• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEMATIAN KEBANGKITAN BADAN DAN KEHIDUPAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEMATIAN KEBANGKITAN BADAN DAN KEHIDUPAN"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

KEMATIAN, KEBANGKITAN BADAN, DAN

KEHIDUPAN KEKAL ORANG JAWA KATOLIK

(dalam Novel

Simple Miracles Doa dan Arwah

Karya Ayu

Utami)

Teks Final Seminar Teologi Sistematis

Oleh:

Alvarian Utomo, O.Carm

14061

Sekolah Tinggi Filsafat Teologi

Widya Sasana Malang

▸ Baca selengkapnya: renungan 100 hari kematian katolik

(2)

I. Pendahuluan a. Latar Belakang

Kematian dan kebangkitan badan adalah misteri yang selalu menarik untuk dibicarakan. Banyak orang selalu penasaran mengenai kedua hal itu. Ada yang bertanya-tanya kapan dirinya mati, apa yang terjadi setelah kematian, apakah saudaranya yang mati itu sudah masuk ke surga, bagaimanakah kebangkitan itu, dan masih banyak pertanyaan lain lagi. Semua pertanyaan itu tidak pernah tuntas dijawab sampai sekarang. Bahkan kemajuan dunia kedokteran pun tidak bisa mengatasinya. Misteri kematian dan kebangkitan itu menjadi seperti pelajaran filsafat. Ia selalu mengundang pertanyaan dan jawabannya tidak pernah tuntas.

Orang Jawa mempunyai pandangannya sendiri mengenai kematian dan kebangkita badan. Dalam upacara memperingati kematian, orang Jawa mempunyai perhitungan seperti tujuh hari, empatpuluh hari, dan seribu hari. Dibalik itu semua pun ada cerita-cerita, seperti ketika tujuh hari arwah orang yang meninggal masih ada di kamarnya, maka tidak ada seorang pun yang boleh tidur di sana, bahkan oleh pasangan hidupnya. Pada saat itu, keluarga harus berjaga dan berdoa sepanjang satu pekan.

Gereja Katolik tidak mempunyai perhitungan semacam itu, kecuali untuk orang Jawa yang katolik. Pandangan Gereja terkait dengan kematian sering kali dihubungkan dengan kematian dan kebangkitan Kristus. Santo Ambrosius, seorang Uskup Milan dan pujangga Gereja pernah menuliskan bahwa kematian itu adalah obat bagi kita1. Dengan kematian orang Kristiani dibebaskan dari dosa dan dipersatukan secara nyata dengan Yesus Kristus. Dengan kematian ia bangkit dan tinggal di rumah Tuhan seumur hidup.

Ayu Utami mempunyai pengalaman yang menarik terkait dengan kematian. Ia melalui novel Simple Miracles Doa dan Arwah yang dikarangnya menuliskan pengalaman tersebut. Kepercayaan Jawa seputar kematian, arwah, dan kebangkitan badan dalam pengalamannya itu, ia kupas dengan baik. Ia menunjukkan suatu pengalaman iman yang kritis terhadap hal itu.

Novel ini sangat menarik bagi saya untuk dijadikan sebagai paper teks final seminar. Dengan demikian, tujuan utama saya adalah memenuhi tugas Seminar Teologi Sistematis. Selain itu, semoga paper ini berguna bagi orang Jawa Katolik dalam menghayati imannya akan kematian dan kebangkitan badan.

(3)

Dalam paper ini saya mencoba mendalami novel karangan Ayu Utami dalam terang iman Kristiani. Maka dari itu, isi paper ini dibagi dalam tiga bab sesuai dengan pembagian bab yang ada dalam novel. Terkait dengan hal ini, metode yang saya gunakan adalah menggunakan perbandingan antar teks. Pada setiap bab itu, pertama saya akan mengutip teks dari novel, lalu menambahkan pandangan orang Jawa yang ada di dalamnya dan selanjutnya saya memaparkan pandangan Katolik dan memberikan kesimpulan kecil. Pada bagian akhir saya akan merefleksikannya secara teologis dan kristologis serta memberikan kesimpulan.

b. Tentang Ayu Utami

Mengikuti catatan akhir dari novel Simple Miracles, Ayu Utami menuliskan novel ini berdasarkan pengalaman pribadinya. Awalnya ia mau menjadikan buku ini sebagai manifestasi untuk mengenang 40 hari wafat ibunya. Namun, karena belum selesai ketika hari pengenangan itu itba maka, buku ini kemudian menjadi kenangan moment lain. Buku ini menjadi kenangan 100 hari wafat ibunya dan 53 hari wafat bibinya. Selain itu, secara tidak langsung di sini ia menunjukkan bahwa dirinya seorang Jawa dan Katolik. Ia adalah orang Jawa karena masih mengenang 40 hari dan 100 hari wafat ibunya. Ini khas budaya Jawa. Namun, ia juga seorang Katolik. Ia mengerti hari-hari raya bagi Maria dalam Gereja Katolik, dan mengucapkan terimakasih pada beberapa orang imam (romo) 2. Akan tetapi, siapakah Ayu Utami itu? Berikut saya ini kutip biodatanya menurut

http://www.ayuutami.info/414949018.

Ayu Utami is an award-winning Indonesian writer who was the 2000 Prince Claus Award Laureate. During Indonesia's military regime, Ayu was a journalist and press freedom activist. She was one of the founders of The Alliance of Independent Journalists which was later banned by Suharto’s government. Her works include the True Stories trilogy (The Single Parasite, Enrico’s Love Story and The Confession)

which deal with sex and gender relations, and the Fu Numeral series, mystery novels about Indonesian culture and heritage. (Short bio form Sydney Writer's Festival 2015)

Name: Justina Ayu Utami. Born: Bogor, 1968.

Studied at: University of Indonesia, Faculty of Letter, Depok; Tarakanita Catholic High School, Jakarta; Regina Pacis Catholic Elementary School, Bogor.

Work: Director of Salihara Literary Biennale. Program Director of Komunitas Utan Kayu. Past: Literary Committee at the Jakarta Arts Council, editor at Kalam Journal on Culture; researcher at ISAI (Institute for the Studies of the Free Flow of Information; Komunitas Utan Kayu; Radio 68H; cofounder of The Alliance

(4)

of Independent Journalists; journalist at Demokrasi & Reformasi and Forum Keadilan news magazine.

Fellowships (among others): Iowa Writers' Workshop, USA, 2004; Asian Leadership Fellow Program, International House of Japan, 1999.

Awards (among others): The Jakarta Arts Council's Best Novel 1998 for

Saman; Khatulistiwa Literary Award 2008 for Bilangan Fu; Ayu was awarded the 2000 Prince Clause Award and 2008 Mastera (South East Asean Literary Council) Creative Writer Award.

Books:

Novels (fiction & nonfiction): Saman (1998), Larung (2001), The Number Fu (2008), Manjali & Cakrabiirawa (2010), Enrico's Love Story (2012), Lalita

(2012), The Confession of A (2013), Maya (2014), Simple Miracles (2014).

Other genres: The Single Parasite, collection of essays (2003, renewed 2013); The Moral Trial, playscript and collection of essays (2008), Soegija 100% Indonesia, popular biography of first Indonesian bishop (2012).

Co-author: Banal Aesthetics & Critical Spiritualism (with husband & photographer Erik Prasetya, 2015); The Zodiac Series (with students of Ayu's writing class, 2014).

How-to: A Critical Spiritualist Handbook for Creative Writing and Thinking

(2015)3.

Dari kutipan di atas, Simple Miracles masuk dalam buku novel. Sebagai novel, ia bukan novel fiksi melainkan non fiksi. Dan Ayu Utami memasukkannya dalam buku bertema spiritual4. Hal ini penting baginya. Ia mengatakan bahwa jika ada tema pokok yang saya ingin perkenalkan pada pembaca atau saya promosikan dalam program saya, itu adalah "spiritualisme kritis" yang saya pelajari dari dialektika antara akal dan rasa5. Spiritualisme kritis adalah penghargaan terhadap yang spiritual tanpa mengkhianati nalar kritis6.

Terkait hal ini, maka kita perlu tahu apa agama Ayu Utami. Ia sendiri tidak menyebutnya secara langsung. Demikian, ia mengatakan bahwa saya lahir dalam keluarga dari komunitas etnis yang besar tapi kelompok agama yang kecil (Jawa, Katolik)7. Mengenai kekatolikannya, lebih jelas ia mengungkapkannya dalam pernikahannya. Berikut tulisannya terkait dengan hal itu:

Saya menikah sebagai konsekuensi dari keinginan saya untuk menyatakan solidaritas terhadap komunitas Katolik yang pada saat itu mengalami diskriminasi. Di beberapa tempat mereka sudah bertahun-tahun tidak bisa membangun gereja. Gereja dan sekolah yang sudah berdiri diserang. Rumah sakit tidak bisa membangun fasilitas

3 Http://www.ayuutami.info/414949018 diunduh tanggal 7 Desember 2016 pukul 23:01 WIB.

4 Bdk. http://www.ayuutami.info/414902430 diunduh tanggal 7 Desember 2016 pukul 23:05 WIB.

5 Bdk. http://www.ayuutami.info/414897356 diunduh tanggal 7 Desember 2016 pukul 23:09 WIB. 6 Ayu Utami, Simple Miracles Doa dan Arwah, Jakarta: KPG, 2014. Hlm. 56.

