• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ajaran Gereja Katolik Mengenai Jiwa Komp

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ajaran Gereja Katolik Mengenai Jiwa Komp"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Ajaran Gereja Katolik Mengenai Jiwa

Mengenai Jiwa beberapa pemikiran dan ajaran yang dipegang oleh Gereja Katolik dapat dilihat melalui Kitab Suci, dokumen-dokumen Gereja dan pendapat para Bapa Gereja, sbb:

Kitab Suci

Kej 2:7 Ketika itulah Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.

Luk 1:46 Lalu kata Maria: "Jiwaku memuliakan Tuhan,....”

Yoh 6:40 Sebab inilah kehendak Bapa-Ku, yaitu supaya setiap orang, yang melihat Anak dan yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal, dan supaya Aku membangkitkannya pada akhir zaman."

Katekismus Gereja Katolik

362 Pribadi manusia yang diciptakan menurut citra Allah adalah wujud jasmani sekaligus rohani. Teks Kitab Suci mengungkapkan itu dalam bahasa kiasan, apabila ia mengatakan: "Allah membentuk manusia dari debu tanah dan menghembuskan napas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup" (Kej 2:7). Manusia seutuhnya dikehendaki Allah. 363 Dalam Kitab Suci istilah jiwa sering berarti kehidupan manusia atau seluruh pribadi manusia. Tetapi ia berarti juga unsur terdalam pada manusia, yang paling bernilai padanya", yang paling mirip dengan citra Allah: "Jiwa" adalah prinsip hidup rohani dalam manusia.

365 Kesatuan jiwa dan badan begitu mendalam, sehingga jiwa harus dipandang sebagai "bentuk" badan, artinya jiwa rohani menyebabkan, bahwa badan yang dibentuk dari materi menjadi badan manusiawi yang hidup. Dalam manusia, roh dan materi bukanlah dua kodrat yang bersatu, melainkan kesatuan mereka membentuk kodrat yang satu saja.

366 Gereja mengajarkan bahwa setiap jiwa rohani langsung diciptakan Allah -- ia tidak dihasilkan oleh orang-tua -- dan bahwa ia tidak dapat mati: ia tidak binasa, apabila pada saat kematian ia berpisah dari badan, dan ia akan bersatu lagi dengan badan baru pada hari kebangkitan.

367 Kadang kala jiwa dibedakan dengan roh. Santo Paulus berdoa demikian: "Semoga Allah damai sejahtera menguduskan kamu seluruhnya, dan semoga roh, jiwa dan tubuhmu terpelihara sempurna dengan tak bercacat pada kedatangan Yesus Kristus" (1 Tes 5:23). Gereja mengajarkan bahwa perbedaan ini tidak membagi jiwa menjadi dual. Dengan "roh" dimaksudkan bahwa manusia sejak penciptaannya diarahkan kepada tujuan adikodratinya dan bahwa jiwanya dapat diangkat ke dalam persekutuan dengan Allah karena rahmat.

382 Manusia adalah "satu jiwa maupun raganya" (GS 14,1). Ajaran iman mengatakan bahwa jiwa yang rohani dan tidak dapat mati langsung diciptakan oleh Allah.

Sifat Jiwa yang Immaterial:

(2)

1022 “Pada saat kematian setiap manusia menerima ganjaran abadi dalam jiwanya yang tidak dapat mati...”

Kematian: Jiwa Berpisah dari Tubuh

1005 Supaya bangkit bersama Kristus, kita harus mati bersama Kristus; untuk itu perlu "beralih dari tubuh ini untuk menetap pada Tuhan" (2 Kor 5:8). Dalam "kepergian" ini (Flp 1:23), dalam kematian, jiwa dipisahkan dari tubuh. Ia akan disatukan kembali dengan tubuhnya pada hari kebangkitan orang-orang yang telah meninggal Bdk. SPF 28..

1016 Oleh kematian, jiwa dipisahkan dari badan; tetapi dalam kebangkitan, Allah akan memberi kehidupan abadi kepada badan yang telah diubah, dengan mempersatukannya kembali dengan jiwa kita. Seperti Kristus telah bangkit dan hidup untuk selamanya, demikian juga kita semua akan bangkit pada hari kiamat.

Indulgensi: Penghapusan siksa dosa atas jiwa

1498 Oleh indulgensi umat beriman dapat memperoleh untuk diri sendiri dan untuk jiwa-jiwa di tempat penyucian, penghapusan siksa-siksa sementara, yang diakibatkan oleh dosa.

