• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rekonsiliasi Nasional Pelanggaran HAM Ma

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Rekonsiliasi Nasional Pelanggaran HAM Ma"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1

Rekonsiliasi Nasional Pelanggaran HAM Masa Lalu

(Upaya Merajut Tenun Kebangsaan Menuju Indonesia Berkeadilan dan Berkeadaban Sebagai Refleksi 70 Tahun Indonesia Merdeka)1

Oleh :

Nanang Suryana, S.IP.2

Pendahuluan

Memperingati kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-70, segudang permasalahan masih menyandera realitas keseharian masyarakat Indonesia. Mulai dari permasalah berdimensi politik, seperti realitas reformasi yang seakan jauh dari kehendak awalnya yang asali, sampai pada berbagai permasalahan surplusnya hak politik warga negara yang seakan tak memiliki rambu etika dan norma dalam berbagai ekspresinya. Disisi lain, berbagai kesulitan ekonomi kian membebani kehidupan masyarakat. Harga bahan-bahan pokok yang acap kali jauh dari prediksi normal logika publik, sampai pada rendahnya nilai tukar rupiah yang berdampak pada ketidakstabilan makro ekonomi Indonesia, menjadi konsumsi rutin ditengah survivalitas masyarakat Indonesia dewasa ini. Belum lagi, deretan permasalah berdimensi ideologi, politik, sosial, budaya, dan pertahanan-keamanan yang setiap hari membanjiri pemberitaan diberbagai media masa, menambah peliknya masalah yang berjalin kelindan seakan tak berkesudahan.

Diantara daftar masalah yang seolah tak mengenal batas akhirnya tersebut, tak berarti optimisme keberlangsungan perjalanan bangsa ini harus berakhir. Sejarah sudah mengajarkan kita tentang bagaimana Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa, lahir, tumbuh, dan berkembang mempertahankan eksistensinya ditengah gangguan dan hambatan

1

Tulisan ini ditujukan sebagai naskah dalam Lomba Menulis Esai & Puisi Kebangsaan DIP (Democracy, Integrity, and Peace) Centre dalam rangka memperingati Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-70.

2

(2)

2

yang tidak hanya datang dari internal, namun juga berbagai rongrongan tersebut berdimensi eksternal. Dimulai dari hambatan yang hanya berskala domestik, sampai pada hambatan dengan skala regional, bahkan global.

Salah satu masalah internal dengan dimensi eksternal yang masih menyandera makna kemerdekaan Indonesia yang sejati, diantaranya soal penegakan hak asasi manusia di Indonesia (HAM). Isu terkait HAM tidak mungkin dikesampingkan dalam perjalanan Indonesia menuju konsolidasi demokrasinya. Karena HAM adalah prasyarat yang harus dipenuhi sebagai manifestasi pengakuan negara terhadap martabat kemanusiaan rakyat

sebagai pemilik resmi kedaulatan. Oleh karena itu, pemaknaan kemerdekaan Indonesia yang ke-70 tahun ini, harus juga menjadi momentum refleksi atas kondisi kemanusiaan yang telah menjadi hutang negara dalam masa perjalanannya.

Sedikit diantara berbagai permasalahan hak asasi manusia tersebut, diantaranya adalah 6 peristiwa pelanggaran HAM masa lalu yang statusnya sejauh ini telah mendapat rekomendasi Komnas HAM kepada Kajaksaan Agung, untuk dapat dilakukan penyidikan. Namun, sampai detik ini, upaya penyelesaian berbagai praktik kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut, belum memperlihatkan perkembangan yang berarti. Peristiwa palanggaran HAM masa lalu tersebut yakni, Peristiwa Trisakti, Semanggi 1 (1998) dan Semanggi II (1999), Peristiwa Mei 1998, Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Talangsari 1989, Peristiwa 1965, dan Peristiwa Penembakan Misterius.

(3)

3

penyiksaan terhadap orang-orang yang diduga terlibat dalam Peristiwa G 30 S. Kejadian serupa juga terjadi di wilayah Sumatera Selatan melalui penghilangan secara paksa terhadap mereka yang diduga PKI, yang kemudian di antaranya ada pula yang ditahan di kamp penahanan Pulau Kemarau yang berada di tengah-tengah Sungai Musi. Bentuk-bentuk kekerasan lain juga terjadi di Kamp Monconghoe, Sulawesi Selatan dan di Pulau Buru, Maluku, berupa perbudakan terhadap para tahanan disana. Selebihnya, berbagai bentuk kekerasan dan kejahatan juga terjadi di banyak tempat lainnya di Indonesia.

