• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-l1 Th

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-l1 Th"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PENGENDALIAN BRUCELLOSIS DAN ANALISA VAKSIN BRUCELLA

ABORTUS YANG DIGUNAKAN DALAM PENGEMBANGAN BIBIT SAM

POTONG DI SULAWESI SELATAN DAN D.I. YOGYAKARTA

A. SUDIBYO, M. DAROMAT, SUSAN M. NOOR, SJAMSUL BAHRI,dan E.D.SETIAWAN

SUDIBYO, A., M. DARODJAT, SUSAN M. NOOR, SJAMSUL BAHRI,dan E.D. SETIAWAN. 1999/2000. Pengendalian brucellosis dan analisa vaksin Brucella abortus yang digunakan dalam pengembangart' bibit sapi potong di Sulawesi Selatan dan D.I.

Yogyakarta.Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-II :371-379.

Brucellosis pada sapi di Indonesia telah menyebar luas sampai hampir di seluruh propinsi. Penyakit ini disebabkan karena infeksi kumanBrucella abortus,yang mengakibatkan keguguran, lahir dini, mati dini, lahir lemah, produksi turun, sterilitas dan infertilitas, sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi berkisar 5 - 10 milyard rupiah per tahun. InfeksiB. abortuspada sapi bersifat intra seluler sehingga pengobatan dengan berbagai antibiotika tidak efektif. Sehingga untuk perlindungan terhadap infeksi diperlukan tanggap kebal seluler yang dapat dihasilkan oleh vaksin aktifB. abortus S19. Dimana aspek respon kebal seluler vaksinB. abortusini serta aplikasinya belum dianalisis di Indonesia. Penelitian ini akan mempelajari aspek respon kebal

seluler beserta teknik deteksinya serta efektifitas dari teknik aplikasi vaksin. Untuk itu digunakan beberapa ekor sapi yang divaksinasi dengan B. abortus S19 dengan teknik aplikasi subkutan dan oral yang kemudian dilakukan analisis respon selulemya. Dan digunakan beberapa sapi dilapangan guna mengetahui efektifitas dari aplikasi vaksin tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa vaksinasi dengan vaksin B. abortus S19 secara oral maupun subkutan ternyata mampu merangsang tanggap kebal humoral (antibodi) yang terdeteksi dengan uji serologis da mampu merangsang tanggap kebal seluler yang dapat dideteksi dengan teknik uji intra dermal (hypersensitivitas) dan uji proliferasi limfosit. VaksinB. abortusS19 buatan sendiri (Balitvet) temyata lebih baik dan efektif dalam merangsang terbentuknya antibodi pada sapi dibandingkan vaksin komersialB. abortus S19. Vaksinasi secara oral dengan cara dicekokkan dengan vaksinB. abortusS19 temyata memberkan hasil yang cukup baik dalam merangsan terbentuknya antibodi pada sapi. Untuk meningkatkan tingkat keberhasilan dalam melakukan program pemberantasan brucellosis, terutama didaerah terpencil yang sulit dijangkau petugas vaksinator maka disarankan melakukan vaksinasi denganB. abortusS19 secara per oral dengan dicekokkan yang relatif sangat mudah dan dapat dilakukan sendiri oleh petemak.

Kata kunci: VaksinB. abortusS19, sapi potong

Key words:B.abortusS19 vaccine, beefcattle

Balai Penelitian Yeteriner

Man R. E. Martadinata 30, P. O. Box 151, Bogor 16114, Indonesia

ABSTRCK

ABSTRACT

SUMBYo, A., M. DARODJAT, SUSAN M. NOOK, SJAMSUL BAHRI, and E.D. SETIAWAN . 1999/2000. Eradication programme of brucellosis and analysis of B . abortus vaccine for the development of beef cattle in South Sulawesi and D.I. Yogyakarta. Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-II :371-379.

Bovine brucellosis in Indonesian has been spread widely in the entire province. The disease is caused byBrucella abortus

and characterized by abortion, premature birth, still birth, weakness, sterility and infertility in the infected cattle which leading to economic loss is about 5 to 10 billion rupiah every year. Invasion ofbacteria occurred through intra cellular, therefore, treatment with antibiotics is unlikely not effective. Prevention ofbrucellosis can be achieved by enchancing the cellular immunity ofcattle through vaccination using RabortusS19. In Indonesia, howeever, the response of cellular immunity post vaccination and the effectiveness ofvaccine application have not been analyzed. So, this study investigated the aspect og cellular immunity in beef cattle usingRabortusS19 through subcutaneous and oral routes. The cellular immune response after vaccination was detected

by hypersensitivity test and lymphocytes proliferation assay. Result showed that application of vaccine either oral or subcutaeous had the same capability to provoke cellular immune responses in vaccinated cattle.Rabortusvaccine produced by Balitvet was more effective to stimulate antibody response than the commercial B.abortusS19 vaccine. In orderto obtain the optimal result of vaccination, maintenance of post-harvested vaccine is necessay to be undertaken. The eradication programe of brucellosis in Indonesia can be achieved rapidly by applying oral vaccination in the condition of emergency, such as rapid transmitted

(2)

