• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN. A. Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menanggulangi terjadinya tindak pidana korupsi di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN. A. Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menanggulangi terjadinya tindak pidana korupsi di Indonesia"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

40

A. Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menanggulangi terjadinya tindak pidana korupsi di Indonesia

Indonesia sebagai negara yang berlandaskan atas hukum menuntut adanya peranan konkret dari pemerintah. Sebagai negara hukum, gerak-gerik serta pola perilaku setiap orang baik individu, kelompok, dan/atau orang dengan suatu kewenangan tertentu yang diberikan kepadanya harus berdasarkan pada peraturan hukum yang berlaku. Untuk itu yang dimaksud peranan konkret dari pemerintah dapat dilakukan dengan cara merumuskan dan membentuk regulasi hukum yang akan diberlakukan. Regulasi hukum yang tercipta haruslah sesuai dengan tujuan hukum yang ada di Indonesia, yaitu tercapainya keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum.

Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk menghadapi masalah korupsi telah dilakukan selama beberapa masa perjalanan sejarah dan melalui beberapa masa perubahan perundang-undangan. Istilah korupsi sebagai istilah yuridis baru digunakan tahun 1957, yaitu dengan adanya Peraturan Penguasa Militer yang berlaku di daerah kekuasaan Angkatan Darat (Peraturan Militer Nomor PRT/PM/06/1957). Beberapa peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia sebagai berikut (Evi Hartanti, 2012: 22):

1. Masa Peraturan Penguasa Militer, yang terdiri dari: :

a. Pengaturan yang berkuasa Nomor PRT/PM/06/1957 dikeluarkan oleh Penguasa Militer Angkatan Darat dan berlaku untuk daerah kekuasaan Angkatan Darat. Rumusan korupsi menurut perundang- undangan ini ada dua yaitu, tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga baik untuk kepentingan sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah yang dengan mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau

(2)

kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan material baginya.

b. Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957 berisi tentang pembentukan badan yang berwenang mewakili negara untuk menggugat secara perdata orang- orang yang dituduh melakukan berbagai bentuk perbuatan korupsi yang bersifat keperdataan (perbuatan korupsi lainnya lewat Pengadilan Tinggi. Badan yang dimaksud adalah Pemilik Harta Benda (PHB).

c. Peraturan Penguasaan Militer Nomor PRT/PM/011/1957 merupakan peraturan yang menjadi dasar hukum dari kewenangan yang dimiliki oleh Pemilik Harta Benda (PHB) untuk melakukan penyitaan harta benda yang dianggap hasil perbuatan korupsi lainnya, sambil menunggu putusan dari Pengadilan Tinggi. d. Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan darat Nomor PRT/PEPERPU/031/1958 serta peraturan pelaksananya. e. Peraturan Penguasaan Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor PRT/z.1/I/7/1958 tanggal 17 April 1958 (diumumkan dalam BN Nomor 42/58). Peraturan tersebut diberlakukan untuk wilayah hukum Angkatan Laut.

2. Masa Undang- Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (Martiman Prodjohamidjojo, 2001: 15). Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Antikorupsi, yang merupakan peningkatan dari berbagai peraturan. Sifat Undang- Undang ini masih melekat sifat kedaruratan, menurut pasal 96 UUDS 1950, pasal 139 Konstitusi RIS 1949 (Konstitusi RIS dicabut dengan berlakunya UUDS 1950 dan UUDS 1950 dicabut dengan Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959). Undang-undang ini merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 24 Tahun 1960 yang tertera dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1961.

3. Masa Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19, TNLRI 2958) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4. Masa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40, TNLRI 387), tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dengan Undang- undang Nomor 20 Tahun 2001 (LNRI 2001-134, TNLRI 4150), tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya pada tanggal 27 Desember 2002 dikeluarkan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 (LNRI 2002-137. TNLRI 4250) tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dasar hukum dari munculnya peraturan di luar Kitab Undang-undang hukum Pidana (KUHP) di atas adalah Pasal 103 KUHP. Di dalam pasal tersebut dinyatakan, “ Ketentuan- ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan- perbuatan yang oleh ketentuan perundang- undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali oleh Undang- Undang ditentukan lain” (Evi Hartanti, 2012: 23).

(3)

Untuk mencapai efektivitas hukum dalam memberantas korupsi, Undang-undang yang dibentuk harus mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum yang ada di masyarakat. Hal tersebut ditujukan untuk mencegah dan memberantas secara efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara pada khususnya serta pada masyarakat umumnya. Demi terwujudnya pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan manusia Indonesia dan masyarakat Indonesia yang adil, Makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Oleh karena itu, perlu melakukan dan meningkatkan secara bertahap upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Perumusan tindak pidana korupsi menurut Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 adalah setiap orang (orang-perorangan atau korporasi) yang memenuhi unsur/elemen dari pasal tersebut. Dengan demikian, pelaku tindak pidana korupsi menurut pasal ini adalah “Setiap Orang”, tidak ada keharusan Pegawai Negeri. Jadi, juga dapat dilakukan oleh orang yang tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau korporasi, yang dapat berbentuk badan hukum atau perkumpulan. Adapun perbuatan yang dilakukan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi adalah sebagai berikut: 1. Memperkaya diri sendiri, artinya bahwa perbuatan melawan hukum itu pelaku menikmati bertambahnya kekayaan atau harta benda miliknya sendiri. 2. Memperkaya orang lain, maksudnya akibat perbuatan melawan hukum dari pelaku, ada orang lain yang menikmati bertambahnya kekayaannya atau bertambahnya harta bendanya. Jadi, di sini yang diuntungkan bukan pelaku langsung.

