• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ebook format pdf Penulis: Pandir Kelana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ebook format pdf Penulis: Pandir Kelana"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Ebook format pdf

Penulis: Pandir Kelana

Revolusi kemerdekaan Indonesia tidak hanya melibatkan pemuda-pemuda pejuang saja, akan tetapi juga seluruh lapisan masyarakat Itulah nampaknya yang hendak diungkapkan oleh Pandir Kelana. Novel Ibu Sinder yang ada di tangan para pembaca sekarang ini, menceritakan perjalanan seorang wanita Ningrat, Ibu Sinder, yang buta aksara manakala hanya diukur dari penguasaan huruf Latin, namun sebenarnya wanita itu seorang sastrawat Jawa. Pasang-surut kehidupannya bermula semenjak ia dinikahkan dengan seorang sinder— pengawas sebuah perkebunan di zaman Helanda. Suratan nasib

akhirnya membawanya ke lingkungan "wanita sesat jalan” di kampung

Balokan, Yogyakarta.

(3)

Ibu Sinder

Pandir Kelana

IBU SINDER, wanita dengan latar belakang didikan dan asuhan tradisional Ningrat-Jawa, dihadapkan pada tantangan zaman yang berubah-ubah dengan cepatnya. Mampukah wanita itu mengatasinya, tanpa harus mengorbankan hakikat jatidirinya? Novel Ibu Sinder ini yang akan memberikan jawabannya.

(4)

utama dalam novel Kereta Api Terakhir, Kadarwati, Wanita dengan Lima Nama, Suro Buldog, Orang Buangan Tanah Merah, dan Rintihan Burung Kedasih. Dan para pembaca tidak perlu membacanya secara berurutan, karena setiap novel merupakan kebulatan cerita tersendiri.

Pandir Kelana juga menulis novel dengan latar belakang fakta sejarah, bukan legenda, seperti Tusuk Sanggul Pudak Wangi, yang menggambarkan lahirnya Kerajaan Majapahit di tahun 1293.

Mudah-mudahan, para pembaca masih akan dapat menikmati bacaan-bacaan kultural-eduka-tif selanjutnya, melalui pena Pandir Kelana.

WARUNG CLIMEN

Tidak jauh dari Pasanggrahan Ambarukmo, di tepi jalan raya antara Yogya dan Sala, berdiri sebuah bangunan rumah setengah batu yang tampaknya masih agak baru, dihuni oleh seorang wanita berusia lewat setengah abad. Bagian depan rumah yang berbentuk Joglo itu sudah diubah menjadi sebuah warung sederhana, lengkap dengan papan nama berhuruf Jawa berbunyi "Warung Climen", yang artinya warung sederhana. Keistimewaan warung itu adalah hidangan opor bebeknya. Orang yang semula apriori menolak daging bebek, setelah mencoba opor bebek "Warung Climen", berubahlah seleranya. Ia menjadi penggemar masakan daging bebek.

(5)

rapi dan teratur, mampu memberikan suasana akrab-santai kepada pengunjung-pengunjungnya.

Tidak hanya hidangan masakannya saja yang menjadi buah bibir, tapi si pemilik warung pun mengundang perhatian orang. Hal itu bukan tanpa alasan, sebab "Warung Climen" oleh penduduk desa dan kampung di sekitarnya diberi julukan "Warung Ndoro Ayu". Karena salah dengar, tersebar luas menjadi "Warung Ayu". Orang lalu mengira pemiliknya seorang wanita muda yang cantik menggiurkan.

Munculnya seorang wanita usia senja misterius di tempat itu sendiri, sudah menimbulkan tanda tanya. Kabut teka-teki menyelubungi kehadirannya. Siapa sebenarnya wanita itu? Pribadinya memang sangat menarik. Setua itu ia masih tampak cekatan, langsing berisi, dan atraktif. Ia selalu mengaku sebagai orang desa biasa, tapi wajah cantik, mata membelalak dengan sorotnya yang berwibawa itu, sulit menyembunyikan asal-usulnya. Tingkah laku dan sikapnya tak ubahnya seperti kebanyakan pemilik warung—sopan-santun, grapyak (ramah tamah), andap-asor (merendah)—namun, wibawa yang memancar dari Wajah yang menarik itu memaksa orang untuk menaruh hormat kepadanya.

Berbagai cerita dan kisah bermunculan. Ada yang berkata bahwa wanita itu masih kerabat Keraton. Ada juga desas-desus, bahwa ia janda seorang bupati daerah pesisiran. Lain orang, lain ceritanya. Namun pemilik "Warung Climen" itu membiarkan saja cerita khayal bertebaran, sebab hal itu malah meningkatkan jumlah pengunjung yang berdatangan. Bahkan akhirnya pemilik warung itu menerima panggilannya yang tetap. Ia terkenal sebagai Ibu Climen.

(6)

yang tajam, bermandi-mandi sinar matahari pagi. Tampak di hadapannya desa dan dukuh, tenang dan damai dalam pangkuan kaki gunung yang sulit diramalkan kemungkinan erupsinya. Tanaman padi kememping (berbutir muda) bergerak-gerak, mengangguk-angguk, mengikuti arah embusan angin. Gumam wanita usia senja itu, "Selamat jalan, Anak-anakku."

MADUGONDO

Bersandar pada tongkat kayu kesayangannya, seorang laki-laki berkulit putih, berambut pirang, tubuh tinggi, kokoh, kekar, berdiri mematung melepaskan pandangannya jauh ke ufuk timur. Bulan berbentuk sabit yang sedang diamatinya, sudah agak tinggi letaknya di atas cakrawala. Angin kumbang meniup-niup berputar-putar, menggerak-gerakkan lautan daun kecoklat-coklatan, tanaman tebu yang hampir siap tebang. Tinggi di udara sekelompok burung bangau santai terbang menyongsong kehadiran sang bulan, seolah-olah mereka belum sadar, bahwa malam telah tiba. Bintang-bintang berkedip-kedip berhamburan di angkasa raya. "Indah, misterius, Insulinde, mijn tweede Vader-land (Indonesia, tanah airku yang kedua)," gumam laki-laki itu.

(7)

"Blitzkrieg, blitzkrieg... Quo Vadis, Europa (Perang kilat, perang kilat... akan ke mana Eropa)?" desahnya.

Van Hoogendorp, begitu nama orang itu, tergugah dari lamunannya ketika mendengar teguran, "Apa yang sedang kaupikirkan, Pap?"

Menoleh, melihat anak tunggalnya yang bernama Ivonne, Van Hoogendorp menjawab, "Kau, Ivo? Indie (Indonesia) begitu indah, ya?"

Lalu ajak Ivonne, "Mari, Pap, pulang. Makan malam sudah siap."

"Mari, mari," tanggap ayahnya.

Melewati jalan inspeksi di tengah-tengah tanaman tebu, ayah dan anak santai berjalan menuju sebuah bangunan besar—megah dan anggun. Rumah kediaman resmi Administrator Perkebunan dan Pabrik Gula Madugondo. Rumah besar itu terletak tepat di tengah-tengah kota

Perang kilat, perang kilat... akan ke mana Eropa? Indonesia kecil yang juga bernama Madugondo. Lahan perkebunan itu merupakan bagian dari Tanah Partikelir, Particuliere Landerij Gondo Arum, milik sebuah perusahaan Belanda, CV. Gebroeders van Zanten.

Memasuki halaman luas berkerikil halus, diayomi oleh sepasang pohon regenboom (pohon trembesi) besar dan rindang, lima ekor anjing Dalmatia menyongsong kedatangan Jonkheer dan Freule van Hoogendorp. Anjing-anjing itu melonjak-lonjak kegirangan, seperti majikan-majikannya itu baru kembali dari suatu perjalanan yang jauh saja.

(8)

Sesudah lulus dari Landbouwkundige Hoge-school—Sekolah Tinggi Pertanian di Negeri Belanda, Hendrik van Hoogendorp yang berdarah biru itu langsung mengabdikan dirinya pada perkebunan gula. Berpindah-pindah dari pabrik gula yang satu ke pabrik gula yang lain. Administrator itu masih baru di Madugondo.

Nyonya Van Hoogendorp sudah menunggu kedatangan suaminya di pendapa rumah yang berlantaikan marmer Carara, putih bersih mengkilat, dengan saka-saka guru yang bergaya Yunani—mengenakan gaun panjang berwarna ungu muda. Dia seorang wanita Belanda-Indo, berwajah cantik, atraktif, namun memberikan kesan agak tinggi hati. Kalau sang suami pandai menyesuaikan diri dengan tradisi dan adat-istiadat lingkungannya, sebaliknya istrinya yang berdarah campuran Belanda-Jawa itu malah bertingkah laku kebelanda-belandaan yang berlebihan. Logat, lafal, gaya bahasanya meniru-niru ucapan Belanda totok yang baru saja menginjakkan kakinya di bumi Nederlands-Indie (Hindia-Belanda).

Tabiat dan penampilan anak tunggalnya, Ivonne, lebih dekat pada ayahnya. Ivonne seorang mahasiswi menjelang tingkat Semi-Arts (Drs. Med) pada Geneeskundige Hogeschool—Sekolah Tinggi Kedokteran—di Batavia. Ia seorang wanita yang tergolong tinggi menurut ukuran manusia Jawa, tapi pendek menurut ukuran orang Belanda. Wajannya suatu perpaduan wajah Ayah dan Ibu: manis, menawan, tidak cebleh (hambar), putih-kuning langsat.

(9)

Di beranda belakang itu lazimnya keluarga Van Hoogendorp bersantap malam. Dua orang pelayan berseragam putih-putih dengan serbet lebar-panjang di pundak masing-masing membantu majikan-majikannya menempati kursinya. Wajah-wajah datar tanpa senyum, kaku, beku, melayani keluarga administrator makan malam mengelilingi sebuah meja bundar penuh dengan berbagai macam hidangan rijsttafel (hidangan Indonesia)— yang terlalu banyak porsi dan jenisnya untuk dapat dihabiskan oleh tiga orang.

Memang, dua kali dalam seminggu keluarga Van Hoogendorp bersantap malam masakan Jawa. Fien van Hoogendorp yang kebelanda-belandaan itu sangat menyukai sambal bajak—bahkan ketika makan roti pun, kadang-kadang sambal bajak dinikmatinya sebagai beleg (lapis).