A. SUDIBYOet al.: Pengendalian Brucellosis dan Analisa VaksinBrucella abortus PENDAHULUAN

Sasaran pokok pembangunan peternakan adalah memperbaiki gizi dan kesejahteraan masyarakat dengan cara memenuhi kebutuhan konsumsi pangan asal ternak yang berupa daging, telur dan sucu. Langkah yang telah dilakukan untuk mencapai sasaran tersebut terutama pada pengembangan sapi potong adalah: (1) Peningkatan mutu genetik, (2) peningkatan populasi, (3) penyebaran bibit ternak ke daerah transmigrasi, (4) pelayanan kesehatan, (5) pengawasan dan pemberantasan beberapa penyakit . Perkembangan sapi potong di Indonesia cukup pesat yang terlihat dari peningkatan populasi selama lima tahun yaitu pada tahun 1988 sebanyak 9.776.000 menjadi 10.887.000 ekor pada tahun 1992 (DITJENNAK, 1992). Sehingga sapi potong dapat merupakan komoditi andalan dalam mencapai sasaran pembangunan. Namun demikian usaha yang telah dilakukan pemerintah dalam peningkatan populasi sapi potong tersebut dapat mengalami hambatan apabila keberadaan penyakit reproduksi yang secara langsung dapat menyebabkan penurunan populasi serta kualitas ternak tidak segera ditanggulangi secara terpadu danterencana.

Brucellosis merupakan salah satu penyakit strategis yang merupakan ancaman bagi usaha petemakan sapi Bali di Indonesia. Karena brucellosis secara langsung mengakibatkan terjadinya keguguran diatas 90% pada kelompok sapi yang peka (BLOOD dan HENDERSON, 1979), infertilitas, sterilitas, lahir cacat, lahir lemah dan kematian dini pedet (HUBBERT et. al., 1970). Penularan brucellosis dapat melalui makanan atau saluran pencernaan, selaput lendir mata (PLOMET dan PLOMET , 1988), melalui kulit yang luka, ambing dan inseminasi buatan (MANTHEI el. al., 1950), dan melalui plasenta (BLOOD dan HENDERSON, 1979). Penyakit ini telah menyebar di 23 propinsi di Indonesia (DITJENNAK, 1991), dan menurut informasi terakhir brucellosis telah menyebar keseluruh propinsi kecuali Bali. Sehingga brucellosis telah menyebabkan kerugian ekonomi sebanyak 5 - 10 milyard rupiah per tahun. Sulawesi Selatan dan Nuca Tenggara Timur mempunyai peranan penting dalam proses penyebaran brucellosis. Karena kedua daerah tersebut merupakan kantong brucellosis dan sekaligus merupakan daerah sumber bibit ternak potong (SUDIBYO et. al., 1991). Penyebaran brucellosis tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor seperti lalu lintas ternak serta pola penyebaran penyakit yang tidak terkontrol, tatalaksana usaha peternakan, kualitas vaksin dan tatalaksanan vaksinasi yang kurang baik.

Infeksi brucellosis bersifat fakultatif intraseluler, sehingga pengobatan penyakit dengan berbagai antibiotika tidak efektif. Salah satu jalan untuk pengendalian clan pemberantasan penyakit dilakukan dengan pengetatan sistem karantina, isolasi atau potong bersyarat sapi reaktor dan vaksinasi sapi sehat disekitanya.

Untuk perlindungan terhadap infeksi serta eliminasi B. abort= dibutuhkan tanggap kebal seluler (CHEERS dan PAGRAM, 1979) yang merupakan respon dari vaksinasi. Kemudian dinyatakan bahwa dalam tanggap kebal seluler ini maka sel efektor dari limposit T mempunyai peranan dalam memberikan perlindungan . Hal ini terlihat dari hewan model mencit membuktikan bahwa respon humoral'dan .seluler berperan dalam perlindungan terhadap infeksi B. abortus. Adanya perubahan dari_ limfosit darah perifer setelah kontak dengan kuman Brucella, merupakan salah satu cara untuk mengukur respon dari tanggap kebal seluler. Uji stimulasi limposit ini dipakai semenjak uji serologis mempunyai batasan-batasan diagnostik, sehingga tidak berhasil secara sempurna dalam menduga kekebalannya. Berbagai istilah digunakan dalam uji tanggap kebal seluler seperti blastogenesis, tranformasi limfosit, stimulasi limfosit dan uji hipersensitifitas . Teknik yang banyak digunakan untuk mendeteksi adanya respon seluler yaitu dengan uji intra dermal atau uji hipersensitifitas dan uji proliferasi limfosit. Sehingga dalam penelitian ini perlu mempelajari sampai seberapa jauh sensitifitas dari teknik tersebut.

Dalam pemberantasan brucellosis dikenal secara luas ada dua jenis vaksin untuk sapi yaitu vaksin aktif B. abortus S19 clan vaksin inaktifB. abortus S45/20. Namun demikian vaksin aktif B. abortus S19 merupakan vaksin yang masih disukai dan dipakai untuk program pemberantasan brucellosis dibanyak negara. Karena vaksin tersebut mempunyai kelebihan yaitu lebih protektifdan ekonomis.

Di Indonesia program pemberantasan brucellosis dengan melakukan vaksinsi dengan vaksin aktif B. abortus S19 telah dilakukan dibeberapa daerah seperti Sulawesi Selatan dan Nuca Tenggara Timur. Namun demikian belum dilakukan analisis terhadap respon kebal seluler serta analisis .terhadap teknik aplikasi vaksinasi. Untuk itu tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah untuk melakukan analisis terhadap respon kebal seluler serta efektivitas vaksinasi secara oral.