Meskipun rekomendasi tersebut berasal dari Komnas HAM sebagai salah satu

lembaga negara yang bertugas mewujdukan kondisi yang kondusif bagi penegakan HAM di Indonesia.3 Namun, rekomendasi hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut tidak mendapat respon yang positif dari Kejaksaan Agung. Sampai menjelang usia peristiwa 1965 yang setengah abad pada 2015 ini, upaya yudisial yang seharusnya bisa dilakukan masih terganjal oleh perangkap impunitas yang mewarnai gejala penegakan HAM di Indonesia. Oleh karena itu, upaya rekonsiliasi nasional seharusnya mampu menjadi jembatan untuk berbagai pihak yang berkepentingan, demi kepentingan yang lebih luas dan strategis. Yakni, terpeliharanya semangat persatuan dan kesatuan, dan terhindarnya republik ini dari ancaman disintigerasi yang disebabkan beban sejarah yang tak pernah usai. Berikut penulis tampilkan daftar kasus pelanggaran HAM masa lalu yang sudah diselidiki Komnas HAM, namun belum ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung melalui penyidikan lebih lanjut:

3

(4)

4

Tabel 1 : Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu Yang Sudah Diselidiki Komnas HAM, Namun Belum Ditindaklanjuti Oleh Kejaksaan Agung

No Perkara Rekomendasi Komnas

(5)
(6)
(7)

7

2) Belum ada sikap dari Jaksa

Agung.

Sumber : Ringkasan Eksekutif Laporan Situasi Hak Asasi Manusia 2012 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)4

Berdasarkan pemaparan diatas, tulisan ini berusaha menjejaki upaya rekonsiliasi nasional sebagai upaya politik negara, dalam menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM

masa lalu, dengan berpijak pada prinsip utama kemanusiaan, yakni terkait dengan kewajiban manusia, untuk tetap memanusiakan manusia lainnya. Tulisan ini didasarkan pada penelusuran studi pustaka yang penulis lakukan. Berbagai fakta dan data yang penulis

4

Dokumen dapat diunduh pada laman

(8)

8

dapat, pada tahapan selanjutnya direduksi dan disajikan secara deskripstif melalui narasi dengan data kualitatif yang eksplanatoris. Sehingga, roh tulisan ini merupakan hibrida dari abstraksi subjektifitas ketertarikan penulis pada isu yang diangkat, dan objektifitas penggunaan kerangka ilmiah sebagai dasar. Tulisan ini hadir sebagai sebentuk kegelisan seorang anak bangsa, sebagai wujud kecintannya pada negara dan bangsa yang harus tetap bersatu mewujudkan cita-cita kemanusiaan yang berkeadilan dan berkeadaban sebagai tujuan Indonesia merdeka tepat 70 tahun yang lalu.

Urgensi Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu

Limitasi sebuah peristiwa dapat digolongkan sebagai pelanggaran HAM masa lalu, didasarkan pada dimensi waktu yang menjadi latar terjadinya peristiwa. Penulis beranjak dari penggolongan peristiwa tersebut dengan menjadikan momentum reformasi tahun 1998 sebagai batasan.5 Oleh karena itu, berbagai peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi sebelum tahun 1998, dikategorikan sebagai peristiwa pelanggaran HAM masa lalu.

Upaya penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM masa lalu, menjadi penting ditengah beban pemerintah menyelesaikan berbagai kasus hukum lainnya di negeri ini. Pertama, hemat penulis, isu pelanggaran HAM masa lalu layaknya krikil yang tertinggal di dalam sepatu, dimana negara menggunakannya. Bagaimanapun, negara akan tetap memiliki beban untuk bisa berlari, bahkan sekedar berjalan disetiap langkah pemerintahannya. Walau dirasa tidak seberapa besar, namun keberadaan kerikil ini tetap akan mengganggu mulusnya jalannya pemerintahan. Sehingga, tak ada jalan lain selain membuang krikil itu, yang berarti pula tak ada jalan lain selain membayar hutang negara atas berbagai pelanggaran HAM masa lalu, dengan mengakui kesalahan, dan pada akhirnya bersama-sama menatap masa depan yang jauh lebih baik kedepannya.