Angin sejuk sepoi-sepoi mengembus-embus lewat beranda belakang yang terbuka itu, ikut meningkatkan selera makan ketiga anak-beranak itu.

Malam itu, ketiganya agak kurang bergairah untuk berbincang-bincang. Selesai makan, Van Hoogendorp langsung menuju ruang kerjanya yang sekaligus berfungsi sebagai kamar tidur juga. Di sudut ruangan, tersembunyi di belakang penyekat kayu berukir, terdapat sebuah dipan panjang dan lemari pakaian. Di atas dipan itulah kadang-kadang Van Hoogendorp tertidur, bila ia sampai larut malam membaca surat-surat atau buku bacaan.

(10)

Melihat ayahnya mengepul-ngepulkan asap cerutunya, Ivonne menyeletuk, "Apa yang sedang Papi risaukan?"

"Aku kurang mengerti, mengapa Inggris dan Prancis begitu lamban bereaksi. Apa mereka begitu tolol untuk tidak mengetahui apa yang tersembunyi di dalam benak si Adolf itu. Jelas Hitler bermaksud untuk menguasai seluruh daratan Eropa."

"Ooooo, itu yang mengganggumu, Pap. Apa itu akan berarti bahwa Perang Dunia II akan meletus, Pap?" Ivonne menanggapi.

"Itulah yang kucemaskan. Dan jangan lupa, Japan (Jepang) pasti tak akan tinggal diam," jawab Van Hoogendorp.

"Apa Holland dapat mempertahankan neutra-liteit-nya, Pap?" tanya Ivonne.

"Kali ini sulit. Eropa memang urusan kawan-kawan di Holland, tapi kalau menyangkut Nederlands-Indie, kita akan terlibat langsung."

"Kalau begitu Papi juga memperhitungkan kemungkinan Japan bergerak ke Selatan. Apa Japan begitu kuatnya untuk mampu mencapai Pulau Jawa, Pap?" Ivonne bertanya.

"Entahlah, tapi Indie satu-satunya wilayah yang kaya minyak. Bahan itu sangat diperlukan oleh si mata sipit. Sudahlah! Laat de boel maar waaien, de wereld blijft toch steeds draaien—biarlah berantakan, dunia akan tetap berputar," gumam Van Hoogendorp.

"Falsafah siapa itu, Pap?" cepat Ivonne bertanya.

(11)

Tiba-tiba perhatian ayah dan anak itu beralih ke dua orang yang sedang lewat di jalan besar. Tampaknya sejoli suami-istri—seorang laki-laki bertubuh kokoh, atletis, dan seorang wanita langsing, padat berisi, mengenakan kain kebaya.

Begitu lepas pandang Van Hoogendorp menyeletuk, "Suprapto, sinder (pengawas kebun) Jawa. Baik kerjanya. Cantik istrinya."

"Aha, Papi memuji-muji nyonya yang lewat itu. Kalau aku lebih tertarik pada yang laki-laki. Posturnya mengesankan. Jarang ada orang Jawa yang setinggi dan segagah dia."

"Kata orang, anak tunggalnya hampir jadi insinyur. Sudah tingkat lima di Bandung."

"Ziet hij er goed uit (Apa dia tampan), Pap?"

"Mana aku tahu, aku belum pernah melihatnya. Tanyakan saja pada orangtuanya," kata ayahnya.

"Ah, liburan yang akan datang pasti dia akan pulang," gumam Ivonne. Tapi belum lagi sempat menanggapi gumam anaknya, Fien van Hoogendorp muncul di hadapan mereka.

"Gezzzellig, gezzzelig (Asyik, asyik), apa yang kalian bicarakan?"

"Perkembangan daratan Eropa, Mam. Papi sangat mengkhawatirkannya."

(12)

"Ah, laat de boel maar waaien, de keuken blijft toch steeds dampen. Biarlah berantakan, dapur tetap mengepul."

Agak terkejut mendengar ucapan ibunya itu Ivonne bertanya, "Mam, kata-kata siapa itu?"

Sambil tersenyum ibunya menjawab, "Don Quixote van Hoogendorp."

Suami-istri dan anak tertawa terbahak-bahak dalam paduan. Fien van Hoogendorp lalu menggabungkan diri duduk menempati kursi goyang di samping suaminya. Malam itu keluarga Van Hoogendorp berbincang-bincang, lagi-lagi tentang Hitler dengan Mein Kampf (Perjuanganku)-nya.

"Nationaal Socialisten Bond—Himpunan Nasional-Sosialis—atau NSB di Holland sangat pro-Nazi. Mereka musuh dalam selimut. Di Madugondo juga ada simpatisan-simpatisan NSB. Die klootzakken (Bangsat-bangsat itu)."

"Nou zzzeg, de Jonkheer begini te vloeken (Haa, Jonkheer mengumpat)."

"Maaf, masih banyak surat-surat yang belum sempat kubaca tadi siang." Van Hoogendorp berdiri lalu melangkah menuju ruang kerjanya.

Sambil menggandeng ibunya, Ivonne masuk rumah. Tak lama kemudian seorang petugas jaga berseragam kelabu memakai striwel (pembalut kaki) tanpa sepatu, membawa pergi anjing-anjing. Di kejauhan terdengar bunyi suara kokokbeluk—burung hantu—berulang-ulang.

(13)

Statiran atau Besaran. Wanita itu baru saja pulang dari rumah istri teman sekerja suaminya, Sinder Sugondo.

Sugondo baru di Madugondo, sinder pindahan dari Perkebunan Gula, Sragi, dekat Pekalongan. Orang Jawa kedua yang mencapai tingkat sinder di Madugondo.

Di tengah jalan menuju rumahnya, wanita itu berpapasan dengan beberapa nyonya Belanda-Indo, istri-istri sinder dan masinis. Sambil tertawa-tawa kecil nyonya-nyonya itu menyapa wanita yang berjalan menunduk itu dengan kata-kata dalam bahasa Belanda yang melanggar segala aturan gramatika. Kata salah seorang nyonya, "Morgen, Mevrouw, jij morgen halen mijn was yaa (Selamat pagi, Nyonya, besok kauambil cucianku yaa)."

Wanita Jawa yang memang tidak paham bahasa Belanda itu hanya mengangguk saja membalas sapa nyonya-nyonya Indo itu, tapi ia dapat merasakan bahwa dirinya sedang menjadi sasaran ejekan. Perlakuan semacam itu tidaklah baru terjadi pagi itu saja. Sikap wanita-wanita Indo itu memang sopan, tapi kata-kata yang terlontar tidaklah sesuai dengan sikap sopan mereka.

Setiba di rumah kembali, istri Sinder Suprapto yang di Madugondo terkenal dengan panggilan Ibu Sinder itu menyentakkan diri duduk di atas kursi rotan di sudut ruang tamu. Biasanya ia acuh tak acuh saja terhadap ejekan istri-istri kawan sekerja suaminya, tapi entah mengapa kejadian pagi itu sangat menyentuh martabatnya sebagai seorang istri sinder. Masih terbayang-bayang di hadapannya wajah-wajah dengan senyum palsu, sopan santun yang dibuat-buat, dan lontaran kata-kata hinaan yang tidak dipahaminya.

(14)

memegang jabatan sinder? Atau karena suamiku yang tampan itu tidak begitu saja mau diajak main-main oleh sembarang wanita? Entahlah, entah!" Tanpa disadarinya wanita senja usia itu mulai menggali-gali kembali masa silamnya yang sudah begitu jauh berada di belakang punggung kehidupannya.

Lamunan Ibu Sinder meluncur mundur puluhan tahun ke belakang. Ia seperti sedang berdiri di tepi jalan, memandang pagar tembok setinggi tiga insan bersusun. Melihat pintu gerbang, gapura-regol lebar, bermahkotakan relief denawa-raksasa, menyeringai mempertontonkan gigi-gigi taringnya yang sebesar buah pisang. Mata menonjol bak buah kelapa gading. Dua buah daun pintu kokoh kuat dari kayu jati tua, yang sudah puluhan tahun tahan guyuran air hujan dan terik panasnya sinar matahari.

Ibu Sinder seperti melihat dirinya sendiri melangkah lewat pintu gerbang yang lebar itu. Dua kereta berkuda dapat lewat berdampingan. Terbelalak mata dibuatnya begitu berhadapan dengan sebuah bangunan rumah berbentuk joglo—besar, megah, berwibawa—dikitari oleh halaman-halaman luas, tanah keras ditaburi butir-butir pasir halus, tapi tidak berdebu. Pohon-pohon sawo kecik berjajar-jajar, menambah semarak lingkungan pendapa terbuka, dengan tempat saka-guru-nya terbuat dari kayu nangka mulus tanpa cacat. Atap sirap kayu ulin, berlantai batu semen yang digarap rapi, teliti, rata-rata air.

Dua perangkat gamelan menghias pendapa itu. Seperangkat di sebelah barat dan yang lain di sebelah timur. Kyai Kumbang Mara dan Nyai Laras Maya. Kumbang Mara bunyi suaranya mantap, anggun; sedangkan Nyai Laras Maya, bening, genit. Bangunan rumah itu sendiri dikenal dengan nama "Dalem Kusumojaten", kediaman Bendoro Raden Mas Kusumojati, pujangga kebudayaan Keraton.

(15)

kejar-kejaran dengan adiknya, Raden Ajeng Winarsih. Terbayang pula ayahnya, seorang pria ningrat, buah bibir wanita-wanita kerabat Keraton. Ia terlalu sadar akan ketampanannya. Di sampingnya berdiri ibu kandungnya, garwa-padmi (istri utama), Raden Ajeng Kusumaningrum, sehari-harinya Ibu Bendoro sebutannya. Duduk sila, tiga garwa-ampil (istri pendamping), Bibi Dumilah, ibu kandung Winarsih, Bibi Senik dan Bibi Mari yang tidak dikaruniai keturunan.

BRM. Kusumojati bukannya seorang bangsawan yang sudah merasa puas dengan keempat istrinya. Di luar dinding Kusumojaten ia masih memiliki kekasih-kekasih, silih berganti. Masyarakat tidak mempersoalkannya. Wajar-wajar saja bagi seorang bangsawan terhormat waktu itu untuk punya "simpanan" di mana-mana.

