BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Aksesibilitas
2.1.1. Pengertian Aksesibilitas
Jhon Black mengatakan bahwa aksesibilitas merupakan suatu ukuran
kenyamanan atau kemudahan pencapaian lokasi dan hubungannya satu sama lain,
mudah atau sulitnya lokasi tersebut dicapai melalui transportasi (Leksono dkk,
2010). Aksesibilitas adalah konsep yang luas dan fleksibel. Kevin Lynch
mengatakan aksesibilitas adalah masalah waktu dan juga tergantung pada daya
tarik dan identitas rute perjalanan (Talav Era, 2012).
Derek Halden Concultancy (DHC, 2000) mencirikan pemahaman
aksesibilitas dalam tiga pertanyaan: siapa/dimana, apa, dan bagaimana.
Siapa atau di mana orang itu berada - aksesibilitas adalah bagian dari orang
atau tempat.
Apa peluang yang akan dicapai – fungsi tata guna lahan, aktivitas di dalamnya, atau sumber daya (termasuk orang-orang) yang memungkinkan orang itu
memenuhi kebutuhan mereka.
Bagaimana: faktor-faktor yang memisahkan orang-orang dengan
tempat-tempat seperti jarak, waktu, biaya, informasi dan faktor-faktor lain yang
bertindak sebagai pencegah atau hambatan untuk mengakses suatu tempat.
Venturi (1998) mengatakan bahwa berjalan kaki merupakan mobilitas
Berjalan kaki menjaga hubungan langsung dengan kota, misalnya melalui indra,
berinteraksi dengan pedestrian lainnya, berpartisipasi dalam aktivitas perdagangan
dan kebudayaan di sepanjang jalan. Pedestrian sebagai mobilitas menikmati alam,
lingkungan arsitektonis (Talav Era, 2012).
Bintarto (1989) mengatakan salah satu variabel yang dapat dinyatakan
apakah tingkat aksesibilitas itu tinggi atau rendah dapat dilihat dari banyaknya
sistem jaringan yang tersedia pada daerah tersebut. Semakin banyak sistem
jaringan yang tersedia pada daerah tersebut maka semakin mudah aksesibilitas
yang didapat begitu pula sebaliknya semakin rendah tingkat aksesibilitas yang
didapat maka semakin sulit daerah itu dijangkau dari daerah lainnya (Mohammed,
2010).
Sumaatmadja (1988) mengatakan faktor yang mempengaruhi fungsi
rendahnya aksesibilitas adalah topografi, sebab dapat menjadi penghalang bagi
kelancaran untuk mengadakan interaksi di suatu daerah. (Mohammed, 2010).
Tabel 2.1 Hambatan aksesibilitas terhadap transportasi
Mengenai tempat Waktu perjalanan termasuk berjalan, menunggu, dan di
dalam kendaraan dalam kaitannya dengan anggaran
waktu yang tersedia.
Kemampuan untuk pertukaran antara semua mode
dalam jaringan terintegrasi
Jalur yang tersedia
Aspek fisik Desain kendaraan yang sesuai dengan pengguna
Ketinggian trotoar
Topografi
Waktu menunggu
Jadwal transportasi dan aktivitas
Kapasitas
Keuangan Biaya perjalanan
Potongan untuk grup pejalan
Lingkungan Pencahayaan
Tempat menunggu
Keamanan
Informasi Informasi untuk wisatawan
Informasi perjalanan
(Sumber: DHC dan Transport Study Group, 2003)
2.1.2. Konsep Aksesibilitas
Aksesibilitas didefinisikan suatu ukuran kenyamanan atau kemudahan
mengenai cara lokasi tata guna lahan berinteraksi satu sama lain dan „mudah‟ atau
„susah‟nya lokasi tersebut dicapai melalui sistem jaringan transportasi. Setiap
lokasi geografis yang berbeda memiliki tingkat aksesibilitas yang berbeda hal ini
disebabkan perbedaan kegiatan dari masing-masing tata guna lahan.
