• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMODELAN HIDROLOGI DENGAN MENGGUNAKAN WMS (WATERSHED MODELING SYSTEM), DAERAH KAJIAN DI DAS CILIWUNG HULU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMODELAN HIDROLOGI DENGAN MENGGUNAKAN WMS (WATERSHED MODELING SYSTEM), DAERAH KAJIAN DI DAS CILIWUNG HULU"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

PEMODELAN HIDROLOGI DENGAN MENGGUNAKAN WMS

(WATERSHED MODELING SYSTEM), DAERAH KAJIAN DI

DAS CILIWUNG HULU

(Penggunaan WMS untuk Ekstraksi Parameter DAS, Estimasi

Debit Puncak dan Hidrograf Aliran dengan Menggunakan

Metode Rasional)

Destianingrum Ratna P.1, M. Bayu Rizky Prayoga2, Ardila Yananto3

Intisari

Permasalahan sumberdaya air dari hari ke hari semakin memburuk, baik kualitas maupun kuantitas air. DAS sebagai wadah dari berbagai komponen biosfer yang saling berinteraksi memegang peranan yang penting dalam siklus hidrologi dan fungsi penyediaan air. Berbagai macam model hidrologi telah dikembangkan, Model-model tersebut bisa digunakan untuk memecahkan permasalahan sumberdaya air tersebut. Salah satu model yang bisa digunakan adalah model rasional yang terdapat dalam Waterhsed Modeling System (WMS). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan ekstraksi karakteristik DAS dan mengestimasi nilai debit puncak DAS Ciliwung Hulu berdasarkan nilai curah hujan beberapa kala ulang dengan menggunakan Watershed Modelling System.

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa karakteristik DAS yang dapat diekstraksi dengan menggunakan WMS adalah luas DAS, panjang sungai utama, kemiringan DAS, dan kemiringan aliran sungai. Nilai koefisien aliran permukaan DAS Ciliwung Hulu adalah sebesar 0,72. Nilai intensitas hujan untuk kala ulang 2 tahun sebesar 117 mm/jam, kala ulang 5 tahun sebesar 135 mm/jam, kala ulang 10 tahun sebesar 143 mm/jam, kala ulang 25 tahun sebesar 152 mm/jam, kala ulang 50 tahun sebesar 157 mm/jam, dan kala ulang 100 tahun sebesar 162 mm/jam. Untuk nilai estimasi debit puncak di DAS Ciliwung Hulu, untuk kala ulang 2 tahun sebesar 735, 588 m3/detik, untuk kala ulang 5 tahun sebesar 852,713 m3/detik, untuk kala ulang 10 tahun sebesar 904,363 m3/detik, untuk kala ulang 25 tahun sebesar 959,448 m3/detik, untuk kala ulang 50 tahun sebesar 992,448 m3/detik dan untuk kala ulang 100 tahun sebesar 1.023,313 m3/detik.

Kata kunci: Watershed Modeling System, Daerah Aliran Sungai, Metode Rasional, Debit

Abstract

Water resources problems are getting worse from by the day, both the quality and quantity of water. Watershed as a container of various components of the interacting biosphere is playing an important role in the hydrological cycle and water supply functions. Various kinds of hydrological models have been developed. The models can be used to help solving the water resources problems. One of models that can be used are contained in Watershed Modeling System (WMS) is Rational Method. The purpose of this study was to perform the extraction of watershed characteristics and estimate the peak discharge in Ciliwung Hulu Watershed based on the value of rainfall in some return period by using the Watershed Modeling System.

The results of study show that the characteristics of the watershed that can be extracted by using WMS are watershed area, main stream length, the slope of the watershed, and the slope of the river. Runoff coefficient value of Ciliwung Hulu Watershed is 0,72. Rainfall intensity value for 2-year return period is 117 mm/h, when the 5-year return period is 135 mm/h, when the 10-year return period is 143 mm/h, when the 25-year return period is 152 mm/h, when the 50-year return periods 157 mm/h, and when 100-year return period is 162 mm/hour. For the estimated value of the peak discharge in Ciliwung Hulu watershed for 2-year return period amounted to 735,588 m3/sec, for 5-year return

(2)

period amounted to 852,713 m /sec, for a 10-year return period amounted to 904,363 m3/sec, for a 25 year return period amounted to 959,448 m3/sec, for 50-year return period amounted to 992,448 m3/sec and for 100 years return period amounted to 1023,313 m3/sec.

Keywords: Watershed Modeling System, Watershed, Rational Method, Discharge

1.

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara yang tak lebas dari berbagi bencana, tak terkecuali bencana banjir yang terjadi hampir setiap tahunnya terutama di kota-kota besar di Indonesia. Berdasarkan kondisi morfologis, banjir bisa disebabkan karena adanya relief bentang alam Indonesia yang sangat bervariasi. Daerah rawan banjir tersebut diperburuk dengan adanya perubahan tata-guna lahan yang tidak memperhatikan daerah resapan air, bahkan saat ini pemanfaatan hutan yang bukan hutan produksi merupakan hal sering dijumpai.

Selain itu, perubahan tata-guna lahan yang kemudian berakibat menimbulkan bencana banjir, dapat dibuktikan antara lain di daerah perkotaan sepanjang pantai terutama yang dialiri dan sebagai outlet sungai. Penebangan hutan secara tidak terkontrol juga menyebabkan peningkatan koefisien aliran permukaan (run off) yang besar, sehingga dapat menimbukan banjir bandang dan kerusakan lingkungan di daerah satuan wilayah tertentu.

Berdasarkan data kejadian bencana, bencana hidrometeorologi menempati urutan terbesar (53,3%) dari total kejadian bencana yang pernah terjadi di Indonesia. Dari total bencana hidrometeorologi tersebut, 34,1%-nya merupakan banjir. Atas dasar kenyataan tersebut maka perlu dilakukan suatu analisis baik untuk memperoleh aspek-aspek morfologi DAS, koefisien aliran sungai, hidrograf aliran sungai, debit puncak.

Berkaitan dengan hal diatas, pengembangan metode analisis data DAS untuk ekstraksi informasi karakteristik DAS, hidrograf aliran hingga daerah limpasan aliran sungai sangatlah diperlukan terutama terkait dengan penanganan bencana hidrometeorologi, rencana pembangunan infrastruktur manajemen air, dan tata guna lahan. Untuk menunjang hal tersebut program WMS (Watershed Modeling System) bisa sangat diandalkan terutama terkait dengan pemodelan hidrologi.

Tujuan dari penelitian ini antara lain untuk mengetahui ; 1) ektraksi morfometri DAS, 2) nilai koefisien aliran DAS Ciliwung Hulu, 3) nilai Intensitas hujan di DAS Ciliwung Hulu dalam kala ulang tertentu berdasarkan data curah hujan historis, dan 4) estimasi debit puncak dan

hidrograf aliran DAS Ciliwung Hulu dengan menggunakan Model Rasional.

2.

DASAR TEORI

2.1.

Watershed Modelling System

Model DAS adalah representasi matematis dari proses DAS dan terpengaruh sosio ekonomi dan lingkungan sistem. Ada banyak model DAS yang memiliki berbagai tingkat kecanggihan dan menyediakan beragam jenis informasi, tetapi semua model DAS mempunyai satu kesamaan karakteristik, yaitu mereka semua penyederhanaan proses DAS yang sebenarnya (Mirchi, 2009).

Watershed Modeling System

(WMS) merupakan sebuah aplikasi komputer berbasis data grid dimana didalamnya terdapat aplikasi Gridded Surface Subsurface Hydrologic Analysis (GSSHA). Model DAS dapat diklasifikasikan berdasarkan skala spasial dan temporal, metode yang diadopsi untuk memecahkan perhitungan dan pengertian mengenai proses hidrologi suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) (Melone et. Al, 2005 dalam Daniel dkk, 2010).

2.2.

Koefisien Aliran DAS

Pengaruh tata guna lahan pada aliran permukaan dinyatakan dalam koefisien aliran permukaan DAS (C). Koefisien aliran permukaan DAS adalah nlai yang menunjukkan perbandingan antara bersarnya aliran dengan besarnya curah hujan (Suripin, 2004). Nilai koefisien aliran ini merupakan salah satu indikator untuk menentukan kondisi fisik suatu DAS.

Nilai C berkisar antara 0 sampai dengan 1. Nilai C = 0 menunjukkan bahwa semua air hujan terintersepsi dan terinfiltrasi ke dalam tanah, sebaliknya untuk nilai C = 1 menunjukkan bahwa semua air hujan mengalir sebagai aliran permukaan. Pada DAS yang masih baik, harga C mendekati ), semakin rusak suatu DAS, maka harga C semakin mendekati satu (Suripin, 2004).

Menurut Chow, 1964 ; Gray, 1973 dalam Seyhan (1995) Nilai C dapat dilihat dalam Tabel 1.