5

(9)

9

Kedua, ditengah sorotan dunia internasional yang begitu massif pada isu hak asasi manusia. Indonesia harus bisa membuktikan sebagai negara yang konsisten dalam menerapkan demokrasi. Diantara standar ganda yang diperlihatkan negara-negara besar terkait isu HAM, Indonesia harus tampil menjadi teladan dengan memproduksi kebijakan bernafaskan spirit kemanusiaan. Reproduksi kebijakan di level nasional maupun lokal, harus tetap didorong sebagai manifestasi negara mewujudkan semangat kemerdekaan. Indonesia harus muncul dengan citra memerdekakan manusia Indonesia sebagai refleksi paling mendalam atas semangat memaknai kemerdekaan yang sesungguhnya.

Ketiga, kesegeraan untuk meyelesaikan peristiwa pelanggaran HAM masa lalu, setidaknya hadir dalam rangka memenuhi hak keluarga korban atas kebenaran peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Hal ini menjadi penting sebagai sarana bagi keluarga untuk mendapatkan kepastian atas nasib sanak-saudaranya. Tak ada yang lebih menyakitkan, dari ketidakpastiaan yang selama ini diterima keluarga korban. Sebagai contoh, dengan telanjang mata kita bisa melihat berbagai bentuk perjuangan keluarga korban dengan digelarnya Aksi Kamisan oleh keluarga korban tepat dimuka istana, konsisten di setiap pekannya. Pemerintah hari ini harus mampu membuktikan, jika kebenaran dan keadilan bukan barang semu yang hanya dimiliki segelintir orang. Kebenaran dan keadilan adalah bagian dari narasi kemanusiaan yang hidup dalam relung nyata kehidupan. Pemerintah Joko Widodo harus tampil sebagai negara yang mewujudkan spirit kelahirannya untuk pertama kali, yakni melindungi segenap tumpah darah republik. Tanpa terkecuali.

Di sisi political will negara, keharusan untuk menyelesaikan peristiwa pelanggaran HAM masa lalu, sejatinya adalah perwujudan janji politik presiden Joko Widodo dalam poin ke-4 konsep Nawacita-nya. Oleh karena itu, penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM masa lalu, bukan hanya soal kontinuitas kebenaran sejarah yang berkelanjutan. Namun, terkait juga dengan pertaruhan marwah pemerintahan Joko Widodo dan M. Jusuf Kalla baik di dalam dan luar negeri. Dan, momentum rekonsilasi nasional tidak sebatas hanya

(10)

10

generasi penerus, tentang bagaimana seharusnya ikatan sebuah bangsa jauh lebih penting dari egoisme individual dengan klaim kebenaran yang sifatnya parsial.

Rekonsiliasi Sebagai Jalan Keluar

Mengacu pada pilihan opsi kebijakan yang bisa diambil pemerintah dalam

menyelesaikan peristiwa pelanggaran HAM masa lalu, yakni (1) ”never to forget, never to forgive” (tidak melupakan dan tidak memaafkan, yang berarti ”adili dan hukum”); dan (2) ”never to forget but to forgive” (tidak melupakan tetapi kemudian memaafkan, yang berarti ”adili dan kemudian ampuni”); sampai dengan (3) ”to forget but never to forgive”

(melupakan tetapi tidak pernah memaafkan, yang artinya tidak ada pengadilan tetapi

akan dikutuk selamanya); dan (4) ”to forget and to forgive” (melupakan dan memaafkan,

yang artinya tidak ada pengadilan dan dilupakan begitu saja),6 pemerintah bisa menurunkannnya kedalam berbagai bentuk kebijakan dalam upaya rekonsiliasi nasional. Salah satunya yakni pemerintah dapat membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai tahapan awal rekonsiliasi nasional.

Upaya membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR,) sebagai wujud rekonsiliasi nasional, penah dilalui Indonesia pada tahun-tahun awal reformasi. Namun, pada tahun 2004, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU Nomor 27 tahun 2004 tentang KKR tersebut dengan alasan substansi yang terdapat didalamnya tidak merepresentasikan kehendak publik dan kepentingan korban yang seutuhnya. Hal tersebut dapat dimaklumi dengan asumsi kondisi pada saat itu, dimana suasana refomasi yang masih kentara dan tak jarang menjadi kacamata dalam melihat segala sesuatu. Namun demikian, keputusan MK tersebut tentu bukan hadir tanpa alasan. Dalam konteks penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM, tetap tidak mungkin menafikan irisan baik yang berdimensi legal formal, maupun yang bernuansa sosiologis, kultural maupun juga politis. Oleh karena

6

Herry Sucipto dan Hajrianto Y. Tohari. Penanganan Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu.

