• Tidak ada hasil yang ditemukan

Albert Conic and Plate Caree Projection Systems using ArcGIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Albert Conic and Plate Caree Projection Systems using ArcGIS"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Albert Conic and Plate Caree Projection Systems using ArcGIS

Eldi Mulyana*

Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial Bahasa dan Sastra, Institut Pendidikan Indonesia Garut, Jalan Terusan Pahlawan No. 32. Sukagalih, Tarogong Kidul,

Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat, Kode Pos 44151, Indonesia *Penulis koresponden, e-mail : [email protected]

Abstract: The purpose of this study is to analyze engineering geography by comparing the

projection system between Albert Conic and Plate Caree using ArcGIS. Visualization of the earth’s surface must maintain conform, equivalent and equidistant. ArcGIS is used as software in analyzing projection systems. Both projections are used to determine where the distortion is minimal on the coastline in Indonesia. The results show that Albert conic’s projection is better than Plate caree’s in terms of broad approximation in the ellipsoid plane because conform, equivalent and equidistant for visualization is close to the actual situation. The conclusion of this study obtained information that the projection system used must be adjusted to the distortion that will be maintained and conformity with the purpose for which the information is to obtained.

Keywords: Albert Conic; Plate Caree; Projection System; ArcGIS.

Abstrak: Tujuan penelitian ini untuk menganalisa geografi teknik dengan membandingkan

sistem proyeksi antara Albert Conic dan Plate Caree menggunakan ArcGIS. Visualisasi permukaan bumi harus mempertahankan conform, equivalent dan equidistant. ArcGIS digunakan sebagai perangkat lunak dalam menganalisis sistem proyeksi. Kedua proyeksi digunakan untuk penentuan mana distorsi minimal pada garis pantai di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proyeksi Albert Conic lebih baik dibandingkan Plate caree dari sisi pendekatan luas di bidang elipsoid karena secara conform, equivalent dan equidistant untuk visualisasi mendekati keadaan sebenarnya. Simpulan penelitian ini diperoleh informasi bahwa sistem proyeksi yang digunakan harus disesuaikan dengan distorsi yang akan tetap dipertahankan dan kesesuaian dengan tujuan yang ingin diperoleh informasinya.

Kata kunci: Albert Conic; Plate Caree; Sistem Proyeksi; ArcGIS.

PENDAHULUAN

Proyeksi peta yang digunakan di Indonesia menggunakan Universal Transverse Mercator (UTM). Proyeksi peta digunakan untuk menghubungkan objek-objek permukaan bumi ke dalam bentuk bidang datar (Snyder, 1987). Pembagian bumi menurut sistem proyeksi UTM selama ini adalah dengan membagi lebar setiap zonanya sebersar 60. Sementara itu, distorsi minimal yang

dihasilkan proyeksi tersebut berada pada meridian sebesar 0,9996 m. Selama ini yang menjadi permasalahan dalam proyeksi adalah mengubah bidang lengkung menjadi bidang datar. Proyeksi UTM digunakan selama ini bukan hanya untuk visualisasi peta saja, tetapi juga untuk kepentingan menentukan luas dan menghitung panjang garis pantai.

Hasil penelitian Sulistyo (2004) mengenai luas Daerah Aliran Sungai (DAS) yang ada di Propinsi Bengkulu, menunjukkan bahwa terdapat perbedaan luas antara 7-245 ha yang diakibatkan oleh proses penghitungan dengan menggunakan UTM pada zona 47 dan 48. Begitu juga penelitian

(2)

oleh Basaria dkk. (2018) yang menggunakan proyeksi UTM menunjukan hasil yang sama setelah dihitung luas wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi. Hasil perhitungan tersebut menunjukan bahwa terdapat perbedaan luas hitungan terhadap luas acuan yang dinilai cukup signifikan. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan masalah besar dalam menggunakan proyeksi UTM dan dalam menentukan luas wilayah. Perlu diketahui pemahaman konsep mengenai sistem proyeksi UTM yang bersifat conform untuk mempertahankan bentuk dengan distorsi minimal yang bukan pada jarak dan luas tetapi pada sudutnya.

