BIOEKOLOGI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA HIU PAUS
(
Rhincodon typus
) DI TAMAN NASIONAL TELUK CENDERAWASIH
(Bioecological and Ecotourism Development Strategy of Whale Shark-Rhincodon Typus
in Teluk Cenderwasih National Park)
N
ANANGH
ARIM
URDANI1),
B
URHANUDDINM
ASY’
UD2) DANF
REDINANY
ULIANDA3) 1)Mahasiswa Pascasarjana, Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika, IPB
1) Dosen Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, IPB 3) Dosen Fakultas Perikanan IPB
Email: [email protected]
Diterima 24 Februari 2018 / Disetujui 31 April 2018
ABSTRACT
A study on whale sharks have been carried out in Teluk Cenderawasih National Park (TCNP) on May-June 2014. The objectives of this study were to analysis bioecological of whale shark, the perceptions of local communities and tourists on whale shark ecotourism development and to formulate the ecotourism development strategy in TCNP. Data were collected through observations and and counting the number of whale sharks, gender identification and age categories, and estimation of body length; measurement of some environmental variables (sea surface temperature, salinity, sea brightness); and regarding their perception of whale sharks as objects of tourist attraction. The result showed that the generally the whale sharks come to the surface in waters that there are many bagan fisheries that many fish in the net. Whale sharks feed and come to the surface in the fishing platform in the morning until noon with a duration of 15-30 minutes. Physical enviroment conditions of sea in TCNP were temperatures 28-31°C; salinity 33-34‰ and sea brightness 7-12 m. The total number of the emergence of the whale sharks was 30 times and identified as 15 animals, all young males, measuring between 3 and 6 m, generally do not have injuries. The perseptions of local communities about development of whale shark ecotourism were positive and will be supported this program. Generally, most tourists, of which 87,88% of them were foreigners, gave positive perceptions on whale shark attractions in TCTN, from attractive to very attractive, although there are some aspects of travel managements that need to be improved, such as the availability of information services, tourist guides, and the comfort level. Some development strategies must be done, i.e. continuous monitoring of whale shark, human resource capacity building, provision of tourist support infrastructure, coordination and synergy with stakeholders, and increase public awareness and the development of cultural tourism attractions as an integrated ecotuorism program.
Keywords: bioecological, ecotourism, development strategy, Teluk Cenderwasih National Park, whale shark
ABSTRAK
Penelitian tentang hiu paus dilakukan di perairan Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC) pada bulan Mei-Juni 2014. Penelitian dilakukan dengan tujuan menganalisis bioekologi hiu paus, persepsi masyarakat lokal dan wisatawan tentang pengembangan ekowisata hiu paus dan perumusan strategi pengembangan ekowisata hiu paus di TNTC. Data dikumpulkan dengan cara observasi dan menghitung jumlah kemunculan hiu paus, identifikasi jenis kelamin dan kategori umur, serta pendugaan ukuran panjang tubuh; pengukuran beberapa peubah lingkungan (suhu permukaan laut, salinitas, kecerahan laut); serta wawancara dengan masyarakat lokal dan wisatawan terkait persepsinya terhadap hiu paus sebagai obyek daya tarik wisata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya hiu paus muncul ke permukaan laut dan mencari makan di wilayah perairan yang banyak terdapat bagan nelayan yang banyak ikan di dalam jaringnya. Waktu kemunculan hiu laut umumnya pagi hingga siang hari dengan durasi waktu 15-30 menit. Kondisi fisik lingkungan laut tempat kemunculan hiu paus ini masing-masing suhu permukaan laut 28-31oC, salinitas 33-34‰ dan kecerahan laut 7-12 m. Jumlah total kemunculan hiu paus sebanyak 30 kali dan teridentifikasi sebanyak 15 individu, semuanya jantan, berukuran panjang tubuh 3-6 m termasuk kategori berumur muda (belum dewasa), umumnya memiliki luka satu. Persepsi masyarakat lokal tentang pengembangan ekowisata hiu paus adalah positif dan umumnya siap mendukung program tersebut. Sebagian besar (87,88%) wisatawan yang datang ke kawasan ini wisatawan mancanegara dan memiliki persepsi positif bahwa wisata atraksi hiu paus di TNTC termasuk menarik sampai sangat menarik, meskipun masih ada beberapa aspek pengelolaan wisata yang perlu ditingkatkan, seperti ketersediaan pelayanan informasi, pemandu wisata, dan tingkat kenyamanan. Ada beberapa strategi pengembangan yang penting dilakukan, antara lain peningkatan kapasitas sumberdaya manusia, penyediaan infrastruktur pendukung wisata, koordinasi dan sinergitas dengan stakeholders, dan peningkatan kesadaran masyarakat serta pengembangan atraksi wisata budaya sebagai pendukung dalam satu kesatuan program wisata hiu paus.
Kata kunci: ekowisata, bioekologi, hiu paus, strategi pengembangan, Taman Nasional Teluk Cenderwasih
PENDAHULUAN
Hiu paus (Rhincodon typus) atau di Papua dikenal dengan nama gurano bintang adalah hiu pemakan plankton dan merupakan spesies ikan terbesar. Panjang dapat mencapai lebih dari 14 meter dengan berat lebih
dari 30 ton (Bradshaw et al. 2008, Meekan et al. 2006), dapat menyelam lebih dari 979,5 m (Graham et al. 2007). Daerah penyebarannya di perairan tropis dan sub tropis dengan suhu permukaan laut 21-300C, banyaknya plankton (produktivitas primer) dan ikan-ikan pelagis muda yang menjadi makanannya (Stacey et al. 2008).
