• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIALEKTIKA KASTA PADA KOMUNITAS ISLAM DA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DIALEKTIKA KASTA PADA KOMUNITAS ISLAM DA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

DIALEKTIKA KASTA PADA KOMUNITAS ISLAM DALAM ARENA

POLITIK LOKAL: STUDI KASUS MASYARAKAT KEI

DI MALUKU TENGGARA

Moh. Yamin Rumra* dan Subair**

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon

Jl. Dr. Tarmidzi Taher , Kebun Cengkeh Batu Merah Atas Ambon 97128

E-mail: *myaminrumra.myr@gmail.com, **bairbone1976@gmail.com

Abstract

This study is an attempt to "picture" objective conditions dialectic ethnic identity in the local political arena in the district of the Great Kei, Kei Islands. In this case, ethnic connotations caste system still applies to Kei social system. The aim is to assess the extent to which caste influence and lead to political hegemony in Southeast Maluku district, specially Kei Besar. The method used is qualitative method in the form of historical case studies. Data collection was done by using descriptive narrative. The study results showed that the caste system in Kei Besar still maintained very strong, although some people Kei themselves sometimes do not admit it, giving rise to political hegemony in the Kei islands. Political hegemony in Kei Besar is a condition in which the group Mel-mel (upscale) dominate the group Ren-ren (middle class) and Iri-ri (lower class). Leadership is due to the voluntary consent of the lower class or upper class of society to lead. Approval of the lower classes of this happened because kebehasilan upscale in instilling the ideology of the group. This resulted in the power of government to date only in controlled by Mel-mel class. Even groups Ren-ren and Iri-ri has a considerable intellectual ability, will not be used in the system of government. The point is that the right to sit as a political leader and government in the Kei islands are those from the Mel-mel caste.

Keywords:Kei, Caste, Mel-mel, Ren-ren, Iri-ri, Larvul Ngabal, Local Politics, Identity Politics

A. Pendahuluan

Indroktrinitas keseragaman (homogenisasi) yang diberlakukan rezim Orde Baru selama kurang lebih 32 tahun, berakhir pada tahun 1998. Melalui UU No. 22 tahun 1999 kemudian direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004, pemerintah mendeklarasikan kebijakan populis yang dikenal dengan nama desentralisasi (otonomi daerah). Dengan lahirnya kebijakan tersebut, rakyat berharap banyak adanya angin segar bagi sistem bernegara dan bermasyarakat (meliputi: ekonomi, politik, pendidikan, dan sosial), serta kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Meski harapan tersebut, di satu sisi memberikan dampak positif bagi masyarakat, seperti: kebebasan berekspresi, kebebasan menentukan pilihan politik, kewenangan pemerintah daerah mengelola sumber-sumber ekonomi, dan lain sebagainya. Namun pada sisi lain, berbagai persoalan dan ancaman baru bermunculan dan seakan lebih menakutkan dibandingkan ketika rezim Orde Baru berkuasa.

Salah satu yang menjadi diskursus persoalan dan ancaman baru tersebut adalah kondisi obyektif identitas etnik dalam kaitannya dengan politik lokal di era desentralisasi. Tak dapat disangkal sepanjang rezim Orde Baru berkuasa, kontrol negara melalui kekuatan militer dan partai pemerintah berhasil membungkam kekuatan identitas etnik di daerah-daerah. Sebagai contoh, pada penghujung tahun 90-an, pengalaman pahit menimpa negeri ini di arena sosial. Etnik Madura menjadi korban kekerasan komunal dan secara paksa harus meninggalkan Sambas, Kalimantan Barat (Klinken, 2007, h. 89-91; Maunati, 2004). Pada waktu yang bersamaan, etnik BBM (Buton, Bugis, Makassar) dengan berat hati dan keterpaksaan harus meninggalkan Ambon yang dilanda perang etno-relegius (Klinken, 2007, h. 147-152). Atas kenyataan ini, Kolopaking (2011) mengingatkan bahwa pengorganisasian yang tidak tepat atas realitas keberadaan suku bangsa yang beragam di era desentralisasi menyebabkan potensi konflik yang akan terjadi di negara ini baik di pedesaan dan perkotaan.

(2)

membentuk pemahaman bahwa kondisi dan kedudukan kelompok etnik merupakan struktur obyektif yang menentukan pembentukan identitas etnik dan mempengaruhi tindakan aktor dalam arena politik lokal. Sehubungan dengan hal tersebut, maka peneliti membangun asumsi bahwa identitas etnik dalam bentuk kasta dan dominasi kasta atas dasar hukum ada larvul ngabal akan menentukan pembentukan identitas etnik dan praktik dominasi etnik dalam arena politik lokal.

B. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data berupa ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari orang-orang (subyek) itu sendiri (Subair, 2014). Penelitian kualitatif di sini digunakan untuk mengeksplorasi dan mengeksplanasi pemahaman informan tentang berbagai aspek sosial yang berkaitan dengan politik identitas.

Adapun kasus yang dipilih terkait dengan topik penelitian, yakni pemaknaan aktor terkait sejarah dandistingsi identitas kasta, kekuatan (kepemilikan modal ekonomi, simbolik, budaya, dan sosial) aktor, pengalaman relasi antar aktor (berbeda kasta), dominasi politik berdasarkan kasta, pertarungan yang terjadi antar aktor, strategi-strategi aktor, dan politik identitas saat berlangsungnya pilkada. Semua kasus-kasus tersebut dibingkai dalamframeyang terjadi di arena politik lokal. Dengan demikian, tujuan penggunaan pendekatan ini adalah memberikan pola spesifik identitas kasta dan relasi antar kasta yang merupakan satu kesatuan dalam moda praktik di arena politik lokal.

Data penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif artinya data dilaporkan dalam bentuk kata-kata (terutama kata-kata-kata-kata peserta) atau gambar-gambar bukannya dalam bentuk angka (Cresswell 2003: 198-199). Pengumpulan data dilakukan dengan metode hermeunetik dan dialektika yang difokuskan pada konstruksi, rekonstruksi dan elaborasi suatu proses sosial. Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik pengamatan dan wawancara mendalam secara langsung pada subjek penelitian. Untuk mendukung validitas data yang dikumpulkan, dilakukan pula studi pustaka. Data yang berasal dari hasil wawancara mendalam, dan observasi yang telah disunting dan ditranskripsi selanjutnya dianalisis menggunakan analisa kualitatif.