Proyeksi UTM selama ini masih memiliki kendala dalam membagi zona yang tentu akan mengganggu pada saat dilaksanakan perhitungan terhadap luas. Sistem proyeksi UTM yang selama ini digunakan di Indonesia terbagi menjadi sembilan zona dimulai dari 46 hingga 54. Pada aplikasinya terdapat kelemahan dalam penggunaan zona selama ini dimana distorsi semakin besar akibat menjauh dari meridian tengahnya. Selanjutnya, Ramdhan dan Arifin (2013) dengan aplikasi sistem proyeksi UTM pada zona 50 telah berhasil menghitung proporsi luas laut Indonesia. Ramdhan dan Arifin (2013) mengemukakan bahwa zona 50 dipilih karena berada di wilayah tengah Indonesia, sehingga hasil minimum dari distorsi jarak dapat dihasilkan. Namun, hasilnya menunjukkan sebaliknya, di mana terjadi perbedaan luas wilayah laut sebesar 9,28% berdasarkan data tahun 2011. Hasil informasi yang diperoleh tersebut menunjukkan bahwa penggunaan sistem proyeksi UTM telah membuat sistem zona menjadi tidak efektif apabila diterapkan di wilayah Indonesia yang sangat luas.

Peta untuk navigasi yang menggunakan proyeksi conform memiliki maksud untuk mempertahankan sudutnya. Namun, proyeksi conform memiliki distorsi yang besar terutama pada luasan area dekat dengan kutub. Dalam memilih sistem proyeksi sangat perlu disesuaikan dengan tujuan dan kebutuhan (Tobler, 1962), karakteristik dari sistem proyeksi tersebut (Maling, 1968), bentuk dan ukuran dari suatu region yang menjadi bahan untuk dipetakan (Maling, 1973). Penggunaan aplikasi dari proyeksi tersebut diperlukan untuk proses navigasi dan pemetaan (Nyerges & Jankowski, 1989). Greenland memiliki luas seperdelapan dari region Amerika Selatan, akan tetapi proyeksi Mercator pada peta yang digunakan menunjukkan bahwa Greenland sangat terlihat dalam ukuran besar (Knippers, 2009)

Pengetahuan mengenai luas wilayah Indonesia menjadi sangat penting untuk literasi informasi penataan wilayah dan sebagainya. Akibat dari kesalahan dalam menghitung luas wilayah akan berdampak pada hasil luasan dengan perbandingan terhadap luas di lapangan, hal tersebut berdampak pula pada kerugian rakyat saat membayar pajak tanah (Prihandito, 2002). Tujuan penelitian ini adalah menentukan proyeksi yang tepat untuk menghitung panjang dan luas garis pantai wilayah Indonesia. Penentuan terhadap garis pantai dan luasnya harus memperhatikan sifat dan karakter dari proyeksi yang digunakan agar diperoleh distorsi yang paling minimal. Hasil

(3)

perhitungan luas dan panjang garis pantai terhadap koordinat elipsoid dapat dilakukan dengan cara validasi.

KAJIAN PUSTAKA

Metode the best available coastlines digunakan untuk menentukan jumlah luas seluruh pulau dengan menghitung wi l aya h d ar a t a n ya n g be r b at as an d en ga n negara lain. Sifat matematis dan ketelitian secara kompleks terhadap permukaan bumi dengan pemrosesan model agar kenampakan terlihat muda akan menyajikan bumi pada peta yang berdasarkan bentuk spheroid maka pendekatan proyeksi peta menggunakan beberapa hal sebagai berikut (Snyder, 1987):

• Conform, yaitu bentuk peta yang sesuai dengan permukaan spheroid di lapangan. Jadi untuk pengukuran arah pada permukaan peta akan dibuat se-identik mungkin sesuai dengan pengukuran arah pada permukaan bumi sebenarnya;

• Equidistant, yaitu jarak peta yang apabila dikalikan dengan skala maka akan menjadi identik dengan jarak pada permukaan bumi,

• Equal Area atau Equivalent, yaitu bidang pada peta dengan menghitung skala yang sama dan mendekati keadaan luas wilayah permukaan bumi tersebut.

