PEMANFAATAN PIRAMIDA GEN KETAHANAN TERHADAP PENYAKIT
HAWAR DAUN BAKTERI DALAM MENDUKUNG PERAKITAN
VARIETAS UNGGUL PADI
Application of Gene Pyramiding For Resistance to Bacterial Leaf Blight
to Develop New Rice Variety
Fatimah dan Joko Prasetiyono
Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Jalan Tentara Pelajar No. 3A, Bogor 16111
Telp (0251) 8337975; Faks. (0251) 8338820 E-mail: [email protected].
Diterima: 26 November 2018; Direvisi: 23 September 2019; Disetujui: 9 April 2020
ABSTRAK
Penyakit hawar daun bakteri (HDB) yang disebabkan oleh Xanthomonas oryzae pv oryzae (Xoo) merupakan penyakit penting pada tanaman padi karena dapat menurunkan produksi padi rata-rata 20-30% bahkan dapat mencapai 80%. Penggunaan varietas tahan merupakan cara pengendalian yang paling efektif, ramah lingkungan, dan mudah dilakukan. Namun pengembangan varietas unggul baru melalui seleksi konvensional memerlukan waktu lebih lama. Perbaikan varietas padi perlu terus dikembangkan dalam mendukung ketahanan pangan dan kemandirian pangan nasional. Tersedianya marka molekuler membantu proses pemuliaan tanaman menjadi lebih presisi dan lebih efisien sehingga mengurangi waktu seleksi pada tanaman progeni. Tulisan ini memfokuskan pendekatan molekuler dalam pemuliaan varietas tahan penyakit HDB melalui piramida gen ketahanan untuk mempercepat progam pemuliaan padi tahan penyakit HDB. Kegiatan menggabungkan tiga gen ketahanan (xa5, Xa7, dan Xa21) dan satu gen (Xa4) sebagai background ke dalam padi varietas Ciherang dan Inpari-13 telah berhasil dilakukan. Melalui penggabungan beberapa pendekatan yaitu pemuliaan konvensional dan silang balik berbantu marka, evaluasi penyakit dan keragaan agronomi serta komponen hasil telah menunjukkan peningkatan ketahanan yang nyata pada galur-galur piramida Ciherang HDB dan Inpari-13 HDB pada tiga ras Xoo (Ras III, IV, dan VIII), baik pada fase vegetatif maupun generatif dengan potensi hasil tidak berbeda nyata dengan tetuanya (6-7 t/ha). Saat ini sudah diproduksi benih inti (NS) dan benih penjenis (BS) galur-galur piramida Ciherang HDB dan Inpari-13 HDB. Dengan demikian, galur-galur piramida memiliki spektrum yang luas dan mampu bertahan dalam jangka waktu lama sehingga dapat mengontrol penyakit HDB di berbagai wilayah Indonesia dan mendukung target pemerintah untuk mempertahankan swasembada beras secara berkelanjutan. Kata kunci: Padi, piramida gen, pemuliaan tanaman, marka molekuler
ABSTRACT
Bacterial leaf blight (BLB) caused by Xanthomonas oryzae pv oryzae (Xoo) is an important bacterial disease and very destructive
to rice plant. BLB decreased rice production from 20%-30% up to 80%. Host-plant resistance is a cost-effective and environmentally safe approach to reduce yield loss. However the development of new rice variety by conventional selection would take several years. The genetic improvement in rice production considered as a vital program in order to ensure national food security. The availability of corresponding molecular marker makes it more precision and efficient by reducing the time required for selection. This present article highlights the molecular approach in breeding for BLB disease resistant rice varieties. In detail, it will be discussed the application of molecular marker assisted backcrossing and pyramiding gene resistance offered breeders to accelerate the rice breeding program for resistance to BLB. The pyramiding of three resistance BLB genes (xa5, Xa7, and Xa21) and one gene (Xa4) as a background into two elite indica rice varieties, Ciherang and Inpari 13, was introduced successfully. The combining of conventional breeding, marker assisted backcrossing, disease evaluation, agronomic performance and yield has led the significant resistance of pyramid lines to Xoo Race III, IV and VIII in vegetative and generative phase while their yield potential was maintained (6-7 ton/ha). The current status of Ciherang-HDB and Inpari 13-HDB pyramid lines is the production of nucleoseeds and breeder seeds. This broad spectrum and durable resistance characteristic may help in controlling BLB disease in different region of Indonesia and it will facilitate the rice self-sustainability program.
Keywords: Rice, gene pyramiding, plant breeding, molecular marker
PENDAHULUAN
D
i Indonesia beras merupakan pangan pokok sekitar 95% penduduk (Swastika et al. 2007). Pada tahun 2020, Indonesia diprediksi akan dihuni oleh sekitar 273 juta jiwa penduduk dengan laju pertumbuhan 1,5% setiap tahun (Badan Pusat Statistik 2014). Tingginya konsumsi beras di Indonesia tidak diimbangi dengan produksi padi yang tinggi. Kementerian Pertanian (2017) melaporkan produksi padi nasional pada tahun 2017 sebesar 81,38 jutaton, lebih tinggi 2,56% dibanding tahun 2016 (79,355 juta ton). Peningkatan produksi tersebut tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan produksi dalam lima tahun terakhir karena produksi di Jawa diperkirakan mengalami penurunan 1,28% atau 533,09 ribu ton.
Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan hasil padi per satuan luas adalah menanam varietas unggul yang memiliki kualitas dan kuantitas hasil tinggi serta didukung oleh karakteristik yang baik, tahan terhadap cekaman biotik dan abiotik. Perbaikan sifat padi melalui pemuliaan tanaman harus terus dilakukan untuk merakit varietas-varietas unggul baru (Jonharnas 2009). Upaya yang dinilai lebih efektif mengendalikan cekaman biotik adalah penanaman varietas tahan, karena ekonomis dan tidak merusak lingkungan. Kehilangan hasil akibat infeksi penyakit tanaman bergantung pada tingkat kerentanan varietas yang digunakan, tingkat infeksi, dan waktu penerapan fungisida (Khush and Jena 2009).
Penularan penyakit secara langsung dapat menyebabkan penurunan hasil dan secara tidak langsung akan meningkatkan biaya produksi. Berdasarkan nilai keuntungan ekonomi terdapat biaya yang semestinya harus dibayarkan, yaitu biaya pencegahan sebelum terjadinya kehilangan hasil dengan memanfaatkan ketahanan varietas terhadap patogen. Namun hal ini sering dilupakan dalam analisis cost-benefit karena produsen umumnya tidak mengalami kehilangan hasil yang berarti, padahal sebenarnya program pemuliaan tanaman telah memberikan andil dalam bentuk varietas tahan sebagai bentuk biaya pencegahan untuk mengatasi penularan penyakit (Nalley et al. 2016), mirip dengan biaya vaksin untuk pencegahan penyakit. Marasas et al. (2003) melaporkan dampak ekonomi dari penelitian pemuliaan tanaman adalah dalam bentuk kemampuan memberikan pemeliharaan atau perlindungan optimal dan ini merupakan dampak yang besar selain dampak yang terkait dengan peningkatan hasil.
