1 Direct Democration Dalam Program Simakrama Pemerintah Provinsi Bali : Studi Deskriptif Tentang Metode Penyerapan Aspirasi Masyarakat Secara Langsung Untuk
Mewujudkan Kebijakan Publik Deliberatif
I Wayan Agus Wiranata, I Gusti Agung Bagus Angga P, I Made Rahma Dwipa Putra1
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses implementasi dari Program Simakrama Pemerintah Provinsi Bali serta apa saja peluang dan kendala dari implementasi program ini. Tipe penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Dari hasil penelitian di lapangan diketahui jika program Simakrama ini telah berlangsung semenjak tahun 2008, tepatnya pada masa awal kepemimpinan Gubernur I Made Mangku Pastika di Bali. Tujuan dari program ini adalah untuk menyerap aspirasi masyarakat sekaligus sebagai tindakan follow up terhadap pelbagai kebijakan dan program yang gubernur luncurkan. Implementasi dari Program Simakrama ini didukung oleh Tim Simakrama Provinsi yang terdiri dari Inspektorat Wilayah Bali, Biro Humas Pemerintah Provinsi Bali, Biro Umum dan Protokoler Pemerintah Provinsi Bali, Bagian Kesejahteraan Rakyat Pemerintah Provinsi Bali, Dinas Perhubungan Provinsi Bali dan Badan Kesatuan Bangsa dan Lingkungan Masyarakat. Program ini memiliki sejumlah kendala dan peluang salah satunya seperti masih terkonsentrasinya sebagian besar frekuensi pelaksanaan Program Simakrama di Kota Denpasar sehingga terkesan belum begitu menyebar. Dari peluang, program ini berpeluang menjadikan kebijakan publik dari gubernur Bali menjadi kebijakan yang deliberatif sehingga hal ini bisa menjadi modal bagi gubernur untuk memperoleh legitimasi yang lebih besar dari masyarakat.
Keywords: Implementasi Kebijakan, Program Simakrama, Kebijakan Deliberatif, Partisipasi Masyarakat.
1.1 Pendahuluan
Semenjak memasuki era reformasi pada tahun 1998, Bangsa Indonesia mulai memasuki babak baru dalam aspek tata kelola pemerintahan. Di Indonesia gerakan reformasi telah memilih demokrasi sebagai asas kehidupan berbangsa dan bernegara. Lebih dari 15 (lima belas) tahun lalu mahasiswa, ibu rumah tangga, kaum buruh, serta berbagai lapisan masyarakat lainnya, termasuk juga aparatur negara, bersepakat
1Peneliti adalah mahasiswa Universitas Airlangga. Berdomisili di Jalan Gubeng Kertajaya 10 No. 6 Gubeng, Surabaya. Email: [email protected].
untuk mengganti pemerintahan yang represif dengan sistem yang mendengarkan aspirasi rakyat. Pilihan ini kemudian dikonfirmasikan dengan beberapa kali amandemen konstitusi, pemilihan umum dan perubahan sistem politik yang dilaksanakan dengan lancar, tertib dan damai.
2 Harus diakui bahwa demokrasi yang
dijalankan saat ini belum mampu sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat lewat
penyelenggaraan welfare state. Rupanya
demokrasi Indonesia masih sakit. Banyaknya pejabat di pusat maupun di daerah yang terlibat korupsi uang milyaran rupiah sementara masih terdapat 181 daerah tertinggal dan sekitar 84% masyarakat Indonesia hanya mampu berbelanja di bawah Rp 1 juta per bulan (BPS, 2013). Hal tersebut dikarenakan hingga saat ini praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme masih menjadi patologi birokrasi yang sangat sulit untuk disembuhkan. Banyak kebijakan-kebijakan dari para elit di negeri ini yang masih belum berpihak pada masyarakat kecil. Kebanyakan kebijakan yang ada saat ini dibuat oleh
eksekutif dan legislatif yang tidak
mencerminkan aspirasi dari konstituen mereka, akan tetapi kebijakan-kebijakan yang mereka ciptakan lebih condong untuk kepentingan kelompok dan golongan mereka sendiri. Rakyat kecil masih termarginalkan dan kedudukan mereka di depan birokrat sangatlah lemah.
Oleh karena itu kedudukan masyarakat sipil perlu diperkuat dengan kembali memaknai ulang hakikat demokrasi yang
sesungguhnya. Selama ini hak-hak
masyarakat untuk berbicara ataupun
mengeluarkan pendapat di depan umum belum sepenuhnya terjamin. Demokrasi pada hakekatnya merupakan pemerintahan oleh rakyat dan karenanya masyarakat harus diberikan ruang yang selebar-lebarnya untuk menyampaikan pendapat, usulan dan aspirasi
mereka sehingga nantinya kebijakan
pemerintah tidak lagi merupakan kebijakan
yang mengandung kepentingan dari
golongan elit di negeri ini, akan tetapi kebijakan yang murni didesain untuk kesejahteraan masyarakat.
Pada level pemerintahan daerah,
demokrasi secara langsung perlu
dipertimbangkan untuk diterapkan di seluruh daerah di Indonesia agar ada mekanisme kontrol dan saling berimbang antara pemerintah daerah dengan masyarakat di daerah. Hal ini menjadi penting karena desentralisasi yang sesungguhnya adalah dijalankan oleh pemerintahan di daerah. Oleh sebab itu masyarakat di daerah yang paham betul akan potensi daerah berikut kekurangan daerahnya harus berani mengemukakan aspirasi mereka secara langsung dan pemerintah daerah wajib memiliki inisiatif untuk mewujudkan hal ini.
Demokrasi secara langsung (direct
democration) sudah berusaha diterapkan oleh beberapa kepala daerah di Indonesia. Bupati Bojonegoro, Bupati Kebumen dan Gubernur Bali merupakan beberapa contoh kepala daerah yang telah menerapkan proses demokrasi langsung. Masyarakat di daerah mereka diberikan hak untuk berbicara dan
menyampaikan aspirasi tanpa melalui
perantara wakil rakyat. Meski dilakukan dengan metode yang sedikit berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya akan tetapi substansi dari langkah-langkah yang mereka tempuh adalah sama: menjamin hak-hak masyarakat untuk berpendapat dan membangun daerahnya. Dengan demokrasi secara langsung, informasi atau aspirasi yang diperoleh pemerintah daerah merupakan informasi langsung dari masyarakatnya atau dengan kata lain disebut dengan informasi primer.
