• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. yang terjadi sehari-hari dalam kehidupan. Dimatteo (1991) mendefinisikan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. yang terjadi sehari-hari dalam kehidupan. Dimatteo (1991) mendefinisikan"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA 1. Pengertian Dukungan Sosial

Pierce (dalam Kail & Cavanaugh, 2000) mendefinisikan dukungan sosial sebagai sumber emosional, informasional atau pendampingan yang diberikan oleh orang-orang di sekitar individu untuk menghadapi setiap permasalahan dan krisis yang terjadi sehari-hari dalam kehidupan. Dimatteo (1991) mendefinisikan dukungan sosial sebagai dukungan atau bantuan yang berasal dari orang lain seperti teman, keluarga, tetangga, teman kerja dan orang – orang lainnya. Siegel (dalam Taylor, 1999) menggambarkan dukungan sosial sebagai informasi dari orang lain bahwa ia dicintai dan diperhatikan, berharga dan dihargai serta merupakan bagian dari suatu jaringan sosial.

Jabaran lain mengenai dukungan sosial juga disampaikan oleh Gottlieb (dalam Smet, 1994) yang menyatakan bahwa dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasehat verbal maupun non verbal, bantuan nyata, atau tindakan yang didapat karena kehadiran orang lain dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima. Pendapat senada juga diungkapkan oleh Sarason (dalam Smet, 1994) yang menyatakan bahwa dukungan sosial adalah adanya transaksi interpersonal yang ditunjukkan dengan memberikan bantuan pada individu lain, dimana bantuan itu umumnya diperoleh dari orang yang berarti bagi individu yang bersangkutan. Menurut Sarason (dalam Dalton, 2002),

(2)

dukungan sosial bukan sekedar memberikan bantuan, tetapi yang penting adalah bagaimana persepsi si penerima terhadap makna dari bantuan itu. Hal ini erat hubungannya dengan ketepatan dukungan sosial yang diberikan, dalam arti bahwa orang yang menerima sangat merasakan manfaat bantuan bagi dirinya karena sesuatu yang aktual dan memberikan kepuasan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah dukungan atau bantuan yang berasal dari orang yang memiliki hubungan sosial akrab dengan individu yang menerima bantuan. Bentuk dukungan ini dapat berupa informasi, tingkah laku tertentu, atapun materi yang dapat menjadikan individu yang menerima bantuan merasa disayangi, diperhatikan, dan bernilai.

2. Sumber-sumber dukungan sosial

Sumber-sumber dukungan sosial menurut Kahn & Antonoucci (dalam Orford, 1992) terbagi menjadi 3 kategori, yaitu:

a. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu yang selalu ada sepanjang hidupnya, yang selalu bersama dan mendukungnya. Misalnya keluarga dekat, pasangan (suami/istri) atau teman-teman dekat.

b. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sedikit berperan dalam hidupnya dan cenderung berubah sesuai dengan waktu. Sumber ini meliputi teman kerja, tetangga, sanak keluarga dan sepergaulan.

c. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sangat jarang memberi dukungan sosial dan memiliki peran yang sangat cepat berubah.

(3)

Sumber dukungan yang dimaksud meliputi supervisor, tenaga ahli/profesional dan keluarga jauh.

Menurut Burgess dan Locke (dalam DeGenova, 2008), keluarga adalah sekelompok orang yang disatukan dalam ikatan pernikahan, darah atau adopsi ; berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain di dalam peran sosial masing-masing (suami dan isteri, ayah dan ibu, anak laki-laki dan anak perempuan, saudara laki-laki dan saudara perempuan) serta menciptakan dan memelihara budaya bersama. Keluarga merupakan pusat utama dalam kehidupan manusia yang senantiasa mendampingi dan mengiringi seorang manusia sepanjang hidupnya.

Berdasarkan beberapa literatur di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial keluarga adalah dukungan sosial yang bersumber dari sekelompok orang yang memiliki peran sosial sebagai ayah, ibu dan mertua bagi individu yang menerima bantuan. Bentuk bantuan dapat berupa informasi, tingkah laku tertentu, atapun materi yang dapat menjadikan individu yang menerima bantuan merasa disayangi, diperhatikan, dan bernilai.