Kecenderungan: Bagian dari Jiwa

1764 Kecenderungan adalah emosi kodrati jiwa manusia. Mereka merupakan tempat persambungan antara kehidupan inderawi dan rohani. Tuhan kita menyebut hati manusia sebagai sumber, dari mana kecenderungan itu timbul Bdk. Mrk 7:21.. 368

1771 Ungkapan "kecenderungan" menandakan gerakan perasaan atau emosi. Oleh desakan perasaannya, manusia merasa bahwa sesuatu bersifat baik atau jahat.

1772 Kecenderungan yang mendasar adalah cinta dan kebencian, kerinduan dan ketakutan, kegembiraan dan kesedihan serta kemurkaan.

Dokumen-dokumen Gereja

Gaudium et Spes Art. 14

Persona sebagai subyek yang bertubuh artinya bahwa dimensi ketubuhan itu turut membentuk keberadaannya sebagai manusia. Persona adalah kesatuan antara tubuh dan jiwa, corpore et anima unus (GS 14).

14. (Kodrat manusia)

Manusia, yang satu jiwa raganya, melalui kondisi badaniahnya sendiri menghimpun unsur-unsur dunia jasmani dalam dirinya, sehingga melalui unsur-unsur itu mencapai tarafnya tertinggi, dan melambungkan suaranya untuk dengan bebas memuliakan Sang Pencipta[1]. Oleh karena itu manusia tidak boleh meremehkan hidup jasmaninya; melainkan sebaliknya, ia wajib memandang baik serta layak dihormati badannya sendiri, yang diciptakan oleh Allah dan harus dibangkitkan pada hari terakhir. Tetapi karena manusia terlukai oleh dosa, ia mengalami pemberontakan pada badannya. Maka dari itu martabat manusia sendiri menuntut, supaya ia meluhurkan Allah dalam

(3)

badannya, dan jangan membiarkan badan itu melayani kecondongan-kecondongan hatinya yang baik.

Akan tetapi manusia tidak salah, bila ia menyadari keunggulannya terhadap hal-hal jasmani, dan tidak sekedar memandang dirinya sebagai sebagian kecil saja dalam alam tercipta, atau sebagai unsur tak bernama dalam masyarakat manusia. Sebab dengan hidup batinnya ia melampaui semesta alam. Ia kembali kepada hidup batinnya yang mendalam itu, bila ia berbalik kepada hatinya; disitulah Allah yang menyelami lubuk hati[2] menantikannya; di situ pula ia mengambil keputusan tentang nasibnya sendiri di bawah pandangan Allah. Maka dari itu, dengan menyadari bahwa jiwa dalam dirinya bersifat rohani dan kekal abadi, ia tidak tertipu oleh khayalan yang menyesatkan dan timbul dari kondisi-kondis fisik atau sosial semata-mata, melainkan sebaliknya ia justru menjangkau kebenaran yang terdalam.

Christus Dominus Art. 2

Adapun para Uskup sendiri, yang diangkat oleh Roh Kudus menggantikan para Rasul sebagai gembala jiwa-jiwa

New Catholic Encyclopaedia, Second Edition 13 (Seq–The), 2003.

The soul is the active principle, the body the passive, in the living whole that is man since the body subsists through the soul and receives form and life from it, while soul is so merged with body that it does not lose its identity. All this is possible only because the soul is a completely immaterial substance, res spiritualis, res incorporea, and close to the substance of God (In psalm. 145:4).

Para Bapa Gereja

Gregorius dari Nisa

"Karena Ia tidak menghalang-halangi perjalanan kodrat yang biasa, maka oleh kematian-Nya jiwa berpisah dari tubuh, namun Ia mempersatukan kedua-duanya lagi satu dengan yang lain pada saat kebangkitan, supaya Ia sendiri menjadi tempat pertemuan kedua-duanya, yakni kematian dan kehidupan dengan menghentikan pembusukan tubuh yang terpisah dari jiwa, pada satu pihak, dan pada lain pihak menjadi prinsip penyatuan kembali bagian-bagian hakikat manusiawi yang sudah terpisah"

Yohanes dari Damaskus

"Walaupun jiwa-Nya yang suci memisahkan diri dari tubuh yang tidak bernoda ... namun pribadi yang satu tidak dibagi dalam dua pribadi, karena badan dan jiwa bersama-sama sejak awal mempunyai eksistensi dalam Pribadi Sabda, dan walaupun dipisahkan satu dari yang lain oleh kematian, kedua-duanya tinggal dalam Pribadi Sabda yang satu"

Thomas Aquinas

3

Aquinas menjelaskan bahwa jiwa di dalam tubuh bukanlah substansi di dalam substansi. Jiwa adalah forma substansial dari kesatuan tersebut. Jiwa dalam tubuh bukan substansi dalam substansi melainkan terekspresi di dalam kesatuan tubuh dan jiwa. Aquinas mengatakan bahwa,

2 Lih. 1Raj 16:7; Yer 17:10.

(4)

“The soul communicates that existence in which it subsists to the corporeal matter, out of which and the intellectual soul there results unity of existence; so that the existence of the whole composite is also the existence of the soul. This is not the case with other non-subsistent forms. For this reason the human soul retains its own existence after the dissolution of the body; whereas it is not so with other forms” (ST. I, q.76, a.1, ad.5).