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan di bidang genetika molekuler maka penggunaan salah satu teknologi terapannya yaitu penanda molekuler sangat bermanfaat, terutama dalam meningkatkan efisiensi pemuliaan tanaman. Karakterisasi varietas menggunakan pendekatan bioteknologi berupa penanda molekuler dapat memberikan hasil yang lebih cepat dan efektif dibandingkan dengan karakterisasi konvensional karena dapat digunakan pada stadium awal tanaman, bahkan dapat dilakukan pada benih, tidak merusak karena hanya dibutuhkan sedikit sampel, dan tidak bias oleh faktor lingkungan (netral) (Kordrostami and Rahimi 2015).
Dibandingkan dengan pemuliaan konvensional, penggunaan penanda molekuler dapat membantu mendeteksi gen resesif yang telah terintegrasi ke dalam genotipe target, sehingga hasilnya dapat terdeteksi lebih cepat dan sesuai dengan sifat yang diinginkan, yaitu dengan cara menyeleksi alel-alel target pada galur-galur hasil persilangan. Jika hanya mengandalkan pengamatan fenotipik, hal ini sulit dilakukan karena adanyanya
fenomena masking effect, yaitu secara epistatis akan saling menutupi satu efek dengan efek yang lain (Joshi and Nayak 2010). Selain itu, Ribaut and Hoisington (1998) melaporkan apabila diinginkan hanya satu segmen yang mengandung gen tertentu tanpa ada gangguan dari gen pengikut lain (tidak ada linkage drag) dan jika dilakukan secara tradisional diperlukan sampai 100 kali silang balik dan butuh waktu 50 tahun.
Masalah tersebut dapat diatasi dengan pendekatan pemuliaan silang balik (Marker Assisted Backcrossing -MABc), yaitu seleksi menggunakan marka molekuler untuk target gen (foreground) dan latar belakang genetiknya (background). Pendekatan ini digunakan untuk tujuan piramida gen ketahanan dalam satu varietas target (Ye and Smith 2008). Strategi ini bertujuan untuk menggabungkan beberapa gen pembawa sifat yang diinginkan dari berbagai sumber tetua ke dalam suatu genotipe sehingga perbaikan genetik pada varietas komersial dengan cara mempiramidakan atau menggabungkan gen (biotik dan abiotik) sehingga memiliki sifat multitoleransi dan broad spectrum.
Tulisan ini menguraikan pemanfaatan teknologi piramida gen dalam mengembangkan padi varietas Ciherang dan Inpari-13 tahan penyakit HDB sebagai salah satu contoh pengaplikasian teknologi piramida gen. Ke depan diharapkan teknologi ini dapat digunakan secara luas, khususnya dalam program pemuliaan padi di Indonesia.
TANTANGAN PENGGUNAAN
VARIETAS UNGGUL PADI
Secara umum kemajuan yang nyata dalam program pemuliaan tanaman padi adalah peningkatan hasil. Hal ini berbeda dengan pemuliaan untuk ketahanan terhadap cekaman biotik yang hanya menghasilkan ketahanan terhadap patogen. Penambahan sifat ketahanan penyakit untuk mendapatkan varietas tahan pada umumnya tidak meningkatkan potensi hasil pada saat pertanaman berlangsung karena pada saat musim tanam tersebut sedang tidak terjadi ledakan penyakit, namun faktanya keberadaan varietas tahan dapat mengurangi variabilitas hasil.
Hal ini dapat dikatakan sebagai program pemuliaan untuk pemeliharaan (maintenance breeding) atau sebagai mitigasi atas kehilangan hasil potensial. Maintenance breeding adalah perbaikan sifat tanaman untuk mengatasi penyakit, memperbaiki kualitas benih, atau mengeliminasi kerusakan lainnya yang akan menghambat produksi dan pemasaran hasil (Richards 1996). Maintenance breeding menekankan pada toleransi terhadap cekaman yang berasosiasi dengan lingkungan dan perubahan iklim. Hal ini penting dalam menjaga kestabilan produksi di Asia tanpa menambah luas areal pertanaman (Cassman et al. 2003). Ekonom dan pembuat kebijakan cenderung
memandang rendah opportunity cost hasil riset pertanian, khususnya terkait pemuliaan tanaman untuk pemeliharaan (maintenance breeding). Opportunity cost dari maintenance breeding dapat dipandang sebagai bentuk pencegahan atas kehilangan hasil melalui pemuliaan untuk ketahanan terhadap penyakit sehingga varietas tersebut terpelihara hasilnya (yield floor) (Nalley et al. 2016).
Peng et al. (2010) menekankan pentingnya memelihara pemuliaan padi di Asia Tenggara karena kurangnya property genetik yang dapat memperlambat peningkatan hasil. Hal ini tetap sulit terjadinya peningkatan produksi padi secara global seiring dengan peningkatan permintaan terhadap beras jika program pemuliaan untuk pemeliharaan (maintenance breeding) dikurangi atau bahkan ditiadakan. Di Amerika dilaporkan ketahanan terhadap penyakit blas (Nalley et al. 2016) dan penyakit hawar pelepah padi (sheath blight) (Tsiboe et al. 2017) nyata memililki dampak positif dalam mengurangi kerawanan pangan global (food insecurity) melalui peningkatan suplai, penurunan harga, dan mengurangi dampak lingkungan (pemanasan global, karsinogenisitas, ekotoksisitas, eutrofikasi, penipisan bahan bakar fosil, kabut asap, dan penipisan ozon).
Penyakit HDB pertama kali dilaporkan di Indonesia oleh Reitsman dan Schure pada tahun 1950. Infeksi penyakit HDB pada pembuluh tanaman padi oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo) merupakan salah satu bentuk cekaman biotik yang menjadi masalah penting di negara penghasil padi di dunia, termasuk Indonesia (Shen and Ronald 2002; Sudir and Yuliani 2016).
Permasalahan muncul pada saat penggunaan satu varietas padi unggulan petani secara terus menerus. Sebagai contoh, varietas Ciherang ditanam secara tunggal pada areal yang luas dalam jangka waktu yang lama. Varietas Ciherang yang awalnya tahan mulai memperlihatkan kepekaaan terhadap patogen Xoo. Hal ini disebabkan oleh dinamika pergeseran patotipe dari patogen Xoo karena setiap patotipe memiliki virulensi yang berbeda-beda sedangkan genotipe varietas padi yang ditanam tetap sama (Kadir 2009). Kenyataannya, petani enggan mengganti varietas potensi hasil tinggi yang sudah biasa ditanam dengan varietas lainnya, baik dalam rotasi pertanaman per musim tanam maupun dalam jangka panjang.