3 governance di Indonesia. Paradigma good
governance muncul untuk menandingi praktik-praktik pemerintahan yang buruk dengan ditandai maraknya kasus korupsi,
penyalahgunaan wewenang, birokrasi
gemuk, pelayanan publik yang tidak berpihak
kepada rakyat dan lain sebagainya (bad
governance). Mengingat masih banyaknya kepala daerah yang belum melaksanakan praktik-praktik tata kelola pemerintahan yang baik yang salah satunya adalah kebebasan beraspirasi kepada pemerintah daerah secara langsung dan terbuka, untuk tujuan tersebut penelitian ini direncanakan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
meneliti dan mengetahui lebih jauh best
practice dari Pemerintah Provinsi Bali (Pemprov Bali), yakni Program Simakrama, termasuk sejauh mana efektivitas dari program tersebut dan bagaimana peranan Program Simakrama dalam mewujudkan
akuntabilitas Pemprov Bali terhadap
masyarakat. Dengan demikian setelah
penelitian ini selesai dilaksanakan dan hasilnya telah dipublikasikan, harapannya
adalah pemerintah daerah lain bisa
mereplikasi program-program sejenis ini untuk diterapkan di daerah lain dengan tentunya disesuaikan dengan kearifan lokal di masing-masing daerah di Indonesia. Sehinga dengan demikian masyarakat di seluruh daerah dapat berperan serta secara langsung
dalam mewujudkan pembangunan di
daerahnya.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah
diuraikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana proses implementasi
Program Simakrama oleh Pemprov Bali?
2. Apa saja kendala dan peluang dari
diimplementasikannya Program
Simakrama ini?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu:
1. Mengetahui implementasi Program
Simakrama dalam mewujudkan
kebijakan publik deliberatif.
2. Mengetahui apa saja kendala dan
peluang dari diimplementasikannya
Program Simakrama.
1.4 Luaran Yang Diharapkan
Luaran yang kami harapkan dalam penelitian ini yaitu berupa artikel dan jurnal ilmiah yang dipublikasikan baik dalam bentuk cetakan maupun elektronik, sehingga masyarakat umum termasuk birokrat di daerah lain di Indonesia dapat mengakses dengan mudah dan dengan biaya yang murah. Tujuannya agar masyarakat dan pemerintah daerah di seluruh Indonesia dapat membaca dan mengetahui penemuan kami tentang mekanisme penyerapan aspirasi masyarakat dengan Program Simakrama ini, sehingga pemerintah daerah lain dapat mencontoh dan
mengambil pelajaran dari berjalannya
Program Simakrama Pemerintah Provinsi Bali, harapannya agar pemerintah daerah lain di seluruh Indonesia dapat terinspirasi untuk menyusun program serupa yang disesuaikan dengan kearifan lokal masing-masing daerah. 1.5 Manfaat Penelitian
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dalam penelitian ini yaitu:
1. Setelah mengetahui bagaimana langkah
Pemprov Bali dalam
mengimplementasikan Program
Simakrama, pemerintah daerah lain yang
masih membatasi hak-hak warga
negaranya dalam menyampaikan
aspirasi akan terdorong untuk mendesain program sejenis untuk menjamin
hak-hak masyarakatnya dalam
4
2. Penelitian tentang Program Simakrama
ini setelah dipublikasikan akan
memberikan gambaran bagaimana
pemerintah daerah berupaya untuk menyerap aspirasi seluas-luasnya dan secara langsung ke masyarakat
II. TINJAUAN PUSTAKA 1.1Implementasi Kebijakan
Dari serangkaian proses munculnya kebijakan publik, dari proses formulasi hingga proses evaluasi, proses implementasi kebijakan merupakan salah satu proses yang penting. Seringkali ada kebijakan di mana dalam tahap formulasi dan teorinya sangat
bagus dan matang, namun saat
implementasinya terjadi kesenjangan antara
perencanaan dan pelaksanaannya. Hal
tersebut tentu akan sangat merugikan apabila sebuah konsep kebijakan tidak diikuti oleh
implementasi yang matang pula.
Implementasi kebijakan harus konsisten
dengan konsepnya sehingga peluang
munculnya kesenjangan antara konsep dan implementasi dapat diminimalisir (Nugroho,
2002: 618). Implementasi kebijakan
dipengaruhi oleh beberapa variabel dan masing-masing variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain.
Dalam pandangan Edward III (1980),
implementasi kebijakan mempunyai 4
(empat) variabel yaitu:
a. Komunikasi
Implementasi kebijakan mensyaratkan implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus
ditransmisikan kepada kelompok
sasaran sehingga akan mengurangi distorsi implementasi.
b. Sumber Daya
Walaupun isi kebijakan sudah
dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor
kekurangan sumberdaya untuk
melaksanakan, implementasi tidak
akan berjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia maupun sumberdaya finansial (Subarsono, 2005).
c. Disposisi
Disposisi adalah watak dan karateristik yang dimiliki oleh implementor seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis.
Apabila implementor memiliki
disposisi yang baik maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan.
d. Struktur Birokrasi
Struktur organisasi yang bertugas
mengimplementasikan kebijakan
memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap implementasi kebijakan.
Struktur organisasi yang terlalu
panjang akan cenderung melemahkan
pengawasan dan menimbulkan
red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks.
1.2Kebijakan Deliberatif
Dalam judul penelitian ini terdapat dua konsep utama yang perlu kita bahas lebih
lanjut yaitu “Democratic Governance” dan
“kebijakan deliberatif”. Democratic
governance menurut Cheema (2005) merupakan area proses yang diciptakan oleh
pemerintahan suatu negara dimana
5 negaranya untuk berperan aktif dalam
merumuskan regulasi, kebijakan, struktur sosial, implementasi dan konsensus.