Artinya, eksistensi jiwa terkespresi di dalam kesatuan tubuh dan jiwa, atau di dalam manusia konkrit. Eksistensi jiwa dikomunikasikan melalui tubuh dan jiwa.

Pada manusia, tubuh adalah prinsip material sedangkan jiwa adalah prinsip immaterial. Karena sifatnya material maka tubuh dapat berubah, misalnya berkembang dan mati. Sedangkan jiwa itu immaterial. Karena dapat menjalankan aktivitas-aktifitas yang melebihi badani belaka (berpikir dan berkehendak) maka jiwa bersifat rohani atau immortal. Dalam bahasa lain yang lebih sederhana, jiwa dapat beraktifitas secara mandiri sehingga dapat manusia tidak hidup lagi, jiwanya terlepas dan masuk dalam kelompok ciptaan yang tak beraga (niragawi). Jiwa itu sendiri memiliki esensi berupa potensialitas untuk bersatu dengan tubuh. Hal ini memungkinkan bahwa jiwa dari seorang yang telah meninggal dapat dipanggil kembali dan diijinkan merasuki tubuh dari seseorang. Jiwa tersebut terus terarah kepada tubuh. Pendapat terakhir ini sangat terasa merupakan penjelasan filosofi Aquinas mengenai ajaran kebangkitan badan.4

Ajaran Filsafat India Mengenai Jiwa

Sejauh yang kami pelajari dalam filsafat India, Jiwa dapat disebut juga sebagai “Atman”. Penjelasan selanjutnya, sbb:

- Jiwa merupakan sebagian dari zat mutlak atau malah zat mutlak itu sendiri. Jadi, bukan sekedar akal tapi seluruh diri.

- Jiwa merupakan hakekat sebenarnya dari manusia, alat lebih tinggi dari ego dan alat-alat batiniah lainnya. Ego bisa diterjemahkan dalam diri.

- Makro kosmos adalah alam semesta dan mikro kosmos adalah manusia. Yang paling sentral dari itu adalah jiwa.

- Jiwa itu murni dan tidak bercela, tidak turut ambil bagian dalam kejahatan. Dalam bahasa moral, jiwa itulah yang dimaksudkan dengan hati nurani. Buatlah yang baik, hindarilah yang jahat.

New Catholic Encyclopaedia, Second Edition 13 (Seq–The), 2003.

In India the religious philosophical treatises of Brahmanism, the Upanishads (c. 650–500 B.C.), present the first extensive account of the origin, nature, and destiny of the human soul. According to this account, which is essentially monistic, BRAHMAN, the original source, generated the world and individual souls that enter bodies and are caught up in the world of maya, i.e., illusion and suffering. Birth is considered a misfortune, since the body is the prison of the

(5)

soul. Salvation requires withdrawal from the body, even in this life, through knowledge of the All, the Absolute, in everything, and through an asceticism that strips off individuality and particular existence. If one has achieved this salvation, death brings extinction to him as an individual and a return to the Absolute; for one not purified by knowledge and asceticism, death brings a transmigration to another body and further suffering. In Brahmanism, the soul not only existed before the body, but it is somehow an emanation from Brahman, individualized and implanted in the world of phenomena. When purged and purified, the soul loses its individuality and merges once more with the Absolute.

- Atman tidak boleh berbeda dengan Brahman. Brahman sebagai kosmik makro adalah sama dengan atman sebagai kosmik mikro itulah manusia.

- Dengan kata lain bahwa Atman itu adalah Brahman yang menjadi imanen dimana yang tidak terbatas itu menjadi terbatas. Tat twam asi, Aku adalah Engkau. Manusia pada hakekatnya adalah Atman, merupakan percikan terkecil dari Brahman.

Setiap manusia adalah bersaudara, oleh karena sama-sama merupakan Atman, percikan dari Brahman. Manusia di dunia ini adalah manusia yang jatuh yang awidya, yang tidak berpengetahuan, yang lupa akan dirinya yang sejati. Tujuan hidup manusia adalah pembebasan atau moksa, yaitu kembali kepada dirinya yang sejati, yaitu menyatu kepada Tuhan.

- Di luar Brahman dan Atman tidak ada sesuatu. Hanya Brahman dan Atmanlah yang nyata, di luar itu tidak ada sesuatu yang nyata. Brahman adalah satu-satunya realitas. Dunia yang tampak ini hanyalah suatu khayalan saja. Dunia ini Maya.