Penyakit HDB tercatat sebagai salah satu faktor pembatas peningkatan produksi padi (Iyer and McCouch 2004). Bakteri Xoo menginfeksi tanaman padi terutama pada bagian daun melalui luka atau lubang alami seperti stomata dan hidatoda. Bakteri Xoo mampu menginfeksi tanaman padi dari fase persemaian hingga fase generatif akhir (Akhtar et al. 2010). Bakteri ini dapat menginfeksi tanaman padi pada semua fase pertumbuhan, mulai dari persemaian sampai menjelang panen (Suparyono et al. 2004). Namun fase kritis tanaman padi terhadap penyakit ini terjadi pada fase generatif, yaitu pada stadia anakan maksimum, pembungaan, pengisian malai, dan
pemasakan yang mampu menurunkan potensi hasil (Kadir 2009).
Perbedaan ketahanan genotipe pada tanaman padi terhadap patotipe Xoo yang berbeda disebabkan oleh jumlah dan komposisi gen ketahanan terhadap HDB yang dimiliki masing-masing genotipe padi. Genotipe yang memiliki kombinasi gen ketahanan yang beragam berpeluang memiliki tingkat ketahanan yang lebih tinggi dan lama dibanding genotipe lain yang memiliki jumlah gen ketahanan lebih sedikit. Hal ini terjadi karena adanya interaksi positif antargen ketahanan, baik pada fase dominan, over dominance, maupun interaksi kompleks lainya, seperti yang ditunjukan oleh kombinasi gen ketahanan Xa4, xa5, Xa7, Xa21 yang dimiliki oleh galur isogenik IRBB64 (Susanto dan Sudir 2012). Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan perbaikan genetik varietas Ciherang dan Inpari-13 melalui introgresi gen ketahanan HDB yang efektif dalam mengendalikan penyakit tersebut di berbagai wilayah pertanaman padi di Indonesia.
PEMULIAAN SILANG BALIK
BERBANTUAN MARKA MOLEKULER
Saat ini, para pemulia telah memberikan progres yang nyata melalui penggunaan metode pemuliaan secara konvensional, khususnya melalui pemuliaan silang balik (backcrossing). Dalam pemuliaan silang balik dikenal tetua recurrent (RP) atau tetua elit yang umumnya memiliki banyak sifat yang diunggulkan, namun memiliki satu atau beberapa karakter yang kurang diinginkan. Tetua donor umumnya memiliki satu atau beberapa gen yang mengontrol sifat penting yang umumnya tidak dimiliki oleh varietas elit. Tujuan utama dari pemuliaan silang balik adalah untuk mentransfer satu atau beberapa gen dengan sifat yang diinginkan dari tetua donor ke tetua RP dan selanjutnya memulihkan genom RP dengan mengeliminasi gen yang tidak diinginkan secepat mungkin. Seiring dengan perkembangan teknologi dalam 30 tahun terakhir terjadi peningkatan yang pesat dalam program pemuliaan tanaman berbantu marka molekuler. Penggunaan marka molekuler terus mengalami perubahan dan kemajuan yang pada intinya mampu mendeteksi polimorfisme dan perubahan pada DNA masing-masing individu.
Beberapa kriteria penanda molekuler yang baik untuk digunakan yaitu memiliki tingkat polimorfisme yang sedang hingga tinggi, terdistribusi merata di seluruh genom, memberikan resolusi perbedaan genetik yang baik, pewarisan bersifat kodominan sehingga mampu membedakan kondisi homozigot dan heterozigot dalam organisme diploid, netral, teknik yang sederhana, cepat dan murah, butuh sedikit DNA sampel, berkaitan erat dengan fenotipe, dan data yang mudah dipertukarkan antarlaboratorium. Penanda molekuler yang umum digunakan dalam pemuliaan tanaman padi adalah mikrosatelit (Agarwal et al. 2008; Xu 2010).
Penanda mikrosatelit atau segmen DNA berulang tersebar pada genom organisme eukariot sehingga dikenal sebagai simple sequence repeat (SSR) yang merupakan penanda molekuler berbasis Polymerase Chain Reaction (PCR) dan memerlukan dua primer berupa urutan nukleotida spesifik forward dan reverse yang mengapit segmen penanda untuk amplifikasi DNA (McCouch et al. 2002). Visualisasi DNA hasil amplifikasi menggunakan penanda mikrosatelit dapat dilakukan menggunakan PAGE (Polyacrilamide Gel Electrophoresis) atau gel agarosa dengan pelabelan produk hasil PCR menggunakan senyawa radioaktif atau pengecatan perak (silver staining) (Xu 2010). Hasil visualisasi marka molekuler dapat dievaluasi melalui perbedaan ukuran pita DNA hasil amplifikasi PCR. Saat ini informasi mengenai penanda mikrosatelit tanaman padi dapat diakses melalui basis data Gramene (www.gramene.org).
Salah satu penggunaan marka molekuler yang diintegrasikan pada program pemuliaan tanaman disebut pemuliaan silang balik berbantu marka molekuler (Marker Assisted Backcrossing - MABc). MABc merupakan pemuliaan yang paling sederhana dalam pemuliaan berbantu marka molekuler (Molecular Assisted Breeding -MAB). Dalam hal ini marka molekuler digunakan untuk membantu dan meningkatkan kemampuan pemuliaan silang balik konvensional agar menjadi lebih terarah sehingga sifat yang diinginkan dapat ditransfer lebih baik dan lebih cepat pada beberapa kali silang balik.
Terdapat dua tipe seleksi yang dikenal pada tahapan MABc, yaitu seleksi foreground dan background (Hospital 2003). Seleksi foreground dilakukan untuk menyeleksi individu tanaman yang mengandung alel donor pada lokus target. Tujuannya menjaga alel donor tetap terwariskan. Penggunaan marka molekuler dalam pemuliaan silang balik ini membantu proses pemuliaan menjadi lebih presisi dan lebih efisien sehingga mengurangi waktu seleksi pada tanaman progeny. Selanjutnya dilanjutkan 2-3 kali silang balik, kemudian tanaman diselfing pada kondisi homozigot dari donor. Seleksi background digunakan untuk mendeteksi alel-alel dari tetua penerima di seluruh genom sehingga dapat mengurangi jumlah linkage drag yang umumnya memberikan efek negative, seperti hasil yang rendah atau rentan terhadap penyakit.
Ribaut and Hoisington (1998) melaporkan penggunaan MABc dapat mengembalikan genom tanaman 98% seperti tetua pemulih dibutuhkan dua kali silang balik, sedangkan dengan cara tradisional diperlukan 4-5 kali silang balik. Apabila diinginkan hanya satu segmen yang mengandung gen tertentu tanpa gangguan dari gen pengikut lain (tidak ada linkage drag). Jika dilakukan secara tradisional diperlukan sampai 100 kali silang balik dan butuh waktu 50 tahun, sedangkan bila menggunakan marka molekuler cukup dilakukan sampai silang balik dua kali saja. Hal ini akan menguntungkan proses pemuliaan tanaman.