Hiu paus terdaftar sebagai jenis yang terancam punah dalam Red List IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources), dan sejak tahun 2002 masuk dalam Appendix II CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna). Convention on Migratory Species (CMS) juga menetapkan hiu paus sebagai spesies hiu migran yang harus dilindungi karena kemampuannya bermigrasi melintasi batas negara yang berbeda. Pemerintah Indonesia sejak tahun 2013 telah menetapkan Status Perlindungan Penuh Ikan Hiu Paus (Rhincodon typus) dengan keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18/KEPMEN-KP/2013.
Karakteristik pergerakan hiu paus yang lambat dan bersahabat terhadap penyelam telah menjadikan hiu paus sebagai salah satu obyek wisata (ekowisata) yang menarik. Stewart (2011) menyebutkan bahwa di beberapa tempat di Nangaloo reef Australia Barat dan Donsol Filipina, hiu paus telah menjadi ikon spesies laut yang sangat diminati para wisatawan dan menjadi salah satu obyek daya tarik dalam kegiatan ekowisata.
Salah satu wilayah Indonesia yang sering dijumpai munculnya hiu paus adalah Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC) di Papua. Kemunculan hiu paus, khususnya di wilayah Bidang Pengelolaan Taman Nasional I Nabire TNTC telah dimanfaatkan sebagai salah satu obyek wisata yang sangat diminati wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Data Balai Besar TNTC tahun 2013 menyebutkan bahwa jumlah kunjungan wisatawan pada tahun 2011 sebanyak 750 orang dan meningkat menjadi 1.318 pada tahun 2013 (BBTNTC 2012). Fakta ini memperkuat pernyataan Drumm dan Moore (2002) bahwa tiga dari lima pengalaman ekowisata paling diminati wisatawan adalah melihat satwaliar, menikmati pemandangan alam, dan mendapatkan pengalaman baru.
Sejauh ini, kemunculan hiu paus dan
pemanfaatannya sebagai atraksi wisata di kawasan TNTC khususnya di Wilayah Pengelolaan I Nabire, umumnya terkait dengan lokasi dan/atau keberadaan bagan pencari ikan yang dimiliki masyarakat. Secara bioekologis, fenomena kemunculan hiu paus di sekitar bagan ini, menghadirkan beberapa pertanyaan penting yang perlu dijawab melalui suatu penelitian, seperti bagaimana kondisi biofisik lingkungan perairan yang menjadi tempat munculnya hiu paus, berapa jumlah individu dan frekuensi kemunculan hiu paus, berapa ukuran tubuh dan jenis kelaminnya, dan bagaimana perilakunya. Selain itu dari segi sosial, juga belum ada data dan informasi yang cukup terkait persepsi atau tanggapan masyarakat terutama pemilik bagan dengan fenomena kemunculan hiu paus dan pemanfaatannya sebagai atraksi wisata. Selain itu, persepsi atau penilaian wisatawan tentang pengelolaan ekowisata hiu paus tersebut juga belum teridentifikasi dengan baik, padahal informasi tersebut penting diketahui di dalam merumuskan strategi pengelolaan dan pengembangan pemanfaatannya secara berkelanjutan. Sebagaimana
dipahami, bahwa secara prinsipal didalam
pengembangan ekowisata dan/atau pemanfaatan sumberdaya alam hayati terutama di dalam kawasan konservasi, antara lain harus dapat menjamin kelestarian sumberdaya alam hayati tersebut, dipertahankannya daya dukung kawasan dan mencegah dampak negatif terhadap ekosistemnya, serta dapat memberikan nilai manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat sekitar (Eplerwood 1999 dalam Fandeli 2000; Yulianda 2007; Alikodra 2012, Supyan 2011).
Berdasarkan pemikiran di atas, maka penelitian ini dipandang penting dilakukan dengan tujuan : (a) menganalisis faktor-faktor bioekologi hiu paus di kawasan TNTC, (b) mengukur persepsi masyarakat lokal dan wisatawan tentang ekowisata hiu paus di TNTC, dan (c) merumuskan strategi pengembangan ekowisata atraksi hiu paus di TNTC.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC) Provinsi Papua khususnya di Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I Nabire, sebagai kawasan yang banyak ditemukan kemunculan hiu paus selama ini. Penelitian lapang dilaksanakan selama dua bulan, yakni Mei sampai Juni 2014.
Data yang dikumpulkan meliputi: (1) data yang terkait dengan bioekologi hiu paus, yakni: a) kondisi lingkungan fisik yang menjadi tempat kemunculan hiu paus mencakup suhu permukaan laut, salinitas, dan kecerahan serta kedalaman perairan, potensi obyek daya tarik wisata lain sebagai pendukung, dan b) data terkait hiu paus mencakup jumlah individu yang muncul dan frekuensi kemunculannya, ukuran tubuh, jenis kelamin, tanda luka, serta perilaku; dan (2) data yang terkait dengan persepsi atau tanggapan masyarakat dan wisatawan tentang pengembangan dan pengelolaan ekowisata hiu paus di TNTC.