C. Tinjauan Pustaka

Konsepsi Stratifikasi Sosial

Stratifikasi sosial (social stratification) berasal dari kata bahasa latin stratum (tunggal) atau strata (jamak) yang berarti lapisan. Stratifikasi sosial merupakan penggolongan kelompok masyarakat dalam berbagai lapisan-lapisan tertentu. Sorokin (dikutip dalam Soekanto, 1990) mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam lapisan kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis) dengan perwujudannya adalah kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Eshleman dan Cashion (2000, 206) mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai the Ranking of people according to their wealth, prestige, or social position. Doob (1985, h. 206) mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai the structured inequalityof accsess to rewards, resources, and privileges that are scarce and desirable within a society .

(3)

ini kelahiran tidak menentukan kedudukan seseorang, melainkan yang terpenting adalah kemampuannya dan kadang kadang faktor keberuntungan.

Menurut Karsidi (2007, h. 175-177), terdapat tiga pendekatan dalam mempelajari stratifikasi sosial, yaitu:

a. Metode obyektif yaitu suatu penilaian obyektif terhadap orang lain dengan melihat dari sisi pendapatannya, lama atau tingginya pendidikan dan jenis pekerjaan.

b. Metode subyektif. Dalam metode ini strata sosial dapat dirumuskan menurut pandangan anggota masyarakat yang menilai dirinya dalam hierarki kedudukan dalam masyarakat. c. Metode reputasi. Dalam metode ini golongan sosial dirumuskan menurut bagaimana

anggota masyarakat menempatkan masing-masing dalam stratifikasi masyarakat itu.

Ada beberapa teori dalam pendekatan stratifikasi sosial menurut Sanderson (2003, h. 157), yaitu sebagai berikut.

a. Teori Evolusioner-Fungsionalis. Teori ini dikemukakan oleh ilmuwan sosial yaitu Talcott Parsons. Dia menganggap bahwa evolusi sosial secara umum terjadi karena sifat kecenderungan masyarakat untuk berkembang, yang disebutnya sebagai kapitalis adaptif . b. Teori Surplus Lenski. Sosiolog Gerhard Lenski mengemukakan bahwa makhluk yang

mementingkan diri sendiri dan selalu berusaha untuk mensejahterakan dirinya.

c. Teori Kelangkaan. Teori ini beranggapan bahwa penyebab utama timbul dan semakin intensnya stratifikasi disebabkan oleh tekanan jumlah penduduk.

d. Teori Marxian. Teori ini menekankan pemilikan kekayaan pribadi sebagi penentu struktur strtifikasi.

e. Teori Weberian. Teori ini menekankan pentingnya dimensi stratifikasi tidak berlandaskan dalam hubungan pemilikan modal.

Dengan demikian, ada 5 teori yang harus kita ketahui dalam stratifikasi sosial, diantaranya teori Evolusioner-Fungsionalis yang mengarah kepada kecenderungan perkembangan masyarakat, teori Surplus Lenski yang mengarah kepada egoisme, teori Kelangkaan yang mengarah kepada tekanan jumlah penduduk, teori Marxian mengarah kepada kekayaan seseorang menentukan stratifikasi sosial, sedangkan teori Weberian yang menagarah kepada stratifikasi tidak berlandasan kepemilikan.

Politik Identitas

Meski diskursus politik identitas baru mengemuka di Indonesia, akan tetapi rentetan peristiwa di tanah air yang bersinggungan dengan identitas (baik etnik maupun agama), bukanlah hal yang baru. Terlebih ketika pasca reformasi yang ditandai perubahan sistem ekonomi dan politik dari sentralisasi ke disentralisasi, identitas memiliki peranan penting membentuknation identity.Nation identity(identitas nasional) adalah suatu bentuk identitas imajenatif dengan negara-bangsa sebagai sesuatu yang diekspresikan melalui simbol dan diskursus. Jadi, bangsa bukan hanya bangunan politis, melainkan juga sistem representasi budaya, sehingga identitas nasional secara terus menerus direproduksi melalui aksi diskursif (Barker, 2006). Praktik konflik sosial (Sambas, Ambon, Poso, dan lain sebagainya), praktik pemilihan kepala daerah (pilkada) yang bias identitas etnik, dan praktik pemekaran daerah yang sarat identitas adalah bukti bahwa politik identitas merupakan tema yang tidak dapat dikesampingkan dalam diskursus masyarakat majemuk, seperti Indonesia.

Dalam teori praktiknya, Bourdieu merumuskan dua dimensi, yakni proses internalisasi yang dialami pelaku (seseorang atau sekelompok orang) dan pengungkapan dari segala sesuatu yang telah terinternalisasi yang menjadi bagian dari diri si pelaku (Mutahir, 2011). Internalisasi yang dialami pelaku tersebut berdasarkan pengalaman hidup yang melekat dalam diri aktor (habitus) dalam berbagai arena. Untuk itu, setiap praktik praktik aktor merupakan produk hasil interaksi antar habitus dan arena. Dikarenakan arena mempunyai aturan-aturan tersendiri, maka setiap aktor harus mampu berjuang di arena tersebut.

(4)

mempertahankan eksistensinya di arena. Dalam hal ini, Bourdieu memperkenalkan konsep modal (capital) dan strategi persaingan. Tidak itu saja, Bourdieu juga memperkenalkan konsep power symbolic, doxa, orthodoxy, dan heterodoxy yang penting digunakan untuk menganalisis pembentukan identitas aktor.

D. Hasil dan Pembahasan

1. Sistem Stratifikasi Sosial Masyarakat Kei

Stratifikasi masyarakat Kei, yang sering diasosiasikan sama dengan sistem kasta, terwujud dalam tiga tingkatan: Mel-mel, mereka adalah para migran atau pendatang, yang dalam bahasa Kei biasanya disebutmarvutun. Patikayhatu (1998) menyebutnyaMel Kasil Tahit(Cicak Pantai);Ren-ren, merupakan kelompok orang merdeka mereka adalah penduduk asli; dan iri-ri, yakni kelompok pengabdi yang ada akibat individu-individu (baik Mel dan Ren) yang melakukan perbuatan melanggar adat sehingga status sebagai mel atau ren dicabut. Status ini diberikan sebab individu tersebut dibeli atau dibayar hutangnya oleh golonganmel-meldanren-ren.Ini berarti kelompokiri-ri bersifat situasional yang hanya muncul akibat individu dari kedua kelompok itu melakukan pelanggaran adat. Dalam realitasnya, kedua kelompok/golongan terakhir dapat dikategorikan sebagai golongan subaltern dalam pandangan Gramsci (dikutip dalam Ratna, 2005), sebab keduanya berada dalam posisi terdominasi dan tereksploitasi oleh golonganmel-mel.