PIRAMIDA GEN DALAM
PEMULIAAN PADI
Piramida gen merupakan metode yang bertujuan menggabungkan beberapa gen pembawa sifat dari berbagai sumber tetua ke dalam suatu genotipe (Ye and Smith 2008). Menurut Joshi and Nayak (2010), piramida gen baik digunakan untuk mengembangkan pemuliaan ketahanan tanaman terhadap lingkungan biotik maupun abiotik dengan spektrum yang lebih luas. Melalui pendekatan ini, varietas-varietas baru dapat dihasilkan dalam waktu yang lebih singkat sehingga mampu mengatasi kendala lingkungan yang terus berubah.
Sebelumnya, penggabungan gen dengan menggunakan metode konvensional sulit dilakukan karena adanya efek dominansi dan epistasis gen yang mengatur ketahanan terhadap suatu penyakit dan fenomena linkage drag. Dulu, mentransfer beberapa gen ketahanan penyakit melalui pemuliaan konvensional sulit dilakukan karena umumnya akan memunculkan fenotipe dan serangan penyakit yang mirip sehingga tidak mampu membedakan serangan tersebut dengan gen target yang dimiliki. Menjadi lebih sulit terdeteksi jika dilakukan seleksi gen resesif pada multigen ketahanan penyakit dengan hanya mengandalkan pengamatan secara fenotipe karena terjadi masking effect, yaitu secara dominan dan epistatis akan saling menutupi satu efek dengan efek yang lain. Oleh karena itu, penggunaan penanda molekuler sangat membantu mendeteksi gen resesif telah terintegrasi ke dalam genotipe target sehingga hasilnya dapat lebih cepat dan sesuai dengan sifat yang diinginkan.
Salah satu varietas yang dikembangkan dengan menyilangkan varietas elit dengan varietas piramida adalah varietas Inpari-32 yang dilepas pada tahun 2013. Varietas Inpari-32 berasal dari hasil persilangan varietas Ciherang dan varietas differensial piramida yang berasal dari IRRI, yaitu IRBB64 yang memiliki gen ketahanan terhadap penyakit HDB yaitu Xa4, xa5, Xa7, dan Xa21. Varietas Inpari-32 tahan terhadap ras III, agak tahan ras IV dan VIII (Wening et al. 2016).
Piramida gen terdiri dari dua tahapan utama, yaitu pedigree yang bertujuan untuk mengakumulasi seluruh gen target dari berbagai tetua sumber ke dalam suatu genotipe tunggal (root genotype), serta tahapan fiksasi yang bertujuan membentuk ideotipe dengan cara memelihara gen target ke bentuk homozigot (Servin et al. 2004). Langkah awal dalam membuat skema piramida gen adalah mengidentifikasi gen-gen target yang akan diakumulasikan pada root genotype. Pemanfaatan penanda molekuler dapat digunakan untuk mengidentifikasi sejumlah plasma nutfah yang memiliki karakter khusus jika penanda tersebut berasosiasi kuat dengan gen yang mengendalikan karakter itu. Pada tahap pedigree terdapat beberapa jenis metode yang dapat digunakan, salah satunya metode silang balik berulang
yang bertujuan untuk mengembangkan dan memperbaiki genotipe-genotipe yang sudah ada sebelumnya. Pada tahap ini penanda molekuler dapat membantu kegiatan seleksi terhadap progeni persilangan para tetua dengan cara mendeteksi gen-gen target pada individu pada setiap generasi (Hoisington 1998; Collard et al. 2005) (Gambar 1). Penggunaan skema piramida gen dan metode silang balik berbantu marka dengan banyak gen yang diintrogresikan telah dilaporkan oleh Ruengphayak et al. (2015). PinK3, varietas yang berasal dari Thailand, merupakan padi aromatik dengan potensi hasil yang tinggi namun peka terhadap rendaman, penyakit HDB, blas, dan hama wereng batang cokelat (WBC). Lima gen dan tiga qtl telah berhasilkan diintrogresikan, yaitu gen toleran rendaman (Sub1A-C), gen ketahanan penyakit HDB (Xa21, xa5), gen ketahanan penyakit blas (qBL1, qBL11), gen ketahanan wereng batang cokelat (qBph3, TPS), dan kualitas beras (Wx, SSIIa, Os2AP).
PEMANFAATAN PIRAMIDA GEN
KETAHANAN TERHADAP PENYAKIT
HAWAR DAUN BAKTERI
Saat ini sudah teridentifikasi 42 gen ketahanan terhadap penyakit HDB (Busungu et al. 2016). Beberapa dari gen-gen tersebut sudah dimasukkan ke dalam varietas populer
dan dibudidayakan (Suwarno et al. 2002; Sundaram et al. 2008; Singh et al. 2012). Gen pembawa sifat tahan yang paling efektif untuk strain bakteri Xoo di Indonesia adalah gen xa5, Xa7, dan Xa21 (Fatimah et al. 2014; Fatimah et al. 2018). Gen Xa21 diidentifikasi berasal dari spesies liar Oryza longistaminata dan sangat efektif di Asia Tenggara (Khush et al. 1990). Gen xa5 umumnya ditemukan pada subpopulasi Aus (Garris et al. 2003). Gen Xa7 diidentifikasi pada padi kultivar DV85 (Sidhu et al. 1978; Chen et al. 2008) dan memiliki ketahanan lestari (durable resistance) karena fitness penalty pada Xoo berasosiasi dengan Xa7 (Cruz et al. 2000).
Studi dengan pendekatan penanda molekuler dan piramida gen ketahanan terhadap penyakit HDB telah dilakukan dengan memasukkan gen Xa21 dan Xa4 pada padi hibrida Mianhui 725 dan didapatkan galur-galur yang memiliki ketahanan luas (broad resistance spectrum) (Deng et al. 2006). Kottapalli et al. (2010) melakukan pyramiding gen ketahanan xa5, xa13 dan Xa21 dengan empat skema pyramiding berbeda untuk meminimalkan kehilangan gen ketahanan resesif pada silang balik lanjut dan didapatkan skema galur pyramid Samba Mahsuri dengan dua gen, yaitu Xa21 dan xa5 yang disilangkan dengan Samba Mahsuri dengan gen xa13 menjadi sangat efektif mencegah kehilangan gen resesif xa13. Pandey et al. (2013) melaporkan piramida gen xa13 dan Xa21 pada varietas padi Basmati. Dokku et al. (2013)
Gambar 1. Skema piramida gen dengan mengakumulasikan enam gen target (Servin et al. 2004).
