• Tidak ada hasil yang ditemukan

makalah studi syariat islam di aceh qanu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "makalah studi syariat islam di aceh qanu"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

A. Pendahuluan a. Latar Belakang

Nanggroe Aceh Darussalam di kenal dengan sebutan seramoe mekkah (serambi mekkah). Nafas islam begitu menyatu dalam adat budaya orang Aceh sehingga aktifitas budaya kerap berazaskan islam. Contoh paling dekat adalah pembuatan rencong sebagai senjata tradisional di ilhami dari Bismillah. Seni tari-tarian seudati konon katanya berasal dari kata syahadatain, dua kata untuk meresmikan diri menjadi pemeluk islam.

Saat syariat islam secara kaffah dideklarasikan pada tahun 2001, pro dan kontra terus bermunculan sampai sekarang. Keterlibatan pemerintah dituding ada unsur politik untuk memblokir bantuan Negara non muslim terhadap kekuatan GAM ( gerakan Aceh merdeka).

Sebagai komitmen bersama atas perdamaian antara Pemerintahan RI dengan Gerakan Aceh Merdeka ( GAM ), maka dilahirkanlah Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh ( UUPA ). UUPA merupakan harapan baru bagi masyarakat aceh untuk mewujudkan kesejahteraan dalam perdamaian abadi. Lahirnya Undang-Undang Pemerintahan Aceh ( UUPA ) merupakan satu tonggak sejarah dalam perjalanan bangsa Indonesia, khususnya bagi masyarakat Aceh, karena

dengan undang-undang ini

tercurah harapan untuk terciptanya perdamaian yang langgeng, menyeluruh, a dil, dan bermartabat, sekaligus sebagai wahana pelaksanaan pembangunan dal am rangka mewujudkan masyarakat Aceh yang sejahtera. UUPA sendiri terdiri dari 40Bab dan 273 Pasal.

(2)

ketentuan hukum public antara lain Qanun maisyir (judi), khamar (minumankeras), khalwat (mesum) sudah ditandatangani oleh gubernur sebagai Qanun yang dinyatakan berlaku di aceh.

Dalam hubungannya dengan syariat islam di aceh, mahkamah syariah aceh padatingkat provinsi dan mahkamah syariah pada tingkat kota madya/

kabupaten merupakan lembaga yang berwenang megadili perkara- perkara pelanggaran berkaitan dengan Qanun yang sudahditandatangani.

b. Rumusan masalah

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka dapat lah diketahui rumusan tentang qanun syariat islam sebagai berikut:

1. Defenisi , 2. Eksistensi, dan 3. Esensinya .

B. Pembahasan

a. Definisi(Qanun Syariat Islam)

Qanun artinya hukum yang telah memiliki dasar dan teori yang matang dengan melalui dua proses, yaitu proses pembudidayaan hukum dan diformalkan oleh lembaga legislatif.1 Dengan kata lain, qanun merupakan

hukum positif yang berlaku pada satu negara yang dibuat oleh pemerintah, sifatnya mengikat, dan ada sanksi bagi yang melanggarnya. Qanun dalam arti hukum tertulis yang telah diundangkan oleh negara bertujuan untuk:

a. Mendatangkan kemakmuran;

b. Mengatur pergaulan hidup manusia secara damai; c. Mencapai dan menegakkan keadilan.

d. Menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya tidak terganggu.2

1 http://tpelaksakakka-aakiak--aalakm-dia-kceeh.bllagsatpg-.cegm/

(3)

Dasar berlakunya Qanun adalah undang-undang tentang otonomi khusus

Aceh,Dalam undang-undang nomor 18 disebutkan bahwa

mahkamah syar’iyah akan melaksanakan syariat islam yang di tuangkan ke dalam Qanun terlebih dahulu. Qanun merupakan peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah Aceh untuk melaksanakan syariat islam bagi pemeluknya diAceh. Adapun Qanun yang telah diberlakukan antara lain :

