• Tidak ada hasil yang ditemukan

TOKOH TOKOH SUDUT PANDANG KEBUDAYAAN DIF

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TOKOH TOKOH SUDUT PANDANG KEBUDAYAAN DIF"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Nama : Ni Putu Diah Paramitha G. NIM : 1201605003

Prodi : Antropologi

TOKOH-TOKOH SUDUT PANDANG KEBUDAYAAN DIFERENSIAL

Sudut pandang diferensial melihat bahwa kebudayaan bersifat liquid (cair), dinamis, dan kompleks. Berbeda dari pandangan generik yang melihat bahwa kebudayaan bersifat turun-temurun, pandangan diferensial melihat bahwa kebudayaan lebih bersifat situasional yang keberadaannya tergantung pada karakter kekuasaan dan hubungan-hubungan yang berubah dari waktu ke waktu. Adapun teori yang digunakan untuk mengamati kebudayaan diferensial ini adalah teori-teori yang bernuansa posmodern. Teori-teori tersebut beserta tokoh pendukungnya dijabarkan sebagai berikut.

1. POS-STRUKTURALISME

Pos-strukturalisme adalah gerakan filsafat yang merupakan reaksi terhadap strukturalisme, yang membongkar setiap klaim akan oposisi pasangan, hierarki, dan validitas kebenaran universal, sebaliknya menjunjung tinggi permainan bebas tanda serta ketidakstabilan makna dan kategorisasi intelektual. Kaum pos-strukturalis pada umumnya melihat bahwa bahasa sebagai sistem tanda yang sangat dinamis. Tokoh-tokoh pendukung teori ini adalah sebagai berikut.

a. ROLAND BARTHES

(2)

adalah sebuah metafora untuk menggambarkan bahwa tidak ada lagi semangat dan jiwa pengarang dalam karyanya. Pengarang tidak lagi bicara.

Karya atau teks posmodern, dalam hal ini, tidak dapat lagi dikategorikan menjadi teks atau karya dalam pengertian modernisme, yaitu karya yang memiliki arti yang tunggal dan utuh. Hal ini disebabkan bahasa yang digunakan tidak lagi bahasa tunggal dan subyektif pencipta, akan tetapi aneka ragam bahasa masa lalu dengan asal-usul yang tidak pasti. Hal ini dijelaskan Barthes, sebagaimana yang ditulisnya,

“…sebuah teks bukanlah sebaris kata-kata yang menghasilkan makna tunggal teologis (pesan atau wahyu Pengarang – Tuhan), akan tetapi ruang multi-dimensional yang di dalamnya aneka ragam tulisan-tulisan, tak satu pun di antaranya yang orisinal, bercampur, dan bertumpang tindih. Teks adalah sebuah jaringan kutipan-kutipan yang diambil dari pusat-pusat kebudayaan yang tak terhitung jumlahnya.”

Bagi Barthes, sebuah teks adalah kombinasi dari tulisan-tulisan, yang diambil dari berbagai kebudayaan, dan memasuki suatu ruang tertentu, yang di dalamnya semuanya dipusatkan dan berinteraksi dalam bentuk dialog, parodi, arena kontes, atau alegori. Ruang ini, menurut Barthes adalah pembaca. Matinya sang pengarang dalam era posmodern diiringi dengan lahirnya pembaca (reader), dan berkembangnya model writerly text, yaitu teks yang menjadikan pembaca/teks-teks sebagai pusat penciptaan ketimbang pengarangnya sendiri (lihat Piliang, 2003: 118-121).

b. JULIA KRISTEVA

(3)

yang sekaligus menantang model berpikir struktur, sinkronik, dan bersistem dari paham strukturalis. Apa yang dilihat Kristeva dalam suatu teks dan karya seni, tidaklah sesederhana relasi-relasi antara bentuk dan makna atau penanda (signifer) dan petanda (signified), sebagaimana yang dipertahankan oleh semiotika konvensional. Sebaliknya, Kristeva melihat pentingnya dimensi ruang dan waktu dalam analisis teks.

