• Tidak ada hasil yang ditemukan

Paradoks Easterlin dan Ekonomi Kecemasan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Paradoks Easterlin dan Ekonomi Kecemasan"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

1 Sabtu, 100218.09:00

Paradoks Easterlin

dan Ekonomi Kecemasan di Indonesia

Oleh: Rio Heykhal Belvage

"Banyak peristiwa perubahan sosial yang bersifat negatif dan merusak masyarakat justru

memberi keuntungan yang amat besar terhadap PDB.."

Pernyataan paradoks itu ditulis oleh seorang ahli ekonomi-politik yang bermarkas di Kampus

Pretoria Afrika Selatan, Lorenzo Fioramonti, di dalam buku terjemahannya "Produk/Problem

Domestik Bruto". Menarik menyimak evaluasi Fioramonti tersebut jika sembari merefleksikan

dengan kondisi Indonesia saat ini, yaitu usia kapitalisme yang selalu awet muda dan merentang

sejak Hindia Belanda, yang notabene menjadi fondasi ekonomi dan politik negeri ini.

Tanggal 8 Februari lalu, di kolom Tajuk Rencana media koran harian Kompas diinformasikan

bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia (melalui skala Produk Domestik Bruto/PDB) mengalami

peningkatan sejumlah 5,07%. Angka tersebut meski terbilang tinggi bilamana dibandingkan

dengan biaya sosial yang telah ditukar untuk mencapai angka sekian persen itu (misalnya berupa

konflik agraria yang terus menganga dari tahun ke tahun), tetapi rupanya masih belum sampai

pada angka yang ditargetkan pemerintah, sejumlah 5,2%. Artinya masih kurang 0,13%.

Dalam disiplin keilmuan yang cenderung menggunakan metode kualitatif sebagai alas berpikir,

kekurangan 0,13% barangkali bukanlah sesuatu yang besar dan mesti dipermasalahkan. Sebab

0,13% bisa dibulatkan menjadi nol. Pembulatan ini bisa saja terjadi, karena yang menjadi fokus

dari kualitatif memang bukan angka, melainkan sebaliknya, yaitu apa saja yang tidak terwakili

oleh angka, yang telah ditiadakan perannya dalam suatu tema masalah yang sedang ditangani.

Hal itu pula yang coba diuraikan oleh Fioramonti di dalam beberapa seri bukunya yang mengulas

tentang pertumbuhan ekonomi.

Sementara itu, tanpa mengurangi pentingnya metode kuantitatif dalam disiplin keilmuan yang

kian hari kian terasa hegemonik, barisan angka memang diperlukan di dalam melakukan suatu

pengukuran. Di dalam ilmu-ilmu yang menggunakan metode kuantitatif, hasil yang didapat saat

(2)

2 terbalik dengan metode kualitatif. Karena memang di dalam metode kuantitatif seperti ilmu

ekonomi misalnya, ada indikator berbeda dan seolah menjadi aturan umum tidak tertulis bahwa

rumusan angka mesti dikedepankan sebagai perangkat untuk menerjemahkan kompleksitas

sosial. Walaupun jauh hari seorang ekonom terkemuka peraih IZA Prize in Labor Economics,

Richard Easterlin, di dalam makalahnya yang terbit di jurnal ekonomi tahun 1997 berjudul “Happiness and Economic Performance”, telah menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya dibayangkan paling-tidak melalui gambaran logika sederhana: jika diagram ekonomi

(PDB) meningkat, maka kebahagiaan turut naik karena asumsinya kebutuhan masyarakat

(konsumsi) dapat tercukupi dan dengan demikian iklim ekonomi memungkinkan akumulasi

kapital – di dalam realitanya tidaklah demikian. Menurut Easterlin – melalui apa yang dijelaskan

Fioramonti, hal itu disebabkan karena angka pertumbuhan ekonomi ternyata sama sekali

bukanlah jaminan untuk mengukur tingkat kebahagiaan masyarakat. Logika itulah yang di dalam

perbincangan tentang ekonomi dijuluki sebagai “Paradoks Easterlin”. Di Indonesia paradoks ini

akan terlihat jelas manakala kita membandingkan naiknya PDB yang juga diikuti dengan naiknya

suhu kecemasan publik, situasi sosial yang tidak stabil, apalagi memasuki tahun politik, yang

berujung pada tindakan intoleransi dan pertunjukan aksi kekerasan.

Tulisan ini tidak akan menginterogasi rezim kuantitatif dalam mengatur dinamika ekonomi

melalui berbagai produk kebijakan, karena memang bukan menjadi bagian dari kajian yang saya

pelajari. Alih-alih mengevaluasi hitungan ekonomi dengan rumus yang tak dikuasai, saya ingin

menyinggung apa yang selama ini luput tidak terwakili dan tidak banyak dibicarakan di dalam

indikator pertumbuhan ekonomi.