TINJAUAN PUSTAKA

Brucellosis merupakan salah satu penyakit strategis yang merupakan ancaman bagi usaha peternakan sapi bali di Indonesia. Karena brucellosis secara langsung mengakibatkan terjadinya keguguran di atas 90% pada kelompok sapi yang peka (BLOOD dan HENDERSON, 1979), infertilitas, sterilitas, lahir cacat, lahir lemah clan kematian dini pedet (HUBBERT et. al., 1970). Pada sapi brucellosis disebabkan oleh infeksi kuman Brucella

(3)

a. Pembustan vaksin Brucella abortus S19

abortus. Berdasarkan uji biokimia B. abortus dikelompokkan menjadi 7 biotipe yaitu biotipe 1 - 6 dan biotipe 9 (ALTON et. al., 1988). Biotipe B. abortus yang menyerang sapi di Indonesia adalah biotipe 1 (SETIAWAN, 1992). Kemudian SUDIBYO (1995) melaporkan bahwa B. abortus biotipe 1 (76,3%), biotipe 2 (13,2%) dan biotipe 3 (9,2%) telah menyerang sapi perah di DKI Jakarta. Dari hasil karakterisasi protein sel B. abortus dengan metode elektroforesis memperlihatkan bahwa antara B. abortus S19, B. abortus isolat Iapang biotipe 1, biotipe 2 dan biotipe 3 tidak menunjukkan adanya pebedaan yang berarti (SUDIBYO, 1996). Sehingga dapat diharapkan penggunaan vaksin B. abortus S19 dapat memberikan proteksi secara baik silang terhadap infeksi isolat Iapang.

Penularan brucellosis dapat melalui makanan atau saluran penyemaan, selaput lendir mata (PLOMET dan PLOMET , 1988), melalui kulit yang luka, ambing dan inseminasi buatan (MANTHEi et. al, 1950), dan melalui plasenta (BLOOD dan HENDERSON, 1979). Penyakit ini telah menyebar di 23 propinsi di Indonesia (DITJENNAK, 1991), dan menurut informasi terakhir brucellosis telah menyebar di seluruh propinsi kecuali Bali. Di Indonesia brucellosis telah menyebabkan kerugian ekonomi sebanyak 5 - 10 milyard rupiah per tahun. Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur mempunyai peranan penting dalam proses penyebaran brucellosis. Karena kedua daerah tersebut merupakan kantong brucellosis dan sekaligus merupakan daerah sumber bibit ternak potong (SUDIBYO et. al., 1991). Penyebaran brucellosis tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor seperti lalu lintas ternak serta pola penyebaran penyakit yang tidak terkontrol, tatalaksana usaha peternakan, kualitas vaksin dan tatalaksana vaksinasi yang kurang baik.

Brucellosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi kuman B. abortus, kuman ini bersifat fakultatif intraseluler sehingga mampu tumbuh dan berkembang biak di dalam sel fagosit. Akibatnya pengobatan penyakit dengan berbagai antibiotik tidak dapat efektif Sehingga untuk perlindungan terhadap infeksi brucellosis terutama dibutuhkan tanggap kebal seluler. Respon kebal terhadap vaksin Rabortus S19 dari tubuh sapi terjadi dalam dua bentuk yaitu respon kebal humoral (antibodi) dan seluler. Respon antibodi terjadi karena sel kuman B. abortus S19 yang masuk dalam tubuh hewan akan dimakan oleh makrofage. Kemudian makrofage dengan bantuan sel Helper akan menyajikan antigen kepada limfosit B (sel B) untuk dikenalinya. Selanjutnya sel B akan memisahkan diri menjadi sel plasma dan sel B memori. Sel plasma akan memproduksi antibodi yang spesifik terhadap antigen B. abortus yang disajikan oleh makrofage. Dimana antibodi tersebut dapat dideteksi dengan uji serologis Brucellosis. Sedangkan sel B memori akan segera mengalami proliferasi apabila bersinggungan dengan antigen yang pernah dikenal (TIZARD, 1982). Dengan mekanisme yang hampir sama terjadi pula proliferasi sel limfosit T (sel T), yang akan membelah menjadi sel T efektor clan sel T memori. Disini sel efektor mempunyai peranan yang cukup penting dengan menghasilkan limfokin yang mempunyai peranan antara lain mencegah migrasi makrofag, menstimulasi aktifitas sitotoksik dari makrofag, membunuh sel target dan, menghambat sel target mengalami proliferasi. Sedangkan sel T memori mempunyai peranan memperbanyak diri apabila bersentuhan dengan antigen yang pernah dikenal (TIZARD, 1982). Respon kebal seluler tersebut dapat dideteksi dengan berbagai cara antara lain dengan uji hipersensitivitas dan uji proliferasi limfosit. ,. .

