luas wilayah 350 148 Km2 dimana terdapat luas kawasan hutan seluas 89 834 ha dan hutan rakyat seluas 47 603 ha. Saat ini banyak kegiatan kehutanan di Kabupaten Cianjur yang membutuhkan pendampingan ataupun pembinaan dari penyuluh

(18)

kehutanan seperti program penghijauan dalam bentuk pengembangan hutan rakyat, kebun bibit rakyat, pemeliharaan kebun bibit permanen maupun aneka usaha kehutanan lainnya seperti budidaya jamur, tanaman obat dan lainnya.

Berbagai kegiatan pembangunan kehutanan seperti yang diuraikan di atas, berhasil atau tidak tentunya tidak terlepas dari kinerja penyuluh kehutanan dalam menjalankan tugas pokok yang salah satu fungsi dan perannya adalah memberdayakan, membina dan mendampingi masyarakat sasaran. Oleh karena itu, sebagai profesi yang bertugas memberdayakan, membina, mendampingi dan memberi contoh kepada para petani hutan, penyuluh kehutanan semestinya juga harus memiliki semangat dalam melaksanakan tugasnya.

Berdasarkan fakta di lapangan, masih sering dijumpai penyuluh kehutanan di Kabupaten Cianjur yang terlihat kurang memiliki semangat dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini tentu disebabkan oleh berbagai faktor, salah satu kemungkinan sebabnya adalah kurangnya motivasi dan kepuasan kerja dari penyuluh kehutanan.

Zainun (2004) menyatakan bahwa kepuasan kerja yang timbul dari sebuah pekerjaan maka akan membuat seseorang melaksanakan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh dan menumpahkan perhatian yang penuh kepada pekerjaannya tersebut. Hasil penelitian Widiyawati (Hubeis 2007) menyatakan bahwa pekerja yang termotivasi akan menggunakan 80-90 persen kemampuannya dalam bekerja dan mereka yang tidak termotivasi hanya memakai 20-30 persen kemampuannya dalam bekerja.

Menindaklanjuti hasil rekomendasi penelitian Asmoro (2009), maka penting dilakukan penelitian lanjutan mengenai kinerja penyuluh kehutanan khususnya di Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Adanya perkembangan pembangunan penyuluhan kehutanan saat ini yaitu terbitnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan, Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, serta adanya kebijakan pemerintah pusat untuk melakukan sertifikasi setiap penyuluh kehutanan sejak tahun 2010 dan rencana pemberian tunjangan profesi bagi penyuluh kehutanan diduga dapat memberikan perubahan kinerja penyuluh kehutanan yang lebih baik dari sebelumnya.

Berdasarkan uraian di atas, maka masalah-masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini diantaranya yaitu:

1. Bagaimanakah kondisi profil penyuluh kehutanan di Kabupaten Cianjur Jawa Barat?

2. Bagaimanakah tingkat motivasi, kepuasan kerja dan kinerja penyuluh kehutanan di Kabupaten Cianjur Jawa Barat?

3. Sejauhmana hubungan antara profil penyuluh, motivasi dan kepuasan kerja dengan kinerja penyuluh kehutanan di Kabupaten Cianjur Jawa barat?

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mendeskripsikan profil penyuluh kehutanan Kabupaten Cianjur Jawa Barat. 2. Menganalisis tingkat motivasi, kepuasan kerja dan kinerja penyuluh

kehutanan di Kabupaten Cianjur Jawa Barat.

3. Menganalisis hubungan antara profil, motivasi dan kepuasan kerja dengan kinerja penyuluh kehutanan di Kabupaten Cianjur Jawa Barat.

(19)

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu :

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu penyuluhan pembangunan.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan dan penyelenggara penyuluhan kehutanan di daerah, para penyuluh, dan pihak yang terkait dalam rangka upaya peningkatkan kualitas sumber daya manusia kehutanan Indonesia pada umumnya dan khususnya penyuluh kehutanan.

3. Sebagai informasi yang dapat digunakan untuk penelitian lanjutan terhadap permasalahan yang sama di masa yang akan datang.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Motivasi Kerja

Berbagai pakar mengetengahkan pandangannya tentang definisi motivasi. Pandangan para pakar tersebut melahirkan berbagai teori motivasi. Padmowihardjo (1994) menjelaskan bahwa kata motivasi berasal dari dua kata yakni motif dan asi (action). Motif berarti dorongan dan asi berarti usaha, sehingga motivasi dapat diartikan sebagai usaha yang dilakukan manusia untuk menimbulkan dorongan untuk berbuat atau melakukan tindakan. Motivasi juga dapat artikan sebagai faktor pendorong yang berasal dari dalam diri manusia yang akan mempengaruhi cara bertindak seseorang. Berdasarkan hal tersebut, motivasi kerja akan berpengaruh terhadap kinerja seseorang.

Uno (2006) menyatakan bahwa motivasi berasal dari kata motif, yaitu dorongan yang terdapat dalam diri seseorang untuk berusaha mengadakan perubahan tingkah laku yang lebih baik dalam memenuhi kebutuhannya. Motivasi tidak dapat diamati langsung, tetapi dapat diinterpretasikan dari tingkah lakunya. Jadi, motivasi dalam hal ini sebenarnya merupakan respon dari suatu aksi, yaitu mencapai tujuan dimana tujuan ini menyangkut tentang kebutuhan.

Terkait konsep tentang motivasi, yang pertama kali terkenal dikemukakan oleh Maslow tahun 1943 berdasarkan tingkatan kebutuhan seseorang yang kemudian dikenal dengan “Teori Motivasi Kebutuhan Maslow”. Menurut teori ini, seseorang berperilaku karena adanya dorongan untuk memperoleh pemenuhan dalam bermacam-macam kebutuhan. Seseorang akan membutuhkan jenjang kebutuhan selanjutnya bila kebutuhan sebelumnya telah tercapai. Menurut Maslow kebutuhan berjenjang meliputi: (1) kebutuhan fisiologis manusia meliputi: makan, minum, pakaian bertempat tinggal dan kebutuhan fisik lainnya, (2) kebutuhan untuk memperoleh keselamatan, keamanan, jaminan atau perlindungan dari ancaman yang membahayakan kelangsungan hidup dan kehidupannya, (3) kebutuhan untuk disukai dan menyukai, disenangi dan menyenangi, bergaul, berkelompok, bermasyarakat, (4) kebutuhan untuk memperoleh kehormatan, penghormatan, pujian, penghargaan dan pengakuan, (5) kebutuhan untuk kebanggaan, kekaguman dan kemasyhuran sebagai orang yang

(20)

mampu dan berhasil mewujudkan potensi bakatnya dengan hasil prestasi yang luar biasa (Steers et al. 1996).