3. Bentuk-bentuk dukungan sosial

Menurut Sarason (dalam Dalton, 2001), dukungan sosial dapat dipahami dalam 2 (dua) bentuk yaitu generalized support dan specific support.

1. Generalized Support (Dukungan Umum)

Bentuk dukungan yang terjadi dalam hubungan interpersonal yang berlangsung terus menerus , baik ketika individu menghadapi stressor atau ketika

(4)

individu sedang tidak mengalami masalah yang berarti . Biasanya dukungan ini bersifat stabil dan berlangsung di sepanjang situasi kehidupan seseorang. Dukungan ini memberikan dasar yang aman bagi individu dalam menyelesaikan permalasahannya. Ada dua jenis yaitu integrasi sosial (social integration) dan dukungan emosional (emotional support).

a. Integrasi Sosial (Social Integration)

Social integration merujuk pada perasaan individu sebagai suatu bagian di dalam sebuah kelompok atau masyarakat (sense of belongingness). Hubungan persahabatan, pekerjaan dan keanggotaan dalam kegiatan agama atau lingkungan tempat tinggal merupakan contoh dimana social integration dapat terjadi. Menurut Cohen & Wills (dalam Orford, 1992), dukungan ini dapat berupa menghabiskan waktu bersama-sama dalam aktivitas, rekreasional di waktu senggang. Dukungan ini dapat mengurangi stress dengan memenuhi kebutuhan afiliasi dan kontak dengan orang lain membantu mengalihkan perhatian seseorang dari masalah yang mengganggu serta memfasilitasi suatu suasana hati yang positif.

b. Dukungan Emosional (Emotional Support)

Emotional support merujuk pada pemberian perhatian dan kenyamanan dalam hubungan hubungan personal. Dukungan ini merupakan yang paling intim dan kuat dari semua bentuk dukungan dan biasanya hadir di dalam hubungan pernikahan, hubungan orangtua-anak atau persahabatan. Biasanya dukungan ini bersifat tak bersyarat dan berhubungan dengan kelekatan (attachment) yang terjadi dalam suatu hubungan yang dekat.

(5)

2. Spesific Support (Dukungan Spesifik)

Dukungan spesifik adalah bentuk dukungan yang diberikan untuk membantu individu menghadapi stressor tertentu. Ada tiga jenis dukungan yang termasuk specific support antara lain :

a. Dukungan penghargaan (Encouragement/Esteem Support)

Dukungan penghargaan adalah dukungan dukungan yang terjadi bila ada ekspresi penilaian yang positif terhadap kompetensi individu. Menurut Cutrona dan Russel (dalam Dalton, 2001), dukungan ini bersifat menentramkan dan menenangkan, namun bukan merupakan dukungan emosional yang lebih dalam. Dukungan ini biasanya berasal dari keluarga atau teman dekat, tetapi bisa juga berasal dari sumber dukungan yang kurang intim dengan individu seperti teman kerja.

b. Dukungan Informasional (Informational Support)

Dukungan informasional meliputi penmberian nasihat atau bimbingan. Secara umum, dukungan ini cenderung melibatkan kognitif daripada emosional dan biasanya pemberiannya disesuaikan dengan situasi yang spesifik yang dialami individu.

c. Dukungan Instrumental (Tangible/Instrumental Support)

Dukungan instrumental adalah dukungan berupa bantuan dalam bentuk nyata , biasanya mengarah pada sumber material seperti penyediaan benda-benda atau layanan (task) untuk memecahkan masalah praktis.

(6)

1. Pengertian Pernikahan

Duvall dan Miller (1986) mendefinisikan pernikahan sebagai hubungan antara pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat yang melibatkan hubungan seksual, adanya penguasaan dan hak mengasuh anak, dan saling mengetahui tugas masing-masing sebagai suami dan istri. Suami dan istri membawa budaya dan kebiasaan asli mereka kemudian membangun budaya baru di dalam keluarga mereka sendiri di dalam pernikahan. Pasangan suami istri mendamaikan perbedaan nilai-nilai dan dan pemahaman yang telah mereka sosialisasikan di dalam perkembangan pribadi masing-masing (Godman & Nanba dalam Yabuki, 2005). Gardiner & Myers (dalam Papalia, 2007) menambahkan bahwa pernikahan menyediakan keintiman, komitmen, persahabatan, cinta dan kasih sayang, pemenuhan seksual, pertemanan dan kesempatan untuk pengembangan emosional seperti sumber baru bagi identitas dan harga diri.