Perhitungan panjang dan luas garis pantai pada wilayah Indonesia dalam penelitian ini menggunakan data A Global Self-consistent, Hierarchical, and High-resolution Geography Database yang pengembangan dan pengelolaannya dilakukan oleh NOAA Geosciences Laboratory (Wessel & Smith, 2017). Terdapat 3 sumber data dengan resolusi tinggi yang dapat diakses antara lain:

1. Atlas of the Cryosphere (AC). 2. World Vector Shorelines (WVS). 3. CIA World Data Bank II (WDBII).

Tipe data World Vector Shoreline (WVS) digunakan oleh peneliti untuk menganalisis perhitungan beberapa wilayah Indonesia berdasarkan panjang dan luas garis pantai pulau tersebut. Penggunaan data menjadi purwa rupa saat uji coba terhadap perhitungan proyeksi yang sedang dianalisis. Penggunaan data garis pantai dari otoritas berwenang dimaksudkan untuk ketelitian saat proses analisis. Penggunaan hasil olahan dan seragam pada data WVS digunakan untuk semua fiturnya. Pembuatan garis pantai data WVS seluruhnya dibentuk dari poligon tertutup (clean topology) dan dari data overlap yang telah dibersihkan (Soluri & Woodson, 1990). Horisontal datum WGS84 dengan sistem koordinat geografis decimal degree menjadi acuan untuk referensi spasial data WVS. Sementara itu, Mean High Water menjadi acuan untuk datum vertikal (“World Vector Shorelines,” 2016). Dua format data tersedia pada Poligon garis pantai WVS sebagai berikut:

1. Format Native binary file. Penggunaan Generic Mapping Tools (GMT) menjadi format yang disediakan untuk dibaca; dan

(4)

2. Format ESRI shapefile (*.shp). Kemudahan untuk analisa data menggunakan format pada perangkat lunak GIS.

Tersedia 5 resolusi yang berbeda untuk seluruh data set garis pantai WVS antara lain:

1. F = Full resolution, tidak dilakukan dengan penyederhanaan data dan berisi data dengan maksimum resolusi atau original resolusi.

2. H = High resolution, 80% relatif terhadap data full resolusi oleh Douglas-Peucker digunakan untuk mereduksi garis.

3. I = intermediate resolution, 80% relatif terhadap data high resolusi menjadi reduksi garis Douglas-Peucker yang digunakan untuk mereduksi ukuran dan kualitas data.

4. L = low resolution. 80% relatif terhadap data intermediate resolution menjadi reduksi garis Douglas-Peucker yang digunakan untuk mereduksi ukuran dan kualitas data.

5. C = crude resolution. 80% relatif terhadap data low resolution untuk menjadi reduksi garis Douglas-Peucker yang digunakan untuk mereduksi ukuran dan kualitas data.

Tingkat resolusi yang dihasilkan akan menunjukkan keakuratan data input yang digunakan untuk perhitungan terhadap panjang dan luas garis pantai. Poligon garis pantai pada penelitian ini, menggunakan level 1 berupa batas antara lautan dan daratan. Proses perhitungan panjang dan luas garis pantai yang digunakan melalui ArcGIS. Area perhitungan panjang dan luas garis pantai dibagi ke dalam beberapa kategori, yaitu:

1. Pulau Sumatera, Sulawesi, dan Pulau Jawa merupakan objek yang mewakili area yang cakupannya sangat luas;

2. Pulau Bali, Selayar, dan Madura merupakan objek yang mewakili area yang cakupannya tidak terlalu luas;

3. Pulau Penida, Nusa Lembongan, dan Ceningan merupakann objek yang mewakili area yang cakupannya kecil.

Pembagian di atas bertujuan untuk melihat konsistensi pada proyeksi peta dengan menghitung panjang dan luas pada cakupan beberapa area. Cakupan kenampakan area yang sangat luas dapat mempresentasikan objek pada peta yang skalanya kecil. Sementara itu, pada kenampakan area yang tidak terlalu luas seperti pada peta dengan skala menengah, dan area yang sempit seperti kenampakan pada peta skala besar. Proyeksi yang mempunyai distorsi minimal pada Equal Area digunakan untuk menghitung luas dan proyeksi equidistant digunakan untuk menghitung panjang garis pantai yang mana mempunyai distorsi minimal pada jaraknya. Berikut jenis proyeksi yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1.

(5)

Tabel 1. Jenis Proyeksi untuk menentukan panjang dan luas garis pantai wilayah Indonesia.