TETUA SUMBER H(1)(2) H(3)(4) H(5)(6) Generasi 0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 Generasi 1 H(1)(2)(3)(4) H(1)(2)(3)(4)(5)(6) Root genotype Generasi 2 Generasi 3 (Genotipe tunggal) Idiotipe H(1)(2)(3)(4)(5)(6) pedi gree fiks asi
menggabungkan gen Xa4, xa5, xa13 dan Xa21 pada varietas padi Tapaswini, Suh et al. (2013) menggabungkan gen Xa4, xa5, xa13 dan Xa21 pada padi Mangeumbyeo.
Varietas Ciherang yang mendominasi pertanaman padi di Jawa saat ini mulai mengalami penurunan ketahanan terhadap HDB seperti halnya IR64. Susanto and Sudir (2012) menyatakan saat ini varietas Ciherang relatif rentan terhadap tiga jenis patotipe yang mendominasi pertanaman padi di Indonesia, yaitu patotipe III, IV, dan VIII. Dengan adanya fenomena tersebut dilakukan perbaikan genetik varietas Ciherang dengan cara mengintrogresi gen ketahanan HDB yang efektif.
Beberapa varietas unggul nasional dengan ketahanan terhadap penyakit HDB telah dilepas (Wening et al. 2016), diantaranya varietas Conde yang dilepas pada tahun 2001 dan berasal dari persilangan IR64*6/ IRBB7. Varietas ini merupakan turunan dari IR64 dengan tambahan gen ketahanan spektrum luas terhadap hawar bakteri Xa4 dan Xa7. Varietas Angke berasal dari hasil persilangan IR64*6/IRBB5 yang juga merupakan varietas turunan dari IR64 dengan tambahan gen ketahanan spektrum luas terhadap hawar bakteri Xa4 dan xa5 yang dikerjakan melalui metode seleksi dengan bantuan marka molekuler hasil kerja sama pemulia BB Padi dan peneliti BB Biogen (Kadir 2009) dan galur isogenik asal IRRI yaitu IRBB21 yang memiliki gen ketahanan Xa21.
Melalui pendekatan piramida gen, BB Biogen telah mengembangkan galur-galur piramida unggul tahan penyakit HDB dengan menggabungkan tiga gen ketahanan penyakit HDB (xa5, Xa7 dan Xa21) dan satu gen ketahanan penyakit HDB (Xa4) sebagai background. Varietas yang diperbaiki ketahanannya adalah Ciherang dan Inpari-13. Sumber donor gen ketahanan berasal dari varietas Conde (gen Xa7 + Xa4), Angke (gen xa5+Xa4), dan varietas differensial IRRI, IRBB21 (gen Xa21). Tahapan yang dilakukan adalah penggabungan (1) metode pemuliaan silang balik konvensional, (2) metode seleksi marka molekuler foreground dan background (genotyping), (3) evaluasi ketahanan terhadap penyakit HDB (phenotyping), dan (4) keragaan agronomi dan komponen hasil. (Fatimah et al. 2014; Fatimah et al. 2015; Fatimah, Baroya, et al. 2015). Saat ini, galur-galur piramida varietas Ciherang HDB dan Inpari-13 HDB sedang dalam produksi benih inti (nucleoseeds) dan benih penjenis (BS). Dalam hal ini, strategi yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 1. Generasi 0 adalah tetua varietas Conde (memiliki gen Xa4 dan Xa7) dan disilangkan dengan varietas Angke (memiliki gen Xa4 dan xa5) sehingga diperoleh Generasi 1, yaitu galur F1 yang memiliki tiga gen ketahanan (Xa4, xa5 dan Xa7). Varietas Ciherang disilangkan dengan IRBB21 (memiliki gen Xa21) untuk mendapatkan Generasi 1, yaitu galur F1 varietas Ciherang yang memiliki gen ketahanan Xa21. Selanjutnya dilakukan double cross untuk memperoleh Generasi 2, yaitu DCF1 Ciherang dengan empat gen ketahanan (Xa4,
xa5, Xa7 dan Xa21). Kemudian dilakukan silang balik hingga mencapai generasi silang balik ketiga (BC3). Cara ini tidak hanya menghemat waktu tetapi juga proses fiksasi gen-gen target bisa dijamin dengan baik. Selain itu, marka yang digunakan adalah marka SSR yang mengapit gen/ QTL dengan jarak yang pendek (< 5 cM). Servin et al. (2004) menyatakan bahwa hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan strategi ini adalah marka yang digunakan sangat dekat/terpaut dengan gen/QTL target atau kurang dari 5 cM.
Tiga seleksi digunakan pada pembentukan galur piramida tersebut. Seleksi pertama adalah seleksi genotype berupa seleksi foreground dan seleksi background pada galur terpilih hasil seleksi foreground. Seleksi genotipe dilakukan dengan marka SSR (Simple Sequence Repeat) yang mengapit gen atau QTL (Quantitative Trait Loci) pada xa5, Xa4, Xa7 dan Xa21. Seleksi genotipe untuk memilih galur dalam kondisi heterozigot pada individu F1, BC1F1, BC2F1, dan BC3F1 dan galur-galur piramida terpilih dilanjutkan dengan seleksi background untuk melihat profil kromosom secara menyeluruh dan menentukan tingkat kemiripan dengan tetua penerima. Selanjutnya pada tahapan fiksasi galur piramida, seleksi genotipe dilakukan untuk memilih galur piramida dalam kondisi homosigot.
Seleksi kedua adalah seleksi fenotipe berupa pengujian ketahanan terhadap penyakit HDB dengan menyertakan pembanding kontrol tahan dan rentan penyakit HDB. Pengujian ketahanan dilakukan selama 21 hari pada fase vegetatif dan generatif. Pengamatan dan skoring dilakukan berdasarkan standar IRRI. Pada seleksi tanaman BC1F1, BC2F1, dan BC3F1 dipilih tanaman dengan skor 1-3 dan memiliki keragaan yang mendekati varietas Ciherang atau Inpari-13.
Seleksi ketiga adalah seleksi agronomi dan komponen hasil setelah dipanen. Karakter yang dipilih adalah tinggi tanaman, jumlah malai, jumlah gabah isi/hampa per malai, dan bobot 100 butir. Diharapkan, seleksi selain dapat memberikan ketahanan terhadap penyakit HDB juga tidak mengubah karakter unggul varietas Ciherang sehingga karakter yang disukai petani tetap dapat dipertahankan.