3. Memperkaya korporasi, atau mungkin juga yang mendapat keuntungan dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku adalah suatu korporasi, yaitu kumpulan orang atau kumpulan kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum (Pasal 1 angka 1 Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999).

(4)

Jika ditinjau dari instrumen hukumnya, Indonesia telah memiliki banyak peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi. Diantaranya adalah KUHP, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi beserta revisinya melalui Undang-undang Nomor 20 tahun 2001, serta dibentuklah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002.

Berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia di nilai tepat. Lembaga yang bersifat independen ini dalam memberantas tindak pidana korupsi harus sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya KPK harus berdasarkan pada kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.

Tugas dan wewenang yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, yaitu dalam Pasal 6 dan Pasal 7. Pada Pasal 6 UU KPK disebutkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki tugas sebagai berikut :

a) Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi,

b) Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi,

c) Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi,

(5)

e) Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Perihal wewenang yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diatur dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Wewenang yang dimiliki oleh KPK tersebut adalah sebagai berikut :

a) Mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi,

b) Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi,

c) Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait,

d) Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan

e) Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.

Untuk selanjutnya mengenai tugas dan wewenang KPK diatur dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yaitu sebagai berikut.

1) Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.

2) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh Kepolisian atau Kejaksaan.

3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan atau penuntutan, Kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang

(6)

diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.

4) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan Kepolisian atau Kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

Dalam hal pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 diatur lebih lanjut pada Pasal 9. Pengambilalihan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut dilakukan dengan alasan-alasan sebagai berikut :

a. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindak lanjuti,

b. Proses penangan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan,

c. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya,

d. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi,

e. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif, atau

f. Keadaan lain yang menurut pertimbangan Kepolisian atau Kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pasal 10 Undang-undang tentang KPK selanjutnya mengatur di mana apabila dalam hal terdapat alasan-alasan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 9, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus memberitahukannya terlebih dahulu kepada penyidik atau penuntut umum untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

(7)

Undang-undang KPK pada Pasal 11 dijelaskan bahwa wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melakukan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 huruf c adalah dalam hal yang sebagai berikut :

a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;

b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau

c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 12 Undang-undang tentang KPK ini kemudian mengatur mengenai kewenangan KPK dalam melaksanakan Tugasnya sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf c, yaitu sebagai berikut :

(1) Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang :

a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;

b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;

c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;

d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait;

e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;

f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait;

g. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang

(8)

cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;

h. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri;

i. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melaksanakan upaya pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, memiliki wewenang yang diatur dalam Pasal 13 Undang-undang KPK yaitu sebagai berikut :

a. Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara;

b. Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;

c. Menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan;

d. Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi;

e. Melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum;

f. Melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Dalam melaksanakan tugas monitor sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki wewenang yang diatur dalam Pasal 14 Undang-undang KPK, yaitu sebagai berikut:

a. Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah;

b. Memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi;

c. Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan, jika saran Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan.

(9)

Selain tugas dan wewenang, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga memiliki beberapa kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Undang-undang KPK. Kewajiban-kewajiban yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut adalah sebagai berikut :

a. Memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi;

b. Memberikan informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau memberikan bantuan untuk memperoleh data lain yang berkaitan dengan hasil penuntutan tindak pidana korupsi yang ditanganinya; c. Menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada Presiden

Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan;

d. Menegakkan sumpah jabatan;

e. Menjalankan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya berdasarkan asas-asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.

Berdasarkan tugas yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, KPK memiliki tugas untuk melakukan koordinasi, supervisi, penindakan, pencegahan dan monitoring. Yang dimaksud dengan koordinasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perihal mengatur suatu organisasi atau kegiatan sehingga peraturan dan tindakan yang akan dilaksanakan tidak saling bertentangan atau simpang siur. Tugas KPK berkaitan dengan hal ini adalah melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Indonesia selain KPK juga memiliki lembaga penegak hukum yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu Kepolisian dan Kejaksaan. Kepolisian adalah lembaga penegak hukum yang berperan penting di tingkat penyelidikan dan penyidikan. Sedangkan Kejaksaan memiliki peranan penting di bidang penuntutan dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi. selama kurun waktu 5 (lima) tahun yaitu tahun 2011-2015, KPK telah melakukan koordinasi di bidang penindakan (represif) baik dengan Kepolisian maupun

(10)

Kejaksaan. Berikut adalah data koordinasi yang dilakukan oleh KPK di bidang penindakan (represif) berdasarkan annual report KPK tahun 2011-2015 :

No Nama Instansi Tahun

2011 Tahun 2012 Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015 1 Kepolisian 220 200 272 273 196 2 Kejaksaan 1130 767 960 911 876 Jumlah Kasus 1350 967 1232 1184 1072

Tabel 2.1 Koordinasi KPK di bidang penindakan (represif)

