• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN - Gambaran Optimisme Suami yang Mengalami Cacat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN - Gambaran Optimisme Suami yang Mengalami Cacat"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Manusia dihadapkan dengan tugas-tugas perkembangan dalam kehidupan

sehari-hari. Ketika memasuki masa dewasa salah satu tugas perkembangan yang

akan dilalui seorang individu adalah membentuk hubungan intim melalui

pernikahan (Papalia, et. la., 2007). Setelah menikah laki-laki dan perempuan akan

memiliki peran baru sebagai suami dan istri.

Menurut pandangan tradisional, peran utama laki-laki adalah sebagai

penguasa utama rumah tangga yang memiliki hak-hak istimewa dan otoritas

terbesar dalam keluarga dan anggota keluarga yang lain harus tunduk kepadanya.

Laki-laki dalam posisinya sebagai suami dan ayah merupakan figur sentral dalam

keluarga (Kusujiarti dalam Supriyantini, 2002). Sedangkan perempuan hidup di

lingkungan rumah tangga, melahirkan dan membesarkan anak, memasak dan

memberi perhatian kepada suaminya supaya tercipta rumah tangga yang tenteram

dan sejahtera (Budiman dalam Supriyantini, 2002).

Lebih lanjut dalam Undang-Undang Pernikahan No. 1 Tahun 1974 pasal

31 ayat 3, suami adalah kepala keluarga yang menuntut suami memiliki tanggung

jawab untuk melindungi istri dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup

berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Selain melindungi istri dan

memberikan keperluan hidup (nafkah), suami juga bertanggung jawab melindungi

(2)

tangga (Widyarini, 2009). Agama juga memiliki pandangan tertentu akan peran

suami. menurut tafsiran Al-Qur’an, 4:34, suami juga berperan untuk

membimbing, mendidik, serta mengayomi keluarganya (Chusniatun, 2011) dan

menurut agama Kristen suami memiliki tanggung jawab untuk mengasihi,

melindungi, mencukupi kebutuhan, dan memimpin keluarganya sebagai kepala

keluarga. Peran sebagai kepala keluarga ini menuntut laki-laki untuk memiliki

kondisi fisik dan psikologis yang baik, namun tidak semua kepala keluarga

memiliki kondisi fisik dan psikologis yang baik. Pada beberapa keluarga, kepala

keluarga mengalami cacat yang menyebabkan keterbatasan dalam menjalankan

perannya sebagai kepala keluarga.

Kondisi cacat ini ada yang telah dimiliki sejak lahir dan ada yang dialami

selama rentang kehidupan sebelum ataupun sesudah pernikahan. Cacat sejak lahir

umumnya dialami sejak masih dalam kandungan. Cacat selain bawaan sejak lahir,

biasanya disebabkan oleh bencana alam, kecelakaan ataupun cedera dalam

melakukan aktivitas sehari-hari (Tentama dalam Kasmayati, 2013). Menurut

WHO, cacat juga disebabkan karena penyakit, trauma atau kondisi kesehatan lain

(McLean, 2007). Salah satu contohnya seperti penyakit stroke yang penderitanya

akan mengalami gangguan motorik, sensorik, kognitif ataupun berbicara sebagai

akibat dari kerusakan otak yang dialami (Sarafino & Smith, 2011).

Cacat yang dialami membuat individu cenderung merasa dirinya tidak

berdaya, kurang percaya diri, rendah diri, sensitif, cemas, dan sering kali merasa

takut dirinya akan menjadi beban bagi orang lain (Carolina dalam Suparni, 2009).

(3)

umumnya menganggap orang yang cacat sebagai orang yang tidak mampu dalam

kehidupan sosial. Penolakan masyarakat terhadap individu cacat ini menyebabkan

munculnya perasaan rendah diri, perasaan sedih dan penyesalan akan kondisinya.

Mereka akhirnya cenderung menutup diri terhadap pergaulan, kurang dapat

menyesuaikan diri dan bersosialisasi dengan lingkungan (Somantri, 2007).

