• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fin Tech Lending di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Fin Tech Lending di Indonesia"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1

Abstrak

Abstrak — Dunia finansial semakin berkembang dari tahun ke tahun, termasuk dengan teknologi yang diaplikasikan di dalamnya. Teknologi tersebut membantu mempermudah segala transaksi finansial yang dilakukan nasabah atau konsumen. Teknologi itu juga membuat proses inklusi dan literasi finansial menjadi lebih mudah, terutama untuk suatu negara yang belum tinggi pemahaman masyarakatnya terhadap finansial. Teknologi yang digunakan dalam bidang finansial secara khusus disebut financial technology (fintech). Kemajuan fintech akan menentukan seberapa sophisticated-nya dunia finansial di masa depan. Bahkan bisa saja ke depannya uang elektronik atau digital yang akan digunakan secara penuh untuk bertransaksi.

Indonesia telah masuk ke dalam jajaran negara-negara mobile-first, dengan konsumsi data melalui ponsel pintar

(smart phone) dan perangkat selular lainnya melampaui data melalui broadband (wired network). Hal ini mendorong gelombang start-up financial technology (fintech) yang mengembangkan situs-situs pembanding, pengelolaan keuangan pribadi (personal financial management), aplikasi pinjaman dan investasi, pembayaran

peer-topeer (P2P) dan solusi korporat. Lembaga-lembaga keuangan pun membuka diri terhadap teknologi digital dan mulai menawarkan produk dan layanan keuangan berbasis teknologi (Fintech)

Kata kunci — Finance Technology (Fintech), Elektronik, peer-topeer (P2P)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kegiatan pinjam meminjam uang secara langsung berdasarkan perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis merupakan praktik yang telah berlangsung di tengah kehidupan masyarakat. Pinjam meminjam secara langsung banyak diminati oleh pihak yang membutuhkan dana cepat atau pihak yang karena sesuatu hal tidak dapat diberikan pendanaan oleh industri jasa keuangan konvensional seperti Perbankan, Pasar Modal, atau Perusahaan Pembiayaan.

Segala manfaat ekonomi, kerugian yang ditimbulkan, serta dampak hukum dari kegiatan pinjam meminjam yang dilakukan secara langsung sepenuhnya menjadi tanggung jawab para pihak sesuai dengan kesepakatan yang telah diperjanjikan. Praktik dimaksud dinilai masih terdapat banyak kelemahan yang diantaranya seperti pelaksanaan kegiatan pinjam meminjam dilakukan oleh para pihak yang sudah saling mengenal dan harus bertatap muka, subjektifitas terhadap penilaian risiko gagal bayar, kesulitan dalam penagihan pembayaran, maupun tidak adanya sistemasi pencatatan pelunasan pinjaman yang telah dilakukan.

Dalam era perkembangan ekonomi digital, masyarakat terus mengembangkan inovasi penyediaan layanan dalam kegiatan pinjam meminjam yang salah satunya ditandai dengan adanya penyediaan Layanan Jasa Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi

Informasi yang dinilai turut berkontribusi terhadap pembangunan dan perekonomian nasional.

Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi sangat membantu dalam meningkatkan akses masyarakat terhadapproduk jasa keuangan secara online baik dengan berbagai pihak tanpa perlu saling mengenal. Keunggulan utama dari Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi antara lain tersedianya dokumen perjanjian dalam bentuk elektronik secara online untuk keperluan para pihak, tersedianya kuasa hukum untuk mempermudah transaksi secara online, penilaian risiko terhadap para pihak secara online, pengiriman informasi tagihan (collection) secara online, penyediaan informasi status pinjaman kepada para pihak secara online, dan penyediaan escrow account dan virtual account di perbankan kepada para pihak, sehingga seluruh pelaksanaan pembayaran dana berlangsung dalam sistem perbankan. Atas hal ini, Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dana tunai secara cepat, mudah, dan efisien, serta meningkatkan daya saing.