Tabel 1. Nilai Koefisien Aliran Tipe Kawasan DAS

Koefisien Limpasan

(3)

Pemodelan Hidrologi Dengan Menggunkan WMS… (

Destianingrum Ratna P., dkk)

3

Halaman rumput

tanah berpasir, datar (2%) 0,05-0,10 tanah berpasir, rata-rata (2-7%) 0,10-0,15 tanah berpasir, curam (7%) 0,15-0,20 tanah berat, datar (2%) 0,13-0,17 tanah berat, rata-rata (2-7%) 0,18-0,22 tanah berat, curam (7%) 0,25-0,35

Bisnis

Kawasan kota 0,70-0,95

Kawasan pinggiran 0,50-0,70

Kawasan permukiman

kawasan keluarga tunggal 0,30-0,50 multi satuan, terpisah 0,40-0,60 multi satuan, berdempetan 0,60-0,75 pinggiran kota 0,25-0,40

kawasan tempat tinggal berupa

rumah susun 0,50-0,70

Perindustrian

kawasan yang ringan 0,50-0,80 kawasan yang berat 0,60-0,90 Taman-taman dan kuburan 0,10-0,25 Lapangan Bermain 0,20-0,35 Kawasan halaman Rel KA 0,20-0,40 Kawasan yang belum diperbaiki 0,10-0,30

Jalan-jalan

beraspal 0,70-0,95

beton 0,8-0,95

Jalan raya dan trotoar 0,70-0,85

Atap 0,75-0,95

Tipe Kawasan Pertanian Nilai f Topografi

Lahan, datar, kemiringan rata-rata

1-3 kaki per mil 0,30

Lahan berombak, kemiringan

rata-rata 15- 20 kaki per mil 0,20

Lahan berbukit, kemiringan rata-rata

150 hingga 250 kaki per mil 0,10 Tanah

Liat kedap air yang rapat 0,10

Kombinasi medium dari liat dan

lempung 0,20

Lempung berpasir yang terbuka 0,40 Penutup Tanaman

Lahan-lahan yang diusahakan 0,10

Lahan kayu 0,20

Untuk suatu DAS tertentu maka nilai C dalah :

C = f

topografi

+ f

tanah

+ f

penutup tanaman

2.3.

Perhitungan

Intensitas

Hujan

DAS

Ciliwung

Hulu

dengan

Hujan Rancangan

Hujan rancangan dapat ditentukan dengan metode metode statistika yakni analisis frekuensi data hujan (Widyasari, 2009). Analisis frekuensi data yang digunakan adalah data hujan dengan panjang data minimal 10 tahun. Maksud dari perhitungan hujan rancangan adalah untuk menghitung intensitas hujan kala ulang dengan menggunakan analisis frekuensi. Analisis frekuensi yang digunakan antara lain :

a. Distribusi Normal b. Distribusi Log Normal c. Distribusi Gumbel d. Distribusi Log Pearson III

Uji chi kuadrat dan uji smirnov-kolmogorov juga dilakukan untuk memilih distribusi yang akan digunakan untuk perhitungan hujan rancangan. Untuk menghitung nilai intensitas hujan hasil dari analisis frekuensi pada masing-masing kala ulang, maka digunakan persamaan mononobe (Sosrodarsono, 1977). Rumus persamaan mononobe : ( ) Keterangan :

I = Intensitas hujan (mm/jam) t = waktu (jam)

R24 = tinggi hujan rancangan dalam 24

jam

Konversi satuan intensitas hujan perlu dilakukan dalam model yang dijalankan WMS. Satuan intensitas hujan satuan dalam perhitungan masih dalam satuan mm/jam, oleh karena itu harus dikonservasi kedalam satuan inchi/jam.

2.4.

Estimasi Debit Puncak

Watershed Modeling System mampu menghitung debit dengan data yang ada. Perhitungan Debit puncak dilakukan dengan menggunakan metode atau rumus rasional. Rumus ini banyak digunakan untuk sungai-sungai biasa dengan daerah aliran yang luas dan juga untuk perencanaan drainase DAS yang relatif sempit (Sosrodarsono, 1977). Rumus rasional tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :

Q = C. I. A cfs (cubic feet per second atau secondfeet)

Atau apabila dalam satuan metrik maka rumus tersebut menjadi (Subarkah, 1980) :

(4)

Q = 0,278 C. I. A m/detik Keterangan : Q = Debit I = Intensitas hujan A = Luas DAS

3.

METODE PENELITIAN

Tulisan ini menyampaikan konsep pemodelan hidrologi dengan menggunakan Watershed Modeling System (WMS). Dalam WMS terdapat beberapa modul atau metode yang bisa dipilih untuk analisis hidrologi maupun pemodelan hidrologi. Model yang digunakan dalam analisis pemodelan hidrologi DAS Ciliwung Hulu ini menggunakan model rasional.

Data yang digunakan sebagai input model hidrologi ini antara lain :

a. Data DEM.

Data DEM dapat diperoleh dari citra satelit ataupun dari hasil pengolahan Peta kontur. Semakin besar resolusi data DEM yang digunakan maka akan semakin baik. b. Data hujan.

Data hujan yang digunakan adalah data hujan harian maksimum. Data hujan tersebut sebaiknya mempunyai series waktu yang panjang (minimal 10 tahun). Data hujan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Hujan dari Stasiun Bendung Katulampa dari tahun 1991-2005 (15 tahun).

c. Citra Ikonos tahun 2013. d. Peta hidrologi tanah.

e. Peta administrasi wilayah DAS Ciliwung Hulu.

Sebagai input utama dalam pemodelan ini adalah data DEM. Data DEM tersebut diolah dengan menggunakan WMS untuk menentukan morfometri DAS dan komponen DAS lain yang digunakan dalam komputasi model ini. Dengan menjalankan perintah (command) tertentu dalam WMS maka didapatkan morfometri DAS. Perhitungan nilai koefisien aliran dilakukan dengan menghitung masing-masing nilai koefisien aliran dari penggunaan lahan yang ada.

Perhitungan hujan rancangan dilakukan untuk mendapatkan nilai intensitas hujan. Analisis frekuensi digunakan dalam perhitungan hujan rancangan. Analisis frekuensi yang digunakan antara lain:

a. Distribusi normal b. Distribusi log normal

c. Distribusi log pearson III, dan d. Distribusi gumbel.

Pada masing – masing analisis distribusi, hasilnya dilakukan uji chi kuadrat untuk mengetahui analisis distribusi mana yang

dianggap paling mewakili rangkaian data untuk diolah lebih lanjut. Setelah diuji menggunakan chi kuadrat, maka rangkaian data diuji kembali dengan menggunakan uji Smirnov – Kolmogorov. Tujuannya untuk memperkuat analisis dari distribusi statistik yang digunakan.

Setelah dilakukan pengujian Chi Kuadrat dan Smirnov – Kolmogorov, maka didapatkan hasil bahwa rangkaian data memenuhi persyaratan untuk dilakukan analisis lebih lanjut dalam menyusun perhitungan hujan rancangan. Nilai hujan rancangan yang digunakan adalah hasil perhitungan dari Distribusi Log Pearson III.

Perhitungan nilai debit dilakukan dengan menggunakan model rasional. Parameter-parameter yang dibutuhkan untuk perhitungan model ini di masukkan secara manual kemudian dijalankan dengan menggunakan WMS model rasional. Model rasional ini dapat menghitung nilai debit pada setiap kala ulang. Kala ulang yang dihitung adalah kala ulang 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun, 25 tahun, 50 tahun dan 100 tahun.

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dari kegiatan ini terbagi menjadi beberapa bagian utama, yaitu ekstraksi informasi morfometri DAS Ciliwung Hulu, perhitungan nilai koefisien aliran permukaan DAS Ciliwung Hulu, perhitungan hujan rancangan, penggunaan Model Rasional untuk estimasi nilai debit puncak berdasarkan nilai intensitas hujan pada kala ulang tertentu untuk memperoleh perkiraan hidrograf aliran di DAS Ciliwung Hulu.

Secara keseluruhan luas total DAS Ciliwung Hulu berkisar 144,93 Km2. Dimana Jenis penggunaan lahan hutan lebat masih mendominasi, yaitu seluas 50,1 km2 atau berkisar 34,57% dari keseluruhan luas DAS. Jenis Penggunaan lahan berupa perkebunan juga relatif cukup luas, yaitu berkirar 19,19 km2. Penggunaan lahan berupa permukiman di DAS Ciliwung hulu kurang lebih seluas 19,03 km2 atau berkisar 13,13% dari luas keseluruhan DAS Ciliwung Hulu.

Gambar 1. Topografi Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu dari citra SRTM

(5)

Pemodelan Hidrologi Dengan Menggunkan WMS… (

Destianingrum Ratna P., dkk)

5

Tabel 2. Jenis Penggunaan Lahan DAS Ciliwung Hulu

Sumber : Interpretasi citra Ikonos dan Quickbird Tahun 2013 Dengan aturan minimal luasan jenis penggunaan lahan hutan 30% dari total keseluruhan suatu DAS, maka sebenarnya DAS ciliwung Hulu masih memenuhi persyaratan tersebut, akan tetapi jika dibandingkan dengan luas DAS Ciliwung secara keseluruhan baik hulu maupun hilir, luas hutan tersebut hanya berkisar 8,95% atau kurang dari sepertiga syarat minimum luas hutan dalam sistem DAS. Oleh karena itu sangat wajar jika terjadi hujan yang lebat, akan sering mengakibatkan banjir di daerah DKI Jakarta dan sekitarnya, dikarenakan daerah resapan air di sistem DAS yang sudah sangat berkurang.

4.1.

Ekstraksi

Morfometri

DAS

Ciliwung Hulu

Ekstraksi informasi morfometri DAS dilakukan dengan data dasar berupa citra satelit yang memuat informasi topografi. Citra satelit yang digunakan adalah produk dari SRTM. Data dasar berupa file Digital Elevation Model dengan ekstensi .dem.