Kegiatan rutin yang dilakukan KPK dalam koordinasi bidang penindakan dengan penegak hukum lain, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan adalah penerimaan pelaporan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP). Cara ini dinilai efektif, terlebih karena terbatasnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki KPK, terutama jumlah penyidik yang ada. Sehingga dengan adanya koordinasi yang dilakukan antara KPK, Kepolisian dan Kejaksaan pemberantasan korupsi di Indonesia dapat dilakukan semaksimal mungkin terutama di bidang penindakan kasus tindak pidana korupsi.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selain memiliki tugas untuk melakukan koordinasi juga bertugas untuk melakukan supervisi seperti yang diatur dalam Pasal 6 huruf b Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. Supervisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pengawasan utama, pengontrolan tertinggi, atau penyeliaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa KPK bertugas untuk melakukan pengawasan, pengontrolan, atau penyeliaan terhadap lembaga, badan, organisasi, atau perusahaan yang ada sebagai upaya dalam melakukan pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia. Berdasarkan annual report KPK tahun 2011-2015, berikut data mengenai kinerja KPK dalam melakukan tugas supervisinya :

Kegiatan Tahun 2011 Tahun 2012 Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015 Supervisi 447 121 122 95 82

(11)

Kegiatan supervisi di bidang penindakan, dilakukan KPK dengan cara menerima permintaan pengembangan penyidikan gelar perkara, analisis bersama, maupun pelimpahan perkara. Selain itu, KPK juga berwenang mengambil alih perkara dari penegak hukum lain maupun melimpahkannya. Pelimpahan perkara KPK kepada Kejaksaan atau Kepolisian memiliki arti strategis, karena selain mengurangi beban KPK, juga mengoptimalkan kinerja lembaga penegak hukum lain. Dengan demikian, KPK tidak hanya melimpahkan, namun juga melakukan koordinasi dan supervisi agar Kejaksaan dan Kepolisian lebih optimal bekerja.

KPK dalam menjalankan tugas supervisi, juga berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi dan instansi yang melaksanakan pelayanan publik. KPK juga dapat mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku TPK yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan yang dapat dilakukan oleh KPK dengan alasan bahwa laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti, proses penanganan berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku yang sesungguhnya, penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi, adanya hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganannya sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

KPK dibentuk bukan untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari lembaga-lembaga yang ada sebelumnya. Penjelasan Undang-undang menyebutkan peran KPK sebagai trigger mechanism, yang berarti mendorong atau sebagai stimulus agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien.

(12)

Tugas KPK yang lain berdasarkan Pasal 6 huruf c adalah melakukan penindakan (represif) atas kasus tindak pidana korupsi yang terjadi. Penindakan yang dilakukan oleh KPK meliputi kegiatan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Berdasarkan annual report KPK tahun 2011-2015, berikut kegiatan di bidang penindakan yang telah dilakukan oleh KPK :

No Tahapan Tahun 2011 Tahun 2012 Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015 1 Penyelidikan 78 74 108 78 84 2 Penyidikan 66 72 76 93 99 3 Penuntutan 45 60 66 77 91 Jumlah 199 206 250 248 274

Tabel 2.3 Penindakan oleh KPK

Data di atas merupakan hasil kinerja KPK di bidang penindakan (represif) sebagaimana yang tertuang dalam annual report KPK tahun 2011-2015. Dari tahap-tahap di atas yakni penyelidikan, penyidikan dan penuntutan kasus tindak pidana korupsi. ada beberapa kasus yang telah berhasil di putus oleh Pengadilan dan telah dieksekusi. Berikut jumlah kasus yang telah mencapai tahap putusan dan eksekusi berdasarkan annual report KPK tahun 2011-2015 : No Tahapan Tahun 2011 Tahun 2012 Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2014 1 Putusan 31 28 40 44 33 2 Eksekusi 33 28 40 44 33

Tabel 2.4 Kasus korupsi yang diputus dan dieksekusi

Seperti data yang diperoleh penulis dari annual report KPK tahun 2011-2015, sepanjang tahun 2011 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan penyidikan terhadap 65 kasus korupsi. Di mana 27 kasus yang disidik di antaranya merupakan kasus limpahan tahun 2010. Pada tahun 2011 ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil melakukan penuntutan

(13)

terhadap 45 kasus korupsi, di mana 5 di antaranya merupakan perkara limpahan dari tahun 2010. Sementara di tingkat penyelidikan sepanjang tahun 2011, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil menangani 76 kasus korupsi. Pada tahun 2011 ini pula ada 31 perkara korupsi yang sudah diputus inkracht dan ada 33 perkara korupsi yang telah dieksekusi.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di tahun 2012 berhasil menangani 68 kasus korupsi di tingkat penyidikan, baik kasus baru maupun limpahan sisa penanganan tahun sebelumnya. Di tingkat penyelidikan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan 74 kegiatan. Di tingkat penuntutan, lembaga ini sudah melakukan 60 kegiatan di tahun 2012. Sedangkan pada di tahun 2012, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengeksekusi sebanyak 28 putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Pada tahun 2013, terjadi peningkatan terhadap jumlah kasus yang berhasil ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada tahap penyidikan ada 76 kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di tingkat penyelidikan ada 108 kasus, dan di tingkat penuntutan ada 66 kasus. Sedangkan kasus yang telah berkekuatan hukum tetap berdasarkan putusan pengadilan ada 40 perkara. Jumlah tersebut adalah keseluruhan kasus yang ditangani KPK sepanjang 2013, termasuk sisa limpahan kasus di tahun sebelumnya.