Sebuah teks atau karya seni dibuat dalam waktu yang konkrit. Oleh sebab itu, mesti ada relasi-relasi antara satu teks atau karya dengan teks atau karya lainnya dalam ruang, dan antara satu teks atau karya seni dengan teks yang sebelumnya di dalam garis waktu. Singkatnya, Kristeva melihat bahwa satu teks atau karya seni tidak berdiri sendiri, tidak mempunyai landasan atau kriteria dalam dirinya sendiri – tidak otonom (lihat Piliang, 2003: 121-122).

c. JACQUES DERRIDA

Salah satu konsep yang paling penting dari Derrida adalah mengenai kritik ‘dekonstruksi’ yang merupakan pengembangan dari pemikiran Nietzsche. Dekonstruksi Derrida menekankan pada ‘logosentrisme’ filsafat Barat dan mengusulkan bahwa oposisi biner sentral yang membangun pemikiran Barat (ucapan/tulisan, hadir/absen, makna/bentuk, pikiran/jasmani, dan hurufiah/metaforis) adalah arbiter, tidak stabil, dan dapat berbolak-balik. Derrida ingin menunjukkan bahwa upaya untuk membangun landasan perlu menjadikan kemauan menjadi kekuasaan (Saiffudin, 2006).

(4)

Derrida mendemonstrasikan bahwa tulisan – kalau dinilai secara benar- merupakan prakondisi bahasa, dan bahkan ada sebelum ucapan oral. Kalau tulisan lebih dari sekadar grafis atau prasasti dalam pengertiannya yang normal, maka tidaklah benar bahwa tulisan adalah representasi palsu, atau topeng dari ucapan. Tulisan, menurut Derrida, pada kenyataannya melepaskan diri dari ucaan dengan sengaja membuat asumsi kebenaran alamiah (logos)nya, dan dari predikat sebagai topong dari logos. Tulisan adalah sebuah permainan bebas unsur-unsur dalam bahasa dan komunikasi. Tulisan adalah proses perubahan makna secara terus-menerus, dan perubahan ini menempatkannya pada posisi di luar jangkauan kebenaran mutlak (logos). Dalam hal ini, Derrida melihat tulisan sebagai jejak (trace) – bekas tapak kaki yang mengharuskan kita menelusurinya untuk mencari si empunya kaki. Adalah proses berpikir, menulis, berkarya berdasarkan prinsip jejak inilah yang disebuk Derrida sebagai difference (Piliang, 2003: 126-127).

d. MICHEL FOUCAULT

Foucault adalah seorang pos-strukturalis asal Prancis. Ia membicarakan permasalahan diskursus (wacana) dengan cara yang baru. Bukunya yang berjudul The Archaeology of Knowledge, dianggap sebagai buku yang berbicara mengenai diskursus secara inovatif. Di dalam buku tersebut, Foucault menjelaskan diskursus tidak dalam konteks kontinuitas sejarah, tetapi di dalam konteks diskontinuitas. Apa yang dilihat Foucault di dalam satu rentang waktu adalah sesuatu yang terputus atau sesuatu yang kontradiktif.

(5)

semuanya berlandaskan pada pengetahuan implisit yang khusus pada masyarakat tersebut yang disebutnya savoir (knowledge atau pengetahuan) (Piliang, 2003: 107).

2. POSKOLONIALISME

Pos-kolonialisme sendiri merupakan studi yang mempelajari interaksi antara negara Eropa dengan negara jajahan mereka di era modern (Wardhani, 2014). Pos-kolonialisme lahir pada tahun 1960-an, dengan ditandai oleh terbitnya buku The Wretched of the Earth karya Frantz Fanon di Prancis. Tokoh-tokoh pendukung teori ini adalah sebagai berikut.

a. FRANTZ FANON

The Wretched of the Earth (2000), buku karyanya, disebut sebagai pegangan bagi revolusi hitam yang sukses di negerinya; Aljazair. Buku ini adalah kecaman bagi kulit putih dan barat agar sadar bahwa kolonalisme telah berakhir. Bukunya telah menginspirasi praktik-praktik revolusi dan re-organisasi sosial. Fanon adalah seorang psikiater kulit hitam yang sukses keluar dari kolonisasi mental yang dikonstruksi oleh kolonialisme, bahkan mengorganisir dan menginspirasi gerakan-gerakan dekolonisasi Afrika.