Gambar 2. Morfometri DAS Ciliwung Hulu. Dari hasil komputasi batas DAS yang dilakukan, dapat diketahui nilai dari masing-masing variabel morfometri DAS. Luas DAS Ciliwung Hulu adalah 144,93 km2 dengan keliling DAS sekitar 75 km2. Panjang maksimal aliran sungai di DAS Ciliwung Hulu kurang lebih 22 km. Kemiringan DAS rata-rata berkisar 0,25 m/m, sedangkan kemiringan aliran maksimal di DAS Ciliwung Hulu adalah 0.05 m/m.

4.2.

Nilai Koefisien Aliran Permukaan

Ciliwung Hulu

Penggunaan lahan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi aliran permukaan suatu DAS. Penggunaan lahan berperan dalam menentukan besarnya nilai koefisien aliran dalam suatu DAS. Semakin luas luasan penggunaan lahan yang terpengaruh oleh manusia (misalnya pemukiman, bangunan dan yang lainnya) maka dapat menyumbang besarnya koefisen aliran yang terjadi.

Hasil pengolahan data dan interpretasi citra di dapatkan bahwa nilai koefisien aliran untuk DAS Ciliwung Hulu adalah sebesar 0,72. Angka tersebut mengandung makna bahwa sekitar 72% dari hujan total yang terjadi di Wilayah DAS Ciliwung Hulu akan menjadi aliran permukaan (limpasan/run off). Besarnya koefisien aliran tersebut akan berpengaruh terhadap besarnya debit sungai yang nantinya akan berkontribusi pada kondisi banjir di Jakarta.

4.3.

Hujan Rancangan DAS Ciliwung

Hulu

Sebelum bisa mendapatkan prediksi debit pada beberapa periode ulang di DAS Ciliwung hulu, perlu dilakukan perhitungan hujan rancangan di daerah tersebut. Nilai hujan rancangan yang diperoleh dari hasil perhitungan yang tertuang dalam Tabel 3.

Tabel 3. Nilai hujan rancangan (Xt) hasil perhitungan Distribusi Log Pearson III.

Kala ulang (tahun) Nilai Xt (mm/jam)

2 117 5 135 10 143 25 152 50 157 100 162

(6)

Setelah nilai hujan rancangan (Xt) pada distribusi yang telah dipilih didapatkan, maka dapat dihitung nilai hujan rancangan setiap kala ulangnya. Hasil perhitungan hujan rancangan (inchi/jam) setiap kala ulang tersaji dalam tabel 4.

Tabel 4. Hasil Perhitungan Hujan Rancangan Setiap Kala Ulang

Waktu (menit)

Intensitas hujan rancangan (inchi/jam) 2 tahun 5 tahun 10 tahun 25 tahun 50 tahun 100 tahun 5 8,37 9,65 10,23 10,87 11,23 11,58 10 5,27 6,08 6,44 6,85 7,075 7,300 15 4,02 4,64 4,91 5,22 5,39 5,57 30 2,53 2,92 3,09 3,29 3,40 3,50 60 1,59 1,84 1,95 2,07 2,14 2,21

Sumber : Pengolahan Data

Hubungan antara intensitas hujan dengan waktu dapat digambarkan dalam sebuah grafik/kurva, yakni kurva IDF (Intencity Duration Frequency) atau kurva intensitas durasi frekuensi.

Gambar 3. Kurva IDF Stasiun Katulampa.

4.4.

Estimasi Debit Puncak dengan

Metode Rasional

Estimasi debit puncak dengan menggunakan Model Rasional dilakukan setelah mendapatkan nilai hujan rancangan tiap jam. Setelah nilai hujan rancangan tiap jam diperoleh maka tahapan selanjutnya adalah memasukkan masing – masing nilai hujan rancangan pada beberapa periode ulang tertentu.

Dalam kegiatan ini, digunakan hasil perhitungan hujan rancangan yang telah didapatkan. Hujan rancangan yang digunakan sebagai masukan data untuk melakukan estimasi debit puncak dengan metode rasional mendapatkan hasil estimasi seperti Tabel 5.

Tabel 5. Estimasi Debit Puncak dengan Metode Rasional Kala Ulang (tahun) C I (mm/hr) A (Ha) Q (m3/detik) 2 0,72 25,378 14492,72 735,588 5 0,72 29,419 14492,72 852,713 10 0,72 31,201 14492,72 904,363 25 0,72 33,096 14492,72 959,289 50 0,72 34,240 14492,72 992,448 100 0,72 35,304 14492,72 1023,313 Sumber : Analisis Data

Nilai estimasi debit puncak seperti pada Tabel 4 menunjukkan bahwa debit puncak Ciliwung Hulu akan semakin meningkat pada beberapa kala ulang. Hal ini tentunya tak lepas dari besarnya hujan rancangan dan parameter penggunaan lahan yang sangat berpengaruh pada nilai koefisien aliran nantinya.

Gambar 4. Hidrograf aliran Ciliwung Hulu pada beberapa periode kala ulang (2,5, 10, 25, 50, dan 100 tahun).

Gambar 4 menunjukkan hidrograf aliran di DAS Ciliwung Hulu. Dapat diamati bahwa waktu puncak aliran pada masing – masing kala ulang ada pada T = 120 menit. Itu artinya, pada skenario hujan rancangan dan penggunaan lahan seperti yang dilakukan dalam penelitian ini, akan menghasilkan besar aliran puncak yang akan terjadi pada waktu 2 jam setelah mulai turun hujan. Beberapa periode kala ulang menunjukkan pola yang sama pada hasil hidrograf aliran dengan menggunakan metode rasional.

0 2 4 6 8 10 12 14 5 10 15 30 60 In te n s it a s In c h i/ ja m ) Waktu (menit) Kurva IDF Ru 2 tahun Ru 5 tahun Ru 10 tahun Ru 25 tahun Ru 50 tahun Ru 100 tahun

(7)

Pemodelan Hidrologi Dengan Menggunkan WMS… (

Destianingrum Ratna P., dkk)

7

5.

KESIMPULAN

Pemodelan hidrologi di DAS Ciliwung Hulu dengan menggunakan WMS bisa digunakan sebagai salah satu prediksi nilai debit puncak di DAS tersebut. Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data yang telah dilakukan, didapatkan karakteristik fisik DAS Ciliwung Hulu yaitu, panjang maksimal aliran sungai di DAS Ciliwung Hulu adalah 22 km. Kemiringan DAS rata-rata berkisar 0,25 m/m, sedangkan kemiringan aliran maksimal di DAS Ciliwung Hulu adalah 0,05 m/m. Nilai koefisien aliran permukaan di DAS Ciliwung Hulu sebesar 0,72. Nilai koefisien tersebut mempunyai arti dari banyaknya hujan yang jatuh ke permukaan DAS Ciliwung Hulu, maka air sebanyak 72% dari total curah hujan yang turun akan menjadi limpasan di DAS Ciliwung Hulu. Didapatkan juga besarnya hujan rancangan dan estimasi debit puncak yang akan terjadi di DAS Ciliwung Hulu dengan parameter seperti pada penelitian ini. Besarnya nilai hujan rancangan dan estimasi debit puncak pada kala ulang 2, 5, 10, 25, 50, dan 100 tahun nilainya menunjukkan kecenderungan yang meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

Daniel, E. B., Camp, J. V., LeBoeuf, E. J., Penrod, J. R., Abkowitz, M. D., dan Dobbins, J. P. 2010. Watershed Modelling Using GIS Technology: A Critical Review. Journal of Spatial Hydrology Vol 10, No. 2, Fall 2010. Tennessee : Department of Civil Environmental Engineering.

Mirchi, A.,Watkins, D., Madani, K. 2009. Modeling For Watershed Planning, Management and Decision Making. Watershed : Management, Restoration and Environmental. P.1-25, Chapter 6. Nova Science Publishers, Inc.

Seyhan, E. 1995. Dasar-Dasar Hidrologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

Sosrodarsono, S., Takeda, K. 1977. Hidrologi Untuk Pengairan. Jakarta: Pradnya Paramita

Subarkah, I. 1980. Hidrologi untuk Perencanaan Bangunan Air. Bandung: Idea Dharma. Suripin. 2004. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan

Air. Yogyakarta:Penerbit Andi.

Widyasari, . 2009. Kurva Intensitas Durasi Frekuensi (IDF) Persamaan Mononobe di Kabupaten Sleman. Janateknika Vo.11 No.2/Juli 2009. Halaman 85-94.

(8)
(9)

Penentuan Distribusi Tipe Awan Di Provinsi Riau …. (Saraswati Dewi) 9

PENENTUAN DISTRIBUSI TIPE AWAN DI PROVINSI RIAU

MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MTSAT IR1

Saraswati Dewi

Intisari

Penentuan distribusi tipe awan berdasarkan diagram temperatur kecerahan (TBB) – perbedaan TBB dilakukan dengan menggunakan data citra satelit MTSAT IR1 dan IR2 pada bulan Januari dan Maret 2014 di 4 (empat) titik kajian di Provinsi Riau. Terdapat 6 (enam) tipe awan yang dikategorikan dalam diagram TBB-DT antara lain awan dingin dengan ketebalan optik besar (tipe awan Cumulonimbus/Cb), awan hangat dengan ketebalan optik besar (tipe awan Cumulus/Cu atau Stratocumulus/Sc), awan dingin dengan ketebalan optik kecil (tipe awan Cirrus/Ci yang cukup padat atau dense), awan hangat dengan ketebalan optik kecil (tipe awan Ci), serta awan tipe N yang merupakan tipe awan tipis di level rendah.