Map Projection Equal

Area Equidistant EPSG Albers Equal Area

Conic 102028

Behrmann Equal Area

Cylindrical 54017 Bonne 54024 Craster Parabolic 54046 Lambert Cylindrical Equal Area 54034 Eckert II 54014 Eckert IV 54012 Eckert VI 54010 Hammer–Aitoff 54044

South Pole Lambert

Azimuthal Equal Area 102020

Mollweide 54009 Quartic Authalic 54022 Sinusoidal 54008 Azimuthal Equidistant 54032 Equidistant Conic 54027 Equidistant Cylindrical 54002 Plate Carree 54001 Two-Point Equidistant 54031 Winkel I 54018 Winkel Tripel 54042

Validasi perhitungan luas dan panjang pada garis pantai dalam penelitian ini menggunakan garis geodesik di bidang elipsoid. Garis geodesik merupakan garis terpendek di mana menghubungkan dua titik pada permukaan bumi (Karney, 2011; Hilbert & Cohn-vossen, 1991). Gambar 1 berikut menunjukkan ilustrasi dari garis geodesik (s12) dalam koordinat lintang dan bujur pada bidang elipsoid.

(6)

METODE PENELITIAN

Penentuan luas untuk sebuah daerah elipsoid melalui metode perhitungan di setiap fitur poligon pada garis geodesiknya. Sementara itu, perhitungan untuk keliling pulau (panjang garis pantai) dengan metode berupa menjumlahkan seluruh garis geodesik yang membentuk suatu objek tersebut. Selanjutnya untuk daerah pada titik 1 (lintang 1 dan bujur 1) serta titik 2 (lintang 2 dan bujur 2), maka jarak antara garis geodesiknya tersebut dapat dihitung dengan menggunakan suatu metode dari formula Vincenty (1975) sebagai berikut:

...(1)

...(11) ...(12) di mana:

a = sumbu panjang elipsoid referensi f = penggepengan elipsoid referensi b = sumbu panjang elipsoid referensi

U1 = arctan ((1-f)tanϕ1) lintang titik 1 pada auxiliary sphere U2 = arctan ((1-f)tanϕ2) lintang titik 2 pada auxiliary sphere

= pemisahan sudut antar titik

1 = pemisahan sudut antar titik dengan ekuator

1 = pemisahan sudut antar titik tengah garis dengan ekuator

(7)

!Shape!.getArea("GEODESIC","SQUAREKILOMETERS")

!SHAPE!.getLength("GEODESIC","KILOMETERS")

Nilai luas di bidang elipsoid dianggap benar dan digunakan sebagai nilai validasi. Panjang garis di bidang elipsoid (garis geodesik) juga digunakan untuk memvalidasi nilai panjang garis yang dihitung menggunakan beberapa proyeksi. Proses validasi dilakukan menggunakan perangkat lunak ArcGIS. Parameter elipsoid referensi yang digunakan adalah elipsoid WGS84 dengan parameter seperti dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2.

Parameter elipsoid WGS84

Parameter Keterangan

1. Elipsoid referensi WGS84

2. Semi-major axis (a) 6.378.137 m 3. Semi-minor axis (b) 6.356.752,314 m

4. Flattening (f) 298.257223563

Perhitungan luas dan panjang garis pantai di koordinat geodesik dilakukan menggunakan fitur field calculator di ArcGIS. Perhitungan luas pada permukaan elipsoid di ArcGIS menggunakan script sebagai berikut:

Sementara untuk perhitungan jarak pada permukaan elipsoid di ArcGIS menggunakan script sebagai berikut:

HASILDANPEMBAHASAN Perhitungan luas

Tabel 3 menunjukkan hasil residu perhitungan luas menggunakan beberapa sistem proyeksi yang memiliki sifat distorsi minimal pada luasan (Equal Area). Dari tabel 3, terdapat enam jenis proyeksi yang memiliki residu terkecil (ditunjukkan pada tabel berwarna biru), artinya bahwa hasil perhitungan luasnya mendekati dengan luasan di bidang elipsoid. Enam jenis proyeksi tersebut antara lain: Albert Conic, Berhmann, Bonne, Cylindrical Equal Area, South Pole Azimuthal Equal Area, dan Sinusoidal. Proyeksi Albert Conic menjadi proyeksi terbaik dengan nilai residu paling kecil untuk seluruh kategori cakupan area. Proyeksi Albert Conic dapat digunakan untuk area dengan cakupan yang luas dan bahkan pada area yang sangat kecil seperti perhitungan luas di pulau Ceningan. Proyeksi Albert Conic berbentuk kerucut menggunakan dua pararel standar untuk mengurangi sebagian distorsi proyeksi dengan satu paralel standar, proyeksi ini paling cocok untuk area yang memanjang dalam orientasi timur ke barat daripada yang terbentang dari utara ke selatan (ESRI, 2003). Oleh karena itu, proyeksi Albert Conic sangat sesuai untuk karakteristik topografi Indonesia yang memanjang dari timur ke Barat.

(8)

Proyeksi Equal Area lain yang menghasilkan residu kecil adalah proyeksi Berhmann dan Cylindrical Equal Area dengan hasil konsisten pada cakupan area yang luas hingga area kecil. Tabel 3 juga menunjukkan perhitungan luas menggunakan sistem proyeksi Mercator, hasil yang didapatkan residu luasan sangat besar pada semua kategori. Sistem proyeksi Mercator tidak dapat digunakan untuk menghitung luas karena distorsi proyeksi ini sangat besar, residu perhitungan luas mencapai 2.000 km2. Sistem proyeksi Mercator memiliki sifat proyeksi mempertahankan bentuk (conform), sehingga sangat tidak tepat melakukan perhitungan luas pada sistem proyeksi ini. Penggunaan proyeksi yang tepat akan memberikan hasil perhitungan luas area sesuai dengan kondisi real world.

Luas area dengan cakupan 100.000-500.000 km2 memberikan kontribusi kesalahan perhitungan luas dengan proyeksi Albers Conic sebesar 100-400 m2 dibandingkan dengan luas di bidang elipsoidnya, dapat dilihat pada kategori area skala kecil (pulau Sumatera, Sulawesi, dan Jawa). Untuk kategori area skala menengah (luas area dengan cakupan 700-6.000 km2), maka kontribusi kesalahan perhitungan luas sebesar 4-50 m2, sementara kategori area skala besar (5-200 km2) memberikan kontribusi kesalahan perhitungan luas di bawah 3 m2. Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan proyeksi Equal Area memberikan ketelitian perhitungan luas sangat teliti. Untuk area yang sempit (skala besar), efek distorsi pada proyeksi Albert Conic bisa diabaikan. Penggunaan proyeksi Equal Area merupakan cara yang tepat untuk menghitung poligon dengan menghitung jarak terpendek antar dua titik secara akurat (Pedzich & Kuzma, 2012).

Tabel 3.

Residu Perhitungan Luas Menggunakan Beberapa Sistem Proyeksi (Dalam Satuan Km2)

Proyeksi Sumatera Sulawesi Jawa Bali Madura Selayar Penida Nusa

lembongan Ceningan Albers Conic 0.0004 -0.0002 0.00014 0.000001 -0.000042 0.0000035 0.0000033 -0.0000008 0.00000088 Berhmann 0.0004 0.0002 0.00015 0.000011 0.000084 -0.0000035 -0.0000087 0.0000012 -0.00000112 Bonne 0.0115 0.0028 0.00325 0.0004 0.000910 -0.0033645 -0.0000387 0.0000152 -0.00001512 Craster Parabolic -2875.3465 -1138.7063 -825.9283 -34.8815 -29.352171 -4.3342955 -1.2742147 -0.0506788 -0.02114412 Cylindrical Equal Area 0.0004 0.0002 0.00015 0.000010 0.000084 -0.0000035 -0.0000087 0.0000012 -0.00000112 Eckert II -2875.3561 -1138.7065 -825.92947 -34.8817 -29.352350 -4.3326145 -1.2742117 -0.0506808 -0.02114112 Eckert IV -2875.3502 -1138.7064 -825.92927 -34.8816 -29.352204 -4.3333765 -1.2742197 -0.0506788 -0.02114312 Eckert VI -2875.3471 -1138.7063 -825.92846 -34.8816 -29.352177 -4.3341615 -1.2742157 -0.0506788 -0.02114412 Hammer- Aitoff -2875.3467 -1138.7061 -825.92830 -34.8815 -29.352138 -4.3343585 -1.2742137 -0.0506778 -0.02114512 South Pole Azimuth EA 0.0040 -0.0025 -0.00226 -0.0001 -0.000653 0.0000305 0.0000553 -0.0000108 0.00000488 Mollweide -2875.3485 -1138.7064 -825.92884 -34.8816 -29.352189 -4.3337905 -1.2742177 -0.0506788 -0.02114412 Sinusoidal 0.0077 0.0004 0.00208 0.0001 0.000149 -0.0018535 0.0000013 0.0000022 -0.00000312 Quartic Authalic -2875.3476 -1138.7064 -825.92858 -34.8816 -29.352180 -4.3340405 -1.2742157 -0.0506788 -0.02114412