Di tahun 2014 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara keseluruhan telah melakukan 78 kegiatan penyelidikan, 93 penyidikan, dan 77 kegiatan penuntutan, baik kasus baru maupun sisa penanganan pada tahun sebelumnya. Selain itu juga melakukan eksekusi terhadap 44 putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sepanjang tahun 2015 telah melakukan 84 kegiatan penyelidikan, 99 kegiatan di tingkat penyidikan, dan 91 kegiatan di tingkat penuntutan, baik terhadap kasus baru maupun kasus dari

(14)

sisa penanganan pada tahun sebelumnya. Selain itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga melakukan eksekusi terhadap 33 putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Tugas KPK berikutnya berdasarkan Pasal 6 huruf d yaitu melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi. Sepanjang tahun 2011-2015 kinerja KPK di bidang pencegahan berdasarkan annual report KPK adalah dengan melakukan koordinasi dan supervisi dengan instansi terkait di bidang pencegahan. Berikut data mengenai beberapa upaya yang dilakukan untuk menunjang kinerja KPK di bidang pencegahan :

Tahun 2011

1. BP Migas terkait penyelamatan keuangan negara di sektor migas

2. Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait tindak pidana pencucian uang

3. Kemendagri terkait pengawasan pelaksanaan e-KTP

4. Mahkamah Konstitusi, Garuda Indonesia, Bank Jabar Banten (BJB), Bank DKI, dan Bank Negara Indonesia mengenai implementasi Pusat Pengendalian Gratifikasi (PPG)

5. Berbagai partai politik terkait kegiatan focus group discussion (FGD) 6. Berbagai pemerintahan kota/kabupaten terkait Zona Integritas; 7. Kemenkeu dan Polri mengenai perluasan LHKPN.

Tabel 2.5

Kinerja KPK di bidang Pencegahan Tahun 2011

Tahun 2012 1. Membentuk Sistem Integritas Nasional (SIN)

2. Membentuk Tunas/Penggerak Integritas di pilar eksekutif 3. Melakukan Focus Group Discussion (FGD)

4. Mengadakan Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi (KNPK) 5. kerja sama pencegahan korupsi dengan BPK dan BPKP

6. Pengamatan sebagai bentuk mekanisme koordinasi, supervisi dan monitoring dilakukan baik secara tertutup maupun terbuka di sektor-sektor pelayanan publik, perencanaan APBD, dan pengadaan barang/jasa. 7. Melakukan verifikasi dan klarifikasi laporan harta kekayaan para kandidat

(15)

8. Mengadakan kampanye Pilkada yang berintegritas 9. Meluncurkan e-Modul Gratifikasi

10. Melanjutkan program PPG

11. Melaksanakan program pendidikan antikorupsi untuk anak-anak dan jenjang perguruan tinggi

12. Melakukan kerja sama dengan Kementrian Hukum dan HAM (Kemenkumham) terkait KPK yang memerlukan data akurat sebagai alat bukti.

13. Melakukan kerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Tabel 2.6

Kinerja KPK di bidang Pencegahan Tahun 2012

Tahun 2013

1. Mengadakan program pencegahan korupsi berbasis keluarga 2. Penilaian Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP)

3. Pengamatan informasi/ gambaran seluruh proses bisnis mulai dari perencanaan dan penganggaran, pengadaan barang/jasa, dan pelayanan publik

4. Identifikasi risiko fraud

5. Penyusunan dan Penyampaian hasil Korsup 6. Pembahasan notisi hasil korsup

7. Semiloka/ ekspose hasil pengamatan seminar nasional koordinasi dan supervisi pencegahan

8. Mengadakan serangkaian studi dan focus group discussion (FGD)

9. Mengawal proses Pemilukada dengan melakukan verifikasi dan deklarasi kekayaan para kandidat.

10. Menyelenggarakan kegiatan training of trainers (ToT) 11. Meluncurkan radio kanalKPK

12. Melanjutkan program modul pendidikan antikorupsi 13. Menggalang kerja sama bilateral dengan sejumlah negara.

Tabel 2.7

Kinerja KPK di bidang Pencegahan Tahun 2013

Tahun 2014

1. Mengadakan korsup dengan pemerintah daerah dan/atau lembaga/instansi terkait permasalahan pelayanan publik seperti TKI, uji KIR kendaraan bermotor,

2. Meluncurkan aplikasi berbasis android dan iOS bernama GRATis

3. Menggelar berbagai publikasi dan workshop di beberapa Kampus dan kab/kota.

4. Mengadakan lomba Inovasi Model Pembelajaran Antikorupsi (Ide Ber-Aksi)

(16)

5. Meluncurkan KanalKPK TV

6. Meluncurkan program “Saya, Perempuan Antikorupsi”

7. Mengadakan Kerja sama dengan kementrian/ lembaga, bahkan dengan pelaku usaha, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang dituangkan dalam bentuk nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU).

8. Memberikan beberapa rekomendasi perbaikan kepada pemerintah. 9. Melakukan korsup di beberapa wilayah berkaitan dengan permasalahan

minerba.