Dari seluruh data yang ada dalam pada bulan Januari 2014 dan Maret 2014, distribusi awan di daerah kajian didominasi oleh tipe awan Cirrus (Ci tipis, Ci tebal, dan Ci solid). Karakteristik wilayah Riau yang cenderung kering di bulan Januari maupun Maret 2014 mempengaruhi pertumbuhan awan di daerah tersebut dan kondisi cuaca didominasi oleh cuaca cerah. Dari perbandingan yang dilakukan antara hujan dengan tipe awan di 4 (empat) titik kajian, penentuan jenis awan penghasil hujan tidak dapat dilakukan hanya dengan mengambil data TRMM dan data TBB di suatu titik karena tidak menunjukkan adanya hubungan antara hujan dengan tipe awannya. Hujan yang jatuh di titik kajian bisa jadi tidak berasal dari awan yang berada tepat di atasnya karena faktor angin.

Kata kunci : awan, satelit, temperatur kecerahan

Abstract

Determination of cloud type distribution based on the brightness temperature (TBB) – temperature differential image (DT) has been done using MTSAT IR1 and IR2 image data on January and March 2014 at 4 (four) point studies. There are 6 (six) cloud types categorized by the TBB-DT diagram: optically thick cold cloud (Cb type), optically thick warm cloud (Cu/Sc type), optically thin cold cloud (thin Ci type/dense Ci), and N-type which is low level thin clouds.

Based on all of the data from January and March 2014, cloud distribution on the field of study was dominated by Ci type clouds (thin Ci, thick Ci, and dense Ci). Dry characteristics of the area of Riau province influenced cloud development over the area and was dominated with fair weather. From the comparison between rain events and the cloud type, rain cloud determination cannot be done with only data point of TRMM rainfall data and MTSAT TBB data because it didn’t represent the relationship between rain events and it’s cloud type. Rain which fall on point study might not come from the clouds right on it due to the wind factor.

Keywords: cloud, satellite, brightness temperature

1. PENDAHULUAN

Setiap daerah memiliki karakteristik wilayah yang berbeda-beda yang mempengaruhi kondisi cuaca lokalnya termasuk karakteristik awannya. Studi karakteristik awan perlu dilakukan untuk mengetahui bagaimana distribusi tipe awan di suatu daerah baik di bulan kering maupun di bulan basah. Studi ini juga bermanfaat bagi kegiatan teknologi modifikasi cuaca.

Studi tentang awan saat ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan citra satelit. Beberapa satelit Meteorologi memberikan data real-time dengan resolusi tinggi dan dapat diunduh dengan mudah. Melalui citra satelit, tipe awan dapat dilihat dari temperatur kecerahannya. Temperatur kecerahan (TBB) merupakan pengukuran dari radiasi termal yang diemisikan suatu benda, dalam hal ini adalah awan.

(10)

Tujuan dari studi ini adalah untuk melihat bagaimana populasi awan di beberapa titik kajian dengan melihat komposisi dari tipe-tipe awannya serta melihat hubungan hujan yang terjadi dengan tipe awannya.

Teknik yang digunakan dalam melihat komposisi awan di daerah kajian adalah dengan menggunakan metode yang dikembangkan oleh Inoue (1987a) menggunakan citra kanal infrared satelit MTSAT yang mengklasifikasikan awan sebanyak beberapa tipe antara lain awan dingin dengan ketebalan optik besar (tipe awan Cumulonimbus/Cb), awan hangat dengan ketebalan optik besar (tipe awan Cumulus/Cu atau Stratocumulus/Sc), awan dingin dengan ketebalan optik kecil (tipe awan Cirrus/Ci yang cukup padat atau dense), awan hangat dengan ketebalan optik kecil (tipe awan Ci), serta awan tipe N yang merupakan tipe awan tipis di level rendah.

2. DATA

Data yang digunakan dalam studi ini adalah data dari satelit MTSAT yang dioperasikan oleh Japan Meteorological Agency (JMA) dengan resolusi spasial 1 km x 1 km untuk citra visible dan 4 km x 4 km untuk citra infrared (IR) serta memiliki resolusi temporal 1 jam. Data satelit MTSAT ini dapat diunduh secara gratis di http://weather.is.kochi-u.ac.jp/sat/ALL/ dengan format data *.pgm. Dalam enentukan tipe awan pada studi ini, data yang digunakan adalah citra infrared kanal 1 (IR1) dengan panjang gelombang 10.3 µm – 11.3 µm dan citra infrared kanal 2 (IR2) dengan panjang gelombang 11.5 µm – 12.5 µm. Data temperatur kecerahan (TBB) pada titik-titik kajian diperoleh dari data kanal IR1 dan IR2 yang sudah dikonversi menjadi format *.grb.

Sebagai data penunjang, data curah hujan dari satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) juga digunakan dalam studi ini untuk membandingkan kejadian hujan dengan tipe awan penghasil hujannya. Data TRMM yang digunakan memiliki resolusi spasial 11.1 km x 11.1 km serta resolusi temporal 1 jam dan dapat diunduh dari ftp://hokusai.eorc.jaxa.jp dengan format *.dat. Data kelembapan relatif

rata-rata diperoleh dari

http://www.esrl.noaa.gov/psd/data/gridded/ dengan format *.nc

3. METODOLOGI

Berdasarkan metode (Inoue, 1987a), tipe-tipe awan diklasifikasikan dengan temperatur kecerahan (TBB) dari kanal IR1 dan perbedaan TBB dari kanal IR1 dan IR2 (Inoue, 1989). Perbedaan TBB (DT) merupakan indikator

yang baik dalam membedakan awan berdasarkan ketebalan optik. DT dapat diperoleh dari TBB kanal IR1 dikurangi TBB kanal IR2 (DT=TBBIR1-TBBIR2). Awan dengan

ketebalan optik besar akan memiliki nilai DT yang kecil sedangkan awan dengan ketebalan optik kecil akan memiliki nilai DT yang besar. Nilai threshold DT untuk awan tebal adalah 1ºC dan nilai threshold TBB untuk awan tebal adalah -20ºC (Inoue, 1989). Dalam penelitian terdahulu ditentukan pula nilai threshold DT untuk clear sky yaitu 2.5ºC dan 22ºC untuk threshold TBB-nya. Diagram klasifikasi tipe awan disajikan dalam Gambar 1 yang masing-masing kotaknya merepresentasikan tipe awan berbeda.

Gambar 1. Diagram klasifikasi tipe awan (Inoue, 1989)

Diagram TBB-DT pada Gambar 1 selanjutnya akan dijadikan dasar dalam klasifikasi awan di daerah beberapa titik kajian yang terdiri dari Pekanbaru (Lat. 0.517, Lon. 101.448), Pulau Rupat (Lat. 1.892, Lon. 101.598), Kep. Meranti (Lat. 1.165, Lon. 102.344), dan Pelalawan (Lat. 0.45, Lon. 102.08).

4. HASIL DAN ANALISIS

Gambar 2 dan Gambar 3 merepresentasikan distribusi tipe awan di wilayah kajian pada bulan Januari 2015 dan Maret 2015 berdasarkan diagram TBB-DT. Persentase tipe awan didapat dari jumlah munculnya suatu tipe awan dibandingkan dengan jumlah total data yang ada dalam satu bulan (744 data di bulan Januari 2014 dan 672 data di bulan Maret 2014).

Pada bulan Januari 2014, kemunculan awan di 4 (empat) titik kajian didominasi tipe awan Cirrus (Ci), kemunculan awan Ci tipis dengan persentase rata-rata 45.40% (Tabel 1), tipe awan Cirrus solid (dense Ci) dengan persentase rata-rata 19.42%, dan tipe awan Ci

(11)

Penentuan Distribusi Tipe Awan Di Provinsi Riau …. (Saraswati Dewi) 11

tebal dengan persentase rata-rata 13.07%.

Tipe awan Ci juga mengindikasikan kondisi cuaca yang cerah. Sama halnya dengan distribusi tipe awan di bulan Maret 2014, kemunculan awan pada bulan Maret 2014 didominasi oleh tipe awan Cirrus dengan persentase rata-rata kemunculan awan Ci tipis sebanyak 79.17%, Ci tebal sebanyak 6.25%, dan Ci padat/solid sebanyak 5.51%.

Tipe awan Cumulonimbus (Cb) yang ditentukan dengan parameter DT kurang dari

1ºC dan nilai temperatur kecerahan (TBB) kurang dari -20º memiliki persentase rata-rata kemunculan sebanyak 10.32% di bulan Januari 2014 dan 2.75% di bulan Maret 2014. Awan tipe Cumulus di level rendah yang ditentukan dengan parameter DT kurang dari 1ºC dan nilai temperatur kecerahan antara -20ºC hingga 22ºC memiliki persentase rata-rata kemunculan 2.22% di bulan Januari 2014 dan 0.41% di bulan Maret 2014.

