• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASPEK PEMILIHAN JENIS DALAM KEGIATAN REH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ASPEK PEMILIHAN JENIS DALAM KEGIATAN REH"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Vol. 6 No. 2, Agustus 2011

DAFTAR ISI

1. APLIKASI INTEGRASI PERSAMAAN TAPER UNTUK PENDUGAAN VOLUME POHON

Aplication of Taper’s Equation Integration for Tree Volume Estimation

Tri Sayektiningsih dan Askar____________________________ 37-46

2. POTENSI TUMBUHAN BAWAH SEBAGAI

AKUMULATOR LOGAM BERAT UNTUK MEMBANTU REHABILITASI LAHAN BEKAS TAMBANG

Potency of Understory as a Heavy Metal Accumulator in Supporting of Ex-mining Site Rehabilitation

Enny Widyati _________________________________________ 47-56

3. SERANGGA HAMA YANG BERASOSIASI DENGAN KALIANDRA (Calliandra callothyrsus) DAN ASPEK PENGEALIANNYA

Review of Insect Pest on Caliandra callothyrsus and the Controlling Aspect

Ujang W. Darmawan dan Illa Anggraeni __________________ 57-64

4. PROSES PERKECAMBAHAN BENIHDialium platysepalum Baker

Germination Process of Dialium platysepalum Baker Seed

Mira Kumala Ningsih dan Kade Sidiyasa__________________ 65-71

5. ASPEK PEMILIHAN JENIS DALAM KEGIATAN

REHABILITASI EKS PROYEK PENGEMBANGAN LAHAN GAMBUT (PLG) DI KABUPATEN KAPUAS,

KALIMANTAN TENGAH

Peatland Rehabilitation on ex Peatland Development Project Area in Kapuas District, Central Kalimantan

(4)

APLIKASI INTEGRASI PERSAMAAN TAPER UNTUK

PENDUGAAN VOLUME POHON

Aplication of Taper’s Equation Integration for Tree Volume Estimation

Tri Sayektiningsih

1

dan Askar

2 1

Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam Samboja Jl. Soekarno-Hatta Km. 38, PO. BOX 578, Balikpapan - 76112

2

Balai Persuteraan Alam

Bili-bili Kec. Bontomarannu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan

I. PENDAHULUAN

Muhdin (1999) menyatakan kayu merupakan produk yang sangat penting dalam kegiatan pengusahaan hutan. Seiring dengan perkembangan zaman, industri perkayuan membutuhkan kayu dengan limit diameter tertentu yang besarnya dapat berubah. Hal ini menuntut adanya perencanaan produksi yang intensif (Askar, 2007).

Pengukuran dimensi kayu harus dilakukan dengan cermat agar dapat diperoleh taksiran volume yang mendekati nilai yang sebenarnya. Kualitas dugaan volume pohon ini tergantung dari beberapa faktor, diantaranya tingkat akurasi yang diinginkan, karakteristik pohon, metode pengukuran, alat yang digunakan, kondisi alat pada saat pengukuran dimensi pohon, persamaan volume yang digunakan dan lain-lain (Muhdin, 2003).

Untuk itu diperlukan suatu metode pendugaan volume pada diameter ujung pada ketinggian tertentu, dengan demikian pengelola atau pengusaha hutan dapat mengetahui potensi tegakan hutannya yang akan diproduksi sesuai permintaan industri perkayuan. Persamaan volume sekarang ini umumnya disusun berdasarkan hasil regresi antara volume sebagai variabel dependen sedangkan diameter setinggi dada (dbh), tinggi total, tinggi bebas cabang serta beberapa variabel berikutnya bertindak sebagai variabel independen. Ditinjau dari aspek kepraktisannya, metode ini sangat praktis untuk menentukan volume suatu pohon karena pembuatannya yang mudah, namun metode ini tidak dapat menaksir volume pohon pada ketinggian atau limit diameter tertentu (Askar, 2007).

II. PENGERTIAN BENTUK BATANG DAN VOLUME POHON

Sebelum membahas persamaan taper lebih jauh, terlebih dahulu diuraikan pengertian dasar mengenai bentuk batang dan volume pohon.

1. Bentuk Batang

(5)

a) Pada pangkal : bentuk neiloid

b) Pada bagian tengah : bentuk silindris atau paraboloid. Bentuk silindris adalah bagian tengah pohon yang mempunyai diameter sama antara bagian pangkal serta ujung. Bentuk paraboloid berarti diameter ujung kecil dengan perubahan yang melengkung ke arah poros batang pada bagian ujung batang.

c) Pada bagian ujung pohon : bentuk konus

Laar dan Akca (1997) menyatakan profil batang dari individu pohon dipengaruhi oleh posisinya dengan pohon yang lain maupunsite-nya, perlakuan silvikultur diantaranya densitas tanah, pemupukan, perawatan tanaman serta perameter genetik.

2. Volume Pohon

Volume adalah ukuran isi atau kapasitas benda padat yang diekpresikan dalam pangkat tiga seperti m3,cubic feet atau ukuran kering/cair seperti buskel, gallons dan liter (Wahjudiono, 1998).

Tiap batang pohon terdiri dari berbagai bentuk yang berlainan, sehingga bila ditentukan volumenya secara langsung akan diperoleh hasil volume yang kurang memuaskan. Untuk mengatasi hal ini, maka penentuannya dilakukan perseksi, dimana batang dipotong menjadi beberapa seksi serta tiap seksi diukur volumenya. Penjumlahan volume dari tiap seksi nantinya akan menghasilkan volume aktual batang. Rumus untuk menghitung volume tiap seksi batang menurut Avery dan Burkhart (1983) adalah :

Huber : v = gm *l

Smalian : v =

gi

gs

*

l

2

Newton : v =

gi

gm

gs

*

l

6

4

Keterangan :

v = Volume balok/batang kayu

gi = Luas penampang melintang bagian pangkal

gm = Luas penampang melintang bagian tengah antara ujung serta pangkal gs = Luas penampang melintang batang bagian ujung

l = Panjang balok yang diukur

III. PERSAMAAN INTEGRASI TAPER

(6)

Aplikasi Integrasi Persamaan Taper untuk Pendugaan Volume Pohon

Tri Sayektiningsih dan Askar

39 pengintegralan persamaan taper didasarkan pada asumsi bahwa seksi suatu pohon berbentuk melingkar dengan memplotkan diameter batang tegak lurus pada sumbu x sedangkan ketinggian tegak lurus pada sumbu y.

Philipdalam Muhdin (2003) menyatakan taper sebagai laju perubahan diameter pada panjang atau tinggi tertentu, yang secara matematis dapat dinyatakan sebagai:

t =(dp-du)/l

Dimana: t = taper

dp = diameter pangkal du = diameter ujung l = panjang batang

Taper pohon dalam Bustomi dkk. (1998) adalah pengurangan atau semakin kecilnya diameter batang pohon dari pangkal ke ujung. Taper pohon ini disebut pula sebagai bentuk batang atau lengkung bentuk. Chapman dan Meyer dalam Bustomi dkk. (1998) menyatakan bahwa taper merupakan resultante dimensi pohon yang disebabkan adanya pengaruh pertumbuhan diameter dan tinggi pohon. Persamaan taper disusun berdasarkan hubungan antara diameter sepanjang batang (di) dengan ketinggian batang yang bersangkutan dari permukaan tanah (hi).

Secara matematis hubungan antara keduanya dapat dituliskan sebagai berikut :

di = f (hi)

Keterangan :

di : Diameter pada ujung tertentu

hi : Ketinggian diameter dari atas tanah

Beberapa persamaan taper dalam Bustomi dkk (1998) yang pernah disusun antara lain :

1. Model Kozak

(di/Dbh)2 = bo+ b1 (hi/H) + b2 (di/Dbh)2

2. Model Ayudhya dan Eadkeo

Log di = bo + b1 Log (Dbh) + b2 Log (h) + b3 Log (hi)

(7)

Contoh Kasus: Pendugaan Volume Batang Tectona grandis L.f. Berdasarkan Integrasi Persamaan Taper

Pengelompokan Data

Jumlah pohon yang diambil sebagai sampel untuk pembuatan model persamaan taper sebanyak 48 batang pohon yang terdiri atas 654 seksi. Pengukuran seksi dilakukan sampai pada diameter batang 10 cm dengan panjang seksi masing-masing 1 meter. Pengambilan sampel dilakukan melalui pengukuran langsung terhadap pohon hasil tebangan di hutan rakyat tersertifikasi Desa Sumberejo Kabupaten Wonogiri. Penyebaran pohon sampel dilakukan berdasarkan kelas diameter yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Sebaran Pohon Sampel Berdasarkan Interval Diameter Jumlah pohon

Kelas diameter

(cm)

Penyusunan model

Validasi model

Total

15-19 15 6 21

20-24 15 9 24

25-29 10 7 17

30-34 8 4 12

Jumlah 48 26 74

Jumlah total pohon sampel yang digunakan adalah 74 buah. Penyusunan model persamaan taper menggunakan 48 buah sampel. Penentuan jumlah pohon sampel tersebut didasarkan pada asumsi distribusi normal yang mensyaratkan jumlah sampel minimal 30. Sedangkan jumlah sampel untuk uji validasi menggunakan 26 pohon sampel. Keterbatasan sampel pada uji validasi akibat pembatasan tebangan.