Pemerintahan yang demokratis yang dulunya belum begitu banyak dibicarakan oleh banyak oarng namun sekarang mulai
ramai diperbincangkan oleh kalangan
ilmuwan dan birokrat. Hal itu dikarenakan dinamika politik, ekonomi, dan budaya yang sangat tinggi dalam dekade terakhir ini membuat kemampuan pemerintah untuk menjawab kebutuhan masyarakat menjadi semakin kedodoran. Semakin lama semakin banyak kebutuhan masyarakat yang tidak bisa diselenggarakan oleh pemerintah.
Di lain pihak, kapasitas masyarakat sipil (civil society) dan pasar untuk menjawab kebutuhan masyarakat menjadi semakin tinggi (Mardiyanta, 2011: 261). Oleh sebab itu saat ini ada kecenderungan di awal abad- 21 ini secara dramatis mulai muncul lagi kesadaran orang akan pentingnya demokrasi di tingkat lokal (Sisk, 2001: 1). Maraknya kembali minat pada prinsip dan prosedur pemerintahan demokratis yang menyentuh akar kehidupan masyarakat bisa dipandang sebagai suatu langkah kembali ke dasar hakiki dari teori dan praktik demokrasi itu
sendiri. Peran serta langsung warga
masyarakat sesungguhnya adalah dasar bagi terpeliharanya kehidupan bermasyarakat yang sehat. Masyarakat mutlak berhak menyuarakan pendapat dan keluhan mereka, dan di lain pihak para pemuka politik pada setiap pemilu reguler harus menunjukkan akuntabilitas mereka serta memberikan respons positif pada setiap musyawarah dan dialog dengan publik.
Di pentas perpolitikan lokal itulah makna sejati demokrasi – yakni kekuasaan di tangan
rakyat – memperoleh roh dan wujud yang nyata. Menilik kembali ke belakang, ada dua mazhab filsafat yang menerangkan dua konsep demokrasi lokal yang agak saling bertolak belakang. Mazhab pertama, yang sejarahnya dapat dikaitkan dengan filsuf Perancis Jean Jacques Rousseau, memandang demokrasi sebagai keterlibatan langsung warga masyarakat dalam hampir semua urusan yang menyangkut kehidupan umum. Rousseau berkeyakinan bahwa peran serta seluruh warga masyarakat akan bisa mengungkapkan aspirasi umum mereka semua, dan bahwa cara terbaik untuk menentukan kehendak umum warga adalah melalui kekuasaan di tangan mayoritas (Sisk, 2001: 16).
Akan tetapi, banyak pendapat yang mengatakan bahwa sistem dan bentuk pemerintahan lokal di masa sekarang sudah terlalu “besar” untuk mengakomodasi keterlibatan langsung warga masyarakat. Wujud demokrasi terbaik dan paling praktis yang bisa kita harapkan adalah demokrasi perwakilan, yang di dalamnya warga memilih calon wakil mereka atau partai politik yang membuat keputusan otoritatif bagi seluruh masyarakat. Banyak pihak yang berpendapat bahwa demokrasi perwakilan paling cocok diterapkan untuk demokrasi lokal.
Seiring waktu berjalan, demokrasi
perwakilan juga ternyata belum mampu mengatasi segala permasalahan pemerintah yang muncul di tingkat lokal maupun nasional. DPRD sebagai lembaga legislatif
yang seharusnya mengontrol jalannya
6
untuk melakukan
penyimpangan-penyimpangan terhadap aturan – aturan yang
berlaku, melakukan kolusi dalam pembuatan anggaran agar menguntungkan dirinya, serta setiap kegiatan yang seharusnya digunakan
untuk mengontrol eksekutif, justru
sebaliknya digunakan sebagai kesempatan untuk “memeras” eksekutif sehingga
eksekutif perhatiannya menjadi lebih
terfokus untuk memanjakan anggota DPRD
dibandingkan dengan masyarakat
keseluruhan (Kartiwa, Tanpa Tahun: 1).
Untuk menghindari terjadinya
penyimpangan oleh pemerintah dalam
melaksanakan segala fungsinya, maka
masyarakat perlu untuk dilibatkan lebih
dalam segala proses atau kegiatan
pemerintahan. Pemerintah harus bergerak beriringan dengan masyarakat sehingga ada mekanisme check and balance. Hanya saja saat ini masyarakat di beberapa daerah dalam menyuarakan aspirasinya masih diwakilkan oleh wakil rakyat. Kecenderunganyya selama ini adalah para wakil rakyat di parlemen tidak betul-betul mewakili kepentingan konstituen mereka, tetapi lebih kepada kepentingan partai yang membawa mereka ke kursi parlemen. Dengan langkah demikian, maka akan tercipta proses demokrasi secara langsung yang kemudian akan bermuara pada terciptanya kebijakan publik deliberatif yang merupakan bentuk derivasi dari demokrasi
deliberatif. Demokrasi deliberatif
mengutamakan penggunaan tata cara
pengambilan keputusan yang menekankan musyawarah dan penggalian masalah melalui dialog dan tukar pengalaman di antara para pihak dan warga negara (Mardiyanta, 2011:
268). Dengan demikian akuntabilitas
pemerintahan daerah bisa diwujudkan.
III. METODE PELAKSANAAN 3.1 Tipe Penelitian
Dalam proses penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu sebuah metode penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata lisan maupun tertulis, dan tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang yang diteliti (Taylor dan Bogdan, 1984:5). Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk memahami secara rinci berbagai hal yang berkaitan
dengan dinamika kehidupan sosial
seseorang/masyarakat serta berusaha
menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya (dalam hal ini yaitu penyerapan aspirasi masyarakat secara langsung oleh Gubernur Bali).
3.2 Lokasi Penelitian
Lokasi yang akan kami teliti yaitu di Kantor Pemerintah Provinsi Bali dan di kediaman masyarakat, serta beberapa tempat lain yang sering mereka gunakan dalam beraktivitas.
3.3 Teknik Penentuan Informan
Teknik penentuan informan dalam penelitian ini yaitu menggunakan teknik purposive. Penentuan informan dengan pertimbangan merupakan teknik penentuan informan dengan mengambil informan hanya yang sesuai dengan tujuan penelitian. informan ini digunakan jika dalam upaya memperoleh data tentang fenomena atau masalah yang diteliti memerlukan sumber data yang memilki kualifikasi spesifik atau
kriteria khusus berdasarkan penilaian
tertentu, dan tingkat signifikansi tertentu, dalam kaitannya dengan penelitian ini yaitu
Biro Humas Pemprov Bali, ketua desa
pakraman dan stakeholder terkait.