Selain itu, Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi diharapkan dapat menjadi salah satu solusi untuk membantu pelaku usaha skala mikro, kecil, dan menengah (UMKM)

Endar Hartono

Magister Teknik Elektro, Universitas Mercu Buana,

endar.kek.2014@kek.ekon.go.id

Dosen : DR Ir Iwan Krisnadi MBA

FinTech Lending di Indonesia:

(2)

2

dalam memperoleh akses pendanaan. Sampai dengan saat ini, belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kegiatan bisnis layanan jasa keuangan berbasis teknologi informasi. Kondisi tersebut dikhawatirkan dapat menimbulkan kerugian bagi Pengguna. Oleh karena itu, regulasi kegiatan bisnis Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dinilai sudah sangat mendesak. Berdasarkan pertimbangan tersebut, kegiatan usaha Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi perlu diatur dan diawasi dalam rangka perlindungan Pengguna, penyelenggaraan kegiatan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, dan perlindungan kepentingan nasional dengan tetap memberikan ruang bertumbuh bagi perusahaan perintis (start up company) dalam rangka peningkatan inklusi keuangan di Indonesia. Peraturan OJK ini antara lain berisi ketentuan untuk meminimalisasi risiko kredit, perlindungan kepentingan Pengguna seperti penyalahgunaan dana dan data Pengguna, dan perlindungan kepentingan nasional seperti kegiatan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme, serta gangguan pada stabilitas system keuangan.

B. Perkembangan Fintech di Indonesia

Fintech adalah sebuah pengembangan dari teknologi keuangan pada sektor jasa keuangan yang muncul pada abad ke-21. Awalnya, istilah FinTech diterapkan untuk penerapan teknologi back-end ke konsumen untuk transaksi keuangan. Sejak akhir dekade pertama abad ke-21, istilah ini telah diperluas untuk mencakup inovasi teknologi di sektor keuangan, termasuk inovasi dalam literasi keuangan dan pendidikan, perbankan ritel, investasi dan bahkan kripto-mata uang seperti bitcoin.

Istilah teknologi keuangan bisa berlaku untuk setiap inovasi dalam cara orang bertransaksi, melakukan bisnis. Sejak revolusi internet dan revolusi internet mobile, bagaimanapun, teknologi keuangan telah tumbuh eksplosif, dan arti fintech, yang awalnya disebut sebagai penerapan teknologi komputer lanjutan pada back office bank atau perusahaan perdagangan, sekarang memiliki peran lebih luas pada komersial keuangan.

Cara-cara baru pada sektor keuangan terus bermunculan. Hal tersebut bertujuan untuk memberikan peningkatan layanan. Peningkatan penggunaan teknologi dalam industri keuangan (fintech) diyakini dapat meningkatkan jangkauan layanan keuangan. Munculnya fintech telah menciptakan cara bagi semua entitas untuk memiliki akses ke semua alat dan jasa keuangan dengan biaya yang terjangkau.

Kini, teknologi perbankan dan keuangan di era tahun 2000an telah berakhir dan bertransformasi menjadi Fintech. Saat ini di Indonesia telah bertebaran 135 perusahaan startup Fintech yang sudah terdaftar di OJK. Perusahaan startup Fintech di Indonesia di atur melalui peraturan

POJK-Nomor-77-POJK.01-2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

Arti Fintech akan terus berkembang seiring dengan kemajuan teknologi informasi. Era Fintech akan membawa suatu kemungkinan pada hal-hal yang sebelumnya kita anggap tidak mungkin. Hal ini mungkin dapat terlihat ketika suatu koperasi, yayasa, atau badan lainnya lebih dapat bersinergi dengan pihak perbankan dalam melakukan penarikan saldo nasabah untuk transaksi sehari-hari.

Semenjak awal tahun 2000-an, telah terjadi fenomena fintech di dunia sebagai akibat dari revolusi industri fase ke-4. Hal itu yang dimaknai sebagai digital revolution. Pendorong utamanya adalah teknologi. Revolusi digital itu terjadi pada semua sektor bisnis, tapi jika ia diimplementasikan di sektor finansial atau keuangan, maka disebut fintech, yang merupakan akronim dari kata financial dan technology.

Pada awalnya, istilah fintech digunakan untuk teknologi yang dipakai pada back- end customer dan/atau institusi finansial yang sudah mapan. Namun, krisis keuangan tahun 2008, menyebabkan timbulnya sebuah pasar luas bagi perusahaan kecil (khususnya startup) untuk menciptakan sebuah produk inovatif, yang menyediakan solusi big data bagi institusi-institusi finansial yang telah ada. Jadi, semenjak akhir dekade pertama abad 21, istilah fintech sudah berkembang melingkupi inovasi teknologi di sektor finansial, seperti inovasi di literasi finansial, personal banking, commercial banking, investasi dan sebagainya.