Penyusunan dan Uji Penerimaan Model

(8)

Aplikasi Integrasi Persamaan Taper untuk Pendugaan Volume Pohon

Tri Sayektiningsih dan Askar

41 Tabel 2.1 Nilai R2, Probabilitas untuk Persamaan Relatif

Kelas

diameter N Persamaan R2

Proba

-bilitas 15-19 15

(d/Dbh)2= 1.45- 2.29(h/H)+1.24(h/H)2 0.901 0.00* 20-24 15

(d/Dbh)2= 1.31- 1.96(h/H)+0.92(h/H)2 0.851 0.00* 25-29 10

(d/Dbh)2= 1.24- 1.91(h/H)+0.86(h/H)2 0.911 0.00* 30-34 8

(d/Dbh)2= 1.19- 1.85(h/H)+0.78(h/H)2 0.895 0.00* Umum 48

(d/Dbh)2= 1.31- 2.04(h/H)+1.00(h/H)2 0.842 0.00* *Signifikan pada taraf uji 0.05

Tabel 2.2 Nilai R2, Probabilitas untuk Persamaan Absolut (kuadratik)

Kelas

Tabel 2.3 Nilai R2, Probabilitas untuk Persamaan Absolut (kubik) Kelas

diameter N Persamaan R2 Proba-bilitas

15-19 15

(9)

Uji Keseragaman 2 Persamaan Regresi

Uji keseragaman dideteksi dari intercept persamaan dengan menggunakan nilai batas bawah (lower bound) dan batas atas (upper bound). Dari hasil uji yang dilakukan, kelas 20-24 cm dan 25-29 cm pada persamaan relatif selangnya berimpit sehingga keduanya tidak signifikan. Agar dihasilkan persamaan taper yang baik maka kedua persamaan tersebut digabung menjadi satu kelas yakni kelas 20-29 . Hasil uji keseragaman regresi pada persamaan relatif disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Persamaan Relatif Hasil Uji Keseragaman Regresi

Kelas

diameter N Persamaan R

2

Proba-bilitas 15-19 15

(d/Dbh)2= 1.45- 2.29(h/H)+1.24(h/H)2 0.901 0.00* 20-29 25

(d/Dbh)2= 1.31- 2.04(h/H)+0.98(h/H)2 0.822 0.00* 30-34 8

(d/Dbh)2= 1.19- 1.85(h/H)+0.78(h/H)2 0.895 0.00* Umum 48

(d/Dbh)2= 1.31- 2.04(h/H)+1.00(h/H)2 0.842 0.00* *Signifikan pada taraf uji 0.05

Sedangkan selang kepercayaan pada persamaan kubik maupun kuadratik tidak ada yang berimpit tiap kelasnya.

Pemilihan Persamaan Taper Terbaik

(10)

Aplikasi Integrasi Persamaan Taper untuk Pendugaan Volume Pohon

Tri Sayektiningsih dan Askar

43 Tabel 4. Persamaan Taper Penyusun Model Penduga Volume Batang

Tipe Kelas

(d/Dbh)2= 1.31- 2.04(h/H)+1.00(h/H)2

Penyusunan Model Penduga Volume Batang

Berdasarkan asumsi bahwa batang pohon merupakan benda putar yang berjari-jari tegak lurus pada sumbu x sedangkan panjang pohon tegak lurus pada sumbu y, maka volume dugaannya dapat diperoleh dengan integrasi persamaan taper yang telah disusun, yang secara umum ditulis sebagai berikut :

Hasil integrasi taper dari masing-masing persamaan yang diperoleh adalah: 1. Model penduga volume batang kelas diameter 15-19 cm

d = 0.216- 0.0206(h)+0.00102(h)2 2. Model penduga volume batang kelas diameter 20-24 cm

d = 0.254- 0.0197(h)+0.000689(h)2

(11)

4. Model penduga volume batang kelas diameter 30-34 cm

5. Model penduga volume batang tanpa pengkelasan (d/Dbh)2=1.31–2.04(h/H)+ 1.00 (h/H)2

Tabel 5. Model Penduga Volume Batang

Tipe Kelas

Model penduga volume batang berdasarkan integrasi persamaan taper dapat digunakan untuk mengetahui nilai dugaan volume batang dari atas tanah.

Bilangan Bentuk

(12)

Aplikasi Integrasi Persamaan Taper untuk Pendugaan Volume Pohon

Tri Sayektiningsih dan Askar

45 Tabel 6. Bilangan Bentuk Tiap Belas

Kelas diameter

Bilangan bentuk absolut f (0.1)

Bilangan bentuk relatif f (1.3)

15-19 0.447 0.701

20-24 0.425 0.615

25-29 0.380 0.566

30-34 0.326 0.487

Uji Validasi Model

Uji validasi model dilakukan untuk menguji keterandalan atau performa dari tiap model penduga batang yang ditemukan. Dalam penelitian ini, Uji validasi yang dilakukan menggunakan UJI PRESS. Nilai PRESS yang mendekati nol menunjukkan persamaan tersebut memiliki performa yang baik apabila diterapkan dengan set data yang berbeda dengan data yang digunakan dalam menyusun persamaan. Uji PRESS ini menggunakan 26 sampel. Jika suatu model validasinya melebihi angka nol maka persamaan tersebut akan menghasilkan volume dugaan yangover estimate dari volume sebenarnya. Makin mendekati angka nol maka volume dugaan yang dihasilkan akan lebih mendekati volume sebenarnya. Besar kecilnya nilai validasi ditentukan oleh kesesuaian antara bentuk batang dengan model yang ada. Makin cocok bentuk batang dengan model yang ada maka validasinya akan mendekati nilai nol.

Tabel 7. Nilai PRESS Penyusun Model Penduga Volume Batang

Kelas diameter N Nilai PRESS

15-19 6 0.0033

20-24 9 0.013

25-29 7 0.021

30-34 4 0.043

Relatif 26 0.18

Kesimpulan

Model volume penduga batang yang dihasilkan dari penelitian ini ada dua macam yakni model absolut serta model relatif. Model absolut yang terpilih bertipe kuadratik serta digunakan untuk menemukan model penduga volume batang pada setiap kelas diameter. Model yang dihasilkan dari persamaan kuadratik yang telah diintegralkan adalah sebagai berikut :

Model : V =

4

1

(13)

IV. PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas, integrasi persamaan taper dapat digunakan untuk menduga volume pohon pada ketinggian atau limit diameter tertentu. Dalam pelaksanaan di lapangan, fungsi taper akan berhasil dalam menduga volume batang pohon (tidak bias) apabila dapat menggambarkan pola bentuk batang yang sebenarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Askar. 2007. Pendugaan Volume Batang Tectona grandis L.f. Berdasarkan Integrasi Persamaan Taper (Studi Kasus Hutan Rakyat Tersertifikasi Desa Sumberejo, Kabupaten Wonogiri). Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Avery, T.E. dan Burkhart, H.E. 1983. Forest Measurements. Mc Graw-Hill

Book Company. Incorporation. New York.

Bustomi, S., Harbagung, Wahyono, J. dan Parthama IBP. 1998. Petunjuk Teknis Tatacara Penyusunan Tabel Volume. Info Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Indonesia.

Chapman, H.H. dan Meyer, W.H. 1949. Forest mensurations. Mc Graw-Hill Book Company. Incorporation. New York.

Laar, A. dan Akca, A. 1997.Forest Mensurations. Cuvilier Verlag. Gottingen. Muhdin. 2003. Dimensi Pohon dan Perkembangan Metode Pendugaan Volume.

Diakses tanggal 20 Juli 2010.http://rudyct.com/PPS702-ipb/07134/muhdin.com

Muhdin. 1999. Analisis Beberapa Rumus Penduga Volume Log: Studi Kasus Pada Jenis Meranti (Shorea spp.) di Areal HPH PT Siak Raya Timber. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol.V No.2: 33-44.

Wahjudiono, S. 1998. Diktat Kuliah Ukur Kayu. Instiper.Jogjakarta. Koefisien regresi

Kelas

diameter a b c d e

15-19 0.046 0.0044 2.8 E-04 1.0 E-05 2.0 E-07

20-24 0.064 0.0050 2.4 E-04 6.7 E-06 9.5 E-08

25-29 0.087 0.0056 2.0 E-04 4.2 E-06 3.9 E-08

30-34 0.125 0.0063 1.7 E-04 2.4 E-06 1.5 E-08

Sedangkan model relatif digunakan adalah:

Model : V =

4

1

(14)

POTENSI TUMBUHAN BAWAH SEBAGAI

AKUMULATOR LOGAM BERAT UNTUK MEMBANTU

REHABILITASI LAHAN BEKAS TAMBANG

Potency of Understory as a Heavy Metal Accumulator in Supporting of

Ex- mining Site Rehabilitation

Enny Widyati

Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan Kampus Balitbang Kehutanan, Jl. Gunungbatu No. 5, Po. Box 311, Bogor - 16118

Telp. (0251)8631238, Fax. (0251) 7520005

I. PENDAHULUAN

Salah satu fungsi hutan adalah sebagai tempat konservasi plasma nutfah. Hutan yang sehat tersusun atas berbagai macam strata baik tingkat herba, perdu maupun pohon. Semua strata tersebut memainkan perannya masing-masing sehingga ekosistem hutan mempunyai dinamika tersendiri yang khas dan tidak dapat dijumpai pada ekosistem lain.

Banyak bahan galian ditemukan di bawah ekosistem hutan. Bahan galian seperti batubara, emas, perak, tembaga dan timah merupakan hasil tambang yang banyak memberikan sumbangan devisa bagi Indonesia. Sehingga akibat dari kegiatan penambangan untuk mengambil bahan galian tersebut ekosistem hutan menjadi rusak bahkan hilang.

Batubara di Indonesia umumnya diekstrak dengan sistem penambangan terbuka. Penambangan sistem ini membuang semua lapisan tanah di atas deposit batubara, termasuk hutan yang ada di atasnya. Sehingga penambangan sistem ini dilakukan dengan menghilangkan ekosistem hutan beserta seluruh fungsinya. Penghilangan lapisan tanah di atas deposit batubara telah mengakibatkan oksidasi mineral bersulfur dengan melepaskan sulfat sehingga menurunkan pH tanah. Penurunan pH tanah mengakibatkan meningkatnya kelarutan logam (Tan, 1993), sehingga pada lahan bekas tambang terjadi akumulasi logam-logam yang cukup tinggi.