Tabiat dan kebiasaan Winarti dan Winarsih bertolak belakang satu dengan lainnya. Winarsih anak yang sulit dikendalikan. Jiwa bebasnya tidak mau tunduk kepada segala tradisi dan aturan adat yang dirasakannya sebagai perintang kebebasannya. Winarsih dipondokkan pada Controleur—Pejabat Pamong Praja Belanda— Hartman, sahabat karib BRM. Kusumojati, Keluarga Hartman yang kebetulan tidak mempunyai anak itu sangat tertarik oleh kelincahan, keterbukaan, dan kebebasan Winarsih—tingkah laku yang kurang berkenan di Dalem Kusumo-jaten. Namun, berkat asuhan Hartman, Winarsih bisa berkembang menjadi anak gadis yang tertib dan cerdas. Dengan mudahnya ia menyelesaikan pendidikan dasarnya pada Europese Lagere School, sekolah rendah yang diperuntukkan bagi anak-anak Belanda. Tiga tahun kemudian ia memperoleh diploma Sekolah Menengah, MULO. Tingkat pendidikan yang cukup tinggi bagi seorang wanita waktu itu.

(16)

memiliki ingatan yang kuat. Dari Bibi Mari ia mewarisi kepandaian meramu jamu-jamu dan bahan-bahan kecantikan tradisional. Ia memperoleh keterampilan masak-memasak dan sulam-menyulam di bawah bimbingan Bibi Senik dan ibunya sendiri. Ibu Bendoro mengajar Winarti keterampilan batik-membatik. Pengetahuan dan keterampilan seni kebudayaan diterimanya dari ayahnya. Winarti menguasai eni tari dan seni karawitan.

Namun di atas segala itu. Bibi Dumilah-lah yang membentuk watak dan kepribadiannya. Melatih olah pikir dan memperluas cakrawala angan-angan dan jangkauan pengetahuannya sampai melintasi batas tembok-tembok tinggi Kusumojaten. Buku-buku tulisan tangan berhuruf Jawa yang ditekuninya di bawah bimbingan Dumilah, mengantar angan-angannya menjelajahi dunia di luar tembok Dalem Kusumojaten. Kisah dan cerita tentang Wong Agung Menak, Amir Ambyah, membawanya ke negeri Arab sebelum zaman Nabi. Lewat kisah-kisah Abu Nawas dan Harun Al Rasyid ia menjelajahi Negeri Baghdad. Serat Sejarah Nabi-Nabi membawanya ke alam Timur Tengah dan Negeri Rum.

Pertumbuhan dan perkembangan tanah leluhurnya dipelajarinya lewat serat-serat Babad, antara lain Babad Tanah Jawi. Namun sebenarnya yang membentuk watak dan kepribadiannya ialah dunia pewayangan. Dengan ketekunan yang mengagumkan diejanya berulang-ulang Serat Kisah Ramayana dan Mahabharata. Tokoh-tokoh wayang itu hidup dalam angan-angannya, tabiat dan perangainya, kekuatan dan kelemahannya. Intisari dari tiap-tiap lakon diolahnya bersama Bibi Dumilah.

(17)

kadang Bibi Dumilah membawa pulang buku-buku langka yang dipinjamnya dari perpustakaan Keraton.

Sambil tersenyum, Ibu Sinder ingat kembali pada masa-masa sewaktu ia mendapat lamaran dari seorang jejaka yang belum pernah dijumpainya. Dengan terus terang ayahnya mengatakan padanya, bahwa jejaka itu bukannya jejaka yang murni. Ia pernah memiliki istri-selir, tapi tidak memiliki anak, dan sebelum "jejaka" datang melamar, istri-selirnya itu sudah diceraikannya. Hal itu pun tidak mengejutkan Winarti, sebab dalam lingkungan kerabat Keraton masalah seperti itu bukanlah hal yang luar biasa. Apalagi sang pelamar telah berjanji tidak akan memelihara istri-selir lagi. Mula-mula kepada Winarti diperlihatkan potret orang yang melamarnya. Begitu Winarti melihat potret itu ia merasa bahwa dialah bakal suaminya. Dan pada waktu calon suaminya itu berkunjung ke Dalem Kusumojaten, Winarti mendapat kesempatan untuk mengintip. Begitulah ia melihat "jejaka" itu, ia semakin yakin bahwa pria itulah yang akan didampinginya dalam kehidupannya.

Tersenyum-senyum geli Ibu Sinder terkenang akan peristiwa yang pada mulanya tidak dimengertinya. Pada suatu sore hari, ia diajak ayahnya pesiar berkendaraan kereta yang ditarik oleh empat kuda sama warna. Begitu mendekati Taman Sriwedari, kusir diperintahkan oleh ayahnya untuk memperlamban laju kuda-kudanya. Semula ia tidak mengerti mengapa. Baru kemudian setelah nikah ia diberitahu oleh suaminya, bahwa pada saat itu suaminya nongkrong di tepi jalan menontoni Winarti. Tanya Winarti kepada suaminya, "Apa kesanmu saat itu, Pak?"

"Sungguh mati, kukira Dewi Supraba turun dari kayangan," jawab Suprapto.

(18)

"Win, waktu kau mengintip dan melihat aku, apa kesanmu?" Suprapto balik bertanya.

"Rasa-rasanya seperti Betara Yamadipati keluar dari Kawah Candradimuka untuk mencabut nyawaku." Ibu Sinder lalu bangkit, lari, dikejar-kejar suaminya.

Hilang senyum pada wajahnya, kini Ibu Sinder mengangguk-angguk mengenang petuah-petuah Bibi Dumilah sebelum ia meninggalkan Dalem Kusumojaten, diboyong oleh suaminya. Mengiang di telinganya kata-kata, "Ndoro Ajeng, bercerminlah pada Ibu Bendoro selalu. Ibundalah yang mengayomi Dalem Kusumojaten. Bibi-Bibi Ndoro Ajeng sebagai maru-nya diperlakukan sebagai saudara kandung sendiri. Terbukti di dunia yang nyata ini ada wanita yang seperti Wara Sembadra, Ibunda. Ia selalu berlaku adil, tidak membeda-bedakan maru-nya yang satu dengan maru-nya yang lain. Sebaliknya bibi-bibimu mencintainya dengan tulus ikhlas. Ngger, kaulah yang tetap tinggal di Kusumojaten. Winarsih pulang waktu libur saja. Tanpa terkecuali bibi-bibimu mendapat kesempatan yang sama untuk dapat mengasihimu.

(19)

berbahagialah umat hamba Allah yang masih menerima cobaan dari-Nya. Itu limpahan kasih dari Sang Pencipta."

Ibu Sinder yang semula seolah-olah hendak memberontak terhadap perlakuan istri-istri rekan-rekan suaminya, kini sadar, bahwa ia harus tetap tabah menghadapi segala duka dalam kehidupannya. Semula ada perasaan iri kepada adiknya, Winarsih, yang mengenyam pendidikan Belanda, dan bisa cas-cis-cus berbahasa Belanda, tapi keirian itu kini lenyap. Ia merasa menyesal dan sambil mencucurkan air mata Ibu Sinder bergumam, "Ya Allah, ampunilah hamba-hambaMu. Mereka sedang alpa dan tidak sadar akan perbuatannya. Ya Allah, jauhkanlah hambaMu ini dari rasa dendam dan amarah. Amin." Hatinya kembali tenang, pikirannya kembali jernih dan wajahnya kembali cerah.

Tiba-tiba Ibu Sinder dikejutkan oleh bel sepeda yang nyaring berbunyi dan disusul dengan suara, "Surat, Ndoro Ayu"

Ia bangkit dari tempat duduknya dan melangkah menyongsong kedatangan pengantar pos. Pengantar pos itu menyerahkan sebuah sampul surat kepada Ibu Sinder.

'Terima kasih. Pak," kata Ibu Sinder.

"Monggo," jawab Pak Pos sambil menaiki kembali sepedanya.

Masih tetap berdiri di muka pintu Ibu Sinder mengamati surat yang ditujukan kepadanya. Surat dari anaknya, Suhono. Langsung sampul surat disobeknya dan dibacanya surat yang berbahasa dan berhuruf Jawa itu.

(20)

Dengan sengaja berita gembira ini tidak Ananda sampaikan lewat telegram. Ananda khawatir kalau hanya akan mengejutkan Ibu dan Bapak saja. Atas ridho Tuhan Yang Mahamurah dan atas doa restu Ibu dan Bapak, Ananda telah lulus ujian dengan predikat cum laude. Kini Ananda menyandang gelar insinyur sudah. Ananda belum bisa lekas pulang, karena masih banyak urusan yang harus diselesaikan di Betawi. Tak lain, Ananda mohon doa restu. Salam Ananda untuk Mandor Darmin. Namung semanten atur kulo. Nuwun.

Putro tresno

Ir. Suhono."

Ibu Sinder lalu duduk kembali di tempat semula. Surat itu dibacanya berulang-ulang. Ia belum bisa percaya bahwa anak tunggalnya itu sudah menyandang gelar insinyur. Mata berkaca-kaca, air mata gembira dan bahagia meleleh-leleh lewat pipi-pipinya. Wanita berwajah tenang dan tajam itu bergumam, "Ya Allah, segala puji bagiMu, ya Allah. Matur sewu nuwun."

Ketika sadar diri kembali, tanpa pikir panjang. Ibu Sinder lari ke luar rumah, mencari suaminya yang sedang bekerja di kebun. Ia belum tahu dengan tepat di mana suaminya berada, tapi ia tahu bagian kebun mana yang dipertanggungjawabkan kepada suaminya itu. Ia ingin sesegera mungkin menyampaikan berita gembira itu kepada suaminya.

Menyelusuri jalur kereta api, pengangkut tebu. Ibu Sinder berlari-lari menuju kebun Sinder Suprapto. Di tengah jalan tali-temali sandalnya lepas. Ia berjalan terus tanpa alas kaki.

(21)

Lalu seorang mandor lari mencegatnya sambil menegur keras-keras, "Ada apa, Ndoro?"