(5)

baru. Saya berasal dari komunitas Katolik, meskipun sudah lama saya meninggalkan Gereja. Saya meninggalkan Gereja karena saya punya agenda isu jender, yaitu mengajak perempuan untuk tidak takut hidup tanpa menikah. Saya mau menunjukkan bahwa perempuan bisa sehat-sehat saja tanpa menikah. Nah, itu artinya hubungan saya dengan pasangan saya adalah zinah menurut hukum Gereja Katolik. “Hukuman” bagi orang yang melakukan dosa besar (apalagi dengan terang-terangan dan malah mempromosikan) dalam Gereja Katolik hanyalah tidak boleh menerima hosti, atau roti yang dibagikan di puncak perayaan misa ("misa" adalah istilah yang dipakai Gereja Katolik, yang mungkin sebanding dengan "kebaktian" atau "perjamuan" dalam Gereja-gereja lain). Gereja Katolik percaya hosti itu kudus. Saya menghormati peraturan itu.

Persoalannya, kemudian saya mau menyatakan solidaritas kepada umat Katolik. Bagaimana caranya? Satu-satunya cara adalah bisa bersama-sama menerima hosti lagi. Artinya, saya harus menikah secara Katolik. Saya juga tidak keberatan dengan pernikahan dalam hukum Gereja Katolik, sebab tidak aturan bahwa suami adalah kepala keluarga.

Itu alasan saya menikah, yang saya sampaikan secara lebih rinci kepada pastor yang memeriksa saya. (Dalam hukum Katolik, pastor harus melakukan pemeriksaan verbal terhadap calon pengantin.) Jadi, sebetulnya saya coba konsisten dengan cara saya. Saya tetap mengkritik hukum perkawinan yang patriarkal. Dan saya tetap menganggap orang berhak dan baik-baik saja untuk tidak menikah8.

Tema spiritualitas tidak hanya terkait dengan agama tetapi juga budaya. Di atas sudah disebutkan bahwa Ayu Utami berasal dari budaya Jawa. Dan ia sendiri mengakuinya demikian:

Saya seorang pengarang, menulis dalam Bahasa Indonesia. Bahasa yang bertumbuh dari Bahasa Melayu, dan berkat kebetulan sejarah penjajahan ia menjadi bahasa mandiri, diperkaya oleh struktur dan kosakata bahasa-bahasa Nusantara, terutama Jawa dan juga Indonesia Timur. Percampuran ini adalah hal yang menyenangkan bagi saya9.

Selain itu, spiritualitas adalah kehidupan. Maka dari itu, baik juga kita ketahui kegiatan dari Ayu Utami. Ia menyatakan bahwa:

Saya suka belajar, tapi tidak secara formal. Karena itu, terutama bersama Komunitas Salihara dan Utan Kayu, saya mengadakan tempat belajar informal--kelas menulis, jurnalisme, pengenalan filsafat, dll. Meski belakangan ini banyak kebencian disiarkan, saya percaya kita bisa belajar banyak hal selain kebencian.

Kelas dan program saya:

Salihara (Komunitas Salihara): kelas menulis, magang, klub buku, wisata sastra, dll.

8 Http://www.ayuutami.info/414924693 diunduh tanggal 7 Desember 2016 pukul 23:02 WIB.

(6)

TUK (Teater Utan Kayu; The Underground Kelas): Philosophy Underground, pameran, dll.

SJW (Sekolah Jurnalisme Warga).

GIMS (Gerakan Indonesia Membaca Sastra)10.

Dalam berbagai kegiatan itu, ruang kerja yang mendukung sangat diperlukan. Ia mengatakan bahwa saya hanya perlu tempat di mana ada sinar matahari pada siang, atau melihat langit dan syukur-syukur bulan di kala malam11. Sebuah tempat yang terbuka membuat kita dapat mengenal alam dan masyarakat dengan lebih baik. Hal ini mendukung sekali untuk menulis tentang hidup. Ia pun mengatakan bahwa saya perlu ruang yang cukup privat tetapi tetap dekat dengan alam dan masyarakat; sebab saya banyak menulis tentang alam dan masyarakat12.

c. Sinopsis Simple Miracles

Ada hal yang tidak dapat dijelaskan di dunia ini, yaitu doa dan arwah. Dua kata itu membingungkanku pada suatu saat. Pertanyaan pertama muncul atas kebiasaan orang Jawa untuk nyekar (berdoa di makam) untuk anggota keluarga mereka yang sudah meninggal. Mengapa mereka melakukan itu? Apa doa yang diucapkan?

Pertanyaan makin menguat ketika ibu sakit. Harapan agar ia segera sembuh adalah hal utama. Bersama bibiku aku menjenguk ibu di RS St. Carolus. Dan dalam perjalanan pulang ke Bogor, kereta tiba-tiba berhenti, listrik padam dan terasa mencekam. Aku pulang ke tempat di mana ibu tidak ada. Cicilia, kakak sulungku, pernah bercerita tentang kamar mayat. Aku mulai bertanya tentang arwah. Namun, cerita tentang arwah atau hantu tidak bisa memuaskan. Mereka yang bercerita kepadaku bukan orang yang melihatnya secara langsung. Walaupun Bibi Gemuk dan Bibi kurus mengaku pernah melihat sendiri hantu itu, aku membutuhkan bukti. Pertanyaanku itu kembali muncul dua puluh tahun kemudian bersama dengan bertambahnya anggota keluarga kami. Anggota baru itu adalah Bonifacius, anak dari kakakku, Cicilia. Tampaknya ia bisa melihat hantu. Ia mengucapkan kata a-um untuk apa yang ia lihat namun tidak kami lihat. Tetapi, ia tidak menyebut temannya itu sebagai a-um. Dan sepuluh tahun kemudian, ia dapat menyebutkan dengan lebih berpengalaman apa yang ia lihat itu. Aku pun melakukan wawancara terhadapnya.

Bertanya tentang hantu dan kematian tidak akan cukup tanpa juga mempertanyakan Tuhan. Tahun-tahun berlalu dan pertanyaan mengenai Tuhan tetap hangat dibicarakan.

10 Http://www.ayuutami.info/414902071 diunduh tanggal 7 Desember 2016 pukul 23:03 WIB.

11 Bdk. http://www.ayuutami.info/414924619 diunduh tanggal 7 Desember 2016 pukul 23:02 WIB.

(7)

Bahkan di antara keponakan-keponakanku ada yang mempunyai pertanyaan kritis tentang Tuhan. Aku sendiri mengajukan spiritualisme kritis. Aku menghargai yang tak terukur, tak terlihat, spiritual dan rohani tetapi juga menggunakan nalar kritisku. Dalam hal ini aku perlu bersikap menguji dan terbuka untuk bersedia menerima ketidaktahuan. Terkait dengan arwah, ketidaktahuan itu adalah hal yang biasa. Di sana ada dimensi di mana pengetahuan tidak dirumuskan dengan pernyataan ya ataupun tidak. Ada kepercayaan Jawa yang disebut

sedulur papat lima pancer di sini. Selain itu, ada juga doa-doa dan ritual. Dan aku pun mendengarkan orang-orang pintar, para normal. Aku meragukan mereka termasuk juga Bonifasius, sekalipun kakak-kakakku percaya padanya.

Hantu dan Tuhan menjadi dua hal yang penuh teka-teki. Hantu-hantuan maupun tuhan-tuhanan adalah dua hal yang tidak bisa dibuktikan secara material maupun objektif. Cerita yang ada menjadi kenangan dan doa yang dipanjatkan. Dan aku tetap percaya pada doa. Aku heran dan hening atas apa yang terjadi padaku. Doa itu sederhana dan hanya bermakna bagi diriku sendiri. Hal-hal yang tak terduga terjadi dan itu begitu nyata. Bonifasius menjadi keponakan yang selalu mengundang pertanyaan bagiku. Ia bahkan mengungkapkan kapan ibu meninggal. Doa dan arwah dua hal yang aku gali dalam kebersamaanku dengannya. Dunia dari yang sudah mati itu masih samar. Kematian ibu maupun bibi-bibiku tidak dapat ditolak. Dan kejadian-kejadian yang mengikutinya sungguh mengherankan. Akhirnya aku belajar berdoa dan itu menjadi jalanku menerima keherananku dengan nalarku.

II. Hantu

a. Pengalaman akan Dunia Kematian dan Arwah

Pengalaman akan kematian dan arwah adalah suatu hal yang tidak dapat dijelaskan dengan gambling. Orang Jawa dengan orang Katolik sejati tentu tidak mempunyai pandangan yang sama. Pada bagian ini, baik sekali mengutip bagaimana tokoh aku dalam novel ini melakukan wawancara terhadap keponakannya, Bonifasius yang bisa melihat arwah.

… “Apa beda penampakan arwah dan manusia?”

“Arwah itu agak tembus pandang. Agak mirip hologram. Arwah yang ada di jalan-jalan lebih mudah terlihat saat sudah gelap.”