Ada dua jenis vaksin brucellosis pada sapi yang telah dikenal secara luas yaitu vaksin aktif B. abortus S19 dan vaksin inaktif B. abortus S45/20. Namun demikian vaksin aktif B. abortus S19 merupakan vaksin yang masih disukai dan dipakai untuk program pemberantasan brucellosis dibanyak negara. Karena vaksin tersebut mempunyai kelebihan yaitu lebih protektif dan ekonomis. Beberapa kelemahan vaksin B. abortus S19 adalah dapat mengakibatkan abortus pada sapi sedang bunting, terjadinya residu antibodi persisten dan tidak memberikan proteksi silang terhadap infeksi Brucella spesies lain seperti B. suis dan B. melitensis. Kasus keguguran yang diakibatkan oleh vaksin B. abortus S19 karena adanya beberapa sel kuman S19 yang mengalami mutasi menjadi virulen karena resisten terhadap eritritol (gula alkohol) yang dihasilkan oleh endometrium uterus sapi bunting. Untuk menghindari kasus keguguran dan residu antibodi yang persisten tersebut maka digunakan vaksin B. abortus dosis encer (l :20 atau 1 :40), dan untuk sapi bunting bahkan diencerkan sampai 1 :400. Menurut ALTON (l978), vaksin B. abortus S19 dosis encer (l:20) akan mengurangi respon serologis yang persisten tetapi tidak mempengaruhi terhadap tingkat imunitasnya. Kemudian dinyatakan bahwa vaksin B. abortus S19 baru akan kehilangan imunitasnya apabila diencerkan sampai 1000 kali.

MATERI DAN METODE 1. Studi respon kebal seluler terhadap vaksin Brucella abortus S19.

Dalam pembuatan vaksin diawali dari seleksi koloni murni bibit vaksin B. abortus S19 yang telah dinaman pada media trypticase soy agar (TSA) dalam cawan petri dengan inkubasi pada suhu 37' C selama 72 jam. Koloni

(4)

A. SUDIBYOet al.: Pengendalian Brucellosis dan Analisa Vaksin Brucella abortus

tunggal B. abortus S19 ditransfer kedalam TSA slope, kemudian diinkubasi seperti sebelumnya. Kemudian;, dilakukan perbanyakan di dalam TSA dalam botol Roux. Setelah diinkubasi pada suhu 37°C selama 72 jam, kuma%W dipanen dengan cara dibilas dengan NaCl fisiologis. Kuman disuspensikan dengan larutan pengawet (terdiri dari enzymatic digest casein 2,5 gr, sucrose 5 gr, sodium glutamate 1 gr, distiled water 100 ml, yang disterilkan dengan filtrasi). Kemudian dilakukan pengecekan terhadap kemungkinan adanya pencemaran kuman lain. Setelah diyakini suspensi kuman dalam keadaan mumi lalu ditetapkan konsentrasinya sampai kandungan kuman sebanyak 4 - 12 x 10 ° colony forming unit (CFU) per mililiter (ml) pel,rut (dosis standard). Kemasan vaksin dibuat dalam bentuk kering beku dimana setiap botol berisi 10 dosis standard.

b. Uji. respon kebal seluler vaksin B.abortus S19pada sapi

Pada kegiatan ini digunakan 12 ekor sapi potong, dibagi menjadi 3 kelompok. Kelompok 1, div,ksinasi dengan B. abortus S19 (Balitvet) melalui oral dengan dosis 2 x standard. Kelompok 2, div,ksinasi dengan B. abortus S19 (Balitvet) dengan dosis standard melalui subkutan dan kelompok 3 tid,k divaksin digunakan sebagai kontrol.

Respon kebal humoral (antibodi), terhadap vaksin B. abortus S19 dimonitor setiap dua minggu dengan cara mengambil sampel darah dari semua sapi . Kemudian serumnya diperiksa secara serologis dengan Rose Bengal Plate Test (RBPT) d,n complement fixation test (CFT) yang dikerjakan mengikuti prosedur (ALTON 1988).

Respon kebal seluler terhadap vaksin B. abortus S19 dimonitor setiap bulan sekali dengan menggunakan teknik uji hipersensitifitas tipe lambat yang dikenal dengan nama intra dermal test (IDT) dan uji proliferasi limfosit (UPL).

Untuk uji Intradermal yang dikerjakan menurut prosedur ALTONel. al. (1988) digunakan brucelin berupa suspensi kuman B. abortus S19 yang dimatikan dengan pemanasan (70' C, 90 menit) dengan dosis 0,1ml (l08

CFU/ml). Brucelin tersebut disuntikkan di daerah samping dari leher. Hasil reaksi ditandai dengan terbentuknya pembengkakan pada bekas suntikan yang diukur 72 jam setelah suntikan. Reaksi dikatagorikan positif apabila pembengkakannya mencapai setebal du, kalinya kontrol sapi negatif.

Untuk uji proliferasi limfosit dikerjakan mengikuti prosedur TVVENTYMAN dan LUSCOMBE, (1987) sebagai berikut. Untuk mengkoleksi sel limfosit maka dilakukan: pengambilan sampel darah dari vena jugularis dengan venoject heparin 10 ml sebanyak 2 t,bung. Setelah tabung darah di sentrifuse dengan kecepatan 2000 rpm, 20 menit, kemudian lapisan buffy coatdiambil dan dimasukkan dalam tabung yang telah berisi 10 ml PBS (phospate-buffered saline). Kemudian disuspensikan dalam PBS, selanjutnya ditambah 10 ml hystophaque, campuran tersebut disentifuse dengan kecepatan 2000 rpm, 40 menit. Kemudian lymposit yang berupa lapisan putih ditengah-tengah antara hystophaque dan PBS diambil dan dimasukkan dalam media Roswell Park Memorial Institute (RPMI) + 20% fetal bovine serum dengan konsentrasi sel limfosit hidup 5 x 106 sel/ml. Selanjutnya diisikail''ke lubang plate sebanyak 100 gm/lubang, terus ditambah larutan antigenB. abortusdalam media RPMI sebanyak 100 1tl perlubang plate. Setelah itu diinkubasi pada suhu 37° C dengan 5% C02 selama 4 h,ri. Untuk mengetahui derajad proliferasi lympositnya maka kedalam kultur sel ditambahkan 100 l.tl per lubang dengan larutan MTT (Tetra zolium) dan diinkubasi selama 3 jam. Setelah ditambah stoping reagen (ethanol), reaksinya dibaca dengan mesin pembaca. Setiap pengujian tidak lupa disertakan kontrol positif dan kontrol negatif. Adapun penafsiran hasil reaksinya adalah sebagai berikut: dikatagorikan bereaksi positif apabila optical density (OD) nya mencapai du, kalinya kontrol negatif.