Gambar 2. Distribusi tipe awan di wilayah kajian pada bulan Januari 2014

Gambar 3. Distribusi tipe awan di wilayah kajian pada bulan Maret 2014 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Pekanbaru P. Rupat Kep. Meranti Pelalawan % Thin Ci Thick Ci Dense Ci Cb-Type N-Type Low Level Cu CLEAR 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Pekanbaru P. Rupat Kep. Meranti Pelalawan % Thin Ci Thick Ci Dense Ci Cb-Type N-Type Low Level Cu CLEAR

(12)

Tabel 1. Rata-rata tutupan awan di wilayah kajian Tipe Januari 2014 Maret 2014 Ci tipis 45.40% 79.17% Ci tebal 13.07% 6.25% Ci padat 19.42% 5.51% Cb 10.32% 2.75% Cu rendah 2.22% 0.41% Tipe-N 9.44% 5.32% Cerah 0.13% 0.60%

Persentase kemunculan awan-awan rendah yang lebih kecil di bulan Maret 2014 dibandingkan dengan di bulan Januari 2014 disebabkan oleh kelembapan rata-rata daerah Riau yang relatif rendah di bulan Maret. Pada lapisan 850 mb, kelembapan relatif (RH) di daerah Riau menunjukkan angka 70%-80% di bulan Maret 2014, lebih kering dibanding RH rata-rata pada bulan Januari 2014 yang sebesar 80%-90%. Pada lapisan 700 mb, RH rata-rata di bulan Maret juga lebih rendah

dibanding di bulan Januari 2014 yaitu sekitar 50%-60%. Pada lapisan 500 mb, RH rata-rata di wilayah Riau juga menunjukkan kondisi yang kering yaitu 60%-70% di bulan Januari 2014 dan 50%-60% di bulan Maret 2014. Keberadaan uap air yang lebih sedikit ini lah yang menyebabkan pertumbuhan awan di wilayah Riau cenderung terhambat di bulan Maret 2014 dan distribusi tipe awan di wilayah tersebut didominasi oleh awan-awan tinggi (Cirrus).

(4a) (4d)

(13)

Penentuan Distribusi Tipe Awan Di Provinsi Riau …. (Saraswati Dewi) 13

(4c) (4f)

Gambar 4. Kelembapan relatif (RH) di level 850 mb, 700 mb, dan 500 mb pada Januari 2014 dan Maret 2014

Perbandingan antara kejadian hujan yang terpantau satelit TRMM dengan nilai temperatur kecerahan awan (TBB) untuk mengetahui jenis awan apa yang menghasilkan

hujan tersebut dilakukan dengan mengambil kejadian hujan dan data TBB pada saat ada kejadian hujan.

Gambar 5. Data kejadian hujan (garis hitam), DT (garis merah) dan TBB IR1 (garis hijau) bulan Januari 2015 di titik Pekanbaru untuk membandingkan kejadian hujan dan jenis awan penghasil hujannya.

Kejadian hujan di area arsir berwarna kuning no. 1 menunjukkan bahwa hujan terjadi dengan curah hujan sekitar 1 s.d 3 mm (data per-jam), DT bernilai lebih dari 1ºC dan juga lebih dari threshold cerah sebesar 2.5ºC, nilai TBB IR1 bernilai kurang dari -20ºC. Berdasarkan diagram TBB-DT, nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa awan pada saat itu adalah awan Ci tebal. Kemungkinan presipitasi yang berasal dari awan tinggi memang ada tetapi biasanya tidak sampai ke

permukaan. Hal serupa terjadi pada kejadian hujan pada area arsir kuning no. 2 dengan curah hujan 15 mm, DT di atas 2.5ºC dan TBB IR1 di bawah -20ºC yang berarti awan Ci tebal. Berbeda dengan area arsir 1 dan 2, area arsir kuning 3 menunjukkan hujan sekitar 7 mm dengan DT di atas 2.5ºC dan TBB IR1 yang bernilai lebih dari 20ºC yang berarti kondisi clear/cerah. Nilai DT dan TBB IR1 yang bertepatan dengan kejadian hujan tidak bisa dijadikan patokan dalam menentukan awan penghasil hujannya. -80 -60 -40 -20 0 20 40 0 2 4 6 8 10 12 14 50 100 150 200 250 300 350 t ke-

1

2

3

(14)

5. KESIMPULAN

Penentuan distribusi tipe awan di beberapa titik di Propinsi Riau telah dilakukan dengan berdasar pada diagram DT-TBB dengan waktu kajian di bulan Januari dan bulan Maret 2014. Hasil dari penentuan distribusi awan menunjukkan bahwa awan di bulan Januari maupun di bulan Maret 2014 di beberapa titik kajian di Prov. Riau didominasi oleh awan-awan Ci (Ci tipis, Ci tebal, maupun Ci padat) dengan persentase rata-rata 45.40% di bulan Januari 2014 dan 79.17% di bulan Maret 2014. Penentuan awan penghasil hujan dari data kejadian hujan dan TBB serta DT yang bertepatan dengan kejadian hujannya tidak bisa dijadikan dasar dalam menentukan awan penghasil hujan karena bisa saja hujan yang turun di titik tersebut tidak berasal dari awan yang berada tepat di atasnya karena faktor angin.

DAFTAR PUSTAKA

Choi, Y.-S., & Ho, C.-H. (2009). Validation of Cloud Property Retrievals From MTSAT-1R Imagery Using MODIS Observations. Seoul National University.

Inoue, T. (1987a). A Cloud Classification with NOAA-7 Split Windows Measurements. Journal of Geophysical Research, 3991-4000.

Inoue, T. (1989). Feature of Clouds over Tropical Pacific during Northern Hemisphere Winter Derived from Split Window Measurements. Journal of the Meteorological Society of Japan, 621-637.

Prabowo, D., Suseno, Y., & Yamada, T. (2012). Two-dimensional Threshold-based Cloud Type Classification Using MTSAT Data.

(15)

Analisa Cuaca Pada Saat Pelaksanaan TMC Penanggulangan Banjir… (Erwin Mulyana) 15

ANALISIS CUACA PADA SAAT PELAKSANAAN TMC PENANGGULANGAN BANJIR

JAKARTA

JANUARI FEBRUARI 2014

Erwin Mulyana1

[email protected]

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

Abstract

Application of weather modification has carried out to reduce precipitation over Jakarta on 11 January to 14 February 2013. During this period, El Nino Southern Oscillation and Indian Ocean Dipole Mode were normal condition. The Madden Julian Oscillation shows that the convection over Indonesia region was netral condition. The sea surface temperature over west part of Java waters was 29-30 290C. The 850 mb average of relative humidity on mid January - mid February 2014 was 70-80%. Based on visual and weather radar observation, cloud development mainly over northwest to southwest of Jakarta. Positive Australian Summer Monsoon Index affected to increase precipitation over Java area.

Key words : flood, weather modification, ENSO, IOD, SST, Australian Summer Monnsoon Index.

Abstrak

Pada tanggal 11 Januari sampai dengan 14 Februari 2014 telah dilaksanakan penerapan teknologi modifikasi cuaca (TMC) untuk menanggulangi banjir di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Selama kegiatan tersebut fenomena ENSO dan IOD dalam kondisi normal. MJO menunjukkan aktifitas konvektif netral di wilayah Indonesia pada pertengahan Januari hingga pertengahan Februari 2014. Temperatur permukaan laut di perairan Jawa bagian barat sekitar 28-290C. Kelembagan udara pada level 850 mb sekitar 70-80%. Pertumbuhan awan umumnya berada di sebelah barat daya, barat dan barat laut Jakarta. Indeks Monsoon Australia positif berpengaruh terhadap peningkatan pembentukan awan hujan di Jawa.

(16)

I. PENDAHULUAN

Iklim Indonesia sangat dipengaruhi oleh system monsoon Asia-Australia (Ramage, 1968). Penyimpangan iklim yang terjadi di Indonesia diantaranya berhubungan dengan ENSO (El Nino Southern Oscillation) dengan perulangan antara 4 hingga 7 tahun. ENSO berpengaruh terhadap kekeringan akibat musim kemarau yang lebih lama dari biasanya (Ropelewski dan Halpert, 1989; Kane, 1997, Hamada, 1995; Aldrian, 2002; Mulyana, 2002). Perubahan temperatur permukaan laut di Samudera Hindia yang dikenal dengan Dipole Mode (IOD) juga berpengaruh terhadap curah hujan di Indonesia (Saji et.al., 1999; Mulyana, 2002). Faktor lain yang mempengaruhi iklim adalah Osilasi Maden Julian (Seto. T.H., 2002). Periode Maden Julian (MJO) berkisar antara 40 hingga 50 harian, sehingga berpengaruh terhadap variasi curah hujan dalam satu musim. Perubahan suhu muka laut di sekitar pulau-pulau besar nusantara juga berpengaruh terhadap cuaca dan iklim di Indonesia.

Pola iklim di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu pola monsoon, pola ekuatorial dan pola lokal (Aldrian dan Susanto, 2003). Pola Monsoon dicirikan oleh bentuk pola hujan yang memiliki satu puncak musim hujan. Selama tiga bulan curah hujan relatif tinggi yang dikenal dengan musim hujan, yakni Desember, Januari dan Februari (DJF) dan tiga bulan curah hujan rendah disebut musim kemarau pada periode Juni, Juli dan Agustus (JJA). Sedangkan enam bulan sisanya merupakan periode peralihan yaitu tiga bulan peralihan kemarau ke hujan (SON), dan tiga bulan peralihan hujan ke kemarau (MAM).