7
besar seperti “seluruh masyarakat dan birokrat yang terliabt dalam kegiatan
Simakrama” sehingga kami perlu membatasi
informan penelitian dengan syarat/kriteria tertentu. Keuntungan dari pada teknik ini adalah terletak pada ketepatan peneliti memilih sumber data (informan) sesuai dengan variabel yang diteliti (Arikunto, 2002). Selain itu menurut pernyataan Strauss (2009) bahwa penelitian kualitatif tidak dapat dipaksakan, tergesa-gesa, dan buru-buru (Denzin, 2009:295).
Oleh karena keterbatasan waktu, tenaga, dan dana dalam penelitian ini, maka teknik purposive adalah teknik yang kami rasa paling tepat. Adapun kriteria informan yang akan kami jadikan sebagai informan subjek dalam penelitian ini yaitu:
1. Mengerti asal mula dicetuskannya
Program Simakrama;
2. Stakeholder perumus kebijakan;
3. Pernah mengikuti Program
Simakrama; dan
4. Masyarakat yang pernah
menyampaikan aspirasi di Program Simakrama.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Agar pengumpulan data dan informasi berjalan efektif dan efisien dilakukan dengan tiga tahapan yaitu wawancara mendalam, observasi dan dokumentasi.
3.5 Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Pemeriksaaan keabsahan data pada penelitian ini digunakan teknik triangulasi
sumber data, dilakukan dengan: (a)
membandingkan data hasil pengamatan dan hasil wawancara, (b) membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi, (c) membandingkan keadaan dalam perspektif seseorang dengan pendapat dan pandangan
orang lain, (d) membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen.
3.6 Teknik Pengolahan Data
Teknik pengolahan data yang
digunakan adalah teknik pengolahan data kualitatif. Seluruh hasil pengamatan dan wawancara mendalam dibuatkan transkrip. Transkrip adalah uraian dalam bentuk tulisan yang rinci dan lengkap mengenai apa yang dilihat dan didengar baik secara langsung
maupun dari hasil rekaman. Untuk
wawancara mendalam, transkrip harus dibuat denga enggunakan bahasa sesuai hasil wawancara (bahasa daerah, bahasa asing, bahasa khusus, dan lain-lain).
3.7 Teknik Analisa Data
Penelitian ini menggunakan teknik analisis data kualitatif mengikuti Miles dan Huberman (1992:15-21). Analisis ini terdiri dari tiga alur yaitu: (a) reduksi data, yang
diartikan sebagai proses pemilihan,
pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan, (b) Penyajian data dilakukan dengan menggunakan bentuk teks naratif, (c) penarikan kesimpulan. Data yang diperoleh dilakukan pemaparan serta interpretasi secara mendalam.
IV. Hasil Yang Dicapai
4.1 Implementasi Program Simakrama
Program Simakrama Pemerintah
8 dan tepat sasaran. Program ini ditilik dari
awal mula berjalannya bermula pada tahun 2008 (Wawancara tanggal 22 April 2015).
Menurut keterangan dari salah
seorang informan, yakni Bapak I Ketut
Dempet, seorang staf kepegawaian
Inspektorat Wilayah Bali yang terlibat langsung selama awal implementasi program Simakrama, program ini bermula dari debat Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Provinsi Bali pada tahun 2008 silam yang diselenggarakan oleh Universits Udayana. Pada saat sesi tanya-jawab dengan panelis debat, seorang panelis dari kalangan akademisi Universitas Udayana Denpasar mengajukan pertanyaan tentang bagaimana cara atau kiat para calon kepala daerah memastikan bahwa kebijakan yang mereka buat akan dilaksanakan sesuai dengan perencanaan dan tepat sasaran. Dengan kata lain, para calon kepala daerah Provinsi Bali yang terdiri dari 3 (tiga) pasang calon kala itu
ditantang menjabarkan langkah-langkah
mereka ke depannya guna memastikan program yang mereka rancang tidak menyimpang atau mengalami kegagalan.
Kala itu, calon kepala daerah Bali, I Made Mangku Pastika yang berpasangan bersama Anak Agung Ngurah Puspayoga, yang pada akhirnya kemudian keluar sebagai pemenang Pemilukada Provinsi Bali 2008 memaparkan kepada panelis bahwa untuk memastikan program dan kebijakan yang mereka rancang akan tepat menemui sasaran
mereka akan melaksanakan program
semacam open house yang mereka beri nama
Simakrama (Wawancara tanggal 22 April 2015). Menurut Made Mangku Pastika, program Simakrama diadakan tidak hanya untuk memastikan kebijakan akan tepat
menemui sasaran, tetapi juga untuk
menyerap aspirasi dari seluruh elemen masyarakat demi menyukseskan program
yang ia buat sekaligus tidak tertutup kemungkinan dari aspirasi masyarakat tersebut akan lahir program-program lainnya yang mendukung pembangunan di Bali (Bali Post, 22 Agustus 2009).
Secara etimologi, simakrama berasal dari urat kata sima yang berarti adat atau
kebiasaan setempat, sedangkan karma
mempunyai arti anggota/orang dan resmi. Jadi simakrama berarti pertemuan adat yang bersifat resmi atau dalam Bahasa Indonesia juga berarti bersilahturahmi (Wawancara tanggal 22 April 2015). Dengan demikian, simakrama sejatinya hanya merupakan istilah dan bukanlah suatu konsep baku. Simakrama jika dilihat esensinya adalah sama dengan kegiatan silahturahmi dalam masyarakat
muslim di Indonesia atau open house dalam
kebudayaan Barat. Yang menjadikannya berbeda dengan kegiatan pertemuan lainnya adalah dalam program Simakrama ini masyarakat diajak, bahkan dipersilahkan untuk menyampikan aspirasi, saran, keluhan dan masukan kepada pemerintah guna ditindaklanjuti oleh jajaran terkait.
