Apa yang salah dalam UU terorisme?
Abdul Karim Munthe, S.Sy., Lc., S.H., M.H.
Direktur Eksekutif el-Bukhari Institute
Pertanyaan tersebut kembali mencuat pasca serangan teroris di kawasan Jl. Thamrin, 14 Januari 2016 lalu. Pasalnya setelah peristiwa tersebut berbagai pihak menuding bahwa itu terjadi akibat terdapat kelemahan dalam UU No. 15 tahun 2003 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Sebab, Badan Intelijen Negara (BIN) telah lama
memberikan peringatan akan terjadi serangan teroris antara Natal sampai dengan awal tahun 2016.
Peringatan tersebut telah disampaikan Sutiyoso sebagai kepada BIN kepada aparat keamanan. Hingga akhirnya peristiwa yang telah diprediksi terjadi juga. Terhitung pasca bom Bali I lebih dari 20 kali serangan teroris di Indonesia.Terakhir yang terjadi belum lama ini di kawasan Jl. Thamrin yang menewaskan 7 orang, 5 dari pelaku teror dan 2 dari pihak kepolisian. Data tersebut menunjukkan bahwa frekuensi serangan teroris terjadi hampir setiap tahun, dalam satu tahun serangan bisa terjadi lebih dari 3 kali.
Kondisi ini cukup mengherankan, pertanyaannya apa yang salah dari penanganan terorisme di Indonesia?
UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia berdasarkan hukum dan memilki tugas dan kewenangan untuk menyelenggarakan kehidupan yang aman, damai dan sejahtera serta ikut serta secara aktif memelihara perdamain dunia.
Implementasi dari ketentuan tersebut, pemerintah membentuk undang-undang, yaitu UU No. 15/2003. UU ini dibentuk karena aksi terorisme merupakan salah satu penghambat terwujudnya kehidupan yang aman, damai dan sejahtera. Tindak pidana terorisme merupakan tindak pidana yang terorganisir dengan baik dan tidak hanya ada pada tingkat regional, akantetapi melibatkan jaringan internasional. Pelaku tindak pidana
terorisme adalah orang-orang professional, terlatih dan memiliki ideologi yang kuat. Tipe aksi teror yang ada di Indonesia tidak hanya untuk
kepentingan politik atau ekonomi, akantetapi lebih dari itu, agama. Bagi mereka kematian (Red: syahid) adalah puncak dari perjuangan.
melakukan penangkapan kepada para pihak yang diduga ingin melakukan aksi teror berdasarkan dari laporan yang disampaikan oleh BIN.
UU No. 15/2003 bersifat reaktif (reactive law enforcement) artinya penegakan hukum baru dapat dilakukan apabila telah terjadi perbuatan yang menimbulkan akibat bagi korban dan masyarakat.
Dalam memerangi terorisme tidak dapat hanya mengandalkan
pendekatan "hukum pidana konvensional", yang didasarkan pada prinsip, "mensrea" dan "actusreus" yang mengandung prinsip bahwa suatu perbuatan jahat harus terbukti dari selain niatnya juga tindakan dan akibatnya. Oleh karenanya, untuk menghadapi tindak pidana terorisme yang efisien dan efektif adalah menggunakan strategi pencegahan yang berorientasi kepada pendekatan atau “forward-looking”. Pendekatan model seperti ini memungkinkan dilaksanakan strategi penegakan hukum yang yang bersifat proaktif (proactive law enforcement).
Untuk dapat menggunakan pendekatan tersebut ada dua hal yang perlu dilakukan, yaitu merevisi terkait hukum materil dan hukum formilnya. Dari sisi pendekatan hukum pidana materiel, dituntut agar rumusan tindak pidana memenuhi asas "lex scripts, lex stricta, dan lex certa" dan dapat menjangkau tindakan awal dari tindak pidana terorisme sehingga fungsi preventif dapat dijalankan secara efektif dan efisien. Untuk itu harus ada rumusan tindak pidana yang dapat mengkriminalisasi perbuatan
“persiapan dan perencanaan”, namun harus sesuai dengan asas hukum pidana.
Dari aspek formil, diperlukan ketentuan mengenai penyelidikan yang lebih luas, sehingga mencakup informasi (information intelligence). Sehingga informasi tersebut dapat dijadikan sebagai alat untuk melakukan
penyidikan lebih lanjut. Akan tetapi, melihat keadaan UU No. 15/2003 saat ini, pihak kepolisian kesulitan untuk mewujudkan hal tersebut. UU No. 15/2003 Pasal 26 mengatur bahwa tindak pidana terorisme harus memiliki dua alat bukti permulaan yang cukup yang ditetapkan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri didahului oleh pemeriksaan selama tiga hari, sehingga menyita waktu yang cukup lama. Menurut UU yang berlaku sekarang informasi yang diberikan oleh intelijen bukan merupakan bukti permulaan yang cukup untuk menangkap orang yang diduga ingin melakukan aksi terorisme.
Akibatnya penyidik hanya terfokus menangani pelaku lapangan dan tidak menjangkau tokoh ideologis. Padahal tokoh ideologis ini lah yang
‘bermain’ di belakang layar, yang melakukan rekrutmen dan
uang, akantetapi lebih dari itu. sehingga apabila hanya mengadalkan sanksi berat, tidak akan berpengaruh pada berkurangnya aksi terorisme.