Untuk mengambil bahan galian berupa logam seperti emas, perak, tembaga, timah atau yang lainnya memerlukan proses pemurnian bijih (ore). Sebab deposit logam di dalam kerak bumi selalu terikat oleh mineral atau logam-logam lainnya. Proses pemurnian umumnya dilakukan melalui penggerusan mineral batuan (crusting) kemudian dilarutkan dengan bahan-bahan kimia atau logam pereaksi lainnya. Bahan kimia yang umum dipakai pada proses pemurnian bijih antara lain sianida (CN), arsen (As) dan sebelum dilarang, merkuri (Hg). Bahan-bahan tersebut merupakan pencemar lingkungan yang sangat beracun.

(15)

lingkungan yang memiliki akumulasi logam cukup tinggi. Pada lahan yang mempunyai kandungan logam cukup tinggi diperlukan jenis tanaman yang mampu menurunkan akumulasi logam sehingga kualitas lingkungan meningkat. Penurunan konsentrasi pencemar dengan menggunakan aktivitas tanaman dikenal dengan istilah fitoremediasi.

Salah satu mekanisme tanaman dalam proses fitoremediasi adalah dengan menyerap logam dan mengakumulasikannya ke dalam biomas tanaman. Proses fitoremediasi dengan menyerap polutan disebut fitoekstraksi. Tanaman yang mempunyai mekanisme fitoekstraksi disebut juga sebagai akumulator. Untuk tanaman yang mempunyai kemampuan mengakumulasi lebih dari 1.000 mg/kg biomas (Ni, Cu, Co, Cr atau Pb) atau lebih dari 10.000 mg/kg biomas untuk logam Zn atau Mn disebut sebagai hiperakumulator (Baketet al., 1988).

Beberapa jenis tanaman yang mempunyai kemampuan akumulator antara lain Bunga Matahari (Helianthus annus) dapat mengakumulasikan Arsen dan Uranium, tumbuhan paku Pteris vitata dapat menetralkan Arsen (Wilkipedia, 2008). Thlaspi caerulescenskelompok famili Brassicaceae sudah dibuktikan mampu mengakumulasikan logam Zn, Pb, Cd, Ni, Cr, dan Co (Pence et al., 2000). Salah satu ekotipe dariT. caerulescensmenunjukkan kemampuan untuk mengakumulasikan Zn mencapai 30,000 ppm dan Cd sebesar 1,000 ppm pada jaringan pucuknya tanpa menunjukkan gejala keracunan (Pence et al., 2000). Sebagai pembanding daun yang normal mengandung Zn tidak lebih dari 100 ppm, 30 ppm merupakan dosis yang diperlukan untuk pertumbuhan, sedangkan 300–500 ppm merupakan dosis yang toksik. Untuk Cd, kandungan logam ini 1 ppm dalam daun sudah merupakan dosis yang toksik (Pence et al., 2000).

Beberapa jenis tumbuhan yang mempunyai kemampuan sebagai hiperakumulator umumnya berupa tumbuhan bawah. Oleh karena itu, hutan yang masih sehat dapat menjadi sumber benih tanaman hiperakumulator untuk memulihkan kandungan logam-logam pada lahan bekas tambang. Diharapkan dengan memanfaatkan tumbuhan akumulator keberhasilan rehabilitasi lahan bekas tambang menjadi lebih optimal.

II. PERSYARATAN TUMBUHAN UNTUK DIGOLONGKAN SEBAGAI HIPERAKUMULATOR

Suatu jenis tumbuhan dikategorikan sebagai species hiperakumulator ketika mereka memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Toleran terhadap kandungan logam yang tinggi sehingga pertumbuhan akar dan pucuk tidak mengalami hambatan. Tanaman yang toleran tidak akan terganggu pertumbuhannya meskipun mereka tumbuh pada tanah dengan toksisitas yang tinggi. Toleransi ini diduga berasal dari kemampuan untuk menyimpan logam dalam vakuola sel atau mampu mengkelat logam-logam (Chaneyet al., 1997).

(16)

Potensi Tumbuhan Bawah Sebagai Akumulator Logam Berat untuk Membantu Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang

Enny Widyati

49 c. Mampu mentranslokasikan suatu unsur logam dari akar ke bagian pucuk tanaman dengan kecepatan tinggi. Beberapa tumbuhan hiperakumulator ditemukan mampu mentransfer Zn, Cd atau Ni 10 kali lebih cepat daripada non hiperakumulator, sehingga konsentrasi logam pada jaringan pucuk jauh lebih besar daripada yang terdapat pada jaringan akarnya (Chaney et al., 1997).

d. Harus mampu menghasilkan biomas yang tinggi dalam waktu yang cepat (cepat tumbuh), mudah dibudidayakan dan mudah dipanen, lebih baik yang dapat dipanen berkali-kali dalam setahun (Peeret al., 2008).

III. TUMBUHAN YANG BERPOTENSI SEBAGAI HIPERAKUMULATOR

Banyak jenis tumbuhan berpembuluh (vascular plants) ditemukan mempunyai kemampuan untuk mengakumulasikan logam berat (metal hyperaccumulator plants) (Grataoet al., 2005). Lebih dari 400 jenis tumbuhan telah ditemukan mempunyai kemampuan hiperakumulator termasuk anggota famili Asteraceae, Brassicaceae, Caryophyllaceae, Cyperaceae, Cunouniaceae, Fabaceae, Flacourtiaceae, Lamiaceae, Poaceae, Violaceae, dan Euphorbiaceae. Famili yang paling banyak dijumpai sebagai hiperakumulator adalah Brassicaceae, spesies dari famili ini mampu mengakumulasikan lebih dari satu jenis logam (Grataoet al., 2005).

Salah satu contohnya adalah Brassica juncea mampu meng-akumulasikan Se, As, Cd, Cu, Hg dan Zn. Thlaspi caerulescens merupakan akumulator Cd sedangkanAlyssum sp merupakan akumulator dari Ni [6]. Contoh lainnya,Pistia stratiotes dapat mengakumulasikan Ag, Cd, Cr, Cu, Hg, Ni, Pb dan Zn dengan konsentrasi mencapai 5 mM per kg biomas. Tumbuhan P. stratiotes mengakumulasikan logam pada jaringan akar (Grataoet al., 2005).

(17)

Gambar (Picture) 1. Pteris vitata, salah satu tumbuhan paku hiperakumulator arsen. (Pteris vitata, an arsenic hyper-accumulator fern) Sumber: Wilkipedia, 2008

Bunga Matahari (Helianthus annuus) merupakan hiperakumulator Pb dan diendapkan dalam jaringan daun dan batang (Grataoet al., 2005). Tanaman ini merupakan tanaman hias sehingga baik digunakan untuk membersihkan lahan yang terletak di tepi jalan atau areal perkantoran pada lahan bekas tambang. Salah satu spesies turi (Fabaceae) yaituSesbania drummondii juga merupakan akumulator Pb dan disimpan pada jaringan akar dan daun sebagai timbal asetat, sulfat atau sulfida (Grataoet al., 2005).

(18)

Potensi Tumbuhan Bawah Sebagai Akumulator Logam Berat untuk Membantu Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang

Enny Widyati

51 Gambar 2. Kebun bunga matahari dapat dibangun di atas lahan bekas tambang sebagai akumulator untuk membersihkan logam berat. (Sun flower garden developed on ex-mining sites will facilitate heavy metals removal from the soil)

Sumber (source) : Center Science Foundation (2008)

IV. MEKANISME HIPERAKUMULATOR

Memahami bagaimana mekanisme tumbuhan berinteraksi di rhizosfir, menyerap, mentrasportasikan dan memisahkan logam supaya tidak meracuni dirinya sendiri akan memudahkan dalam membuat desain perlakuan yang harus diberikan sehingga akumulasi logam oleh tumbuhan dapat dioptimasi (Grataoet al., 2005). Masing-masing tumbuhan mengembangkan mekanisme akumulasi logam yang berbeda-beda.

(19)

Telah disebutkan di atas bahwa salah satu syarat yang harus dimiliki oleh hiperakumulator adalah toleran pada kandungan logam berat yang tinggi. Namun demikian, ternyata antara toleran dan akumulasi merupakan sifat yang saling independen (Peer et al., 2008). Sifat toleran ditentukan oleh kandungan glutation (GSH), sistein (Cys), O-acetyl-L-serine (OAS) sedangkan kemampuan mengakumulasikan logam berat pada jaringan dipengaruhi oleh kandungan serine acetyltransferase (SAT) dan aktivitas glutation reduktase (Peer et al., 2008).

Untuk dapat masuk ke dalam jaringan tanpa meracuni tanaman, logam berat harus diubah menjadi bentuk yang kurang toksik melalui reaksi kimiawi atau pembentukan kompleks dengan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh tanaman (Peeret al., 2008). Tanaman umumnya mengeluarkan kelompok thiol sebagai pengkelat (ligand), tetapi banyak juga metabolit yang dikeluarkan sebagailigandtergantung jenis logam yang akan dikelat (Tabel 1).

Untuk dapat menyerap logam berat tumbuhan hiperakumulator membuat analog seolah-olah mereka menyerap unsur-unsur hara yang diperlukan dalam metabolismenya(Peer et al., 2008). Sehingga mereka membuat jalur (pathway) seperti ketika mereka menyerap unsur hara tersebut. Untuk membuat analog tersebut mereka memerlukan ligan-ligan organik. Bagaimana tumbuhan hiperakumulator menganalogkan logam berat dan ligan apa yang diperlukan disajikan pada Tabel 1.