(3)

3

Pada awalnya, istilah fintech digunakan untuk teknologi yang dipakai pada back-end customer dan/atau institusi finansial yang sudah mapan. Namun, krisis keuangan tahun 2008 menjadikan bank-bank menyalurkan sumber daya mereka pada kebijakan baru untuk memuaskan para regulator, namun hal ini membuat mereka tidak mempunyai sisa dana lagi untuk inovasi.

Sehingga timbullah sebuah pasar luas bagi perusahaan kecil (khususnya startup) untuk menciptakan sebuah produk inovatif, yang menyediakan solusi big data bagi institusi-institusi finansial yang telah ada. Jadi, semenjak akhir dekade pertama abad 21, istilah fintech sudah berkembang melingkupi inovasi teknologi di sektor finansial, termasuk inovasi di literasi dan edukasi finansial, retail atau personal banking, commercial banking, investasi dan bahkan crypto-currency seperti bitcoin diperkirakan akan terus naik hingga US$6-US$8 miliar pada 2018. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Indonesia mengklasifikasikan perusahaan fintech dalam dua kategori, yaitu fintech 2.0 yang mencakup institusi finansial yang telah ada, seperti perbankan digital; dan FinTech 3.0 yang mencakup perusahaan pemulai (startup) dalam bisnis perdagangan elektronik secara digital (e-commerce) yang belum tersentuh dalam FinTech 2.0.

C. Tantangan Spesifik Industri Fintech

Selain tantangan spesifik yang dihadapi Indonesia, industri Fintech juga menghadapi hambatan global. Pembicara IFFC juga membahas beberapa tantangan-tantangan besar, dengan fokus utama pada permasalahan keandalan data dan manajemen risiko: 1) Keandalan Data. Kami melihat beberapa kasus

manipulasi data oleh para pelaku Fintech di Cina, yang menyebabkan integritas data patut untuk dipertanyakan. Sebagai contoh, Ezubao, pemberi pinjaman secara daring (online) yang dibentuk oleh seorang pengusaha Cina, Ding Ning, pada tahun 2014, dan dengan pesat menjadi pemberi pinjaman peer-to-peer terbesar di Cina. Perusahaan ini menarik 50 miliar yuan ($7.6 miliar) dari hampir 1 juta investor dan nasabah platform peer-to-peer Cina, yang relatif miskin dan tidak memiliki pengalaman dengan lembaga keuangan. Perusahaan yang dimulai sebagai bisnis menjanjikan ini akhirnya berakhir tidak sesuai harapan. Risk controller Ezubao, Yong Lei, mengungkapkan pada tahun 2015 bahwa 95 persen dari proyek-proyek perusahaan bukan merupakan proyek aktual. Bahkan setelah menjanjikan return tahunan mulai dari 9 persen hingga lebih dari 14 persen kepada investor, Ding Ning menghabiskan dana lebih dari 1 miliar yuan untuk pengeluaran pribadi. Pemerintah segera membekukan aset perusahaan yang dinyatakan sebagai skema Ponzi (penipuan investasi)— sangat disayangkan, padahal terbesar di dunia dari segi jumlah depositor.

2) Cybersecurity. Para pelaku Fintech yang tidak memiliki lapisan pengamanan untuk perlindungan terhadap cyber-attack dapat mengalami kerugian besar. Sebagai contoh, kelemahan keamanan lokal dapat memungkinkan para hacker merusak jaringan perbankan lokal pada tahun 2014. Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT), yang jasanya telah digunakan di lebih dari 200 negara, melaporkan bahwa beberapa bank pernah mengalami serangan tersebut dan para hacker mampu mengirimkan pesan tipuan yang isinya permintaan untuk transfer dana melalui layanan pesan SWIFT. Serangan tersebut masih terus terjadi. Pada tahun 2016, SWIFT mengidentifikasi serangan malware di Bangladesh, Ekuador, Filipina dan Vietnam, dengan kerugian $101 juta di Bangladesh dan $12 juta di Ekuador. Bagi industri yang sudah maju seperti industri system pembayaran, startup Fintech dapat memenuhi standar global yang tersedia seperti PCIDSS. Namun demikian, untuk bidang-bidang Fintech lainnya yang masih berkembang, terdapat keterbatasan panduan, baik di tingkat nasional maupun global, dimana perusahaan perlu menjamin sistem keamanannya.