Agar teknologi pemuliaan berbantu marka molekuler berbasis piramida gen berhasil maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam skema piramida gen, yaitu a) memiliki informasi tentang marka molekuler yang presisi dengan gen/qtl target, b) perlu dilakukan survei polimorfisme marka molekuler pada tetua donor dan tetua penerima sebagai background genetik, c) dapat menggunakan metode silang balik dengan sistem pedigree, d) mempertimbangkan jumlah individu/ukuran populasi yang akan digunakan pada setiap silang balik dan akumulasi jumlah gen/qtl yang ditargetkan pada suatu individu, e) pada saat dilakukan seleksi genotipe perlu memperhatikan individu yang memiliki gen/qtl target dan sesuai dengan jumlah gen/qtl target (jika gen/qtl target adalah tiga maka dalam individu yang terpilih hasil seleksi genotipe akan memiliki tiga gen/qtl target tersebut), f)
perlu dilakukan seleksi fenotipe berupa ketahanan biotik/ abiotik pada individu yang diuji untuk membandingkan dengan hasil seleksi genotipe, g) perlu dilakukan validasi pada individu yang terpilih yaitu individu yang memiliki gabungan hasil seleksi genotipe dan seleksi fenotipe, dan h) memperhatikan karakter agronomi dan komponen hasil untuk keragaan individu/populasi yang mendekati karakter tetua penerima dan potensi hasil yang tinggi, setara dengan tetua penerima.
Keunggulan galur-galur piramida Ciherang HDB dan Inpari-13 HDB adalah tetap memiliki sifat-sifat unggul varietas Ciherang dan Inpari-13 plus memiliki empat gen ketahanan terhadap penyakit HDB sehingga mampu melindungi tanaman dengan spektrum yang lebih luas (broad spectrum), jangka waktu lebih lama (durable resistance), dan dapat diaplikasikan di daerah endemik penyakit HDB maupun dalam skala geografis yang lebih luas.
Pada uji ketahanan terhadap penyakit diperoleh enam galur piramida turunan Ciherang HDB dan enam galur piramida turunan esensial Inpari-13 HDB (Gambar 2). Galur-galur tersebut bereaksi sangat tahan (ST) terhadap tiga ras Xoo (ras III, ras IV, dan ras VIII) pada fase vegetatif dan reaksi agak tahan (AT) hingga tahan (T) pada fase generatif (Tabel 1). Pada karakter agronomi, galur piramida Ciherang HDB dan Inpari- 13 HDB diperoleh potensi hasil empat galur piramida Ciherang HDB terpilih sebesar 6,8
7,4 t/ha dan empat galur piramida Inpari-13 HDB terpilih dengan potensi hasil 6,67,6 t/ha (Fatimah et al. 2018b).
MEKANISME GEN KETAHANAN
PENYAKIT HAWAR DAUN BAKTERI
Tanaman padi memiliki sistem pertahanan terhadap infeksi patogen Xoo dengan adanya gen resisten. Gen ketahanan
pada tanaman padi yang berperan pertama kali dalam menangkal infeksi patogen Xoo adalah gen Xa21. Gen ini mengkode protein reseptor kinase (RLK) yang berperan utama dalam sejumlah lintasan sinyal pada tanaman, termasuk kekebalan alami (Morillo and Tax 2006). RLK memiliki struktur multidomain, termasuk domain ekstraselular leucine-rich-repeat (LRR) yang dapat mengenali patogen Xoo. Ketika sistem pertahanan awal oleh gen Xa21 mampu ditembus oleh patogen Xoo, diperlukan gen ketahanan lain seperti halnya xa5 yang terdapat pada inti sel tanaman padi untuk mencegah berlanjutnya infeksi.
Gen hrp (hypersensitivity reaction and for pathogenesis) yang akan menyandikan sistem sekresi, yakni T3SS (type III secretion system merupakan protein yang bersifat hidrofobik). Elisitor Xoo melalui sekresi tersebut adalah avr Xa2, avr Xa7, avr Xa10 (Schornack et al. 2006). Elisitor-elisitor tersebut disandikan oleh kelompok gen AvrBs3/ PthA seperti gen PthXo06, PthXo07 yang menyandikan protein serupa transcription activator-like (TAL) yang selanjutnya akan mempengaruhi proses transkripsi (Liu et al. 2006).
KESIMPULAN
Pengembangan varietas baru melalui pemuliaan konvensional memerlukan waktu yang relatif lama sehingga perlu dilakukan pengembangan varietas baru dengan terobosan yang inovatif. Pada padi varietas Ciherang dan Inpari-13 tahan penyakit HDB telah berhasil dilakukan aplikasi teknologi pemuliaan silang balik berbantu marka molekuler berbasis piramida gen ketahanan sehingga diperoleh galur piramida tahan terhadap penyakit HDB dan strategi ini dapat mempercepat proses pemuliaan tanaman.
Gambar 2. Keragaan tetua, kontrol, dan galur piramida Ciherang HDB pada pengamatan hari ke-21 setelah diinokulasi dengan ras VIII pada fase generatif. Berturut-turut dari kiri ke kanan adalah Inpari HDB (kontrol tahan), Conde (tetua), Angke (tetua), Ciherang (tetua), dua galur piramida Ciherang HDB, Inpari-32 (kontrol tahan), IR24 (kontrol peka), dan Kencana Bali (kontrol peka) (Fatimah et al. 2018b).
Piramida gen dilakukan dengan menggabungkan tiga gen ketahanan (xa5, Xa7, dan Xa21) dari tiga sumber tetua, yaitu varietas Conde, Angke, dan IRBB21 dan satu gen (Xa4) sebagai background ke dalam padi varietas Ciherang dan Inpari-13. Tiga seleksi yang digunakan yaitu seleksi genotype berupa seleksi foreground dan background menggunakan penanda molekuler. Seleksi kedua adalah seleksi fenotipe berupa pengujian ketahanan terhadap penyakit HDB dan seleksi ketiga adalah keragaan agronomi dan komponen hasil. Galur piramida Ciherang dan galur piramida Inpari-13 tahan penyakit HDB dapat memiliki spektrum ketahanan yang luas (broad-spectrum) dan tahan lama (durable) dalam skala geografis yang luas, namun tetap memiliki sifat-sifat unggul padi Ciherang dan Inpari-13.
DAFTAR PUSTAKA
Agarwal, M., Shrivastava, N. and Padh, H. (2008). Advances in molecular marker techniques and their applications in plant sciences. Plant Cell Reporter27:617–631.
Akhtar, S., Bhat, M.A., Wani, S.A., Bhat, K.A., Chalkoo, S., Mir, M.R. and Wani, S.A. (2010). Marker Assisted Selection in Rice. Journal of Plant Physiology2: 66–81.
Badan Pusat Statistik (2014). BPS: Produksi Padi Tahun 2014 Diperkirakan Turun.<http://BPS.go.id>. [Diakses 2 November 2017].
Busungu, C., Taura, S., Sakagami, J.I. and Ichitani, K. (2016). Identification and linkage analysis of a new rice bacterial blight resistance gene from XM14, a mutant line from IR24. Breeding Science 66(4):636–645. doi: https://doi.org/10.1270/ jsbbs.16062.
Cassman, K.G., Dobermann, A., Walters, D.T. and Yang, H. (2003). Meeting cereal demandwhile protecting natural resources and
improving environmental quality. Annu.Rev. Environ. Resour 28:315–358.