Sejarah pembentukan strata (kasta) di Kepualuan Kei terjadi sekitar abad ke 15 atau 16. Pembentukan strata ini berkaitan dengan kehadiran orang luar, yang dalam sumber tertulis dan seakan sudah umum diakui sendiri oleh orang Kei, menyebutnya berasal dari Bali. Ohoitimur (2010) memberi gambaran tentang orang luar yang bernama Kasdew; yang diyakini sebagai orang pertama yang datang dari Bali, terdampar di teluk Sorbay.

Sedubun (2001, h. 20) memperkirakan kedatangan orang luar tiba di tanah Kei sekitar tahun 1502-1543 dan membentuk pemerintahan sampai lahirnya Hukum Adat Larvul Ngabal, di antara tahun 1557-1567. Sedubun menggunakan istilah orang luar dan bukan orang Bali, dengan tujuan utamanya yakni untuk melihat kaitannya dengan pembentukan dan sekaligus pengakuan keberadaan strata-stratamel-mel,ren-rendaniri-ridi tanah Kei. Ada dua alasan mendasar sebagai praduga untuk melihat kembali dasar keberadaan strata-strata mel-mel, ren-ren dan iri-ri di tanah Kei. Pertama, bahwa orang luar itu sangat mungkin adalah orang Jawa, warga Kerajaan Majapahit, yang kesasar dari sasaran pelariannya selama pelayaran mengungsi dari pulau Jawa ke pulau Bali. Raja dan rakyat Majapahit mengungsi keluar ke Bali untuk menghindarkan diri dari perang melawan kekuasaan Islam, yang adalah sesama saudaranya orang Jawa. Mereka bukan orang Bali, tetapi orang Jawa, tepatnya Jawa Timur yang mengungsi ke Bali. Jadi, Kasdew dan keluarganya dalam pelariannya, tidak mencapai Bali, tetapi tercecer atau terdampar dalam pelayarannya, dan akhirnya tiba di teluk Sorbay. Pemahaman tentang pengungsi yang lari dan berhasil tiba di tanah Kei adalah orang Jawa, dan bukan orang Bali, menjadi penting. Dengan demikian, orang luar atau Kasdew, patut diduga berasal dari Jawa. Bukan dari Bali. Selama ini semua orang Kei menyebut Kasdew berasal dari Bali. Penetapan pemahamn seperti ini berkonotasi pengesahan status stratamel-mel,ren-rendaniri-ri; di mana karena di Bali ada pembagian kasta dan karena itu sama dengan di tanah Kei juga ada kasta. Padahal kasta pelapisan sosial di tanah Kei itu sangat berbeda dengan yang ada di Bali dan di India. Di Kei itu bukan kasta, tetapi strata (Laksono dkk., 2005, h. 88-92). Sebab, kasta punya struktur organisasi dengan pemimpinnya dan ada ideloginya, yang menjadi dasar perjuangan tiap kasta, seperti di India.

(5)

Orang (Bali), Jawa lebih banyak menjadimel-mel. Dari sini kita bisa mengerti bahwa sebelum Belanda mengokohkan keberadaan stratamel-mel,ren-rendaniri-ridi Kei, strata itu sudah ada. Sebab, orang mel-meldi Kei sesungguhnya berasal dari dua sumber, yaitu mel-roa, atau orang memerintah yang berasal dari orang luar (Jawa) dan pendatang (Ternate dan Arab), danmel-nangan, yang adalah asli Kei. Orang Kei mengenal mel-nanganadalah para Raja, yang tahu akan batas-batas tanah. Mereka disebuttuan tanatau tuan tanah, yang banyak tersebar selaku strataren-rendi Kei Besar.

Ketika Belanda datang, karena kepentingan pemerintahan dan politik (keamanan), diubahlah menjadi strata atas, mel-mel terdiri dari orang-orang yang mampu memerintah dan mengatur masyarakat; yang masuk di sini adalah orang Jawa, Ternate (dan Arab). Strata tengah atau ren-ren adalah mereka yang mengurus tanah dan mandor bagi pekerjaan Belanda; masuk di sini orang mel-nangan, yaitu para tuan tanah asli Kei, atautuan tan. Strata bawah adalahiri-riyang berasal dari para opasatau tenaga buruh kasar tanpa gaji, pemikul peralatan tentara dan alat-alat masak untuk operasi militer. Orangiri-riini terbanyak adalah budak atau orang hukuman yang ditebus oleh seseorang atau iri-ri tivtivutataubudak yang ditebus, (Ohoitimur, 1983, h. 13), lalu dijadikan budak.

Selanjutnya, pemerintah Belanda menguatkan pembagian masyarakat Kei dalam tiga strata sosial, yaitumel-mel,ren-rendan iri-ri. Penguatan strata ini juga makin menggumpal ketika muncul gerakan dan gejolak politik yang menimpa dan mengucilkan orang pribumi Kei. Undang-undang pemerintahan yang digulirkan dari pusat menguatkan strata di masyarakat Kei. Kondisi itu ditunjang juga dengan arogansi oknum-oknummel-meldi birokrasi eksekutif, legislatif dan pemilik modal, lalu lahirlahmel-melsebagai strata yang tertinggi, berkuasa dan punya hak-hak istimewa di hampir segala bidang kehidupan di masyarakat Kei. Orangren-ren daniri-ritersandera oleh ketidakadilan sejarah, buah tangan penjajah Belanda dan diteruskan oleh saudaranya sendiri, orang Keimel-mel.

Di desa Ohoiwait misalnya, nuhu duan (ren penduduk asli) tidak menjalankan fungsinya sebab terekspliotasi olehmel-mel. Posisi mereka tidak jelas, bahkan oleh sebagaian kelompok ( mel-mel) mengatakan bahwa penduduk asli ini telah punah setelah kekuasaan adat diserahkan (Ngabalin, 2006, h. 78-79).

2. Stratifikasi Sosial dan Dominasi Kasta pada Arena Politik Lokal

Secara sederhana, dominasi didefinisikan sebagai penguasaan oleh pihak tertentu yang lebih kuat terhadap pihak lainnya yang lebih lemah. Dengan demikian, praktik dominasi kasta (etnik) dalam arena politik dapat didefinisikan sebagai bentuk pertarungan yang terjadi antar aktor dari basis etnisitas berbeda untuk memperebutkan sumber-sumber politik, dimana dari hasil pertarungan tersebut akan tampil aktor (kelompok) kasta (etnik) tertentu sebagai pemenang yang lebih kuat dan memiliki penguasaan atas sumber-sumber ekonomi politik terhadap aktor (kelompok) kasta lainnya yang kalah dan berada pada posisi yang lebih lemah.