(4)

4

merupakan bagian signifikan dalam sistem keuangan, kendali risiko tetap menjadi perhatian khusus, Fintech seringkali kurang diposisikan dengan baik dan tidak memiliki mekanisme, tim, serta model risiko untuk membangun sistem manajemen risiko yang komperehensif sebagaimana terdapat pada lembaga-lembaga keuangan biasa.

D. Peran Regulator untuk Perkembangan Fintech Perkembangan bisnis fintech sangat dipengaruhi oleh faktor kepercayaan (trust). Jika masyarakat tidak percaya, bisa dipastikan bahwa bisnis mereka tidak akan berkembang. Sehingga, salah satu faktor penting untuk meningkatkan kepercayaan publik adalah adanya rezim pengaturan (regulatory regime) untuk melindungi kepentingan umum di satu sisi, namun tetap memperhatikan ruang pengembangan bisnis bagi industri di sisi lainnya. OJK, sebagai salah satu regulator fintech, akan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pengembangan Inovasi Digital Ekonomi dan Keuangan. Kemudian, lembaga ini juga akan menerbitkan Peraturan OJK (POJK) untuk pelaku industri fintech, supaya nantinya tercipta lingkungan yang lebih kondusif bagi perkembangannya di Indonesia.

Ketua Dewan Komisioner (DK) OJK Muliaman D. Hadad mengharapkan, kegiatan fintech bisa menjadi mainstream Untuk regulasi fintech, OJK akan menerapkan pendekatan “regulatory sandbox”. Dengan pendekatan ini, semua pelaku fintech diharapkan bisa mempunyai ruang eksperimen yang cukup. Misalkan hanya ditawarkan pada nasabah tertentu dan tenor terbatas, sebelum ditawarkan secara lebih luas lagi. Ini untuk menghindari terjadinya massive failure yang dapat merugikan konsumen maupun stabilitas sektor jasa keuangan.

“Pengembangan industri fintech ke depannya juga tidak akan berjalan baik tanpa koordinasi dan sinergi dari berbagai pemangku kepentingan. Yakni regulator, institusi finansial, investor, startup, inkubator, asosiasi industri, serta kalangan akademisi. Mulai dari penyediaan infrastruktur regulasi, dukungan insentif bagi pembiayaan usaha startup, hingga edukasi dan pembinaan bagi para calon- calon pengusaha startup fintech. Ini sebagai langkah menuju fase yang lebih advance, yaitu fase banking anywhere,” ungkap Muliaman.

Kemudian, BI menyatakan ada tiga hal yang wajib dilakukan perusahaan fintech dalam menjalankan bisnisnya. Gubernur BI, Agus Martowardojo, mengatakan bahwa layanan keuangan berbasis teknologi tersebut harus mempunyai institusi dan badan hukum di Indonesia; dan kalau transaksinya di Indonesia harus menggunakan mata uang rupiah. “Misalkan kegiatan bisnis fintech-nya

seperti deposit, pinjaman, dan suntikan modal, maka dana atau uang tersebut harus disimpan di sistem perbankan umum, bukan di lembaga keuangan nonbank,” tegasnya.

Salah satu hal terpenting juga adalah tentang meraih kepercayaan customer dan menjaganya dengan baik. Semuanya harus diinvestasikan dalam hubungannya dengan pengalaman customer, supaya mereka merasa bahagia dan puas dengan adanya fintech, baik yang startup berdiri sendiri maupun yang bekerja sama dengan institusi finansial lainnya.

II. TUJUAN DAN SASARAN

Tujuan Penulisan ini bertujuan untuk melihat bagaimana menciptakan sebuah konsep finansial fintech yang menggunakan bantuan teknologi informasi untuk menghadirkan layanan pinjam meminjam uang dengan mudah

.

III. BATASAN MASALAH Pada Penulisan paper ini ruang lingkup dan batasan masalah hanya dibatasi pada industri FinTech di Indonesia dan system FinTech di Indonesia.

IV. METODOLOGI

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif yang dikaitkan dengan tujuan penelitian mengenai fintech di Indonesia.