Terengah-engah Ibu Sinder menjawab, "Ah, tidak ada apa-apa. Di mana kira-kira Ndoro Sinder berada sekarang ini?"

'Terus saja, Ndoro, di sana... lha itu apa dresin (kereta inspeksi kebun yang didayung oleh dua orang)-nya. Itu, Ndoro," jawab Mandor Darmin.

Di kejauhan tampak sebuah dresin sedang melaju mendekat. Ibu Sinder mengangkat tangannya tinggi-tinggi sambil melambai-lambaikan surat yang dipegangnya erat-erat.

Di bangku dresin itu duduk Sinder Suprapto, berpakaian seragam lapangan berwarna kelabu. Sinder yang bertubuh kokoh kuat, tinggi, dan berkumis tebal, melihat istrinya berdiri di tengah jalur rel sambil melambai-lambaikan sesuatu, bergumam, "Astaga, ada apa? Tak pernah Ndoro Ayu menyusul sejauh ini. Ayo cepat, cepat!"

Pendayung dresin Parjo dan Paimo mengerahkan segala kekuatannya untuk mempercepat laju dresin. Begitu dresin berhenti, Suprapto meloncat dan cepat menghampiri istrinya sambil bertanya, "Ada apa. Bu?"

Terbata-bata Ibu Sinder menjawab, "Hono... Hono, Paaak."

(22)

Yakin sepenuhnya bahwa anaknya memang sudah menyandang gelar insinyur, sinder itu berjingkrak-jingkrak kegirangan sambil berkata, "Hono lulus... Lulus! Dia insinyur sekarang... Insinyur! He, kemari semuanya!"

Sinder Suprapto memanggil pekerja-pekerja-nya. Berbondong-bondong anak buahnya mendekat.

"Ada apa, Ndoro?" tanya Mandor Durasim.

"Anakmu, Sim, anakmu, Suhonoooo... insinyur sekarang... Insinyur, Sim!"

Mendengar jawaban sindernya itu Darmin-lah (Baca : Suro Buldog, Orang Buangan Tanah Merah, Pandir Kelana) yang paling terharu. Ia tak mampu menahan gejolak emosinya. Ia menangis sambil bergumam, "Den Hono... insinyur.... Ndoro Sinyur seperti Tuan Besar Statir." Darmin tak mampu berkata-kata lagi. Ia mengenal Suhono sejak insinyur muda itu masih remaja tanggung.

Pekerja-pekerja lainnya hanya mengangguk-angguk saja. Mereka tak tahu apa itu insinyur, tapi setelah Mandor Durasim menyalami Sinder

Suprapto dan istrinya, mereka ikut-ikutan menyalami majikannya.

"Ndoro, Den Hono bisa jadi Tuan Besar Statir nantinya," celetuk Darmin setelah mampu menguasai emosinya.

Suprapto tahu bahwa mandornya itu tak tahu beda insinyur pertanian dan insinyur sipil, tapi untuk tidak mengecewakan anak buahnya itu Suprapto menjawab, 'Tentu, tentu, Min."

(23)

Sambil tertawa bangga Sinder Suprapto menjawab, "Tentuuuuu. Jangan khawatir. Ndoro Ayu yang berkidung nanti."

Kemudian kepada pendayung-pendayung dresin Suprapto memerintahkan agar mengantar istrinya pulang. Sinder Prapto kembali bekerja memeriksa tanaman-tanaman yang harus bersih dari daun-daun kering yang rontok.

Malamnya, sambil tiduran, suami-istri itu masih saja membicarakan keberhasilan anaknya. "Anakku insinyur, anakku Suhono," gumam Sinder Suprapto.

Dengan cepat Ibu Sinder menanggapi, "Apa? Anakmu, Pak? Anakku! Aku yang melahirkan. Kalau Suhono sedang rewel, bandel, Bapak selalu bilang, itu anakmu dihajar. Tetapi kalau Suhono sedang mujur, kau selalu bilang... anakku, anakku.... Heh, enak."

Suprapto tertawa sambil mendekap istrinya. Katanya, "Win, kau masih tetap cantik dan menggairahkan seperti seperempat abad yang lalu." Dekapan semakin ketat.

"Heh, Sinder bandel... bandel... ban... ban..." tanggap Ibu Sinder.

Terdengar di kejauhan, sepasang kucing mengeong-ngeong seperti sedang berkelahi saja.

(24)

akhir-Anak buah Sinder Suprapto tidak hanya segan terhadap majikannya itu, tapi mereka juga menghormati dan menyayanginya. Sinder Suprapto merupakan kebanggaan pekerja-pekerja-nya. Orang Jawa, Inlander, yang mencapai pangkat sinder. Suprapto terkenal keras orangnya, disiplin, tapi ia memperlakukan pekerja-pekerjanya dengan baik dan adil. Tak segan-segan sinder itu membela hak-hak anak buahnya. Adalah hal yang biasa bila Sinder Suprapto suami-istri berkunjung ke rumah pekerjanya untuk melihat-lihat kehidupan mereka.

Pekerja-pekerja selalu membanding-bandingkan pimpinan mereka satu dengan lainnya. Sinder-sinder Indo-Belanda itu sama kerasnya dengan Sinder Suprapto, tapi sombong-sombong dan lagi sering mengumpat-umpat kasar menyakitkan hati. Sementara Sinder Sugondo yang juga orang Jawa itu masih baru di Madugondo. Pekerja-pekerja masih belum berani menilai.

Kebetulan pada saat Sinder Suprapto memberikan petunjuk-petunjuk kepada anak buahnya, di kejauhan ia melihat Sinder Dirk Baumann sedang marah-marah. Kebun kuasa Sinder Suprapto berbatasan dengan kebun Sinder Baumann yang Indo-Belanda itu. Tampak berdiri di hadapan Baumann Mandor Durahman, orang Madura. Suprapto tahu betul sifat Durahman. Lekas naik pitam bila ia diperlakukan tidak adil, apalagi kalau ia dihina. Rupa-rupanya Baumann dan Durahman sedang bertengkar mulut. Cepat Suprapto mendekati. Ia masih sempat mendengar umpatan Sinder Baumann. "Bangsat Inlander, babi kau!"

Durahman tampak menjadi marah. Mukanya merah. Tangannya gemetar memegang-megang, goloknya. Melihat kemungkinan yang bisa terjadi, Sinder Suprapto berteriak, "Durahman?! Awas!"

(25)

kokoh-kuat dan berwibawa. Durahman mengurungkan niatnya untuk menghunus golok kerjanya.

Suprapto mendekat, lalu kepada Dirk Baumann ia bertanya, "Ada apa, Dirk, kau mengumpat-umpat?"

"Bukan urusanmu, Suprapto. Kau tak berhak turut campur. Durahman mandorku, bukan mandormu," jawab Dirk Baumann.

Dengan tenang Suprapto menanggapi. "Memang Durahman mandormu. Kau mengumpatnya itu hakmu. Umpatan kasarmu itu yang tak bisa diterima mandormu."

"Kausangka aku takut, Suprapto?! Kausangka aku akan menyerahkan kepalaku begitu saja pada Inlander Madura itu. Salah terka kau, Suprapto. Tinjuku akan lebih dulu menyumbat mulut Inlander kerbau itu."

Sinder Suprapto kehilangan pengamatan dirinya mendengar kata-kata Baumann. "Hati-hati dengan kata-katamu, Dirk. Aku juga Inlander. Jangan gampang menghina kau." Jawaban Dirk Baumann semakin menyakitkan hati. Katanya, "Kau sendiri yang harus jaga mulut, Suprapto. Kalau kau ingin membela die vuile Madurees (orang madura busuk), silakan. Ini Indische Jongen (anak Indo) dari Meester Cornelis."

"Ini de vuile Javaan (orang jawa busuk) dari Banyumas. Kalau mau coba, silakan Belanda singkong," potong Sinder Suprapto.

(26)

mundur terhuyung-huyung. Suprapto menunggu. Baumann kembali menyerang. Ia bermaksud untuk menyekap lawannya. Suprapto mengelak, membalik, dan dengan kaki kanannya mendorong pantat Baumann. Oleh daya lajunya sendiri ditambah daya dorong kaki Suprapto, Baumann meluncur menerobos tanaman tebu dan jatuh telungkup. Baumann bangkit, mendekati Suprapto lagi. Tinjunya lepas. Lagi-lagi Suprapto mengelak dan dengan disertai kata-kata 'Maaf. Dirk' sepatu kirinya bersarang pada bagian tubuh Baumann yang paling lemah. Baumann roboh terlentang, berguling-guling kesakitan sambil memegang bagian tubuhnya itu dengan kedua belah tangannya. Ia sudah tak mampu berdiri lagi.

Kepada Mandor Durahman, Suprapto lalu memerintahkan, "Dur, pergi kau. Lekas kembali kerja! Ini bukan urusanmu lagi."

Mandor Durahman, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, meninggalkan tempat itu.

Perkelahian itu disaksikan oleh pekerja-pekerja Baumann dan Suprapto. Mereka menyaksikan bahwa Baumann-lah yang menyerang lebih dulu tapi mereka tidak dapat memahami pertengkaran mulut antara Baumann dan Suprapto yang diucapkan dalam bahasa Belanda itu. Kemudian mereka melihat Sinder Suprapto dengan tenang meninggalkan tempat itu, sedangkan Baumann masih saja menyeringai berguling-guling.

Sore hari Suprapto dipanggil Van Hoogendorp. Rupa-rupanya Baumann langsung melaporkan kejadian itu kepada administratornya. Sinder Suprapto sendiri tidak terlalu terkejut atas panggilan itu. Ia tahu bahwa ia akan diadili.

(27)

Dengan panggilan "Meneer" itu Suprapto tahu bahwa Tuan Besar Statir itu tidak sedang berbaik hati. Lazimnya ia dipanggil dengan kata "Sinder" saja. Setelah dipersilakan duduk, Sinder Suprapto lalu menempati kursi di hadapan meja kerja Van Hoogendorp. Van Hoogendorp membuka kotak cerutu lalu berkata, "Kau suka cerutu, Suprapto?"

"Maaf, Tuan, aku tidak merokok."

Van Hoogendorp menyalakan cerutunya, menyedot-nyedotnya lalu mengepulkan asapnya ke arah langit-langit. Ia membuka percakapan dengan berkata, "Meneer Suprapto, apa benar kau tadi siang berkelahi dengan Sinder Baumann?"