Pengakuan keotoritasan aktor tersebut disebabkan aktor memiliki modal simbolik dan budaya yang tidak diragukan lagi. Adapun modal simbolik yang dimiliki aktor, seperti: keturunan bangsawan (golongan atas dari pelapisan sosial tradisional), ketua paguyuban kelompok etnik, ketua organisasi masyarakat, dan dosen/guru. Sementara itu, modal budaya yang dimiliki aktor, seperti: gelar pendidikan tinggi, memiliki komitmen terhadap pendidikan, dan pengetahuan yang luas terhadap sejarah dan kebudayaan etniknya. Berangkat dari kedua modal tersebut, maka aktor seolah-seolah memiliki otoritas dan berorientasi menegakkan prinsip hierarki otonom, yaitu menjaga eksistensi etnisitasnya di arena politik lokal.

(6)

sehingga membentuk identitas kasta atau habitus yang merupakan kedirian dari aktor tersebut. Adapun obyektivikasi dan subyektivikasi sebagaimana yang dimaksud, akan diuraikan di bawah ini.

Sistem kasta sesungguhnya lebih kuat di Kei Besar dibanding Kei Kecil. Di Kei Kecil pelapisan sosial sudah ditempatkan pada posisinya yang sepatutnya. Maksudnya, pelapisan sosialmel-mel, ren-ren daniri-ri, akan terlihat ketika ada peristiwa-peristiwa ritual adat, seperti rapat desa, pelantikan Rat(Raja),Orangkai(Kepala Desa) dan acara adat lainnya. Dalam interaksi sosial masyarakat sehari-hari, hampir tidak terlihat pembedaan di antara mereka.

Di Kei Besar, pengaruh pelapisan sosial masih sangat kuat dipraktekkan dalam interaksi masyarakat Maluku Tenggara atau orang Kei. Hal itu sangat kuat terlihat di perkawinan; tidak boleh terjadi perkawinan lintas strata mel-mel dengan ren-ren atau mel-mel dengan iri-ri dan sebaliknya.

Sedubun (2014) menemukan adanya semacam jabatan tuan orang mel-mel, yang menguasai sejumlah orang ren-ren dan iri-ri, yang disebut orang rumah atau kepala marga. Orang rumah adalah sebutan untuk orang ren-ren dan terutama orang iri-ri, yang menjadi kelompok terbawah yang dikuasai oleh seorang mel-mel sebagai kepala fam-nya. Orang-orang ini biasanya dipakai sebagai para pekerja bagi kepentingan tuan mel-mel-nya. Orangren-rendan terutama orang iri-ri, yang dikuasainya, biasanya dipakai untuk mengerjakan kebun atau mengolah kopra bagi kebutuhan ekonomi pribadinya. Karena kewenangan yang sewenang-wenang ini, kondisi hidupnya lebih baik dari orangren-ren daniri-ri, yang dikuasainya. Mereka juga merupakan tenaga kerja siap pakai bagi pekerjaan berskala besar di desa.

Para orang rumah, itu lebih tepat disebut sebagai budak, sebab banyak kali hak mereka dibatasi. Mereka hanya siap melakukan apa saja kehendak orangmel-melyang menjadi tuannya. Ada kesan kuat bahwa stratairi-riyang lebih banyak menjadiorang rumahatau budak bagi keluarga mel-mel, ketimbang strata ren-ren. Ren-ren yang menjadi orang rumah adalah orang kerja atau budak ren-renyang bukan berasal dari gunung, atau bukan tuan tanah Kei. Orang Kei menyebut orang ren-renyang adalah paratuan tan(tuan tanah) ini sebagai orangmel-nangan. Paratuan tanorang ren-ren adalah orang-orang yang sangat menguasai batas-batas tanah di Kei. Pengetahuannya memungkinkan mereka mampu mendudukan silsilah dan sejarah suatu wilayah, petuanan atau hak desa-desa adat. Selainmel-nanganadamel-mellain yang berasal dari luar Kei, yang disebutmel-roa. Indikasi lain yang mengikat stratairi-riyang setia kepadamel-mel, yang tak bisa melarikan diri keluar desa atau tanah Kei sebagai upaya keluar dari sangkar penindasan, adalah ketakutan mereka terhadap sumpah setia mengabdi kepadamel-mel.

Seorang informan (AT) mengatakan bahwa stratamel-melitu punyaren-rendaniri-ri, bahwa mereka saling bergantung. Indikasi positif itu menyata kalau orang ren-ren dan iri-ri mengalami musibah atau bencana alam. Dalam kesusahan seperti itu, tuanmel-mel-nya datang membawa bala bantuan yang tidak tanggung-tanggung. Ia juga mecontohkan keterikatan pemahaman itu dalam pemberianyelim, yang biasanya diberikan di kejadian yang butuh partisipasi sesama, seperti : orang mati, orang kawin, membangun rumah baru dan di acara adat lainnya. Semua orang dalam desa wajib memberikanyelim, menurut kemampuannya. Ia mengatakan : Di pemberian itu sebenarnya semua kasta (mel-mel,ren-rendaniri-ri) melepaskan batasann status kasta-nya dan datang bersama-sama memberikan dukungannya kepada keperluan yang dihadapi (AT).

Menurut seorang informan lain (EDU), dengan adanya sistem pelapisan sosialmel-mel, ren-ren dan iri-ri, lebih memudahkan dalam mengatur pekerjaan di desa. Sebab tiap mel-melbiasanya menjadi kepala marga atas kelompok ren-ren dan iri-ri, sehingga ketika ada pekerjaan, ia cukup memerintahkan mereka dan pekerjaan itu mudah terlaksana. Jeleknya jika kepala desa atau si yang punya pekerjaan tidak disukai karena bertindak tidak jujur dan tidak adil. Dalam suasana seperti itu, mereka bisa mogok kerja dan hancurlah semua rencana kerja yang sudah digagas. Pernah ada sikap pembangkangan dari orangren-ren dan orang iri-ri, yang menghindarkan diri dari berbagai bentuk penindasan oleh pribadimel-meltertentu.

(7)

gadis mel-mel. Jika seorangmel-melmenghamilkan seorangren-ren atauiri-ri, ia cukup membayar denda kepada keluarga si wanita, lalu selesai; bahkan ada juga yang persoalannya dibiarkan menguap begitu saja. Akan tetapi jika seorang ren-ren atau iri-ri menghamilkan seorang mel-mel, ia akan disangkal atau diusir dari desa dan si wanita mel-mel itu menjadi warga strata dari mana si pria berasal. Ia kehilangan haknya dan mulai hidup dalam komunitas baru. Jika keduanya sungguh saling mencintai, biasanya mereka melarikan diri ke luar desa dan meneruskan hidupnya di sana. Mereka jarang sekali atau bahkan tidak akan kembali lagi ke desanya.