A. Studi Pustaka

Serangkaian kajian studi pustaka telah dilakukan yang dirangkum melalui jurnal, artikel, survei dan halaman situs terkait teknologi FinTech dan hubungannya dengan hukum dan peraturan. 1) Jurnal Artajasa edisi 65/Juli – Desember 2016

Infrastruktur teknologi informasi (TI) di Indonesia seharusnya semakin dikuatkan dalam rangka mendukung perjalanan perusahaan fintech di masa depan. Misalnya harus disediakan sistem aplikasi yang andal

(mobile application, web application, artificial intelligence, robotic, big data analytics), koneksi jaringan yang baik (broadband internet, 4G, Google Balloon), data center yang murah dan mumpuni (co-location, managed service, clouds computing), identitas penduduk yang valid (KTP elektronik), dan teknik otentikasi yang kuat (cryptography, digital signature, digital certificate, one time password, biometric verification).

(5)

5

tumbuhnya alternatif pembiayaan bagi masyarakat; 2).bahwa dalam rangka mendukung pertumbuhan Lembaga Jasa Keuangan Berbasis Teknologi Informasi sehingga dapat lebih berkontribusi terhadap perekonomian nasional; 3). bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Lembaga Jasa Keuangan Berbasis Teknologi Informasi;

Pasal 5 Ayat (2) menyebutkan : Yang dimaksud dengan “penyelenggara layanan jasa keuangan berbasis teknologi informasi” antara lain penyelenggara layanan jasa keuangan berbasis teknologi informasi di bidang

sistem pembayaran, perasuransian, dana pensiun, lembaga keuangan mikro, pembiayaan, modal ventura, pergadaian, atau penjaminan.

Dalam POJK 77/2016, layanan pinjam meminjam berbasis teknologi informasi didefinisikan sebagai penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet.

3) Artikel youngsters.id

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam situs resminya menyatakan telah hadirnya Peraturan Otoritas Jasa keuangan Nomor 77 /POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dan diundangkan pada 29 Desember 2016. Dalam aturan yang diunggah itu dinyatakan Penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasiadalah badan hukum Indonesia yang menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.Sementara untuk kepemilikan saham Penyelenggara oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing baik secara langsung maupun tidak langsung paling banyak 85% di FinTech LendingPenyelenggara berbentuk badan hukum perseroan terbatas dan koperasi wajib memiliki modal disetor paling sedikit Rp1 miliar pada saat pendaftaran. Penyelenggara wajib memiliki modal disetor paling sedikit Rp2,5 miliar pada saat mengajukan permohonan perizinan. Sedangkan batas maksimum pinjaman yang diberikan adalah senilai Rp 2 miliar.

Pemain FinTech Lending wajib menggunakan escrow account dan virtual account dalam

menyelenggarakan layanan. Terkait dengan data center, Penyelenggara FinTech Lending wajib menempatkan pusat data dan pusat pemulihan bencana di Indonesia.

V. PEMBAHASAN

1. Sistem FinTech Lending

Peer to Peer Lending merupakan sebuah konsep finansial yang menggunakan bantuan teknologi informasi untuk menghadirkan layanan pinjam meminjam uang dengan mudah. POJK atau Peraturan Otoritas Jasa Keuangan menetapkan beberapa aturan dalam pelaksanaan Peer to Peer Lending. Beberapa aspek yang diatur oleh OJK termasuk kelembagaan, penyelenggaraan fintech (financialtechnology), produk, hingga penggunaan teknologi informasi. Melalui artikel berikut, Finansialku akan menjabarkan sistem Peer to Peer Lending dan FintechLending

.

Peer to Peer Lending merupakan suatu sistem yang memungkinkan pendana dan peminjam untuk melakukan proses pinjam meminjam secara online. Sistem ini disebut peer to peer karena dilakukan oleh sesama pengguna awam, dan bukanlah oleh lembaga resmi seperti bank atau koperasi. Peer to Peer Lending merupakan wadah untuk bertransaksi baik jika Anda ingin meminjam sejumlah dana untuk mengembangkan bisnis, atau jika Anda ingin berinvestasi dengan meminjamkan sejumlah dana dan berperan sebagai investor. Peer to Peer Lendingmerupakan sistem yang tepat jika Anda menginginkan pinjaman pribadi yang cepat atau bagi Anda yang memiliki dana berlebih dan masih bingung kemana Anda ingin menginvestasikannya.