Tabel 2.8

Kinerja KPK di bidang Pencegahan Tahun 2014

Tahun 2015 1. Meluncurkan Program Pilkada Berintegritas

2. Mendorong terselenggaranya pemerintahan yang bersih, dengan mengedepankan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas

3. Memantau dan mengevaluasi hasil Korsup Pencegahan pada tahun 2014; APBD tahun anggaran 2014/2015, mulai dari perencanaan dan penganggaran, belanja hibah, bantuan sosial (bansos), dan pengadaan barang dan jasa; serta kepentingan nasional pada bidang pendapatan. 4. Mengampanyekan Pilkada Berintegritas serta meluncurkan Buku

“Panduan Antikorupsi bagi Kepala Daerah” 5. Pengamatan, Review Dokumen, dan Semiloka

6. Seminar Nasional Koordinasi dan Supervisi Pencegahan 2015 Tabel 2.9

Kinerja KPK di bidang Pencegahan Tahun 2015

Berdasarkan Pasal 6 huruf e, tugas yang dimiliki oleh KPK adalah melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Selama periode tahun 2011-2015, berdasarkan annual report KPK berikut langkah-langkah yang telah ditempuh KPK dalam menjalankan tugas monitoringnya :

(17)

1. Melakukan monitoring terhadap pengelolaan bantuan sosial (bansos) di pemerintahan daerah 2. Melakukan monitoring sistem penyelenggaraan peradilan pajak 3. Monitoring sistem administrasi layanan kepolisian, 4. Monitoring sistem penyelenggaraan hubungan darat, 5. Monitoring kegiatan pengusahaan batu bara di Indonesia. 1. Melakukan monitoring dan pendampingan terhadap sekolah, Universitas, Dosen dan Mahasiswa

2.Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap penerapan PPG di enam instansi.

3.Monitoring

penggunaan dana BOS 4. Melakukan monitoring

dan atau evaluasi terhadap pelaksanaan program-program yang dimiliki KPK. 1. Survei Pemahaman Masyarakat terhadap Integritas Pemilu 2. Baseline Study Program Pembangunan Budaya Antikorupsi Berbasis Keluarga 3. Studi Penguatan Sistem Politik Pengukuran Indeks Penegakan Hukum (IPH) 4. Pengukuran Indeks Integritas Organisasi KPK 5. Survei Integritas Sektor Publik (SI) 2013 Indeks Kinerja Sektor Strategis Perpustakaan dan Peta Potensi Korupsi.

1. Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap implementasi 93 rencana aksi dan 568 ukuran keberhasilan dari 12 kementrian/lembaga 2. Monitoring dan evaluasi

pengelolaan dana pendidikan oleh KPK, BPKP dan Itjen Kemdikbud

3. Monitoring lmplementasi Sistem Pengawasan Produksi dan Lifting (Sistem Operasi Terpadu - SOT), dan current issue TPPI Tuban.

4. Monitoring dan evaluasi pendidikan Antikorupsi perguruan tinggi tahun 2012 dari Dirjen Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta

5. Monitoring dan evaluasi dari implementasi Nota Kesepakatan Bersama (NKB) Pengukuhan Percepatan Kawasan Hutan. 1. Pengukuran Indeks Penegakan Hukum (IPH) 2. Pengukuran Indeks Integritas Organisasi KPK 3. Penyempurnaan Metodologi Survei Integritas dan Pilot Project di K/L/O/P 4. Indeks Kinerja Sektor

Strategis 5. Survei Pemahaman Masyarakat terhadap Integritas Pemilu 2015 6. Pengukuran Akuntabilitas PN melalui LHKPN 7. Pengukuran/Monitori ng pilot project Pencegahan Korupsi berbasis Keluarga di Kelurahan Prenggan. Tabel 2.10

(18)

Tabel di atas menjelaskan mengenai beberapa kegiatan monitoring yang dilakukan oleh KPK selama kurun waktu tahun 2011-2015 berdasarkan pemaparan kinerja KPK dalam annual report-nya. Beberapa upaya telah ditempuh oleh KPK dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir yaitu di tahun 2011-2015, baik di bidang pencegahan maupun penindakan dalam menanggulangi kejahatan tindak pidana korupsi.

Hasil dari kinerja KPK selama 2011-2015, KPK telah berhasil mengembalikan uang negara yang dirampas oleh para koruptor. Berdasarkan annual report KPK tahun 2011-2015 berikut jumlah uang negara yang berhasil disetorkan kembali ke kas negara :

(19)

Di bidang pencegahan,

KPK Berhasil

menyelamatkan aset sektor migas senilai Rp153,6 triliun. Kekayaan negara tersebut terdiri atas uang tunai senilai Rp5,2 triliun dan aset senilai total Rp148,5 triliun. Wujudnya bermacam-macam, di antaranya berupa helikopter, rumah, dan kapal tanker.

KPK hanya mampu menyelamatkan uang negara sebesar Rp 113,8 miliar. Bahkan jumlah tersebut bukan hanya berasal dari sitaan dan uang pengganti tindak pidana korupsi, tapi juga penerimaan gratifikasi. Jumlah pengembalian keuangan negara mengalami lonjakan yang signifikan. Hingga Desember 2013, sebanyak 1,1 triliun rupiah lebih telah dimasukkan ke kas negara dalam bentuk Pendapatan Negara Bukan Pajak

(PNBP) dari

penanganan perkara.

Jumlah pengembalian keuangan negara dari penanganan perkara,

hingga akhir

Desember 2014, mencapai lebih dari Rp112,7 miliar. Jumlah tersebut dimasukkan ke dalam kas negara, dalam bentuk Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Uang yang disetor ke kas negara adalah Rp 196.527.182.784 sementara uang yang disetor ke kas daerah

adalah Rp

2.198.721.195.