… Tapi, arwah di jalan-jalan?

“Mereka mungkin mengalami kecelakaan lalu-lintas.”

(8)

“Tapi waktu kecil kamu tidak bias membedakan si Luki dari teman-teman yang lain?”…

“Waktu kecil aku belum sadar bedanya. Kelihatannya sih seperti anak biasa.” …

“Biasanya arwah tampak pada umur berapa?”

“Yang aku lihat sih biasanya muda.” Sekalipun orang itu meninggal pada usia tua, seperti generasi kakek neneknya, arwahnya tampil dalam usia muda dewasa. Dua puluhan atau tiga puluhan. …

“Apa beda arwah dengan makhluk halus lainnya?” “Arwah itu orang yang sudah meninggal…”

“Iya. Orang-orang yang tak bias melihat juga bilang begitu. Justru itu. Kelihatan gak bedanya dengan makhluk halus yang bukan berasal dari manusia?”

Ia bercerita, ada memang makhluk-makhluk yang tidak segera tampak seperti bekas manusia. Ada yang berbaju putih dengan rambut hitam panjang – ciri-ciri yang umumnya digambarkan sebagai kuntilanak. Makhluk itu bias hadir dalam rombongan. Pernah ia melihat tujuh kuntilanak sekaligus di ruang tamunya. Ada pula yang menyerupai pocong. Yang ia lihat selalu menyerupai kain putih yang membungkus kekosongan. Aku membayangkan kepompong yang telah ditinggal kupu-kupu. Pocong yang ia lihat tak pernah berwajah. Ada juga sosok yang gelap dan bertanduk, seperti yang digambarkan sebagai setan. …

Sedangkan, di antara yang tampak seperti arwah manusia, ada yang memakai baju masa lampau. Topi dan seragam prajurit zaman perjuangan. Atau lebih silam lagi. …

“Nah, kalau lagi melihat arwah atau makhluk halus, kamu selalu melirik ke samping, sampai matamu hampir kelihatan putih saja. Sebetulnya, yang kamu lihat itu ada di depanmu, atau memang ada di ujung pandangan?”

“Yang aku lihat ada di depanku.”13

Rasa penasaran terhadap kehidupan setelah kematian juga dialami oleh Threes Emir. Dalam bukunya yang berjudul Mengapa Saya (tetap) Katolik, ia menuliskan pengalamannya menghadapi kematian anggota keluarganya dan merefleksikannya dengan sangat kristiani. Ia memulai refleksinya dengan mengutip Kitab Suci (Rm 6:5-9)14. Selain itu, ia juga mengajukan pertanyaan.

Lalu timbul pertanyaan dalam pikiran saya, apakah setiap orang dikaruniai pengetahuan bahwa ia akan dipanggil? Apakah setiap orang menyadari bahwa ada saat Tuhan memberikan tanda-tanda? Apakah mereka merespons dengan baik? Bagaimana dengan mereka yang meninggal karena kecelakaan? Bagaimana dengan mereka yang terkena serangan jantung?

Pertanyaan tersebut mendapat jawab dari cerita alm. rama Ben Tentua OFM. … Rama Ben menceritakan bahwa setiap kali ia memberikan Sakramen Perminyakan atau mendampingi seseorang yang akan meninggal, ia selalu melihat si pasien beberapa detik tersenyum bahagia (memandang sesuatu) sebelum menghembuskan

13 Lih. Ayu Utami, Simple Miracles Doa dan Arwah, Jakarta: KPG, 2014. Hlm. 36-38.

(9)

napas terakhir. Rama Ben yakin bahwa dalam saat yang pendek itu, pasti penderita melihat Yesus15.

Kemudian Threes menuliskan pengalaman seorang teman yang menderita kanker payudara.

Di dalam ruang perawatan di sebuah rumah sakit di Jakarta, ia bercerita bahwa suatu saat ia seperti diajak oleh seseorang yang tidak jelas penampilannya, digandeng ke tempat yang sangat jauh. Ia mengatakan, “Seolah saya melayang karena berjalan dengan dia terasa sangat ringan. Saya melewati hamparan rumput yang sangat luas, juga melihat taman bunga. Pokoknya pemandangannya indah sekali, dan udaranya sejuk dan bersih. Awan putih tampak berarak-arak di langit biru. Ketika saya akan diajak untuk pergi ke tempat yang lebih jauh, saya menolak dan ingin kembali karena saya tiba-tiba ingat anak saya semata wayang yang baru berusia 5 tahun. Sosok itu mengabulkan dan melepaskan pegangannya. Lalu saya terbangun... saya ragu apakah saya bermimpi atau mengalami halusinasi...16

Selain itu, Threes juga sedikit membicarakan tentang Ibu Maria Simma. Dan pada bagian belakang dari pembahasannya tentang kematian, ia menegaskan pentingnya Misa Kudus bagi jiwa-jiwa di Api Penyucian.

b. Konsep Jawa: Jagading Lelembut

Berbicara tentang kematian orang Jawa sering mengenang setiap kejadian sebelum kematian datang. Mereka mencoba mengingat apakah ada pesan atau kejadian tertentu yang menjadi petunjuk bahwa yang meninggal itu benar-benar telah siap dan tenang. Mereka juga bertanya pada paranormal tentang arwah dari yang telah meninggal bila dirasa tidak tenang ketika meninggal. Sedangkan bagi yang telah meninggal, mereka mengenal jagading lelembut (dunia arwah). Jagading lelembut ini tidak jauh dari manusia. Mereka hanya berada pada alam atau dimensi yang berbeda.

Membicarakan jagading lelembut adalah hal yang menarik bagi orang Jawa. Hal ini secara jelas tertuang dalam majalah Djaka Lodang, majalah mingguan berbahasa Jawa17. Namun, sangat disayangkan pengetahuan tentang dunia itu bukan hal yang mudah dicerna.

15 Ibid. Hlm. 79.

16 Ibid. Hlm. 80.

(10)

Hanya ada 5,66% orang saja yang dapat mengaku melihat dunia itu secara normal, yaitu:

wong tuwo18, paranormal, serta para dukun19.

Jagading lelembut itu dihuni oleh arwah gentayangan, dhayang, dhemit, dan binatang. Arwah gentayangan berasal dari roh-roh yang belum siap untuk mati20. Mereka belum rela pergi (meninggal). Mereka muncul dengan citra sesuai dengan saat terakhirnya di dunia. Mereka dapat membuat takut orang-orang yang melihatnya karena citranya yang menakutkan. Bisakah Anda membayangkan diri Anda bertemu arwah yang meninggal sebagai korban kecelakaan dan menunjukkan citranya setelah kecelakaan itu sebelum para dokter merawat jenazahnya? Betapa mengerikan hal itu.

Dhayang adalah arwah dari para leluhur yang menjadi cikal bakal dari suatu tempat. Ia mungkin adalah orang-orang yang pertama membuka lahan dan mendirikan desa. Mereka sering membisikkan peringatan melalui warganya apabila desa terancam bahaya atau malapetaka. Setiap desa memiliki kebiasaan yang berbeda-beda untuk menghormati mereka21. Mereka yang memiliki wilayah yang luas telah dikenal banyak orang. Salah satunya masuk dalam dunia perfilman Indonesia, yaitu: Nyai Roro Kidul.

Dhemit dikenal juga sebagai jin. Mereka mungkin adalah kelompok terbesar karena ada di mana-mana. Ada banyak gambaran tentang mereka. Mereka inilah yang sering kali mengganggu manusia, sebab mereka disebut juga setan. Mereka antara lain adalah gendruwo, wewe, peri, sundel bolong, kuntilanak, wedon, thethekan, banaspati, buto ijo dan lain sebagainya22.

Binatang adalah salah satu wujud yang cukup populer dicari oleh mereka yang melakukan pesugihan, mencari pusaka atau kekuatan. Binatang menjadi penanda bagi mereka itu. Binatang itu antara lain adalah ular, penyu, bulus, babi dan harimau23. Binatang itu disebut juga jelmaan. Binatang jelmaan yang paling terkenal dalam film horor Indonesia adalah babi. Jelmaan babi itu sering disebut babi ngepet.

18 Secara harafiah kata ini berarti orang tua dalam bahasa Jawa. Namun, apa yang disebut orang tua itu bukan melulu orang yang sudah berusia tua atau orang yang mempunyai anak-anak. Orang tua juga adalah orang yang dituakan, dihormati, maupun mereka yang dianggap mempunyai ilmu atau kebijaksanaan lebih. Terkait dengan ilmu, yang dimaksud ilmu di sini adalah suatu pengertian akan hal-hal yang di luar kemampuan orang biasa. Dalam pengertian orang tua sebagai orang yang berilmu, mereka yang disebut demikian biasanya juga disebut dukun, embah, atau simbah.