Pola ekuatorial dicirikan oleh pola hujan yang memiliki dua puncak hujan, biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober yaitu pada saat matahari berada dekat ekuator. Sedangkan Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan yang memiliki satu puncak hujan akan tetapi bentuknya berlawanan dengan pola hujan pada tipe monsoon.

Pola hujan di wilayah Jakarta dan sekitarnya termasuk pola monsoon dengan musim hujan pada bulan Desember-Februari dan musim kemarau pada bulan Juni-Agustus. Pada musim hujan inilah, wilayah Jakarta dan sekitarnya selalu mengalami banjir baik dalam sekala besar maupun sekala kecil.

Banjir besar di wilayah Jakarta pernah terjadi pada tahun 2002 dan 2007 yang mengakibatkan korban jiwa dan kerugian ekonomi yang sangat besar. Pertengahan bulan Januari 2013 terjadi banjir di Jakarta, begitu juga pada bulan Januari 2014 terjadi lagi banjir di Jakarta walaupun tidak sebesar banjir pada tahun sebelumnya. Untuk mengurangi intensitas hujan di wilayah Jakarta dan sekitarnya, telah dilakukan upaya penerapan teknologi modifikasi cuaca (TMC)

Tulisan ini merupakan hasil kajian cuaca selama kegiatan TMC dalam penanggulangan banjir Jakarta yang dilaksanakan di wilayah Jakarta dan sekitarnya pada tanggal 14 Januari sampai dengan 11 Februari 2014.

II. DATA

Data yang digunakan dalam tulisan ini berupa data global dan regional yang berpengaruh terhadap cuaca di Indonesia serta data pengamatan cuaca di beberapa stasiun meteorologi di sekitar wilayah Jakarta. Data global dan regional meliputi temperatur permukaan laut (SST) di Samudera Pasifik, Samudera Hindia, perairan Indonesia, angin gradient serta keberadaan siklon tropis yang terjadi di sekitar wilayah Indonesia.

III. HASIL DAN DISKUSI

Kondisi cuaca selama kegiatan pelaksanaan TMC dari tanggal 14 Januari s.d. 11 Februari 2014 di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya, umumnya sangat dipengaruhi oleh kondisi global/regional dan lokal.

Kondisi global/regional yang dominan pengaruhnya terhadap cuaca di Jakarta dan sekitarnya adalah perbedaan suhu permukaan laut di Samudra Hindia bagian barat dan bagian timur yang disebut dengan IOD (Indian Ocean Dipole) serta massa udara yang datang ke wilayah Jakarta dan sekitarnya. Faktor lain yang berpengaruh terhadap pembentukan awan hujan di wilayah Jakarta dan sekitarnya adalah fenomen ENSO (El Nino Southern Oscilation) dan MJO (Maden Julian Oscillation) serta gangguan tropis berupa tropical depression hingga tropical cyclon yang terjadi di Samudera Hindia sebelah barat daya Sumatera hingga sebelah selatan Jawa, maupun di Samudera Hindia sebelah barat laut Australia. Sirkulasi monsun Asia-Australia, daerah pertemuan angin antar tropis atau Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ) yang merupakan daerah pertumbuhan awan, serta suhu permukaan laut di sekitar wilayah Indonesia juga berpengaruh terhdadap cuaca dan iklim di wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Variasi topografi berupa pegunungan di sebelah selatan Jakarta seperti di Bogor dan sekitarnya mengakibatkan pembentukan awan orografik dominan di daerah tersebut, sedangkan di bagian utara yang berupa dataran rendah didominasi oleh pembentukan awan konvektif.

3.1. Temperatur Permukaan Laut

Temperatur permukaan laut di perairan Indonesia maupun di Samudra Pasifik dan di Samudera Hindia berpengaruh terhadap pembentukan awan dan kejadian hujan di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Pantauan fenomena ENSO dan IOD memberikan informasi mekanisme global/regional yang berpengaruh terhadap

(17)

Analisa Cuaca Pada Saat Pelaksanaan TMC Penanggulangan Banjir… (Erwin Mulyana) 17

pembentukan awan dan kejadian hujan di wilayah

Jakarta dan sekitarnya.

ENSO dengan skala temporal antar-tahun mempengaruhi aktifitas pembentukan awan dan hujan secara global. Sementara kondisi topografi yang bergunung di wilayah selatan Jakarta, serta dataran rendah di wilayah utara merupakan fenomena lokal yang menambah beragamnya kondisi iklim di wilayah Jakarta dan sekitarnya, baik menurut ruang maupun waktu.

Temperatur permukaan laut di Pasifik equator bagian tengah hingga akhir Februari 2013 masih di kisaran normal. Sementara IOD di Samudera Hindia juga menunjukkan kondisi netral. Perubahan temperatur permukaan laut hingga pertengahan Februari 2014 di daerah Nino 3.4 ditunjukkan pada Gambar 1, sedangkan untuk IOD diperlihatkan pada Gambar 2.

Gambar 1. Grafik Anomali SST di Nino 3.4

sampai pertengahan Februari 2014 yang menunjukkan kondisi ENSO netral. (http://www.bom.gov.au/climate/enso/indices.s html)

Gambar 2. Grafik IOD sampai pertengahan

Februari 2014 yang menunjukkan kondisi

netral. (http://www.

bom.gov.au/climate/enso/indices.shtml)

Sementara suhu permukaan laut di perairan Indonesia dan sekitarnya berkisar 26-30 oC. Suhu permukaan laut di sebelah barat dan selatan Jawa sekitar 29 oC, sedangkan di Laut Jawa temperaturnya lebih rendah yaitu sekitar 28 oC. Hangatnya kondisi laut di sebelah barat dan selatan Jawa mengakibatkan uap air di daerah tersebut cukup

tinggi sehingga awan hujan mudah terbentuk. Uap air tersebut juga bergerak ke arah timur terbawa oleh angin baratan dan masuk ke wilayah Jabodetabek dan sekitarnya membentuk awan hujan di daerah tersebut. Sebaran rata-rata temperatur permukaan laut dari tanggal 14 Januari s.d 15 Februari 2014 di perairan Indonesia dan sekitarnya ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Rata-rata temperatur permukaan

laut di perairan Indonesia dan sekitarnya tanggal 14 Januari s.d 15 Februari 2014. (Sumber : NOAA/ESRL PSD)

3.2. Madden Julian Oscillation

Madden Julian Oscillation (MJO), merupakan salah satu variabilitas semusim yang terjadi di daerah tropis dan pertama kali diungkapkan oleh Rolan A. Madden dan Paul R. Julian (1971). Osilasi Madden Julian diasosiasikan dengan anomali konveksi khususnya pada daerah yang mempunyai suhu permukaan laut yang tinggi di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik bagian barat. Osilasi ini bergerak ke arah timur antara 10° LU dan 10° LS dari Samudera Hindia menuju Samudera Pasifik dengan osilasi antara 40 sampai 50 hari.

Selaam kegiatan TMC berlangsung, fenomena MJO menunjukkan kondisi netral untuk wilayah Indonesia pada bulan Januari hingga Februari 2014. Monitoring MJO diperlihatkan pada Gambar 4.

(18)

Gambar 4. Pergerakan MJO periode 8 Januari

– 16 Februari 2014. (Sumber dari Madden-Julian Oscillation: Recent Evolution, Current Status and Prediction by Climate Prediction Center).

3.3. Kelembaban Udara

Kelembaban udara rata rata pada lapisan 850 mb dari tanggal 14 Januari sampai dengan 15 Februari 2014 di wilayah Jawa bagian barat berkisar antara 75 – 80%. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum kondisi atmosfer sangat mendukung terjadinya pembentukan awan hujan di daerah Jawa bagian barat khsusunya di wilayah Jabodetabek dan sekitarnya. Sebaran rata rata kelembaban udara tanggal 14 Januari s.d 15 Februari 2014 di wilayah Indonesia pada lapisan 850 mb ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Kelembaban udara di lapisan 850

mb tanggal 14 Januari s.d 15 Februari 2014. (Sumber : NOAA/ESRL PSD).

3.4. Tekanan Udara dan Angin

Selama berlangsungnya kegiatan TMC, angin di wilayah Jawa bagian Barat dominan dari arah barat, barat laut hingga barat daya. Kecepatan angin pada lapisan 850 mb di wilayah tersebut berkisar antara 7 – 8 m/s atau sekitar 13 – 15 knot. Pusat tekanan rendah beberapa kali muncul di wilayah Australia utara dan di wilayah sekitar Filipina. Pusat tekanan rendah yang berada di sekitar Filipina bertahan cukup lama karena

posisinya hampir tidak bergeser dan sempat tumbuh menjadi badai tropis namun tidak terlalu kuat. Contoh pola tekanan udara di wilayah Indonesai dan sekitarnya ditunjukkan pada Gambar 6. Sedangkan pola kecepatan angin selama kegiatan TMC diperlihatkan pada Gambar 7.

Gambar 6. Mean Sea Level Pressure tanggal

20 Januari 2014 jam 00.00 UTC. Pusat tekana rendah di Filipina dan pantai Barat Australia mempengaruhi pola aliran udara yang masuk ke Jawa. (Sumber: BOM, Australia).

Gambar 7. Sebaran kecepatan angin level 850

mb tanggal 14 Januari s.d 15 Februari 2014. (Sumber : NOAA/ESRL PSD).