(6)

Dengan meminjam analisis Fuchoult tentang relasi pengetahuan dan kekuasaan, Said, menemukan adanya relasi antara pengetahuan kolonial, yang dilahirkan oleh orientalisme, dengan kuasa kolonial di negara-negara koloninya. Pada awalnya orientalisme ini seperti gerakan ilmu pengetahuan biasa yang mengkaji masyarakat, budayanya, struktur bahasanya, dll. Tetapi dalam praktiknya pengetahuan ini digunakan untuk melanggengkan kolonialisme.

Kata Said ‘orientalisme adalah gaya barat menundukkan timur. Sejarawan, antropolog, sosiolog, sastrawan dan ilmuwan barat dengan kekuatan wacana mengkonstruksi timur sebagai inferior'. Dengan kata lain, orientalisme adalah diskursus yang bukannya memvisualisasikan dan merepresentasikan kebenaran tentang kebudayaan non-Barat, tetapi mengadilinya berdasarkan pengetahuan Barat.

Kolonialisme membentuk orientalisme ini seperti mengerahkan 'aparatus ideologis' negara kolonial untuk menundukkan warga pribumi yang dikoloni. Mereka memproduksi pengetahuan, kebiasaan-kebiasaan, 'prilaku layak', dan secara jangka pajang mengkonstruksi nalar pribumi. Hal inilah yang ingin dibongkar oleh Said. Meruntuhkan hegemoni teori pengetahuan barat yang ternyata tidak pernah 'netral', namun memuat struktur ideologi tertentu yang disusupkan dengan data-data (pseudo) ilmiah.

c. HOMI K. BHABHA

Menurut Bhabha, poskolonialitas adalah 'ruang antara' atau kondisi liminalitas menuju merdeka sepenuhnya. Diintrodusir dari istilah psikologi untuk menunjukkan ruang antara alam sadar dan alam bawah sadar. Dalam konsepsi sastra poskolonial, nalar kita berada dalam 'ruang antara', ruang liminalitas, antara pra kemerdekaan menuju kemerdekaan sepenuhnya.

(7)

lebih banyak diperoleh dari warisan. Ada jarak antara warisan dan pemahaman ofisial (ideologi) dan penyediaan ruang tampilan individu untuk pertahanan dan individualitas.

Menurut Bhabha, bila dilihat dari sudut pandang poskolonial, ada 2 kutub biner yang berbeda, yakni colonized (dijajah) dan colonizer (penjajah). Keduanya harus dilihat sebagai konteks historis yang tidak selalu linear satu arah. Bila colonized bersikap resisten, maka colonizer bersikap anxiety atau cemas. Namun sikap perlawanan dan cemas dapat saja terjadi dikedua belah pihak, seperti perlawanan dan resistensi dari colonizer yang khawatir akan ancaman terhadap daerah jajahannya oleh penjajah lainnya. Sedangkan dari pihak yang dijajah, tidak selalu resisten, melainkan terkadang bisa menerima kehadiran penjajah, meski tidak sepenuhnya. Berdasarkan hal ini, Bhaba melihat pentingnya penyelamatan kondisi yang tidak menentu (resist dan anxiety) yang dilakukan oleh para agen melalui budaya. Dengan kata lain, budaya sebagai strategi pertahanan yang dilakukan oleh agen: pihak penjajah maupun yang dijajah.

d. GAYATRI SPIVAK

Bila Said melalui orientalisme, sebuah buku rumit yang ditulis melalui riset serius atas naskah-naskah kolonial, maka Spivak mengenalkan dirinya masuk menjadi intelektual poskolonial melalui artikel pendeknya berjudul 'Can the Subaltern Speak?' dan bukunya A Critique of Postkolonial Reason. Naskah ini telah banyak dikutip sebagai contoh teks teori poskolonial.

(8)

oleh Gramsci untuk merujuk petani desa di Italia yang tersubordinasi oleh kekuatan negara. Spivak sendiri menganggap bahwa suara dan perwakilan perempuan dimarjinalkan.