(9)

Mercator -1126.9066 -387.2879

- 2078.68285

-

115.8270 -67.957665 -7.4616565 -4.6534577 -0.1824748 -0.07647512

Dari hasil tabel 3 juga dapat dilihat bahwa tidak semua sistem Proyeksi Equal Area cocok digunakan di Indonesia. Selain karakteristik proyeksi yang digunakan, yaitu distorsi minimal pada luasan, yang perlu diperhatikan adalah lokasi origin (titik nol) pusat proyeksi tersebut. Sebagai contoh proyeksi Lambert Cylindrical Equal Area (LCEA) menggunakan origin bujur nol derajat dan lintang nol derajat. Pada Gambar 2 menunjukkan distorsi permukaan lingkaran pada proyeksi silinder ekivalen pada sistem proyeksi Lambert Cylindrical Equal Area (LCEA). Bentuk lingkaran terlihat semakin pipih distorsinya ketika mengarah ke kutub, jauh dari pusat proyeksinya. Indonesia diuntungkan menggunakan sistem proyeksi cylindrical, karena posisi Indonesia yang terletak di ekuator (lintang nol), di mana distorsi luas masih terlihat minimal.

Pengetahuan mengenai karakteristik proyeksi ini sangat penting guna mendapatkan proyeksi yang tepat sesuai dengan tujuan pembuatan peta dan letak geografis suatu objek. Sistem proyeksi Equal Area ini memiliki karakteristik mempertahankan luasan akan tetapi bentuk dari objeknya terdistorsi, seperti bisa dilihat pada Gambar 3. Sistem proyeksi Equal Area tidak cocok digunakan untuk keperluan navigasi yang membutuhkan distorsi minimal pada sudut.

Gambar 2. Distorsi Sistem Proyeksi Lambert Cylindrical Equal Area.

Perhitungan Panjang Garis Pantai

Tabel 4 menunjukkan hasil residu perhitungan panjang garis pantai menggunakan beberapa sistem proyeksi yang memiliki sifat distorsi minimal pada jarak (equidistant). Dari Tabel 4, proyeksi Plate Caree dengan nilai residu terkecil (ditunjukkan pada tabel berwarna biru), artinya bahwa hasil perhitungan jaraknya mendekati dengan jarak di bidang elipsoid. Akan tetapi, Proyeksi Plate Carree pada area dengan cakupan yang luas masih memberikan kontribusi kesalahan yang besar yaitu sekitar 30 km. Proyeksi Plate Caree paling baik digunakan untuk area yang relatif kecil (skala besar), seperti pulau Ceningan untuk mengurangi efek distorsi. Proyeksi Plate Caree merupakan proyeksi cylindrical, yang mana merubah bumi ke dalam grid dengan ukuran yang sama dan menggunakan ekuator sebagai standard parallel (ESRI, 2003). Meridian

(10)

berjarak pada jarak yang sama dengan paralelnya, dan graticule tampak persegi (Snyder, 1987). Posisi Indonesia sangat diuntungkan karena terletak di ekuator.

Sama halnya dengan sistem proyeksi Equal Area, sistem proyeksi equidistant mempertahankan jarak akan tetapi bentuk dari objeknya terdistorsi, seperti bisa dilihat pada Gambar 4. Sistem proyeksi Equal Area dan equidistant tidak bisa digunakan untuk menampilkan (visualisasi) suatu objek sesuai dengan bentuk aslinya karena sudut objek tersebut mengalami distorsi, tidak dipertahankan.