Data terkait bioekologi dikumpulkan dengan cara observasi dan pengukuran langsung di lapang. Pengamatan dilakukan di dua areal yang diketahui banyak bagan masyarakat dan menjadi lokasi kemunculan hiu paus, yakni di perairan Kwatisore dan Sowa. Jumlah individu hiu paus yang muncul dicatat kemudian diidentifikasi karakteristik fisik individu meliputi ukuran panjang tubuh, jenis kelamin, kekhasan identitas setiap individu, jumlah tanda luka dan perilaku. Penentuan ukuran panjang tubuh hiu paus dilakukan oleh dua orang yang berenang disamping hiu paus dan menggunakan tali untuk mengukurnya dari hidung sampai ekor dan/atau dengan membandingkan ukuran panjang tubuh hiu paus dengan orang yang berenang di sampingnya lalu mencatat estimasi ukurannya. Penentuan jenis kelamin dilakukan dengan cara mengamati ada tidaknya claspers yakni tanda berupa sirip di kedua bagian median sisinya yang disokong oleh jari-jari pina pelvicus. Hiu paus jantan memiliki claspers
sedangkan betina tidak. Pembedaan dan/atau pengenalan antar individu hiu paus dilakukan dengan pengambilan
foto identitas dengan metode Photographic
Identitification (Photo ID). Pengambilan foto identitas dilakukan oleh orang yang berenang di sisi kiri-kanan hiu. Pembedaan individu dilakukan dengan melihat pola warna totol putih di belakang insang di kedua sisi kiri-kanan hiu. Untuk menguatkan pembedaan individu, maka dicatat pula waktu kemunculan atau perjumpaan dan titik koordinat dijumpainya hiu paus tersebut. Data karakteristik luka, dilakukan dengan mencatat tanda luka di tiga bagian tubuh hiu paus, yakni sirip, badan dan mulut. Adapun data perilaku hiu paus yang dicatat meliputi perilaku dan durasi waktu makan, perilaku muncul kepermukaan dan interaksi dengan manusia. Pengamatan dilakukan dari atas perahu dan/atau bagan, yakni dengan cara mengamati dan mencatat perilaku dan durasi waktunya ketika hiu berada di permukaan laut, serta merekamnya menggunakan kamera selama 30 menit. Selain itu juga diamati pola pergerakan individu hiu paus dalam rentang waktu penelitian (Mei-Juli 2014) dengan cara mencatat hari kemunculan individu hiu paus yang sama di bagan-bagan yang berdekatan lalu dicatat titik koordinatnya menggunakan GPS.
Data aspek sosial kemasyarakatan dan persepsinya, serta data wisatawan dikumpulkan dengan cara wawancara mendalam (in depth interview) terhadap responden ataupun informan kunci. Total anggota masyarakat yang diwawancarai sebanyak 30 orang, masing-masing 10 orang dari tiga kampung yang berada dalam lingkup SPTN Wilayah I Kwatisore sebagai wilayah yang banyak muncul hiu paus. Wawancara dengan wisatawan dilakukan secara aksidental dengan semua wisatawan yang dijumpai di lokasi, yakni sebanyak 33 wisatawan domestik maupun wisatwan mancanegara.
Semua data bioekologi yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif untuk menggambarkan kondisi umum bioekologi dan karakteristik umum hiu paus yang muncul di TNTC. Data hasil wawancara ditabulasi, dihitung nilai rataan atau persentase kemudian diinterpretasi secara kualitatif untuk menggambarkan persepsi masyarakat maupun wisatawan tentang ekowisata hiu paus, pengembangan dan pengelolaannya. Penetapan kategori persepsi dilakukan dengan mengacu pada skala Likert (Slamet 1982), yakni dengan skor 1-5, masing-masing sangat tidak setuju (1), tidak setuju (2), netral (3), setuju (4) dan sangat setuju (5). Adapun untuk perumusan strategi pengembangan ekowisata hiu paus dilakukan dengan analisis SWOT ( Strengths-eaknesses-Opportunities-Treath) mengacu pada Suryandari (2005).