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa pernikahan adalah hubungan antara pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat yang bukan lagi individu tunggal yang bebas, akan tetapi peran dan tanggung jawabnya pun berubah, baik terhadap diri sendiri, pasangan atau lingkungannya.

2. Tahap-Tahap Pernikahan

Dalam setiap pernikahan, setiap pasangan akan melewati urutan perubahan dalam komposisi, peran, dan hubungan dari saat pasangan menikah hingga mereka meninggal yang disebut sebagai Family Life Cycle (Hill & Rodgers, dalam Sigelman & Rider, 2003). Secara umum, Anderson, Russel & Schumn

(7)

(dalam Hoyer & Roodin, 2003) membagi tahap pernikahan menjadi tahap sebelum kehadiran anak pertama, kehadiran anak & setelah keluarnya anak dari rumah. Sementara, Cole (dalam Lefrancois, 1993) membagi tahap pernikahan menjadi awal pernikahan, kelahiran & mengasuh anak & emptynest sampai usia tua.

a. Tahap I : Pasangan Awal (Married Couple)

Berdasarkan family life cycle dari Duvall, tahap ini berlangsung selama kurang lebih 2 tahun dimulai dari ketika pasangan menikah & berakhir ketika anak pertama lahir. Selama tahun pertama dan kedua pernikahan pasangan suami istri biasanya harus melalui beberapa penyesuaian utama (Hurlock, 1999), yaitu:

a) Penyesuaian dengan pasangan

Penyesuaian dengan pasangan merupakan penyesuaian yang paling pokok dan pertama kali dihadapi oleh keluarga baru. Tidak mudah menyatukan dua orang yang berlainan jenis, kepribadian, sifat dan juga kebiasaan-kebiasaan. Dalam penyesuaian pernikahan yang jauh lebih penting adalah kesanggupan dan kemampuan suami istri untuk berhubungan dengan mesra, saling memberi dan menerima cinta.

b) Penyesuaian seksual

Masalah ini merupakan salah satu penyesuaian yang mengakibatkan pertengkaran dan ketidakbahagiaan perkawinan apabila kesepakatan tak dapat dicapai dan memuaskan. Penyesuaian seksual bagi wanita cenderung lebih sulit untuk mengakhirinya secara memuaskan dikarenakan wanita

(8)

sejak masa bayi disosialisasikan untuk menutupi dan menekan gejolak seksualnya dan tidak dapat dengan segera berubah untuk tidak malu-malu menunjukkan rasa nikmat seperti perubahan sikap yang disarankan oleh budaya suami (Rubin, dalam Hurlock, 1999)

c) Penyesuaian keuangan

Uang dan kurangnya uang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap penyesuaian diri orang dewasa dengan pernikahannya. Suami dan istri harus mampu menyesuaikan pemasukan dan pengeluaran dengan kebiasaan-kebiasaan karena sering kali permasalahan keuangan menjadi awal percekcokan antara suami dan istri

d) Penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan

Melalui pernikahan, setiap orang dewasa akan secara otomatis memperoleh sekelompok keluarga yaitu anggota keluarga pasangan dengan usia yang berbeda, mulai dari bayi hingga nenek/kakek, yang kerap kali mempunyai minat dan nilai yang berbeda, bahkan sering sekali sangat berbeda dari segi pendidikan, budaya, dan latar belakang sosialnya. Suami istri harus mempelajari dan menyesuaikan diri bila tidak menginginkan hubungan yang tegang dengan sanak saudara mereka.

b. Tahap II: Membesarkan Anak (Childrearing)

Tahap ini dimulai dari kelahiran anak pertama sampai anak berusia 20 tahun. Umumnya, tahap ini berlangsung selama kurang lebih 20 tahun (Duvall,dalam Lefrancois, 1993). Rata-rata masa awal menjadi orangtua

(9)

merupakan transisi hidup yang penuh tekanan yang melibatkan perubahan yang postitif dan negatif (Cowan & Cowan; Monk et al, dalam Sigelman & Rider, 2003). Selain itu, kepuasan pernikahan juga menurun pada tahun-tahun pertama setelah bayi lahir dan biasanya penurunan ini lebih tajam pada wanita dibandingkan pria dikarenakan tanggung jawab yang lebih besar terhadap pengasuhan anak (Levy & Shiff, dalam Sigelman & Rider, 2003).