Tabel (Table) 1. Logam-logam berat dan ligan organik yang diperlukan untuk membentuk kompleks dalam jaringan tanaman (Heavy metals and organic ligands for complex formation in plants tissues)

(20)

Potensi Tumbuhan Bawah Sebagai Akumulator Logam Berat untuk Membantu Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang

Enny Widyati

53 V. STRATEGI MENGOPTIMASI HIPERAKUMULATOR

Efektivitas dari akumulasi logam berat menggunakan tanaman hiperakumulator sangat tergantung pada pemilihan jenis yang tepat untuk diaplikasikan pada suatu lokasi terkontaminasi. Jenis lokal harus menjadi pilihan pertama karena mereka telah teradaptasi terhadap kondisi mikroklimat, hama dan penyakit setempat. Untuk mengoptimalkan kemampuan akumulasi logam, beberapa strategi dapat ditempuh antara lain bioteknologi dan rekayasa genetika, optimasi biomas melalui perbaikan unsur hara dan inokulasi dengan mikroba.

A. Bioteknologi dan Rekayasa Genetika

Beberapa hasil kajian menunjukkan bahwa tumbuhan yang mempunyai kemampuan hiperakumulator umumnya selektif terhadap suatu jenis logam, tumbuh lambat, menghasilkan sedikit biomas dan sebagian besar mereka hanya bisa digunakan di habitat aslinya (Grataoet al., 2005). Di samping itu, tanaman yang ditemukan hiperakumulator umumnya tumbuh liar sehingga penggunaan tumbuhan ini menjadi sangat terbatas. Karena belum diketahui secara luas sifat-sifat agronomisnya, pengendalian hama dan penyakit, kemampuan menghasilkan benih serta mekanisme fisiologis (Grataoet al., 2005).

Namun demikian, kemajuan teknologi di bidang rekayasa genetika merupakan salah satu alternatif yang menjanjikan. Melalui pengembangan tanaman transgenik dapat dikembangkan kemampuan tanaman untuk menyerap logam, mengakumulasikan dan toleran terhadap toksisitas logam (Gratao et al., 2005). Peningkatan kemampuan akumulasi logam dapat ditingkatkan melalui peningkatan konsentrasi protein atau peptida pengikat logam dalam sel tumbuhan sehingga akan meningkatkan kemampuan mengikat logam dan toleransi tumbuhan terhadap toksisitas logam (Grataoet al., 2005).

Rekayasa bioteknologi peningkatan kemampuan hiperakumulator tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan kemampuan mengumpulkan logam, tetapi juga meningkatkan kemampuan tumbuhan untuk dapat hidup pada iklim yang berbeda-beda (Pence et al., 2000). Disamping itu, peningkatan juga ditujukan untuk meningkatkan kemampuan tumbuhan untuk mengakumulasikan lebih dari satu macam logam karena sangat jarang dalam satu lokasi tercemar hanya terdapat satu macam akumulasi logam (Peer et al., 2008). Dengan demikian, pemilihan dan uji kemampuan tumbuhan hiperakumulator untuk mengakumulasi banyak logam (multiple) akan dapat meningkatkan kemampuan fitoremediasi suatu jenis tumbuhan dan memungkinkan meningkatnya keberhasilan proses bioremediasi dalam membersihkan lingkungan dari kontaminan (Gratao et al., 2005).

B. Peningkatan Biomas Dan Inokulasi Dengan Mikroba

Seperti telah disebutkan di atas bahwa tumbuhan yang mempunyai kemampuan hiperakumulator umumnya merupakan tumbuhan bawah yang tentu saja mempunyai produksi biomas rendah. Untuk meningkatkan produksi biomas dapat dilakukan melalui pemupukan atau memperbaiki komposisi unsur hara dalam tanah.

(21)

mobilisasi unsur hara dalam tanah. Hasil penemuan (Grataoet al., 2005) bahwa fungi mikoriza pada salah satu jenis tumbuhan hiperakumulator As membantu menyerap fosfat lebih banyak. Fosfat merupakan penyusun protein atau ensim sehingga akan membantu meningkatkan protein atau ensim yang berperan dalam proses akumulasi As.

Banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa, baik untuk mengakumulasikan logam maupun untuk bertahan pada tanah yang tercemar logam berat, tanaman dibantu oleh mikroba tanah. Rhizobium mempunyai mekanisme detoksifikasi intraseluler terhadap toksisitas Cd melalui sekresi protein atau asam amino yang mampu mengkelat ion Cd sehingga tanaman inangnya tidak teracuni oleh logam tersebut (Figuera et al., 2005). Tanaman yang berasosiasi dengan fungi mikoriza arbuskula (FMA) lebih tahan terhadap toksisitas Zn pada konsentrasi yang tinggi dibandingkan dengan tanaman yang tidak berasosiasi dengan FMA (Chen et al., 2003). Hasil penemuan menunjukkan bahwa FMA menghasilkan protein metalotionin yang dapat mengikat Cd dan Cu sehingga tanaman yang berasosiasi dengannya tidak akan terracuni oleh logam-logam tersebut (Lanfrancoet al., 2002; Gonzales-Chavezet al., 2002). Sedangkan Glomus coledonicum merupakan FMA yang dapat membantu tanaman yang tumbuh pada tanah-tanah yang tercemar logam berat (Liaoet al., 2003). FMA dapat menyerap dan mentranslokasikan uranium dalam akar inangnya (Rufykiriet al., 2002). Sedikitnya terdapat 3 spesiesGlomusspp yang mampu menyerap dan mengakumulasi Cu pada hifa ekstraradikal (Rufykiri et al., 2002).

Untuk bertahan dan berperan sebagai hiper akumulator arsen pada tanah yang tercemar arsen sangat tinggi,P. vittata mempunyai hubungan yang sangat unik dengan mikroflora tanah yang sangat resisten terhadap arsen (Rathinasabapathi et al., 2006). Dilaporkan bahwa telah teridentifikasi proteobacterium yang ditemukan pada akar P. Vittata(Rathinasabapathi et al., 2006). FMA dari jenisG. mosseaeditemukan pada akarP. vittatayang tumbuh pada tanah tercemar arsen tinggi (Rathinasabapathiet al., 2006).

Uji di rumah kaca tanaman yang diinokulasi dengan FMA tidak hanya toleran terhadap As tetapi juga meningkatkan produksi biomas meskipun ditumbuhkan pada kandungan As yang paling tinggi. Dilaporkan juga bahwa FMA meningkatkan akumulasi As pada jaringan tumbuhan dan juga meningkatkan serapan P dalam jaringan tumbuhan (Rathinasabapathi et al., 2006).

VI. PROSPEK PENELITIAN KE DEPAN

(22)

Potensi Tumbuhan Bawah Sebagai Akumulator Logam Berat untuk Membantu Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang

Enny Widyati

55 DAFTAR PUSTAKA

Baker, A.J.M., R.R. Brooks and R.D. Reeves. 1988. Growing for Gold, Copper and zinc.New Scientist(117): 44-48.

Center Science Foundation. 2008. Pteris vitata Picture.

http//jcraigcentersciencefoundation.com. Diakses tanggal 11 April 2008 Chaney, R.L., M. Malik, Y.M. Li, S.L. Brown, E.P. Brewer, J.S. Angle and

A.J.M. Baker. 1997. Phytoremediation of Soil Metals. Tersedia di . Diakses tanggal 11 Januari 2008.

Chen BD, Li XL, Tao HQ, Christie P, Wong MH. 2003. The Role of Arbuscular Micorrhiza in Zn Uptake by Red Clover Growing in Calcareous Soil Spiked with Various Quantities of Zinc. Chemosphere 50(6): 839– 846.

Figuera, E.M.A.P, A.I.G. Lima and S.I.A. Pereira. 2005. Cadmium Tolerance Plasticity in Rhizobium leguminosarum bv. Viciae: Glutatione as a Detoxifying agent. Can. J. Microbiol. (51): 7– 14.

Gonzalez-Chavez, C., J. D’Haen, J. Vangronsveld and J.C. Dodd. 2002. Copper Sorption and Accumulation by the Extraradical Mycelium of Different Glomusspp. Isolated from the Same Polluted Soil. Plant Soil (184): 195

– 205.

Gratao, P.L., M.N.P. Prasad, P.L. Cardoso, P.J. Lea and R.A. Azevedo. 2005. Phytoremediation: Green Technology for the Clean up of Toxic Metals in the Environment. Braz. J. Plant Physiol. vol.17 no.1 (p: 823– 830). Kramer, U., I.J. Pickering, R.C. Prince, I. Raskin, and D.E. Salt. 2000.

Subcellular Localization and Speciation of Nickel in Hyperaccumulator and Non-Accumulator Thlaspi Species. Plant Physiol. Vol. 122(4): 1343–1354.

Lanfranco, I, A. Bolchi, E.C. Ros, S. Ottonello and P. Bonfante. 2002. Differential Expression of Metalothionein Gene during the Presymbiotic Versus the Symbiotic Phase on an Arbuscular Mycorrhizal Fungus. Plant Physiol. (130): 58– 67.

Liao, J.P., X.G. Lin, Z.H. Cao, Y.Q. Shi YQ and M.H. Wong. 2003. Interaction between Arbuscular Micorrhiza and Heavy Metals under Sand Culture Experiment. Chemosphere 50 (6): 847– 853.

Peer, W.A., I.R. Baxter, E.L. Richards, J.L. Freeman and A.S. Murphy. 2008. Phytoremediation and Hyperaccumulator Plants. www.metals_11.pdf, Diakses tanggal 11 Januari 2008

(23)

Rathinasabapathi, B., L.Q. Ma and M. Srivastava. 2006. Arsenic Hyperaccumulating Ferns and their Application to Phytoremediation of Arsenic Contaminated Sites. Floriculture, Ornamental and Plant Biotechnology Volume III. Global Science Books. UK.