Tabel 4.

Residu Perhitungan Panjang Garis Pantai Menggunakan Beberapa Sistem Proyeksi (Dalam Satuan Km).

Proyeksi Sumatera Sulawesi Jawa Bali Madura Selayar Penida lembongan Nusa Ceningan

Azimuthal Equidistant -3110.120 -6317.109 -1867.303 -289.796 -166.544753 -229.323161 -41.798319 -9.650954 -7.11647 Equidistant Conic -1469.512 -1713.481 -1254.647 -170.329 -172.803833 -33.4564 -22.041367 -6.821556 -3.15924 Equidistant Cylindrical 1554.201 1728.276 1042.308 135.146 151.684533 26.380476 17.012829 5.435115 2.327214 Plate Carree -29.826 -29.569 -29.491 -4.560 -3.262222 -1.348922 -0.636168 -0.182875 -0.09699 Two-Point Equidistant -865.964 -2466.576 -744.208 -113.648 -90.80454 -84.195798 -16.03885 -5.715081 -4.39646 Winkel I 580.099 650.411 396.310 51.657 55.102566 9.385042 6.524574 1.734922 0.560193 Winkel Tripel 312.563 215.137 247.728 30.011 42.944768 -6.677945 3.428973 1.122067 0.141035

Selain sistem proyeksi yang digunakan, perhitungan luas dan panjang garis pantai sangat bergantung pada ketersediaan data, saat resolusi meningkat maka kesalahan luas akan menurun (Usery dkk., 2003). Akurasi dari proses proyeksi sangat bergantung pada resolusi data yang digunakan dan posisi lintang data (Usery & Seong, 2000). Resolusi penggunaan data sangat berpengaruh terhadap hasil perhitungan luas dan jarak. Semakin bagus kedetilan yang digunakan maka hasil perhitungan luas ataupun panjang garis pantai akan semakin mendekati dengan nilai sebenarnya di lapangan. Proses smoothing (simplifikasi) titik menjadi poligon yang lebih sederhana akan mengurangi titik-titik untuk merepresentasikan sesuai dengan sebenarnya. Sebagai contoh pada Gambar 5, pulau Sardinia memiliki 8816 titik pada resolusi full (Wessel & Smith, 1996). Dengan memilih beberapa toleransi, poligon dikurangi sampai pada titik tertentu. N merupakan jumlah titik poligon. R merepresentasikan persentase titik yang berhubungan dengan poligon original full resolusi (pada Gambar 5 di gambarkan paling kiri).

Semakin kasar resolusi yang digunakan maka hasil perhitungan luas dan panjang garis pantai akan semakin tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya di lapangan (real world). Oleh karena itu, untuk keperluan perhitungan luas wilayah dan panjang garis pantai NKRI dilakukan dengan input data garis pantai terbaik yang tersedia saat ini (the best available coastlines).

(11)

Albert Conic

Behrmann

Lambert Cylindrical Equal Area

(12)

Bonne

South Pole Azimuth EA

Gambar 3. Visualisasi wilayah Indonesia menggunakan beberapa Proyeksi Equal Area

Azimuthal Equidistant

(13)

Plate Carree

Equidistant Cylindrical

Winkel I

Gambar 4. Visualisasi wilayah Indonesia menggunakan beberapa Proyeksi Equidistant.

Gambar 5. Contoh pengurangan poligon pulau Sardinia (Wessel & Smith, 1996).

KESIMPULAN DAN SARAN

Pemilihan sistem proyeksi yang digunakan perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan. Setiap proyeksi memiliki sifat dan karakteristik yang berbeda sehingga untuk menentukan luas dan garis pantai harus menggunakan proyeksi yang memiliki distorsi paling minimal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proyeksi Albers Conic menjadi proyeksi terbaik untuk menghitung luas area, kemudian proyeksi Plate Caree menjadi proyeksi terbaik untuk menghitung panjang garis pantai. Proyeksi Plate Caree paling baik digunakan untuk area yang relatif kecil (skala besar), masih terdapat distorsi besar untuk cakupan area yang luas. Selain itu, untuk keperluan visualisasi

(14)

peta harus menggunakan sistem proyeksi yang mempertahankan bentuk (conform) dalam hal ini diwakili dengan menggunakan sistem proyeksi mercator.