Perubahan strata yang mengalir ke bawah seperti ini memungkinkan peningkatan populasi di strata bawah, ren-ren dan iri-ri, sedangkan di puncak strata, mel-mel, makin menyusut. Seleksi alam ini pada kenyataannya sangat menguntungkan dominasi mel-mel; mereka menjadi sedikit, tetapi makin berkuasa.

Kekhasan lain yang menjadi wilayah dominasi orang mel-mel sampai hari ini, mereka saja yang banyak menduduki jabatan penting sebagai pemimpin di birokrasi di Kota Tual dan Kabupaten Maluku Tenggara. Orang ren-ren, dan iri-ri, sangat sulit dan belum pernah ada yang bisa tembus menempati jabatan-jabatan itu. Sebagai contoh, para birokrat di kantor Bupati Maluku Tenggara dan juga di kantor Walikota Tual, semua Kepala Dinasnya orangmel-mel. Tidak ada yangren-ren, apalagi iri-ri. Baru pada masa pemerintahan Bupati Maluku Tenggara 2009-2014, ada seorang Penjabat Kepala Dinas yang orangren-ren. Sekali pun ia masih menjabat dan belum menjadi pejabat defenitif, tetapi warna perubahan nampaknya mulai berani ditampilkan dari dominasi mutlak mel-mel dan mulai membuka diri keren-ren.

Berikut ini adalah peta sebaran praktek hegemoni atau lebih tepat, diskriminasi berdasarkan kasta yang dihimpun oleh Sedubun (2014).

Tabel. 1. Sebaran sikap diskriminasi strata dalam desa-desa.

No Diskriminasi Lokasi Desa Keterangan

1 Ekstrim Weduar, Ohoirenan, Ohoiel, Ohoiwait, Kei Besar Selatan

Mun Warfan, Ad Kei Besar Utara

Yamtel, Ohoinangan Sekitar Elat

Ela ar Lamagorong Kei Kecil Timur

2 Toleratif Weduar, Ohoirenan, Ohoiel, Ohoiwait, Kei Besar Selatan

Mun Warfan, Ad Kei Besar Utara

Yamtel, Fako, Sekitar Elat

Ela ar Lamagorong Kei Kecil Timur

3 Anti Ngurdu, Waurtahait Sekitar Elat

Sumber: Diadaptasi dari Sedubun, 2014.

Praktek hegemoni juga terjadi dalam kehidupan beragama dan menembus dinding masjid dan gereja. Pengamatan strata sosial di dalam masjid berlangsung di sebuah Masjid di Kei Besar ditemukan bahwa kehadiran dan partisipasi anggota jamaah untuk beribadah sama saja, baik orang mel-mel,ren-rendaniri-ri. Hal mencolok adalah orangren-rendaniri-ri, enggan duduk pada kursi di jejeran depan. Biasanya yang masuk dan langsung duduk di jejeran depan adalah orang mel-mel. Mereka itu adalah kepala-kepala dinas-jawatan pemerintah, anggota dan pimpinan DPR atau anggota jamaah yang bukan orang Kei.

(8)

strata sosial mel-mel dengan ren-ren dan mel-mel dengan iri-ri, supaya jangan terjadi benturan konflik. Saya melihat konflik tentang batas sosial ini, yang memperkokoh pemisahan dan penindasan mel-melterhadapren-rendaniri-ri. Batas sosial itu sudah dimutlakkan hampir di semua sendi gerak hidup, di kantor, di pasar dan bahkan sampai dalam hidup beribadah di masjid.

Uraian di atas menunjukan bahwa strata sosial atau pelapisan sosial menjadi masalah terberat bagi perkembangan dan kemajuan orang Kei, di Maluku Tenggara. Sistem sosial ini terpelihara dengan baik oleh orang mel-mel di elit masyarakat, terutama kalangan birokrasi di pemerintahan Kabupaten Maluku Tenggara. Ia juga berlaku bagi orang-orang Kei yang berada di luar daerah.

3. Dialektika dan Arena Praktek Politik Identitas

Temuan yang sangat menarik dari penelitian ini ialah seluruh informan penelitian memberi kesan yang sama bahwa meskipun terjadi hegemoni kasta yang terbilang ekstrim pada masyarakat Kei, adalah sesuatu yang wajar dan sudah seharusnya. Padahal pada kenyataannya, orang mel-mel berlaku sebagai induk semang dalam tiga hal, yaitu: Pertama, hedonisme individual. Penggelontoran biaya dan keperluan hidup demi kesenangan kepada saudara mel-mel-nya yang tinggal di kampung, oleh saudaranya yang tinggal dan bekerja di kota, menjadi tren gaya hidup. Ketika seseorang dari mel-mel memiliki saudara yang bekerja di kota, si saudara adik itu hidup dengan gaya seperti orang berpenghasilan tetap atau PNS. Ia tidak berkebun, padahal sesama orang ren-rendan orangiri-ridi desanya berkebun dan makanenbal, makanan pokok orang Kei. Ia mampu bergaya hidup senang seperti itu oleh karena ia dibantu secara tetap oleh saudaranya, yang bekerja sebagai pegawai negeri di kota Tual. Karena itu gaya hidup dan perilakunya berbeda dari warga ren-ren dan iri-rilainnya. Ia tetap menikmati kesenangan hidup oleh suplayer -nya di kota, sedangkan sesama orangren-rendaniri-ridi desanya bergulat dengan hidupnya. Kesenjangan hidup seperti ini memperluas atau lebih tepat tetap memperkokoh status sosial si orangmel-meldi desa.

Kedua, Reorganisasi kekuasaan lokal. Orangmel-melmenduduki jabatan pimpinan di desa-desa, seperti menjadi kepala desa-desa, kepala urusan di Kantor Desa dan di dalam struktur masjid, seperti menjadi imam atau khatib. Tanggungjawab sebagai pimpinan atau orang penting di posisi staf kantor desa dan di masjid, punya dampak tersendiri bagi kelanggengan berkuasa, berbanding dengan orang-orangren-renatauiri-ri. Mereka lebih banyak punya kesempatan untuk berkuasa, kalau tidak bisa disebut sebagai bertanggungjawab bagi kelompok orang yang dipimpinnya.