1. Qanun nomor 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat islam bidang aqidah, ibadah dan syariat islam.

2. Qanun nomor 12 tahun 2003 tentang larangan khamar (minuman keras), pelaku yang mengkonsumsi khamar akan dijatuhi hukuman cambuk 40 kali. Hakim tidak di beri izin untuk memilih (besar kecil atau tinggi rendah) hukuman. Bagi yang memproduksi khamar dijatuhi hukuman ta’zir berupa kurungan paling lama satu tahun, paling sedikit 3 bulan dan denda paling banyak Rp. 75.000.000 (tujuh puluh lima juta) dan paling sedikit Rp.25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah).

3. Qanun nomor 13 tahun 2003 tentang larangan maysir (perjudian).

Syariat ( legislasi ) adalah semua peraturan agama yang ditetapkan oleh ALLAH untuk kaum muslimin, baik yang ditetapkan dengan Al-Qur’an maupun dengan sunnah Rasul. Syariat islam, secara etimologi (bahasa) bermakna jalan yang dilewati untuk menuju sumber air, bertujuan untuk memberikan kemaslahatan kepada manusia.

Menurut Ali dalam Nurhafni dan Maryam (2006:61) “syariat islam secara harfiah adalah jalan(ketepian mandi), yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap muslim, syariat merupakan jalan hidup muslim, syariat memuat ketetapan Allah dan Rasulnya, baik berupa larangan maupun suruhan yang meliputi seluruh aspek manusia.” Manusia tidak bisa hidup tanpa sumber air, dengan kata lain manusia tidak bisa hidup tanpa syariat yang mengantarkan manusia mendapatkan hidup yang lebih baik.

(4)

mengatur hubungan manusia dengan Allah (hablumminallah) dan hubungan manusia dengan sesamanya (hablumminannas).

Dalam konteks itu, UU No.44 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keistimewaan Aceh dan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, mengamanahkan pelaksanaan syariat Islam secara kaffah dari perkara ibadah (hablumminallah), muamalah (hablumminannas), syiar, pendidikan, jinayah sampai kepada perkara dusturiah. Jadi totalitas dari ajaran Alquran dan Hadis harus diterapkan secara menyeluruh dan konprehensif di Aceh.3

Setiap aspek kehidupan dalam syariat islam pelaksanaanya tidak hanya sebatas memerintah, melarang, menghalalkan dan mengharamkan tanpa punya maksud dan tujuan tertentu, seluruh hukum-hukumnya memiliki ‘illat(sebab) yang dapat dipahami atau dijangkau oleh rasio/pikiran manusia serta mempunyai maksud dan latar belakangnya, kecuali sebahagiannya yang bersifat ta’abbuddi dan yang hikmahnya tidak masuk akal(ma’qul) yaitu ada rincian rahasia di balik pensyari’atannya itu(Yusuf Qardhawi 1994).4

b. Eksistensi(Qanun Syariat Islam)

Menurut bahasa, eksistensi artinya adanya atau keberadaan.5 Penerapan

syariat Islam di aceh di bentuk didalam peraturan daerah (qanun) yang ditetapkan oleh Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Masukan substansi Syari’at Islam sebagai bahan pembuatan Qanun (perda) berasal dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), sebagai badan normatif yang memiliki kedudukan sebagai mitra sejajar dengan Pemerintahan Aceh. Adapun tugas MPU adalah memberikan masukan, pertimbangan, bimbingan dan nasihat serta saran-saran dalam mengeluarkan kebijakan daerah dari aspek Syariat Islam, baik kepada Pemerintahan Aceh maupun kepada masyarakat. Masukan pertimbangan dan saran ditujukan terhadap kebijakan

3 http://kceeh.-iabluaaewa.cegm/2114/18/18/dialaemkta-tpelaksakakka-aakiak--aalakm-dia-kceeh

4 http://tpelaksakakka-aakiak--aalakm-dia-kceeh.bllagsatpg-.cegm/

(5)

daerah, agar kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Aceh tidak menyimpang dari prinsip-prinsip Syariat Islam.