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Bioekologi Hiu Paus
a. Kondisi fisik perairan TNTC
Hasil observasi lapang menunjukkan bahwa umumnya hiu paus muncul di perairan Sowa dan Kwatisore yang banyak terdapat bagan dan banyak ikan kecil atau fitoplankton baik di dalam dan/atau di sekitar jaring bagan. Hasil pengukuran parameter lingkungan fisik di perairan banyak ditemukan kemunculan hiu paus ini, didapatkan kisaran suhu permukaan laut 27-32 oC, salinitas 33-34‰, dan tingkat kecerahan laut 7-12 m. Kondisi lingkungan fisik perairan ini masih berada dalam kondisi alami yang sesuai dan masih dalam batas toleransi hidup hiu paus. Suhu terendah (27 oC) terjadi pada dini hari pukul 01.30 WIT dan suhu tertinggi (32 oC) terjadi pada siang hari pukul 14.00 WIT. Kisaran suhu permukaan laut ini, relatif sama dengan kondisi suhu permukaan laut di beberapa wilayah sebaran hiu paus, seperti Kepulauan Seychelles Samudera Hinda dengan suhu 25-35 °C (Rowat et al. 2006; Hsu et al. 2007; Wilson et al. 2006), dan di Teluk California pada suhu 20-32 oC (Eckert & Stewart 1996), diperairan Qatar Teluk Arab pada rentang suhu 27,3 oC dan 29,58 oC, bahkan ketika suhu mencapai tingkat maksimum (33,8 oC) ternyata hiu paus diketahui masih muncul ke permukaan laut untuk mencari makan (Robinson et al. 2013). Rowat dan Gore (2007) bahkan melaporkan bahwa dari beberapa hasil penelitian diketahui hiu paus memiliki preferensi hidup atau aktif di perairan dengan suhu permukaan laut 21 oC dan 25 oC. Gambaran kondisi suhu permukaan laut tersebut menunjukkan bahwa hiu paus hidup cukup nyaman berada di perairan dengan iklim tropis yang hangat seperti halnya Teluk Cenderawasih.
Nilai salinitas perairan di kawasan TNTC yakni 33-34‰ masih berada dalam batas salinitas alami yang dibutuhkan hiu paus, juga berada dalam sebaran salinitas umum di seluruh wilayah laut Indonesia yakni 28‰ - 34‰ (Rustam dan Prabawa 2005). Kondisi salinitas yang relatif sama juga dilaporkan Robinson et al. (2013) di wilayah perairan Al Shaheen (39,1‰ dan 39,5‰). Hal ini menunjukkan bahwa hiu paus memiliki tingkat toleransi yang tinggi terhadap kondisi salinitas perairan. Nilai kecerahan perairan laut di perairan Teluk Cenderawasih yakni 7 m-12 m, menunjukkan suatu kondisi yang baik dalam menunjang produktivitas primer yang optimal, karena sangat berkaitan erat dengan laju fotosintesis fitoplankton dan biota laut lainnya yang menjadi sumber pakan bagi hiu laut. Fakta lapang menunjukkan bahwa di perairan Teluk Cenderawasih banyak terdapat fitoplankton dan biota laut lainnya yang menjadi sumber pakan hiu paus. Secara umum diketahui ada patokan kondisi kecerahan perairan yang penting untuk menunjang proses kehidupan di suatu ekosistem perairan. Sebagai contoh, Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004 antara lain
menetapkan batas kecerahan perairan untuk ekosistem terumbu karang adalah > 5 m dan untuk ekosistem lamun sebesar >3 m. Artinya kondisi kecerahan perairan di wilayah TNTC secara umum masih termasuk dalam kategori baik dan optimum untuk mendukung hidup dan aktivitas hiu paus.
b. Jumlah dan karakteristik individu hiu paus
Selama masa penelitian ditemukan 33 kali kemunculan hiu paus di wilayah perairan TNTC, masing-masing 26 kali di Sowa dan empat kali di Kwatisore, dengan total individu yang teridentikasi berdasarkan ciri-ciri morfologisnya sebanyak 15 individu, semuanya berjenis kelamin jantan. Adapun data hasil pengukuran panjang tubuh hiu paus dan frekuensi kemunculannya di wilayah Sowa dan Kwatisore disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Ukuran panjang tubuh hiu paus dan frekuensi kemunculannya di kawasan Sowa dan Kwatisore Taman Nasional Teluk Cenderwasih
Ukuran Panjang Tubuh (m) Frekuensi Kemunculan (kali)
Sowa Kwatisore 3,3-3,9 13 1 4,0-4,9 9 1 5,0-5,9 4 1 6,0-6,9 1 1 Total 26 4
Berdasarkan patokan ukuran panjang tubuh, maka semua hiu paus yang muncul ini tergolong berusia muda, karena beberapa penelitian menunjukkan ukuran panjang tubuh hiu paus dewasa jantan 7-8 m dan betina >10 (Joung et al. 1996), atau jantan dewasa berukuran 9 m dan betina dewasa 8 m (Colman 1997). Menurut Compagno (2002) ukuran tubuh hiu paus saat lahir sekitar 55-64 cm, pada saat usia belum matang kelamin berukuran < 2,99 m, usia remaja berukuran 3,90-5,40 m, dan mencapai dewasa saat berukuran 8,05-10,26 m. Adapun hiu paus betina yang belum memasuki masa matang kelamin (sexual maturity) berukuran 3,40-7,60 m dan mencapai dewasa saat berukuran sekitar 12 m.
Berdasarkan hasil identifikasi ada tidaknya luka pada tubuh hiu paus diketahui ada delapan individu (53,33%) tidak memiliki luka dan tujuh individu (46,67%) memiliki luka, masing-masing empat individu (26,67%) memiliki satu luka, dan tiga individu (20%) memiliki lebih dari satu luka. Meskipun data menunjukkan bahwa secara umum kondisi lingkungan perairan di TNTC cukup baik dan relatif aman bagi hidup dan pergerakan hiu paus, namun tetap memerlukan perhatian karena potensi ancaman bagi hiu paus tetap tinggi. Pengendalian kegiatan di perairan ini, seperti penempatan bagan perlu mendapat perhatian, karena sebagian besar penyebab luka pada hiu paus diduga terkait dengan keberadaan bagan.
c. Perilaku hiu paus
Mengacu pada Eckert and Nelson (2007), setidaknya ada dua kategori perilaku hiu yang penting diamati yakni, perilaku mencari makan dan perilaku tidak mencari makan. Selain itu juga diamati perilaku interaksi hiu paus dengan manusia.
Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa perilaku makan hiu paus di perairan Teluk Cenderwasih
ditunjukkan dengan suatu pola pergerakan hiu paus berenang mengitari bagan, berenang lambat sambil menyedot air (horisontal) dan menyedot jaring berisi ikan kecil secara vertikal. Perilaku mencari makan juga ditunjukkan oleh hiu paus dengan naik ke permukaan laut untuk mencari ikan sebagai pakannya di dalam jaring bagan. Perilaku ini umumnya dilakukan pada pagi hari dengan durasi sekitar 15-30 menit tanpa ada interaksi manusia dan stok ikan tersedia banyak di dalam jaring bagan. Durasi aktivitas ini akan mencapai lebih dari 1 jam apabila ada interaksi manusia dengan memberikan ikan-ikan kecil. Perilaku hius paus naik ke permukaan laut selain untuk mencari makan juga bertujuan untuk memanaskan tubuh. Terkait waktu aktivitas mencari makan hiu paus, maka fenomena perilaku mencari makan hiu paus di Teluk Cendermasih ini, dapat dinyatakan berbeda dengan fenomena yang ditemukan Graham et al. (2007) di Taman Nasional Ningaloo Australia yang menunjukkan bahwa perilaku makan hiu paus lebih dominan pada saat siang menjelang sore hari. Artinya, dapat dinyatakan bahwa di Australia perilaku makan pada pagi hingga siang hari bukan merupakan perilaku utama hiu paus dalam mencari makan. Eckert and Nelson (2007) menyatakan, bahwa perilaku hiu paus dalam mencari makan dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yakni: (1) perilaku makan aktif, digambarkan sebagai penyedot dan penyaring makanan dan berhubungan dengan lokasi dengan kelimpahan plankton yang tinggi; (2) perilaku makan pasif, yaitu hiu berenang dengan mulut terbuka, menyedot perlahan, yakni perilaku yang dikaitkan dengan kepadatan plankton sangat rendah dan usaha rendah; dan (3)
perilaku makan vertikal, yaitu perilaku dimana secara vertikal hiu paus menyedot makanan di daerah yang memiliki kepadatan makanan stabil.
Perilaku umum lainnya dari hiu paus yakni perilaku tidak mencari makan, yaitu perilaku munculnya hiu paus ke permukaan laut dekat bagan yang tidak ada stok ikan di dalam jaring. Perilaku yang ditunjukkan, yakni melakukan aktivitas berenang lambat mengitari bagan sambil menyedot air lalu menyelam kembali ke dalam laut.
Perilaku ketiga yang ditunjukkan hiu paus adalah perilaku interaksi dengan manusia, yakni ketika hiu paus diberi pakan berupa ikan kecil oleh nelayan, maka hiu paus menunjukkan perilaku (cenderung) tidak mem-berikan reaksi dan tidak mempedulikan manusia di sekitarnya, diduga kuat karena hiu paus sedang fokus terhadap makanan yang ada di sekitarnya. Umumnya, hiu paus tidak memberikan respon atau reaksi apapun pada manusia yang memberikan sentuhan pada bagian tubuhnya apabila terdapat makanan di depannya. Sebaliknya, apabila tidak ada makanan di depan atau sekitarnya, maka hiu paus akan memberikan respon atau reaksi terhadap interaksi sentuhan tersebut. Hiu paus cenderung berenang menghindar terutama ketika orang yang berenang di dekatnya akan memegang bagian siripnya, begitu juga ketika seorang perenang berhadap-hadapan dengan hiu paus, maka umumnya pada jarak sekitar 2 meter hiu paus secara cepat akan berbelok arah ke kiri ataupun ke kanan. Meskipun interaksi antara orang dengan hiu paus memiliki arti penting sebagai
suatu atraksi wisata yang menarik, namun
Brunnscheileret et al. (2009) menyatakan bahwa interaksi antara hiu paus dan orang yang berenang di sekitarnya (wisatawan) akan memberikan dampak negatif berupa stress pada hiu paus. Hasil identifikasi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa jarak antara penyelam
dan kapal yang sangat dekat dengan hiu paus ternyata telah mengakibatkan hiu paus menjadi sangat stress. Artinya semakin banyak jumlah kapal atau wisatawan yang berinteraksi dengan hiu paus, maka tingkat stress yang dialami hiu paus juga akan semakin tinggi. Hal ini harus menjadi perhatian dalam pengembangan kegiatan ekowisata hiu paus, yakni perlunya pengaturan jumlah wisatawan dan kapal agar aktivitas wisata yang dikembangkan tidak memberikan dampak negatif pada perilaku dan populasi hiu paus.