Melalui berbagai pemberitaan di media, pola pemerintahan saat ini dapat dikelompokkan ke

dalam jenis yang menempatkan ekonomi sebagai panglima. Berbagai macam infrastruktur yang

mendukung angka pertumbuhan ekonomi dibangun di berbagai wilayah dari ujung timur sampai

ujung barat Indonesia. Namun infrastruktur yang lebih mendasar seperti keadilan sosial masih

juga luput dari perhatian. Asumsi keliru yang dirawat oleh para arsitek pembangunan selama ini,

dengan membangun infrastruktur ekonomi, maka seolah dengan serta-merta telah membangun

akses menuju keadilan sosial. Padahal kenyataannya, atas nama infrastruktur itu, seperti halnya

atas nama pembangunan di Orde Baru, penataan ruang mendapatkan tiket untuk memindahkan

(3)

3 Dalam regenerasi kapitalisme di Indonesia, jika membaca penelitian Richard Robison yang

dibukukan dalam judul “Indonesia: The Rise of Capital” (dulu, buku ini pernah dilarang beredar

di Indonesia), akan dapat dijumpai bagaimana rekam-jejak pemerintah di setiap masa dalam

lenggak-lenggok asumsi ekonomi yang dipraktikkan oleh para arsitek pembangunan.

Setidaknya terdapat dua momentum penting yang bisa ditandai dari pertumbuhan kapitalisme

di Indonesia. Pada masa Presiden Soekarno, dikenal istilah program benteng, yaitu suatu langkah

kebijakan untuk menumbuhkan kapitalis pribumi dengan mengalienasi pengusaha asing. Pada

masa ini api nasionalisme memang sedang besar-besarnya dan itu ditunjukkan dengan strategi

ekonomi berdiri di atas kaki sendiri. Bahkan tidak sedikit kapital-kapital milik perusahaan asing

dinasionalisasi meskipun itu dilakukan dengan menumpuk jumlah hutang luar negeri. Tetapi cara

itu tidak lama bertahan karena kemudian ketika terjadi krisis, berlangsung pembalikan arus. Saat

itu terjadi peralihan kekuasaan presiden dari Soekarno ke Soeharto – dengan pemerintahan baru

yang dapat ditandai dengan istilah “open door policy”. Walaupun kompleksitas ekonomi

semacam ini mustahil tuntas dijabarkan hanya dengan satu paragraf, tetapi sejak saat itu, meski

pemerintahan telah berganti berkali-kali, agaknya model ekonomi yang diterapkan Orde Baru

selama 32 tahun telah nyaris sempurna membentuk jagad pandang arsitek pembangunan. Seolah

hanya ada dua parameter: jika tidak orbais, maka sebaliknya, anti-orbais. Dengan satu kalimat

yang menjadi kunci kotak pandora: mengejar pertumbuhan ekonomi.

Saya jadi ingat pada satu kelakar yang pernah diucapkan seseorang asal Sumatera. Ia bercerita,

pada suatu hari ada orang bertemu di perantauan dan berkenalan. Keduanya lalu saling bertanya. “Dari mana asalmu?”. “Pulau Sumatera, Bang,” jawabnya. “Sumatera? Jadi tanahmu di sana?”. Bingung dia, mau menjawab apa, karena sejujurnya ia tak punya tanah di kampung kelahirannya.

Memang benar tanah air kita tanah air Indonesia. Tapi tanah bukan kita punya. Air juga begitu.

“Lhah trus, berapa banyak lagi kira-kira lahan yang akan dialihfungsikan buat menuhin rikues

Referensi

Dokumen terkait

Biasanya atribut merupakan teks string yang bernilai tunggal, bilangan atau daftar suatu nilai ( enumerated values ). Tetapi, pada suatu saat juga perlu menetapkan

Pelatihan-pelatihan bagi aparat diperlukan untuk menunjang dan meningkat. Temuan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa acuan penyelenggaraan pelayanan sertifikat

Menurut ibu Intan selaku marketing pendistribusian zakat, berkaitan dengan penyaluran atau pendistribusian zakat produktif di Solopeduli ada beberapa program dalam

Seminar Nasional Sains dan Teknologi Nuklir pada tanggal 3 Desember 2015 diselenggarakan oleh Pusat Sains dan Teknologi Nuklir Terapan (PSTNT) BATAN Bandung

Pada waktu melakukan pembacaan pada termometer mata harus sejajar dengan tinggi permukaan air raksa atau alkohol yang ada dalam pipa kapiler untuk menghindari kesalahan

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas Rahmat dan Berkat yang telah diterima dalam penyelesaian tesis ini untuk memenuhi prasyarat gelar Magister Manajcmen

Kompetensi yang harus dicapai oleh peserta Program Studi Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah agar dapat menjadi seorang dokter spesialis jantung dan pembuluh

Lähes kaikki toivat haastatteluissa esille, että lapset puhuvat hyvää suomen kieltä ja sen lisäksi myös äidinkieltään.. Haastatelluiden lapsilla oli myös