Perda syariah (qanun) ini sangat berbeda dengan peraturan-peraturan lainnya, selain proses pembuatannya yang mengikutsertakan ulama-ulama agama, dasar pembentukannya juga berbeda. Hukum-hukum yang umum (kulliyah) yang menjadi nas-nas hukum di dalam Syari’at Islam itu adalah sebagai “qawa’id ‘ammah” (aturan umum) untuk menyusun UU Islam. Atas dasar qawa’id ‘ammah inilah Syari’at Islam berjalan dengan memberikan mandat yang sepenuhnya kepada “Uli al-Amr” (Raja atau Pemerintah) untuk melaksanakan hukum-hukum tersebut dengan mengikuti saluran dasar dan nas-nas yang telah ditentukan di dalam Syari’at Islam melalui al-Qur’an dan Sunnah yang menjadi sumber utama pembentukan hukum.

UUPA sangat luas, mencakup semua aspek kehidupan menurut Islam. Syariat Islam diartikan sebagai tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan. Oleh karena pengertian Syariat Islam dirumuskan dalam aspek yang sangat luas, maka dalam praktik pelaksanaannya akan mengalami kesukaran-kesukaran. Kesukaran yang utama adalah adanya ketentuan yang membatasi wewenang Pemerintah Aceh dalam mengeluarkan Qanun/perda dan Peraturan Gubernur, dimana setiap Qanun tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Qanun lain dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.6

Pemerintah daerah nanggroe aceh Darussalam, telah menetapkan beberapa qanun yang mengatur tentang tindak pidana syariat, yaitu qanun no. 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syari’at islam bidang aqidah, ibadah syi’ar islam. Qanun no. 12 tahun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya, qanun no. 13 tahun 2003 tentang maisir (perjudian), qanun no 14 tahun 2003 tentang khalwat (mesum).

Qanun-qanun tersebut mempunyai kekuatan hukum yang kuat bila ditinjau secara hukum kenegaraan , karena telah difasilitasi atau didukung oleh

6

(6)

undang-undang pemerintahan aceh (UUPA). Peraturan tentang syari’at islam pelaksanaannya dalam UUPA tersebut tertera pada bab XVII pasal 125.

1. Syari’at islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syari’ah dan akhlak.

2. Syari’at islam meliputi ibadah, ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), mu’amalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syi’ar dan pembelaan islam.

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan syari’at islam diatur dalam qanun aceh.

Materi UUPA dan beberapa qanun tersebut adalah ketetapan atau peraturan-peraturan mengenai tindak pidana yang dibuat oleh pemerintah daerah untuk mengatur masyarakatnya, supaya menjadi taat dan lebih baik dalam menjalani kehidupan ini, tanpa melanggar hak-hak Allah dan hak-hak manusia.7

Rancangan Qanun (Raqan) Aceh tentang Pokok-pokok Syariat Islam mengatur mengenai prinsip-prinsip dasar pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Oleh karena itu, raqan tersebut akan menjadi payung hukum pelaksanaan syariat Islam. Setiap produk hukum daerah yang terkait dengan pelaksanaan syariat Islam di Aceh harus mengacu padanya, di samping Pasal 125-127 Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), dimana penyelengaraan syariat Islam merupakan tanggung jawab daripada Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota.

Aceh adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat untuk melaksanakan syariat Islam secara menyeluruh. Kewenangan untuk melaksanakan syariat Islam tersebut diberikan melalui serangkai Undang-Undang (UU) nasional dan Keputusan Presiden (Kepres).