2. Regulasi Terkait Peraturan Peer to Peer Landing Salah satu perusahaan yang menjalankan Peer to Peer Lending yaitu KoinWorks, dimana perusahaan ini menyediakan platform untuk mempertemukan pendana dan peminjam. Peer to Peer Lending memungkinkan untuk memberi keuntungan finansial kepada dua belah pihak, baik Anda sebagai pendana ataupun sebagai peminjam. Namun, serupa dengan kegiatan finansial lainnya, sistem ini juga memiliki risiko sehingga Anda harus berhati-hati dalam pelaksanaannya.

(6)

6

to Peer Lendingsesuai pernyataan dari Ketua Dewan Komisioner OJK

3. Isu Isu yang Mendasari Peraturan Peer to Peer Lending

Menurut Dewan Komisioner OJK peraturan Peer to Peer Lendingdidasari oleh beberapa isu strategis sebagai berikut:

1. Ditujukan untuk mengupayakan potensi Fintech (financial technology) dalam meningkatkan akses masyarakat terhadap produk jasa keuangan.

2. Fintech juga diupayakan agar dapat membantu proses pembiayaan secara cepat, mudah, dan efisien.

3. Mengupayakan pengembangan bisnis pinjam meminjam sehingga dapat menjadi salah satu solusi utama bagi peminjam untuk mengembangkan usahanya.

Peraturan Peer to Peer Lending diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan investor sehingga mau berinvestasi pada Fintech Lending. Dengan tujuan membantu pelaku UKM memperoleh dana untuk mengembangkan usahanya. Skema yang dirancang berupa proses peminjaman uang dimulai dari peminjam yang akan mengajukan permintaan untuk meminjam sejumlah uang dari pihak Fintech Lending. Permohonan Anda bisa diterima atau pun ditolak, tergantung dari beragam faktor. Jika pengajuan Anda diterima, maka suku bunga pinjaman diterapkan kemudian pengajuan pinjaman Anda akan dimasukkan dalam marketplace yang tersedia agar semua pendana bisa melihat pengajuan pinjaman Anda. Kemudian akan dilanjutkan dengan verifikasi identitas oleh pihak Fintech lending yang menjadi salah satu syarat sebelum proses pencairan dana pinjaman dilakukan. Langkah ini dianjurkan oleh OJK demi keamanan kedua pihak dalam bertransaksi dalam marketplace online, yang dalam kasus ini dibantu oleh Fintech Lending seperti KoinWorks. Dengan tujuan mengurangi penyalahgunaan sistem ini agar sistem ini terus berkembang dan tidak hilang ditelan teknologi-teknologi baru.

VI KESIMPULAN

Masalah regulasi atau peraturan terhadap fintech juga harus diperhatikan oleh Pemerintah Indonesia. Terutama jika ada uang masyarakat yang jadi bagian di dalamnya. “Yang merupakan ultimate source of fund (di masa depan) sebenarnya tetap bank account, dan ini yang harus dijaga Pemerintah. Sebab, kalau produk fintech yang berupa virtual money atau e-wallet, bisa saja kan uangnya raib diambil, atau malah mereka “mencetak” uang dan menambah saldonya sendiri. Salah satu hal terpenting juga adalah tentang meraih kepercayaan customer dan menjaganya

dengan baik. Semuanya harus diinvestasikan dalam hubungannya dengan pengalaman customer, supaya mereka merasa bahagia dan puas dengan adanya fintech, baik yang startup berdiri sendiri maupun yang bekerja sama dengan institusi finansial lainnya.

Selain itu, infrastruktur teknologi informasi (TI) di Indonesia seharusnya semakin dikuatkan dalam rangka mendukung perjalanan perusahaan fintech di masa depan. Misalnya harus disediakan sistem aplikasi yang andal (mobile application, Manfaat Fintech untuk Indonesia Pada negara berkembang seperti Indonesia, dengan tingkat penetrasi keuangan, fintech dapat berperan mempercepat perluasan jangkauan layanan keuangan.