"Betul, Tuan Administrator," jawab Suprapto. "Ia menghina bangsaku dengan kata-kata Inlander kerbau. Kata-kata yang tak pantas diucapkan oleh seorang sinder, Tuan..."

Belum lagi sempat melanjutkan penjelasannya, Van Hoogendorp memotong, "Pantaskah seorang sinder berkelahi, Meneer Suprapto?"

Jawab Suprapto tidak langsung, "Aku tidak berkeberatan kalau hanya kata 'Inlander' yang digunakan—sekalipun secara pribadi aku menolaknya, tapi itu kata resmi bagi bangsa Jawa seperti aku ini. Tambahan kata-kata 'babi' dan 'kerbau' itu yang tak dapat kuterima, sekalipun kata-kata itu dilontarkan kepada seorang mandor. Dan lagi bukan aku yang memulai, Tuan. Sinder Baumann yang lebih dulu menyerang. Terpaksa aku bela diri, Tuan."

Van Hoogendorp mengangguk-angguk, mengembuskan asap cerutu

kuat-kuat lalu berkata, “Tapi Mandor Durahman bukan anak buahmu, Sinder.

(28)

'Tuan benar, aku memang tak punya hak. Semula aku hanya hendak mencegah terjadinya perkelahian antara sinder dan mandor. Kalau itu terjadi akan merendahkan martabat sinder. Tuan."

“Tapi apa yang terjadi, Sinder? Perkelahian antara sinder dengan sinder.

Notabene di hadapan pekerja-pekerja kebun. Itu lebih vataal (parah) Meneer Suprapto."

"Benar, Tuan Administrator, tapi kalau Baumann menampar pipi kiriku apa aku harus mengantarkan pipiku yang kanan, Tuan?"

Mendengar jawaban Suprapto itu Van Hoogendorp menahan-nahan senyum. Ia lalu'berkata, "Sudah, sudah, kali ini kau kuberikan peringatan lisan. Belum secara tertulis. Jangan kauulang perbuatanmu itu. Mengerti?"

"Terima kasih, Tuan Administrator," jawab Suprapto.

"Durahman akan kupecat. Bayangkan, Sinder, seandainya kau tidak menengahinya, apa yang bakal terjadi?" lanjut Van Hoogendorp.

"Kukira tidak akan sejauh itu, Tuan. Aku yakin Durahman tidak akan menggunakan goloknya, Tuan. Sinder Baumann yang menghinanya, Tuan. Jonkheer paham tentang sifat-sifat orang Madura. Orang Madura tidak suka dihina, Tuan."

"Kau tak perlu menggurui, Sinder! Apa pun alasannya, Durahman harus mendapat hukuman."

(29)

tenaga di Madugondo yang paling berpengalaman mengatasi kebakaran kebun, Tuan," kata Suprapto.

Lama Van Hoogendorp diam, kemudian ia berkata, "Baik, Sinder Durahman kutempatkan di kebunmu. Menggantikan Mandor Jasmin yang meninggal, tapi hukuman tetap kujatuhkan. Gajinya kupotong separuhnya, selama setahun."

"Hukuman yang cukup adil, Jonkheer," Sinder Suprapto menanggapi.

Dengan nada marah Van Hoogendorp membentak, "Aku tidak minta pendapatmu, Sinder!"

Suprapto menunduk, diam. Pikirnya, "Aku lebih baik diam sekarang. Apa yang kuinginkan sudah tercapai."

Van Hoogendorp lalu mengalihkan pembicaraan ke soal lain. "Anakmu baik-baik saja, Sinder? Siapa namanya?"

"Dapat kulaporkan, Jonkheer, anakku Suhono baru saja lulus dari Technische Hogeschool (Sekolah Tinggi Teknik), Tuan."

Nada kata-kata Van Hoogendorp semakin menjadi akrab. Katanya, "Aha, itu berita gembira. Gefeliciteerd—aku mengucapkan selamat— Sinder. Harus dirayakan."

(30)

Suprapto berdiri, menerima gelas dari tangan majikannya sambil berkata, "Ajakan Jonkheer bagiku merupakan perintah yang menyenangkan, Tuan."

Van Hoogendorp mengangkat gelas tinggi-tinggi lalu berkata, "Untuk Ingenieur Suhono."

Suprapto mengangguk hormat sambil berkata, "Suatu kehormatan bagiku, Jonkheer."

Administrator dan Sinder perlahan-lahan meneguk minumannya. Dalam hati kecilnya Suprapto tersenyum. Ia tahu betul bahwa majikannya itu paling suka dipanggil "Jonkheer". "Apa boleh buat, sedikit menjilat tak apa. Durahman selamat. Itu yang penting," gumamnya dalam hati.

Lalu Van Hoogendorp membunyikan bel tiga kali. Seorang pelayan muncul. "Nyonya Besar diminta datang ya."

Pelayan yang berpakaian putih bersih itu menghilang dan tak lama kemudian terdengar suara genit, "Wat is 'm aan de hand, Herik?—Apa yang sedang terjadi, Henk?"

Van Hoogendorp menyongsong kedatangan istrinya, menggandengnya lalu berkata, "Ada berita besar, Fien. Suhono, anak Sinder Suprapto, lulus. Ia menyandang titel ingenieur sekarang."

(31)

"Atas nama keluargaku aku pun mengucapkan selamat, Nyonya... Jonkheer, gefeliciteerd." Sekali lagi Suprapto menjabat tangan administrator dan istrinya. Lagi-lagi Suprapto merasakan pijatan tangan Fien van Hoogendorp.

"Ajak anakmu kemari kalau dia pulang dan jangan terkejut kalau ada undangan pesta," kata Van Hoogendorp. Suprapto mengangguk sambil berkata, "Suatu kehormatan, Jonkheer."

"Nou, Sinder, kupikir sudah cukup. Sekretaris akan menyelesaikan kepindahan Durahman," kata Van Hoogendorp.

Suprapto menghabiskan minuman anggur, minta diri kepada suami-istri Van Hoogendorp lalu meninggalkan kediaman resmi administrator itu. Ia langsung pulang. Pikirannya tidak hanya tertuju pada anaknya, Suhono, tapi juga pada... Fien van Hoogendorp.

Begitu tiba di rumah, langsung Ibu Sinder bertanya, "Bagaimana hasilnya. Pak?"

"Mari duduk-duduk dulu. Bu. Tidak apa-apa kok." Mereka berdua lalu duduk di ruang makan. Suprapto melanjutkan, "Tidak apa-apa. Bu. Durahman dipindah ke kebunku. Dihukum memang, tapi cukup ringan. Gajinya dipotong separuh untuk setahun."

Ibu Sinder sebenarnya sangat mencemaskan suaminya. Ia tahu suaminya bisa keras kepala. "Alhamdulillah! Bapak sendiri bagaimana?"

(32)

"Apa Pak, anakmu? Anakku! Aku yang mengandungnya. Aku yang melahirkan. Bapak kan tak berbuat apa-apa," gurau Ibu Sinder. "Betul, betul, tapi tanpa aku mana kau bisa mengandung," balas Suprapto, sambil tertawa terbahak-bahak. Ibu Sinder hanya tersenyum. "Aku akan memberitahu Durahman nanti," lanjut Sinder Suprapto.

Sesudah mandi dan makan malam Sinder Suprapto meninggalkan rumah. Pergi ke rumah Mandor Durahman.

Di sudut halaman belakang gedung Besaran itu berdiri agak menyendiri sebuah bangunan kecil seperti sebuah pavilyun. Bangunan itu masih baru, khusus disediakan bagi Fien van Hoogendorp. Di dalam bangunan itu Fien menekuni hobinya, melukis. Fien bertemu dengan Henk van Hoogendorp waktu ia masih mahasiswi pada Academie Voor Beeldende Kunsten (Akademi Seni Rupa) Negeri Belanda.

Kegemarannya melukis masih dipertahankan, sekalipun Fien sudah menjadi Nyonya Besar. Bangunan itu merupakan dunia Fien sendiri. Jarang-jarang suaminya mengganggunya bila istrinya sedang berada di sanggar lukisnya. Baru kalau Fien mengundangnya untuk mengagumi lukisan yang sudah selesai, suaminya datang menjenguknya.

(33)

sebaya usianya dengannya. Mbok Wongso, yang waktu masih kecil bernama Saidah, ikut Fien sebagai pembantu. Teman bermain malah.

Duduk di atas dipan lebar bersepraikan kain damast, Fien memukul-mukul pahanya sambil bergumam, "Mana dia, jangan-jangan ada halangan. Pot verdorie!"

Sunyi sudah lingkungan Besaran itu. Hanya burung hantu yang setia hinggap pada ranting pohon mahoni di halaman belakang itu saja yang kadang-kadang mengganggu keheningan suasana dengan suaranya yang kurang sedap didengar. Fien tidak menghiraukannya. Ia sudah terbiasa dengan bunyi burung itu. Malah kalau burung itu tidak memperdengarkan suaranya, Fien selalu bertanya-tanya mengapa burung itu membisu.

Tiba-tiba pintu belakang kamar diketuk orang. Tiga kali. Fien meloncat, membuka pintu dengan hati-hati sekali. Mbok Wongso berdiri di hadapannya. Begitu melihat pamong-nya, Fien bertanya dalam bahasa Jawa, "Endi ndarane (Mana Majikannya) , Mbok?"

"Sampun wonten kamar kulo, Ndoro Nyonya (Sudah di kamar saya)," jawab wanita itu dalam bahasa Jawa halus yang hanya digunakan bila sedang tak ada orang lain kecuali Fien.

Lagi-lagi dalam bahasa Jawa Fien memerintahkan, "Ndang diaturi mlebu (Cepat dipersilahkan masuk), Mbok. Cepat, yo."

(34)

bengkak-Seorang lelaki yang mengenakan pakaian kerja perkebunan menyelinap masuk. Fien langsung memeluknya sambil berkata, "Zo Inlander. Rasa-rasanya setahun sudah sejak pertemuan kita yang terakhir."

Laki-laki itu mendekap kekasihnya sambil menjawab, "Zo, Indische meid, laten we feesl gaan vieren. Accoord? Gadis Indo, mari kita berpesta. Setuju?"