Seiring bertambahnya usia anak, maka orangtua perlu mengadakan penyesuaian-penyesuaian sebagaimana dikatakan oleh Crnic & Booth (dalam Sigelman & Rider, 2003) bahwa stress dan ketegangan merawat anak-anak lebih besar daripada merawat bayi dan lahirnya anak kedua akan menambah tingkat stres orangtua (O‟ Brien, dalam Sigelman & Rider, 2003). Semakin dewasa usia anak maka timbul konflik-konflik baru antara anak dan orangtua walaupun sebagian besar orangtua menyatakan lebih puas terhadap pernikahan dan hubungan dengan anak-anak, namun anak-anak menyulitkan terhadap orangtua dengan memaksa orangtua untuk memberi waktu dan tenaga kepada mereka sehingga menambah stres orangtua. (Kurdek, 1999).

c. Tahap III: Kekosongan (Emptynest)

Cepat atau lambat, anak-anak biasanya akan bebas secara emosional dan finansial dari orangtua mereka. Istilah emptynest sendiri berarti suatu keadaan atau kondisi keluarga setelah keluarnya anak terakhir dari rumah (Hoyer & Roodin, 2003). Tahap emptynest dimulai dengan “launching” anak terakhir dan berlangsung selama lebih kurang 15 tahun (Duvall, dalam Lefrancois, 1993). Usia

(10)

rata-rata ibu pada awal tahap ini sekitar 52 tahun dan 54 tahun untuk ayah, sedangkan menurut Hurlock (1999), tahap ini terjadi pada usia 40 sampai 49 tahun.

Ketika remaja atau dewasa awal meninggalkan rumah, beberapa orangtua mengalami perasaan kehilangan yang dalam yang disebut sebagai Sindrom Emptynest (Hoyer & Roodin, 2003). Hal ini didukung oleh penelitian Rubin (dalam Lefrancois, 1993) bahwa pada masa emptynest, wanita mengalami kesedihan, namun tidak ditemukan adanya depresi. Kenyataannya banyak orangtua yang memandang ketidakhadiran anak dalam keluarga sebagai saat untuk membangun kebebasan hidup sebagai orang dewasa. Tekanan yang berat dikarenakan kondisi ekonomi dan pekerjaan terjadi ketika anak-anak tidak benarbenar membuat masa emptynest terjadi sebagaimana diharapkan atau mereka kembali lagi ke rumah (Glick & Lin, dalam Lefrancois, 1993).

Pada umumnya, suami dan istri menyatakan bahwa pernikahan mereka berlangsung baik hampir setiap waktu. Kebahagiaan dan kepuasan tertinggi terjadi pada tahap pertama semakin rendah ketika anak tertua memasuki usia remaja. Pada tahap emptynest, kebahagiaan dan kepuasan kembali meningkat sampai pada tahun-tahun pensiun ( Rollin & Feldman, dalam Lefrancois, 1993) dan usia tua (Foner & Schwab, dalam Lefrancois, 1993).

(11)

3. Pernikahan Beda Etnis (Batak Toba-Tamil) a. Pengertian Pernikahan beda etnis

Menurut Tseng (dalam McDermott & Maretzki, 1977), pernikahan beda etnis (intercultural marriage) adalah perkawinan yang terjadi antara pasangan yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Budaya menjadi suatu aspek yang penting dalam perkawinan, dimana pasangan tersebut tentu memiliki dalam hal nilai-nilai budaya yang dianut, menurut keyakinan dan kebiasaan, serta adat istiadat dan gaya hidup budaya. Di dalam perkawinan juga disatukan dua budaya yang berbeda, latar belakang yang berbeda, suku yang berbeda (Koentjaraningrat, 1981). Latar belakang yang berbeda ini dapat menimbulkan ketidakcocokan. Ketidakcocokan tersebut dapat mengakibatkan konflik, baik tentang kebiasaan, sikap perilaku dominan, maupun campur tangan keluarga (Purnomo dalam Natalia & Iriani, 2002).