2. Studi etikasi aplikasi vaksin B. abortus S19

Pada penelitian ini dikumpulkan data-data sekunder atau primer kejadian penyakit dari daerah yang diteliti. Kemudian dilakukan vaksinasi masal terhadap sapi potong pada daerah terserang brucellosis. Sapi pada daerah terserang atau tertular brucellosis tersebut dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan. Kelompok 1, sapi divaksinasi dengan vaksin B. abortus S19 (Balitvet) dosis standard melalui subkutan. Kelompok 2, sapi divaksinasi dengan vaksinB. abortusS19 (Balitvet) dengan 2 x dosis standard melalui oral. Kelompok 3, sapi divaksin dengan vaksin komersial B. abortus S19 (Pusvetma) dengan dosis standard melalui subkutan. Kelompok 4, sapi tidak divaksinasi digunakan sebagai kontrol.

Terhadap keempat kelompok sapi perlakuan tersebut dilakukan pengamatan terhadap respon kebal humoral (antibodi) yang dilakukan setiap 3 bulan sekali. Untuk itu setiap tiga bulan dilakukan pengambilan darah sapi-sapi dari ke empat kelompok tersebut. Kemudian sampel serumnya dilakukan pengujian dengan Rose Bengal Plate Test (RBPT) dan Complement Fixation Test (CFT).

(5)

HASIL DAN PEMBAHASAN 1 . Studi respon kebal seluler pada sapi yang divaksinasi dengan B. abortus S19

Pada penelitian ini sudah berhasil dilakukan vaksinasi pada sapi laboratorium Balitvet dengan B. abortus S19 buatan sendiri (Balitvet) dengan aplikasi melalui oral (4 ekor), subkutan (4 Ekor), dan sisanya (4 Ekor) tidak divaksinasi dan digunakan sebagai kontrol (Tabel 1). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada sapi yang divaksinasi B. abortus S19 lewat oral maupun subkutan masih bereaksi positif serologis (RBPT) maupun seluler (IDT atau UPL) sampai 3 bulan post vaksinasi (Tabel 5) . Hasil yang menyimpang dalam penelitian ini terlihat bahwa sapi kontrol negatif brucellosis (negatif RBPT atau CFT), semuanya beraksi positif respon kebal seluler (UPL), padahal pada IDT beraksi negatif. Hasil ini menandakan bahwa uji proliferasi limfosit yang dikerjakan disini memberikan reaksi positif palsu. Hal ini diduga antigen B. abortus yang berupa whole cell kurang bereaksi spesifik terhadap sapi vaksinasi B. abortus S19. Menurut WORRELdanSPUTTER(l992), antigen yang berupa outer membran protein dari kuman B. abortus dapat memberikan reaksi'yang spesifik dan sensitif pada uji prolifikasi limfosit dari sapi vaksinasi B. abortus S19. Sedangkan antigen whole cell B. abortus banyak mengandung lipo poli sakarida (LPS) sehingga mudah terjadi reaksi silang dengan penyakit lainnya. Untuk itu pada penelitian waktu mendatang perlu dilakukan analisis terhadap spesifitas dan sensitifitas dari teknik uji tersebut menggunakan antigen yang berupa protein dinding luar B. abortus. Dari penelitian ini dapat dinyatakan bahwa vaksinasi B. abortus S19 secara oral dapat menstimulasi baik respon kebal humoral maupun seluler walaupun lebih rendah dibanding lewat sub kutan. Juga dapat dinyatakan bahwa uji respon kebal seluler dengan intra dermal test lebih spesifik dibanding uji proliferasi limfosit.

1. Studi efektivitas aplikasi vaksin B. abortus S19 dilapangan

Dari hasil kunjungan ke D.I. Yogyakarta telah berhasil diambil sampel darah sapi potong dari 4 kabupaten Dati 11 yaitu dari Kabupaten Bantul sebanyak 100 sampel, Sleman sebanyak 100 sampel, Kulon Progo sebanyak

100 sampel dan Gunung Kidul sebanyak 100 sampel.

Hasil pengujian serologis brucellosis dengan Rose Bengal Plate Test terhadap sampel serum tersebut menunjukkan reaksi negatif brucellosis . Dari hasil ini menunjukkan bahwa di D.I. Yogyakarta masih bebas dari brucellosis. Seandainya ada mungkin prevalensinya sangat rendah. Sehingga pada penelitian kali ini tidak dilakukan langkah atau program vaksinasi maupun potong paksa. Sistem betemak sapi potong yang cukup intensif di lokasi penelitian sangat mendukung dari aspek kesehatan terutarna brucellosis. Karena sapi dikandangkan dan dirawat dengan baik sehingga resiko kontak antara kelompok sapi kecil sekali dan resiko penularan penyakit juga dapat ditekan.