Umumnya daerah Pertemuan Angin Antar Tropis atau Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ) membentang mulai dari Sumatera, Jawa hingga Nusa Tenggara. Gambar 8 adalah Gradient winds analysis tanggal 19 Januari 2014 jam 12.00 UTC yang menunjukkan pola konvergensi massa udara terjadi di wilayah Jawa hingga Nusa Tenggara. Sedangkan daerah liputan awan nampak pada contoh Gambar 9 dimana keberadaan awan cukup merata di perairan sebelah selatan Jawa, daratan Jawa bagian tengah dan bagian barat serta di Laut Jawa bagian barat.

(19)

Analisa Cuaca Pada Saat Pelaksanaan TMC Penanggulangan Banjir… (Erwin Mulyana) 19

Gambar 7. Gradient winds analysis tanggal 19

Januari 2014 jam 12.00 UTC. ITCZ berada di Jawa sampai Nusa Tenggara. (Sumber: BOM, Australia).

Gambar 8. Citra satelit tanggal 19 Januari

2014, jam 07:00 UTC. (Sumber:

http://www.jma.go.jp/en/gms/index.html )

3.5. Monsoon Australia

Iklim di Indonesia juga sangat dipengaruhi oleh monsoon. Berdasarkan Australian Summer Monsoon Indext (AUSMI), terjadi peningkatan indek AUSMI pada pertengahan Januari hingga pertengahan Februari 2014. Fenomena meningkatnya AUSMI ini diduga berhungan dengan meningkatnya curah hujan di Jawa. Gambar 9 adalah grafik harian AUSMI hingga awal Maret 2014.

Gambar 9 Perubahan harian AUSMI hingga

awal Maret 2014. (Sumber: Monsoon monitoring, APDRC).

3.6. Cuaca Lokal

Berdasarkan pengamatan cuaca dari pos meteorologi dan radar cuaca, secara umum angin permukaan di wilayah Jakarta dan sekitarnya bertiup dari barat daya - barat laut. Kondisi atmosfer dan

temperatur permukaan laut yang hangat sangat mendukung pembentukan awan hujan di wilayah DKI Jakarta.

Pantauan radar menunjukkan umumnya pembentukan awan konvektif berada di sebelah barat laut, barat hingga barat daya daerah target. Sedangkan di sebelah selatan yang berupa dataran tinggi pembentukan awan lebih dominan akibat efek orografis sehingga secara klimatologis, curah hujan daerah wilayah tersebut relatif lebih banyak dibandingkan dengan di wilayah lainnya.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Selama kegiatan penanggulangan banjir di wilayah Jakarta dan sekitarnya melalui penerapan TMC dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Temperatur permukaan laut di perairan Jawa sekitar 28-290C dengan kelembanan udara pada level 850 mb sekitar 70-80%. ENSO dan IOD dalam kondisi normal.

2. Area pertemuan angin antar tropis (ITCZ) berada di sekitar Laut Jawa hingga nusa tenggara. Angin baratan mendominasi wilayah Jakarta dan sekitarnya.

3. Pertumbuhan awan hujan umumnya berada di sebelah barat daya, barat, dan barat laut Jakarta.. 4. Indeks Monsoon Australia positif, berpengaruh

terhadap peningkatan pembentukan awan hujan di Jawa.

DAFTAR PUSTAKA

Aldrian. E., 2002 : Spatial Pattern of ENSO Impact on Indoensia Rainfall, Jurnal Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol. 3, No. 1, p. 5-15.

Aldrian, E. and , R.D. Susanto, 2003, : Indentification of the Three Dominant Rainfall Regions within Indonesia and their Relationship to Sea Surface Temperature, International Journal of Climatology,

23, 1435-1452.

Hamada, J.I., 1995 : Climatological Studi on rainfall Variation In Indonesia. Master Thesis, Kyoto Univ. Kane, R.P., 1997 : Relationship of El Nino-Southern Oscillation and Pacific Sea Surface Temperature with Rainfall in Various Region of the Globe, Mon, Wea. Rev., 125, 1792-1800.

Madden R.A. and P.R. Julian, 1971. Description of a 40-50 day Oscillation in the Zonal Wind in the Tropical Pacific, J. Atmos.Sci., 28, 702-708. Mulyana. E., 2002 : Hubungan ENSO dengan Variasi

Curah Hujan di Indonesia, Jurnal Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol. 3, No. 1, p. 1-4. ---, 2002 : Pengaruh Dipole Mode terhadap

(20)

Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol. 3, No. 1, p. 39-43.

Ramage, C. S., 1968: Role of a tropical "maritime continent" in the atmospheric circulation. Mon. Wea. Rev., 96, 365-370.

Ropelewski, C.F. and M.S. halpert, 1987, 1987 : Global and Regional Scale Precipitation parttern Associated with the El Nino/Southern Oscillation, Mon, Wea. Rev., 115, 1606-1628.

Seto. T.H., 2002 : Pengamatan Osilasi Madden Julian dengan Radar atmoefer Equator (EAR) di Bukittinggi Sumatera Barat (Sebuah Studi Pendahuluan), Jurnal Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol. 3, No. 2, p. 121-124.

(21)

Identifikasi Kekeringan Hidrologi… (Nyayu Fatimah Zahroh, dkk) 21

IDENTIFIKASI KEKERINGAN HIDROLOGI

DI DAS CITARUM HULU

Nyayu Fatimah Zahroh1 dan Sara Aisyah Syafira1

1

Staf Bidang Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pembuatan Hujan, UPT-Hujan Buatan, BPPT Gedung 1lt. 19, Jl. MH Thamrin no. 8 Jakarta. Telp. (021) 316 8816 - 32 Fax. (021)

390 6225

Intisari

DAS Citarum Hulu merupakan salah satu subdas yang paling berpengaruh di DAS Citarum dengan Waduk Sagulingnya. Besarnya debit yang masuk ke waduk menjadi sangat penting demi keberlangsungan kinerja waduk tersebut, misalnya untuk pembangkit listrik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik kekeringan hidrologi, relasinya dengan curah hujan, dan analisis frekuensi kejadian kekeringan hidrologi di DAS Citarum Hulu. Data dari pos duga air Nanjung digunakan dalam menentukan ambang batas kekeringan hidrologi yang kemudian diperoleh karakteristik kekeringan hidrologi. Hasil menunjukan bahwa rata-rata periode kekeringan di DAS Citarum Hulu terjadi mulai dari bulan Juni hingga Oktober. Terdapat keterlambatan antara waktu curah hujan turun dan waktu ketika debit naik akibat input dari curah hujan. Hasil analisis frekuensi menunjukan bahwa kekeringan maksimum yang terjadi pada tahun 1994 memiliki periode ulang 52 tahun dan kekeringan sering terjadi dengan durasi kurang dari 20 hari.

Kata Kunci: Kekeringan Hidrologi, Volume Defisit, FDC, Curah Hujan, Durasi

Abstract

Citarum Hulu is one of the most influential Citarum sub-basin with the Saguling Reservoir. The amount of discharge into the reservoir is very important for the sustainability of the reservoir's performance for power plants in example. This study aims to determine the characteristics of hydrological drought, its relationship with precipitation, and frequency analysis of hydrological drought occurrence in Citarum Hulu. Data from Nanjung post are used in determining the threshold of hydrological drought which then acquired the characteristics of hydrological drought. The results showed that the average period of drought in Citarum Hulu occurred from June to October. There is a lag between the time when rainfall drops and the time when the discharge rise due to the input of rainfall. Frequency analysis results showed that the maximum drought that occurred in 1994 had a 52-year return period and drought often occurs with a duration of less than 20 days.

Keywords: Hydrological drought, Volume deficit, FDC, precipitation, duration

1.

PENDAHULUAN

Salah satu Daerah Aliran Sungai (DAS) yang memiliki peranan penting bagi wilayah sekitarnya terutama dalam hal pembangkit listrik yaitu DAS Citarum, yang merupakan DAS terbesar di Jawa Barat. Luas DAS ini yaitu sekitar 6614 km2 sedangkan panjang sungainya yaitu 269 km. Terdapat tiga waduk besar yang berada di DAS Citarum yaitu Saguling, Cirata, dan Jatiluhur. Ketiga waduk tersebut menghasilkan daya listrik 5 milyar kwh/tahun atau setara dengan 16 juta ton BBM/tahun (Cahyaningsih 2010).

Untuk dapat tetap berfungsi sebagaimana mestinya, kecukupan air di DAS Citarum ini menjadi hal yang penting dan kekeringan merupakan suatu fenomena alam yang dapat mengganggu dalam hal ini. Dalam Tallaksen dan Van Lanen (2004), kekeringan didefinisikan sebagai suatu kejadian luas yang berkelanjutan dan regional yang mana ketersediaan air alam berada di bawah rata-rata. Tipe kekeringan kemudian dapat dibedakan dari defisit air yang mempengaruhi tahapan hidrologi, yaitu kekeringan meteorologi, kekeringan kelembaban tanah atau pertanian, dan kekeringan hidrologi (Tallaksen dan Van Lanen 2004, Fleig 2004).

(22)

Kekeringan hidrologi merupakan tipe kekeringan yang sudah berada pada tahap yang paling dekat keterkaitan atau pengaruhnya terhadap fungsi DAS Citarum sebagai pembangkit listrik. Oleh karena itu, kajian karakteristik kekeringan hidrologi menjadi hal yang penting dan bermanfaat, seperti yang dituliskan oleh Zelenhasic (2002), yaitu untuk mencegah kerusakan pada kondisi kekeringan dan mengetahui kondisi-kondisi abnormal seperti pada saat kondisi kekeringan hidrologi agar reservoir di wilayah kajian dapat bekerja saat kondisi tersebut.