Perolehan tersebut terdiri dari pendapatan uang sitaan hasil korupsi yang telah ditetapkan pengadilan Rp 171.989.959.548. Kemudian sebesar Rp 11,9 miliar dari pendapatan uang pengganti tindak pidana korupsi yang ditetapkan pengadilan dan Rp 8,3 miliar dari pendapatan jasa lembaga keuangan/ jasa giro.

Tabel 2.11

(20)

Dari seluruh upaya-upaya tersebut, dapat diketahui bahwa KPK selalu bertindak berlandaskan atas tugas, fungsi dan wewenang yang dimiliknya. Kinerja KPK diharapkan mampu memberikan hasil yang positif terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia.

B. Hambatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menanggulangi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga yang dibentuk dengan tujuan untuk menanggulangi tindak pidana korupsi di Indonesia. KPK dibentuk dengan berlandaskan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). KPK dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya harus sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Undang-undang tersebut. Meski pada awal pembentukannya sempat diselimuti banyak keraguan dari masyarakat, namun kerja keras yang dilakukan oleh KPK mampu membangkitkan gairah masyarakat untuk memberantas tindak pidana korupsi yang semakin marak dan masif. Sehingga diharapkan Indonesia dapat terbebas dari segala bentuk praktik-praktik korupsi.

Selama ini ada beberapa kendala yang sering kali dihadapi oleh KPK dalam upayanya untuk memberantas korupsi di Indonesia. Berikut adalah beberapa hambatan yang menghalangi kinerja KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia :

1. Sumber Daya Manusia (SDM) KPK yang Terbatas

Permasalahan terbesar KPK adalah minimnya jumlah SDM yang dimiliki. Personel KPK yang berjumlah 700-an orang, tidak berimbang dengan tugas berat dan cakupan yang begitu luas yang diemban KPK. Melihat luas wilayah Republik Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, serta jumlah penduduk negeri ini yang mencapai 241 juta jiwa. Jumlah tersebut sangat tidak memadai. Jika dibandingkan dengan Hong

(21)

Kong, yang memiliki populasi penduduk hanya 7 (tujuh) juta jiwa dan luas wilayah tak lebih luas dari Jakarta, ternyata lembaga antikorupsi negeri tersebut didukung oleh 1.200 pegawai. Dari jumlah tersebut, 900 di antaranya merupakan pegawai yang khusus untuk menangani masalah investigasi terkait kasus korupsi. Begitu pula dengan Malaysia dengan jumlah penduduk yang jauh di bawah Indonesia, namun lembaga antikorupsi mereka memiliki sekitar 3.000 pegawai, dengan 2.000 di antaranya adalah penyidik.

Salah satu komponen SDM yang krusial adalah penyidik, namun di Indonesia penyidik tergantung pada pegawai yang dipekerjakan dari instansi lain seperti Kepolisian dan Kejaksaan. Hal tersebut menghambat kinerja KPK seperti yang terjadi di tahun 2012, di mana pada tahun ini terjadi penarikan besar-besaran dalam waktu singkat kepada para penyidik tersebut. Di tahun 2014, KPK berhasil merekrut 24 pegawai melalui program Indonesia Memanggil ke-8, serta sebanyak 17 pegawai negeri yang dipekerjakan, dan melakukan rekrutmen internal untuk penambahan penyelidik dan penyidik. Sehingga, jumlah total pegawai KPK pada akhir tahun 2014 adalah sebanyak 1.102 pegawai, yang di dalamnya terdiri dari 73 penyelidik, 79 penyidik dan 94 penuntut umum.

Terbatasnya SDM yang dimiliki KPK, berimbas pada upaya pemberantasan korupsi oleh KPK di daerah menjadi yang kurang maksimal. Perbandingan antara jumlah SDM yang sangat minim, dengan jumlah kasus dugaan tindak pidana korupsi yang sangat banyak dirasa tidak berimbang. KPK kesulitan untuk mengirimkan SDM ke tiap-tiap daerah yang ada di Indonesia yang berpotensi terdapat atau rawan akan terjadinya tindak pidana korupsi.

2. Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi

Hambatan yang menerpa KPK berikutnya adalah mengenai perampasan aset hasil tindak pidana korupsi yang disembunyikan oleh para

(22)

59

pelaku tindak pidana korupsi melalui rangkaian proses dan mekanisme. Baik secara pidana maupun perdata, aset yang berada di dalam maupun disimpan di luar negeri, yang dilacak, dibekukan, dirampas, disita, dan dikembalikan kepada negara korban hasil tindak pidana korupsi, sehingga dapat mengembalikan kerugian keuangan akibat tindak pidana korupsi. Juga termasuk untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan/ atau calon pelaku tindak pidana korupsi.

Aset hasil tindak pidana korupsi yang diambil oleh para koruptor banyak yang dilarikan serta disembunyikan di luar negeri. Hasil korupsi disembunyikan di rekening bank di luar negeri melalui mekanisme pencucian uang sehingga upaya dalam melacak serta mengembalikan aset tersebut menjadi sulit. Tidak jarang teknik pencucian uang ini disempurnakan oleh akuntan, pengacara, dan bankir yang disewa oleh koruptor.