Sedangkan kejadian brucellosis di Sulawesi Selatan sudah sejak lama diketahui. Berdasarkan data sekunder dari Dinas Peternakan Dati I Sulawesi Selatan yang dilaporkan oleh HAMID dan RAHIM(1993) terlihat bahwa perkembangan brucellosis di Sulawesi Selatan diketahui paling tidak mulai tahun 1976 hanya terjadi pada satu kabupaten (Pare-pare). Selanjutnya penyakit ini berkembang dan meluas sehingga pada tahun 1988 diketahui telah menyebar ke 22 kabupaten dari 24 kabupaten yang ada.

Tingkat Prevalensi brucellosis di Sulawesi Selatan relatif cukup tinggi. Di Kabupaten Sidrap prevalensi brucellosis pada tahun 1986-1988 berkisar antara 1,4% - 17,4%, kabupaten Wajo berkisar antara 6,6% - 13,3%. Sedangkan untuk tahun berikutnya (1989 - 1990) prevalensinya masih tinggi juga (MAKKA, 1990). Selain di dua kabupaten tersebut brucellosis juga menyerang sapi potong di kabupaten lainnya (Tabel 2). Kejadian brucellosis dengan prevalensi cukup tinggi dan tersebar secara luas di Sulawesi Selatan yang merupakan sumber bibit sapi potong ini sangat wajar. Hal ini disebabkan karena pola pemeliharaan sapi secara dilepas. Sapi dibiarkan merumput di ladang penggembalaan secara bersama-sama dalam . waktu yang cukup lama. Sehingga sangat memungkinkan penyakit menular dengan cepat akibat makanjumput yang tercemar cairan abortusan dari sapi reaktor positif brucellosis. Selain itu, meruaskan penyakit juga didukung oleh tingginya lalu lintas temak antar daerah yang sulit dikontrol.

Atas dasar laporan kejadian brucellosis di Sulawesi Selatan tersebut maka kegiatan penelitian ini dilakukan dengan program vaksinasi dengan B. abortus S19 terhadap sapi potong untuk diteliti respon kebalnya dengan menggunakan teknik aplikasi vaksin secara oral dan-subkutan. "Dari °hasil penelitian menunjukkan bahwa telah berhasil divaksinasi sebanyak 173 ekor sapi dari berbagai ras (PO dan Bali). Dari 173 ekor yang divaksin tersebut terdiri dari 3 kelompok yaitu kelompok 1, sebanyak 67 ekor telah divaksinasi dengan B. abortus S19 buatan sendiri (Balitvet) lewat subkutan dengan dosis standard, kelompok 2, sebanyak 50 ekor telah berhasil divaksinasi dengan B.

(6)

abortus S19 buatan sendiri lewat oral dengan dosis dua kali standard dan kelompok 3, sebanyak 56 ekor telah berhasil divaksinasi dengan vaksin komersial B. abortus S19 buatan Pusvetma lewat subkutan dengan dosis standard sedangkan kelompok 4, sebanyak 53 ekor tidak divaksinasi dan digunakan untuk kontrol (Tabel 3).

Dari hasil penelitian terlihat bahwa semua sapi pada keempat kelompok memberikan reaksi negatif serologis brucellosis pada saat sebelum divaksinasi . Sedangkan 3 bulan setelah vaksinasi terlihat bahwa kelompok 1, dari 43 ekor yang divaksinasi didapatkan 28 (65,1%) ekor positif RBPT atau CFT; Kelompok 2, dari 36 ekor yang divaksinasi didapatkan 11 (30,6%) ekor positif RBPT atau CFT; kelompok 3, dari 4 9 ekor yang divaksinasi, didapatkan sebanyak 11 (22,5%) ekor positif RBPT atau CFT, sedangkan kelompok 4 (kontrol) tidak ada yang positif RBPT (0%) (Tabel 4). Dari data tersebut terlihat bahwa secara serologis vaksinasi lewat subkutan dengan B. abortus S19 produksi sendiri (Balitvet) memberikan hasil (65,1% positif RBPT atau CFT) lebih baik dibanding vaksin, komersial buatan Pusvetma yang hanya memberikan 22,5% positif RBPT atau CFT. Hal ini diduga disebabkan adanya perbedaan dalam proses penanganan vaksin selama pasca produksi. Vaksin Balitvet, setelah diproduksi disimpan pada suhu dingin (4° C) dan tidak lebih dari satu bulan langsung dibawa dan diaplikasikan dilapangan. Sedangkan vaksin Pusvetma mengalami proses waktu yang panjang sampai akhirnya diaplikasikan dilapangan, sehingga diduga vaksin sudah turun kualitasnya . Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian terdahulu memperlihatkan bahwa vaksin B. abortus buatan sendiri (Balitvet) tahun ini memberikan hasil yang lebih baik (65,1% positif RBPT atau CFT) dibanding tahun 1997 dengan vaksin buatan sendiri (Balitvet) yang hanya bereaksi positif R13PT sebanyak 6,7%(SUDIBYO et. al., 1997). Hasil penelitian dengan vaksin B. abortus S19 produksi sendiri (Balitvet) yang berbeda antara tahun 1999 dan tahun 1997 sangat mungkin disebabkan oleh perbedaan bahan pelarut vaksin. Karena pada vaksin produksi tahun 1999 digunakan bahan pengawet enzym digest casein, sedangkan vaksin yang dibuat tahun 1997 tidak menggunakan bahan tersebut. Dari data hasil penelitian ini juga memperlihatkan bahwa vaksinasi secara oral dengan dosis dua kali standard temyata mampu menstimulasi respon antibodi pada 30% sapi. Hasil ini menunjukkan bahwa vaksinasi secara oral dapat dipakai terutama pada daerah yang terserang berat dengan penularan penyakit secara cepat maupun pada daerah yang terpencil .