Chen, S., Huang, Z., Zeng, L., Yang, J., Liu, Q. and Zhu, X. (2008). High-resolution mapping and gene prediction of Xanthomonas oryzae pv. oryzae resistance gene Xa7. Mol Breed 22:433– 441.
Collard, B.C.Y., Jahufer, M.Z.Z., J.B., B. and Pang, E.C.K. (2005). An introduction to markers, quantitative trait loci (QTL) mapping and marker-assisted selection for crop improvement: the basic concepts. Euphytica142:169–196.
Cruz, V.C.M., Bai, J., Ona, I., Leung, H., Nelson, R.J., Mew, T.W. and Leach, J.E. (2000). Predicting durability of a disease resistancegene based on an assessment of the fitness loss and epidemiologicalconsequences of avirulence gene mutation. Proc. Natl. Acad. Sci. 97:13500–13505.
Deng, Q.M., Wang, S.Q., Zheng, A.P., Zhang, H.Y. and Ping, L. (2006). Breeding Rice Restorer Lines with High Resistance to Bacterial Blight by Using Molecular Marker-Assisted Selection. Rice Science 13(1):22–28.
Dokku, P., Das, K.M. and Rao, G.J.N. (2013). Pyramiding of four resistance genes of bacterial blight in Tapaswini, an elite rice cultivar, through marker-assisted selection. Euphytica192(87– 96).
Fatimah, Priyatno, T.P., Fadlillah, S.H., Hermanto, Baroya, M., Mahrup, and Kadir, T.S. (2014). Isolation and Disease Assessment of Xanthomonas oryzae pv. oryzae from Java Island and Pathogenic Assay on Near Isogenic Lines with Different Resistant Genes. J.Biologi Indonesia10(237–245).
Fatimah, Baroya, M. and Priyatno, T.P. (2015). Survey marka polimorfik pada kromosom padi untuk pemuliaan padi tahan penyakit hawar daun bakteri menggunakan pendekatan pemuliaan berbantu marka. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Unggulan LIPI Bidang Pangan Nabati, Bogor, 25 September 2014.
Fatimah, Prasetiyono, J., Priyatno, T.P., Yunus, M., Suhartini, T., Ridwan, I. and Baroya, M. (2015). Analisis molekuler piramida gen Xa pada progeny padi varietas Ciherang dan Inpari 13. Jurnal Biologi Indonesia11:109–119.
Tabel 1. Hasil pengujian ketahanan beberapa varietas terhadap penyakit HDB ras III, IV, dan VIII pada fase vegetatif serta galur turunan esensial Ciherang HDB dan Inpari-13 HDB dibandingkan dengan tetua dan kontrol.
Galur/ Fase vegetatif Fase generatif
varietas Ras III Ket. Ras IV Ket. Ras VIII Ket. Ras III Ket. Ras IV Ket. Ras VIII Ket. Potensi hasil (t/ha) Ciherang 12,16 AT 8,41 AT 49,76 AR 15,39 S 8,16 AT 23,22 S 6,5 Inpari 13 8,61 AT 6,47 T 25,3 S 15,73 S 7,97 AT 21,08 S 6,7 C11 2,37 ST 2,36 ST 3,36 ST 11,95 AT 7,9 AT 8,34 AT 7,3 C12 1,12 ST 1,83 ST 3,78 ST 7,06 AT 11,47 AT 6,6 T 7,3 C26 1,63 ST 1,06 ST 1,94 ST 7,64 AT 9,25 AT 7,2 AT 7,4 C74 1,63 ST 1,91 ST 2,11 ST 5,63 T 6,38 T 6,93 T 5,7 C79 1,13 ST 1,61 ST 3,11 ST 7,25 AT 5,78 T 5,44 T 6,8 C81 1,37 ST 1,78 ST 3,69 ST 12,95 AT 7,99 AT 7,37 AT 6,2 N115 0,74 ST 1,53 ST 2,4 ST 9,94 AT 4,05 T 3,08 ST 7,6 N116 1,17 ST 2,33 ST 3,19 ST 10,7 AT 5,76 T 5,06 T 7,1 N118 1,44 ST 1,26 ST 3,4 ST 8,03 AT 11,08 AT 5,25 T 6,9 N122 0,63 ST 1,36 ST 3,51 ST 8,34 AT 7,85 AT 4,47 T 6,5 N129 0,85 ST 1,7 ST 3,2 ST 7,15 AT 6,31 T 3,67 ST 7,3 N144 2,37 ST 1,43 ST 4,8 T 12,01 AT 5,44 T 3,58 ST 6,6
Fatimah, Pasetiyono, J., Polosoro, A. and Baroya, M. (2018a). Molecular detection of resistance to bacterial leaf blight on Conde Indonesian rice variety. Annales Bogoriensis22:27–34. Fatimah, Prasetiyono, J., Suhartini, T., Suryadi, Y., Syalmiati, Mahrup, and Baroya, M. (2018b). Perakitan Galur Unggul Padi Tahan HDB Multigenik Dengan Bantuan Marka Molekuler. Laporan Hasil Penelitian ROPP 2018. Unpublished. Garris, A.J., McCouch, S.R. and Kresovich, S. (2003). Population
Structure and Its Effect on Haplotype Diversity and Linkage Disequilibrium Surrounding the xa5 Locus of Rice (Oryza sativa L.). Genetics 165:759–769.
Hoisington, R. (1998). Marker-assisted selection: new tools and strategie. Trends in Plant Science3:236–239.
Hospital, F. (2003). Marker-assisted breeding. dalam H. J. Newbury (ed.). Plant Molecular Breeding. Blackwell Scientific Publishers, London, UK. pp. 30–56.
Iyer, A.S. and McCouch, S.R. (2004). The rice bacterial blight resistance gene xa5 encodes a novel form of disease resistance. Molecular Plant Microbe Interact17:1348–1354.
Jonharnas (2009). Evaluasi Beberapa Varietas Ubi Jalar di Kabupaten Dairi Sumatera Utara. Balai Pengkajian Teknologi Tanaman Pertanian Sumatera Utara, Medan.
Joshi, R.K. and Nayak, S. (2010). Gene pyramiding: a broad spectrum technique for developing durable stress resistance in crops. Biotechnology and Molecular Biology Review5(3):51–60. Kadir, T.S. (2009). Menangkal HDB dengan menggilir varietas.
Warta Penel. Pert.31:1–3.
Kementerian Pertanian (2017). Outlook Tanaman Pangan dan Hortikultura. Pusat Data Dan Sistem Informasi Pertanian, Sekretaris Jenderal. p. 126 p.
Khush, G.S., Bacalangco, E. and Ogawa, T. (1990). A new gene for resistance to bacterial blight from O. longistaminata. Rice Genet. Newslett7:121–122.