(11)

11

itu, MK memberikan pilihan kepada pemerintah untuk dapat menyempurnakan UU KKR sebagaimana yang tertuang dalam rekomendasinya.

Jika kita berkaca pada UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, disana dijelaskan terkait kemungkinan upaya penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM masa lalu melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Terdapat dua pilihan kebijakan yang bisa diambil negara. Pertama, menggunakan mekansime yudisial dengan menempuh jalan hukum melalui pengadilan HAM adhoc. Dan yang kedua, sesuai Pasal 47 ayat (1) yang menyebutkan: Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya

Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Namun, yang tetap harus menjadi catatan adalah, upaya rekonsiliasi sebagaimana yang pernah pula digagas rezim pemerintah Presiden Soesilo Bambang Yudhono sebelulmnya, bukan menjadi sarana bagi Kejaksaan Agung untuk dapat cuci tangan dengan berbagai tumpukan kasus pelanggaran HAM yang masih menunggu penanganannya. Dan juga, upaya rekonsiliasi bukan sebagai sarana pukul rata pemerintah karena tidak mau pusing dengan berbagai kerja-kerja yuridis maupun politis karena akan banyak bersinggungan dengan berbagai pihak yang menjadi subjek dari pelanggaran HAM tersebut.

Hal pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah menyusun draft UU KKR dengan memperhatikan dan melibatkan dengan seksama, aspirasi dan kehendak korban yang menjadi subjek utama atas berbagai kejahatan kemanusiaan yang menimpanya. Selanjutnya, pemerintah harus pula mendorong penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu menjadi agenda nasional. Sehingga, keterlibatan publik didalamnya merupakan sebuah keharusan. Mulai dari tahapan formulasi, implementasi, sampai dengan evaluasi kebijakan pemerintah harus melibatkan publik terkait kebijakan rekonsiliasi nasional tersebut.

Yang tidak kalah penting, sejalan dengan paradigma desentralisasi dalam

(12)

12

Peraturan Walikota Palu Nomor 25 Tahun 2013 tentang RANHAM (Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia) Daerah Kota Palu. Dalam Perwal Nomor 25 Tahun 2013 tentang RANHAM Daerah Kota Palu, spesifiknya pasal 11 dalam Perwal tersebut, disebutkan Pemda dapat berkesajasama dengan lembaga-lembaga negara dan/atau lembaga lainnya baik ditingkat pusat maupun daerah untuk mendukung penyelenggaraan RANHAM daerah sesuai dengan perundang-undangan dibidang kerjasama daerah. Salah satu bentuk kerjasama yang dibangun Pemkot Palu diantaranya kerjasama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). LPSK sebagai lembaga negara yang memiliki

program layanan bagi korban HAM berat yaitu reparasi dalam bentuk bantuan medis dan psikologis dan kompensasi korban di Indonesia.

Penutup

Upaya rekonsiliasi nasional dalam penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM masa lalu, harus tetap berpijak pada mekanisme keadilan transisi yang menjadi setting dari proses Indonesia dalam transisi demokrasinya. Keadilan Transisi lahir sebagai tanggapan atas pelanggaran HAM yang dilakukan secara sistematis dan meluas pada masa lalu. Keadilan Transisi mengupayakan adanya pengakuan terhadap korban dan mendorong terciptanya perdamaian, rekonsiliasi, dan demokrasi. Keadilan transisi bukanlah bentuk khusus dari keadilan, tetapi merupakan proses keadilan yang ditujukan kepada masyarakat yang sedang mentransformasikan dirinya setelah mengalami periode pelanggaran HAM secara luas. Dalam beberapa kasus, transformasi ini bisa terjadi tiba-tiba; tapi pada kasus lain, proses ini mungkin berlangsung selama beberapa dekade. Tujuan jangka panjang dari keadilan transisi adalah untuk memperkuat pertanggungjawaban atas kejahatan serius yang dilakukan oleh negara. Adapun mekanisme dasar dari keadilan transisi termasuk :

(13)

13

korban. Langkah-langkah ini seringkali merupakan langkah integral untuk memastikan bahwa pelanggaran tersebut tidak akan terulang lagi.

2. Proses Peradilan. Pengadilan adalah penyelidikan yudisial terhadap mereka yang bertanggungjawab atas pelanggaran HAM, dan berusaha mencegah pelanggaran serupa di masa depan dengan mengakhiri impunitas atas pelanggaran di masa lalu. Pertanggungjawaban dapat juga diupayakan melalui proses peradilan non-kejahatan seperti gugatan perdata terhadap pelaku atau terhadap kasus yang melibatkan negara di hadapan Mahkamah Pengadilan Internasional, dsb.