Selain harus menyesuaikan diri dengan keterbatasan yang dialami, suami

juga umumnya akan mengalami beberapa perubahan berkaitan dengan perannya

sebagai kepala keluarga. Kurangnya lapangan pekerjaan bagi penyandang cacat

menyebabkan mereka mengalami kesulitan untuk mendapatkan penghasilan

sendiri. Hal ini didukung dengan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun

2002, dari 20 juta penyandang cacat di Indonesia, sekitar 80 persennya tidak

memiliki pekerjaan.

Ketika cacat dialami oleh seorang suami maka tanggung jawabnya untuk

mencari nafkah akan mengalami hambatan. Hal ini di dapat peneliti dari

komunikasi personal dengan seorang bapak yang keluar dari pekerjaannya setelah

mengalami kecelakaan, yakni:

“Ya cemana lah ya. Pertamanya itu perasaan tersiksa lah sebenarnya, tapi misalnya ingatan sudah normal perasaan ku, ngomong pun sudah kata orang, tapi kok perasaan itu seperti tertekan kali lah, kayak yang saya bilang hari itu, gara-gara ini saya diberhentikan kerja, ya dalam istilah dipensiunkan, pensiun muda lah, karena dianggap tidak mampu lagi, sementara kebutuhan kan ada, tanggungan ada, disitu sedihnya”

(H, komunikasi Personal, 3 Desember 2013)

Selain mengganggu perannya sebagai pencari nafkah dalam keluarga

peran suami lainnya seperti sebagai pelindung keluarga, pengayom dan

(4)

melakukan aktivitas sehari-hari. Peran sebagai pencari nafkah bisa saja digantikan

oleh istri. Seperti yang dituturkan Ibu Sonti dalam sebuah artikel.

“Sejak tahun 1980 suami saya sakit dan tidak bisa bekerja, padahal anak-anak masih usia 8 tahun dan baru sekolah SD.. Selanjutnya dia menceritakan, sebelum sakit, suaminya bekerja layaknya sebagai kepala keluarga. Walaupun harus kerja keras di proyek-proyek bangunan. Tetapi semenjak sakit, tanggung jawab rumah tangga dan segala kebutuhan

anak-anak termasuk biaya sekolah dia pikul sepenuhnya seorang diri.”

(http://m.merdeka.com/peristiwa/perjuangan-guru-sd-dengan-suami-stres-besarkan-dua-anak.html).

Istri yang pasangannya mengalami keterbatasan sejak sebelum menikah

lebih siap dengan kondisi rumah tangga yang akan sedikit berbeda dengan

keluarga lain. Sedangkan pada istri yang awalnya memiliki pasangan dengan fisik

sempurna namun sekarang memiliki suami dengan keterbatasan, hal ini bisa

menjadi sumber konflik dalam keluarga. Masalah keuangan contohnya, dimana

istri yang awalnya tidak bekerja terkadang harus menggantikan peran suami

sebagai tulang punggung keluarga. Ketika istri memang sudah bekerja

sebelumnya (dual-earn family) (DeGenova, 2008), masalah keuangan mungkin

tidak akan terlalu berpengaruh. Akan tetapi ketika peran lainnya tidak dapat

dijalankan maka hal ini tentu saja mempengaruhi pandangan keluarga serta

pandangan laki-laki tersebut terhadap perannya sebagai kepala keluarga.

Perubahan yang dialami ini akan menjadi sumber stres bagi individu. Stres

merupakan kondisi ketika interaksi individu dengan lingkungan mengarahkan

individu berpandangan bahwa ada ketidaksesuaian antara tuntutan fisik dan

psikologis terhadap situasi dan sumber biologis, psikologis dan sistem sosial

sosial (Sarafino & Smith , 2011). Stres akan mempengaruhi sistem dalam tubuh

(5)

ini penting bagi individu untuk dapat melakukan coping. Carr (2004) individu

yang optimis akan melakukan coping yang untuk dapat mencapai tujuan yang

diinginkan.

Carver dan Scheier (2001) mengembangkan teoriexpectancy-value model.