19 Bdk. Y. Tri Subagya, Menemui Ajal Etnografi Jawa Tentang Kematian, Yogyakarta: Penerbit Kepel Press, 2005. Hlm. 171.

20 Bdk. Ibid. Hlm. 162.

21 Bdk. Ibid. Hlm. 163.

22 Bdk. Ibid. Hlm. 164.

(11)

Jagading lelembut itu menjelaskan bahwa kematian yang menimpa manusia tidak terjadi pada rohnya. Ke mana roh itu berada ditentukan oleh perbuatan mereka selama hidupnya. Y. Tri Subagya menyatakan bahwa roh yang semasa hidupnya menjadi manusia yang berlaku baik akan mencurahkan berkah pangestu24 kepada keluarga atau orang-orang

lain yang ditinggalkan sedangkan roh yang semasa hidupnya mengikuti jalan sesat niscaya mengganggu ingatan bahkan kuburannya pun hilang ditelan waktu25.

c. Konsep Kristiani: Api Penyucian, Surga, dan Neraka

Menyikapi dunia kematian dan arwah, iman Katolik mengenal api penyucian sebagai tempat bagi jiwa-jiwa sebelum bersatu dengan Tuhan Yesus. Api penyucian adalah tempat bagi mereka yang telah meninggal dalam rahmat dan dalam persahabatan dengan Allah, namun belum disucikan sepenuhnya. Mereka sudah pasti akan memperoleh keselamatan abadi, namun masih perlu dikuduskan26. Namun, lebih tepatnya api penyucian itu adalah keadaan mereka yang masih membutuhkan pemurnian27. Selain itu, api penyucian itu juga bisa dipandang sebagai adanya tahap terakhir dalam proses pemurnian pada perjalanan kepada Allah28. Ia adalah proses dan pengalaman pemurnian di dalam kematian. Dengan demikian, api penyucian itu dapat berupa tempat, keadaan, maupun proses pemurnian. Dalam hal ini persoalan utama dari api penyucian ini adalah pemurnian. Dalam pemurnian itu sudah ada kepastian akan keselamatan kekal.

Selain api penyucian, ada pula surga dan neraka. Surga adalah tujuan terakhir dan pemenuhan kerinduan terdalam manusia. Di sanalah kesempurnaan hidup dengan Tritunggal Mahakudus. Mereka yang telah meninggal akan hidup selama-lamanya bersama Kristus29. Di sanalah persekutuan dengan para kudus menjadi nyata30. Ketika mereka yang meninggal masuk ke surga mereka mengambil bagian dalam kemuliaan kebangkitan Kristus31.

24 Dalam bahasa Indonesia kata ini berarti rahmat.

25 Bdk. Op.Cit. Y. Tri Subagya. Hlm. 146.

26 Bdk. KWI Regio Nusa Tenggara, Katekismus Gereja Katolik, Cetakan III, Ende: Penerbit Nusa Indah, 2014. Hlm. 266. No. 1030.

27 Bdk. KWI, Kompendium Katekismus Gereja Katolik, Cetakan ke 10, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2015. Hlm. 75. No. 210.

28 Bdk. KWI, Iman Katolik Buku Informasi dan Referensi, Yogyakarta: Penerbit Kanisius dan Jakarta: Penerbit Obor, 1996. Hlm. 468.

29 Bdk. Op.Cit. KWI Regio Nusa Tenggara, Katekismus Gereja Katolik. Hlm. 264-265. No. 1023-1027.

30 Bdk. Op.Cit. KWI, Kompendium Katekismus Gereja Katolik, Cetakan ke 10, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2015. Hlm. 75. No. 209.

(12)

Neraka adalah kutukan abadi bagi mereka yang telah meninggal dengan dosa berat namun atas kehendak bebas pribadinya tetap berdosa32. Di neraka mereka tidak dapat disatukan dengan Allah. Mereka akan tersiksa di sana untuk selama-lamanya33. Maka, neraka adalah lawan dari surga. Mereka yang masuk dalam neraka akan terpisah selamanya dari Allah. Hal ini terjadi atas kehendak bebas mereka sendiri yang menolak Allah secara total34.

Berbicara mengenai api penyucian, surga dan neraka, tentunya tidak lepas dari pengertian kematian bagi umat Kristiani. Kematian adalah terpisahnya jiwa manusia dari badannya35. Hal ini adalah hal yang wajar. Setiap manusia pada dasarnya pasti akan mati suatu ketika nanti. Namun, secara rohani kematian terjadi sebagai konsekuensi atas jatuhnya manusia ke dalam dosa. Kematian adalah akibat dari dosa36. Meskipun demikian dalam kematian, Allah memanggil manusia kepada diri-Nya37.

Menanggapi pengalaman paranormal maupun jagading lelembut, Stefanus Pranjana dalam bukunya yang berjudul Setan Menurut Orang katolik Perspektif Perjanjian Baru

memberikan refleksi yang menarik. Ia menyatakan bahwa untuk menyikapi berbagai pengalaman akan jagading lelembut itu parlu mencontoh sikap Yesus. Dalam hal ini Yesus tidak diam saja, melainkan terlibat dan tidak menolak adanya pengalaman itu. Dengan demikian, umat dituntut untuk aktif. Maka baik bila umat saling menguatkan iman dalam doa bersama dan saling berbagi hidup satu sama lain38.

d. Simpul I

Dunia setelah kematian bagi orang Jawa ternyata tidak sama dengan iman Katolik. Iman Katolik mengenal ada tiga hal setelah kematian, yaitu surga, neraka dan api penyucian. Orang Jawa hanya mengenal satu, yaitu jagading lelembut. Namun, ada hal yang nampak sama. Dalam kematian ada pembedaan antara yang baik dan yang jahat, menerima Allah dan menolak Allah, maupun pantas dan tidak pantas. Dalam iman Katolik, mereka yang baik, menerima Allah, dan pantas akan masuk surga. Bilamana masih kurang murni, mereka dimurnikan di api penyucian. Sedangkan yang sebaliknya akan masuk ke neraka. Dalam pandangan orang Jawa, yang baik, menerima Allah, dan pantas akan menjadi berkat pangestu. Mereka akan diingat selamanya seperti halnya dhayang, bahkan mungkin mereka

32 Bdk. Op.Cit. KWI, Kompendium Katekismus Gereja Katolik. Hlm. 76. No. 212.

33 Bdk. Op.Cit. KWI Regio Nusa Tenggara, Katekismus Gereja Katolik. Hlm. 267. No. 1033-1035.

34 Bdk. Op.Cit. KWI, Iman Katolik Buku Informasi dan Referensi. Hlm. 466-467.

35 Bdk. Op.Cit. KWI, Kompendium Katekismus Gereja Katolik. Hlm. 74. No. 205.

36 Lih. Op.Cit. KWI Regio Nusa Tenggara, Katekismus Gereja Katolik. Hlm. 260. No 1008.

37 Lih. Ibid. Hlm. 261. No 1011.

(13)

memang menjadi dhayang. Sedangkan yang melakukan kebalikannya akan dilupakan dan hilang seiring berjalannya waktu.

III. Tahun

a. Kepercayaan

Kematian masih tetap merupakan misteri besar. Kita tidak tahu kapan tepatnya hal itu terjadi. Dalam konsep orang Jawa kita sering mendengar pandangan sedulur papat lima pancer ketika berbicara mengenai kelahiran dan kematian. Ayu Utami pun memasukkan pandangan ini. Berikut saya kutip apa yang ia tuliskan.

Orang Jawa mengenal konsep “sedulur papat lima pancer”. Empat saudara dan si lima di tengahnya. Setiap manusia adalah si pusat itu. Ia memiliki empat saudara yang senantiasa mengelilingi dia seperti mata angin. Saat manusia lahir, empat saudara itu menjadi “saudara halus”. Tetapi kala dalam kandungan, empat saudara itu adalah ketuban, ari-ari, darah, dan tali pusar. Mereka adalah kakak dan adik kita. Orang Jawa suka menyebut kakang kawah dan adi ari-ari. Kakak ketuban dan adik plasenta. Sebab ketuban lahir lebih dulu, dan plasenta belakangan. Darah dan tapi pusar adalah kembaran kita39.

Terkait dengan konsep itu, maka orang Jawa mempunyai cara-cara tertentu untuk mengingatnya. Salah satunya disebutkan oleh Ayu Utami demikian, aku pernah dengar orang Jawa juga menaruh lantera minyak yang disebut sentir di makam ari-ari sampai 40 hari40. Hal ini adalah cara orang Jawa mensyukuri kelahiran. Terkait dengan kematian, ada upacara

nyadran41 dan nyekar. Selain itu, ada peringatan tiga hari, tujuh hari, empatpuluh hari, seratus

hari, satu tahun, dua tahun, dan seribu hari. Pada peringatan-peringatan ini, orang Jawa percaya arwah orang yang meninggal masih ada di dunia manusia42.

Dalam perkembangannya, Ayu Utami kemudian menuliskan perpaduan yang luar biasa antara konsep Jawa ini dengan tanda salib seorang Katolik.