Awalnya, kewenangan untuk melaksanakan Syariat Islam sekarang ini dituangkan melalui UUNo. 44 Tahun 2009, sebagai salah satu solusi untuk

7Syahrizal dkk, Pemikiran hukum dalam implementasi syariah islam di aceh,(NAD: Dinas syariat

(7)

mengakhiri konflik berdarah yang berkepanjangan di Aceh. Muatan UU tersebut kemudian diperkuat oleh Kepres No. 11 Tahun 2003.Pemerintah Aceh berpandangan bahwa keputusan tersebut masih dianggap kurang mendukung pelaksanaaan Islam syariat Islam yang menyeluruh di bumi serambi Mekkah ini. Setelah kesepakatan damai diraih, pelaksanaan syariat Islam kemudian diperkuat oleh pemerintah Indonesia melalui UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh atau yang lebih dikenal dengan UUPA.

Untuk mengaktualisasi serangkaian UU dan Kepres yang mendukung pelaksanaan syariat Islam tersebut, pemerintah bersama-sama dengan ulama menyusun serangkai peraturan daerah, yang kemudian disebut dengan qanun.

Qanun-qanun tentang syariat Islam tersebut termuat dalam Perda tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam, Qanun Tahun 2002 tentang Peradilan Islam, Aqidah, Ibadah, dan Syariat Islam, Qanun 2003 tentang Khamar, Maisir, dan Khalwat, dan 2004 tentang Pengelolaan Zakat. Pelaksanaan syariat Islam di Aceh selalu mengacu pada Qanun-qanun tersebut. Dalam dataran realitas pelaksanaan syariat Islam sering terlihat hanya pada permasalahan etika berpakaian, khalwat, dan mempertahankan system aqidah Ahlu Sunnah wa Jama’ah. Pelaksanaan syariat Islam di provinsi ini belum terlihat mampu dijabarkan dalam lingkup yang lebih luas semisal dalam bidang ekonomi, politik, pendidikan, HAM, dan pelayanan publik. Ada yang berpendapat tentang kendala yang menyebabkan belum mampunya Syariat Islam di Aceh merambah pada permasalahan-permasalahan pengelolaan pemerintahan dan urusan publik. Di antara permasalahan tersebut adalah:

1. Syariat dijalankan dengan “cara-cara yang sekuler”

Selama ini syariat Islam dijalankan oleh satu lembaga yang tidak memiki hubungan komunikasi dan koordinasi yang kuat dengan dinas lainnya. Di lapangan, dinas ini lebih terlihat menjalankan fungsi administrasi dan fasilitasi bantuan pemerintah ke masyarakat, seperti penyaluran bantuan dana pembangunan mesjid dan atribut-atribut mesjid.

(8)

jauh berbeda dengan dinas Syariat Islam, namun keadaan tersebut bahkan terjadi pada lembaga yang memiliki tugas dan fungsi yang hampir mirip seperti dinas syariat Islam yaitu Wilayatul Hisbah dan Satpol PP, yang tidak saling tahu program kerja, aktivitas dan capaian yang dilakukan oleh dinas lainnya. Hal ini terungkap ketika penulis mengikuti pelatihan penulisan Renstra yang diselenggarakan oleh Forum Peneliti Aceh yang didanai oleh WordBank beberapa waktu lalu.

Dengan keadaan yang demikian, seolah-olah syariat Islam hanyalah menjadi urusan dinas syariat Islam atau WH dan tengku-tengku dayah.Urusan syariat Islam terpisah dari urusan pembangunan manusia dan non-manusia yang diselenggarakan oleh pemerintah Aceh. Hal ini terjadi karena dinas syariat Islam dibatasi kewenangan hanya pada permasalahan-permasalahan syariat yang dimaknai secara sempit.Sehingga wajar sekali bila pelaksanaan syariat Islam di Aceh berjalan di tempat dan hanya berkutit pada permasalahan khalwat, etika berpakaian, klaim aliran sesat selain aliran Ahlu sunnah wal jama’ah dan permasalahan-permasalahan individu lainnya.