Dari proses penggalian data dan
interpretasi didapat informasi bahwa
Program Simakrama mulai efektif berjalan pada bulan September tahun 2008. Ini berarti program Simakrama telah rutin dilaksanakan semenjak Gubernur Bali Made Mangku Pastika resmi terpilih pertama kali sebagai gubernur hingga kini periode kedua ia menjabat gubernur. Lebih jauh dikemukakan jika program ini sebenarnya bukanlah merupakan program utama dari serangkaian program kerja yang dicanangkan oleh Made Mangku Pastika. Akan tetapi, program
Simakrama ini diadakan sebagai
9 beberapa kebijakan yang ia jalankan telah
sesuai dengan tujuan dan tidak melenceng ketika diimplementasikan.
Dalam perjalanannya, program
Simakrama ini konsekutif dilaksanakan setiap bulan dan dengan lokasi yang berbeda-beda di setiap bulannya, sesuai dengan rencana awal ketika program disusun. Setiap bulan panitia yang kemudian disebut “Tim
Simakrama Provinsi” yang melaksanakan
program ini mengusahakan Simakrama digelar di lokasi yang berbeda-beda dengan tujuan mencakup seluruh lapisan atau elemen masyarakat dan tidak terpusat di satu lokasi saja (Wawancara tanggal 22 April 2015).
Menurut I Ketut Dempet, Tim Simakrama Provinsi ini terdiri dari 6 instansi yang tergabung di dalamnya, yakni, dari Inspektorat Wilayah Bali, Biro Umum dan Protokol, Biro Humas, Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Lingkungan Masyarakat (Bakesbangpol dan Linmas), Satpol PP, DAN Dinas Perhubungan Provinsi. Apabila program Simakrama diadakan di provinsi (ibu kota) atau kabupaten maka Tim Simakrama mendapatkan bantuan 2 (dua) instansi lagi yang bergabung, yakni, Sekretariat DPRD Provinsi Bali dan Biro Kesejahteraan Rakyat (Kesra).
Adapun tugas-tugas dari tiap instansi yang tergabung dalam Tim Simakrama tersebut adalah sebagai berikut (Data wawancara 22 April 2015, diolah):
1. Inspektorat Wilayah pada saat
pelaksanaan program Simakrama bertugas untuk menerima peserta Simakrama (registrasi peserta) dan mengumpulkan serta meneruskan keluhan, pertanyaan dan masukan dari masyarakat yang mengikuti program Simakrama ke kepala
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait.
2. Biro Umum dan Protokol pada saat pelaksanaan program Simakrama bertugas menyediakan konsumsi berupa nasi jinggo. Untuk dibagikan kepada peserta yang hadir pada saat
Simakrama. Mengumpulkan
pertanyaan, masukan, saran dan
kritik dari masyarakat untuk
kemudian diteruskan ke Inspektorat Wilayah Bali.
3. Biro Humas pada saat pelaksanaan
program Simakrama bertugas
menyebarluaskan dan
mempublikasikan kegiatan
Simakrama melalui media massa baik cetak maupun media elektronik. Selain itu Biro Humas juga bertugas untuk merancang acara hiburan atau
acara selingan agar peserta
Simakrama tidak merasa bosan.
4. Bakesbanglinmas pada saat
pelaksanaan program Simakrama
bertugas mengkoordinasikan
keamanan. Baik berkoordinasi
dengan kepolisian atau petugas kemanan lainnya seperti Satpol PP.
5. Dinas Perhubungan Informasi dan
Komunikasi pada saat pelaksanaan
program Simakrama bertugas
menyediakan sound system.
6. Biro Kesra menyiapkan petugas
pemandu pelaksanaan Puja Tri
Sandhya pada akhir pelaksanaan Simakrama.
7. Sekretariat DPRD Provinsi pada saat
pelaksanaan program Simakrama di
Ibu Kota Denpasar bertugas
10 Simakrama yang biasanya digelar di
wantilan DPRD Provinsi.
Kemudian, untuk mekanisme
implementasi program Simakrama menurut I Ketut Dempet, selalu diawali dengan penyerahan nota dinas dari Inspektorat Wilayah Provinsi Bali kepada gubernur. Dalam nota dinas tersebut, inspektorat memilih lokasi yang akan dituju pada saat pelaksanaan Simakrama, kemudian beberapa hari setelahnya akan ada jawaban dari gubernur terkait nota dinas tersebut. Apabila gubernur tidak bisa atau berhalangan untuk menggelar Simakrama, maka Simakrama akan ditunda untuk bulan tersebut dan akan
dicarikan penggantinya pada bulan
berikutnya.
Sedangkan apabila dari nota dinas tersebut ternyata gubernur tidak berhalangan dan siap untuk menggelar Simakrama maka
kemudian Inspektorat Wilayah akan
menindaklanjutinya dengan bersurat kepada kepala daerah yang dituju untuk pelaksanaan Simakrama. Di sini, kepala daerah turut menentukan apakah Simakrama akan bisa dilaksanakan atau tidak, hal ini bergantung pada kesibukan dan ketersediaan waktu dari kepala daerah yang dituju untuk pelaksanaan Simakrama. Apabila ternyata kepala daerah
tertuju berhalangan untuk menghadiri
Simakrama maka praktis program
Simakrama di daerah yang ia pimpin akan urung dilaksanakan. Secara garis besar berikut ini disajikan bagan mengenai alur mekanisme pelaksanaan program Simakrama Pemerintah Provinsi Bali:
Bagan 1.1 Alur Mekanisme Pelaksanaan Program Simakrama
Selama ini saat pelaksanaan program Simakrama memang sengaja mengundang seluruh kepala daerah beserta jajarannya agar mereka bisa secara langsung mendengarkan
aspirasi masyarakat bersama dengan
gubernur. Sementara itu jika kepala daerah tidak berhalangan maka hampir dipastikan kegiatan Simakrama akan berjalan sesuai
dengan rencana. Selama pelaksanaan
program Simakrama sejak tahun 2008 hingga 2014, tercatat dari dokumen tertulis milik Inspektorat Wilayah Bali bahwa program
Simakrama sejak tahun 2008 telah
menjangkau seluruh daerah di
kabupaten/kota di Bali.