Ketika agak lebih besar, mudah pula bagiku mentransfer konsep sedulur papat lima pancer itu ke dalam tanda salib. Empat penjuru itu menjadi empat penjuru salib. Setiap kali membuat tanda salib, kami menyentuh empat penjuru di tubuh kami, atas-bawah-kiri-kanan, dan biasanya terakhir kami mengingat hati kami sendiri di porosnya43.

b. Sedulur Papat Lima Pancer dan doa arwah orang Jawa

39 Ayu Utami, Simple Miracles Doa dan Arwah, Jakarta: KPG, 2014. Hlm. 61-62.

40 Lih. Ibid. Hlm. 62.

41 Lih. Ibid. Hlm. 67.

42 Bdk. Ibid. Hlm. 83.

(14)

Konsep sedulur papat lima pancer terkait erat dengan kehidupan dan kematian. Konsep ini ada di dalam tradisi perhitungan Jawa akan adanya hari baik untuk lahir, kerja, menikah, membangun rumah dan meninggal dunia. Konsep ini adalah pandangan kosmologi orang Jawa. Ia merupakan intisari rasa alam orang Jawa.

Dalam memandang alam dengan konsep ini, ada dua alam, yaitu jagad gedhe dan

jagad cilik. Dalam jagad cilik, pusat dunia adalah diri manusia. Konsep sedulur papat lima pancer di jagad cilik adalah seperti yang digambarkan oleh Ayu Utami. Pada jagad gedhe,

sedulur papat mengacu pada empat arah mata angin dan lima pancer adalah titik pusatnya. Dengan demikian, konsep ini melekat pada hidup orang Jawa. Ia menjadi patokan dalam berbagai upacara tradisional44.

Dalam perhitungan hari, sedulur papat lima pancer mengacu pada lima hari

pasaran45. Kelima hari itu adalah Pon, Wage, Kliwon, Legi, dan Pahing. Pon menjadi simbol

dari lor46 dengan angka empat, Wage adalah wetan dan angka lima, Kliwon menunjukkan

posisi tengah dan angka satu, Legi adalah kidul dan angka dua, dan Pahing melambangkan

kulon dan angka tiga47.

Dalam kematian melalui konsep ini, tubuh yang mati dipandang akan kembali menjadi empat campuran anasir alam yang membentuknya, yaitu: api, tanah, angin, dan air48. Hal ini tentu saja mempengaruhi upacara maupun doa-doa dalam tradisi Jawa seputar kematian orang Jawa. Berikut saya kutip penjabarannya dalam buku Menemui Ajal.

… Pertama, saat meninggal dunia sampai tiga hari disebut saat ngabuh-abuhi. Roh si mati dianggap masih berada di dalam rumah. Kedua, pada hari ketujuh disebut saat pecahing awak amblesing bumi (hancurnya badan dan masuk ke dalam tanah). Roh dibayangkan masih berada di sekitar pekarangan rumah. Ketiga, tahap hari keempatpuluh yang disebut wis rampung sing nakoni (segala pertanyaan yang diajukan kepadanya telah selesai). Roh sudah keluar pekarangan rumah tetapi masih sering pulang. Keempat, pada hari keseratus saat roh berpamitan yang terakhir pada keluarganya. Dia masih sering berkunjung menengok keluarga dan anak cucunya. Kelima, mendhak pisan atau setahun setelah kematian dan mendhak pindho yaitu dua tahun kemudian yang dianggap roh sekali-kali suka datang melihat anak cucunya.

44 Bdk. Otto Sukatno CR, Nalar serta Rasionalitas Mistik dan Ilmu Gaib Pengantar Memahami dan Menghayati Keberadaan dan Kompleksitas “Mistisisme, Ilmu, Dunia dan Alam Lain”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016. Hlm. 72-73. Lebih lanjut, Otto menyebutnya sebagai kiblat papat lima pancer.

45 Hari pasaran adalah hari Jawa. Di sebut hari pasaran karena biasa digunakan sebagai patokan perdagangan di pasar. Sebagai contoh, Pasar Godean disebut juga pasar Pon karena akan ramai untuk berdagang pada hari Pon, sedangkan Pasar Gedongan disebut pasar klewonan karena ramai pada hari Kliwon.

46 Lor, wetan, kulon, dan kidul adalah empat arah mata angin dalam bahasa Jawa. Lor adalah utara. Wetan adalah timur. Kulon adalah barat. Kidul adalah selatan.

47 Lih. Op.Cit. Otto Sukatno CR. Hlm. 77.

(15)

Tahap keenam yang disebut entek-entekane pada hari keseribu. Di sini, tubuh telah kembali ke asalnya dan roh sampai ke tujuannya49.

Dengan demikian upacara kematian dan doa-doanya dalam tradisi Jawa sangatlah panjang. Maka dari itu, di sini hanya akan dibahas secara ringkas saja, artinya hanya hal-hal yang tampak khusus saja akan dibahas. Pertama, dimulai dari upacara pemakaman. Pada saat ini, tidak ada lagi orang Jawa dengan kepercayaan kejawen yang murni. Oleh sebab itu, upacara pemakaman jenazah orang Jawa dilakukan menurut agama yang dipeluk pihak keluarga yang ditinggalkan. Doa-doa yang dipanjatkan pun tidak lagi terikat keharusan berbahasa Jawa. Namun demikian, bila dalam keluarga atau di desa ada seorang yang dituakan dan memahami kejawen, terkadang ada doa-doa khusus yang mana hanya mereka yang dituakan itu yang tahu dan memanjatkannya. Hal yang istimewa dan masih khas Jawa dari upacara ini adalah tradisi brobosan.

Acara brobosan berlangsung sebelum jenazah diberangkatkan ke makam. Para pelayat terutama yang masih muda mengangkat peti atau keranda ke luar rumah. Mereka berhenti sejenak dan memberikan sedikit ruang pada bagian tengah. Para ahli waris, terutama keluarga almarhum yang lebih muda berjalan memutar dari kiri ke kanan masuk ke luar di bawah peti sebanyak tiga kali melewati sela-sela di antara pengusung depan dan belakangnya. Dengan menembus ruang di bawah keranda itu, orang memposisikan dirinya untuk memperoleh restu dari almarhum. Hal ini merupakan kejadian transisional bagi keluarga almarhum. Brobosan di satu sisi mengungkapkan perpisahan dari orang yang ditinggalkan dan sekaligus di sisi lain menegaskan status kematian seseorang yang berdasar statusnya itu, dia diangkat lebih tinggi dari yang masih hidup dengan kemampuan mengendalikan restu atau

pangestu50.

Proses pemakaman dalam tradisi Jawa tidak begitu mencolok. Semakin cepat pemakaman dilakukan semakin baik. Selain itu, proses pemakaman di serahkan sepenuhnya pada kepercayaan agama masing-masing. Keistimewaan orang Jawa baru tampak setelah pemakaman. Dalam hal ini, ada peringatan tiga hari sampai seribu harinya almarhum. Bagi umat Katolik di Keuskupan Semarang, peringatan ini sudah ada rumusan doa-doa kristianinya yang disebut dengan memule. Namun, bagi umat Muslim, peringatan ini bukan hal yang wajib. Bagi mereka yang memegang kepercayaan kejawen, ada acara nyadran dan

nyekar.

Nyadran adalah doa arwah memperingati almarhum, namun tidak ditentukan waktu-waktu tertentu seperti peringatan tiga sampai seribu harinya. Meskipun demikian, nyadran

49 Y. Tri Subagya, Menemui Ajal Etnografi Jawa Tentang Kematian, Yogyakarta: Penerbit Kepel Press, 2005. Hlm. 77-78.

(16)

biasanya identik dengan acara tigapuluh lima harinya almarhum. Ini berkaitan dengan acara

selapanan. Selapanan adalah acara peringatan tigapuluh lima hari kelahiran. Nyadran adalah tigapuluh lima harinya kematian. Acara nyadran juga identik dengan Islam, karena biasa diadakan menjelang idul fitri. Dalam hal ini, nyadran adalah doa peringatan arwah sebelum

idul fitri. Adapun acara ini dilakukan di rumah dengan doa bersama-sama, lalu ada makan bersama. Acara ini tidak jauh beda dengan kenduri51. Baru kemudian keesokan harinya

keluarga berziarah ke makam almarhum yang diperingati.

Nyekar adalah doa keluarga di makam. Acara ini disebut juga ziarah kubur, tilik kubur atau ngirim. Nyekar lebih sederhana dari pada nyadran maupun peringatan-peringatan jenazah orang Jawa. Dalam acara ini, biasanya keluarga juga membersihkan makam dari almarhum. Biasanya di Jawa Tengah dan Yogyakarta acara ini dilakukan pada hari Jumat Kliwon, sedangkan di Jawa Timur lebih khas Jumat Legi. Meskipun demikian, ada pula yang mengadakan nyekar pada hari-hari lain sesuai dengan kemampuan mereka.