2. Persepsi Masyarakat dan Wisatawan tentang Ekowisata Hiu Paus di TNTC
Hasil wawancara dengan 51 orang anggota masyarakat lokal (92,16% laki-laki dan 7,84% perempuan), berumur > 40 tahun dan sebagian besar berpendidikan SD-SMP (78,43%) dengan matapen-caharian utama sebagai nelayan (100%) menunjukkan bahwa, umumnya mereka memberikan tanggapan atau persepsi yang positif terhadap pengembangan ekowisata hiu paus di kawasan perairan TNTC (Tabel 1). Hal ini menunjukkan adanya indiklasi kuat kehendak bersama (common will) dari masyarakat lokal terhadap pengembangan ekowisata hiu paus, sehingga harus menjadi perhatian didalam perumusan strategi pengembangan dan implementasi kegiatan ekowisata hiu paus di TNTC. Meskipun demikian, data di Tabel 1 juga menunjukkan bahwa masih ada warga masyarakat yang bersikap ragu-ragu terhadap rencana pengembangan ekowisata hiu paus, sehingga perlu mendapat perhatian, misalnya dalam hal kepastian hal akses masyarakat dalam pengelolaannya.
Tabel 1. Tanggapan masyarakat lokal terhadap pengembangan ekowisata hiu paus di TNTC
No. Persepsi masyarakat Persentase Tanggapan Responden (%)
1 2 3 4 5
1 Pengembangan Pariwisata hiu paus 0,00 0,00 5,88 23,53 70,59
2 Pelestarian obyek wisata 0,00 0,00 0,00 19,61 80,39
3 Pelibatan masyarakat 0,00 0,00 0,00 23,53 76,47
4 Peran aktif masyarakat 0,00 0,00 15,69 23,53 60,78
5 Rumah penduduk sebagai Homestay 0,00 9,80 25,49 52,94 11,76
6 Pariwisata memberi pengaruh positif 0,00 0,00 21,57 27,45 50,98
7 Pendidikan dan pelatihan 0,00 0,00 0,00 31,37 68,63
8 Keterlibatan swasta 0,00 9,80 37,25 33,33 19,61
Keterangan : 1. Sangat tidak setuju; 2. Tidak setuju; 3. Ragu-ragu; 4. Setuju; 5. Sangat setuju Terkait dengan persepsi wisatawan tentang
ekowisata hiu paus khususnya maupun obyek daya tarik wisata lainnya di dalam kawasan perairan TNTC sebagai obyek wisata penunjang (panorama bawah laut, wisata pantai, bird watching dan budaya masyarakat), maka telah dilakukan wawancara dengan metode aksidental terhadap semua wisatawan yang ditemui yakni sebanyak 33 orang (23 laki-laki dan 10 perempuan), terdiri dari wisatawan domestik 4 orang (12,12%) dan wisatawan mancanegara 29 orang (87,88%) dengan tingkat
pendidikan sarjana sampai doktor, berusia > 30 tahun (84,84% berusia 30-49 tahun), dan sebagian besar (96,97%) baru pertama kali berkunjung. Hasil wawancara menunjukkan bahwa secara umum para wisatawan memberikan persepsi atau tanggapan yang positif sampai sangat positif. Semua wisatawan menyatakan bahwa ekowisata hiu paus yakni interaksi dengan hiu paus di dalam air merupakan suatu kegiatan wisata atraktif yang menarik (12,12%) dan sangat menarik (87,88%). Persepsi wisatawan terhadap obyek
daya tarik wisata pendukung lainnya umumnya juga positif, seperti panorama bawah laut sebagai salah satu obyek daya tarik wisata yang dinilai menarik (24,24%) dan sangat menarik (75,76%), wisata pantai dinilai cukup menarik sampai sangat menarik, demikian juga dengan wisata bird watching dan budaya masyarakat. Terkait dengan sarana dan prasarana serta pengelolaan obyek wisata, meskipun secara umum dinilai para wisatawan sudah baik sampai sangat baik, namun masih ada beberapa aspek pengelolaan yang dinilai masih kurang, seperti pelayanan pengelola tergolong kurang baik (21,21%) dan cukup baik (27,27%); ketersediaan informasi dinilai kurang (21,21%) bahkan tidak ada (78,79%); keberadaan pemandu wisata kurang (87,88%) bahkan tidak ada (12,12%); tingkat kenyamanan kurang baik (21,21%) dan cukup baik (45,45%); transportasi menuju kawasan TNTC tidak mudah (69,70%); pelayanan komunikasi kurang baik (51,52%) dan cukup baik (21,21%); akomodasi umumnya cukup baik (24,24%) sampai baik (12,12%) dan sangat baik (63,64%). Masalah harga (tarif) kegiatan wisata dinilai mahal (69,70%) dan sebagian lainnya (30,30%) menilai tarif wisata sudah tepat.
Meskipun gambaran persepsi masyarakat dan wisatawan tentang pengembangan ekowisata hiu paus di
perairan TNTC dinilai positif, menarik hingga sangat menarik, namun ada beberapa aspek pengelolaan dinilai masih kurang sampai sangat kurang. Hal ini memiliki implikasi positif dan penting sebagai dasar pertimbangan didalam perumusan strategi pengembangan dan implementasi kegiatan ekosiwata hiu paus sebagai wisata utama (primadona) maupun pengembangan potensi obyek daya tarik wisata lainnya sebagai penunjang di kawasan perairan TNTC, begitu pula dengan keter-sediaan sarana prasarana pengelolaan wisata.