2. Terlalu banyak dinas untuk mengurusi permasalahan agama.

Dengan dilaksanakannya syariat Islam di Aceh, praktis bertambahnya dinas untuk menjamin pelaksanaannya tersebut.Awalnya hanya ada satu yang ditambah yaitu dinas syariat Islam dimana WH merupakan bagian yang tidak terpisahkan darinya. Kemudian disusul dengan pembentukan Mahkamah Syari’ah. Pada masa Pemerintahan Irwandi, WH dileburkan ke dalam bagian satpol PP. sehingga permasalahan syariat Islam ditangani oleh minimalnya 2 lembaga; dinas syariat Islam, berfungsi melahirkan Qanun dan administrasi keagamaan, dan satpol PP/WH berfungsi sebagai pengontrol dan pelaksana lapangan. Ini belum termasuk Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dan organisasi-organisasi tengku activist seperti HUDA dan MUNA, serta Kementerian Agama wilayah Aceh.

(9)

ternyata semakin banyak lembaga pemerintahan yang menanggani urusan tersebut, pelaksanaan syariat Islam menjadi semakin rumit.Hal ini barangkali terjadi karena adanya ego sektoral, dimana masing-masing lembaga ingin tampil di depan sehingga mengabaikan koordinasi dan komunikasi antar lembaga. Serta dibatasinya kewenangan dinas syariat Islam sehingga membatasi intensitas pelaksanaan yang berakibat pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintahan.

3. Syariat Islam ditangan rakyat.

Dengan menurunnya kepercayaan masyarakat tersebut, sehingga pelaksanaan syariat Islam di Aceh sangat beragam antar satu kabupaten dan kabupaten lainnya dan satu desa dengan desa lainnya. Ketidakpercayaan dan kejenuhan terhadap kemampuan pemerintah juga mengakibatkan masyarakat untuk main hakim sendiri. Sering sekali kita membaca berita di mana pelanggar terlebih dahulu dihakimi massa sebelum kemudian diserahkan ke polisi.

Hal ini ditambah “unik” dengan diberikannya kewenangan lembaga adat untuk menerapkan hukum-hukum adat terhadap pelaksanaan syariat Islam.Meskipun secara teoritis Islam mengenal dan mengakui hukum adat sebagai bagian dari pelaksanaan hukum Islam. Malah beberapa ulama sunni seperti Abu Hasan Ali Al – Mawardi dalam kitab adab sangat merekomendasikan penerapan hukum adat tersebut sebagai pelengkap syariat, namun dengan kondisi sosial Aceh yang memiliki minimalnya 5 etnis, penerapan hukum menjadi sangat beragam.

(10)

melakukan perbuatan-perbuatan buruk terhadap diri sendiri dan orang banyak. Sehingga para pendatang juga dapat bersikap sama ketika berapa di beberapa kabupaten berbeda di Aceh.

c. Esensi(Qanun Syariat Islam)

Menurut bahasa, esensi artinya hakikat, inti atau hal yang pokok.8

Semenjak adanya hak otonomi khusus, Aceh mulai membenah diri dalam menjalankan peraturan agama di bawah naungan konstitusi negara. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa beberapa undang-undang yang berkaitan dengan pelaksanaan syariat Islam telah dirintis dan diterapkan di Aceh. Pada saat yang bersamaan, undang-undang tersebut kenyataannya masih berkutat pada tataran regulasi yang masih jauh dari implementasi yang komprehensif. Asumsi ini diperkuat oleh kenyataan syariat Islam yang ada sekarang di Aceh belum menyentuh subtansi, namun semua itu masih sebatas simbol-simbol Islam. Di samping itu, beberapa undang-undang yang sudah diimplemantasi juga belum menyentuh semua element masyarakat Aceh dan juga belum mencakup kepada seluruh sisi-sisi kehidupan. Padahal bila dikaitkan dengan slogan syariat Islam Kaffah, realitas yang tampak ke permukaan saat ini ternyata masih sangat jauh dari konsep Kaffah yang dipahami secara sesungguhnya.