Atkinson dan Mac Clelland tahun 1961 (Zainun 2004) lebih lanjut menampilkan tiga macam motif utama pada manusia dalam bekerja yang dikemudian dikenal dengan nama “Teori Motivasi Berprestasi” yaitu: (1) kebutuhan merasa berhasil atau berprestasi, (2) kebutuhan untuk bergaul atau berteman, dan (3) kebutuhan untuk berkuasa. Sekalipun semua orang mempunyai kebutuhan atau motif ini, namun kekuatan pengaruh kebutuhan itu tidak sama bagi setiap orang, bahkan untuk satu orang yang sama tidak sama kuatnya pada kondisi atau saat yang berbeda. Lebih lanjut, Atkinson dan Mac Clelland sudah menggunakan teori mereka ini untuk meningkatkan kinerja suatu pekerja dengan jalan menyesuaikan kondisi sedemikian rupa sehingga dapat menggerakkan orang ke arah pencapaian hasil yang diinginkannya.

Teori motivasi yang paling terkenal lainnya yaitu dari Hezberg tahun 1966 yang terkenal dengan “Teori Dua Faktor”. Teori ini menyatakan bahwa pada setiap pelaksanaan pekerjaan akan terdapat dua faktor penting yang mempengaruhi suatu pekerjaan dilaksanakan dengan baik atau tidak. Faktor tersebut adalah faktor intrinsik dan ekstrinsik (Uno 2006). Faktor intrinsik berhubungan dengan perasaan positif terhadap pekerjaan dan berasal dari pekerjaan itu sendiri. Faktor ekstrinsik berhubungan dengan perasaan negatif terhadap pekerjaan dan berhubungan dengan lingkungan dimana pekerjaan tersebut dilakukan. Faktor ekstrinsik tersebut akan berfungsi sebagai pemeliharaan faktor intrinsik, sehingga faktor ini sering disebut dengan faktor-faktor hygiene.

Pada tahun 1972, Psikolog Clayton Alderfer sepakat dengan Maslow bahwa motivasi pekerja dapat diukur menurut hierarki kebutuhan. Menurut pendapat Alderfer yang kemudian dikenal dengan “Teori ERG”, bahwa kebutuhan-kebutuhan manusia dibagi ke dalam tiga kategori yaitu: (1) kebutuhan-kebutuhan eksistensi (kebutuhan fundamental Maslow ditambah tunjangan tambahan di tempat kerja), (2) kebutuhan hubungan personal dan interpersonal, (3) kebutuhan pertumbuhan, seperti kreativitas, produktif (Uno 2006).

Stoner dan Freeman (1994) kemudian menyatakan bahwa teori kebutuhan Maslow dan teori Alderfer sukar untuk diuji, dikarenakan aplikasinya sulit untuk dilakukan evaluasi pada lingkungan organisasi, praktek manajemen atau pemenuhan kebutuhan pribadi karyawan. Kedua teori ini menawarkan pengertian yang bermanfaat mengenai kebutuhan manusia.

Sejalan dengan teori Herzberg tahun 1966, Malone (Uno 2006) membedakan dua bentuk motivasi yang meliputi motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik timbul tidak memerlukan ransangan dari luar karena memang telah ada dalam diri individu sendiri, sedangkan motivasi ektrinsik berkembang karena adanya ransangan dari luar individu. Menurut Suhanda et al. (2009) faktor-faktor intrinsik meliputi motivasi berprestasi, kesempatan pengembangan karir, pemaknaan pekerjaan, kewenangan dan tanggung jawab, sedangkan faktor-faktor ekstrinsik diantaranya adalah sistem administrasi dan kebijakan, pembinaan dan supervisi, kondisi kerja, gaji dan honor.

Uno (2006) menyatakan bahwa ciri-ciri yang dapat diamati dari seseorang yang memiliki motivasi kerja yang baik antara lain: (1) memiliki kinerja yang baik dan tergantung pada usaha dan kemampuan yang dimilikinya sendiri

(21)

dibandingkan dengan melalui kelompok, (2) memiliki kemampuan dalam menyelesaikan tugas-tugas yang sulit, dan (3) seringkali memiliki umpan balik yang kongkret tentang bagaimana seharusnya ia melaksanakan tugas secara optimal.

Mengacu pada uraian teoritis dan pakar di atas, dapat didefinisikan bahwa motivasi kerja merupakan salah satu faktor yang turut menentukan kinerja seseorang. Perbedaan motivasi kerja bagi seseorang biasanya akan tercermin dalam berbagai kegiatan, terutama dari kinerja atau prestasi kerja yang dicapainya.

Pada penelitian ini, berdasarkan konsep teori dua faktor dari Herzberg dan pendapat dari Malone yang menyatakan bahwa motivasi terbagi menjadi dua, yaitu motivasi intrinsik yang meliputi: (1) tingkat berprestasi, (2) tingkat kepekaan terhadap informasi, (3) tingkat pemaknaan kerja, (4) tingkat kewenangan dan tanggung jawab. Kemudian motivasi ekstrinsik meliputi (1) tingkat dukungan administrasi dan kebijakan, (2) tingkat dukungan pembinaan dan supervisi, (3) tingkat imbalan, (4) tingkat hubungan interpersonal, serta (5) kondisi wilayah kerja.

Kepuasan Kerja

Menurut Siagian (1995) bahwa kepuasan kerja merupakan suatu cara pandang seseorang baik yang bersifat positif maupun yang negatif tentang pekerjaannya dimana situasi lingkungan pun turut berpengaruh pada tingkat kepuasan kerja seseorang. Pemahaman yang lebih tepat tentang kepuasan kerja dapat terwujud apabila analisis tentang kepuasan kerja dikaitkan dengan prestasi kerja (kinerja), tingkat kemangkiran (absensi), keinginan pindah, usia pekerja, tingkat jabatan dan besar kecilnya organisasi.