Akan tetapi dari hasil wawancara mendalam dan studi dokumen, peneliti sejauh ini menemukan bahwa program Simakrama dilaksanakan lebih banyak mengambil porsi di Kota Denpasar. Untuk
daerah atau kabupaten lain tetap
dilaksanakan, namun frekuensinya tidak sesering di Denpasar. Dengan kata lain, program Simakrama belum mampu begitu menyebar di beberapa daerah di Bali diakibatkan beberapa kendala sehingga persentase pelaksanaan program ini secara lokasi lebih sering diadakan di Kota Denpasar sebagai basis pemerintahan dan ekonomi di Bali.
Hal ini tentunya sangat disayangkan mengingat pemerintah seharusnya tidak hanya menyerap aspirasi masyarakat yang berada di daerah perkotaan, tetapi juga harus
Inspektorat Wilayah Bali
GubernurBali
Diundur Bupati/Walikota yang Dituju
11 memerhatikan aspirasi dari daerah yang
termasuk kategori daerah tertinggal dan perlu tersentuh kebijakan pemerintah. Hal ini terkait dengan program Simakrama untuk menyerap aspirasi, keluhan dan masukan dari masyarakat untuk menyukseskan kegiatan
pembangunan di daerah mereka.
Sepantasnya, program Simakrama harus lebih sering diadakan di luar Kota Denpasar dan perlu lebih menjangkau masyarakat yang ada di daerah perbatasan dan terpencil di Bali.
Ditinjau dari teori implementasi kebijakan Edward III (1980), implementasi program Simakrama dapat ditinjau dari 4 (empat) hal, yakni komunikasi, struktur birokrasi, disposisi dan sumber daya. Dari
komunikasi, implementor program
Simakrama mengetahui apa saja tugas-tugas yang harus mereka lakukan dan ada komunikasi yang jelas terhadap tugas masing-masing. Implementor dari program Simakrama ini adalah diantarnya Inspektorat Wilayah Bali, Biro Umum dan Protokol, Biro Humas, Biro Kesra, Dinas Perhubungan dan Bakesbanglinmas. Kemudian, kelompok sasaran (masyarakat) pun mengetahui apa maksud dan tujuan dari program ini. Sehingga dari segi komunikasi program Simakrama ini telah berjalan dengan baik. Hal yang perlu dibenahi dari komunikasi adalah komunikasi dengan kepala daerah yang latar belakang partai politiknya berbeda dengan gubernur, penyampaian maksud dan tujuan program Simakrama harus lebih diintensifkan lagi.
Dari aspek sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya finansial, seluruhnya sudah mendukung pelaksanaan program Simakrama ini. seperti yang dijelaskan oleh Bapak I Ketut Dempet yang dikutip dari wawancara peneliti dengan beliau sebagai berikut:
“Nggih.. ya jadi dukungan sumber daya manusia dan keuangan itu sudah bagus.
Dari tenaga di lapangan kita ndak
pernah kekurangan tenaga, semua
saling back up kenten. Kalo dari
dukungan dana tyang rasa sih sangat
mencukupi karena pelaksanaan
Simakrama niki nggak memerlukan
biaya yang sangat besar, paling untuk konsumsi dan perjalanan saja kalau ke
luar daerah. Yah dananya bisa dicover
gitu lah..” (Wawancara tanggal 22 April 2015).
Menurut keterangan dari Bapak I Ketut Dempet, program Simakrama tidak memiliki kendala yang berarti dari segi sumber daya. Karena dana dan tenaga yang diperlukan untuk pelaksanaan program Simakrama sudah disiapkan secara matang.
Untuk aspek disposisi atau watak dan karakteristik pelaksana, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis sudah dimiliki oleh implementeor program Simakrama ini. Terlebih program ini muncul dari niat gubernur Bali sendiri untuk mau terbuka dan
mempertanggungjawabkan kinerjanya
kepada masyarakat yang dipimpinnya.
Dengan demikian, disposisi seperti
komitmen dan sifat demokratis sudah
melekat pada implementor program
Simakrama, yaitu Bapak Gubernur Bali I Made Mangku Pastika beserta jajarannya.
Sedangkan dari segi struktur
birokrasi, program Simakrama ini didukung birokrasi yang fleksibel dan sangat luwes. Program ini bahkan bertujuan untuk memangkas birokrasi yang kerap menjadi
penghalang bagi masyarakat untuk
12 pelaksanaan atau implementasi dari Program
Simakrama.
4.2 Program Simakrama: Tantangan dan Peluang
Seperti yang sudah diutarakan pada
sub bahasan sebelumnya, program
Simakrama ini sebagaimana laiknya program atau kebijakan yang lainnya mempunyai kendala disamping peluang untuk terus bisa ajeg. Kendala atau tantangan terbesar dari implementasi program ini adalah kesesuaian waktu antara gubernur/wakil gubernur dengan kepala daerah tertuju. Menurut keterangan dari Bapak I Ketut Dempet, faktor yang acap kali menyebabkan Simakrama urung dilaksanakan adalah tidak sinkronnya antara jadwal yang dimiliki oleh gubernur atau wakil gubernur dengan kepala daerah. Hal ini pula dari hasil interpretasi data wawancara merupakan salah satu penyebab
kegiatan Simakrama lebih sering
dilaksanakan di ibu kota provinsi (Denpasar). Simakrama di Kota Denpasar lebih mudah dilaksanakan karena jaraknya yang relatif dekat dengan pusat kegiatan pemerintahan pada level provinsi (Wawancara 22 April 2015). Selain itu apabila Walikota Denpasar atau salah satu perwakilannya tidak bisa hadir saat Simakrama maka tidak menjadi masalah jika Simakrama diadakan tanpa Walikota Denpasar dan hanya melibatkan gubernur atau wakil gubernur saja. Hal ini karena Kota Denpasar juga merupakan termasuk dalam wilayah kerja Gubernur Bali sekaligus tempat kantor gubernur berlokasi.