Khush, G.S. and Jena, K.K. (2009). Current status and future prospects for research on blast resistance in rice (Oryza sativa L.). In: Wang G-L, Valent B, editors. Advances in genetics, genomics and control of rice blast disease. Springer Netherlands. pp. 1–10.
Kordrostami, M. and Rahimi, M. (2015). Molecular Markers in Plants: Concepts and Applications. Genetics in The 3rd Millennium13:4024–4031.
Kottapalli, K.R., Narasu, M.L. and Jena, K.K. (2010). Effective strategy for pyramiding three bacterial blight resistance genes into fine grain rice cultivar, Samba Mahsuri, using sequence tagged site markers. Biotechnol. Lett.32:989–996.
Liu, D., Pamela, C.R. and Adam, J.B. (2006). Xanthomonas oryzae pathovars: model pathogen of a model crop. Mol. Plant Path. 7:303–324.
Marasas, C.N., Smale, M. and R.P., S. (2003). The economic impact of productivity maintenance research: Breeding for leaf rust resistance in modern wheat. Agricultural Economics29:253– 263.
McCouch, S.R., Teytelman, L., Xu, Y., Lobos, K.B., Clare, K., Walton, M., and Stein, L. (2002). Development and mapping of 2240 new SSR markers for rice (Oryza sativa L.). DNA Research 9:199–207.
Morillo, S.A. and Tax, F.E. (2006). Functional analysis of receptor-like kinases in monocots and dicots. Curr. Opin. Plant Biol. 9:460–469.
Nalley, L., Tsiboe, F., Durand-Morat, A., Shew, A. and Thoma, G. (2016). Economic and Environmental Impact of Rice Blast Pathogen (Magnaporthe oryzae) Alleviation in the United States Wang, Z. (ed.). PLOS ONE 11(12):e0167295. doi: https:// doi.org/10.1371/journal.pone.0167295.
Pandey, M.K., Rani, N.S., Sundaram, R.M., Laha, G.S., Madhav, M.S., Srinivasarao, K., and Viraktamath, B.C. (2013). Improvement of two traditional Basmati rice varieties for
bacterial blight resistance and plant stature through morphological and marker-assisted selection. Mol. Breed31:239– 246.
Peng, S., Huang, J., Cassman, K.G., Laza, R.C., Visperas, R.M. and G.S., K. (2010). The importance of maintenance breeding: A case study of the first miracle rice variety-IR8. Field Crops Res.119(2–3):342–347.
Ribaut, J.M. and Hoisington, D. (1998). Marker-assisted selection: new tools and strategies. 3(3):236–239.
Richards, R.A. (1996). Increasing the yield potential of wheat: manipulating sources and sinks. In: Reynolds, M.P., S., Rajaram, A. McNab. (Eds.), Increasing Yield Potential in Wheat: Breaking the Barriers. CIMMYT, Mexico, DF. pp. 134–149.
Ruengphayak, S., Chaichumpoo, E., Phromphan, S., Kamolsuk-yunyong, W., Sukhaket, W., Phuvanartnarubal, E., and Vanavichit, Apichart (2015). Pseudo-backcrossing design for rapidly pyramiding multiple traits into a preferential rice variety. Rice 8(1):7. doi: https://doi.org/10.1186/s12284-014-0035-0. Schornack, S., Meyer, A., Romer, P., Jordan, T. and Lahaye, T. (2006). Gene for gene mediated recognition of nuclear target AvrBs3-like bacterial efector proteins. J. Plant Physiol 162:256–272.
Servin, B., Martin, O.C., Mezard, M. and Hospital, F. (2004). MDM: A program to compute fully informative genotypes frequencies in complex breeding schemes. The Journal of Heredity93:227– 228.
Shen, Y. and Ronald, P. (2002). Molecular determinants of disease and resistance in interactions of Xanthomonas oryzae pv. oryzae and rice. Microbes and Infection4:1361–1367.
Sidhu, G.S., Khush, G.S. and Mew, T.W. (1978). Genetic analysis of bacterial blight resistance in seventy-four cultivars of rice, Oryza sativa L. Theor Appl Genet53:105–111.
Singh, A.K., Singh, V.K., Singh, S.P., Pandian, R.T.P., Ellur, R.K., Singh, D., and Singh, A.K. (2012). Molecular breeding for the development of multiple disease resistance in Basmati rice. AoB Plants 2012:pls029–pls029. doi: https://doi.org/10.1093/ aobpla/pls029.
Sudir and Yuliani, D. (2016). Composition and distribution of Xanthomonas oryzae pv. oryzae pathotypes, the pathogen of rice bacterial leaf blight in Indonesia. AGRIVITA Journal of Agricultural Science38(2):174–185.
Suh, J.P., Jeung, J.U., Noh, T.H., Cho, Y.C., Park, S.H., Park, H.S., and Jena, K.K. (2013). Development of breeding lines with three pyramided resistance genes that confer broad-spectrum bacterial blight resistance and their molecular analysis in rice. Rice 6:5–15.
Sundaram, R.M., Vishnupriya, M.R., Biradar, S.K., Laha, G.S., Reddy, G.A., Rani, N.S., and Sonti, R.V. (2008). Marker assisted introgression of bacterial blight resistance in Samba Mahsuri, an elite indica rice variety. Euphytica 160:411–422. Suparyono, Sudir and Suprihanto (2004). Pathotype profile of
Xanthomoas campestris pv. oryzae, isolates from the rice ecosystem in Java. Journal of Agricultural Science5(2):63– 69.
Susanto, U. and Sudir (2012). Ketahanan genotipe padi terhadap Xanthomonas oryzae pv. oryzae patotipe III, IV, dan VIII. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 31(2):108–116. Suwarno, E., Lubis, A. and Sunaryo (2002). Perbaikan ketahanan
varietas padi sawah dan gogo terhadap hawar daun bakteri dan blas melalui seleksi dengan markah molekuler. Dalam Prosiding Seminar Hasil Rintisan Dan Bioteknologi Tanaman. Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. p. 301"310. Swastika, Dewa, K.S., Wargiono, J., Soejitno and Hasanuddin, A.
(2007). Analisis kebijakan peningkatan produksi padi melalui efisiensi pemanfaatan lahan sawah di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian 5:36–52.
Tsiboe, F., Nalley, L.L., Durand, A., Thoma, G. and A., S. (2017). The economic and environmental benefits of sheath blight resistance in rice. Journal of Agricultural and Resource Economics42(2):215–235.
Wening, R.H., Santoso, U. and Satoto (2016). Varietas Unggul Padi Tahan Hawar Daun Bakteri: Perakitan dan Penyebaran di Sentra Produksi. Iptek Tanaman Pangan11:119–126.
Xu, Y. (2010). Molecular Plant Breeding. CABI Publishing, London. Ye, G. and Smith, K.F. (2008). Marker assisted gene pyramiding for inbred line development: basic principles and practical guidelines. International Journal of Plant Breeding:1–10.