Komentar Kelompok

Terdapat kesamaan dalam beberapa poin ajaran antara Gereja Katolik dengan Filsafat India:

1. - Menurut ajaran Gereja, Jiwa merupakan ‘nafas Allah’ yang dihembuskan kepada manusia sehingga manusia tersebut dapat hidup. Jiwa itupun yang menjadi tanda yang paling identik antara Allah dan manusia sebagai Imago Dei.

- Ajaran tersebut sejajar dengan ajaran filsafat India bahwa Jiwa merupakan sebagian dari zat mutlak atau zat mutlak itu sendiri. Zat mutlak di sini kami pahami sebagai Brahma, yang adalah makro kosmos. Dan manusia adalah mikro kosmos. Sehingga Jiwa yang dimiliki setiap manusia adalah merupakan bagian dari makro kosmos yang besar. Dapat dikatakan manusia mengambil bagian dalam makro kosmos yang besar itu.

- Keduanya mengakui bahwa Jiwa adalah bukan sekedar Jiwa pada dirinya sendiri. Jiwa merupakan keseluruhan diri. Manusia adalah Imago Dei, secitra dengan Allah, mengambil bagian dalam Allah. Zat Mutlak (Brahma) menjadi bagian dari manusia oleh karena Jiwanya adalah bagian dari dari Brahma itu sendiri ( Tat twam Asi, Aku adalah Engkau), sebagai sebuah mikro kosmos.

(6)

- Begitu pun dalam alam pemikiran India, Jiwa yang telah dimurnikan dan mencapai Moksa akan kembali pada situasi “merges once more with the Absolute”, disatukan kembali dengan Zat Mutlak (Brahma).

Selain kesamaan, terdapat pula beberapa perbedaan yang mendasar dari kedua sisi ajaran tersebut:

1. - Gereja mengajarkan bahwa Tubuh dan Jiwa (dan Roh) adalah substansi yang berbeda namun tetap satu, corpore et anima unus. (Bdk. KGK 365, GS 14 ) “Dalam manusia, roh dan materi bukanlah dua kodrat yang bersatu, melainkan kesatuan mereka membentuk kodrat yang satu saja”.

- Menurut Filsafat India, Jiwa merupakan hakekat terutama manusia. Tubuh merupakan penjara Jiwa. Sehingga nanti ketika mengalami kematian, jiwa kembali terpisah dari tubuh dan menyatu lagi dengan Zat Mutlak (Brahma). 2. - Meski ada persamaan bahwa Jiwa itu tidak dapat mati, namun dalam ajaran Gereja Jiwa itu kemudian akan disatukan kembali dengan Tubuh yang baru, yang sudah diperbaharui, di-upgrade, tubuh mulia yang kita terima setelah penebusan dalam kebangkitan bersama Kristus. Sementara menurut ajaran filsafat India, Moksa adalah posisi terakhir dimana jiwa mencapai hakekat yang sesungguhnya untuk bersatu dengan Allah. Tidak diperlukan lagi Tubuh, entah yang fana ataupun yang baka (niragawi).

3. - Dalam ajaran Gereja Jiwa dapat tercemar akibat dari dosa, sehingga diperlukan indulgensi (bdk. KGK 1498) untuk mengurangi atau menghapuskan siksaan jiwa akibat dosa tersebut.

- Ajaran Gereja juga menyebut kecenderungan sebagai bagian dari Jiwa. Kecenderungan itu tidak serta-merta positif atau negatif. Namun ada pun sebuah kecenderungan lain, itulah kecenderungan untuk berbuat dosa yang dikenal dengan Concupiscentia.

- Oleh karena ajaran-ajaran diatas, diperlukanlah mereka yang dapat ‘menggembalakan jiwa-jiwa’ itulah Para Uskup (bdk. CD 2) dan juga klerus sebagai orang yang terpanggil untuk mewartakan penebusan atas dosa dan membawa orang pada keselamatan, salus animarum.

- Dalam ajaran filsafat India, Jiwa adalah yang murni dan tidak bercela. Bahkan jiwa itulah yang merupakan hati nurani yang memberikan putusan baik/buruknya sebuah tindakan.

Kepustakaan:

Alkitab Deuterokanonika., Jakarta: L.A.I, 2003.

Bertens, K. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1975.

Clothey, Fred W. Religion in India: A Historical Introduction. London and New York : Routledge. 2006

Konferensi Waligereja Indonesia., Katekismus Gereja Katolik. Terjemahan Bahasa Indonesia dikerjakan oleh P. Herman Embuiru, SVD. Ende: Nusa Indah, 1995. Konferensi Waligereja Indonesia., Kompendium Katekismus Gereja Katolik. Yogyakarta: Kanisius, 2009.

(7)

Referensi

Dokumen terkait