Davis dan John (Puspadi 2002) menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan seperangkat persepsi seseorang tentang menyenangkan atau tidaknya pekerjaan. Kemudian As’ad (2003) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah perasaan seseorang terhadap pekerjaan, artinya kepuasan kerja merupakan hasil interaksi manusia dengan lingkungan kerjanya.

Sejalan dengan David dan John serta As’ad, Robbins dan Judge (2008) juga berpendapat bahwa kepuasan kerja adalah sebagai suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari evaluasi karakteristiknya. Menurutnya, konsep kepuasan kerja mengacu pada sikap umum seseorang terhadap pekerjaannya.

Menurut Zainun (2004), sampai saat ini para pakar dan ahli masih saling bertentangan mengenai hubungan antara kepuasan kerja dengan kinerja seseorang. Satu mazhab menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada hubungan antara kepuasan kerja dengan kinerja seseorang. Namun di kalangan lainnya terdapat keyakinan tentang adanya hubungan itu bahwa kepuasan kerja akan meningkatkan kinerja seseorang.

Gibson (2000) menyatakan pendapat adanya hubungan timbal balik antara kinerja dan kepuasan kerja. Pernyataan Gibson tersebut kemudian diperkuat oleh Zainun (2004) yang menyatakan bahwa kepuasan kerja yang timbul dari sebuah pekerjaan maka akan membuat seseorang melaksanakan pekerjaannya dengan

(22)

sungguh-sungguh dan menumpahkan perhatian yang penuh kepada pekerjaannya tersebut.

Wexley dan Yulk (Puspadi 2002) lebih lanjut mengatakan bahwa persepsi individu tentang pekerjaannya akan menentukan kepuasan kerjanya. Persepsi individu tentang pekerjaan dipengaruhi oleh karakteristik individu yang terdiri atas kebutuhan, nilai-nilai, kepribadian dan lingkungan kerja yang terdiri dari imbalan, pembinaan, pekerjaan itu sendiri, kolega, keamanan kerja, kesempatan untuk berkembang atau karir. Banyak faktor yang menentukan kepuasan kerja, antara lain: (1) pekerjaan yang menantang; (2) penghargaan yang adil; (3) lingkungan kerja yang mendukung; (4) dukungan rekan kerja, dan (5) kesesuaian antara kepribadian dengan pekerjaan. Kemudian As’ad (2003) juga menjelaskan bahwa kepuasan kerja dari tiap-tiap individu secara garis besar dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu: (1) faktor psikologi, (2) faktor sosial, (3) faktor finansial, (4) faktor fisik. Sejalan dengan hal tersebut, Robbins dan Judge (2008) berpendapat bahwa kepuasan kerja dapat mempengaruhi kinerja seseorang dimana individu yang memiliki kepuasan kerja yang tinggi mempunyai sikap yang positif terhadap pelaksanaan kerjanya, sedangkan individu yang tidak memiliki kepuasan kerja mempunyai sikap yang negatif terhadap pelaksanaan pekerjaannya.

Robbins dan Judge (2008) menyatakan bahwa pekerja yang bahagia dengan pekerjaannya akan cenderung lebih produktif dan memiliki kinerja yang baik, meskipun sulit untuk mengatakan ke mana arah hubungan sebab akibatnya. Sebuah tinjauan dari 300 penelitian menunjukkan adanya korelasi yang cukup kuat antara kepuasan kerja dengan kinerja seseorang. Robbins dan Judge kemudian dalam penelitiannya menemukan bahwa, ketika data produktivitas dan kepuasan secara keseluruhan dikumpulkan dalam suatu organisasi, mereka menemukan bahwa organisasi yang mempunyai karyawan yang lebih puas cenderung lebih efektif dan optimal bila dibandingkan dengan karyawan yang tidak puas.

Menurut Robbins dan Judge (2008), bahwa respon karyawan yang tidak puas dengan pekerjaannya yaitu: (1) keluar, yaitu perilaku yang ditunjukkan seseorang dengan mencari posisi baru atau mengundurkan diri, (2) aspirasi, yaitu secara aktif dan konstruktif berusaha memperbaiki kondisi termasuk menyarankan perbaikan, mendiskusikan dengan atasan dan beberapa aktivitas, (3) kesetiaan, yaitu secara pasif tetapi tetap optimis menunggu membaiknya kondisi termasuk membela dan mempercayai organisasi melakukan hal yang benar, (4) pengabaian, yaitu secara pasif membiarkan kondisi menjadi lebih buruk, termasuk ketidakhadiran, keterlambatan yang terus menerus, kurangnya gairah, dan meningkatnya angka kesalahan. Hal tersebut menjadi berguna bagi organisasi dalam mempresentasikan konsekuensi yang mungkin dari ketidakpuasan kerja karyawan.

Penelitian Hubeis (2007) menitikberatkan pada hubungan kepuasan kerja terhadap produktivitas penyuluh pertanian lapangan di Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa hubungan kepuasan kerja dengan produktivitas penyuluh pertanian lapangan bernilai positif namun tidak berkorelasi secara nyata. Pada penelitian tersebut, unsur kepuasan kerja yang diteliti yaitu: (1) faktor psikologis, (2) faktor sosial, (3) faktor fisik, dan (4) faktor finansial.

(23)

Merujuk pendapat dari para pakar, maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah tingkat persepsi dan perasaan yang bersifat positif maupun negatif seseorang terhadap pekerjaannya. Berdasarkan uraian di atas, maka faktor-faktor yang diduga dapat mempengaruhi tingkat kepuasan kerja penyuluh kehutanan dalam penelitian ini yaitu: (1) faktor psikologi, (2) faktor sosial, (3) faktor finansial dan (4) faktor fisik.

Kinerja

King (1993) menjelaskan bahwa kinerja adalah aktivitas seseorang dalam melaksanakan tugas pokok yang dibebankan kepadanya. Senada dengan Patria King, ahli lainnya Withmore (1997) mengatakan bahwa kinerja adalah pelaksanaan fungsi-fungsi dan tugas yang dituntut dari seseorang.