3. Strategi Pengembangan Ekowisata Atraksi Hiu Paus di TNTC
Hasil analisis faktor-faktor yang terkait dengan kondisi internal (kekuatan dan kelemahan) dan kondisi eksternal (peluang dan tantangan) yang dilakukan telah menghasilkan nilai untuk masing-masing faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan seperti disajikan pada Tabel 2. Selanjutnya berdasarkan hasil analisis SWOT didapatkan posisi kekuatan dan kelemahan, serta peluang dan tantangan yang terkait dengan pengembangan ekowisata hiu paus seperti disajikan pada Gambar 1.
Tabel 2. Hasil penilaian IFA (Internal Factor Analysis) dan EFA (Eksternal Factor Analysis) pengembangan ekowisata hiu paus di TNTC
No. Faktor internal dan eksternal Jumlah (bobot x nilai)
1 Kekuatan 3,6
2 Kelemahan 2,8
3 Peluang 2,9
4 Ancaman 2,5
Hasil identifikasi dan penilaian faktor internal dan eksternal yang diklasiifikasi sebagai kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman seperti disajikan pada Tabel 2 di atas, selanjutnya dengan model kuadran diperoleh gambaran masing-masing faktor penting seperti disajikan pada Gambar 1. Berdasarkan formulasi letak kuadran pada Gambar 1 tersebut, maka ada beberapa strategi yang penting dan mendesak untuk dilaksanakan dalam rangka pengembangan ekowisata atraksi hiu paus di TNTC. Sebagai contoh, strategi mendesak pada kuadran I yakni Rapid growth strategy
(strategi pertumbuhan cepat), yaitu meningkatkan laju pertumbuhan kunjungan wisatawan dalam waktu lebih cepat, dengan peningkatan kualitas faktor kekuatan untuk memaksimalkan pemanfaatan semua peluang.
Secara umum berdasarkan hasil analisis SWOT seperti ditunjukkan pada Gambar 1, maka ada beberapa strategi penting yang perlu segera dilakukan, yakni:
(1) Strategi SO (Strength-Opportunity), yakni menggunakan kekuatan dan memanfaatkan peluang, meliputi: (a) mengembangkan produk wisata unggulan;
(b) pengembangan atraksi seni budaya; (c) meningkatkan sinergitas stakeholder dalam pengembangan pariwisata; (d) meningkatkan pangsa pasar yang lebih luas; (e) optimalisasi pemasaran; (f) meningkatkan iklim investasi. (2) Strategi WO (Weakness-Opportunity),
yakni meminimalkan kelemahan dan memanfaatkan peluang, meliputi : (a) meningkatkan kapasitas SDM; (b) menyediakan dan melengkapi Infrastruktur pendukung wisata; (c) pembinaan dan pelatihan kepada masyarakat pada bidang terkait wisata. (3) Strategi ST (Strength-Threats), yakni menggunakan kekuatan dan mengatasi ancaman, meliputi: (a) meningkatkan koordinasi para pihak dan pendekatan persuasif pada masyarakat untuk pemanfaatan SDA yang berpotensi dijadikan obyek wisata; (4) Strategi WT (Weakness-Threats), yakni meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman, meliputi: (a) mendorong penyusunan Peraturan Desa (Perdes) secara aspiratif untuk mengatur tata ruang yang memenuhi persyaratan ekonomis, ekologis dan sosial; (b) meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya lingkungan dan pengelolaan wisata berkelanjutan.
Gambar 1. Hasil analisis SWOT strategi pengembangan ekowisata hiu paus di Taman Nasional Teluk Cenderawasih Papua.
SIMPULAN
1. Kondisi bioekologi di perairan Teluk
Cenderawasih sesuai (cocok) dan positif mendukung hidup dan perkembangan hiu paus, baik dilihat dari kondisi lingkungan fisik perairan maupun ketersediaan sumberdaya pakan. Jumlah hiu paus yang muncul, frekuensi kemunculan dan perilaku yang terlihat memiliki potensi dan prospek sebagai obyek daya tarik wisata yang atraktif.
2. Masyarakat dan wisatawan memberikan penilaian positif dan tertarik dengan pengembangan ekowisata hiu paus dan berbagai obyek daya tarik wisata penunjang lainnya di TNTC, seperti panorama bawah air, wisata pantai dan bird watching. Ketersediaan sarana prasarana pengelolaan wisata dan kapasitas sumber daya manusia pengelola dinilai masing kurang, sehingga perlu diperbaiki dan ditingkat, seperti penyediaan dan peningkatan kapasitas pemandu wisata, pelayanan informasi dan komunikasi, serta kenyamanan lingkungan.
3. Strategi pengembangan yang penting dilakukan, antara lain peningkatan kapasitas sumberdaya manusia pengelola, penyediaan infrastruktur pendukung wisata, koordinasi dan sinergitas dengan stakeholders, dan peningkatan kesadaran masyarakat serta pengembangan atraksi wisata budaya sebagai pendukung ekowisata hiu paus.