Tradisi tilik kubur menegaskan bahwa kematian tidak berarti kepunahan melainkan bermakna kesuburan. Orang-orang yang menjalankan tilik kubur menyelipkan harapan bahwa kesulitan hidupnya sehari-hari dapat terbantu oleh rahmat atau berkah pangestu yang memberi kekuatan dan menjanjikan kesejahteraan serta keselamatan dari segalanya. Manakala bakul ingin laris dagangannya, anak sekolah hendak menghadapi ujian, mendapatkan pekerjaan, memperoleh jodoh yang tepat, atau salah seorang anggota sakit secara khusus mereka sering mohon berkah pangestu kepada leluhurnya. Mempelai yang hendak melakukan pernikahan juga disarankan agar tidak lupa mengunjungi makam leluhurnya terlebih dahulu. Bahkan kadang-kadang tanda yang berasal dari kuburan entah berupa sedikit bunga, daun atau tanah mereka bawa serta pulang menjadi sarana keselamatan, penyembuhan atau mengalirnya rejeki52.

c. Upacara Pemakaman, peringatan arwah dan doa arwah Kristiani

Pemakaman Kristiani di Indonesia mempunyai banyak cara. Banyak hal dalam upacara kematian orang Katolik di Indonesia nampaknya adalah hasil inkulturasi budaya dimana doa-doanya tetap khas Katolik namun dalam liturginya ada beberapa nuansa budaya. Dengan demikian, bukan hal yang salah bila di Keuskupan Agung Semarang upacara kematian telah dirumuskan sedemikian rupa sesuai dengan budaya Jawa. Berkaitan dengan

51Kenduri adalah acara doa bersama. Biasanya dilakukan oleh warga satu dusun. Doa bersama ini dilakukan sesuai dengan ujub dari warga maupun pihak keluarga. Hal ini tergantung dari siapa yang mengadakan acara. Biasanya selesai acara ada pembagian sedikit rejeki dari pihak yang mengadakan. Selain itu, dalam acara ini ada pula makan bersama. Dalam makan bersama itu, orang Jawa biasa membuat tumpeng dengan berbagai hiasan. Ujub menentukan bentuk, warna, hiasan dan jumlah tumpeng. Ujub juga menentukan sebutan dari kenduri itu, misalnya kenduri untuk bayi yang berumur tigapuluh lima hari disebut selapanan.

(17)

hal ini, buku Memule ingkang Sampun Sumare memberikan suatu intisari yang menarik mengenai pemakaman orang Jawa Katolik.

Pasamuwan Katolik ngurmati sanget dhateng kebudayan lokal umat lan mrayogekaken supados kabudayan wau kaluluhaken dhateng liturgi lan pangibadahipun Pasamuwan suci. Ingkang menika ing sawetawis papan ing Indonesia wonten padatan nyembahyangaken lan mengeti arwah miturut padatan pengetan dinten lan warsa (dinten kaping 3, 7, 40, 100, 1 taun, 2 taun, 1.000 dinten, lst)53.

Selain buku Memule ingkang Sampun Sumare, ada pula buku Ngintun Sukma. Pengantar buku Ngintun Sukma menunjukkan bahwa ada keselarasan nilai iman antara peringatan-peringatan arwah orang Jawa dengan Kitab Suci. Berikut saya kutip sebagian dari pengantar tersebut.

Dene makna angka-angka (3, 7, 40, 100, lsp.) ing dinten pengetan punika kita salarasaken kaliyan piwulang iman ingkang kapethik saking ayat-ayat Kitab Suci, amrih boten namung ela-elu, tanpa mangertos tujuwanipun. Upaminipun pengetan 40 dintenipun, saged kasalarasaken kaliyan siyam Dalem Gusti Yesus selami 40 dinten wonten ing ara-ara samun54.

Selain menyusun upacara itu dengan renungan Kitab Suci, Komisi Liturgi KAS juga memberikan tema-tema yang khas sesuai hari-hari peringatan itu, sehingga dapat memperoleh makna Kristiani dari kematian sesuai nilai kebudayaan Jawa. Tema-tema itu dapat dilihat dalam buku Memule ingkang Sampun Sumare. Dengan demikian upacara peringatan arwah orang Jawa Katolik telah dirumuskan dengan rapi oleh Keuskupan Agung Semarang.

Dalam hal umum (terlepas dari budaya Jawa), upacara pemakaman dan penguburan jenazah telah dirumuskan dengan baik dalam buku Kumpulan Upacara Ibadat. Dalam buku ini, upacara tersebut dibagi dalam dua kelompok, yaitu bagi anak-anak dan bagi orang dewasa. Buku ini juga menunjukkan satu upacara yang khas Katolik, yaitu upacara penanaman salib di atas kuburan.

53 Dalam bahasa Indonesia secara harafiah dapat diartikan: Persekutuan umat Katolik sangat menghormati kebudayaan lokal umat dan mendalaminya supaya kebudayaan itu dapat diterima dalam liturgi dan peribadatan suci. Dalam hal ini di beberapa tempat di Indonesia ada kebiasaan mendoakan dan memperingati arwah menurut perhitungan hari dan tahun (hari ke 3, 7, 40, 100, 1 tahun, 2 tahun, 1.000 hari, dst).

Komisi Liturgi KAS, Memule ingkang Sampun Sumare, cetakan kelima, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2013. Hlm. 19.

54 Dalam bahasa Indonesia secara harafiah dapat diartikan: Sedangkan makna dari angka-angka (3, 7, 40, 100, dst.) dalam hari peringatan itu kita sesuaikan dengan ajaran iman yang diambil dari ayat-ayat Kitab Suci, supaya jangan hanya memanjatkan doa, tanpa mengerti tujuannya. Sebagai contoh peringatan empatpuluh hari, dapat disesuaikan dengan peristiwa Tuhan Yesus berpuasa selama empatpuluh hari di padang gurun.

(18)

Upacara penanaman salib sungguh khas Katolik. Melalui upacara ini umat diingatkan kembali akan kemenangan salib Kristus. Berkaitan dengan hal ini, pengatar upacara tersebut sangat menarik bagi saya. Pengantar itu berbunyi demikian,

Saudara sekalian yang terkasih dalam Kristus. Salib itu adalah sebuah lambang, yaitu lambang kemenangan Kristus atas dosa dan kematian. Sambil menanamkan salib di atas kubur saudara kita yang telah dipanggil Tuhan, kita menyatakan kepercayaan kita akan kebangkitan orang mati.

Kebangkitan dan hidup kekal itu diperoleh Kristus bagi kita dengan wafat di kayu salib. Maka patutlah kita bangga akan salib Tuhan kita Yesus Kristus; sebab berkat salid itu seluruh bumi dipenuhi sukacita55.

d. Simpul II

Kebudayaan Jawa mengenai kehidupan dan kematian sangatlah kompleks. Dalam hal kematian ada berbagai peringatan bagi mereka yang telah meninggal. Hal ini oleh Keuskupan Agung Semarang telah dirumuskan dengan baik dalam nilai iman Kristiani. Dengan rumusan liturgi dan ibadat Katolik yang sesuai dengan kebudayaan lokal itu, umat Jawa Katolik tidak lagi jatuh pada pemahaman akan dunia roh di mana dia yang meninggal masih sering datang sampai peringatan seribu harinya. Rumusan itu menjadikan peringatan-peringatan itu sebagai pengajaran akan misteri iman Kristiani akan kebangkitan badan bersama Kristus.

IV. Tuhan

a. Pengalaman Berjumpa dengan Arwah

Berbicara mengenai kematian tidak bisa dilepaskan dari kepercayaan akan adanya kebangkitan badan. Dalam hal ini, muncul berbagai kisah mengenai perjumpaan dengan mereka yang telah meninggal. Berikut saya kutip apa yang Ayu Utami tuliskan mengenai perjumpaan dengan mereka yang telah meninggal dunia.

Suatu hari ia berkata, “Semalam aku merasa Bapak ada di sini.” Ia diam sebentar. “Apa hari ini Selasa Kliwon?”

Sejak Ayah wafat, tak pernah Ibu merasa suaminya menengok dia. Kadang ia berharap melihat penampakan, sayang tak sekalipun, Ibu telah tak tahu tanggal dan hari sejak ia masuk rumah sakit. Aku mengecek pada situs internet kalender Jawa, dan memang – cukup mengherankan – hari itu Selasa Kliwon.

...

Aku menginap dan esoknya bekerja dengan komputerku di ruang duduk seperti biasa. Suamiku Rik datang. Lalu kami sama-sama sibuk dengan dokumen

(19)

masing-masing. Tiba-tiba aku melihat ada yang berkelap-kelip. Layar monitor pada sofa pijat di tengah ruangan. Sofa itu hadiah dari suami Marietta untuk Ayah, dulu. Hitam kecoklatan warnanya, sehingga sesuatu yang menyala kecil pun jadi kelihatan. Tapi, aku dan Rik tak tahu apakah monitor penyetelnya tadi mati atau hidup. Rasanya, dari kemarin tidak ada yang memakainya. Aku dan Rik berpandang-pandangan. Adakah benda itu tiba-tiba menyala, seolah ada yang mau memakainya? Atau tadi kami tidak mengamatinya?

“Ya sudah! Bapak pijat bareng aku ya!” kata Rik. Lalu ia duduk di sofa pijat dan menyetel ukuran yang ia mau. Ia menikmati tekanan dan pukulan mesin sambil tertawa-tawa56.

...

Hari itu asisten Marietta melapor padaku, suatu peristiwa aneh. “Kemarin saya telepon lagi ke Telkom, sambil marah-marah,” katanya. “Terus?”

“Masa katanya, mereka sudah datang ke rumah.”

“rasanya sih belum pernah ada petugas Telkom yang datang.”