Dipan lebar-panjang di sudut ruangan lukis itu menjadi saksi mati apa yang dilakukan Suprapto dan Fien van Hoogendorp. Sambil tiduran dalam pelukan masing-masing, Suprapto berkata, "Zo Indische meid, masih benci sama Inlander?"

"Zo Inlander, masih benci sama wanita Indo?" balas Fien manja.

Dua insan itu tertawa ditahan-tahan, khawatir didengar orang.

"Zeg Prap, istrimu sudah mulai curiga belum?" tanya Fien van Hoogendorp.

"Aku murid setia mendiang ibuku. Apa kata ibuku? Begini. Laki-laki itu seperti anjing. Sekalipun ia diberi makanan yang sehat, bersih, tapi ia masih suka mencium-cium bangkai tikus."

Belum lagi Suprapto mampu meneruskan kata-katanya, Fien memotong, "Zo, aku ini bangkai tikus, ya?"

(35)

"Bandiet" jawab Fien van Hoogendorp.

"Bagaimana dengan Jonkheer-mu, Schat?" Suprapto balik bertanya.

Sambil tersenyum manja Fien menjawab, "Aku sudah bilang. Henk terlalu mementingkan pekerjaannya. In bed is hij een hulpeloze kerel—di tempat tidur ia tak berdaya. Aku tak pernah puas dengannya. Kau tahu sendiri temperamenku, Prap. Dan ia tak pernah mencurigaiku."

"Kalau aku boleh tanya, mengapa kau memilih seorang Inlander sebagai lover, bukan orang Indo atau Belanda? Tidak kekurangan persediaan di Madugondo ini dan siapa yang bisa menolak ajakan wanita secantik Fien van Hoogendorp?"

"Dengarkan, Schat, kebetulan kau memiliki daya tarik yang begitu kuat bagiku. Orang Jawa bisa tutup mulut, discreet, tidak Indo-Belanda. Mereka suka membual, suka menyombongkan dirinya. Itu tidak kusukai, berbahaya. Kalau Belanda totok umumnya mlempem, seperti krupuk terkena air."

Mendengar keterangan Fien itu Suprapto tertawa keras-keras. Cepat Fien membungkam mulut kekasihnya. Selanjutnya Suprapto tidak tinggal lama di sanggar lukis itu. Ia tidak langsung pulang, tapi menyempatkan diri untuk melihat-lihat kebun yang dipertanggungjawabkan kepadanya. Dinihari baru ia pulang.

(36)

untuk beristri lebih dari seorang, tapi itu tidak berarti bahwa ia tidak pernah mempunyai kekasih di luar dirinya. Sekalipun ia sudah terbiasa melihat tingkah laku laki-laki seperti itu di lingkungan Kusumojaten, tapi setelah kejadian semacam mengenai dirinya sendiri, mula-mula sakit juga hatinya. Namun lambat-laun rasa sakit hati itu diusirnya dari kalbunya. Masih jelas dalam ingatannya apa yang dikatakan oleh Bibi Dumilah. "Terimalah segala kenyataan hidup apa adanya. Bakal suamimu seorang pria yang memiliki daya tarik kuat bagi wanita. Jangan sampai apa yang bisa terjadi itu merusak kehidupan keluarga." Namun demikian Ibu Sinder merasakan bahwa suaminya masih tetap mengasihi dirinya. Di luar rumah, ia milik orang lain, tapi bagi Suprapto dirinyalah di atas segala-galanya—dan sekalipun sudah bersama-sama menjadi tua, kehangatan hubungan tidaklah menjadi pudar.

Pernah ia mempersoalkan perlakuan wanita-wanita Indo itu pada suaminya. Suprapto menjadi marah-marah karenanya. Semula ia hendak bertindak, entah bagaimana caranya, tapi Ibu Sinder mencegahnya.

"Sudahlah, Pak, tak ada gunanya. Apa kau lalu akan memusuhi sekian banyak orang? Perbuatan wanita-wanita itu hanya didorong oleh rasa rendah diri saja. Mengaku dirinya Belanda tapi hitam-pekat seperti tiang telepon."

Suaminya lalu tertawa terbahak-bahak. Dengan nada gurau disindirnya suaminya dengan berkata, "Sebenarnya ada jalan yang mudah. Pak."

"Apa, apa. Bu? Bagaimana, bagaimana?" dengan cepat suaminya bereaksi.

Dengan tenang Ibu Sinder berkata, "Gampang, Pak, layanilah keinginan mereka."

(37)

Ia sudah tahu bahwa suaminya kini sedang hangat-hangatnya berkasih-kasihan dengan istri majikannya. Itulah sebenarnya yang mencemaskannya malam itu. Mengapa harus dengan istri majikan? Sekalipun wanita itu memang sumbut (pantas) untuk berbuat dosa, tapi sangat membahayakan kedudukannya sebagai sinder bila ketahuan.

Semula ia kurang percaya bahwa hal itu memang benar terjadi, tapi sikap Fien van Hoogendorp begitu berlebihan terhadap dirinya. Wanita itu bersikap terlalu ramah terhadap dirinya. Bahkan pernah terjadi hal yang tidak pernah terjadi pada istri sinder yang lain. Pada suatu hari ia pulang dari pasar. Nyonya Besar itu menyalipnya dalam mobilnya. Begitu Fien melihat dirinya, ia menghentikan mobilnya. Ia mempersilakan dirinya untuk naik. Ia diantarnya pulang dalam mobilnya dan yang sangat mengejutkannya, Fien van Hoogendorp itu menggunakan bahasa Jawa yang halus terhadap dirinya. Baru hari itu Bu Sinder tahu bahwa Fien pandai berbahasa Jawa. Tak seorang pun di Madugondo yang mengetahuinya. Namun ia tidak berani menceritakan kejadian itu kepada suaminya. "Ah, biarlah Mas Prapto merasa bahwa aku tidak tahu-menahu tentang hubungannya dengan istri majikannya. Lebih menggairahkan baginya," gumam wanita yang sedang membatik itu.

(38)

itu meleset sama sekali. Banyak hal-hal kecil yang diabaikannya, yang tidak luput dari pengamatan Ibu Sinder. Sebaliknya sikap wajar-wajar istrinya menyesatkan suaminya. Dalam hati Ibu Sinder tersenyum geli atas sikap suaminya itu. "Pada saatnya nanti, barangkali perlu aku mempersoalkannya," pikirnya.

Seperti biasa Suprapto menegur, "Belum tidur, Bu?"

"Aku ingin kain batik itu lekas selesai," jawab Bu Sinder.

Suprapto membuka sepatunya lalu langsung pergi ke kamar mandi. Segala sesuatunya sudah disiapkan oleh istrinya. Air panas dalam beberapa termos besar, handuk, sabun, sikat dan pasta gigi, sandal, ember besar, sarung, dan piyama. Sambil bersiul-siul Suprapto keluar dari kamar mandi lalu langsung duduk di samping istrinya yang masih duduk membatik. Sudah tersedia teh panas dan gula merah di atas tikar. Suprapto memang suka minum teh dengan gula merah, gula jawa.

"Aku sudah tak sabar menunggu kedatangan Suhono. Ingin tahu aku, apa yang akan dikatakan orang-orang Madugondo. Anak Sinder Suprapto sudah jadi insinyur. Apa yang akan dikatakan oleh nyonya-nyonya Belanda hitam itu. Musuh-musuhku."

"Jangan berkata begitu, Pak," potong Bu Sinder. "Mereka bukan musuh. Mereka hanya sedang lupa saja."

Suprapto melanjutkan tanpa menghiraukan apa yang dikatakan oleh istrinya itu, "Aku mau tahu, Ro. Coba lihat saja, nanti mereka akan berebut menyodor-nyodorkan anak perempuannya. Bakal ramai jalan di muka rumah."

(39)

rasanya canggung bagi Suprapto untuk memanggil istrinya dengan "Win" begitu saja. Lambat-laun panggilan "Ndoro" itu berubah menjadi "Ro" saja.

"Jangan terlalu membangga-banggakan Suhono, Pak. Tidak baik dan tidak ada perlunya."

"Coba lihat nanti. Indo-indo hitam itu pasti akan berubah sikapnya terhadap dirimu, Ro," kata Suprapto. "Kalau aku salah ramal, cukurlah kumisku sebelah."

Ibu Sinder memandang wajah suaminya. Ia tertawa terpingkal-pingkal, suatu hal yang jarang terjadi. Lazimnya Ibu Sinder hanya tersenyum saja, tapi begitu membayangkan suaminya berkumis tebal, tapi tinggal sebelah saja, ia tak mampu menahan tawanya.

"Bu, ayo tidur," ajak Suprapto.

"Silakan duluan. Pak, aku menyusul."

Tiga hari kemudian, sore hari, sebuah dokar memasuki halaman rumah Ibu Sinder. Turun seorang remaja muda. Melihat tamu itu turun. Ibu Sinder langsung menyongsongnya sambil berkata, "Kau, Her, kukira siapa? Ayo masuk. Sudah dibayar dokarnya?"

Sambil menjinjing koper Herman menjawab, "Sudah, Bu." (Baca: Kereta Api Terakhir, Pandir Kelana)

(40)

"Hari-hari ini barangkali," jawab Ibu Sinder. "Masih banyak urusan yang harus diselesaikannya."

"Mas Hono sudah punya calon belum. Bu?" Herman memberanikan diri untuk bertanya.

"Belum—ah, Hono, yang dipentingkan hanya buku-bukunya saja," jawab Ibu Sinder.

"Jadi rebutan nanti. Bu," tanggap Herman. Ibu Sinder tersenyum.

Ibu Sinder pergi ke dapur dan kembali membawa makanan dan minuman. "Prei, Ngger?"

"Begitulah, Bu, vakansi, dua minggu."

Sambil mengamati kemenakannya itu Ibu Sinder berkata, "Kau mirip benar dengan kakakmu, Her. Kau pidekso, jatuh serba sedang. Kakakmu Hono seperti Pakde. Wajah-wajah kalian berdua yang mengikuti garis Ibu. Kelas berapa sudah?"

"Baru kelas satu. Bu."