Ketiga, keberadaan orang rumah di semua desa menjadi lahan bagi praktek penindasan, terutama di desa-desa yang masih kuat mempertahankan strata. Sekalipun tersamar oleh kompleksnya kegiatan dan pengaruh hidup di desa, yang interaksi dalam peran dan fungsi sosialnya kelihatan sudah membaur, namun prakteknya masih ada dan kuat terorganisir. Keberadaannya secara nyata, akan tampak ketika ada kerja atau urusan penting tertentu dari orang mel-mel, yang menjadi kepalafam-nya, atau kepala marga-nya. Selain itu adanya perilaku orangiri-ridengan sikap setia yang sudi takluk kepada tuanmel-mel-nya. Unsur ketaklukan diri ini yang sebenarnya secara diam-diam dilawan dengan kompensasi perilaku menghindar secara halus; dengan pergi berkebun selama berbulan-bulan di hutan, misalnya. Tetapi mereka, orang iri-ri, tidak berdaya mengubahnya. Sebab struktur adat telah membekuknya kalah, secara permanen. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa potensi kekuasaan terorganisir orang mel-mel dan sikap ketaklukan orang iri-ri, melanggengkan supremasi kewenangan mel-mel. Kewenangan itu menjadi kekuasaan, yang merajalela mulai dari batas kekuasaan di desa sampai menembusi hampir ke semua sendi hidup orang Kei, terutama di birokrasi pemerintahan, dan juga di rumah-rumah ibadah.

(9)

mau perintah atau mengatur siapa. Sebab, di wilayah ini masih kuat pengakuan bahwaren-ren, yang adalah mel-nangan berasal dari asli Kei, yakni sebagaituan tanah (tuan tan). Mereka sebenarnya jugamel-mel, tetapi karena kemampuannya yang terbatas sebagai penguasa yang hanya tahu banyak hal tentang batas-batas tanah, maka oleh penjajah Belanda mereka dimasukkan ke dalam kelompok ren-ren.

Di Kei Besar Selatan, seperti Weduar, Ohoirenan, Ohoiwait, Ohoiel, Sather, Tutrean sampai Weduarfer, persinggunganmel-meldenganren-rensangat nyata ada dalam masyarakat. Ada kejadian di masa lalu, yang menimpa orang ren-ren. Dengan strategi untuk menghindar dari persinggungan terbuka, mereka memakai alasan tertentu seperti untuk menjaga batas tanah, lalu mereka dipindahkan untuk tinggal dan membangun desa sendiri. Contohnya, seperti di desa Markeken, sebuah anak desa dari desa induk Ohoiwait. Tetapi statusnya adalah di bawah pengaturanmel-mel. Begitu juga dengan keadaan di Weduar, Oherenan, Ohoiel dan desa-desa lainnya di Kei Besar Timur.

Contoh lain tentang persinggungan mel-mel dan ren-ren terlihat di konflik sampai jatuh korban jiwa yang sudah beberapa kali terjadi di antara desa Sather, ren-ren, dengan desa Tutrean, mel-mel. Pokok pertikaian adalah mengenai hak mengelolameti, berupa hasil lola. Hal serupa terjadi juga di antara dua desa Holath atas (gunung-Katolik) dan Holath bawah (pantai-Protestan). Kedua desa berseteru tentang hak menuai hasil laut lola dan batu laga. Tetapi, perdamaian dengan penyelesaian adat di antara desa Holath atas dan Holath bawah dicapai pada tanggal 15 Januari 2001 dengan tanda hawear. Perdamaian itu dilaksanakan di woma desa Holath, di perbatasan di antara kedua desa (Sedubun, 2001, h. 24).

Sepintas kelihatan bahwa peristiwa konflik yang sering terjadi di antara kedua desa ini adalah soal ekonomi, ketika musim menuai hasil laut, yang berharga tinggi yaitu lola, dimulai. Seorang informan (BR) mengatakan bahwa sebenarnya sumbernya bukan pada soal ekonomi. Tetapi, pada prestisehidup orangmel-mel.Contohnya di desa Tutrean, orangmel-melmenegaskan bahwa meti itu mereka kuasai. Oleh sebab itu, orang Sather, yang ren-ren, harus dengar dan ikut saja bagaimana pengaturan penuaiannya, termasuk jika ada larangan untuk menuainya.

Kedua, arena eksternal. Arena ini menempati ketegangan di antara penjabaran dari berpemahaman dan berbuat sebagai gambaran ukuran amsal, ain ni ain, berhadapan dengan perkembangan hidup dengan semua pengaruhnya. Pengaruh terbesar berasal dari dunia pendidikan dan pengembangan ekonomi. Dunia pendidikan dimaksud adalah dari pendidikan formal dan informal dan pengaruh media cetak dan elektronik. Di pendidikan formal,mulokataumuatan lokal, dalam kurikulum pengajaran di tingkat SD, SMP, SMA sampai Perguruan Tinggi, ada menampung materi pengenalan identitas budaya lokal, seperti bahasa dan tradisi adat lokal. Tetapi ujungnya adalah untuk mendapatkan nilai bagus. Ia tidak memperkuat bentukan integritas dan jati diri budaya siswa atau mahasiswa bersang-kutan. Tony Labetubun, kepala SMA Negeri 1 Tual misalnya mengakui bahwa muatan lokal berisi nilai-nilai adat budaya, tetapi sasaran akhirnya adalah pada nilai raport, sehingga siswa berupaya melakukan isi kurikulum saja. Selama ia masih studi, ia tekun menjalani matapelajaran itu. Tetapi setelah tamat, bentukan muatan lokal, seperti bahasa Kei, ia lupakan.

(10)

Luis Ubra (2005) dalam tesisnya mengatakan bahwa sistem kasta yang berlaku di Kei, sejauh ini belum dapat dirubah oleh siapapun dan dengan apa pun. Sistem kasta tersebut telah mejadi bagian sistem kemasyarakatan dan diakui keberadaannya oleh masyarakat setempat. Sistem ini tidak bersifat temporer, tetapi bersifat tetap dan mengikat. Merubah sistem kasta di Kei sama saja dengan mengundang peperangan bagi masyarakat, terutama dari kasta mel-mel.

Dalam sistem kasta di Kei, pemegang kekuasaan baik pemerintahan maupun adat adalah mereka yang dikategorikan sebagai mel,dan mereka adalahmelpendatang (mel marvutun). Hal ini dikarenakan, ada konsensus dengan para pendatang ini untuk hidup saling mengatur dalam kehidupan bersama. Namun dalam perkembangan kemudian mengalami perubahan menjadi mel berkuasa atas ren, dan atas otoritas (kekuasaan) yang dimiliki mel-mel (pendatang) kemudian mengidentifikasi diri sebagai bangsawan, dir u (pemuka), wawaat (pembicara) dan ham wang (pembagi). Sementara penduduk asli tetap dengan gelar asalnya yaknituan tan(tuan tanah).Sejarah lisan yang berkembang di desa Ohoiwait misalnya, menurut Kudubun (2012), konsensus untuk saling menjaga/mengatur hidup bersama itu adalah mencakup dua hal, yakni: ngarihi tna-naidanngeran tal-tal(pembicara dan perlengkapan perang, diatur bersama). Ini menurut versimel-mel.Sedangkan menurut versiRen-rentidak ada konsesus untuk penyerahan kekuasaan, bahwa kehadiran Rahayaan dan Renwarin dari Watlaar dan Haar itu nafdu (tinggal dibawah kekuasaan) pada penduduk asli keturunanRat Kanar El. Namun dengan berjalannya waktu terjadi semacam masa kegelapan atau disebut dengan foar faraha terjemahan bebasnya sama dengan mengkambinghitamkan penduduk asli dan kemudian mengambil alih semua peran peran penduduk asli.