Rufykiri, G., Y. Thyri, L. Wang, B. Delvaux and S. Declereck. 2002.Uranium Uptake and Translocation by the Arbuscular, Fungus Glomus intraradicesunder Root-organ Culture Condition. New Phytol. 156 (2): 275– 281.

Tan, K.H. 1993. Principles of Soil Science. 2nd ed. Marcel and Dekker Inc. New york.

(24)

SERANGGA HAMA YANG BERASOSIASI

DENGAN KALIANDRA (

Calliandra callothyrsus

) DAN

ASPEK PENGENDALIANNYA

Review of Insect Pest On Caliandra callothyrsus

and The Controlling Aspect

Ujang W. Darmawan dan Illa Anggraeni

Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan Kampus Balitbang Kehutanan, Jl. Gunungbatu No. 5, Po. Box 311 Bogor 16118

Telp. (0251)8631238, Fax. (0251) 7520005

I. PENDAHULUAN

Pengusahaan tanaman yang bernilai guna tinggi akan sangat penting apabila memperhatikan pemilihan spesies yang diusahakan. Salah satu jenis tumbuhan potensial adalah kaliandra (C. calothyrsus) sebagai tumbuhan multi guna. Pemanfaatan jenis tanaman ini sangat beragam mulai dari penghasil kayu energi, meningkatkan kesuburan tanah, penghijauan, pakan ternak dan dapat diusahakan bersama jenis tanaman lain sebagai pengisi maupun pakan lebah madu. Jenis tanaman ini sangat cocok sebagai penghasil kayu energi karena nilai kalornya tinggi (4.500-4.750 kkal/kg), cepat tumbuh (2,5 - 3,5 m dalam 6 - 9 bulan) dan sangat cepat menghasilkan trubusan ketika dipangkas. Selain itu produktivitasnya tinggi (35– 65 m3 /ha ) dengan rotasi singkat (1 tahun) (NAS, 1980).

Kemampuan kaliandra tumbuh di tanah marjinal, lereng dan bertahan di musim kering yang panjang, menjadikannya sesuai untuk memulihkan penutupan lahan pada Daerah Aliran Sungai (DAS), lereng maupun areal bekas penggundulan hutan dan kebakaran. Kaliandra dapat ditanam di lahan yang didominasi rumput, kanopinya yang tebal, cepat tumbuh dan menghasilkan terubusan yang menekan pertumbuhan gulma alang-alang (Imperata cylindrica). Kanopinya yang tebal dan akar yang ekstensif membantu penetrasi air hujan ke dalam tanah dan selanjutnya mengurangi aliran permukaan dan erosi, mencegah tanah longsor, menjaga sumber air dan mengurangi pendangkalan waduk (NAS, 1983).

Pemanfaatan kaliandra sebagai hijauan pakan ruminansia telah memperlihatkan pengaruh yang menguntungkan tidak hanya menyangkut produksi tetapi juga reproduksi ternak. Ternak ruminansia kecil maupun yang besar tidak memperlihatkan suatu masalah bila disuplementasi dengan kaliandra segar atau dalam bentuk silase tetapi tidak boleh dalam bentuk kering. Kaliandra dapat diberikan sendiri atau dalam campuran dengan legum lain yang tidak mengandung tanin untuk mensuplementasi ternak yang diberi rumput (Wina dan Tangendaja, 2000).

(25)

berbagai negara menjadikan tanaman ini memiliki kerentanan terhadap hama yang beragam. Status hama selama praktek budidaya tanaman ini telah memperlihatkan keragaman jenis maupun status pengendalianya termasuk di Indonesia.

II. KARAKTERISTIK KALIANDRA

Kaliandra yang telah didubidayakan dan disebarkan ke Jawa untuk berbagai tujuan diperkenalkan pertama kali melalui Bosbouwprofstation (sekarang Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan) di Bogor (Riswanet al. 1996). Spesies ini masuk ke pulau Jawa pada tahun 1936. Pada tahun 1974 sebuah program "MALU" (MAntri Kehutanan dan LUrah) yang dikembangkan oleh Perum Perhutani dilaksanakan dengan membagikan secara gratis biji-biji kaliandra kepada masyarakat sekitar hutan sehingga penamanan kaliandra dapat tersebar luas di pulau Jawa. Tujuan penanaman kaliandra pada mulanya untuk penghijauan, mencegah erosi dan mencegah penduduk mengambil kayu bakar dari hutan. Dengan adanya kaliandra, penduduk dapat mengambil kayunya untuk kayu bakar sehingga penebangan liar di hutan oleh penduduk dapat dicegah (Tangendjajaet al., 1992 dalam Wina dan Tangendaja, 2000).

Kaliandra tergolong famili legumenoceae. Spesies ini memiliki banyak nama sinonim, yaitu; Anneslia calothyrsus, Feuilleea calothyrsa, Calliandra confusa, Anneslia confusa, Calliandra similis, Anneslia similis, Anneslia acapulcensis, dan Calliandra acapulcensis.Spesies ini berupa semak atau pohon kecil berbatang tunggal maupun bercabang banyak dan dapat tumbuh hingga 12 m dan diameter setinggi dada mencapai 20 cm (Chamberlain, 2001).

Berdasarkan pemetaan sebaran alaminya di Amerika tengah melalui eksplorasi maupun penggunaan herbarium jelas bahwa spesies ini tersebar dari

19020’ LU – 9020’’ LU dan 96040’ BB – 79050’’ BB. Sebarannya berdasarkan

iklim juga sangat luas, tetapi kecenderungan menjumpainya pada area yang memiliki 2-4 bulan kering (kurang dari 50 mm) dan curah hujan berkisar 1000-4000 mm/tahun. Keberadaan spesies ini di habitat aslinya menurut jenis tanah di amerika tengah meliputi tiga tipe tanah utama yaitu cambisols, acrisols dan nitosols. Selain ketiga jenis tanah tersebut kaliandra dapat juga dijumpai pada jenis tanah yang lain andosols, luvisols, rendzina, fluvisols dan gleysol (Macqueen, 1992).

III. STATUS HAMA PADA KALIANDRA DAN ASPEK PENGENDALIANNYA

(26)

Serangga Hama yang Berasosiasi dengan Kaliandra (Calliandra callothyrsus) dan Aspek Pengendaliannya

Ujang W. Darmawan dan Illa Anggraeni

59 maupun pohon secara keseluruhan apabila intensitasnya berat (Gauhl et al., 1998).

Macrotermes subhyalinus dan spesiesPulvinarisca jacksoni meskipun dalam skala yang kecil dilaporkan sebagai hama. Selain ituPlanococcus kenyae juga ditemukan sebagai hama yang merusak kaliandra dan tanaman kopi di Uganda (Nyeko, et al. 2004). Distribusi P. jacksoni meliputi kawasan afrika tropis dan dapat dijumpai pada tanaman yang meliputi limabelas spesies dari famili annonaceae, euphorbiaceae, fabaceae, malvaceae, meliaceae, moraceae, sterculiaceae, passifloraceae dan strelitziaceae (*). P. kenyae merusak tanaman dengan menghisap dari akar, petiola dan buah. Menyebabkan daun kekuningan, layu dan gangguan pertumbuhan. Hama ini juga menghasilkan zat ekskresi berwarna putih pekat sebagai penarik semut yang secara tidak langsung berfungsi sebagai pelindung hama dari predatornya (Infonet biovision, 2011). Hama ini terutama dijumpai pada Coffea sp., Passiflora sp., Cajanus cajan, Dioscorea sp., Saccharum officinarum, Ipomoea batatas, Citrus sp. dan Theobroma cacao (CABI, 2011). Untuk mengendalikan populasi P. kenyae di perkebunan kopi digunakan agen pengendali secara biologi dengan memanfaatkan sejenis parasit Anagyrus kivuensis yang diperkenalkan dari Uganda ke Kenya dan terbukti mampu mengendalikan hama ini di perkebunan kopi pada tahun 1949 (Magina, 2005).

Selain kaliandra, Eucalyptussp. danGrevillea robusta adalah spesies yang sangat rentan terhadap seranganM. subhyalinus. Rayap ini merusak batang dan akar. Kerusakan yang serius terjadi pada tanaman muda dan mungkin menyebabkan mati. Ranting atau cabang pohon biasanya tertutup oleh lapisan yang tersusun dari campuran serpihan tanaman, tanah dan liur rayap yang membentuk lorong dan melindungi mereka ketika melakukan aktifitas menggerek kulit pohon. Serangan hama rayap akan lebih parah tingkat kerusakannya terhadap tanaman apabila terjadi pada musim kering dibandingkan pada musim hujan. Untuk mengendalikan populasinya para petani di Uganda menggunakan berbagai cara untuk mengendalikan hama ini baik secara tradisional, maupun kimiawi termasuk menggunakan urine manusia dan kotoran sapi (Nyeko dan Olubayo, 2005). Metarhizium anisopliae dan Beauveria bassiana juga merupakan fungi patogen potensial untuk mengendalikan rayap ini (Abebe, 2002).

Myllocerus viridanus adalah hama yang lazim menyerang tegakan jati (Tectona grandis) di India selatan. Dikenal sebagaidefoliator yang menyerang daun tanaman rusak dan gugur. Potensi rentang tanaman inang hama defoliator yang tergolong polifagus ini meliputi Cassia tora dan Solanum violaceum, Calliandra calothyrsus,Cassia hirsute,Helicteres isora,Acacia auriculiformis, Cassia fistula, Eugenia jambolana (Syzygium cumini), Eucalyptus robusta, Pongamia pinnata, Populus deltoids, Sapindus tripliatus dan Chromolaena odorata (Ahmed, 1989). M. viridanus juga didapati pada Dalbergia sisso dan dilaporkan memiliki korelasi positif antara kelembaban dan curah hujan terhadap tingkat intensitas serangan populasinya pada Morus alba (Rajarishi, 2010). Jamur pathogen Beauveria bassiana juga dilaporkan efektif mengendalikan Myllocerus viridanus sampai 53 % (Sankaranet al, 1989).