Selain itu, tantangan lainnya terkait implementasi program Simakrama adalah berbedanya pandangan politik atau latar belakang politik antara gubernur dengan kepala daerah tujuan Simakrama. Dari hasil
analisis dokumen, program Simakrama lebih
sering diadakan atau lebih tepatnya
terlaksana tanpa hambatan jika dilaksanakan di kabupaten atau kota yang kepala daerahnya berasal dari partai politik yang sama dengan gubernur. Sebagai contoh dari hasil rekapan lokasi Simakrama yang peneliti dapatkan dari Inspektorat Wilayah Provinsi Bali, Program Simakrama terlihat jarang dilaksanakan di Kabupaten Tabanan yang merupakan basis dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), sementara I Made Mangku Pastika pada saat terpilih kedua kalinya sebagai gubernur Bali diusung oleh koalisi antara partai Demokrat dan Partai Golkar serta beberapa partai kecil lainnya. Temuan ini hanya berlaku untuk beberapa daerah dan tidak bisa digeneralisir, karena di beberapa daerah yang menjadi basis partai politik oposisi dari gubernur ternyata kegiatan Simakrama tetap lancar dilaksanakan, contoh untuk kasus ini adalah di Denpasar yang juga merupakan salah satu basis pendukung PDIP di Bali.
Tantangan berikutnya dan sekaligus yang paling penting adalah mengenai keberlanjutan (sustainability) dari program Simakrama ini. Seperti yang telah dijelaskan di awal, program ini merupakan murni diinisiasi oleh gubernur Bali petahana I Made Mangku Pastika. Pertanyaan terbesar dari program ini adalah apakah setelah masa baktinya habis pada tahun 2019 nanti program Simakrama akan tetap eksis ataukah program ini akan menghilang seiring dengan berakhirnya tugas I Made Mangku Pastika sebagai gubernur Bali.
Dari hasil interpretasi kutipan
wawancara, diperoleh informasi jika
13 Mangku Pastika sebagai Gubernur Bali tahun
2019 nanti keberlanjutan program
Simakrama bergantung pada siapa sosok yang akan meneruskan kiprah Made Mangku Pastika sebagai gubernur Bali. Apabila pada tahun 2019 nanti yang terpilih adalah tokoh baru atau nama baru dalam peta perpolitikan di Bali yang selama ini berseberangan dengan Made Mangku Pastika, maka kemungkinan besar program Simakrama ini tidak akan dilanjutkan. Hal ini dapat
dipahami karena program Simakrama
merupakan ide yang datangnya bersifat sangat personal dari Made Mangku Pastika, sehingga konsep serta idenya adalah sangat
cocok jika dibawakan atau
diimplementasikan oleh Made Mangku Pastika sendiri dan mungkin sangat tidak
cocok atau bahkan kontradiksi jika
diimplementasikan oleh orang lain, terlebih orang tersebut memiliki ideologi yang berbeda sama sekali dengan Made Mangku Pastika yang dikenal sebagai pemimpin yang
deliberatif melalui program dan
kebijakannya seperti program Simakrama dan Podium Bali Bebas Bicara.
Namun, apabila sosok yang
melanjutkan kiprah Made Mangku Pastika sebagai gubernur nanti adalah orang dekat dari dirinya, atau bahkan jika wakil gubernur saat ini, yaitu Ketut Sudikerta mampu menjadi suksesor dari Made Mangku Pastika, maka sangat besar peluang program Simakrama untuk tetap dilanjutkan pada era kepemimpinannya (Wawancara 22 April 2015) atau yang dalam ilmu kebijakan (policy sciences) lebih popular disebut sebagai kebijakan inkrementalis (Jones dalam Wahab, 2005: 29). Terlepas dari ketidakpastian dari apakah program iin akan
tetap ada meski Made Mangku Pastika tidak menjabat lagi sebagai orang nomor satu di Bali, program ini hendaknya tetap ada atau dilanjutkan siapapun pemimpin Bali ke
depannya. Karena dengan mekanisme
demokrasi langsung tanpa melalui wakil rakyat inilah seluruh keluh kesah, pendapat, ide-ide dan aspirasi dari warga masyarakat bisa didengar oleh pemimpin mereka tanpa melalui proses politik nan panjang dan berliku di parlemen.
Terkait peluang dari pelaksanaan atau implementasi program Simakrama ini, dari perjalanan program ini sedari awal telah terbuka peluang untuk direplikasi di daerah-daerah lain. Hanya saja selama ini beberapa
pemerintah daerah yang berupaya
mereplikasi atau pun meniru pelaksanaan program Simakrama hanya berasal dari kabupaten di Bali. Contoh daerah yang telah
ikut melaksanakan konsep program
Simakrama dengan beberapa modifikasi sesuai ciri khas daerah masing-masing adalah seperti Bupati Jembrana (Antara, 2 Agustus 2011) dan Bupati Buleleng (Antara, 26 Agustus 2011). Sementara itu, upaya replikasi konsep program Simakrama dari daerah di luar Bali sejauh ini belum ada (Wawancara tanggal 22 April 2015). Hal ini disebabkan program Simakrama selama ini masih minim publikasi di luar daerah utamanya di luar Pulau Bali sehingga banyak daerah lainnya di Indonesia yang belum
mengetahui program Simakrama ini.
Pemberitaan program Simakrama masih terkonsentrasi pada beberapa media lokal di Pulau Bali saja.
14 aspirasi secara terbuka seperti di daerah lain
semisal acara Dialog Publik Bupati
Bojonegoro, Suyoto, di pendopo Kabupaten Bojonegoro tiap hari Jumat pada siang hari setelah ibadah shalat Jumat (Kompas, 8 Mei 2014). Dalam program Simakrama ini sepanjang observasi yang dilakukan peneliti memiliki pola yang hampir serupa dengan
kegiatan Dialog Publik Bupati Suyoto.
Perbedaannya adalah program Simakrama
dilaksanakan secara marathon atau
berkeliling di hampir seluruh kabupaten/kota
di Bali sementara Dialog Publik Bupati
Suyoto masih terpusat di pendopo kabupaten. Dari peluang dan tantangan tersebut, program Simakrama sejatinya masih bisa
terus ada karena masyarakat sangat
membutuhkan program seperti ini. Program-program seperti Simakrama di Bali dan Dialog Publik di Bojonegoro berpeluang menumbuhkan tradisi demokrasi tanpa sekat yang selama ini masih jarang ditemui dalam pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah di Indonesia yang menganut sistem demokrasi perwakilan. Selama ini memang kemunculan program-program demokrasi langsung seperti Dialog Publik ataupun Simakrama selalu diawali dengan political will kepala daerah untuk mau terbuka dan accountable terhadap masyarakat serta program kerja mereka.