Hegemoni yang dilakukan oleh mel marvutun ini menjadi wacana dominan (heterodoxa -dalam bahasa Bourdieu) yang diterima, dan memperkuat posisi mereka -dalam mereproduksi tom masyarakat Kei. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsensus mungkin merupakan titik-tolak hegemoni (Patria dan Arief, 1999).

Hegemoni dalam bahasa Yunani disebuteugemonia,yang merupakan bentuk dominasi dari Negara Kota (polis) seperti Athena dan Sparta terhadap negara-negara lain, posisi kedua negara ini selalu dominan (Hendarto, 1993, h. 73). Dalam konteks saat ini, golongan mel marvutun dalam masyarakat Kei merupakan kelompok yang mendominasi kedua kelompok lainnya. Dominasi di sini bukan dalam pengertian jumlah (kuantitas), namun karena mereka berada pada posisi atas (pemimpin) dalam pemerintahan adat, dan berdampak sampai pada ranah politik (pemerintahan).

Tatanan sosial (sistem kasta) yang masyarakat Kei awalnya bersifat terbuka dalam artian mengakomodir individu-individu yang mempunyai kecakapan dalam berbicara maupun memimpin. Dalam perkembangannya sistem kasta ini menjadi tertutup sebab dalam realitasnya posisi seseorang dalam masyarakat ditentukan oleh gologannya dalam kasta. Kecakapan dalam artian tingkat pendidikan menjadi faktor terakhir yang diperhitungkan untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan.

Merujuk pada uraian yang dilakukan oleh Patria dan Arief (1999), hubungan kedua konsep (direction dan dominance) mengisyaratkan tiga hal, yakni: (1) dominasi dijalankan atas seluruh musuh, dan kepemimpinan dilakukan kepada segenap sekutu-sekutu; (2) kepemimpinan adalah suatu prakondisi untuk menaklukan aparatus negara, atau dalam pengertian sempit kekuasaan pemeritahan; dan (3) sekali kekuasaan negara dapat dicapai, dua aspek supremasi klas ini, baik pengarahan ataupun dominasi, terus berlanjut. Ketiga kesimpulan yang dilakukan oleh Patria & Arief mempunyai kemiripan dengan sistem kasta pada masyarakat Kei seperti yang telah diuraikan di atas.

(11)

berujung ada dukungan atau legitimasi dari orang atau kelompok yang dipengaruhi. Jadi, hegemoni adalah rantai kemenangan yang didapat memalui mekanisme konsensus ketimbang penindasan. Karena itu, Gramsci selalu mengaitkan konsensus dengan spontanitas bersifat psikologis yang mencakup berbagai penerimaan aturan sosiopolitis ataupun aspek-aspek aturan yang lain. Simpati merupakan proses seseorang merasa tertarik untuk memahami atau bekerjasama dengan orang lain. Pengaruh dari rasa ini biasanya lebih mendalam dan tahan lama, karena itu simpati menjadi dasar hubungan persahabatan (Soekamto, 1990). Pada kasus masyarakat Kei di Tual, rasa simpati dapat saja berujung pada bentuk dominasi, jika rasa itu dimanfaatkan oleh orang kita simpatik. Diterimanya para pendatang oleh penduduk asli didasarkan atas rasa persahabatan atau kekeluargaan. Karena itu panggilan kepada para pendatang ini adalah adik (mel-mel) dan penduduk asli adalah kakak (ren-ren), namun hal ini kemudian berujung padamelmemerintahren; meladalah kelas atas, dan renadalah kelas bawah.

D. Kesimpulan dan Implikasi

1. Kesimpulan

Meskipun agama besar telah hadir lebih dari seabad, sistem sosial yang diyakini berasal dari praktik hidup Hinduisme tidak hilang sama sekali di Tual dan Kei secara umum. Stratifikasi masyarakat Kei terwujud dalam tiga kelas/tingkatan yang oleh masyarakat disebut sebagai kasta. Wujud kasta tersebut adalah: (1)Mel-mel, mereka adalah orang-orang pendatang yang cerdik dan berani; 2)Ren-ren,mereka adalah peduduk asli, pendiri dan pemilik kampung, dan 3)Iri-ri,mereka adalah kelas pekerja atau pembantu status itu diberikan karena individu atau kelompok ini ditebus/dibayar hutangnya oleh orang lain, atau bahkan dibeli oleh orang lain yang kemudian jadikan hamba.

Ketiga strata sosial di atas tidaklah dipandang sebagai tingkatan kekuasaan seperti raja yang otoriter melainkan tingkatan karena keadaan orang dan situasi pada waktu itu. Maksudnya agar sistem kehidupan dan tata aturan yang ada dapat dibuat secara baik untuk mengatur cara hidup dalam masyarakat Kei. Dahulu memang kasta atas sering memakai tugas yang diberikan itu untuk mau berkuasa, namun kini strata sosial itu ada, tapi tidak terlalu berpengaruh karena baik Ren-ren Ataupun Iri-ri sudah memiliki pendidikan pantas. Saat ini semua masyarakat Kei sudah mengenal pendidikian dan sudah hidup lebih baik sehingga secara sosiologis ketiga kasta dalam hal tertentu tampak sudah tidak ada perbedaan.

Dalam Hukum Adat (terutamalarful ngabal) tidak ada satu pasal pun yang mengatur tentang sistem kasta. Meskipun demikian, sistem kasta yang berlaku di Kei, sejauh ini belum dapat dirubah oleh siapapun dan dengan apa pun. Sistem kasta tersebut telah mejadi bagian sistem kemasyarakatan dan diakui keberadaannya oleh masyarakat setempat. Sistem ini tidak bersifat temporer, tetapi bersifat tetap dan mengikat. Merubah sistem kasta di Kei sama saja dengan mengundang peperangan bagi masyarakat, terutama dari kasta mel-mel.