Dalam melakukan proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi ini, negara-negara di dunia saling melakukan kerja sama internasional dalam rangka mempermudah proses pengembalian aset ini. Tetapi dalam pelaksanaannya terdapat kendala-kendala yang disebabkan antara lain:

Pertama, sistem hukum yang berbeda, sistem perbankan dan finansial yang ketat dari negara di mana aset berada, praktek dalam menjalankan hukum, dan perlawanan dari pihak yang hendak diambil asetnya oleh pemerintah.

Kedua, fokus utama ketentuan tentang pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi masih terbatas pada pengembalian aset di dalam negeri dan

(23)

tidak ada ketentuan yang mengatur mekanisme pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri.

Ketiga, di dalam peraturan perundang-undangan tersebut belum diatur landasan hukum serta wewenang untuk melaksanakan kerja sama internasional dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.

Keempat, peraturan perundang-undangan tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan tindak pidana korupsi saat ini, dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan tindak pidana korupsi, khususnya ketentuan tentang pengembalian aset di dalam UNCAC.

UNCAC merupakan terobosan baru dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, khususnya dalam hal pengembalian aset di berbagai negara terutama Indonesia. Namun sebagai suatu peraturan yang (relatif) baru dan Indonesia sebagai salah satu negara yang sudah meratifikasi konvensi ini, terdapat permasalahan-permasalahan yang pada akhirnya menyebabkan Indonesia tidak dapat memaksimalkan usaha pengembalian aset.

Mengenai proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, para pelaku tindak pidana korupsi mampu melintasi dengan bebas batas yurisdiksi dan geografis antar negara. Sementara, para penegak hukum tidak mudah menembus batas-batas yurisdiksi dan melakukan penegakan hukum di dalam yurisdiksi negara-negara lain. Untuk itu diperlukan kerja sama secara global dalam melakukan pengejaran serta pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.

Pada kenyataannya aset hasil tindak pidana korupsi yang dilarikan ke luar negeri dan aset yang berhasil dikembalikan ke Indonesia perbedaannya sangat besar. Perbandingan aset yang masih di luar negeri masih lebih banyak dibandingkan aset-aset hasil tindak pidana korupsi yang sudah berhasil di bawa kembali ke dalam negeri. Bahkan dapat dikatakan belum satupun aset korupsi yang dikembalikan. Hal ini tidak terjadi begitu saja, terdapat permasalahan-permasalahan yang pada prakteknya sering kali

(24)

muncul dan menjadi faktor utama yang menghambat proses pengembalian aset.

Ada beberapa mekanisme dalam melakukan proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, yaitu: pertama dengan melakukan pelacakan, selanjutnya aset yang sudah dilacak dan diketahui kemudian dibekukan, terakhir, aset yang dibekukan lalu disita dan dirampas oleh badan berwenang dari negara di mana aset tersebut berada, dan kemudian dikembalikan kepada negara tempat aset tersebut diambil melalui mekanisme-mekanisme tertentu.

Faktor-faktor penghambat tersebut antara lain:

a. Pengaturan Hukum Nasional yang tidak Menunjang Keberlakuan UNCAC di Indonesia

Semenjak UNCAC di adopsi oleh Majelis Umum PBB berdasarkan resolusi 58/ 4 tanggal 31 Oktober 2003, Indonesia telah meratifikasinya melalui Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC pada tanggal 18 April 2006.

Hingga saat ini, pemerintah belum membentuk suatu peraturan pelaksana terhadap keberlakuan UNCAC di Indonesia. UNCAC menyediakan sarana kepada para negara korban untuk dapat melakukan kerja sama internasional dalam upaya pengembalian aset, tetapi setiap negara peserta harus mempunyai suatu peraturan nasional yang dapat memberlakukan UNCAC tersebut.

Permasalahannya di sini adalah ratifikasi Indonesia terhadap UNCAC tidak menjadikan penerapan proses pengembalian aset menjadi terlaksana secara maksimal. Karena Indonesia belum memiliki pengaturan khusus mengenai proses pengembalian aset yang didasarkan atas kerja sama internasional.

(25)

b. Tidak Adanya Kemauan Politik Pemerintah yang Kuat terhadap Upaya Pemberantasan Korupsi.

Proses pengembalian aset sebagai salah satu upaya pemberantasan korupsi memerlukan dukungan kuat dari pemerintah negaranya. Kemauan politik pemerintah merupakan faktor utama yang menentukan dalam berhasil tidaknya suatu upaya pemberantasan korupsi di suatu negara, khususnya terhadap proses pengembalian aset. Hal ini terlihat dalam proses hukum kasus mantan Presiden Soeharto, di mana hingga saat Soeharto meninggal pun belum ada satu aset pun (hasil tindak pidana korupsi) yang berhasil dikembalikan.

3. Wewenang KPK Terbatas

Keterbatasan wewenang KPK yang dimaksud di sini adalah kewenangan KPK untuk masuk ke ranah militer. Selama ini, upaya pemberantasan korupsi oleh KPK di lingkungan TNI terhalang oleh Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 Tentang Industri Pertahanan.

Alokasi APBN yang cukup besar untuk pertahanan khususnya mengenai pengadaan aluvista bagi TNI, berisiko mengalami penyelewengan anggaran. Dana yang besar dan tidak transparansinya sistem yang dimiliki TNI, menimbulkan kekhawatiran adanya permainan anggaran oleh oknum tertentu.