Menurut teori ini individu yang optimis akan memiliki harapan lebih banyak hal

baik (positif) yang terjadi di masa depan. Ada dua aspek yang membuat individu

bertindak yaitu tujuan dan ekspektasi. Semakin penting tujuan yang akan maka

individu akan semakin termotivasi untuk mencapainya. Sedangkan ekspektasi

akan mempengaruhi individu untuk memberikan respon ketika menghadapi

kesulitan atau masalah. Individu yang optimis akan tetap percaya diri dan gigih

dapat menyelesaikan kesulitan yang dihadapinya. Optimisme merupakan

expectancy (ekspektasi) bahwa akan lebih banyak hal baik yang terjadi daripada

hal buruk di masa depan (Carr, 2004).

Keuntungan optimis menurut Ginnis (dalam Kasmayati, 2013) antara lain

hidup lebih bertahan lama, kesehatan lebih baik, menggunakan waktu lebih

bersemangat dan berenergi, berusaha keras mencapai tujuan, lebih berprestasi

dalam potensinya, mengerjakan sesuatu jadi lebih baik seperti dalam hubungan

sosial, pendidikan, pekerjaan dan olahraga. Jika dikaitkan pada suami yang

mengalami cacat maka diharapkan suami optimis akan lebih mampu

menyesuaikan diri dengan kondisinya.

Di bidang kesehatan selain mampu meningkatkan kesehatan tubuh dan

(6)

lain stres seperti rasa takut, kecemasan dan marah (Sarafino & Smith, 2011) juga

lebih sedikit dibandingkan individu pesimis.

Melihat adanya peran penting optimis membuat peneliti tertarik untuk

melihat bagaimana gambaran optimisme suami yang mengalami cacat.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkah latar belakang yang telah dijelaskan diatas, dapat disusun

permasalahan, yaitu: “apakah suami yang mengalami cacat memiliki optimisme”

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran

optimisme suami yang mengalami cacat.

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini memiliki manfaat baik secara teoritis maupun praktis, yaitu:

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi dan

pemikiran untuk mengembangkan ilmu Psikologi, terutama Psikologi Klinis.

2. Manfaat praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan serta pengetahuan

(7)

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi

pada istri dan keluarga yang memiliki suami atau anggota keluarga

yang cacat.

E. SISTEMATIKA PENELITIAN

Sistematika penulisan penelitian ini sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang

menjadi objek penelitian. Memuat landasan teori tentang optimisme

dan cacat fisik.

Bab III : Metode Penelitian

Berisikan mengenai metode-metode dalam penelitian yaitu

identifikasi variabel, definisi operasional variabel penelitian, subjek

penelitian, lokasi penelitian, instrumen dan alat ukur yang

digunakan, metode pengambilan sampel, prosedur pelaksanaan

penelitian dan metode analisis data.

Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan

Memuat hasil pengolahan data, gambaran umum subjek penelitian,

(8)

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Definisi grid (balok silang) adalah kerangka yang terdiri dari dua atau lebih bagian konstruksi yang disambungkan secara kaku (guna stabilitas) pada arah mendatar, umumnya

Keberadaan bakteri Listeria monocytogenes di dalam susu segar tidak memperlihatkanpe- rubahan fisik baik dari Berat Jenis, kandungan asam laktat, warna, bau dan konsistensi, tetapi

Bahan ini tidak dapat beradaptasi dengan dentin, tidak dapat merangsang difrensiasi odontoblas secara konsisten, sitotoksik pada sel, dan pH yang tinggi menyebabkan

Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Osborne (2002) bahwa kemampuan membaca pemahaman memiliki keterkaitan dengan kemampuan literasi sains, membaca

Pada hasil penelitian ini dalam tabel 3 dan tabel 4, menunjukkan kualitas hidup pada masing-masing kelompok kontrol dan kelompok eksperimen mengalami peningkatan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh leverage, likuiditas, perputaran modal kerja dan perputaran total aset berpengaruh terhadap profitabilitas pada

Dalam studi manajemen, kehadiran konflik pendidikan tidak bisa terlepas dari permasalahan keseharian yang dirasakan oleh pengelola lembaga pendidikan. Konflik tersebut