Hal senada lainnya juga dinyatakan oleh As’ad (2003) yang menyatakan bahwa kinerja merupakan kesuksesan seseorang dalam melaksanakan tugas pekerjaannya. Mengacu pada pandangan tersebut, dapat diinterpretasikan bahwa tingkat kinerja seseorang dihubungkan dengan tugas-tugas pokok yang dibebankan kepadanya.

Bedein dan Glueck (1983) menyatakan bahwa kinerja adalah interaksi dari faktor-faktor individual seseorang seperti motivasi, kemampuan, persepsinya terhadap peran dan tugas pekerjaannya. Hal hampir senada juga disampaikan oleh Uno dan Lamatenggo (2012) yang memandang bahwa kinerja merupakan hasil interaksi atau berfungsinya unsur-unsur motivasi, kemampuan, persepsi atau pandangannya terhadap pekerjaannya, dan karakteristik diri seseorang.

Uno dan Lamatenggo (2012) kemudian menyatakan banyak faktor yang dapat berhubungan dengan kinerja seseorang. Berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya, kinerja seseorang dapat dipengaruhi faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan faktor-faktor yang ada pada diri seorang, sedangkan faktor eksternal merupakan situasi sosial atau lingkungan dimana seseorang melaksanakan tugas-tugasnya.

Terkait unsur-unsur yang dinilai dalam penilaian kinerja seseorang, Byar dan Rue (1991) menyatakan terdiri dari: (1) kualitas dari pekerjaan, yaitu mutu hasil pekerjaan dengan mempertimbangkan keakuratan, ketelitian, dan dapat dipercaya, (2) kuantitas dari pekerjaan, yaitu jumlah dari pekerjaan yang bermanfaat, pada periode waktu sejak penilaian terakhir, dibandingkan dengan standar kerja yang telah dibuat, (3) kerja sama, yaitu sikap pegawai terhadap pekerjaan, terhadap teman kerja dan pimpinannya, (4) pengetahuan terhadap pekerjaan, yaitu tingkat dimana pegawai mengerti mengenai bermacam prosedur dari pekerjaan dan tujuan-tujuannya, (5) kehandalan dari pekerjaan, yang ditandai dengan keakuratan tugas dan pembagian waktu, (6) kehadiran dan ketepatan waktu, yang berkaitan dengan catatan pegawai dan kemampuan berperilaku dalam peraturan unit kerja.

Prawirosentono (1999) kemudian mengelompokkan hal-hal yang meliputi penilaian kinerja seorang pegawai yaitu: (1) penilaian umum meliputi: penilaian atas jumlah pekerjaannya, kualitas pekerjaannya, kemampuan kerjasama dalam tim, kemampuan berkomunikasi dengan rekan kerja atau atasannya, sikap atau perilakunya dan dorongan untuk melaksanakan pekerjaan, dan (2) penilaian atas keterampilan meliputi: penilaian atas ketrampilan teknis, kemampuan mengambil

(24)

keputusan yang tepat, kepemimpinan yaitu mendorong teman-temannya bekerja lebih baik lagi, kemampuan administrasi yaitu mengatur urutan kerja yang tepat, dan kreativitas serta inovasi agar hasil pekerjaan lebih baik. Berikutnya, penilaian dalam kemampuan membuat rencana dan jadwal kerja, terutama bagi karyawan yang mempunyai banyak tanggung jawab, termasuk mengatur waktu dan upaya menekan biaya.

Lewa dan Subowo (2005) kemudian menyatakan bahwa indikator dari kinerja seseorang antara lain yaitu: (1) faktor kualitas kerja, (2) kuantitas kerja, (3) pengetahuan, (4) kehandalan, dan (5) kerjasama. Kemudian Miner (Handayani 2006), menyatakan beberapa variabel yang digunakan untuk penilaian kinerja yang ditunjukkan seseorang antara lain: (1) kualitas pekerjaan, (2) kuantitas pekerjaan, (3) ketepatan waktu kerja, (4) kerjasama dengan rekan kerja. Melengkapi hal tersebut, Donnely et al. (Rivai dan Basri 2005) menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kinerja seseorang antara lain: (1) harapan, (2) dorongan (motivasi), (3) kemampuan, kebutuhan dan sifat, (4) persepsi terhadap tugas, (5) imbalan, (6) kepuasan kerja.

Banyaknya batasan dan pengertian yang diberikan oleh para ahli mengenai definisi kinerja dikarenakan semuanya mempunyai visi yang agak berbeda. Namun demikian, secara prinsip mereka setuju bahwa kinerja mengarah pada suatu upaya seseorang dalam rangka mencapai prestasi kerja yang lebih baik. Beberapa peneliti telah mengungkapkan tingkat kinerja penyuluh di daerah penelitian masing-masing.

Penelitian Hadiyanti (2002) melihat tingkat kinerja penyuluh dari pengetahuan atas content area, pengetahuan atas process area, keinovatifan, dan akses terhadap jaringan komunikasi. Hasil penelitian menyatakan bahwa tingkat kinerja penyuluh kehutanan di Kabupaten Cianjur dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang berhubungan dengan kinerja penyuluh diantaranya: (1) tingkat pendidikan, 2) pengalaman kerja, 3) persepsi terhadap tanggung jawab, (4) persepsi terhadap tugas, dan (5) sikap terhadap tanggung jawab. Kemudian faktor eksternal yang berhubungan kinerja penyuluh diantaranya: (1) jumlah kompensasi, (2) tingkat pengakuan keberhasilan, (3) intensitas hubungan interpersonal, (4) intensitas supervisi, dan (5) tingkat ketersediaan sarana dan prasarana penyuluhan.

Penelitian Leilani dan Jahi (2006) melihat tingkat kinerja penyuluh dari persiapan, pelaksanaan penyuluhan, evaluasi dan pelaporan, pengembangan penyuluhan, pengembangan profesi, kegiatan penunjang penyuluhan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa motivasi kerja berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh dalam pelaksanaan tugas pokoknya. Pada penelitian tersebut, motivasi dibagi menjadi dua, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Beberapa subpeubah faktor intrinsik yang berhubungan dengan kinerja yaitu: (1) motivasi berprestasi, kesempatan pengembangan karir, kewenangan dan tanggung jawab serta pemaknaan kerja, sedangkan subpeubah faktor ekstrinsik yang berhubungan nyata diantaranya yaitu: (1) gaji dan honor, (2) administrasi dan kebijakan, (3) pembinaan dan supervisi, serta (4) kondisi kerja.