"Nah, mandi-mandi saja dulu, Her. Pakde biasanya magrib baru pulang."

(41)

Herman maupun Suhono pandai menyesuaikan diri. Dalam lingkungan Ibu Sinder mereka lebih bersikap kejawaan. Sebaliknya di rumah Ibu Sep, ibunya Herman, mereka lebih bersikap bebas.

Tiga hari kemudian dokar lain memasuki halaman rumah. Turun seorang pemuda berbadan tegap, kokoh, atletis. Insinyur Suhono pulang.

Ibu Sinder yang melihat dokar memasuki halaman rumah, langsung berlari menyongsong kedatangan anaknya, diikuti oleh Herman. Sambil menangis gembira Ibu Sinder memeluk anaknya.

"Bu, kok menangis? Tidak malu sama Herman...? Kapan datang, Her?"

Ibu Sinder melepaskan pelukannya. Suhono dan Herman saling berjabatan. Suhono membimbing ibunya masuk rumah. Koper-koper Suhono, diangkut Herman masuk ke kamar yang khusus disediakan bagi Suhono. Kemudian, bertiga mereka duduk-duduk di beranda belakang. Tak jemu-jemunya Ibu Sinder mengamati anak tunggalnya.

"Aku tak berubah. Bu. Masih seperti dulu-dulu saja."

"Kau sudah menjadi orang, Hon," kata Bu Sinder.

Dengan mata berlinang-linang Suhono turun dari kursi lalu menyungkemi (mencium lutut) ibunya. Ibu Sinder menciumi anaknya, air mata meleleh-leleh lewat pipi-pipinya. Masih tetap duduk bersila di atas lantai, Suhono berkata, "Ibu dan Bapak yang membentuk diriku, Bu. Matur sembah nuwun (Beribu-ribu terima kasih)."

(42)

Suhono sambil bergumam. "Duduklah kembali. Bapak dan ibumu hanya sekadar memenuhi kewajiban sebagai orangtua. Gusti Allah melimpahkan kasihNya kepada bapak dan ibumu, mampu membesarkanmu dan masih diberikanNya izin untuk menyaksikan kau menjadi orang. Allahu Akbar."

Suhono duduk kembali. "Jurusan apa yang kaupilih kelak, Her?" ia bertanya kepada sepupunya.

"Belum tahu, Mas, mungkin mengikuti jejak Mas Hono saja."

"Ah, jangan. Dokter saja, Her."

Ibu Sinder membiarkan anak dan kemenakannya berbincang-bincang, meninggalkan tempat dan memanggil koki pembantunya. "Mbok, pergi ke Mbok Mandor Darmin. Minta manggar-nya," kata Ibu Sinder.

"Lho, Den Hono sudah pulang?" Mbok Soma menanggapi.

"O ya, lupa aku. Sudah, sudah Mbok. Itu di sana," kata Ibu Sinder.

Mbok Soma yang mengasuh Suhono sejak kecil lari keluar dapur, langsung menghampiri Suhono. Didekapnya momongannya itu kuat-kuat sambil berkata, "O Allaaaah, Ndoro Siwur."

"Bukan siwur, Mbok. Sinyur!" Suhono membetulkan.

"Nggih, nggih, sinyur, sinyur! Sinyur niku napa, Den?" tanya Mbok Soma.

Setelah berpikir sejenak Suhono menjawab, "Yaa seperti Tuan Besar Statir".

(43)

Besar... E, Ndoro Mas, itu ya, putri-putrinya Ndoro Demang... cantik-cantik. Ada tiga, masih perawan semua. Tinggal pilih saja Den."

"Betul Mbok?" Suhono menanggapi dengan berpura-pura tertarik.

"Eee, Den Bagus, dikandani (dibilangi)," jawab Mbok Soma.

"Sudah, sudah. Mbok, anakmu sudah ketagihan gudeg manggar," potong Bu Sinder.

Mbok Soma melepaskan Suhono lalu lari ke luar rumah menuju ke rumah Darmin. Kepada Herman Ibu Sinder berkata, 'Tolong, Her, beri tahu Pakde sana. Pakai sepeda Bapak saja."

"Baik, Bu."

Tidak lama kemudian Sinder Suprapto datang, boncengan sepeda dengan kemenakannya. Langsung ia menuju beranda belakang. Begitu berhadapan dengan anaknya, diamatinya Suhono dari ujung rambut sampai jari-jari kakinya. "Ingenieur Suhono. Welkom thuis (Sselamat datang)," serunya. Ayah dan anak lalu berpeluk-pelukan. Perlahan-lahan Suprapto menampar pipi Suhono sambil berkata, "Kau tak mengecewakan bapakmu."

"Ee, Bapak ini bagaimana," celetuk Ibu Sinder, "Suhono sudah orang sekarang, kok ditampar begitu? Jangan diperlakukan seperti anak kecil."

Suprapto tertawa-tawa lega lalu menjawab teguran istrinya, "Awas ya kau, Win. Awas kalau kau nanti malam ngeloni (tidur dengan) insinyur muda."

(44)

Suprapto tidak tinggal lama di rumah. Ia kembali ke pekerjaannya. Dan setelah mandi Suhono lalu asyik berbincang-bincang dengan ibunya. Herman mengundurkan diri ke dalam kamarnya. Ia tidak ingin mengganggu keakraban ibu dan anaknya itu.

Malam itu mereka kembali melanjutkan berbincang-bincang sampai dinihari. Benar apa yang dikatakan oleh Suprapto. Malam itu Ibu Sinder tidur di kamar anaknya.

"Ibu masih tetap tampak muda dan cantik," kata Suhono sambil tiduran.

Mendengar pujian anaknya itu Ibu Sinder tersenyum lalu menjawab, "Kau juga masih tetap seorang perayu. Kau benar-benar anak Ibu dan Bapak. Tubuh gagah perkasa kauwarisi dari bapakmu, wajahmu lebih dekat pada ibumu. Waspadalah selalu, Ngger. Kalau tidak hati-hati banyak godaan. Seperti ayahmu."

Suhono bangkit, duduk di samping ibunya lalu bertanya, "Ada apa lagi dengan Bapak?"

Sambil tersenyum dan memijat hidung anaknya. Ibu Sinder menjawab, "Tidak ada apa-apa, Ngger. Kau tahu sendiri, bapakmu selalu menjadi incaran wanita. Apalagi kau, Ngger. Kau memiliki daya tarik yang kuat. Bisa menyulitkan. Asal kau selalu waspada saja."

"Aku akan selalu berusaha. Bu," kata Suhono sambil merebahkan diri kembali di samping Ibunya.

(45)

keseluruhan pekerjanya. Semua yang hadir ikut bangga atas keberhasilan anak sinder Jawa itu.

Di mata para pekerja, Suhono disamakan dengan martabat Tuan Besar Statir. Sama-sama sinyurnya.

Sehabis selamatan Ibu Sinder membacakan hasil karya sastra tembangnya. Lirih-lirih Ibu Sinder berkidung. Suara emasnya sayup-sayup berkumandang di ruang depan rumah. Hadirin terharu mendengarkan kisah Sinta Obong ditembangkan dalam tembang Megatruh. Terutama saat Dewi Sinto setapak demi setapak mendekati api unggun besar yang menjilat-jilat itu. Suhono dan Herman mengagumi keahlian bertembang Ibu Sinder.

Hari telah larut malam ketika tamu-tamu meninggalkan rumah Sinder Suprapto.

Sementara itu seperti asap diembus-embuskan angin, berita kedatangan Insinyur Suhono cepat tersebar di Madugondo. "Anak Sinder Suprapto menyandang gelar insinyur."

Semula istri-istri sinder lainnya mencemoohkannya. Tidak mungkin anak sinder Inlander bisa jadi insinyur, apalagi anak si babu cuci itu. Namun akhirnya kenyataan tak bisa dibantah lagi. Sikap wanita-wanita itu segera berubah, terutama mereka yang memiliki anak perempuan cukup umur untuk dikawinkan.

(46)

Sikap ibu-ibu sinder lain terhadap Ibu Sinder berubah sama sekali. Mereka tidak lagi menghormat-mengejek, tapi menghormat-berpamrih. Ibu Sinder merasakan perubahan itu, tapi ia tetap bersikap rendah hati seperti sediakala.

Setelah waktunya dianggap baik, Sinder Suprapto mengajukan surat kepada Administrator Van Hoogendorp lewat sekretaris perusahaan, apa sekiranya Van Hoogendorp berkenan menerima Ingenieur Suhono untuk melapor.

Membaca surat sindernya yang begitu sopan itu Van Hoogendorp sangat berkesan. Apalagi dalam surat itu ia selalu disebut "Jonkheer".

Surat balasan datang. Van Hoogendorp menetapkan waktu pagi hari pada jam kerja. Itu berarti bahwa Suhono akan diterima secara dinas.

Pada hari dan jam yang telah ditentukan, Suhono mengenakan setelan jas putih-putih dan berdasi hitam. Ayahnya memakai pakaian jas tutup putih, pakaian kerja kantor. Dan begitu tiba di Besaran, pelayan pribadi Van Hoogendorp melaporkan kedatangan mereka kepada tuannya. Langsung ayah dan anak itu diterima di ruang kerja Administrator. Van Hoogendorp mendekati Suhono, berjabatan tangan, lalu mempersilakan Suprapto dan Suhono duduk di atas kursi-kursi di depan meja kerjanya. Administrator itu menawarkan cerutu. Dengan sopan Suprapto menolak. Suhono menerima tawaran itu. Van Hoogendorp menyalakan korek api dan mempersilakan Suhono lebih dulu menikmati lisongnya.

"Willem I, sungguh nikmat dan harum," celetuk Suhono.

(47)

"Betul, Jonkheer, aku memang suka cerutu, tapi uang saku terlalu kecil untuk bisa membeli cerutu setiap hari."

Van Hoogendorp tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Suhono. Katanya, "Sebentar lagi kalau kau sudah menerima pengangkatanmu, kau boleh merokok cerutu sepuas-puasmu."

Kini tiga insan itu tertawa bersama-sama.

Kata Van Hoogendorp, "Enfin, alk gekheid op een stokje—sudahlah, sudah. Meneer Suhono, Madugondo bangga akan gelar insinyur yang kauraih itu.