“Itulah! Masa katanya, mereka sudah datang ke rumah dan ditemui oleh pemilik rumah yang bilang bahwa teleponnya tidak ada masalah. Jadi mereka pulang lagi. Masa dibilang, yang menemui mereka adalah Pak Sutaryo.”

“Masa?”

Pak Sutaryo adalah ayahku. ...

Yang lucu adalah itu terjadi berdekatan dengan peristiwa-peristiwa lain. Ibu merasa Ayah datang. Aku merasa melihat monitor sofa pijat menyala tiba-tiba. Beberapa hal jika terjadi bersama-sama akan menciptakan makna baru57.

b. Kebangkitan badan orang Jawa

Dalam kepercayaan Jawa ada banyak kisah mengenai kedatangan orang-orang yang telah meninggal seperti yang dituliskan Ayu Utami di atas. Bahkan pada bagian yang membahas mengenai doa arwah orang Jawa di atas pun telah disebutkan bahwa selama masa peringatan peringatan arwah, mulai dari tiga hari sampai dengan seribu harinya almarhum, roh masih ada dan kadang-kadang mengunjungi keluarga yang ditinggalkan. Dengan demikian, tampak ada hubungan antara dunia manusia dengan dunia orang yang telah meninggal dalam budaya Jawa.

Terkait dengan hal ini, orang Jawa percaya bahwa ada dua dunia atau alam kehidupan. Kedua alam itu adalah alam wadag dan alam kelanggengan58. Alam wadag adalah dunia

manusia saat ini. Dalam dunia ini, manusia dilahirkan, hidup, bekerja, menikah, dan meninggal secara fisik. Dunia ini adalah dunia nyata manusia.

56 Ayu Utami, Simple Miracles Doa dan Arwah, Jakarta: KPG, 2014. Hlm. 141-143.

57 Ibid. Hlm. 144-145.

(20)

Alam kelanggengan adalah dunia setelah kematian manusia. Dalam dunia ini, roh dari mereka yang telah meninggal akan tinggal selama-lamanya. Berdasarkan bagian yang membahas mengenai jagading lelembut di atas, nampaknya alam ini adalah jagading lelembut itu juga. Dengan demikian, sangat dimungkinkan pengalaman seperti yang Ayu Utami tuliskan itu terjadi.

Baik alam wadag maupun kelanggengan tampaknya tidak ada sekat, bila benar bahwa

alam kelanggengan itu juga jagading lelembut. Maka dari itu, bukan hal yang mustahil bila ada banyak pengalaman perjumpaan dengan orang yang telah meninggal di tengah kehidupan dunia bagi orang Jawa.

Pembeda alam itu adalah bahwa segala sesuatu di alam wadag sangat real dan dapat diindrai oleh kita, sedangkan di alam kelanggengan tidak demikian. Mereka yang masuk ke

alam kelanggengan akan hidup selamanya di sana. Karena telah meninggal mereka tidak lagi kasat mata. Alam kelanggengan adalah alam abadi. Dengan demikian, kebangkitan orang Jawa bukanlah kebangkitan dengan badan utuh seperti ketika masih hidup di dunia. Yang bangkit dan abadi adalah roh dari mereka yang telah meninggal.

c. Kebangkitan badan Kristiani

Keyakinan iman Katolik mengenai kebangkitan badan tertuang dalam syahadat iman mereka. Perihal kebangkitan badan ini ada pada bagian akhir dari Syahadat Para Rasul. Adapun bunyi syahadat itu adalah: “Aku percaya akan Roh Kudus, Gereja katolik yang kudus, persekutuan para kudus, pengampunan dosa, kebangkitan badan, kehidupan kekal”59. Dalam hal ini, ada dua hal pokok yaitu kebangkitan badan dan kehidupan kekal.

Kebangkitan badan dalam Syahadat Para Rasul secara harfiah berarti kebangkitan daging60. Dalam hal ini, tubuh fisik manusiawi kita yang fana61 inilah yang dimaksudkan akan bangkit bersama jiwa kita. Maka ketika saatnya tiba nanti, kita akan sungguh bangkit dengan tubuh daging yang abadi. Kebangkitan ini seperti kebangkita Kristus sendiri. Dengan demikian, sebagaimana Kristus sungguh-sungguh bangkit, pada akhir zaman setiap orang yang percaya pun bangkit dengan badan yang tak dapat binasa62. Kebangkitan badan itu tidak

59 KWI, Tata Perayaan Ekaristi Buku Umat, Jakarta: Konferensi Waligereja Indonesia, 2005. Hlm. 36.

60 Bdk. KWI, Kompendium Katekismus Gereja Katolik, Cetakan ke 10, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2015. Hlm. 73. No. 202.

61 Bdk. KWI Regio Nusa Tenggara, Katekismus Gereja Katolik, Cetakan III, Ende: Penerbit Nusa Indah, 2014. Hlm. 256. No. 990.

(21)

terjadi secara langsung, melainkan langkah demi langkah63. Langkah itu akan mencapai kepenuhannya pada saat akhir zaman atau hari kiamat64.

Kehidupan kekal adalah kehidupan tanpa akhir65. Kehidupan ini dimulai sejak kematian. Dalam kehidupan ini umat mengalami pertemuan dengan Yesus secara langsung dan abadi66. Terkait dengan kehidupan ini, ada konsep mengenai surga, neraka, dan api penyucian seperti pada bagian pertama di atas.

Kebangkitan badan dan kehidupan kekal mengacu pada pewahyuan diri Allah sendiri, sebagai Allah orang hidup dan bukan Allah orang mati. Kebenaran akan Allah orang hidup ini sudah ada sejak zaman Abraham, bapa kaum beriman. Kebangkitan Kristus dari alam maut menegaskan hal ini, di mana Allah orang hidup menjamin kehidupan kekal bagi semua orang yang percaya kepada-Nya67.

d. Simpul III

Baik keyakinan iman Katolik maupun kepercayaan orang Jawa percaya adanya kehidupan kekal. Dalam kehidupan itu ada keabadian. Dengan demikian setelah kematiannya, manusia menjadi abadi. Namun, bagi orang Jawa yang abadi itu hanyalah rohnya saja. Sedangkan dalam iman katolik tubuh fisik pun akan mengalami keabadian. Dengan demikian, ada perbedaan paham mengenai kebangkitan badan.

Kebangkitan badan orang Jawa bukanlah kebangkitan dari tubuh fisik yang sudah dikuburkan. Kebangkitan ini lebih bersifat metafisik. Dengan demikian, mereka yang telah meninggal terkadang dapat datang ke dunia dan kembali menemui keluarganya. Mereka mencoba memberi peringatan atau nasihat tertentu. Sedangkan, kebangkitan badan orang Katolik adalah juga kebangkitan fisik pada akhir zaman. Maka dalam iman katolik ada keyakinan akan datangnya akhir zaman, yaitu kedatangan kedua Yesus Kristus.

V. Kesimpulan

a. Kesatuan Simpul I, II, III

63 Bdk. Op.Cit. KWI Regio Nusa Tenggara, Katekismus Gereja Katolik. Hlm. 257. No. 992.

64 Bdk. Op.Cit. KWI Regio Nusa Tenggara, Katekismus Gereja Katolik. No. 994.

65 Lih. Op.Cit. KWI, Kompendium Katekismus Gereja Katolik. Hlm. 74. No. 207.

(22)

Ayu Utami melalui novel Simpel Mirables telah menunjukkan perpaduan yang kritis antara iman Katolik, kepercayaan Jawa dan nalar logisnya. Perpaduan ini ia tunjukkan dalam salah satu aspek kehidupan manusia, yaitu kematian. Kematian mengundang banyak pertanyaan yang sering kali menuntut orang jatuh pada kepercayaan tertentu. Dalam kematian itu juga muncul pandangan tentang kebangkitan badan.

Ayu Utami mulai membicarakan kematian dan kebangkitan badan ini dari pandangan Jawa. Dalam bagian pertamanya tentang hantu muncul banyak pengalaman tentang kisah-kisah hantu di masa kecil. Dan yang paling menarik adalah wawancaranya terhadap keponakannya Bonifasius. Dalam pembahasan mengenai hal ini di atas (Simpul I) kita menemukan bahwa pandangan orang Jawa dengan orang Katolik tidak sama. Namun, tetap keduanya mengacu pada dunia setelah kematian.

Pada bagian Tahun, Ayu Utami mulai memasukkan nalar kritisnya. Ia membuat perbaduan antara keyakinan Jawa dengan iman Katolik. Hal ini ditegaskan dengan Simpul II. Dalam Simpul II kita melihat bahwa orang Jawa terbuka terhadap agama apapun dalam doa arwah, dan iman Katolik sudah mempunyai rumusan doa yang sesuai dengan kebiasaan Jawa. Dan pada bagian akhir, yaitu Tuhan, Ayu Utami membawa kita pada pandangan akan kebangkitan badan dan kehidupan kekal. Simpul III menyatakan bahwa baik orang Jawa maupun Katolik percaya adanya kebangkitan badan dan kehidupan kekal. Hanya saja, badan yang dimaksudkan di sini mengalami perbedaan. Orang Jawa mengacu pada badan rohani, yang metafisik, sedangkan iman Katolik masih meyakini adanya kebangkitan badan fisik di akhir zaman nanti.