Penelitian Asmoro (2009) melihat tingkat kinerja penyuluh dari kuantitas dari pekerjaan, kualitas dari pekerjaan, kerja sama, pengetahuan terhadap pekerjaan, kehandalan dari pekerjaan, kehadiran dan ketepatan waktu. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara motivasi

(25)

berprestasi dengan kinerja penyuluh kehutanan terampil, namun terdapat hubungan nyata antara iklim organisasi dengan kinerjanya. Subpeubah iklim organisasi yang berhubungan nyata dengan kinerja adalah: (1) rasa tanggung jawab, (2) standar atau harapan tentang kualitas pekerjaan, (3) ganjaran atau reward, (4) rasa persaudaraan, dan (5) semangat tim.

Penelitian Suhanda et al. (2009) melihat tingkat kinerja penyuluh dari pelibatan masyarakat, analisis potensi dan kebutuhan, penyusunan programa, rencana kerja, materi penyuluhan, penerapan metode penyuluhan, penumbuhan dan pengembangan kelompok, pengembangan keswadayaan dan keswakarsaan petani, menumbuhkan kelembagaan ekonomi, evaluasi dan pelaporan, pengembangan profesionalisme, jejaring/kemitraan, tatalaksana kantor. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kinerja penyuluh pertanian di Provinsi Jawa Barat berhubungan nyata dengan motivasi intrinsik dan motivasi ektrinsik. Subpeubah motivasi intrinsik yang berhubungan sangat nyata dengan kinerja penyuluh pertanian di Provinsi Jawa Barat yaitu: (1) motivasi berprestasi, (2) kesempatan pengembangan karir, (3) kewenangan dan tanggung jawab, serta (4) makna pekerjaan. Subpeubah motivasi ekstrinsik yang berhubungan sangat nyata dengan kinerjanya yaitu: (1) gaji dan honor, (2) administrasi dan kebijakan, (3) pembinaan dan supervisi, serta (4) kondisi kerja.

Hamzah (2011) menyatakan bahwa tingkat kinerja penyuluh pertanian dapat dilihat dari beberapa hal yang dilakukannya, antara lain: perencanaan program, pelaksanaan program, pengevaluasian program, inisiatif, kreatifitas, kerjasama,dan komunikasi. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa karakteristik internal dan eksternal serta kompetensi penyuluh menentukan kinerja penyuluh pertanian. Subpeubah karakteristik internal penyuluh pertanian yang berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh pertanian yakni: (1) umur, (2) masa kerja, (3) pendidikan formal, (4) pelatihan, (5) persepsi, dan (6) pemanfaatan media. Untuk subpeubah karakteristik eksternal penyuluh pertanian yang berhubungan nyata antara lain: (1) dukungan administrasi, (2) kebijakan organisasi, (3) penghargaan, dan (4) supervisi.

Sapar et al. (2011) meneliti kinerja penyuluh pertanian berdasarkan fungsi dan perannya, yaitu: perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan, pengembangan penyuluhan, pengembangan profesi penyuluh, kepemimpinan penyuluh, diseminasi teknologi, komunikasi, kemitraan usaha dan kemampuan teknis budidaya kako. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh pertanian diantaranya yaitu karakteristik penyuluh, motivasi, kompetensi dan kemandirian penyuluh. Subpeubah karakteristik penyuluh yang berhubungan nyata diantaranya yaitu: (1) umur, (2) pelatihan, dan (3) pengalaman kerja. Kemudian subpeubah motivasi yang berhubungan nyata dengan kinerja yaitu: (1) kebutuhan untuk berprestasi, dan (2) kebutuhan berafiliasi

Banyaknya batasan dan definisi yang diberikan para ahli mengenai kinerja, maka berdasarkan kesimpulan dari berbagai pendapat, teori dan penelitian tentang penilaian kinerja, maka penilaian tingkat kinerja dari penyuluh kehutanan dalam penelitian ini adalah berdasarkan pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya yaitu meliputi: (1) tersedianya dokumen perencanaan penyuluhan kehutanan, (2) pelaksanaan metode dan materi penyuluhan kehutanan, (3) monitoring dan

(26)

evaluasi kegiatan penyuluhan kehutanan, (4) karya nyata yang dihasilkan, dan (5) keikutsertaan kegiatan penunjang penyuluhan kehutanan.

Kebijakan dan Pembangunan Penyuluhan Kehutanan

Paradigma pembangunan kehutanan kini telah berubah dari timber based management ke arah forest resources management menjadi socio ecological benefit oriented dan community based forest management. Pembangunan kehutanan dalam paradigma baru ini lebih memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berperan serta dalam pengelolaan sumber daya hutan secara optimal dengan tetap memperhatikan kelestariannya. Sebagai konsekuensi logis dari perubahan paradigma pembangunan kehutanan di atas, pembangunan kehutanan yang terkait dengan otonomi daerah khususnya wilayah pedesaan semakin meningkat. Untuk itu diperlukan upaya pemberdayaan masyarakat dalam rangka meningkatkan partisipasinya dalam berbagai aktivitas kehutanan (Kemenhut 2013).

Sejalan dengan perubahan paradigma tersebut, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 3 huruf d mengamanatkan bahwa penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Salah satu upayanya dengan meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal. Berkaitan dengan perubahan paradigma pembangunan kehutanan dan tujuan penyelenggaraan kehutanan di atas, penyuluhan kehutanan memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan pembangunan kehutanan.

Sesuai dengan perkembangannya, paradigma penyuluhan kehutanan kini juga bergeser dari sekedar alih teknologi dan informasi kepada proses pemberdayaan masyarakat ke arah kemandirian. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 yang berbunyi penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama dan pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan dan sumber daya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Revitalisasi penyuluhan kehutanan di Kementerian Kehutanan telah dijabarkan melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/Menhut-II/2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-II/2012 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/Menhut-II/2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan dimana kini telah dibentuk Pusat Penyuluhan Kehutanan sebagai unit Eselon II di bawah Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kehutanan (Kemenhut 2013).