3. Reparasi. Reparasi merupakan sebuah mekanisme yang disponsori dengan maksud mengakui kehilangan dan penderitaan yang dialami oleh para korban, dan untuk membantu memulihkan baik akibat maupun penyebab pelanggara masa lalu. Program ini biasanya memberikan pelayanan baik material maupun simbolis kepada korban, yang bisa saja menagkup kompensasi finansial dan permintaan maaf secara resmi.

4. Reformasi Sektor Keamanan. RSK berupaya mengubah institusi militer, polisi, dan institusi negara yang terkait, dari institusi yang digunakan sebagai alat penindas dan korupsi menjadi alat peayanan publik dan memiliki integritas.

Berdasarkan apa yang telah dipaparkan diatas, pembentukan Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR) sebagai wujud rekonsiliasi nasional, merupakan salah satu jalan keluar dari mandegnya penyelesaian terhadap perstiwa pelanggaran HAM masa lalu guna tetap menjaga tali persatuan dan kesatuan sesama anak bangsa.

Ancaman disintegarasi merupakan bahaya laten yang bisa menjadi api dalam sekam, jika ketidakpercayaan dan kecurigaan sesama anak bangsa tetap terpelihara. Pemerintah sebagai pemegang mandat kedaulatan rakyat, harus segera menunaikan janji kemerdekaan untuk membawa Indonesia memasuki gerbang kemerdekaannya yang sesungguhnya. Dengan mandat politiknya secara langsung, presiden Joko Widodo harus segera menyelesaikan peristiwa pelanggaran HAM masa agar tidak menjadi beban sejarah dan beban bangsa yang terus terwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Para pewaris estafet generasi belanjut harus bisa belajar dari generasi hari ini yang mampu berbesar hati untuk meminta maaf dan saling memaafkan. Tentu, tak ada tafsir tunggal atas

(14)

14

(15)

15 Bacaan Lebih Lanjut :

Buku :

Adam, Asvi Marwan. 2004. Pencarian Keadilan di Masa Transisi. Jakarta. ELSAM

Sekretariat Negara Republik Indonesia. 1994. Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia; Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya. Jakarta.

Artikel Ilmiah :

Sucipto, Herry dan Hajriyanto Y. Tohari, Penanganan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, Majalah Diginitas. 2012.

Website :

Profil Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indoneisa (Komnas HAM RI), http://www.komnasham.go.id/

Profil Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), http://elsam.or.id/beranda/

Peraturan Perundang-Undangan :

• Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945

• Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

• Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

• Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2015 tentang Pengesahan International Covenant On Civil and Political Right (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).

• Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social an Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya)

(16)

16 Sekilas Tentang Penulis

Gambar

Tabel 1 :  Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu Yang Sudah Diselidiki Komnas HAM, Namun Belum Ditindaklanjuti Oleh Kejaksaan Agung

Referensi

Dokumen terkait

Penilitian penggunaan APK pada distilasi air energi surya absorber kain memperoleh hasil sebesar 0,47 liter/m2.jam dengan debit aliran air absorber kain 0,6 liter/jam dan debit

Kesimpulan penelitian ini adalah dalam segi aksesibilitas dan sirkulasi RPTRA belum sesuai dengan kriteria taman terbuka publik dalam suatu wilayah, kualitas RPTRA

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok uji ekstrak air kelopak bunga Rosella ( Hibiscus sabdariffa L.) dosis 500 mg/kgBB dan 750 mg/kgBB memiliki aktivitas antidiabetes yang

Hal ini dikarenakan oleh banyaknya anggota kelompok dukungan ter- sebut, dukungan emosi yang diberikan tidak sesuai dengan yang dibutuhkan baik dari segi waktu

Gingerol yang terkandung dalam minyak jahe merah dan eugenol yang terkandung dalam minyak cengkeh akan menghambat proses pembenktukkan prostaglandin sehingga akan

Status Desa Menjadi Kelurahan yang telah ditetapkan oleh Bupati. sebagaimana dimaksud pada huruf k,

Dari informasi di atas perlu dilakukan kembali penelitian pembanding tentang pengaruh padat penebaran terhadap pertumbuhan benih ikan lele, tetapi dengan spesies yang berbeda

Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan pengendalian sosial tersebut adalah ...A. meningkatkan rating stasiun