Salah satu penghambat penerapan Syariat Islam Kaffah hingga saat ini pada umumnya adalah kurangnya pemahaman masyarakat Aceh sendiri tentang bagaimana Islam Kaffah pada hakikatnya. Pada sisi lain, ketergantungan sebagian masyarakat pada kebiasaan buruk akibat mengikuti arus global seperti busana yang tidak Islami, pergaulan bebas, korupsi dan perilaku yang dicontohkan oleh para pemimpin, juga menjadi penyebab terhambatnya implementasi syariat Islam Kaffah.9

Selain itu, tidak terwujudnya kerja sama antara intansi-intansi pemerintahan sesuai fungsinya masing-masing merupakan faktor tidak

(11)

maksimalnya implementasi syariat Islam Kaffah yang di emban oleh instansi terkait, yang dalam hal ini adalah dinas syariat Islam (DSI).10 Untuk

berpartisipasi dalam menunjang implementasi syariat Islam kaffah di Aceh sejak disahkannya undang-undang tentang syariat Islam, sebagian intelektual muslim Aceh telah berupaya merumuskan dan menyediakan konsep-konsep pelaksanaannya, tetapi terkadang konsep tersebut belum mewakili aspirasi dari intelektual lainnya sehingga menimbulkan berbagai kritikan dan debat kusir yang tentunya tidak membawa efek positif. Sementara itu para intelektual yang merasa aspirasinya tidak terakomodir juga tidak menawarkan konsep lain yang lebih solutif dan konstruktif. Akibatnya pelaksanaan syariat Islam yang bedasarkan kepada konsep yang ada juga mengalami stagnan.

Kenyataan yang terjadi setelah penerapan syari’at islam seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa, semua orang menginginkan pelaksanaan syari’at islam secara kaffah, namun dalam kenyataannya setelah hampir tujuh tahun sejak gendang syari’at islam ditabuh belum menunjukkan hasil yang maksimal.

Ada sebagian orang menginginkan syari’at islam diterapkan secara utuh dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dengan tidak melihat kemampuan masyarakat dan sumber daya manusia yang tersedia dalam mengamalkan syari’at islam. Padahal semua orang tahu bahwa, pemahaman agama di aceh sudah jauh tertinggal akibat dikebirinya pendidikan agama sejak puluhan tahun yang lalu, maka jika sekitar syari’at islam ingin diterapkan secara ekstrim ditengah-tengah masyarakat dikhawatirkan akan menimbulkan konflik baru atau hal-hal yang tidak diharapkan. Oleh karena itu penerapan syari’at islam dalam suatu wilayah tertentu harus disesuaikan dengan tingkat pemahaman masyarakat tertentu dan dilaksanakan secara bertahap, meskipun dalam segala aspek kehidupan. Sebab seperti kata rusjdi Ali Muhammad, tidak mudah untuk menemukan format implementasi syari’at islam yang aplikatif meskipun

11

(12)

sebahagian ajaran islam telah diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, apalagi kalau pelaksanaan syari’at islam tersebut tidak ada keseriusan para penguasa untuk memulai dan memprakarsai jalannya syari’ah, maka rakyat tidak mungkin dan tidak sanggup memulainya apalagi dengan kondisi aceh hari ini, yang penuh kenikmatan duniawi.

Jelasnya, tidak mudah menerapkan syari’at islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan meskipun itu menjadi harapan semua orang, tapi setidaknya ada usaha sedikit demi sedikit kearah itu. Nabi saja perlu waktu selama hampir seperempat abad untuk menerapakan syari’at islam secara kaffah baru mendapat penggakuan dari allah dengan turunnya ayat Allah surat al-maidah ayat 3 yang artinya: “pada hari ini telah aku sempurnakan buat kamu agama kamu, dan aku telah sempurnakan nikmat ku padamu dan aku telah rela islam agamamu”.