Meski selama ini Undang-undang membatasi kewenangan KPK dalam melakukan Pengawasan terkait penggunaan anggaran pertahanan di lingkungan TNI. KPK berupaya melakukan terobosan, misalnya melalui LHKPN. Meski efisiensi LHKPN masih dipertanyakan, namun cara ini dapat digunakan untuk mengawasi pejabat negara di lingkungan TNI. Sebagai indikator apakah ada penggelembungan harta kekayaan pribadi yang dimiliki para pejabat internal TNI, yang diduga berasal dari hasil tindak pidana korupsi.

(26)

4. Kondisi Masyarakat Indonesia

Kondisi masyarakat Indonesia sangat dipengaruhi oleh budaya hukum yang berkembang dalam masyarakat. Menurut Lawrence M. Friedman yang dimaksud dengan budaya hukum adalah sikap manusia terhadap suatu hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Budaya hukum merupakan suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Budaya hukum berkaitan erat dengan tingkat kesadaran masyarakat. Semakin tinggi tingkat kesadaran masyarakat terhadap hukum, maka akan tercipta pula budaya hukum yang baik sehingga dapat mengubah pola pikir masyarakat mengenai hukum selama ini (Shinta Agustina, Saldi Isra, Zainul Daulay, dkk, 2015: 126-126).

Lawrence M.Friedman membagi budaya hukum menjadi 2 (dua) jenis, yaitu budaya hukum internal dan budaya hukum eksternal. Yang dimaksud dengan budaya hukum internal adalah budaya hukum yang berasal dari warga masyarakat yang melaksanakan tugas-tugas hukum secara khusus seperti polisi, jaksa, dan hakim, sedangkan yang dimaksud dengan budaya hukum eksternal adalah budaya hukum masyarakat yang berlaku secara umum (Shinta Agustina, Saldi Isra, Zainul Daulay, dkk, 2015: 126).

Budaya hukum masyarakat dan birokrasi di Indonesia saat ini dinilai cenderung berperilaku korupsi. Ada banyak kebiasaan-kebiasaan yang telah melekat pada masyarakat yang sebenarnya merupakan perbuatan korup. Seperti misalnya, ketika seseorang sedang mengajukan izin untuk mendirikan usaha di suatu daerah, dan perwakilan dari pihak yang berkepentingan tersebut datang menemui salah seorang pejabat yang berwenang beserta membawakan hadiah mewah dengan maksud agar mendapat kemudahan dari pejabat tersebut dalam kepengurusan izin. Perilaku seperti itu termasuk dalam perbuatan korupsi dalam kategori suap. Dalam kebiasaan masyarakat Jawa pada umumnya ketika seseorang ingin meminta bantuan dari orang lain, ia akan bertandang ke kediaman orang yang berwenang tersebut dengan membawakan oleh-oleh atau cindera mata

(27)

dengan maksud agar pihak yang bersangkutan mau menerima barang tersebut dan bersedia membantunya.

Untuk itu upaya penanggulangan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK selama ini terhalang oleh merebaknya budaya korupsi dalam masyarakat. Di mana masyarakat menilai perbuatan yang mengarah ke perilaku korup tersebut sebagai suatu kebiasaan yang dianggap wajar. Oleh karenanya, KPK menebarkan semangat pemberantasan korupsi dengan mengedepankan budaya antikorupsi yang ditanamkan kepada seluruh lapisan masyarakat baik yang dilakukan melalui gerakan hukum dan gerakan sosial politik secara simultan. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa budaya hukum masyarakat Indonesia yang cenderung mengarah ke perilaku korup, menjadi faktor terbesar KPK dalam menanggulangi tindak pidana korupsi.

KPK menghadapi tantangan besar dalam upaya menanggulangi tindak pidana korupsi yang marak dan semakin masif di Indonesia. KPK harus berperang dengan berusaha untuk mengubah pola pikir dan sikap serta perilaku masyarakat terhadap budaya hukum yang telah tertanam kuat dan cenderung bersifat korup menjadi budaya hukum yang mengedepankan sikap antikorupsi.

Gambar

Tabel 2.2 Supervisi yang dilakukan KPK
Tabel 2.3 Penindakan oleh KPK

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah: Bagaimana pengaruh pengetahuan dan sikap pasien terhadap pemanfaatan ulang

Diabetes melitus merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh ketidakmampuan organ pankreas untuk memproduksi hormon insulin dalam jumlah yang cukup, tubuh tidak

Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan hidayah-Nya hingga penulis dapat menyusun hasil penelitian dengan judul, EVALUASI

Sehubungan dengan Pelaksanaan Seleksi Umum Pengadaan Jasa Konsultansi pada Dinas Bina Marga Tahun Anggaran 2016 untuk pengadaan kegiatan Biaya Konsultan Supervisi

Demikian halnya dengan keluarga, adalah sebagai lembaga pendididkan pertama seorang anak, sebuah keluarga yang cendrung jauh dari dunia ilmu pengetahuan akan menghasilkan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kematangan proses sistem informasi menunjukkan level 2 (Repeatable) yaitu kondisi dimana suatu lembaga telah memiliki kebiasaan

Berdasarkan hasil evaluasi Administrasi, Teknis dan Harga serta kualifikasi dengan ini Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan Barang / Jasa mengumumkan pemenang

Tabel 2.3 Jumlah Mata Air, Debit Rerata Tahunan dan Volume Tahunan di Wilayah Sungai UPT PSDAW di Provinsi Jawa Timur tahun 2012