DAFTARPUSTAKA

Amhar, F., Syetiawan, A., Lumban-gaol, Y. A., & Hartanto, P. (2017). Akurasi Perhitungan Luas untuk Perhitungan Dana Desa. Seminar Nasional Geomatika 2017: Inovasi Teknologi Penyediaan Informasi Geospasial untuk Pembangunan Berkelanjutan, 471–476. https://doi.org/10.24895/SNG.2017.2-0.443

Basaria, R., Setiawan, A., & Sediyono, E. (2018). Penentuan luas wilayah kabupaten dan kota di provinsi sulawesi tengah menggunakan metode poligon dengan bantuan google earth. Jurnal Mercumatika: Jurnal Penelitian Matematika dan Pendidikan Matematika, 3(1), 9–22. ESRI. (2003). Understanding Map Projections. New York.

Hilbert, D., & Cohn-vossen, S. (1991). Geometry and the Imagination (2nd ed.). New York: Chelsea Publishing Company.

Karney, C. F. (2011). Geodesics on an ellipsoid of revolution. arXiv preprint arXiv:1102.1215. Knippers, R. A. (2009). Map Projections.

Maling, D. H. (1968). The terminology of map projections. International Yearbook of

Cartography, 8, 11–64. Maling, D. H. (1973). Coordinate systems and map projections. London: George Philip and Son Limited.

Nyerges, T. L., & Jankowski, P. (1989). A Knowledge Base for Map Projection Selection. The American Cartographer, 22(176).

Pedzich, P., & Kuzma, M. (2012). Application of methods for area calculation of geodesic polygons on Polish administrative units. Geodesy and Cartography, 61(2), 105–115.

Prihandito, A. (2002). Penggunaan PC Arc-info untuk Analisis Perbedaan Luas Bidang Peta Bersistem Proyeksi TM-3 (BPN) dan Proyeksi UTM dengan Transformasi Affine. Media Teknik, 3.

Ramdhan, M., & Arifin, T. (2013). Aplikasi Sistem Informasi Geografis dalam Penilaian Proporsi Luas Laut Indonesia. Geomatika, 19(2), 141–146.

Snyder, J. P. (1987). Map Projections-A Working Manual. Washington: United States Government Printing Office.

Soluri, E. A., & Woodson, V. A. (1990). World Vector Shoreline. International Hydrographic Review, 67(1). Sulistyo, B. (2004). Pengaruh Pemilihan Zona Proyeksi UTM (Universal Transverse Merchator) dalam

Perhitungan Luas Daerah Aliran Sungai di Propinsi Bengkulu. Jurnal Penelitian Lembaga Penelitian UNIB, X(2).

Tobler, W. (1962). A classification of map projections. Annals of the Association of American Geographers, 52, 167–175.

Usery, E. L., Finn, M. P., Cox, J. D., Thomas, Beard, Ruhl, S., & Bearden, M. (2003). Projecting Global Datasets to Achieve Equal Areas. Cartography and Geographic Information Science, 30(1), 69–79.

Usery, E. L., & Seong, J.-C. (2000). A Comparison of Equal-Area Map Projections for Regional and Global Raster Data.

Vincenty, T. (1975). Direct and Inverse Solutions of Geodesics on the Ellipsoid with Application of Nested Equations. Survey Review, 176.

Wessel, P., & Smith, W. H. F. (1996). A global, self-consistent hierarchical, high-resolution shoreline database. Journal of Geophysical Research, 101(B4), 8741–8743.

Wessel, P., & Smith, W. H. F. (2017). A Global Self-consistent, Hierarchical, High-resolution Geography Database.

Gambar

Tabel 1. Jenis Proyeksi untuk menentukan panjang dan luas garis pantai wilayah Indonesia
Tabel  3  juga  menunjukkan  perhitungan  luas  menggunakan  sistem  proyeksi  Mercator,  hasil  yang  didapatkan residu luasan sangat besar pada semua kategori
Gambar 2. Distorsi Sistem Proyeksi Lambert Cylindrical Equal Area.
Gambar 3. Visualisasi wilayah Indonesia menggunakan beberapa Proyeksi Equal Area
+2

Referensi

Dokumen terkait