3. POSFEMINISME

Posfeminisme merupakan suatu pemikiran dan gerakan yang menempatkan diri pada posisi yang kritis. Posfeminisme mempertanyakan asumsi-asumsi feminisme seperti patriarki sebagai situs utama penindasan, pengalaman penindasan yang universal, keseragaman, monovokal dan monologis. Posfeminisme mempertanyakan kiprah perjuangan feminisme yang melenceng dari visinya sebagai gerakan pembebasan menjadi sebuah gerakan yang justru menciptakan dominasi baru. Tokoh-tokoh pendukung teori ini adalah sebagai berikut.

a. LINDA NICHOLSON

Linda Nicholson, seorang profesor sejarah dan studi perempuan di Washington University di St Louis, mengklaim bahwa gagasan tubuh manusia dipisahkan menjadi dua jenis kelamin tidak historis konsisten. Dia berpendapat bahwa alat kelamin pria dan alat kelamin perempuan dianggap inheren sama dalam masyarakat Barat sampai abad ke-18. Pada saat itu, alat kelamin perempuan dianggap sebagai alat kelamin pria tidak lengkap, dan perbedaan antara kedua dikandung sebagai masalah derajat. Dengan kata lain, ada gradasi bentuk fisik, atau spektrum. Oleh karena itu, cara pandang seperti ini terhadap seks, yang mempertimbangkan perempuan dan laki-laki dan alat kelamin yang khas mereka sebagai pilihan alami hanya mungkin, muncul menjadi ada melalui sejarah, akar tidak biologis.

(9)

Fraser membagi gelombang kedua feminisme menjadi tiga babak berdasarkan tuntutannya, antara lain (1) the personal is political, (2) Arah redistribusi sosial-politis yang bergerak menjadi penyadaran identitas, dan (3) hubungan berbahaya (dangerous liaison) antara feminisme dan neoliberalisme. Fraser mengkritik bahwa akar keadaan ini terjadi ketika “the personal is political” tidak dilanjutkan dalam konteks sosio-ekonomi, melainkan hanya berlandaskan pada kultural, dan lebih spesifik ke permasalahan identitas. Akibatnya, agenda gelombang feminisme kedua yang menuntut keadilan dalam permasalahan sosio-ekonomi belum selesai, tapi didahului oleh agenda kultural, yang bermain dalam kerangka identitas.

Fraser tidak serta merta meninggalkan kultural, tapi yang ia tanyakan adalah genealogi permasalahan kultural itu sendiri. Jika feminisme abai pada permasalahan sosio-ekonomi mereka, maka penindasan akan selalu terjadi dan justru membuat terpecah-pecahnya gerakan perempuan, termasuk pemisahannya dari gerakan sosial lain—suatu hal yang diinginkan oleh patriarki. Permasalahan identitas yang penting seperti kritik Bell Hooks direduksi menjadi sekadar pembenaran perbedaan perempuan dari laki-laki. Ini akan menjadi gerakan perempuan yang tidak bernas, sebab memahami perempuan berarti juga memahami laki-laki dan subjek-subjek sosial lainnya di masyarakat.

(10)

tidak terlalu akurat secara historis dan bahkan kultural. Sebab, pembacaan Lacanianism terhadap gender hanya berorientasi pada simbol-simbol, tapi abai pada struktur yang telah menghasilkan simbol-simbol tersebut.

4. POSDEVELOPMENTALISME

Posdevelopmentalisme adalah suatu pemikiran bahwa pembangunan masyarakat, terutama negara-negara berkembang yang dilakukan dalam era pasca-kolonial dan pada era modern. Pembangunan yang diharapkan adalah pembangunan yang bersifat berkelanjutan. Tokoh-tokoh pendukung teori ini adalah sebagai berikut.

a. ARTURO ESCOBAR

Arturo Escobar (1995) dalam teks pasca-pembangunan klasiknya, Encountering Development, menjelaskan bagaimana wacana pembangunan yang dominan bermain keluar. Wacana ini didasarkan pada modernisasi dan gagasan kemajuan bangsa Barat, yang menciptakan konsep ‘Dunia Ketiga’. Dunia Ketiga tersebut dikatakan terdiri dari populasi yang kurang beruntung dan membutuhkan 'bantuan'. Agar Dunia Ketiga menjadi modern dan 'progresif,' maka Dunia Pertama (sebagai negara yang model modernitas dan kemajuan) memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan kepada Dunia Ketiga tersebut.