“Tuan menjunjung tinggi nama baik perkebunan kita."

"Jonkheer, atas nama orangtuaku dan atas nama diriku sendiri, perkenankanlah aku mengucapkan terima kasih. Atas dorongan Jonkheer, aku mampu memperoleh gelar itu. Ayah dan Ibu selalu mengatakan bahwa Jonkheer selalu menanyakan kemajuan studiku. Itulah yang merupakan cambuk bagiku untuk selekasnya menyelesaikan studiku itu. Hal yang sangat membesarkan hati, Jonkheer. Sekali lagi terima kasih."

Kata-kata sopan yang diucapkan dalam bahasa Belanda yang nyaris sempurna itu sangat berkesan di hati Administrator. Kata Van Hoogendorp kemudian, 'Tuan Suhono, kebetulan sekali anakku Ivonne juga baru saja lulus ujian Semi-Arts. Bagaimana kalau kita rayakan bersama Meneer Suhono?"

(48)

Suhono. Budi bahasanya berciri Jawa, tapi sikapnya correct menurut aturan sopan santun Barat.

"Sebentar ya, akan kuminta datang istri dan anakku. Mudah-mudahan mereka tidak sedang bepergian," kata Van Hoogendorp.

Van Hoogendorp meninggalkan ruangan. Jantung ayah dan anak berdebar-debar. Jantung Suprapto berdebar-debar karena akan bertemu dengan Fien van Hoogendorp, Suhono berdebar-debar ingin melihat wajah Ivonne.

Wah, payah! Kalau nanti Hono pacaran dengan Ivon... Ah, mudah-mudahan Fien tetap discreet—memegang teguh rahasia, pikir Suprapto. Tidak seberapa lama kemudian Van Hoogendorp muncul bersama Fien dan Ivonne.

"Fien, Ivonne, kenalkan... Ingenieur Suhono," kata Van Hoogendorp. "O ya, Ivonne, kenalkan Sinder Suprapto, Ayah Suhono."

Suhono menundukkan kepalanya dan dengan gaya hormat tapi correct, menjabat tangan Fien lebih dulu, baru kemudian ia menjabat tangan Ivonne. Sejenak pandangan mata dua insan muda berlainan jenis itu bertemu, tapi temu pandang yang sekejap itu merasuk ke dalam hati masing-masing. Mata tajam Nyonya Van Hoogendorp mampu menangkap apa yang sedang dirasakan oleh dua insan dewasa itu. Ia tersenyum dalam hati.

Dengan tangan agak gemetar Suprapto menyalami Fien dan Ivonne. Suhono dan Suprapto tetap berdiri tegak. Melihat adegan yang kaku itu Van Hoogendorp berkata, "Wel, mari, mari duduk di sana saja."

(49)

dan ayahnya duduk. Ia menempati kursi di samping Ivonne. Dalam waktu yang sesingkat itu Suhono berhasil merebut simpati Fien dan Ivonne.

Van Hoogendorp mengulangi lagi tawarannya dengan berkata, "Fien, aku bermaksud merayakan keberhasilan Suhono dan Ivonne. Bagaimana?"

Fien van Hoogendorp yang memang suka berpesta itu langsung menjawab, "Aku setuju, Henk. Kalau bisa sesegera mungkin, sebab kalau terlalu lama bisa menjadi basi nanti. Begitu kan, Tuan Suhono?"

Cepat Suhono menanggapi, "Nyonya, panggillah aku cukup dengan Suhono saja. Kalau Nyonya memanggilku dengan Tuan, bisa pingsan aku nanti."

Van Hoogendorp suami-istri dan Ivonne tertawa. "Apa itu juga berlaku bagiku, Tuan Insinyur?" sambung Van Hoogendorp.

Suhono berdiri, mengangguk lalu menjawab, "Dengan segala senang hati, Jonkheer." Ia duduk kembali.

Van Hoogendorp merasa dirinya dihormati oleh Suhono dengan panggilan "Jonkheer" terus-menerus itu. Ia ingin menunjukkan kerendahan hati dan jiwa besarnya. "Suhono," katanya, "aku juga mempunyai permintaan. Kalau kau masih saja memberanikan diri memanggilku 'Jonkheer', kutarik kembali tawaran pesta itu."

"Berat bagiku, Jonkheer, tapi permintaan seorang administrator kepada warga Madugondo sudah merupakan perintah. Tuan," jawab Suhono.

(50)

Van Hoogendorp berdiri diikuti oleh yang lain. Fien mengulurkan tangannya kepada Suprapto dan Suhono. Begitu juga Ivonne. Ivonne masih sempat berkata, "Sampai bertemu lagi, Tuan Suhono."

"Jangan sebut aku Tuan," kata Suhono cepat. "Aku merasa seperti kakek-kakek saja. Suhono atau Hono saja cukup." Lagi-lagi keluarga Van Hoogendorp tertawa.

"Baik, Suhono," kata Ivonne. "Sebaliknya, kalau kau memanggilku dengan sebutan bermacam-macam, pantang aku menerima ajakan dansa nanti. Panggillah aku Ivon atau Ivo saja." Suhono hanya mengangguk.

Ibu dan anak meninggalkan ruang kerja Administrator Van Hoogendorp, kemudian Suprapto dan Suhono minta diri kepada Van Hoogendorp.

Tiba di rumah kembali, tak henti-hentinya Suprapto memuji-muji anaknya. Katanya, "Bu, kalau kau ikut hadir tadi, kau akan terheran-heran. Sekali bicara, suami, istri, dan anak langsung dalam genggaman anakku."

"Apa anakmu? Anakku!" sangkal Ibu Sinder.

Ayah, ibu dan anak tertawa. Herman hanya tersenyum.

(51)

Sementara itu, jalan di muka rumah Ibu Sinder mulai ramai dilewati gadis-gadis Indo anak-anak pegawai perkebunan. Semua ingin menarik perhatian Insinyur Suhono. Gerak-gerik Suhono terus diamati oleh ibu-ibu Madugondo. Suhono sendiri kelihatan agak gelisah dan kegelisahannya itu tidak luput dari pengamatan ibunya. Yang ditunggu-tunggu oleh Suhono memang belum pernah menampakkan dirinya lewat rumah. Itulah yang membuat Suhono kesal. Suhono sendiri dengan sengaja menghindari jalan di muka Besaran.

Pada suatu pagi hari, di halaman depan rumah. Ibu Sinder bertanya kepada anaknya, "Siapa yang kauharap-harapkan lewat, Ngger?"

"Bukan siapa-siapa. Bu. Aku hanya sekadar berangin-angin saja," jawab Suhono hampa.

Dengan senyumnya yang menarik Ibu Sinder menanggapi, "Ibumu bukan orang yang buta, Ngger. Nona Ivon memang cantik."

Suhono terkejut bercampur malu mendengar tanggapan ibunya itu. Ibu Sinder melanjutkan, "Aku wanita kolot, Hon, wanita kuno. Ibumu lebih suka mempunyai menantu wanita Jawa daripada wanita Belanda. Bagaimana kalau kau kuajak melihat-lihat di Sala, Hon?"

"Ah, Ibu, belum apa-apa Ibu sudah curiga. Aku belum punya niat untuk beristri. Masih ingin menikmati kebebasan."

(52)

Ibu Sinder bergumam, "Heh, anak tambeng (bandel)!" Dalam hati Ibu Sinder membenarkan kata-kata anaknya. Ia belum bisa merelakan anak yang dicintainya itu dimiliki wanita lain, sekalipun hal itu disembunyikannya dalam-dalam di lubuk hatinya. Ya kalau wanita itu baik, kalau tidak?

Suhono sendiri tahu akan keresahan hati ibunya. Ia selalu hati-hati bila menyinggung persoalan beristri. Ia memang belum memiliki pilihan tertentu.

Sore harinya Suhono mengajak saudara sepupunya berenang. Begitu Suhono menampakkan dirinya dalam celana renang menaiki tangga papan terjun, gadis-gadis Madugondo baru dapat menyaksikan bagaimana harmonisnya tubuh Suhono yang atletis itu. Suara bisik-bisik terdengar, "Itu Suhono, insinyur baru. Anak Sinder Suprapto."

Suhono meloncat-loncat di atas papan, mengambil ancang-ancang, lalu dengan indahnya terjun ke dalam air, dikagumi oleh gadis-gadis yang sedang berendam-rendam dalam air yang kebiru-biruan itu. Melihat gadis-gadis remaja yang dengan berbagai cara mencoba menarik perhatian Suhono itu, Herman tersenyum-senyum. Tiba-tiba perhatian Herman tertarik oleh seorang gadis dewasa yang sedang jalan menuju tepian kolam dalam pakaian renang berwarna merah jambu. Tidak mata Herman saja yang terbelalak, perhatian Suhono pun terarah pada warna merah jambu itu juga. Sebaliknya, penampilan Suhono yang bertubuh harmonis-atletis itu juga tidak luput dari perhatian wanita dalam pakaian renang merah jambu itu.

(53)

mengganggunya itu Suhono, Ivonne tersenyum sambil berkata, "Stoute jongen—anak nakal!"

"Selamat sore, Ivo. Kau tampak cantik dalam warna merah jambu," tegur Suhono.

"Masih kalah pagi aku," jawab Ivonne tanpa memberikan reaksi terhadap pujian Suhono.

Keduanya lalu berenang menepi. Suhono loncat ke tepian lalu membantu Ivonne naik. Suhono memanggil sepupunya, Herman, dan memperkenalkannya kepada Ivonne.

"Aku tidak tahu kau masih punya adik, Hono. Suhono in klein formaat— Suhono bentuk kecil."

Mendengar komentar Ivonne, Suhono hanya tersenyum saja. Herman cepat-cepat terjun ke dalam air. Ia tak ingin mengganggu kebersamaan Suhono dan Ivonne. Sedangkan pasangan muda itu lalu duduk-duduk di atas kursi besi yang tersedia dekat pagar pemandian.

"Kau masih akan lama di Madugondo, Hono?"

"Sampai aku ada penempatan, Ivo. Kau sendiri bagaimana?"

"Sampai hari-hari terakhir liburan. Sebulan di perkebunan membosankan," kata Ivonne.

Referensi

Dokumen terkait