(27)

anacardiaceae, arecaceae, bombacaceae, burseraceae, caprifoliaceae, euphorbiaceae, geraniaceae, fabaceae, moraceae, myrtaeeae, nyctaginaceae, rhamnaceae, rosaceae, salicaceae, solanaceae, urticaceae, (Nakahara, 1995). Hasil eksperimen di laboratorium oleh Villacarloset al., (2003),Entomophthora leyteensis menjadi faktor penting sebagai pengendali biologis potensial yang menyebabkan terjadinya kematian mencapai 8 - 31% dari populasi hama T. acaciae.

Umbonia crassicornis sering menyerang tanaman jenis legumenose Cassia sp., Lysiloma bahaminensis, Calliandra surinamensis, Tamarindus indica, Albizzia lebbek dankhususnya Pithecellobium dulcepada kasus tertentu juga menyerang Casuarina sp. (Butcher (1953), Dracaena marginata (NPPO. 2011). Beberapa tanaman yang mengalami kerusakan yang parah adalah Hibiscussp.,Calliandraspp.,Albizzia lebbek,Acaciaspp.Jacaranda acutifolia dan Delonix regia yang berdiameter 1.5-2 inch mengalami kematian akibat serangan hama ini karena intensitas dan populasinya yang besar. Kerusakan disebabkan hama menghisap cairan pucuk dan perilaku serangga ketika bertelur. Selain ditemukan pada spesies tanaman tersebut dapat dijumpai pada Lysiloma bahamensis, Tamarindus indica, Casuarina sp., Crotalaria sp., Desmanthus virgatus,Callistemonsp.,Parkinsonia aculeata,Phoenix roebeleni,Citrus spp., Bidens pilosa, Sesbania vesicaria, Glottidium vesicarium, Persea americana, Ilexsp.,Litchi chinensis,Caesalpiniasp., danMimosasp. (Mead, 2008).

Leucopholis irrorata selain dilaporkan menyerang kaliandra, tanaman kehutanan yang rentan terhadap hama ini adalah semaiEucalyptus deglupta,E. urophylla,Acacia mangium,Pinus caribaea danAlbizia falcataria(Braza, 1987) dan juga jenis tanaman pertanian seperti padi (Oriza sativa) dan jagung (Zea mays) (Apostol dan Litsinger, 1976) ketela dan tebu (Saccharum officinarum) bahkan rumput teki (Cyperus rotundus).L. irrorata merupakan kumbang yang menghabiskan sebagian besar siklus hidupnya di dalam tanah dan hanya pada bulan Juni dan Juli keluar untuk mencari pasangan dan melakukan perkawinan. Telur tumbuh berkembang di dalam tanah menjadi larva dan pupa. Larva merusak tanaman dengan memakan akar muda yang baru tumbuh. Untuk mengendalikan hama ini dapat dilakukan dengan menggunakan perangkap serangga (fase dewasa) atau menggunakan pengendalian secara biologi dengan memanfaatkan musuh alaminya berupa semut merah (Solenopsis geminata rufa), kumbang predator carabidae danearwig(Quimio, 2001). SpesiesEutrixopholis irrorata, Eutrixopsis javana, Campsomeris aurulenta, Campsomeris tasmaniensis danTiphia segregata dapat mengontrol hama ini karena merupakan parasit pada larva L. irrorata (Maddison, 1993).

(28)

Serangga Hama yang Berasosiasi dengan Kaliandra (Calliandra callothyrsus) dan Aspek Pengendaliannya

Ujang W. Darmawan dan Illa Anggraeni

61 potensial diuji di lapangan melalui penyemprotan larutan fungi kedalam lubang gerek hama yang menyebabkan 100% kematian pada hama (Baluet al. 2007).

Stator limbatus adalah hama yang memiliki tanaman inang yang beragam khususnya dari tanaman legume termasuk di dalamnya adalah kaliandra. Sebanyak 74 tanaman tercatat sebagai tanaman inang dan 30 diantaranya adalah genus acacia, selain itu juga merusak benih dari golongan pithecellobium, albizia, cercidium, lysiloma, calliandra, piptadenia, leucaena, parkinsonia dan chloroleucon (Johnson, 1995). Kumbang ini menjadi hama karena merusak polong tanaman legum untuk bertelur di dalam biji yang telah masak ketika buah masih di atas pohon (mature seed guid bruchid) sehingga menurunkan produktifitas tanaman khususnya benih. Kumbang ini memiliki musuh alami berupa parasitoid telur Stenocorse bruchivora, Urosigalphus bruchivorus, Uscana semifumipennis (Swezey, 1931), Microdontomerus anthonomi (Grissell, 2005) dan Urosigalphus neobruchi (Kingsolver, 2004).

Stator sordidustergolong spesies kumbang yang memakan dan bertelur pada biji yang telah masak dan jatuh dari tanaman di atas tanah (scattered seed guild bruchid) dari golongan tanamandehiscent (polongnya pecah ketika masak) termasuk di dalamnya (Calliandra humilis danC. eriophyla) atau yang sebagian dehiscent, tetapi tidak dijumpai pada tanaman yang termasuk dalam golongan polongnya tidak pecah meskipun telah masak. Melalui percobaan di laboratorium, S. sordidus mampu berkembang (bertelur hingga dewasa) pada enambelas biji tanaman yang sebelumnya tidak tercatat sebagai tanaman inang alaminya sedangkan enambelas tanaman tersebut termasuk kelompok indehiscent (Johnson dan Romero, 2004).

Selain hama tersebut diatas, hama lain yang menyerang kaliandra adalahPachnoda ephippiata yang memakan buah bunga dan daun kaliandra dan menyebabkan kerontokan daun dan gangguan produksi benih (Orwaet al. 2009). Rathore (1995) mencatat beberapa spesies hama lainnya yang ditemukan pada kaliandra yang menimbulkan kerusakan beragam yaitu: Apion sp., Cryptocephalussp.,Monolepta pauperata, Myllocerussp.,Diplognatha silicea, Pachnoda aemula, Antestia cincticollis, Atelocera sp., Myrmicaria natalensis, Coptotermessp.,Megalurothripssp. danThripssp.

IV. PENUTUP

(29)

DAFTAR PUSTAKA

Abebe, H. 2002. Potential of Entomopathogenic Fungi for the Control of Macrotermes Subhyalinus (Isoptera: Termitidae). Universität Hannover. (Disertasi).

Apostol, R. F. dan Litsinger, J. A. 1976. White Grub Control in an Upland Ricecorn Cropping Pattern. Cropping Systems Program, International Rice Research Newsletter 1:76.

Ahmed, M. 1989.Feeding Diversity ofMyllocerus viridanus Fab. (Coleoptera: Curculionidae) From South India. Indian Forester 115. Forest Research Institute, Dehra Dun - 248 006, India. (abstrak).

Balu, A., J.P. Jacob, R.R. Rishi, B. Sunitha. 2007. Identification, Isolation, Evaluation And Mass Production Of Native Fungi For The Management Of Teak And Casuarina Stem Borers . ICFRE.

Braza, R.D. 1987. Resistance Of Seedlings Of Four Plantation Tree Species To White Grubs, Leucopholis Irrorata (Chevrolat) (Coleoptera : Scarabidae). Sylvatrop V. 12. (Jan-Jun 1987) (abstrak).

Butcher F.G. 1953. Unusual Abundance of the Tree-Hopper Umbonia crassicornis A. & S. Florida Entomologist 36: 57-59.

CAB International 2011. http://www.cabi.org/isc/?compid=5&dsid=41890& loadmodule=datasheet&page=481&site=144. Diakses tanggal 27 September 2011.

Chamberlain, JR. 2001. Calliandra calothyrsus,An Agroforestry Tree For Humid Tropics. Oxford Forestry Institute Tropical Forestry Paper No.40. Devasahayam, S., T. Premkumar, K.M.A. Koya, 1987.Record ofSahyadrassus

malabaricus (Moore) Damaging Gliricidia maculata, A Standard of Black Pepper Piper nigrum In Kerala. Entomon 1987: Vol 12, No 4. 391-392.

FAO. 2009. Global Review of Forest Pest and Desease. FAO Forestry Paper 156. Food And Agricultural Organization Of The United Nations. Rome 2009.

Gauhl, F., C.P Gauhl, G. Goergen. 1998. A Pest on Calliandra calothyrsus in Cameroon. Agroforestry System 41. Cluwer Academic Publisher, Printed in Nedherland.

Grissell, E. E. 2005.A Review of North American Species of Microdontomerus Crawford (Torymidae: Hymenoptera). Journal of Hymenoptera Research. Volume 14, Number 1, 2005.

Hamon, A.B. 1978. Acacia Whitefly, Tetraleurodes acacia (Quaintance), Homoptera: Aleyrodidae). Entomology Circular May 1978 No. 190. Infonet biovision, 2011. http://www.infonet-biovision.org/default/ct/94/pests

(30)

Serangga Hama yang Berasosiasi dengan Kaliandra (Calliandra callothyrsus) dan Aspek Pengendaliannya

Ujang W. Darmawan dan Illa Anggraeni

63 Johnson, C.D. 1995.New Host Records from Latin America and New Synonymy for Stator limbatus (Horn) and S. cearanus (Pic) (Coleoptera: Bruchidae). The Coleopterists Bulletin Vol. 49, No. 4 .Dec., 1995. (abstrak).