Guna mensinkronkan program dan kegiatan penyuluhan kehutanan dengan program pembangunan kehutanan, maka perlu dilakukan identifikasi sumber daya dan program-program pembangunan kehutanan. Hal tersebut diperlukan dalam

(27)

rangka penyusunan rencana penyelenggaraan penyuluhan kehutanan yang komprehensif dengan memadukan seluruh sumber daya yang tersedia. Rencana penyelenggaraan penyuluhan kehutanan tersebut dituangkan dalam Programa Penyuluhan Kehutanan.

Terkait kelembagaan penyuluhan kehutanan, sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/Menhut-II/2010 tanggal 20 Agustus tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan, kelembagaan penyuluhan di Kementerian Kehutanan adalah Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kehutanan (BP2SDMK). Di tingkat provinsi telah terbentuk 25 Badan Koordinasi Penyuluhan (Bakorluh), di tingkat kabupaten telah terbentuk 257 Badan Pelaksana Penyuluhan (Bapeluh). Dari jumlah Bapeluh tersebut, 118 diantaranya telah memiliki nama lembaga yang sesuai dengan nomenklatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 yaitu Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, sedangkan sisanya masih bergabung dengan dinas, masih berupa surat rekomendasi, dan dalam tahap draft serta belum memiliki nama yang sesuai dengan nomenklatur Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 (Kemenhut 2013).

Terkait dengan peraturan-peraturan yang perlu ditindaklanjuti dan merupakan turunan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006, telah diterbitkan peraturan tentang: Pembiayaan, Pembinaan dan Pengawasan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (Peraturan Pemerintah RI Nomor 43 Tahun 2009); Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Badan Koordinasi Nasional Penyuluhan; dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.41/Menhut-II/2010 tentang Pedoman Penyusunan Programa Penyuluhan Kehutanan (Kemenhut 2013).

Berkenaan dengan upaya untuk penyelenggaran penyuluhan kehutanan yang lebih baik, Kementerian Kehutanan kini masih terus mengupayakan terbitnya peraturan-peraturan lain yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006. Pada tahun 2012 telah diterbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut-II/2012 tentang Pedoman Pemanfaatan Sarana dan Prasarana Penyuluhan Kehutanan, dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.42/Menhut-II/2012 tentang Penyuluh Kehutanan Swasta dan Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat.

Terkait dengan sumber daya manusia penyuluh kehutanan, saat ini jumlah penyuluh kehutanan tercatat sebanyak 4 056 orang yang tersebar di Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Kehutanan Kementerian Kehutanan sebanyak 14 orang, di provinsi/kabupaten/kota sebanyak 3 852 orang dan sebanyak 204 orang calon penyuluh kehutanan di UPT Direktorat Jenderal PHK (Kemenhut 2013).

Saat ini jumlah penyuluh kehutanan terus mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang menyebabkan penurunan jumlah penyuluh kehutanan antara lain: (1) pensiun, (2) banyak penyuluh kehutanan yang dialihfungsikan menjadi tenaga struktural sementara penerimaan jabatan fungsional penyuluh kehutanan masih sangat terbatas.

Sebagai gambaran pada tahun 2001, jumlah penyuluh kehutanan sebanyak 5 767 orang, tahun 2004 sebanyak 4 366 orang, dan tahun 2009 menjadi 4 025 orang. Pada akhir tahun 2010 jumlahnya menjadi 3 940 orang, kemudian tahun 2011 berjumlah 3 770 orang. Jumlah penyuluh kehutanan sampai dengan akhir

(28)

tahun 2012 mengalami kenaikan menjadi 4 056 orang. Perihal tenaga Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM) sampai dengan akhir tahun 2010 berjumlah 2 162 orang yang tersebar di seluruh Indonesia, sedangkan penyuluh swasta dalam bidang kehutanan sampai dengan saat ini belum dilakukan pendataan (Kemenhut 2013).

Terkait sarana dan prasarana penyuluhan kehutanan, saat ini masih sangat diperlukan bagi para penyuluh kehutanan untuk dapat melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dengan baik. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut-II/2012 tentang Pedoman Pemanfaatan Sarana dan Prasarana Penyuluhan Kehutanan dapat dijadikan acuan bagi pemenuhan kelengkapan penyuluh kehutanan oleh Pemerintah Pusat, Provinsi dan Daerah. Tercatat sampai dengan akhir tahun 2012, kendaraan motor roda dua yang telah didistribusikan Kementerian Kehutanan sebanyak 2 325 unit seperti yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Jumlah pengadaan kendaraan roda dua penyuluh kehutanan

No. Sumber Dana Tahun Jumlah

1 Biro Umum, Departemen Kehutanan 2000 245

2 Biro Umum, Departemen Kehutanan 2002 295

3 Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan 2006 387

4 Biro Perencanaan, Departemen Kehutanan 2007 393

5 Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan 2010 600

6 Sekretariat Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kehutanan

2011 250

7 Sekretariat Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kehutanan

2012 155

Jumlah 2.325

Sumber : Statistik BP2SDM Kehutanan Tahun 2011 dan realisasi 2012.

Ketersediaan sarana dan prasarana dalam mendukung mobilitas penyuluh kehutanan di lapangan masih jauh dari cukup bila dibandingkan dengan jumlah penyuluh kehutanan yang ada. Untuk menunjang kegiatan penyuluhan, penyuluh kehutanan juga difasilitasi Biaya Operasional Penyuluh (BOP) pada tingkat provinsi, kabupaten/kota dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) PHKA Kementerian Kehutanan sebesar Rp250 000/bulan. Sarana lainnya berupa pakaian seragam 2 stel/penyuluh tahun 2007 dan 2011 serta buku kerja penyuluh kehutanan tahun 2009, 2011 dan 2012.

Permasalahan yang muncul saat ini ialah adanya perbedaan besarnya BOP antara penyuluh pertanian, penyuluh perikanan dan penyuluh kehutanan. Hal ini langsung maupun tidak langsung akan menimbulkan kecemburuan sosial dan mempengaruhi kepuasan kerja penyuluh yang pada akhirnya dikhawatirkan akan mempengaruhi kinerja penyuluh kehutanan.