(11)

Rahnema (1991), dalam karya-karyanya yang membahas masalah kemiskinan, menyatakan bahwa tidak ada 'solusi' untuk 'kemiskinan' dalam modernitas; akan tetapi mencari alternatif tidaklah mudah karena struktur kekuasaan yang ada itulah yang telah ‘menjaga keberadaan kemiskinan’ sehingga kekuasaan dapat tercipta dan dipertahankan.

Struktur kekuasaan yang ada meliputi berbagai negara-bangsa yang terlibat dalam pembangunan, tetapi juga kekuatan pasar ekonomi global modern dan kontrol masyarakat dengan elitisme teknis. Untuk mewujudkan paradigma alternatif, Rahnema menyatakan bahwa pasca-pembangunan "tidak harus difokuskan pada 'rencana aksi' hanya operasional atau spektakuler atau 'strategi.'" Sebaliknya, ia menyerukan komitmen dari orang-orang 'baik orang dalam setiap komunitas untuk membuat paradigma baru berdasarkan persahabatan dan rasa sebenarnya dari masyarakat dengan tujuan mengakhiri modernitas dan hegemoni global.

5. POSMODERNISME

Istilah posmodern muncul pertama kali pada wilayah seni dan digunakan Frederico de Onis pada tahun 1930. Istilah ini kemudian banyak digunakan dalam bidang-bidang seperti seni rupa, arsitektur, politik, sastra, antropologi, sosiologi, feminisme, psikologi, filsafat, dan lain-lain. Posmodern adalah term deskriptif untuk menggambarkan apa yang datang setelah era modern. Term posmodern bukan bersifat ‘anti modern’. Posmodern memanfaatkan hal-hal yang dianggap baik pada era modern (re-use) dan penyusunan kembali potongan-potongan (collage) dari unsur-unsur tradidional dan modern serta mendaur ulang dalam konteks yang baru. Istilah posmodern dapat pula mengacu pada satu era (periode) di mana kepercayaan pada modernitas (the Enlightemen belief) mulai memudar. Tokoh-tokoh pendukung teori ini adalah sebagai berikut.

(12)

Doktrin penghapusan nilai yang terkenal yang di dengungkan pertama kali oleh Nietzsche (1844-1900) adalah doktrin nihilisme. Dalam karyanya Will to Power, Nietzsche menggambarkan nihilisme sebagai situasi dimana “manusia berputar dari pusat ke arah titik X”, artinya “nilai tertinggi mengalami devaluasi dengan sendirinya. Dalam pandangan Nietzsche proses nihilisme adalah devaluasi nilai tertinggi, yang membawa pada kesimpulan doktrin “kematian Tuhan”.

Dalam terminologi Nietzsche, perubahan kebenaran menjadi sekadar nilai berbentuk apa yang dia istilahkan “will to power.” Ini berarti bahwa filsafat nihilism bertujuan untuk mengkaji dan kemudian menghapuskan segala klaim yang dilontarkan oleh pemikiran metafisika tradisional. Metafisika, dimana konsep Tuhan merupakan fondasi pemikiran dan nilai dihilangkan atau disingkirkan. Sebab, seperti yang dinyatakan oleh Nietzsche, ketika metafisika telah mencapai suatu poin di mana kebenaran telah dianggap seperti Tuhan, sebenarnya itu tidak lebih dari nilai-nilai yang subyektif yang boleh jadi salah sepertimana kepercayaan dan opini manusia yang lain. Baginya tidak ada perbedaan antara benar dan salah, keduanya hanyalah kepercayaan yang salah (delusory) yang keduanya tidak dapat diandalkan. Maka dari itu, kalau kita menolak kesalahan kita juga harus menolak kebenaran. Membuang yang satu berarti juga harus membuang yang lain. Berdasarkan pada doktrin ini maka Nietzsche mendefinisikan metafisika secara peyoratif sebagai “ilmu yang membahas tentang kesalahan manusia yang fundamental, seakan-akan semua itu kebenaran yang fundamental”. Serangan doktrin nihilisme terhadap metafisika ini menunjukkan dengan jelas serangan terhadap agama sebagai asas bagi moralitas.