a. Black (1981) mengatakan aksesibilitas berdasarkan tujuan dan kelompok
sosial, aksesibilitas menyediakan ukuran kinerja antara tata guna lahan
dengan sistem transportasi. Penghuni perumahan lebih tertarik dengan
aksesibilitas menuju tempat kerja, sekolah, toko, pelayanan kesehatan dan
b. Indikator Aksesibilitas
Tamin (2000) mengatakan indikator aksesibilitas secara sederhana dapat
dinyatakan dengan jarak. Jika suatu tempat berdekatan dengan tempat
lainnya, dikatakan aksesibilitas antara kedua tempat tersebut tinggi.
Sebaliknya jika berjauhan aksesibilitas antara keduanya rendah. Selain jarak
dan waktu, biaya juga merupakan beberapa indikator aksesibilitas. Apabila
antar kedua tempat memiliki waktu tempuh yang pendek maka dapat
dikatakan kedua tempat itu memiliki aksesibilitas yang tinggi. Biaya juga
dapat menunjukkan tingkat aksesibilitas. Biaya disini dapat merupakan biaya
gabungan yang menggabungkan waktu dan biaya sebagai ukuran untuk
hubungan transportasi (Mohammed, 2010).
c. Aksesibilitas dalam Kebijakan Tata Guna Lahan Perkotaan
Edward (1992) mengatakan aksesibilitas menjadi kunci penting terhadap
kebijakan tata guna lahan dimana tata guna lahan yang memiliki aksesibilitas
tinggi akan mempunyai nilai lahan yang lebih baik. Fakta ini telah
menjadikan pendorong utama bagaimana suatu daerah perkotaan
dikembangkan dan berpengaruh langsung terhadap kebijakan tentang tata
guna lahan saat ini (Mohammed, 2012).
d. Keterkaitan Tata Ruang dengan Transportasi
Tamin (2000) mengatakan kebijakan tata ruang sangat erat kaitannya dengan
kebijakan transportasi. Ruang merupakan kegiatan yang “ditempatkan” di
atas lahan kota, sedangkan transportasi merupakan sistem jaringan yang
lainnya. Antara ruang kegiatan dan transportasi terjadi hubungan yang disebut
siklus penggunaan ruang transportasi. Bila akses transportasi kesuatu ruang
kegiatan diperbaiki, ruang kegiatan tersebut menjadi lebih menarik, dan
biasanya menjadi lebih berkembang. Dengan perkembangan ruang tersebut,
meningkat pula kebutuhan akan transportasi. Peningkatan ini kemudian
menyebabkan kelebihan beban pada transportasi, yang harus ditanggulangi,
dan siklus akan terulang kembali bila aksesibilitas diperbaiki (Mohammed,
2010).
Aksesibilitas memiliki kriteria pengukuran yang ideal, terdiri dari aspek
keamanan, kemudahan, kenyamanan, dan estetika.
Tabel 2.2 Kriteria pengukuran aksesibilitas yang ideal
Kriteria
Aksesibilitas Perlengkapan
Mode Efek
Pedestrian Sepeda Transit Auto
trotoar
Panjang tanda jalan √ Kemudahan Hubungan ke tempat
lain
Kenyamanan Area teduh pada
pedestrian
√
Area teduh di halte √
Bangku di halte √
Topografi √ √
Estetika Pemandangan lanskap √ √
Signage √ √ √ √
(Sumber: Bhat dkk, 2000)
2.1.3. Ruang Terbuka Publik dan Aksesibilitas
Ruang publik harus memenuhi beberapa faktor agar berhasil, salah satunya
yaitu aspek aksesibilitas. Ruang publik harus dapat diakses bagi seluruh
penggunanya dan dapat merefleksikan komunitas di sekitarnya, sehingga segala
bentuk aktivitas termasuk aktivitas komersial di dalam ruang publik harus dapat
membuat penggunanya merasa ikut dilibatkan dalam aktivitas tersebut.
akan memperkuat image dan identitas tempat ruang terbuka publik tersebut
berada.