VII SARAN DAN MASUKAN

Fintech memiliki prospek yang sangat luar biasa di Indonesia dilihat dari tingginya komitmen dari stakeholder dalam meningkatkan inklusi keuangan dan berinovasi. Komitmen juga dirasakan dari partisipasi tinggi para pejabat Pemerintah serta para pemangku kepentingan industri terkait. Berikut saran dan masukan penulis untuk kemajuan Fintech di Indonesia: 1) Menetapkan satu pintu untuk Fintech

Perusahaan-perusahaan Fintech beroperasi dan berhubungan dengan berbagai regulator terkait (misalnya OJK untuk jasa keuangan, Menkominfo untuk TI/teknologi, dan BI untuk pembayaran – bagi sebagian pelaku). Para pelaku industri meyakini bahwa dengan keberadaan regulator utama yang bertindak sebagai otoritas industri terkait akan dapat memberikan arahan lebih jelas dan memungkinkan mereka bertumbuh dengan lebih cepat. Para pelaku industri juga mendukung dan mendorong inisiatif peluncuran Inkubator Fintech sebagaimana yang diumumkan oleh OJK dan KADIN pada IFFC 2016. Beberapa negara lain telah menerapkan pendekatan serupa. Di Singapura, Monetary Authority of Singapore (MAS) dan National Research Foundation (NRF) membentuk FinTech Office bersama tahun 2016 sebagai suatu entitas virtual one-stop yang melayani seluruh bidang terkait Fintech. Di Inggris, Financial Conduct Authority (FCA) meluncurkan Innovation Hub pada tahun 2014 sebagati pusat panduan bagi para pelaku bisnis baru dan yang telah ada (baik yang diatur maupun tidak) guna membantu memahami kerangka regulasi serta menyiapkan dan mengajukan permohonan otorisasi.

(7)

7

manajemen, jasa portal internet, hingga broker keuangan, dan masih banyak lagi. Di sisi lain, model-model bisnis baru seperti pinjaman P2P, agregasi rekening atau pembayaran dengan blockchain, membutuhkan perizinan yang lebih spesifik untuk memberi akses lebih luas terhadap perlindungan yang diberikan oleh Pemerintah terhadap perusahaan, tingkat kenyamanan lebih tinggi bagi para pemangku kepentingan, serta peluang ekspansi lebih besar.

3) Mendorong eksperimentasi melalui regulatory sandbox

Para pelaku industri mengharapkan kerangka regulasi yang memungkinkan percobaan sekaligus penawaran lapangan usaha bagi para pebisnis baru. Sebagai referensi, Monetary Authority of Singapore (MAS) menetapkan kerangka regulasi yang memungkinkan perusahaan serta lembaga keuangan melakukan percobaan dengan solusi Fintech, namun tetap pada lingkup dan durasi yang ditetapkan dengan baik. Tetap mematuhi kerangka regulasi yang ada, sebagai contoh, MAS sedikit melonggarkan beberapa persyaratan khusus. Para pelaku industri meyakini bahwa pendekatan serupa juga dapat diterapkan di Indonesia untuk menyeimbangkan kebutuhan atas inovasi dan stabilitas keuangan; menerima kegagalan yang mungin terjadi namun tetap dalam kendali.

4) Menambahkan Fintech dalam kerangka perlindungan konsumen Indonesia

Di tengah proses pembelajaran konsumen yang berkesinambungan tentang industri Fintech, diskusi mengenai cyber security dan perlindungan data menjadi sangat vital. Dengan pemahaman tersebut, para pelaku industri pun menyarankan penyesuaian regulasi terkait perlindungan konsumen— diantaranya dengan menambahkan Fintech ke dalam kerangka kerja perlindungan konsumen Indonesia serta memberi penegasan regulasi atas hak konsumen dalam hubungan usaha dengan perusahaan Fintech. Kerangka kerja tersebut perlu menangani permasalahan-permasalahan utama mulai dari kerahasiaan dan keamanan data yang disampaikan konsumen hingga integritas dan reliabilitas data yang disajikan perusahaan Fintech kepada masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

K. Widiasri, “Regulasi Telekomunikasi Indonesia Dalam Melindungi Konsumen Di Bidang Telekomunikasi Menurut Hukum Positif Indonesia,” J. Ilm., 2014.

Jurnal Artajasa edisi 65/Juli – Desember 2016

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 /POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi

Walter Pinem. 31 Desember 2016. Peraturan Peer to

Peer Lending Resmi Dirilis Oleh OJK.

Koinworks.com – https://goo.gl/Tj5ucu

Walter Pinem. 4 Oktober 2016. Semua yang Perlu Anda Ketahui Tentang Peer to Peer Lending (P2P Lending). Koinworks.com – https://goo.gl/lJkzEZ

Referensi

Dokumen terkait