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra HS. 2012. Konservasi Sumber Daya Lingkungan “Pendekatan Ecoshophy Bagi
Penyelamatan Bumi”. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
[BBTNTC] Balai Besar Taman Nasional Teluk Cenderawasih. 2012. Rencana Pengembangan Pariwisata Alam. Manokwari (ID): BBTNTC. Bradshaw CJA, Fitzpatrick BM, Steinberg CC, Brook
BW, Meekan MG. 2008. Decline in whale shark size and abundance at Ningaloo Reef over the past decade: the world‘s largest fish is getting smaller. Biological Conservation. 141(7): 1894-1905.
Brunnscheileret JM, Baensch H, Pierce SJ, Sims DW. 2009. Deep-diving behaviour of a whale shark Rhincodon typus during long-distance movement in the western Indian Ocean. Jounal of Fish Biology: 74: 706-714.
Colman JG. 1997. A Review of the biology and ecology of whale shark. J Fish Biol. 51: 1219-1234.
Compagno LJV. 2001. Sharks of The World. An Annotated and Illustrated Catalogue of Shark Species Known To Date. Roma (IT): FAO Creswell JW. 2014. Penelitian Kualitatif & Desain
Riset “Memilih di Antara Lima Pendekatan” Edisi 3. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar. Drumm A, Moore A. 2002. Ecotourism Development,
A Manual for Conservation Planners and Managers. Virginia (USA): TNC
Eckert AS, B Stewart. 1996. Migration and movements of the whale shark (Rhincodon typus) in the Sea of Cortez as determined by satellite telemetry.
Hubbs-Sea World Res. Inst., Tech. Rep. 96-269: 1-22
Eckert AS, Nelson DJ. 2007. Foraging ecology of whale sharks (Rhincodon typus) within Bah’ia de
Los Angeles, Baja California Norte, Mexico.
Fishries Research 84:47-64.
Fandeli C, 2000. Pengusahaan Ekowisata. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada Press.
Graham RT, Roberts CM and Smart JCR. 2007. Diving behaviour of whale sharks in relation to a predictable food pulse. Journal of the Royal Society Interface. 3: 109-116.
Hsu HH, Joung SJ, Liao YY, Liu KM.2007. Staelite tracking of juvenile whale sharks – Rhincodon typus in the Northwestern Pacific. Fisheries Research. 84 (1): 25-31.
Joung SJ, Chen CT, Clark E, Uchida S, Huang WYP. 1996. The whale shark, Rhincodon typus, is a livebearer: 300 embryos found in one ‘‘megamamma’’supreme. Biology of Fishes. 46: 219-223.
Meekan MG, Bradshaw CJA, Press M, McLean C, Richards A, Quashnichka S, Taylor JG. 2006. Population size and structure of whale sharks Rhincodon typus at Ningaloo Reef, Western Australia. Marine Ecology Progress Series. 319:
275-285.
Robinson PD, Jaidah YM, Jabado WR, Brooks LK, Eldin NMN, Al Maliki AA, Elmeer K, McCormick AP, Henderson CA, Pierce JS, Ormond GFR. 2013. Whlae sharks Rhicodon typus aggregate around offshore platforms in Qatairi Waters of the Arabian Gulf to feed on fish spawn. PLOS ONE. 3 (3): e58255.
Rowat D, Gore M. 2007. Regional scale horizontal and local scale vertical movements of whale sharks in the Indian Ocean ofSeychelles. Fisheries Research. 84 (1): 32-40.
Rowat D, Meekan MG, Engelhardt U, Pardigon B, Vely M. 2006. Aggregations of juvenile whale sharks (Rhincodon typus) in the Gulf of Tadjoura,
Djibouti. Environmental Biology of Fishes. 80 (4): 465-472
Rustam A, Prabwa FYJ. 2015. Kualitas perairan di Pantai Punai dan Pantai Tambak Kabupaten Belitung Timur. Segara. 11(1): 75-84
Slamet Y. 1982. Metode Penelitian Sosial. Surakarta (ID): Penerbit UNS Press.
Stacey EN, Karam J, Dwyer, Speed C, and Meekan M., 2008. Assessing Traditional Ecological Knowledge of Whale Sharks (Rhincodon typus) in eastern Indonesia: A pilot study with fishing communities in Nusa Tenggara Timur. Casuarina (AU): Charles Darwin University.
Stewart BS. 2011. Scientific Research for Conservation and Ecotourism Management of Whale Sharks 7 November 2012, Nabire, Papua. Hubbs-SeaWorld Research Institute Technical Report 2012. 379: 1-25.
Supyan. 2011. Pengembangan daerah konservasi sebagai tujuan wisata. Jurnal Mitra Bahari. 5: 53-69.
Suryandari EY. 2005. Peluang usaha ekowisata Cagar Alam/Taman Wisata Alam Kawah Ijen di Kawasan Taman Naskional Alas Purwo. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. II (1): 13-26. Wilson SC, Polovina JJ, Steward BS, Meekan MG.
2006. Movement of whale sharks (Rhincodon typus) tagged at Ningaloo Reef, Western Australia. Marine Biology. 148 : 1157-1166. Yulianda F. 2007. Ekowisata bahari sebagai alternatrif
pemanfaatan sumberdaya pesisir berbasis konservasi. Seminar Sains Seminar Sains; 21 Februari 2007; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.