Berdasarkan definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pernikahan beda etnis adalah perkawinan yang terjadi antara pasangan yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Secara khusus, pernikahan beda etnis (Batak Toba-Tamil) adalah perkawinan yang terjadi antara pria/wanita yang berasal dari latar belakang etnis Batak Toba dengan wanita/pria etnis Tamil.

b. Etnis Tamil

Sejak pertengahan abad ke-19, buruh-buruh dari Cina, India, Arab dan pulau Jawa didatangkan dalam jumlah besar oleh pengusaha-pengusaha perkebunan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Migran dari India yang

(12)

datang untuk berdagang antara lain adalah orang-orang dari India Selatan (Tamil) dan juga orang Bombay serta Punjabi (Mani, 1980). Sebuah laporan menyebutkan bahwa penduduk Tamil yang berjumlah kira-kira 30.000 jiwa di Medan dan sekitarnya, terbagi atas 66 % yang menganut agama Hindu, 28 % agama Budha, 4,5 % beragama Katolik dan Kristen, dan 1,5 % yang beragama Islam (Napitupulu, 1992).

Suku Tamil memiliki hubungan yang harmonis dengan kelompok etnis lain di Sumatera Utara karena latar belakang budaya dan ekonomi yang tidak terlalu berbeda. Hal ini disebabkan karena proses-proses adaptasi sosial budaya komunitas Tamil di Medan berlangsung lebih intensif dengan komunitas-komunitas tempatan jika dibandingkan dengan orang-orang Punjabi. Kenyataan bahwa orang-orang Tamil lebih terfragmentasi berdasarkan agama membuat mereka lebih terbuka untuk berubah sehingga sehingga identitas ke-Tamil-an mereka berangsur-angsur memudar. Salah satu contoh adaptasi tersebut antara lain pernikahan eksogami dari dua generasi terakhir suku Tamil di kota Medan dengan kelompok suku lain seperti etnis Jawa, Karo, Nias, Tionghoa dan Batak Toba (Lubis, 2005).

Pernikahan dalam suku Tamil dipercaya menjadi suatu ikatan dan hubungan seumur hidup sehingga mereka tidak mudah memutuskan untuk bercerai. Suku Tamil lebih menyukai pernikahan yang sederhana dan seadanya dibandingkan suku India lainnya. Hal yang terutama dalam pernikahan Tamil adalah kehadiran semua keluarga, teman dan tetangga untuk mendoakan kebahagiaan pengantin pria dan wanita di masa yang akan datang. (Gopal, 2010)

(13)

c. Etnis Batak Toba

Masyarakat di luar suku Batak menggambarkan orang Batak Toba sebagai orang yang tidak mau kalah, bersuara keras, terbuka, spontan, agresif, pemberani, rentenir, preman, suka minum tuak, suka main catur, pandai main gitar, inang-inang, dan perantau (Irmawati, 2007). Suku Batak Toba merupakan masyarakat patrilineal dan menarik garis kekeluargaan dari pihak ayah juga memiliki aturan dan adat pernikahan. Suku ini mengenal bentuk perkawinan eksogami marga yaitu perkawinan dengan orang di luar kelompok/klan marga (Bangun, 1982).

Perkawinan yang dianggap ideal oleh masyarakat suku Batak Toba adalah perkawinan yang dilakukan sesama orang Batak Toba. Perkawinan dengan orang yang bukan Batak tidak akan diakui dalam adat Batak Toba. Jika seorang yang bukan masyarakat Batak Toba ingin menikah dengan orang Batak Toba, maka terlebih dahulu diberikan marga. Pemberian marga kepada laki-laki disebut manampe marga dan kepada perempuan disebut marboruhon (Bruner, 1994).

Pernikahan pada masyarakat Batak Toba pada hakekatnya adalah sakral. Hal ini dikarenakan pemahaman bahwa pernikahan bermakna pengorbanan bagi pihak pengantin perempuan (parboru) yang memberikan satu nyawa manusia yang hidup yaitu anak perempuannya kepada orang lain yaitu pihak pengantin pria (paranak). Kedua pihak akan menjadi besan sehingga pihak pria juga harus menghargainya dengan mengorbankan atau mempersembahkan satu nyawa juga yakni dengan menyembelih seekor hewan (sapi atau kerbau) yang kemudian mejadi santapan dalam pesta pernikahan. (Bangun, 1982).