Tabel 1. Hasil Aplikasi vaksinasi B. abortus S19 (Balitvet) pada sapi potong di Laboratorium

A. SuDiBYoet al.: Pengendalian Brucellosis dan Analisa Vaksin Brucella abortus

Group N Jenis Vaksin Produksi Aplikasi Dosis 1 4 B. abortus S19 Balitvet Subkutan Standard 11 4 B. abortus S19 Balitvet Oral 2 x standard

(7)

-*) Sumber data dari HAMIDdan TAHIM, 1993 (Dinas Petemakan Dati I Sulawesi Selatan)

Tabel 2. Prevalensi (%) brucellosis pada sapi potong di Sulawesi Selatan

Tabel 3. Hasil Aplikasi vaksinasi B. abortus S19 (Balitvet) pada sapi potong di Lapangan

Keterangan: Dosis standard adalah kandungan kuman sebanyak 4 - 12 x 10'° CFU per dosis.

Kabupaten 86/87 87/88 88/89 89/90 90/91 91/92 92/93 Banteng 11 - 1,66 1,63 6,66 0 2,25 Barru 4,14 - 1,95 2,36 0,65 2,83 0,21 Bone 2,14 - 1,01 0,28 1,43 1,86 1,17 Bulukumba - - 0,25 0,21 0,76 6,20 0,21 Enrekang 10 - 7,32 - - - -Gowa - - 1,34 2,57 0,66 0,03 0,20 Jeseponto - - 1,02 0,58 0 0 0,46 Luwu 4,48 - 0,81 1,27 0,84 4,55 0,50 Majene - - 1,14 1,65 - 2,13 0 0,00 Mamuju - - 0,22 1,35 0,06 0 0,00 Maros - - 4,46 2,97 1,21 1,68 2,18 Tangkep - - 5,65 1,77 0,48 1,16 1,04 Pare-pare - - 1,55 1,34 2,55 - 0,00 Pinrang - - 1,11 5,45 2,14 - 8,83 Polmas 12,42 - 2,96 1,18 3,07 2,33 1,01 Selayar - - 0 0 0 0 0,00 Sidrap 14,27 17,42 11,44 - - - -Sinjae - - 1,03 0,43 0,44 0,96 0,00 Soppeng - - 1,76 0,10 0 0 0,00 Takalar - - 3,47 0,22 0,27 2,83 0,18 Tator - - 0,08 - 0 0 0,00 Ujung Pandang - - 5,40 6,50 0 - 0,00 Wajo 7,27 6,61 13,28 - - - -Rata-rata 7,6 12,3 3,1 1,5 , 1,2 1,4 0,8 Keterangan:

Group N Jenis Vaksin Produksi Aplikasi Dosis

1 67 B. abortus S19 Balitvet Subkutan Standard

lI 50 B. abortus S19 Balitvet Oral 2 x standard

111 56 B. abortus S19 Pusvetma Subkutan Standard

(8)

-Tabe14 . Hasil monitoring respon serologis pasca aplikasi vaksin B. abortus S19 pada sapi potong di lapangan

Keterangan : RBPT = Rose Bengal Plate Test

Tabel 5. Perbandingan respon kebal humoral clan seluler pada sapi vaksinasi B. abortus S 19 pada sapi potong

Keterangan :

RBPT = Rose Bengal Plate Test (Serologis) IDT = Intra Dermal Test (Seluler) UPL = Uji Proliferasi Limfosit (Seluler)

TD = Tidak Diperiksa

A. SUDIBYOet al.: Pengendalian Brucellosis danAnalisa VaksinBrucella abortus

Group Aplikasi VaksinasiB. abortus S19 SapiNo. Bulan RBPT ke 0 IDT RBPT Bulan ke 1 IDT UPL Respon Kebal Bulan ke2 RBPT IDT UPI, RBPT Bulan ke3 IDT UPL I Peroral 121 - - - + + + + (2x dosis standard) 222 - - + + + + + + + + + 323 - - TD TD TD TD TD TD TD TD TD 727 - - TD TD TD TD TD TD TD TD TD II Sub kutan 424 - - + + ± TD TD TD TD TD TD (dosis standard) 525 - - + + TD TD TD TD TD TD TD 626 - - + + + TD TD TD TD TD TD 929 - - + + + + + + + + + II Tidak divaksin 828 - - TD TD TD TD TD TD TD TD TD (kontrol) 1030 - - - - + TD TD TD TD TD TD 1132 - - - - + - - + - _ + 1234 + _ - + _ - +

Group Perlakuan vaksinasi Respon

0 serologis (RBPT atau CFT) Bulan ke-3 I B. abortus S19 0% 83,7% (Balitvet) (0/67) (28/43) - Sub kutan - Dosis Standard II B. abortus S19 0% 30,6% (Balitvet) (0/50) (11/36) - Per oral - Dosis 2 x standard

in

B. abortus S19 0% 22,5% (Pusvetma) (0/56) (11/49) - Sub kutan - Dosis Standard

IV Tidak divaksin untuk kontorl 0% 0%

(9)

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan:

KESIMPULAN

1 . Vaksinasi secara oral maupun subkutan dengan B. abortus S19 sama-sama mampu merangsang terbentuknya respon antibodi yang terdeteksi dengan uji serologis dan seluler yang terdeteksi dengan uji intra dermal dan uji hipersensitivitas.