(13)

Bersama dengan Nietzsche, Heidegger disebut sebagai Bapak Posmodernisme. Heidegger (1889-1976) dengan nada yang sama dengan Nietzsche mendefinisikan nihilisme sebagai “suatu proses dimana pada akhirnya tidak ada lagi yang tersisa”. Dalam pandangan Heidegger, nihilisme menunjukkan penghapusan “being” dengan sedemikian rupa sehingga menjelma menjadi nilai. Di sini realitas tidak lagi dipahami dalam bentuk suatu susunan di mana sang pencipta berada pada puncak hirarki yang absolut. Keduanya menuju suatu titik di mana manusia tidak lagi berpegang pada struktur nilai, nilai tidak lagi mempunyai makna. Suatu konsep tentang apapun tidak lagi berdasarkan pada sesuatu yang metafisis, relijius ataupun mengandung unsur ketuhanan (divine).

Seperti Nietzsche, penolakan Heidegger terhadap Tuhan yang metafisis sejalan dengan persepsinya tentang Tuhan secara non-metafisis. Baginya akhir dari pemikiran teologis adalah berhenti berfikir tentang Tuhan sebagai cause sui, yaitu Tuhan yang dianggap sebagai kekuatan penyebab yang mencipta dan menjaga alam kosmos, dan sebagai gantinya adalah Tuhan yang manusia dapat menari dan melutut di depanNya. Inilah yang ia sebut Tuhan yang sebenarnya (Truly Divine God).

Filsafat diferensi yang dikembangkan oleh Heidegger merupakan satu upaya untuk mendekonstruksi oposisi biner dan kontradiksi, serta menghindari diri dari penyangkalan dan melakukan semacam rekonstruksi dari apa-apa saja yang telah didekonstruksi. Seperti yang dikatakan Levin, bahwa Heidegger berupaya melakukan “pengumpulan kembali Ada, dengan segala dimensi-dimensinya” yang telah dilupakan oleh modernitas.

(14)

Posmodern menurut Lyotard adalah kondisi hilangnya kredibilitas metanarasi dan berkembangnya perhatian pada pengembangan ‘pengetahuan-pengetahuan baru’ yang serta-merta meruntuhkan metanarasi itu.

Pemikiran dan pengamatan Lyotard menimbulkan implikasi penting bagi pemahaman tentang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan pramodern dan modern menurut Lyotard, mempunyai bentuk kesatuan (unity) yang didasarkan pada cerita-cerita besar (grand-narratives). Selanjutnya, grand narrative itu menjadi kerangka untuk menjelaskan berbagai permasalahan penelitian dalam skala mikro dan terpencil sekalipun. Grand narrative (metanarasi) adalah teori-teori atau konstruksi dunia yang mencakup segala hal/masalah, dan menetapkan kriteria kebenaran dan obyektivitas ilmu pengetahuan. Konsekuensinya, narasi-narasi ‘yang lain’, narasi-narasi yang berada di luar narasi-narasi besar, dianggap sebagai narasi-narasi non-ilmiah.

(15)

d. JEAN BAUDRILLARD

Konsep-konsep penting dalam pemikiran Baudrillard adalah mengenai simulasi dan hiperealitas. Bagi Baudrillard, simulasi adalah suatu proses atau strategi intelektual. Pernyataan Baudrillard tentang simulasi adalah sebagai berikut.

“Simulasi bukan lagi wilayah, sebuah wujud, atau substansi referensial. Ia adalah penciptaan lewat model-model sesuatu yang real, yang tanpa asal-usul atau realitas: sebuah hipereal. Wilayah tidak lagi mendahului peta, tidak juga mempertahankannya. Mulai kini, adalah peta yang mendahului wilayah –precession of simulacra. (Piliang, 2003: 1).”

Hiperealitas adalah efek, keadaan, atau pengalaman kebendaan dan atau ruang yang dihasilkan dari proses tersebut. awal dari hiperealitas, menurut Baudrillard, ditandai dengan lenyapnya petanda, dan metafisika representasi; runtuhnya ideologi; dan bangkrutnya realitas itu sendiri yang diambil alih oleh duplikasi dari dunia nostalgia dan fantasi. Tanda tidak lagi merepresentasikan sesuatu. Satu-satunya refrensi dari tanda yang ada adalah massa, dan massa ini, menurut Baudrillard adalah mayoritas yang diam.

e. JACQUES LACAN

(16)