(14)

4. Masalah-masalah dalam Pernikahan Beda Etnis

Pernikahan beda etnis menghadapi masalah yang hampir sama dengan pernikahan sama etnis, namun ada perbedaan pada beberapa area masalah. Menurut Markoff (1977), masalah-masalah tersebut meliputi komunikasi verbal dan non verbal, perbedaan nilai dan konsep pernikahan, keputusan pasangan yang didasarkan pada kebutuhan dan tuntutan individual pasangan atau didasarkan pada tradisi atau persetujuan sosial keluarga. Markoff juga mengindikasikan sumber konflik lainnya dalam pasangan antar budaya adalah level dari keterlibatan dari keluarga mengenai konflik-konflik pasangan (Tseng , dalam McDermott & Maretzki, 1977). Sung (1990) menambahkan bahwa streotip yang dipegang oleh masyarakat mengenai etnis individu dan pasangan merupakan salah satu tantangan dalam pernikahan beda etnis.

Penelitian menunjukkan bahwa secara umum, orang sering memiliki sikap yang negatif terhadap pernikahan beda budaya kususnya jika hal ini melibatkan anak laki-laki atau anak perempuan mereka sendiri (Davidson & Schneider dalam Shute, 2003). Beberapa keluarga tidak setuju jika anggota keluarga mereka menikah dengan orang di luar kelompok ras atau etnis mereka. Keluarga dari pasangan sering menolak dan melarang hubungan pernikahan ini. Ketika pasangan beda etnis menikah, sesuatu yang lumrah jika ada beberapa atau bahkan seluruh anggota keluarga tidak menghadiri pernikahan tersebut . Banyak orangtua tidak menerima pernikahan beda budaya pada awalnya, tetapi ketika orangtua semakin mengenal pasangan suami-istri maka mereka pun mulai menerima pasangan itu, khususnya setelah kelahiran cucu-cucu mereka. Seringkali orangtua

(15)

memutuskan sikap antipati mereka terhadap menantu perempuan atau laki-laki ketika mereka menyadari bahwa mereka mungkin akan kehilangan kontak dengan anak dan cucu mereka (Kouri & Lasswell, 1993).

C. Dukungan Sosial Keluarga Pada Pernikahan Beda Etnis (Batak Toba-Tamil)

Tiap-tiap suku memiliki konsep dan aturan mengenai perkawinan yang berbeda satu sama lainnya, seperti mengenai pengaturan pembatasan jodoh, mahar, tata upacara dan sebagainya. Salah satu perbedaan yang mencolok ditemukan di dalam masyarakat suku Tamil dengan suku Batak Toba. Suku Tamil cenderung lebih adaptif dengan kelompok etnis lain di Sumatera Utara, salah satunya dengan adanya pernikahan eksogami dengan etnis Jawa, Karo, Nias, Tionghoa dan Batak Toba (Lubis, 2005). Lain halnya dengan suku Batak Toba yang memegang kuat norma endogami (Bangun, 1982). Perkawinan yang dianggap ideal oleh masyarakat suku Batak Toba adalah perkawinan yang dilakukan sesama orang Batak Toba. Perkawinan dengan orang yang bukan Batak tidak akan diakui dalam adat Batak Toba (Bruner, 1994).

Pernikahan beda etnis menghadapi masalah yang hampir sama dengan pernikahan sama etnis, namun ada perbedaan pada beberapa area masalah. Masalah-masalah tersebut meliputi komunikasi verbal dan non verbal, perbedaan konsep dari pernikahan keputusan pasangan didasarkan pada kebutuhan dan tuntutan individual pasangan, atau didasarkan pada tradisi atau persetujuan sosial keluarga. Prasangka dan stereotip juga memainkan peran dalam konflik

(16)

pernikahan seperti ketika masing-masing pasangan memandang yang lainnya sebagai perwakilan dari budayanya yang menyebabkan penyimpangan terhadap peran dan kepribadian pasangan. Markoff juga mengindikasikan sumber konflik lainnya dalam pasangan antar budaya adalah level dari keterlibatan dari keluarga mengenai konflik-konflik pasangan (Tseng , dalam McDermott & Maretzki, 1977).