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi ketersediaan air disuatu DAS seperti yang dituliskan oleh Marganingrum et al (2013) yaitu curah hujan sebagai input utama suatu DAS. Lebih lanjut dituliskan pula olehnya bahwa curah hujan variabel acak dan hujan yang berkarakter acak akan menjadi debit aliran yang bersifat acak pula, serta instrumen statistik dapat digunakan untuk mengetahui perilakunya. Dituliskan pula bahwa apabila curah hujan yang jatuh ke permukaan bumi dengan pola penggunaan lahan yang tetap (fix variable) maka debit aliran akan mengikuti pola curah hujan.

Penelitian kali ini bertujuan melakukan kajian karakteristik kekeringan hidrologi di DAS Citarum Hulu, mempelajari keterkaitannya dengan curah hujan yang terjadi dalam suatu periode tertentu, serta menganalisis frekuensi kejadian kekeringan yang teridentifikasi pada periode data yang tersedia.

2.

METODE

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data debit dari pos duga air Nanjung, Citarum (06°57’00” LS dan 107°32’00”BT) periode tahun 1918-1935 dan 1973-2010 yang diperoleh dari Puslitbang Air, Bandung dan data curah hujan wilayah tahun 1999-2001, 2005-2008 dari stasiun klimatologi Cisomang (06°54’49” LS dan 107°38’40” BT), Cicalengka (06°59”16” LS dan 107°50’31” BT) dan Cisondari (07°05’34” LS dan 107°28’46” BT). Data debit tersebut kemudian diolah menggunakan metode ambang batas tetap (fixed threshold) untuk penentuan ambang batas kekeringan, kemudian digunakan untuk menentukan karakteristik kekeringan hidrologi. Prosedur pengolahan data meliputi flow duration curve (FDC), penentuan durasi dan volume defisit kekeringan hidrologi, dan analisis frekuensi. Kemudian hasil analisis dibandingkan dengan data curah hujan agar dapat diketahui respon dari debit terhadap kejadian hujan.

Flow Duration Curve

Flow duration curve (FDC) merupakan grafik hubungan antara debit dan frekuensi terlampaui, dengan mengurutkan data complete

duration series atau data harian dari terbesar sampai terkecil sehingga diperoleh frekuensi terlampaui pada setiap nilai (WMO 2008). Menurut Searcy (1959), kurva durasi aliran (flow-duration curve) merupakan kurva frekuensi kumulatif yang menunjukkan persen waktu dimana suatu debit dapat melampaui atau menyamai periode yang digunakan. Data yang digunakan dalam perhitungan FDC tidak selalu data harian tetapi bisa menggunakan data mingguan ataupun bulanan.

Tipe sungai Sungai Ciujung, Brantas, dan Bengawan Solo adalah tipe sungai perennial, aliran sungai mengalir sepanjang tahun. Metode grafis FDC ini sangat baik dan sering diaplikasikan pada tipe sungai perennial (Fleig 2004, Fleig et al. 2006). Secara umum, ambang batas Q70 sampai Q95 digunakan sebagai kriteria untuk analisis tipe sungai perennial (Fleig et al. 2006, Hisdal et al. 2004). Dalam penelitian ini, ambang batas yang digunakan adalah Q80, yaitu aliran melampaui 80 persen dari panjang data (Gambar 4). Merujuk pada Van Loon dan Van Lanen (2012), Q80 digunakan karena apabila menggunakan Q95 maka kekeringan hidrologi yang teridentifikasi akan sedikit, sebaliknya akan banyak kekeringan yang teridentifikasi apabila menggunakan Q70. Oleh karena itu dipilih nilai diantara Q70-Q95 yaitu Q80.

Gambar 1. Penentuan ambang batas Q80 kurva durasi aliran

Penentuan Durasi dan Volume Defisit Kekeringan Hidrologi

Karakteristik kekeringan diperlukan untuk mengidentifikasi kekeringan hidrologi di suatu wilayah yaitu dengan menentukan waktu kejadian, awal dan akhir musim, durasi (di), tingkat keparahan/ volume defisit (vi), dan aliran minimum (Qmin) pada suatu kejadian kekeringan hidrologi (Gambar 7, Fleig 2004, Hisdal et al. 2004). Cara menentukan durasi dan volume defisit kekeringan hidrologi yaitu dengan mengidentifikasi debit harian yang berada di bawah ambang batas Q80. Ketika debit turun mencapai ambang batas maka kekeringan di mulai (onset date) dan apabila aliran naik mencapai ambang batas maka kejadian

(23)

Identifikasi Kekeringan Hidrologi… (Nyayu Fatimah Zahroh, dkk) 23

kekeringan berakhir (termination date). Durasi adalah panjang hari dari tanggal awal sampai tanggal akhir kekeringan. Akumulasi selisih antara ambang batas dan debit di bawah ambang batas sepanjang durasi kekeringan dalam satuan volume disebut volume defisit (m3).

Gambar 2. Definisi karakteristik kekeringan hidrologi

Apabila terdapat kekeringan minor dalam proses identifikasi, maka kekeringan minor tersebut harus dihilangkan agar tidak mengganggu dalam proses analisis. Kekeringan minor (minor drought) merupakan peristiwa kekeringan dengan durasi yang pendek dan volume defisit yang kecil (Fleig et al. 2006). Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menghilangkan kekeringan minor yaitu menggunakan durasi minimum kekeringan dmin 10 hari (Kaznowska dan Banasik 2011). Beberapa penelitian menggunakan dmin 5 hari untuk Q90 (Fleig et al. 2006, Hisdal et al. 2004) karena semakin tinggi ambang batas maka hari di bawah ambang batas semakin sedikit. Data yang dihasilkan dari identifikasi karakteristik kekeringan berupa data partial duration series (PDS), yaitu semua data yang berada di bawah ambang batas.

Karakteristik kekeringan digunakan untuk menduga tingkat keparahan antara lain:

dav,n = Σdni / Σni

vav,n = Σvni / Σni

λ = Σni / N

dav,n adalah rata-rata durasi kekeringan pada periode tertentu (hari), dni jumlah hari seluruh kekeringan yang teridentifikasi pada periode kajian (hari), ni jumlah kekeringan hidrologi yang teridentifikasi Rata-rata volume defisit (m3) ditunjukan dengan vav,n , vni jumlah volume kekeringan yang teridentifikasi (m3), N merupakan jumlah tahun pada periode kajian, dan λ merupakan intensitas jumlah kejadian kekeringan hidrologi di DAS tersebut (Kaznowska 2011, Kaznowska dan Banasik 2011, Tallaksen et al. 2004).

Analisis Frekuensi

Analisis frekuensi digunakan untuk mengetahui peluang suatu kejadian kekeringan atau mengetahui frekuensi kejadian pada waktu lampau maupun masa depan (Haan 1977). Sampel data yang digunakan dalam analisis frekuensi adalah data PDS dari durasi dan volume defisit kekeringan di masing-masing DAS. Menurut Haan (1977), data yang digunakan dalam analisis frekuensi harus bersifat homogen dan independen agar dapat merepresentasikan suatu kejadian dari waktu ke waktu.

Analisis frekuensi pada penelitian ini berfokus pada dua karakteristik kekeringan yaitu durasi dan volume defisit. Peluang suatu kejadian kekeringan dapat dilihat dengan menghitung periode ulang (return period). Periode ulang T(x) merupakan interval waktu rata-rata antara kekeringan yang satu dengan yang lain dengan besaran (magnitude) lebih besar dari nilai magnitude tertentu (x). Kejadian kekeringan dengan besaran tertentu melampaui nilai x akan terjadi sekali dalam T tahun (Fleig 2004). Periode ulang untuk PDS dapat dihitung menggunakan persamaan (Tallaksen et al. 2004):

T(x) =1 / (λ (i/ (ni + 1)))

T(x) merupakan periode ulang, λ intensitas kejadian kekeringan per tahun, i rank, ni jumlah kekeringan dalam periode waktu tertentu.

3. HASIL PENELITIAN Karakteristik Kekeringan

Dari perhitungan data debit periode tahun 1918-1935 dan 1973-2010 menggunakan metode flow duration curve, diperoleh nilai ambang batas aliran DAS Citarum Hulu sebesar 14,6 m3s-1. Nilai ambang batas ini menjadi indikator dalam menentukan karakteristik kekeringan hidrologi di DAS Citarum Hulu. Ketika debit turun melampau ambang batas, maka kekeringan hidrologi di mulai dan berakhir ketika debit sudah naik melampaui ambang batasnya. Hasil identifikasi menunjukan bahwa terdapat 106 kali teridentifikasi kekeringan dari periode data yang tersedia atau terdapat dua periode kejadian kekeringan dalam setahun.

Gambar

Tabel 2.  Jenis Penggunaan Lahan DAS  Ciliwung Hulu
Tabel 4.  Hasil Perhitungan Hujan Rancangan  Setiap Kala Ulang
Gambar 1.  Diagram  klasifikasi  tipe  awan  (Inoue, 1989)
Gambar 3.  Distribusi tipe awan di wilayah kajian pada bulan Maret 2014    0102030405060708090100
+7

Referensi

Dokumen terkait