Perilaku pemisahan mel-mel terhadap ren-ren dan iri-ri, masih sangat kuat. Lokalisasi pemukiman masih tetap ada dalam tata demografi desa, terutama pada desa-desa yang masih mempertahankan hubungan dan fungsi adat dengan teguh. Kelihatannya bentuk ini sengaja dipertahankan demi memudahkan konsolidasi oleh tuan mel-mel atas orang- orang rumah atau orang-orang yang dikuasainya, yaitu orang ren-ren dan iri-ri -nya. Gambaran ini bisa dilihat dalam kondisi di desa-desa di Kei Besar dan Kota Tual.

2. Implikasi

(12)

jalan mencari kasih-Nya dalam sejarah hidup manusia Kei. Dengan mengetahui secara jelas asal-usul bentukan kasta, maka kesempatan bagi semua anak-anak Kei untuk bersama-sama membangun Maluku Tenggara terbuka dengan baik. Dengan jalan itu, tidak ada lagi bentuk-bentuk penindasan mel-melterhadapren-rendaniri-ri, seperti yang masih ada sampai sekarang. Yang ada adalahain ni ain, vuut ain mehe ngifun, manut ain mehe tilor ; atau kita (orang Kei) semua berasal dari satu sumber saja.Orang Kei patut mengatakan dan mengakui bahwa selama ini mereka hanya dibodohi oleh pembelokan sejarah buatan penjajah Belanda dan mereka sendiri juga ikut-ikutan melanggengkannya.

REFERENSI

Aninomous. (2009). Panduan Lawatan Sejarah Daerah Maluku VIII Tahun 2009 Tual-Maluku Tenggara. Ambon: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional.

Bungin, B. (2007). Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan. Publik, dan Ilmu Sosial, Jakarta: Kencana Prenama Media Group.

Creswell, J. (2003).Research Design Quantitative and Qualitative Approaches. Thousand Oaks: Sage Publication.

Eshleman J. R. & Cashion, B. G. (2000). Sociology: An Introduction Second Edition. Boston: Little, Brown & Company.

Karsidi, R. (2007).Sosiologi Pendidikan. Surakarta: UNS Press,.

Kartodirdjo, S. (1992).Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kilmanun, I. J. (1996).Hukum Adat Larvul Nagbal di Kepulauan Kei, Tual:Tidak diterbitkan.

Klinken, G. V. (2007).Perang kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kudubun, E. (2011). Agama dan Budaya Lokal Masyarakat Kei. Sumber: http://ellykudubun.wordpress.com/2011/03/18/agama-dan-budaya-lokal-masyarakat-kei/. Laksono, P. M. & Topatimasang, R. (Peny.). (2004). Ken Sa Faak, Benih-Benih Perdamaian Di

Kepulauan Kei. Tual-Yogyakarta: Nen Mas Il-Insist Press.

Laksono, P. M. (2002).The Common Ground in the Kei Islands.Yogyakarta: Galang Press.

Laksono, P. M. (2005).Wuut Ain Mehe Nifun, Manut Ain Mehe Tilor (Eggs from One Fish and One Bird, Study of the Maintenance of Social Boundaries in the Kei Island-Dessertation). Ithaca, Cornell University.

Loupatty, S. R. (2013). Sejarah Kota Tual.Jurnal Penelitian, Vol. 6, No. 5, 92-133.

Ngabalin, M. (2006). Studi Perbandingan Terhadap Konsep Tuhan Menurut Orang Kei di Kepulauan Kei dan Paulus: Studi Kasus di Desa Ohoiwait, Salatiga: Program Pascasarjana Magister Sosiologi Agama, UKSWSalatiga, tidak diterbitkan.

Noor, H. (2010). Larwul Ngabal Hukum Adat di Kepulauan Kei. Sumber: http://hasanudinnoor.blogspot.com/2010/06/larwul-ngabal-hukum-adat-di-kepulauan.html Ohoitimur, Y. (1983). Beberapa sikap Hidup Orang Kei: Antara Ketahanan Diri dan Proses Perubahan

Tesis,tidak diterbitkan. Manado: Sekolah Tinggi Seminari Pineleg.

Ohoitimur, Y. (2010). Hukum Adat dan Identitas Kultural Orang Kei. Makalah pada Seminar Aktualisasi nilai-nilai Budaya dalam Mendukung Pembangunan BangsaAmbon 22 Mei 2010, tidak diterbitkan.

Patria, N., & Arief, A. (1999).Antonio Gramsci: Negara & Hegemoni.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Pattikayhatu, J. A. (1993).Sejarah Daerah Maluku, Ambon: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.

Pattikayhatu, J. A. (1998). Sejarah Pemerintahan Adat di Kepulauan Kei Maluku Tenggara.Ambon: Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku.

Pattikayhatu, J. A. (2008). GPM dan Islam Dalam Lintasan Sejarah. Makalah pada Seminar Sejarah Gereja Protestan Maluku di Ambon 10-11 Oktober 2008,tidak diterbitkan.

(13)

Rahail, J. P. (1995).Batbatang Fidroa Fidnangan, Tata Guna Tanah dan Laut Tradisional Kepulauan Kei. Jakarta: Yayasan Sejati.

Rahayaan, A. M. (2008). Perempuan Dan Adat: Tinjauan Terhadap Kedudukan dan Peran Perempuan Dalam Hukum Larvul Ngabal di Masyarakat Kei. Tesis, tidak diterbitkan. Salatiga: Fakultas Toelogi UKSW.

Sanderson, S. K. (2003). Makro Sosiologi Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. Jakarta: PT RajaGrafindo.

Sedubun, N. (2001).Kalimat-un Sawa Dalam Qur an, Sebuah Sumbangan Pemahaman Aqidah Islam Terhadap Sumpah Perdamaian Hawear. Tesis, tidak diterbitkan. Yogyakarta: PPS-T UKDW. Sedubun, N. (2012). Ain Ni Ain: Mengelola Hubungan Kristen-Islam di Maluku Tenggara.Disertasi,

tidak diterbitkan. Jogjakarta: ATU-UKDW.

Sedubun, N. (2014).Strata Sosial.Sumber: http://ohoi-ra.blogspot.com/2014/04/strata-sosial.html. Sjaf, S. (2012). Pembentukan Identitas Etnik dalam arena Ekonomi Politik Lokal di Era Desentralisasi

(Pergulatan Politik Identitas Etnik di Kendari, Sulawesi Tenggara).Disertasi, tidak diterbitkan. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Soekanto, S. (2012). Sosiologi Suatu Pengantar. Cetakan Ke Empat Puluh Empat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Gambar

Tabel. 1. Sebaran sikap diskriminasi strata dalam desa-desa.

Referensi

Dokumen terkait