V. Penutup 5.1 Kesimpulan
Penelitian ini sampai pada
kesimpulan bahwa implementasi program Simakrama selama ini telah sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi deliberatif. Di mana masyarakat mempunyai peran yang besar untuk turut ambil bagian dalam proses formulasi kebijakan. Dengan emtode tatap
muka danj penyampaian aspirasi serta pendapat secara langsung, masyarakat tidak dibatasi sekat-sekat untuk menyuarakan
pandangan mereka sekaligus meminta
pertanggungjawaban kepada gubernur atas kinerja gubernur selama bertugas.
Dari segi komunikasi, struktur
birokrasi, disposisi dan sumber daya, program Simakrama telah didukung oleh keempat aspek tersebut. Struktur birokrasi yang fleksibel dan luwes, komunikasi dua arah dan pemahaman dari masyarakat akan tujuan serta maksud program ini, disposisi yang kuat dari implementor, serta sumber daya yang memadai telah mendukung implementasi program Simakrama semenjak tahun 2008 hingga saat ini.
Sementara itu, tantangan dan peluang dari program ini di lapangan cukup memberi dampak pada kesuksesan implementasi Program Simakrama. tantangan seperti masih sulitnya menyatukan pemahaman antara gubernur dengan kepala daerah sasaran, terlebih apabila mereka berebda latar belakang politik dengan gubernur ditengarai menjadi salah satu penyebab program Simakrama kerap jarang digelar di beberapa daerah tertentu. Selain itu, keberlanjutan program Simakrama ini setelah insisiator program ini, yakni Made Mangku Pastika tidak lagi menjabat sebagai gubernur Bali masih dipertanyakan. Program Simakrama kemungkinan besar akan tetap eksis apabila suksesor dari Made Mangku Pastika
memiliki visi yang sama untuk
mempertahankan bentuk demokrasi
deliberatif seperti yang ada dalam program Simakrama.
menimbang-15 nimbang dan mendegarkan saran dari
pelbagai pihak sebelum formulasi kebijakan
dilakukan. Kebijakan yang deliberatif
berpeluang melanggengkan kekuasaan dari pembuat kebijakan (kepala daerah) karena kebijakan yang deliberatif legitimasinya sangat kuat.
Kemudian, peluang replikasi untuk program Simakrama selama ini hanya datang dari beberapa daerah kabupaten di Bali saja seperti Buleleng dan Jembrana. Di mana pemimpin di kabupaten tersebut mengadopsi konsep program Simakrama Pemerintah Provinsi Bali dengan sedikit modifikasi sesuai dengan adat istiadat kabupaten masing-masing.
5.2 Saran
Dari hasil interpretasi data
wawancara sementara ini diperoleh informasi bahwa program Simakrama ini muncul sebagai upaya gubernur Bali saat ini I Made Mangku Pastika untuk menjamin kebijakan atau program yang ia luncurkan dapat
termonitoring dan mampu mencapai
kelompok sasaran. Adapun tujuan lain dari program ini adalah menyerap aspirasi masyarakat di daerah yang mendapat kunjungan dari program Simakrama.
Peneliti melihat ada kelemahan dari
program ini yakni, masih adanya
ketidakkonsistenan dalam pelaksanaannya. Program Simakrama dari data sekunder yang peneliti dapatkan masih terpusat dilakukan di Kota Denpasar dan cenderung belum begitu menyebar tiap bulannya. Hal ini dari interpretasi makna yang dilakukan peneliti
dikarenakan oleh beberapa sebab
diantaranya: perbedaan latar belakang politik antara gubernur dan bupati, kesibukan bupati dan gubernur sehingga Program Simakrama kerap mendapat penundaan di kabupaten.
Kedepannya disarankan antara
gubernur dan kepala daerah yang dituju
hendakanya sama-sama memprioritaskan kepentinga rakyat di atas segalanya daripada mengutamakan ego sektoral masing-masing daerah. Kegaitan Simakrama juga sebaiknya dilaksanakan pada hari Minggu, di mana masyarakat yang menghadiri program ini bisa jauh lebih banyak tinimbang program Simakrama dilaksanakan pada hari kerja.
Selain itu, publikasi hasil pertemuan antara gubernur dengan masyarakat yang hadir pada saat program Simarkama digelar
alangkah lebih baiknya senantiasa
dipublikasikan lewat berbeagai media massa baik cetak maupun elektronik. Dengan demikian gaung dari Program Simakrama
akan lebih menggema dan peluang
diterapkannya program serupa di daerah-daerah lain utamanya di luar Pulau Bali akan semakin besar.
Daftar Pustaka
Antara Bali, 2 Agustus 2011, “Bupati Dan
Wakil Bupati Jembrana
"Simakrama" Perbekel”.
Antara Bali, 26 Agustus 2011, “Wakil Bupati
Buleleng Gelar Simakrama”. Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Cheema. G.S 2005. Building Democratic
Institutions: Governance Reform
in Developing
Countries.Westport: Kumarian Press.
Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln.
16 Research. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Diesing, P. 1971. Patterns of Discovery in The Social Sciences. Chicago: Aldine-Atherton, Inc.
Kartiwa. H.A. Tanpa Tahun. Implementasi
Peran dan Fungsi DPRD dalam
Rangka Mewujudkan “good governance”. (Makalah).
Kompas, 8 Mei 2014, hal. 2. Demokrasi
Tanpa Sekat ala Kang Yoto.
Mardiyanta. A. 2011. Kebijakan Publik
Deliberatif: Relevansi dan Tantangannya, Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik. Vol.24, Juli-September 2011. Hal. 261-271.
Sisk. T. D. 2011. Buku Panduan
International IDEA Mengenai Keterlibatan, Keterwakilan, Pengelolaan Konflik dan Kepemerintahan. Penerjemah:
Arif Subiyanto. Jakarta:
AMEEPRO.
Strauss, Anselm dan Juliet Corbin. 2009. Dasar-dasa r Penelitian Kualitatif: Tatalangkah dan Teknik-teknik Teoritisasi Data. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Taylor. S.J; Robert Bogdan. 1984.