Masyarakat harus dapat merasakan ruang terbuka tersebut sebagai
identitas lingkungan atau komunitasnya. Tidak ada pengecualian bagi warga
untuk dapat ikut beraktivitas di dalamnya, termasuk warga yang memiliki
kekurangan fisik. Untuk itu aksesibilitas sebuah ruang terbuka sangat penting bagi
keberlangsungan aktivitas penggunanya.
Aksesibilitas harus memperhatikan aspek keamanan sehingga pengguna
dapat merasa aman ketika melewati jalan tersebut dalam menuju suatu tempat.
Menurut PPS hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain yaitu akses utama
teridentifikasi dengan jelas, terbaca dan terawat dengan baik, jalan teridentifikasi
atau terlihat dengan jelas dari jalan dan dari dalam ruang terbuka, pencahayaan
yang cukup pada malam hari, ada area aktivitas yang berdekatan dengan ruang
terbuka publik, serta menghindari jalan yang dirasa tidak nyaman bagi pengguna,
seperti daerah sepi.
Akses menuju ruang terbuka juga ditentukan oleh faktor sosial ekonomi.
Apabila sosial ekonomi suatu daerah baik, maka akses menuju daerah tersebut
juga baik, dan sebaliknya. Apabila sosial ekonomi suatu daerah buruk maka akses
menuju daerah tersebut juga buruk (Koohsari, 2011)
Menurut PPS suatu ruang publik berhasil jika memiliki 4 kriteria:
1. Dapat diakses dan memiliki keterkaitan
2. Kenyamanan dan pemandangan yang bagus
4. Kemampuan sosial
Gambar 2.1 Kriteria ruang publik yang berhasil
(Sumber: www.pps.org)
2.2. Pedestrian 2.2.1. Teori Pedestrian
Menurut John Fruin (1979) berjalan kaki merupakan alat untuk pergerakan
internal kota, satu – satunya alat untuk memenuhi kebutuhan interaksi tatap muka yang ada didalam aktivitas komersial dan kultural di lingkungan kehidupan kota.
Berjalan kaki merupakan alat penghubung antara moda – moda angkutan yang lain. Menurut Amos Rapoport (1977) dilihat dari kecepatannya moda jalan kaki
memiliki kelebihan yakni kecepatan rendah namun menguntungkan karena dapat
mengamati lingkungan sekitar dan mengamati objek secara detail serta mudah
menyadari lingkungan sekitarnya. Menurut Giovany Gideon (1977) Berjalan kaki
merupakan sarana transportasi yang menghubungkan antara fungsi kawasan satu
dengan yang lain terutama kawasan perdagangan, kawasan budaya, dan kawasan
permukiman, dengan berjalan kaki menjadikan suatu kota menjadi lebih
manusiawi.
Tabel 2.3 Kriteria jarak berjalan kaki yang diterima
Aspek Perjalanan Waktu dan (Jarak)
Berjalan ke fasilitas 20 menit (1.4 - 1.6 kms)
Berjalan ke halte bus (kota) 5 menit (300-500 m)
Berjalan ke halte bus (desa) 10 menit (600-1000 m)
Berjalan ke stasiun kereta api 10 menit (600-1000 m)
(Sumber: WAG, 2002 dan SE, 2003)
Menurut PPS untuk menganalisis apakah ruang pejalan kaki untuk
berjalan memadai, perlu menghitung jumlah orang di trotoar di lokasi yang
berbeda selama beberapa hari. Volume pejalan kaki biasanya bervariasi sesuai
dengan lokasi di jalan serta sesuai dengan waktu dalam seminggu. Volume
tersebut bahkan dapat bervariasi dalam satu menit karena fenomena lonjakan
pejalan kaki disebabkan sekelompok orang bergerak bersama-sama di satu tempat.