Penyuluh Kehutanan

Sebelum membahas penyuluh kehutanan, harus memahami definisi penyuluhan. Istilah penyuluhan memang sulit untuk dirumuskan secara baku. Hal

(29)

ini dikarenakan menyangkut banyak tujuan, kepentingan dan latar belakang keilmuan sehingga penyuluhan memiliki arti yang luas. Secara umum, penyuluhan adalah suatu pendidikan di luar sekolah (nonformal) yang ditujukan bagi pelaku utama (petani hutan, masyarakat) dan pelaku usaha (pihak terkait) dengan tujuan agar mereka tahu, mau dan mampu berswadaya meningkatkan kesejahteraan dirinya dan masyarakatnya.

Terkait definisi penyuluh kehutanan, sesuai Undang-Undang 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan dijelaskan bahwa penyuluh pertanian, penyuluh perikanan, atau penyuluh kehutanan baik penyuluh PNS, swasta, maupun swadaya, yang selanjutnya disebut penyuluh adalah perorangan warga negara Indonesia yang melakukan kegiatan penyuluhan. Penyuluh Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disebut Penyuluh PNS adalah seorang pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang pada satuan organisasi lingkup terkait baik pertanian, perikanan, maupun kehutanan untuk melakukan kegiatan penyuluhan.

Penyuluh Kehutanan PNS merupakan salah satu jabatan fungsional di bawah pembinaan Departemen Kehutanan. Berdasarkan SK MENPAN Nomor: 130/KEP/M.PAN/12/2002, penyuluh kehutanan adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan penyuluhan kehutanan (Dephut 2003).

Banyaknya permasalahan di bidang penyuluhan kehutanan saat ini, terutama terkait keterbatasan jumlah sumber daya manusia penyuluh kehutanan, maka diperlukan sumber daya manusia kehutanan dalam hal ini adalah penyuluh kehutanan yang profesional serta memiliki kinerja yang baik. Penyuluh kehutanan Pegawai Negeri Sipil (PNS) harus dapat memenuhi persyaratan, sesuai prinsip profesionalisme, kompetensi, prestasi kerja, jenjang pangkat yang ditentukan serta syarat-syarat obyektif lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, agama, suku dan golongan melalui mekanisme pengangkatan yang berlaku (Kemenhut, 2013).

Jabatan dan Tupoksi Penyuluh Kehutanan

Penyuluh kehutanan ditetapkan sebagai Jabatan Fungsional dengan Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) Nomor: 130/KEP/M.PAN/12/2002 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Kehutanan dan Angka Kreditnya. Kemudian Badan Kepegawaian Negara selaku pembina PNS menerbitkan Surat Keputusan Nomor 35/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Penyuluh kehutanan dan Angka Kreditnya yang ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 272/Kpts-II/2003 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Penyuluh Kehutanan dan Angka Kreditnya.

Penyuluh kehutanan sesuai dengan tingkat keterampilan dan keahliannya dibedakan atas :

1) Penyuluh Kehutanan Tingkat Terampil, adalah jabatan fungsional penyuluh kehutanan yang dalam pelaksanaan pekerjaannya di lapangan menggunakan prosedur dan teknik kerja tertentu. Jenjang jabatan Penyuluh Kehutanan Tingkat Terampil terdiri dari: a) Pelaksana, b) Pelaksana Lanjutan, dan c) Penyelia.

(30)

2) Penyuluh Kehutanan Tingkat Ahli, yaitu jabatan fungsional penyuluh kehutanan yang dalam pelaksanaan pekerjaannya didasarkan atas disiplin ilmu pengetahuan, metodologi dan teknik analisis tertentu. Jenjang jabatan Penyuluh Kehutanan Tingkat Ahli yaitu: a) Pertama, b) Muda, serta c) Madya.

Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) Nomor 27 Tahun 2013 dinyatakan bahwa tugas pokok penyuluh kehutanan diantaranya yaitu: (1) menyiapkan penyuluhan kehutanan, (2) melaksanakan penyuluhan kehutanan, (3) mengembangkan, (4) memantau dan mengevaluasi kegiatan penyuluhan kehutanan, serta (5) melaporkan kegiatan penyuluhan kehutanan. Unsur dan sub unsur tugas pokok kegiatan penyuluh kehutanan terdiri atas:

1) Pendidikan, meliputi: (a) melaksanakan pendidikan sekolah dan memperoleh ijazah atau gelar, (b) melaksanakan pendidikan dan pelatihan fungsional bidang penyuluhan kehutanan dan memperoleh STPPL atau sertifikat.

2) Persiapan Penyuluhan Kehutanan, meliputi: (a) melaksanakan identifikasi wilayah dan agroekosistem serta kebutuhan teknologi kehutanan, (b) menyusun program penyuluhan kehutanan, (c) menyusun rencana kerja penyuluhan kehutanan, (d) menyusun rencana pelaksanaan kegiatan penyuluhan kehutanan.

3) Pelaksanaan Penyuluhan Kehutanan, meliputi: (a) menyusun materi penyuluhan kehutanan, (b) menerapkan metode penyuluhan kehutanan, (c) mengembangkan swadaya dan swakarya kelompok sasaran

4) Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan Pelaksanaan Penyuluhan, meliputi: (a) memantau pelaksanaan penyuluhan kehutanan, (b) mengevaluasi pelaksanaan penyuluhan kehutanan, (c) membuat laporan pelaksanaan penyuluhan kehutanan.

5) Pengembangan Penyuluhan Kehutanan, meliputi: (a) mengembangkan aspek kelembagaan atau manajemen penyuluhan kehutanan, (b) Mengembangkan aspek teknik, metodologi, materi, sarana dan alat bantu penyuluhan kehutanan.

6) Pengembangan Profesi, meliputi: (a) membuat karya tulis/karya ilmiah di bidang penyuluhan kehutanan, (b) mengembangkan teknologi tepat guna di bidang penyuluhan kehutanan, (c) merumuskan sistem penyuluhan kehutanan, (d) membuat buku pedoman/petunjuk pelaksanaan/petunjuk teknis di bidang penyuluhan kehutanan.