Banyaknya perbedaan dan permasalahan yang dihadapi oleh pasangan beda budaya di dalam tahap pernikahan menuntut kemampuan pasangan untuk mengatasi tantangan tersebut demi keberhasilan hubungan mereka. Salah satu cara yang dapat membantu pasangan dalam menghadapi permasalahan pernikahan adalah dengan tersedianya dukungan sosial, baik dari keluarga, teman dan masyarakat. Dengan demikian, pasangan mungkin akan lebih mampu mengatasi hambatan-hambatan tersebut karena adanya dukungan yang mereka terima dari orang lain, keluarga, teman-teman, rekan kerja, atau bahkan masyarakat (DeGenova, 2008).

Dukungan sosial sebagai sumber emosional, informasional atau pendampingan yang diberikan oleh orang-orang di sekitar individu untuk menghadapi setiap permasalahan dan krisis yang terjadi sehari-hari dalam kehidupan (Pierce, dalam Kail & Cavanaugh, 2000). Dukungan sosial yang disediakan oleh teman-teman dan anggota keluarga menimbulkan kenyamanan fisik dan psikologis (Baron & Byrne, 2000). Menurut Sarason (1990), dukungan sosial bukan sekedar memberikan bantuan, tetapi yang penting adalah bagaimana persepsi si penerima terhadap makna dari bantuan itu. Hal ini erat hubungannya dengan ketepatan

(17)

dukungan sosial yang diberikan, dalam arti bahwa orang yang menerima sangat merasakan manfaat bantuan bagi dirinya, karena sesuatu yang aktual dan memberikan kepuasan.

Orang-orang yang menerima dukungan sosial percaya bahwa mereka dicintai, bernilai, dan bagian dari jaringan sosial (Caplan, 1974; Procidano, 1978 & 1983). Newcomb & Vaux (dalam Colarossi, 2003) menambahkan bahwa dukungan sosial yang diberikan pada seseorang dapat mengembangkan perasaan berharga dan meningkatkan self efficacy pada orang tersebut. Menurut Cobb (dalam Sarafino, 1994) seseorang yang mendapat dukungan sosial percaya bahwa mereka dicintai dan diperhatikan, dihargai dan menjadi bagian dari suatu kelompok sebagai sebuah keluarga atau komunitas. Hal ini senada dengan pendapat Smet (1994), jika seorang individu merasa didukung oleh lingkungannya, maka segala sesuatu akan terasa mudah ketika ia mengalami kejadian-kejadian yang menegangkan. Individu yang mempunyai dukungan sosial yang tinggi lebih optimis dalam menghadapi situasi kehidupannya saat ini maupun masa depan, mempunyai harga diri yang lebih tinggi dengan tingkat kecemasan yang lebih rendah.

Tersedianya dukungan sosial dapat membantu individu dalam menemukan jalan keluar dari masalah yang dihadapi dan membantu individu dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Anggota keluarga, khususnya orangtua dan pasangan adalah sumber utama dari dukungan sosial baik secara umum (generalized support) maupun secara khusus (specific support). Keluarga dan pasangan dinilai memiliki komitmen yang lebih besar dan

(18)

memiliki pengetahuan yang lebih dalam mengenai individu yang diberikan dukungan jika dibandingkan dengan sumber dukungan yang lain (Dalton, 2001).

Referensi

Dokumen terkait

Dalam merakit varietas tembakau yang mempunyai potensi hasil yang tinggi dan tahan terhadap cekaman lingkungan baik biotik maupun abiotik, serta mempunyai kadar nikotin

32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah , Pendapatan Asli Daerah merupakan penerimaan yang diperoleh dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan

Sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan, Model Perencanaan Komunikasi Pemerintahan Kecamatan Padang Tualang Dalam Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan memiliki

dengan materi. Dalam proses penyajian materi, guru mengajar siswa ikut terlibat aktif dalam proses pembelajaran dengan mengamati setiap gambar yang ditunjukan oleh guru

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, diperlukan adanya penelitian terkait dengan efektivitas dari integrasi SIMKEU dan HRIS yang berupa sistem

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui lama/durasi puasa preoperatif rata-rata dan hubungan antara durasi puasa preoperatif dan kadar gula darah sewaktu pada pasien yang

Hasil pengenalan pola motif batik yang dikenali atau termirip dan tidak mirip atau tidak dapat dikenali dapat ditentukan dengan membandingkan mencocokan nilai citra

Dalam pembuatan lipstik, penambahan agen tabir surya seperti titanium dioksida, dapat menyebabkan efek keputihan pada lipstik, sehingga perlu dilakukan optimasi