Langkah pertama untuk meningkatkan pedestrian dan pengguna sepeda
adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan masyarakat
untuk bersepeda, berjalan, transit, dan / atau berkendara. PPS mengatakan
menciptakan tempat yang baik yang mengandalkan transportasi berskala manusia
sangat penting untuk membuat orang-orang keluar dari mobil mereka dan
menggunakan kaki mereka. Kesimpulan presenter di Transportation Research
Board:
Di Hawaii, penelitian oleh Karl Kim menunjukkan bahwa sepertiga dari
variasi dalam volume pejalan kaki di daerah yang sibuk dari Honolulu dapat
dikaitkan dengan kualitas lingkungan (seperti kebersihan, lansekap, dan
fasilitas seperti tempat duduk, teduh, dan tidak landai, kondisi street
furniture, kualitas bahan paving, kontinuitas trotoar, dan berbagai kondisi
gangguan termasuk kebisingan dan bau).
Sebuah penelitian yang dipresentasikan dalam sesi yang sama oleh para
peneliti di Voorhees Transportation Center di Rutgers menunjukkan bahwa
kedekatan transit mempengaruhi frekuensi orang yang berjalan.
Wesely Marshal dan Norm Garrick menggambarkan bahwa karakteristik
jaringan jalan seperti konfigurasi, kekompakan, dan tingkat konektivitas
mempengaruhi orang berjalan.
Menurut Unterman (1984), unsur-unsur yang mempengaruhi jarak orang
berjalan kaki yaitu waktu, kenyamanan, adanya kendaraan bermotor, dan pola tata
guna lahan. Berjalan kaki pada waktu-waktu tertentu mempengaruhi jarak yang
relatif, ketika sedang berbelanja seseorang dapat berjalan selama 2 jam tanpa
sadar. Dari segi kenyamanan iklim dan jenis aktivitas mempengaruhi kemampuan
seseorang dalam menempuh jarak.
2.2.2. Elemen-elemen Jalur Pedestrian
Dalam perencanaan elemen-elemen jalur pedestrian diperlukan pendekatan
secara langsung ke lokasi pedestrian tersebut. Elemen pada suatu jalur pedestrian
terbagi 2, yaitu : elemen jalur pedestrian (material), dan elemen pendukung jalur
pedestrian.
a. Elemen Jalur Pedestrian
Elemen jalur pedestrian berupa perkerasan, umumnya menggunakan paving,
bata, atau batu.
b. Elemen Pendukung Jalur Pedestrian
Elemen pendukung terdiri dari lampu, signage, telepon umum, tempat
sampah, vegetasi, dan ramp. Tinggi lampu untuk pejalan kaki 4-6 meter.
Lampu akan lebih efisien bila berada di dekat signage agar lebih mudah
dibaca. Signage terletak di tempat terbuka dan tidak tertutup pepohonan.
Telepon umum memberikan kenyamanan dan keamanan bagi pengguna,
diletakkan di tepi atau tengah pedestrian. Tempat sampah diletakan pada jarak
15-20 meter, dan memiliki tipe yang berbeda sesuai dengan jenis sampahnya.
Vegetasi digunakan sebagai peneduh, estetika. Yang terakhir adalah ramp
yang digunakan untuk memudahkan pergerakan bagi penyandang cacat
2.3. Linkage
Linkage merupakan penghubung satu kawasan dengan kawasan lain.
Linkage terbagi dalam linkage visual dan struktural. Linkage visual merupakan
dua atau lebih unsur kota dihubungkan menjadi satu kesatuan secara visual.
Elemen linkage visual terdiri dari garis, koridor, sisi, sumbu, dan irama.
Linkage struktural merupakan hubungan dua daerah dengan
mengutamakan satu daerah. Elemen dari linkage ini berupa tambahan,
sambungan, dan tembusan.