7) Penunjang Penyuluhan Kehutanan, meliputi: (a) mengajar dan melatih di bidang penyuluhan kehutanan, (b) menterjemahkan atau menyadur buku dan bahan-bahan lain di bidang penyuluhan kehutanan, (c) mengikuti seminar atau lokakarya di bidang penyuluhan kehutanan, (d) menjadi anggota Tim Penilai Jabatan Penyuluh Kehutanan, (e) memperoleh gelar kesarjanaan lainnya, (f) menjadi anggota organisasi profesi di bidang penyuluhan kehutanan, (g) memperoleh piagam kehormatan.

(31)

Kerangka Berpikir Penelitian

Seorang penyuluh kehutanan dapat dikatakan berhasil apabila dapat memperlihatkan kinerjanya dengan baik. Kinerja seorang penyuluh kehutanan dapat dikatakan baik apabila tugas pokok yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakan dengan optimal. Hal ini berdasarkan pendapat para ahli seperti As’ad (2003) dan King dan Withmore (Uno & Lamatenggo 2012) yang menyatakan bahwa tingkat kinerja yang baik merupakan ukuran kesuksesan seseorang yang dinilai dari pelaksanaan tugas pokok yang dibebankan kepadanya.

Merujuk hal tersebut, tingkat kinerja penyuluh kehutanan dalam penelitian ini dinilai berdasarkan hasil kerja penyuluh dalam menjalankan tugas pokok yang telah ditetapkan dalam rangka mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya masing-masing. Terkait hasil penelitian sebelumnya, diketahui bahwa kinerja dari seorang penyuluh dipengaruhi oleh karakteristik individu, motivasi dan kepuasan kerjanya.

Menurut Gibson (2000), Zainun (2004), Donnely et al. (Rivai & Basri 2005), Uno (2006), serta Robbins dan Judge (2008), salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang adalah karakteristik atau profil individu seseorang, motivasi dan kepuasan kerjanya. Hal senada juga disampaikan oleh Bedein dan Glueck (1983), Galton dan Simon (1994) serta Uno dan Lamatenggo (2012) yang menyatakan bahwa kinerja adalah interaksi dari faktor-faktor individual seseorang seperti karakteristik diri, motivasi dan persepsinya terhadap tugas pekerjaannya.

Unsur profil individu penyuluh berdasarkan uraian di atas menjadi penting untuk diperhatikan karena dapat mempengaruhi kerja penyuluh. Hamzah dan Sapar et al. (2011) mengemukakan bahwa karakteristik penyuluh pertanian seperti umur, masa kerja, dan pelatihan berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh pertanian, sebaliknya pendidikan formal tidak berhubungan nyata .

Selanjutnya, unsur motivasi juga merupakan hal sangat penting yang harus dimiliki seseorang agar memiliki kinerja yang baik. Tanpa motivasi yang baik, seseorang tidak akan memiliki semangat dalam melaksanakan tugas pekerjaannya. Hal ini berdasarkan pendapat Uno (2006) yang menyatakan bahwa ciri yang dapat diamati bagi seseorang yang memiliki motivasi kerja yang baik antara lain adalah memiliki kinerja yang baik pula. Herzberg dan Malone (Uno 2006) membedakan dua bentuk motivasi yang meliputi motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik timbul tidak memerlukan ransangan dari luar karena memang telah ada dalam diri individu sendiri, sedangkan motivasi ektrinsik timbul karena adanya ransangan dari luar individu.

Hasil penelitian Suhanda et al. (2009) terkait dengan motivasi penyuluh pertanian menyimpulkan bahwa kinerja penyuluh pertanian di Provinsi Jawa Barat berhubungan nyata dengan motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Pada penelitian ini membagi motivasi kerja menjadi motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik terdiri dari berprestasi, kesempatan pengembangan karir, kewenangan dan tanggung jawab, makna pekerjaan, sedangkan motivasi ekstrinsik meliputi gaji dan honor, sistem administrasi dan kebijakan, pembinaan dan supervisi, kondisi kerja.

Terkait kepuasan kerja, unsur tersebut juga tidak kalah penting untuk diperhatikan oleh seorang pemimpin organisasi karena dapat mempengaruhi

Gambar

Tabel 1 Jumlah pengadaan kendaraan roda dua penyuluh kehutanan
Gambar 1 Bagan kerangka berpikir penelitian motivasi, kepuasan kerja dan  kinerja penyuluh kehutanan di Kabupaten Cianjur Jawa BaratKepuasan Kerja (X3)1
Tabel 3 Distribusi penyuluh, PKSM dan KTH di Kabupaten Cianjur
Tabel 4 Profil penyuluh kehutanan di Kabupaten Cianjur  No Profil Penyuluh (X 1 ) Kategori Jumlah
+4

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kemampuan mahasiswa dalam mengonstruksi bukti bentuk biimplikasi di tinjau dari tingkat kecemasan matematika ( math

Menurut seratnya, bahan komposit serat dibagi menjadi dua jenis yaitu serat panjang (continues fiber) dan serat pendek (discontinues fiber). Untuk membuat komponen-komponen

Telah berhasil pembuatan program sistem pendukung keputusan yang dapat digunakan untuk mengambil keputusan dalam pemilihan supplier obat yang menghasilkan

menyampaikan informasi yang sangat beragam, berupa gambar, suara, dokumen dan tulisan dapat diakses melalui peralatan teknologi informasi, berupa satelit, modem,

Di erupsi Peelean atau awan terang seperti yang terjadi di letusan Gunung Mayon Philipina 1968, material yang sangat besar dan banyak gas seperti debu, abu, gas dan

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi mengenai persentase kuning telur yang tepat dalam pengencer skim kuning telur yang

Sehingga Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah mengoptimalkan tingkat kebermanfaatan dari laporan transaksi penjualan yang ada di foodcourt POLSRI dan mengekstraksi data

'DUL JDPEDU GDQ JDPEDU WHUVHEXW GL DWDV GDSDW GLOLKDW EDKZD VHWLDS QHJDUD PHQJHPEDQJNDQ NULWHULD VHQGLUL \DQJ GLWXUXQNDQ GDUL NRQVHS NDWHJRUL QLODL SHQWLQJ SXVDND \DQJ WHODK