Johnson, C.D. dan J. Romero. 2004.A Review of Evolution of Oviposition Guild in The Bruchidae (Coleopteran). Revista Brasileira De Entomologia 48(3): 401-408.

Kingsolver, J.M. 2004. Handbook of the Bruchidae of the United States and Canada (Insecta, Coleoptera), United States Department of Agriculture; Agricultural Research Service Technical Bulletin Number Vol. I. 1912 November 2004.

Macqueen, D.J. 1992. Calliandra calothyrsus: Implications of Plant Taxonomy,Ecology and Biology for Seed Collection, Commonwealth Forestry Review Volume 71( l) 1992.

Maddison, P. A. 1993. UNDP/FAO-SPEC Survey of Agricultural Pests And Diseases In The South Pacific, Technical Report. Vol. 3. Pests And Other Fauna Associated With Plants, With Botanical Accounts of Plants. Auckland : Manaaki Whenua B Landcare Research. [File Downloaded From http://nzac.landcareresearch.co.nz/]

Magina, L. F. 2005. A Review of Coffee Pest Management. Tanzania Coffee Research Institute.

Mead, F.W., 2008. Thorn Bug. Umbonia Crassicornis (Amyot And Serville) (Insecta: Hemiptera: Membracidae). Featured Creatures, University Of Florida Institute Of Food And Agricultural Sciences.

http://creatures.ifas.ufl.edu

Nakahara, S. 1995.Taxonomic Studies of the Genus Tetraleurodes (Homoptera: Aleyrodidae), Insecta Mundi, Vol. 9, No. 1-2, March - June, 1995. Systematic Entomology Laboratory Agricultural Research Service, PSI, USDA

NAS. 1980.Firewood Crops; Shrub and Tree Species for Energy Production. Washington DC.

NAS. 1983.Calliandra, A Small Versatile Tree For the Humid Tropics. NPPO. 2011.New Pest Records In EPPO Member Countries. EPPO Reporting

Service. NO. 4

Nyeko, P. dan F.M. Olubayo. 2005. Participatory Assessment Of Farmers Experiences Of Termite Problems In Agroforestry In Tororo District, Uganda. Network Paper No. 143 January 2005 Agricultural Research & Extension Network.

(31)

Orwa, C., A. Mutua, R. Kindt. R. Jamnadass. A. Simons. 2009. Agroforestry Database: a tree reference and selection guide version 4.0 (http://www.worldagroforestry.org/af/treedb/). Diakses tanggal 8 Desember 2011.

Quimio, G. M. 2001. Management and Monitoring of White Grubs in Sugarcane. Philippine Sugar Research Institute (PHILSURIN), Philippine.

Rajarishi, S. R. 2010. Assessment of Insectpest Problems of Selected Fast Growing Indigenous Tree Species in Tamil Nadu and Kerala. Completed ICFRE Funded Research Projects (2009-10) - IFGTB (Sep-06, 2006-2010).

Rathore, M.P. S.1995.Insect Pests in Agroforestry. Working Paper No. 70 report of a GTZ Fellowship. Senior Visiting Fellow International Centre For Research In Agroforestry Nairobi, Kenya.

Riswan, S., N. Ginting, dan I. Samsoedin.Historical Introduction of Calliandra in Indonesia; Dalam : Evans, D. O. 1996. International Workshop On The Genus Calliandra. Proceedings Of A Workshop Held January 23-27, 1996, In Bogor, Indonesia. Forest, Farm, And Community Tree Research Reports (Special Issue). Winrock International, Morrilton, Arkansas, USA.

Sankaran, K. V., K. Mohanadas, M. I. M. Ali. 1989. Beauveria bassiana(Bals.) Vuill., A Possible Biocontrol Agent AgainstMyllocerus viridanus Fabr. AndCalopepla leayana Latreille In South India. Current Science 58(8): 467-469 (1989). (abstrak)

Swezey, O. H. 1931.Proceedings of the Hawaiian Entomological Society. Vol. VII, No. 3 For the Years 1929-1930 April, 1931

Villacarlos, L. T., B. S. Mejia, dan S. Keller. 2003. Entomophthora leyteensis Villacarlos & Keller Sp. Nov. (Entomophthorales: Zygomycetes) Infecting Tetraleurodes Acaciae (Quaintance) (Insecta, Hemiptera: Aleyrodidae), A Recently Introduced Whitefly on Gliricidia sepium (Jaq.) Walp. (Fabaceae) in The Philippines. Journal of Invertebrate Pathology 83:1 Pp. 16-22.

Walter, G.H. and Parry, W.H.Insect Pests of Forage Tree Legumes: Biology and Non-chemical ControlDalam Gutteridge, Ross C. dan Shelton, H. Max. (editor). 1998. Forage Tree Legumes in Tropical Agriculture. Tropical Grassland Society Of Australia Inc.

Wina, E. dan B. Tangendaja. 2000. Lokakarya Produksi Benih dan Pemanfaatan Kaliandra 14 –16 November. International Centre for Reseach in Agroforestry and Winrock International Bogor. Indonesia.

(32)

PROSES PERKECAMBAHAN

BENIH

Dialium platysepalum

Baker

Germination Process of Dialium platysepalum Baker Seed

Mira Kumala Ningsih dan Kade Sidiyasa

Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam Samboja Jl. Soekarno Hatta Km 38 PO.BOX 578 Balikpapan– 76112

Telp.0542-7217663, Fax 0542-7217665

I. PENDAHULUAN

Leguminosae mempunyai keragaman jenis terbesar di daerah tropis. Pohon jenis ini terkenal terutama dalam program agroforestry dan banyak ditanam untuk rehabilitasi lahan kritis karena kemampuannya mengikat nitrogen (Schmidt, 2000). Terdapat 590 marga dengan 12.000 species, diantaranya berhabitus pohon, semak belukar, liana dan herba (Ng, 1991). Dialium merupakan salah satu marga dari suku Leguminosae yang mempunyai 27 spesies (Kalkman, 1996). Sedikitnya terdapat dua spesies Dialium yang dapat dikonsumsi yakni Dialium indum L. dan D. platysepalum Baker. Dipilih D. platysepalum dalam penelitian ini mengingat keberadaannya di alam sudah semakin langka akibat penebangan pada saat pemanenan buah, di lain pihak upaya budidayanya belum dilakukan

Kegiatan perbanyakan secara generatif melalui biji merupakan salah satu mata rantai awal untuk budidaya Dialium. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari proses perkecambahan benih Dialium platysepalum. Data dan informasi yang dihasilkan dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam kegiatan perbanyakan jenis tersebut secara generatif.

Pengumpulan benih dilakukan terhadap benih-benih yang sudah masak dan jatuh di bawah pohon induknya. Benih diambil pada minggu ke empat bulan April 2010 dari Muara Teweh. Pengamatan proses perkecambahan dilakukan setiap minggu sejak benih disemaikan. Proses yang terjadi setiap minggu dicatat. Dokumentasi proses hanya dilakukan pada saat terjadi perubahan yang mencolok pada kecambah. Pada akhir pengamatan dilakukan perhitungan terhadap persen kecambah benih yang tumbuh. Persentase perkecambahan benih (%) dihitung dengan menggunakan rumus = (∑ Nt/∑ Na) x 100%, dengan pengertian ∑Nt adalah jumlah biji yang berkecambah hingga pada hari terakhir, sedangkan∑Na adalah jumlah biji yang disemaikan pada saat awal. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara deskriptif kuantitatif.

II. BENIHDialium platysepalum Baker

A. Asal Buah/BenihD. platysepalum

(33)

2 m. Kulit luar kecoklat-coklatan, berlentisel. Kulit dalam coklat kemerah-merahan, tipis, dan bergetah merah. Secara administrasi pemerintahan, daerah ini termasuk dalam wilayah Kecamatan Gunung Timang, Desa Pandranjari, Muara Teweh,Kalimantan Tengah. Secara geografis, Muara Teweh berada pada 1°10’ LS dan 115°06’ BT, dengan ketinggian 90 m dpl.

B. Morfologi Buah dan Benih

Buah membulat dengan diameter ± 2 cm dan berat ± 2,3 gram, berwarna cokelat dan terdapat alur yang jelas seperti garis yang membujur. Kulit buah (eksokarp) berbulu seperti beludru dengan bagian mesokarp yang lunak dan mudah rapuh bila ditekan. Salut biji lunak seperti tisu yang berwarna cokelat pucat serta dapat dimakan dengan rasa asam agak manis. Kulit biji kelas berwarna cokelat pucat dan mengkilap. Biji berbentuk agak memipih dengan panjang ± 1,4 cm, lebar ± 1,1 cm dan tebal ± 0,5 cm dengan berat biji ± 0,60 gram (Gambar 1). Dengan demikian menurut Schmidt (2000), buah Dialium termasuk dalam klasifikasi buah drupe.