Dari ketiga simpul itu, nampak bahwa orang Jawa sudah mempunyai pandangan akan kematian, kebangkitan badan, dan kehidupan kekal yang tidak menolak iman Katolik. Memang masih ada perbedaan, namun iman Katolik dan menerimanya, bahkan menyempurnakannya. Maka dari itu, sebenarnya orang Jawa tidak akan mengalami kesulitan pandangan keyakinan ketika ia menjadi Katolik. Pandangannya justru akan disempurnakan.

b. Refleksi

Berkaitan dengan refleksi akan kematian, kebangkitan badan, dan kehidupan kekal ini, kematian Kristiani adalah hal yang indah, dimana kesatuan dengan Kristus menjadi kenyataan. Santo Anastasius dari Antiokhia68 pernah mengatakan bahwa Kristus telah wafat dan bangkit agar Ia menjadi Tuhan bagi yang hidup maupun yang mati. Maka dari itu,

(23)

mereka yang telah meninggal sebagai pengikut-Nya akan bangkit dan bebas dari kebinasaan. Mereka tidak akan mati lagi. Kristus telah turun di dunia orang mati dan menghancurkan penghalang ke surga. Orang masih akan terus mati dan badannya membusuk di makam. Tetapi, Paulus memberikan kesaksian bahwa mereka yang mati ditaburkan sebagai tubuh jasmani, dan dibangkitkan sebagai tubuh rohani. Dengan demikian, Kristus akan mengubah tubuh kita yang fana, dan menjadikannya sama seperti tubuh-Nya yang mulia69.

Selain Santo Anastasius, dalam latar belakang di atas saya juga memasukkan tulisan Santo Ambrosius. Berikut saya kutipkan sebagian tanpa mengubahnya:

Apalagi yang dapat kukatakan tentang kematian-Nya? Kita tahu dari contoh ilahi-Nya, bahwa bahaya maut mencapai keadaan tidak dapat mati, bahwa maut sendiri menebus maut. Maka apakah perlu diratapi, kalau maut merupakan penyebab keselamatan bagi semua? Apakah kita harus menghindarinya, kalau Putera Allah tidak menghinakannya, tidak menjauhinya?70

Santo Ambrosius menyatakan bahwa kita tidak perlu takut kepada maut. Dan pada saat akhir nanti, ia menuliskan bahwa:

Inilah yang diinginkan Daud suci melebihi segala: melihat semua ini dengan mata yang mengerti. Akhirnya ia berkata, “Satu hal yang kuminta kepada Tuhan, inilah yang kucari: Agar aku boleh diam di rumah Tuhan selama hari hidupku, agar aku boleh melihat kemuliaan Tuhan.”71

Dengan demikian kematian seorang Kristiani adalah kebangkitan bersama Kristus. Kebangkitan ini adalah kebangkitan yang sama dengan yang Yesus alami dulu. Maka dari itu, mereka yang telah meninggal di dalam Kristus akan mengalami kebangkitan secara Kristologis. Arti secara Kristologis adalah bahwa Kristus menjadi titik tolak dari kebangkitan itu. Karena Kristus telah bangkit, maka kita pun akan bangkit. Maka kematian, kebangkitan, dan kehidupan kekal seorang Katolik tidak bisa lepas dari Kristus.

Orang Jawa katolik pun memperoleh kematian dan kebangkitan yang serupa. Ketika meninggal ia akan masuk ke api penyucian yang terasa seperti jagading lelembut. Ia disatukan dengan Kristus sebagai Sangkan Paraning Dumadi. Ia akan mengalami kebangkitan badan tidak hanya badan metafisik atau rohani melainkan juga fisik biologis di

69 Bdk. Ibid. Hlm. 129-131.

70 PWI Liturgi, Ibadat Harian Bacaan Ofisi Para Kudus 3 (Rumus Khusus) September-Desember, Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius, 1982. Hlm. 128.

(24)

akhir zaman. Dan kemudian mencapai puncaknya di Surga yang dalam tradisi Jawa disebut

alam kelanggengan.

Dalam kaitan dengan sedulur papat lima pancer yang diungkapkan Ayu Utami dalam perpaduan dengan tanda salib Katolik memang menarik. Namun, bagi saya dikaitan dengan kematian, kebangkitan dan kehidupan kekal, sedulur papat itu mengacu pada kesatuan dengan para kudus, para malaikat, Bunda Maria, dan Tuhan Yesus. Sedangkan yang menjadi

pancernya tetap diri kita pribadi. Dengan demikian yang menyertai kita dalam kematian, kebangkitan badan, dan kehidupan kekal adalah para kudus, para malaikat, Bunda Maria, dan Tuhan Yesus.

c. Relevansi

Kematian, kebangkitan badan dan kehidupan kekal akan selalu ramai dibicarakan dalam kehidupan manusia. Hingga saat ini belum ada kemajuan manusia yang mampu memecahkannya. Ke tiga hal ini selalu dibahas dalam keyakinan, kepercayaan, budaya dan agama. Dengan demikian, berbicara mengenai kematian, kebangkitan badan dan kehidupan kekal adalah berbicara mengenai iman.

Membicarakan iman mengenai kematian, kebangkitan badan dan kehidupan kekal bagi orang Kristiani zaman sekarang tentunya masih relevan. Ini disebabkan oleh karena manusia belum dapat lepas dari kematian. Membicarakannya dapat membangun banyak hal. Bagi seorang Kristiani yang menderita sakit dan mulai kehilangan keyakinan, akan dapat disemangati lagi oleh kepastian akan kehidupan kekal bersama Kristus. Bagi keluarga yang ditinggalkan, memperoleh kelegaan hati karena keyakinan akan kebangkitan badan. Dan bagi kita yang masih hidup menjadi suatu misteri yang menarik untuk diperbincangkan bersamaan dengan berbagai keyakinan yang ada di sekitar kita.

Bagi seorang Jawa Katolik pembicaraan mengenai iman akan kematian, kebangkitan badan dan kehidupan kekal mempunyai peran yang lebih besar lagi. Dengan beriman Katolik, ia tidak akan melulu jatuh pada pengalaman-pengalaman aneh seputar kematian yang kemudian dikait-kaitkan dengan cerita-cerita hantu. Iman Katolik membawa seorang Jawa pada pemahaman baru akan dunia kematian yang lebih indah. Dengan iman Katolik, mereka mendapatkan jaminan akan kehidupan kekal yang pasti bukan menjadi roh gentayangan

ataupun dhayang yang harus mengawasi keluarga dan daerahnya. Selain itu, mengikuti novel

(25)

secara logis dengan iman Katolik. Dengan demikian, menjadi orang Jawa yang Katolik adalah suatu kelebihan dalam memahami kematian, kebangkitan badan dan kehidupan kekal. Dalam hal ini, pandangan Jawa akan kematian, kebangkitan badan dan kehidupan kekal mendapatkan kesempurnaan dan pencerahan nalar melalui iman Katolik.

Bagi masyarakat pada umumnya, pandangan akan kematian, kebangkitan badan dan kehidupan kekal pun masih relevan sebab masih banyak orang yang mempertanyakannya, terutama di desa-desa yang masih tradisional dengan berbagai pengalaman akan kematian dan arwah.

Sumber:

Ayu Utami, Simple Miracles Doa dan Arwah, Jakarta: KPG, 2014

(26)

KWI, Kompendium Katekismus Gereja Katolik, Cetakan ke 10, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2015.

_____, Iman Katolik Buku Informasi dan Referensi, Yogyakarta: Penerbit Kanisius dan Jakarta: Penerbit Obor, 1996.

_____, Tata Perayaan Ekaristi Buku Umat, Jakarta: Konferensi Waligereja Indonesia, 2005.

KWI Regio Nusa Tenggara, Katekismus Gereja Katolik, Cetakan III, Ende: Penerbit Nusa Indah, 2014.

Komisi Liturgi KAS, Memule ingkang Sampun Sumare, cetakan kelima, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2013.

Mgr. Dr. M. Coomans MSF, Kumpulan Upacara Ibadat, Cetakan ke 22, Edisi Revisi, Jakarta: Penerbit Obor, 2016.

Otto Sukatno CR, Nalar serta Rasionalitas Mistik dan Ilmu Gaib Pengantar Memahami dan Menghayati Keberadaan dan Kompleksitas “Mistisisme, Ilmu, Dunia dan Alam Lain”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016.

PWI Liturgi, Ibadat Harian Bacaan Ofisi Para Kudus 3 (Rumus Khusus) September-Desember, Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius, 1982.

_____, Ibadat Harian Bacaan Ofisi Para Kudus (Rumus Umum), Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius, 1982.

RD Josep Ferry Susanto Ed., Credo dan Relevansinya, Jakarta: Penerbit Obor, 2014. Stefanus Pranjana, Setan Menurut Orang katolik Perspektif Perjanjian Baru, cetakan

kelima, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009.

Threes Emir, Mengapa Saya (tetap) Katolik, Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius, 2016. Y. Tri Subagya, Menemui Ajal Etnografi Jawa Tentang Kematian, Yogyakarta:

Referensi

Dokumen terkait