2.4. Ruang Terbuka
2.4.1. Pengertian Ruang Terbuka
Ruang umum yang merupakan bagian dari lingkungan juga mempunyai
pola. Ruang umum adalah tempat yang timbul karena kebutuhan akan
tempat-tempat pertemuan bersama. Dengan adanya pertemuan bersama dan relasi antara
orang banyak maka kemungkinan akan timbul bermacam-macam kegiatan di
ruang terbuka publik atau dapat dikatakan pula bahwa ruang terbuka pada
dasarnya merupakan suatu wadah yang menampung aktivitas tertentu dari warga
lingkungan tersebut baik secara individu atau secara kelompok. Bentuk ruang
terbuka tergantung pada pola dan susunan massa bangunan.
Menurut sifatnya ruang umum terbagi dua:
1. Ruang umum tertutup; yaitu ruang umum yang terdapat di dalam suatu
bangunan.
Pengertian dan batasan ruang terbuka publik adalah:
Bentuk dasar ruang terbuka di luar bangunan.
Yang dapat digunakan oleh publik
Memberi kesempatan untuk bermacam-macam kegiatan.
2.4.2. Jenis-jenis Ruang Terbuka
Menurut Ian C. Laurit, ruang terbuka dalam lingkungan hidup yaitu
lingkungan alam dan manusia dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Ruang terbuka sebagai sumber produksi; yaitu berupa hutan, pertanian,
produksi mineral, peternakan, perikanan, dan lain lain.
2. Ruang terbuka sebagai perlindungan terhadap kekayaan alam dan manusia;
misalnya cagar alam berupa hutan, kehidupan laut/air, daerah budaya dan
bersejarah.
3. Ruang terbuka untuk kesehatan, kesejahteraan dan kenyamanan, yaitu antara
lain:
a. Untuk melindungi kualitas air tanah
b. Pengaturan, pembuangan air, sampah, dan lain-lain
c. Memperbaiki dan mempertahankan kualitas udara
d. Rekreasi, taman lingkungan, taman kota, dan lain-lain
Ditinjau dari kegiatannya, ruang terbuka terbagi dua, yaitu:
1. Ruang terbuka aktif; yaitu ruang terbuka yang mengandung unsur-unsur
dan jalan-jalan. Ruang ini dapat berupa lapangan olah raga, tempat bermain,
penghijauan di tepi sungai sebagai tempat rekreasi, dan lain-lain.
2. Ruang terbuka pasif; yaitu ruang terbuka yang di dalamnya tidak mengandung
kegiatan manusia, antara lain berupa penghijauan/taman sebagai sumber
pengudaraan lingkungan, penghijauan sebagai jarak terhadap rel kereta api, dan
lain-lain.
Menurut Rob Rmer ditinjau dari bentuknya ruang terbuka terbagi dua:
1. Berbentuk memanjang; pada ruang terbuka berbentuk memanjang umumnya
hanya mempunyai batas-batas pada sisi-sisinya, seperti jalanan, sungai, dan
lain-lain.
2. Berbentuk mencuat; ruang terbuka ini mempunyai batas-batas di sekelilingnya,
misalnya lapangan, bundaran, dan lain-lain.
2.4.3. Fungsi Ruang Terbuka
Tempat bermain, berolah raga.
Tempat bersantai.
Tempat komunikasi sosial.
Tempat peralihan/tempat menunggu.
Menghasilkan udara segar.
Sebagai sarana penghubung antara suatu tempat dengan tempat lain.
Sebagai pembatas/jarak di antara massa bangunan.
Berdasarkan kajian pustaka variabel atau kriteria aksesibilitas terhadap
ruang terbuka terdapat pada tabel 2.4. Ruang terbuka yang dimaksud termasuk
dalam ruang terbuka lingkungan dan ruang terbuka aktif.
Tabel 2.4 Kriteria aksesibilitas pedestrian terhadap ruang terbuka
Kriteria
Aksesibilitas Perlengkapan
Mode Efek
Pedestrian Sepeda
Keamanan Pencahayaan √ √
Lebar jalan √ √
Kemudahan Hubungan ke tempat
lain
√ √
Kenyamanan Area teduh pada
pedestrian
√
Estetika Pemandangan lanskap √ √