Gambar 1. Buah, benih dan penampang membujur buah D. platysepalum (Gambar sebelah kanan digambar oleh Priyono)

III. PROSES PERKECAMBAHAN BENIHDialium platysepalum Baker

(34)

Proses Perkecambahan BenihDialium platysepalum Baker

Mira Kumala Ningsih dan Kade Sidiyasa

67 Gambar 2. BenihD. platysepalum yang sudah berkecambah.

Tidak ada perlakuan awal terhadap benih D. platysepalum sebelum benih disemai atau dikecambahkan. Lamanya proses pengangkutan buah sampai benih disemai atau dikecambahkan yaitu tiga hari. Setelah benih disemai atau dikecambahkan terjadi penambahan volume benih. Pertambahan volume benih mencapai 2x (dua kali) lipat ukuran benih sebenarnya. Bertambahnya volume benih terjadi karena proses metabolisme dalam benih yang menyebabkan pembesaran embrio. Pada saat perkecambahan dimulai, semua struktur penting dalam embrio tumbuh dan perkembangan stuktur tersebut sebagian besar melalui pengembangan dan pembagian sel (Schmidt, 2000). Selama terjadi penambahan volume benih maka terjadi pula pelunakan perikarp (kulit bjji). Menurut Sayekiningsih dan Ningsih (2009), bertambahnya volume benih terjadi karena proses imbibisi. Seiring dengan bertambahnya volume benih radicula mulai tumbuh berwarna putih (Gambar 2). Gambaran mengenai proses perkecambahan D. platysepalum disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Proses perkecambahanD. platysepalum (digambar oleh Priyono) Keterangan :

1. Terjadi penambahan volume benih 2. Mulai tumbuh radicula

3. Hipokotil mulai memanjang dan membentuk loop di atas permukaan media

4. Hipokotil mulai meluluskan diri

5. Lepasnya kulit benih dan kotiledon mulai terbuka

(35)

Berdasarkan gambar 3, proses perkecambahan ditandai dengan bertambahnya volume benih dan diikuti oleh tumbuhnya radicula pada hari ke-5 setelah benih disemai atau dikecambahkan. Setelah terjadi penonjolan akar, kemudian terjadi pemanjangan bagian sumbu embrio (hipokotil). Hipokotil terus tumbuh pada minggu kedua dan ketiga. Tumbuhnya hipokotil menyebabkan benih terangkat ke atas bersama dengan lembaga atau struktur dari benih. Kemudian kulit benih (perikarp) mulai meretak karena pertambahan volume lembaga.

Pada minggu keempat dan kelima, hipokotil mulai meluruskan diri dan kulit benih mulai terbuka karena kotiledon mulai tumbuh dan selanjutnya kotiledon terbuka dan menyebabkan kulit benih jatuh. Kotiledon berwarna hijau dan berdaging. Seiring dengan membukanya kotiledon terlihat calon daun pertama (plumula) tumbuh pada minggu keenam. Terdapat empat daun pertama berwarna hijau dengan duduk daun roset. Batang utama terus tumbuh dan terjadi penambahan epikotil pada minggu ketujuh. Bagian dari batang utama yaitu hipokotil mulai mengeras dan berubah warna ke arah cokelat. Pada minggu ke tujuh inilah kotiledon meluruh dan jatuh ke tanah. Dengan lepasnya koliledon ini berarti bibit harus segera disapih, karena bibit tidak memiliki cadangan makanan lagi. Tipe perkecambahan D. platysepalum termasuk tipe per-kecambahan epigeal. Perper-kecambahan epigeal adalah tipe perper-kecambahan dimana kotiledon terangkat ke atas permukaan tanah. Tahapan proses perkecambahanD. platysepalumdisajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Tahapan proses perkecambahanD. platysepalum. Pengamatan

minggu ke- Keterangan

1

Terjadi proses imbibisi menyebabkan ukuran benih membesar, radikula mulai tumbuh.

2-3

(36)

Proses Perkecambahan BenihDialium platysepalum Baker

Mira Kumala Ningsih dan Kade Sidiyasa

69 Tabel 1. Lanjutan

Pengamatan

minggu ke- Keterangan

4

Tumbuhnya hipokotil diiringi dengan membukanya kulit benih dan

membesarnya kotiledon

5

Kotiledon mulai terbuka dan kulit benih terjatuh dan terlihat calon daun (plumula).

6

Terbukanya sepasang kotiledon dan empat daun pertama (plumula) berwarna hijau dengan duduk daun roset.

7 Kotiledon sudah terlepas dan kecambah

(37)

Periode perkecambahan D. platysepalum yang dimulai dengan bertambahnya volume benih sampai terlepasnya kotiledon membutuhkan waku ± 48 hari. Hasil penelitian lain (Ng, 1991) menyatakan bahwa periode perkecambahan benih dariD. platysepalum berkisar antara 5– 867 hari. tanpa perlakuan dan 5 – 12 hari dengan perlakuan pemotongan kulit biji. Panjangnya jangka waktu perkecambahan tanpa perlakuan tersebut karena sifat benih D. platysepalumyang bisa disimpan dalam waktu yang lama (ortodoks) tergantung media tempat benih tersebut berada atau disemaikan. Hal serupa dijumpai pada sengon (Paraserianthes falcataria) yang benihnya dapat disimpan selama 16 (enam belas) bulan setelah dikeringkan selama 10 (sepuluh) hari, namun akan berkecambah setelah disemaikan selama dua hari dengan persentase kecambah 90% (Balai Perbenihan Tanaman Hutan Banjarbaru, 2000)

Hasil evaluasi kecambah dan pengamatan morfologi kecambah yang dilakukan pada akhir penelitian menyatakan bahwa persentase perkecambahan adalah 76% dengan panjang akar rata-rata 3,7 cm, panjang hipokotil rata-rata 7,8 cm, panjang epikotil rata-rata 3,9 cm serta tinggi total rata-rata kecambah adalah l4,l cm. Ada dua pasang kotiledon dengan bentuk agak melonjong dengan ukuran 1 × 0.5 cm. Kotiledon tersebut berdaging dan berwarna hijau. Daun pertama (plumula) berbentuk oval dengan duduk daun roset. Daun berwarna hijau dengan ujung runcing. Panjang daun ± 4,5 cm dan lebar ± 2 cm. Tangkai daun berwama hijau dengan panjang ± 1 cm.

IV. KESIMPULAN

Perkecambahan benihDialium platysepalum Baker hingga terlepasnya kotiledon (tanpa perlakuan) membutuhkan waktu ± 48 hari dengan persentase perkecambahan 76%, dan tipe perkecambahan epigeal.

DAFTAR PUSTAKA

Balai Perbenihan Tanaman Hutan Banjarbaru. 2000. Petunjuk Teknis Perlakuan Benih/Bibit dan Penanaman Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielson). Balai Balai Perbenihan Tanaman Hutan. Banjarbaru.

Kalkman, C. 1996. Menispermaceae. Flora Malesiana Series I– Spermatophyta Flowering Plants. Vol. 12, 2 : 157 – 253. Rijksherbarium / Hortus Botanicus, Leiden University. The Netherlands.

Ng, F.S.P. 1991. Malayan Forest Record No. 34. Forest Research Institute Malaysia. Manual of Forest Fruits, Seed and Seedling. Volume One. Kuala Lumpur.

(38)

Proses Perkecambahan BenihDialium platysepalum Baker

Mira Kumala Ningsih dan Kade Sidiyasa

71 Schmidt, L. 2000. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Sub Tropis (Terjemahan). Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan. Jakarta.

(39)

Peatland Rehabilitation on ex Peatland Development Project Area

in Kapuas District, Central Kalimantan

Faiqotul Falah dan Wahyu Catur Adinugroho

Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam Samboja Jl. Soekarno-Hatta Km. 38, PO. BOX 578, Balikpapan– 76112

Telp. 0542-7217663; Fax. 0542-7217665

I. PENDAHULUAN

Lahan gambut merupakan ekosistem yang spesifik dan rapuh, dicirikan oleh tanah dan airnya yang bersifat sangat masam (pH 5 atau kurang) dan miskin hara (oligotrof). Ekosistem hutan rawa gambut sering juga disebut ekosistem air hitam karena air sungai-sungai yang mengalir di dalamnya berwarna kehitaman. Hutan rawa gambut mempunyai fungsi penting sebagai habitat vegetasi dan satwa khas rawa gambut. Hutan rawa gambut juga mempunyai fungsi hidrologis sebagai penyimpan air sehingga berperan dalam mengatur debit pada musim hujan dan musim kemarau. Peran lain hutan dan lahan gambut yang saat ini menjadi perhatian adalah sebagai penyimpan cadangan karbon berupa bahan organik yang telah terakumulasi selama ribuan tahun. Diperkirakan cadangan karbon di lahan gambut Indonesia adalah sebesar 46 Gt (Mudiyarso, 2003).

Gambar

Tabel 1.Tabel 1. Sebaran Pohon Sampel Berdasarkan Interval Diameter
Tabel 2.1 Nilai R�� Probabilitas untuk Persamaan Relatif
Tabel 3. Persamaan Relatif Hasil Uji Keseragaman Regresi
Tabel 4. Persamaan Taper Penyusun Model Penduga Volume Batang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bangunan pembawa mempunyai fungsi membawa/mengalirkan air dari sumbernya menuju petak irigasi. Bangunan pembawa meliputi saluran primer, saluran sekunder, saluran tersier

Sesuai dengan indikator keberhasilan 85% maka penelitian tindakan kelas sudah dikatakan berhasil untuk meningkatkan perilaku disiplin anak melalui metode pembiasaan. Metode

Secara umum perencanaan sistem yang dilakukan adalah sebuah plat nomor yang di- capture oleh webcam, dan diolah oleh PC dengan proses pengolahan citra digital

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka permasalahan penelitian yang akan dibahas adalah “Apakah ada hubungan penggunaan kontrasepsi hormonal dengan kejadian

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Bupati tentang Perencanaan Pembinaan dan Pengawasan

BTS (Base Transceiver Station) menangani interface radio ke mobile station (Handphone) yang digunakan oleh pelanggan BTS adalah merupakan perangkat radio yang terdiri atas

Makna konjungsi koordinatif yang terdapat dalam novel Kasih Tak Terlerai karya Soeman HS sebanyak 5 makna yaitu: (1) makna penjumlahan dan , (2) makna perurutan

Penelitian ini akan diawali dengan penginventarisan berbagai masalah akademik mahasiswa, setelah itu akan dilihat bagaimana peranan dosen PA mereka dalam membantu