2. Deteks1 respon kebal seluler dengan Intra Dermal Test (IDT) lebih spesifik dan lebih murah, mudah dan cepat dibandingkan dengan uji proliferasi limfosit yang menggunakan antigen whole cellB. abortus. 3 . Vaksin B. abortus S19buatan sendiri (Balitvet) lebih baik dan efektif dalam merangsang terbentuknya

antibodi dibanding vaksin komersialB. abortus S19buatan Pusvetma.

4. Vaksin B, abortus S19 dapat diaplikasikan secara peroral yaitu dengan cara dicekokkan sehingga sangat mudah dan dapat dilakukan oleh petemak sendiri.

SARAN

Untuk mempercepat dan menaikkan tingkat keberhasilan program vaksinasi dalam pemberantasan brucellosis, maka vaksinasi secara peroral (dicekokkan) supaya dilakukan terutama pada daerah terpencil dan daerah terserang berat brucellosis dengan penularan penyakit secara cepat.

DAFTAR PUSTAKA

ALTON, G.G ., J. M. JONES, R.D . ANGUS and J..M . VERGER, 1988 . Techniques for the brucellosis Laboratory . Institute National De La Recherche. Agronomique. Paris.

BROOKS-WORREL, B.M ., E.A . SPLITTER. 1992 . Antigen of Brucella abortus S19 immunodominant for bovine lymphocytes as identified by one-and-two dimentisional cellular immunoblotting. Infect. Immun. 60 (6): 2459 - 2464 .

DITJENNAK, 1991 . Buletin Epidemiologi Veteriner. Bina Direktorat Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Petemakan, Jakarta. DITJENNAK, 1992 . Buku Statistik Petemakan. Direktorat Jenderal Petemakan, Jakarta.

HAMID, H.A . dan F. RAHIM. 1993 . Hasil Pengendalian Penyakit Brucellosis di Sulawesi Selatan.

HUBBERT, W.T., G.D . BOOTH, W.D . BOLTON, H.W . DUNNE, K.MC. ENTEEy R.E . SMITH and M.E . TOURTELOTTE. 1970. Bovine abortion in five north-eastern states, 1960-1970, Evaluation of diagnostic laporatory data. Cornell Vet. 63 :291-316. PLOMMET, M. and A.M . PLOMMET. 1988 . Virulence of Brucella : Bacterial growth and decline in mice . Annales de Recherces

Veterinaries. 30 :1811 .

MANTHEL, C.A., D.E. DETRAY and GOODF. 1950. Brucella infection in bull and the spread ofbrucellosis in cattle by artificial insemination . I. Intrauterine injection. J. Am . Vet. Med. Ass. 117:106 .

SETIAWAN, F.D. 1992 . Studi tentang beberapa sifat biologik Brucella abortus isolat lapang. Disertasi Doktor. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

SUDIBYO, A., P. RONOHARDJO, B. PATTEN and Y. MUKMIN . 1991 . Status brucellosis pada sapi potong di Indonesia. Penyakit Hewan. XXIII (41) :18-22 .

SUDIBYO, A., FACHRIYAN H. PASARIBU, I.W .T . WIRAWAN dan ENDHIE D. SETIAWAN . 1996 . Studi Perbandingan Sifat-sifat Protein Antigenik Sel Brucella abortus Isolat Lapang dengan Teknik Elektroforesis dan Immunoblotting . J. 11mu Ternak Vet. 1 (3):185-189 .

SUDIBYo, A., E.D . SETIAWAN, M. DARODJAT, H.W . PRATOMO, 1997 . Penelitian Pengendalian Brucellosis di kantong Temak Sapi Potong : Evaluasi Vaksinasi B. abortus S19 di Lapangan. Laporan Penelitian T.A. 1997/199 8.

TIZARD, I. 1982 . An Indtroduction to Veterinary Immunology. 2"d ed. W.B . Saunders Company, Philadelphia .

TWENTYMAN, P.R . and M. LUSCOMBE. 1987 . Astudy of some varibales in a Tetrazolium dye (MTT) based assay for cell growth and chemosensitivity .

BLOOD, D.C ., and J.A. HENDERSON. 1979 . VeterinaryMedicine, 5 th. Ed. Baillire Tindall. London.

CHEERS, C., and F. PAGRAM. 1979 . Macrophage activation during experimental marine brucellosis = a basis for chronic infection. Infec. Immun. 23 : 197 -205 .

Gambar

Tabel 1. Hasil Aplikasi vaksinasi B. abortus S19 (Balitvet) pada sapi potong di Laboratorium A
Tabel 3. Hasil Aplikasi vaksinasi B. abortus S19 (Balitvet) pada sapi potong di Lapangan
Tabel 5. Perbandingan respon kebal humoral clan seluler pada sapi vaksinasi B. abortus S 19 pada sapi potong

Referensi

Dokumen terkait