Dalam konferensi internasional tanggal, 19-21 juli yang lalu di Hermes Place Banda Aceh banyak pihak yang menggungat tentang kenyataan yang terjadi setelah diberlakukan syari’at islam di NAD misalnya Dr.Musda Mulia, mengatakan bahwa perda-perda syari’at belum menyentuh kaum perempuan, “alih-alih mensejahterakan malahan membuat masyarakat, khususnya kaum perempuan terpinggirkan dan jauh dari ukuran sejahtera,”pemaksaan penggunaan jilbab bagi perempuan, pengekangan kebebasan beraktivitas bagi perempuan di ranah publik lebih lanjut beliau mengatakan bahwa, “ jelas sekali terlihat bahwa implementasi syari’at islam di aceh dan daerah-daerah lainnya di Indonesia selalu dimulai dengan mengontrol tubuh perempuan, membatasi gerak dan aktivitas perempuan, dan merumahkan kembali kaum perempuan.” Intinya adalah berbagai qanun bernuansa syariat yang dimunculkan menurutnya selalu mendekriditkan perempuan, dan syariat islam menjadikan perempuan sebagai objek sasaran dalam berbagai hal.

(13)

melakukan perbuatan mesum dan sebagainya? Pelaksanaan syari’at islam di aceh mampu mewujudkan berbagai harapan sebagaimana yang telah dikemukan sebelumnya, akan tetapi faktanya masih mimpi karena syari’at terpinggirkan oleh birokrasi berwajah garang.

Disamping itu, seperti telah dikemukan sebelumnya bahwa dari beberapa harapan yang dikemukakan non muslim terlihat jelas wujud kekhawatiran mereka tentang pelaksanaan syari’at islam di NAD, meskipun sudah beberapa kali ditegaskan bahwa syari’at islam hanya berlaku bagi orang islam, tapi mereka tetap khawatir bahwa mereka tidak akan mendapatkan peluang untuk hidup layak sebagai orang kristiani untuk menjadi Kristen yang baik. Terlebih lagi oleh adanya kenyataan yang merupakan gerakan fundamentalis atau muslim militan yang di anggap begitu bersemangat untuk menghancurkan agama lain. Kekhawatiran ini memang harus kita ketahui dan kita pelajari, sebab non muslim pada dasarnya ingin menjauhkan umat islam dari syari’atnya.

(14)

KESIMPULAN

Dari uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa masa depan syariat islam di NAD tidak hanya buntuk kepentingan masyarakat aceh semata-mata, akan tetap juga untuk kepentingan daerah-daerah lain di Indonesia, terutama daerah-daerah lain di Indonesia yang memiliki akar keislaman yang kuat dan telah pula mencanangkan penerapan syariat islam di Aceh. Untuk menjadi motivasi bagi daerah- daerah lain yang ingin dan sedang menerapkan syariat islam.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam proses pembuatan media pembelajaran sistem pengisian, diperlukan alat dan bahan serta komponen yang tepat. Alat, bahan dan komponen tersebut harus dapat

Hasil analisis percepatan getaran tanah maksimum menggunakan model empiris yang diusulkan oleh Patwardhan untuk wilayah Yogyakarta dan sekitarnya periode gempa 1980-2010

Persepsi stakeholder tentang faktor – faktor (dukungan politik, stabilitas dana, partnership, kapasitas organisasi, evaluasi program, program adaptasi, komunikasi,

melalui uji signifikansi yakni menggunakan uji F, didapatkan data bahwa nilai F hitung18.870 dengan probabilitas 0.00, dimana probabilitas lebih kecil dari 0,05

Dalam kutipan di atas dapat kita lihat wujud mitos pada kalimat ‘Di kerajaan ini tidak ada \DQJ PDPSX PHPEXND UDKDVLD PDQWUD SHQ\LEDN KDOLPXQ WHUNHFXDOL GLD RUDQJ \DQJ

Berdasarkan analisis data dengan pendekatanstruktural yang dilakukan terhadap mantra Suku Dayak Salako di Desa Bagak Sahwa Kecamatan Singkawang Timur, maka peneliti dapat

MEDAN 2018.. Medan: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan relasi makna yang

Tugas dan wewenang dari owner/pemilik proyek berdasarkan aplikasi di lapangan ada beberapa hal yang berbeda dengan teori yaitu Owner pada proyek pembangunan Hotel Grand Viveana