Bagi Jacquez Lacan, pembentukan subjek di dalam rentang sejarah dapat dijelaskan sebagai suatu fenomena psikoanalisis. Di dalam bukunya, Ecrits, Lacan menjelaskan bahwa proses pembentukan manusia sebagai subjek dalam suatu masyarakat tidak terlepas dari pengalaman kelahiran sang manusia tersebut, dalam kaitannya dengan cerita-cerita, mitos-mitos, dan bahasa-bahasa yang mendahuluinya. Bagi Lacan, manusia lahir tak ubahnya seperti apa yang disebutnya hommelette – seperti telor pecah yang tak bisa menemukan bentuknya yang pasti. Akan tetapi, sekali ia –pada tahap balita– masuk ke dalam satu sistem sosial (pertama-tama dalam sistem keluarga, dan yang berkaitan dengan seksual), maka ia akan dibentuk oleh mitos, tabu, atau hukum yang dikenalnya melalui bahasa simbolik, yang selanjutnya akan mematrikan posisi subjektivitasnya di dalam proses kehidupan sosialnya seterusnya (Piliang, 2003: 83-84).

f. GILLES DELEUZE DAN FELIX GUATTARI

Deleuze Guattari

(17)

Dalam pembahasannya mengenai skizofrenik, berbeda dengan Lacan yang melihat fenomena skizofrenik dalam fenomena bahasa, Deleuze dan Guattari lebih melihat gejala skizofrenik berdasarkan fenomena sosial, politik, dan ekonomi. Bagi mereka “skizofrenik bagaikan cinta; tak ada fenomena atau hakikat yang khusus skizofrenik; skizofrenia adalah jagat mesin-mesin keinginan yang produktif dan reproduktif, produksi primer universal sebaai realitas esensial manusia dan alam”.

Refrensi

Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Bandung: Jalasutra.

Saifuddin, Achmad Fedyani. 2005. Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta: Prenada.

Anonim. Lyotard Francois.

Anonim. Pengertian Posmodern, Posmodernisme, dan Posmodernitas. http://amirchinggu.blogspot.com/2013/01/gender-2.html

http://hamidfahmy.com/agama-dalam-pemikiran-barat-modern-dan-post-modern/ http://mhakicky.blogspot.com/2011/01/seri-buku-iii-budaya.html

http://rayarken.xtgem.com/artikel/teori/postkolonial

http://repository.upi.edu/3721/6/D_PU_0907863_Chapter3.pdf

http://sociolovers-ui.blogspot.com/2012/06/poskolonial-homi-k-bhaba.html http://syaebani.blogspot.com/2009/08/posfeminisme.html

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil analisis, dapat diketahui bahwa UIN Maliki Malang dan UMM, keduanya sama-sama memiliki bentuk postmodernisme yang afirmatif bersifat menguatkan atau mengesahkan

Hasil yang ditemukan pada penelitian ini, bahwa efek samping pada awal terapi ARV sangat banyak dirasakan oleh ODHA di Kota Kendari adapun efek samping yang mereka

Hal sejalan dengan hasil penelitian di Cina yang tidak mendapatkan hubungan antara latar belakang ekonomi dengan perhatiannya terhadap AIDS, akan tetapi mendapati bahwa pelajar

Tingkat penurunan (reduksi) yang sangat tinggi diperoleh pada molekul yang memiliki ukuran besar yaitu direpresentatifkan pada parameter kekeruhan TSS dan lemak dengan

Akurasi tertinggi dicapai pada sistem yang tidak menerapkan perubahan bobot pada dokumen uji dan menggunakan range > 0 untuk kelas sentimen positif, < 0 untuk

Perhitungan potensi dilakukan dengan menggunakan distribusi kecepatan angin tahunan yang dapat didekati suatu pola distribusi misalnya Weibull atau Rayleigh..

Dari hasil observasi tersebut, diperoleh data hasil pelaksanaan pembelajaran dalam menulis karangan narasi sebelum menggunakan metode peta pikiran (mind mapping) pada

ahli 3,33 3,56 3 Substansi yang dijelaskan kepada kelompok asal 3,22 3,33 Berdasarkan hasil pengamatan pada tabel 2 terlihat bahwa proses pembelajaran dengan metode