• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLUASAN KEWENANGAN PTUN DALAM UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERLUASAN KEWENANGAN PTUN DALAM UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PERLUASAN KEWENANGAN PTUN DALAM UU ADMINISTRASI

PEMERINTAHAN

Pada tanggal 17 Oktober 2014, Pembentuk Undang-Undang mengesahkan UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP);

UU AP tersebut telah memperluas Kompetensi PTUN secara

signifikan, yaitu kewenangan mengadili sengketa Fiktif Positif,

Sengketa Tindakan Melawan Hukum oleh Pemerintah (OOD),

dan Pengujian ada tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang.

(3)

 Selain UU AP, perluasan kewenangan PTUN juga diatur dalam beberapa undang-undang yang secara khusus atau UU sektoral yang mengatur tentang kewenangan mengadili PTUN atas sengketa-sengketa TUN tertentu seperti :

1) Sengketa Keterbukaan Informasi Publik, dasar hukumnya UU No.

14 tahun 2008 dan Perma No. 2 tahun 2011;

2) Sengketa TUN Pemilu yang terdiri dari Pemilu Legislatif dan Pemilukada, dasar hukumnya UU No. 8 Tahun 2012 dan Perma No. 6 Tahun 2012, UU No. 1 Tahun 2015 jo UU No. 8 Tahun 2015;

3) Sengketa pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, dasar hukumnya UU No. 2 Tahun 2012 jo Perma No. 2 Tahun 2016;

PERLUASAN KEWENANGAN

PTUN DALAM UU SEKTORAL

(4)

Meliputi :

1. Kedudukan Dan Kewenangan Peradilan TUN 2. Perlindungan Hukum Melalui Peradilan TUN 3. Hukum Acara Peradilan TUN

PARADIGMA PTUN PASCA UU AP DAN UU SEKTORAL

Seiring dengan perubahan paradigma beracara, maka kompetensi PTUN adalah:

1. Berwenang mengadili perkara berupa gugatan dan permohonan.

2. Berwenang mengadili perbuatan melanggar hukum oleh pemegang kekuasaan pemerintahan (badan dan atau pejabat pemerintahan) yang disebut Onrechtmatige Overheidsdaad/OOD;

3. KTUN yang sudah diperiksa dan diputus melalui upaya banding administrasi menjadi kewenangan PTUN

(5)

KONEKSITAS UU AP DAN UU CIPTA KERJA

Pada tanggal 5 Oktober 2020, Pembentuk UU telah mengesahkan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) menjadi undang-undang;

Omnibus Law adalah Undang-Undang Sapu Jagat, yaitu suatu

istilah untuk menyebut suatu Undang-undang yang

bersentuhan dengan berbagai sektor dan dimaksudkan untuk

mengubah, memangkas, menyisipkan, mencabut UU atau

Pasal UU yang lain.

(6)

Konsepsi Omnibus Law : reformasi Regulasi

Banyaknya Per UU yang saling tumpang tindih yang saling disharmoni menjadi masalah regulasi

Omnibus Law sebagai strategi regulasi agar penataan dilakukan secara sekaligus terhadap banyak peraturan perundang-undangan

Peraturan Perundang-undangan yang disharmoni itu kemudian:

- Dipangkas

- Disederhankan

- Diselaraskan

(7)

Aksiologi Omnibus Law

1. Menghilangkan tumpang tindih antar Peraturan Perundang-Undangan;

2. Efisiensi proses perubahan/pencabutan PUU;

3. Menghilangkan ego sektoral;

(8)

Secara keseluruhan, ada 11 klaster yang diatur dalam Omnibus Law

1. Penyederhanaan Perizinan.

2. Persyaratan Investasi 3. Ketenagakerjaan

4. Kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMK-M 5. Kemudahan Berusaha

6. Dukungan Riset & Inovasi 7. Administrasi Pemerintahan 8. Pengenaan Sanksi

9. Pengadaan Lahan

10. Investasi dan proyek Pemerintah 11. Kawasan Ekonomi

(9)

omnibuslaw

Pasal

UU/30/2014

175

KONEKSITAS UU CIPTA

KERJA DAN UU AP

(10)

Klaster 7. Administrasi Pemerintahan

Terkait dengan 3 UU (55 Pasal): Penataan kewenangan, NSPK (Standar), Diskresi, dan Sistem & Dokumen Elektronik;

BAB XI

TENTANG PELAKSANAAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN UNTUK MENDUKUNG CIPTA KERJA;

Bagian Kesatu;

Umum, Pasal 174;

Dengan berlakunya Undang-Undang ini, kewenangan menteri, kepala lembaga, atau Pemerintah Daerah yang telah ditetapkan dalam undang- undang untuk menjalankannya atau membentuk peraturan perundang- undangan harus dimaknai sebagai pelaksanaan kewenangan presiden

(11)

Bagian Kedua

Administrasi Pemerintahan

PASAL 175

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 56010) diubah:

1. Di antara Pasal 1 angka 19 dan Pasal 1 angka 20 disisipkan 1 (satu) angka baru, yakni angka 19a sehingga berbunyi:

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan

19a.Standar adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang atau lembaga yang diakui oleh Pemerintah Pusat sebagai wujud persetujuan atas pernyataan untuk pemenuhan seluruh persyaratan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

(12)

Diskresi

2. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut;

Pasal 24

Pejabat Pemerintahan yang menggunakan Diskresi harus memenuhi syarat:

a. Sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2);

b. Sesuai AUPB;

c. Berdasarkan alasan-alasanyang obyektif;

d. Tidak menimbulkan konflik kepentingan;

e. Dilakukan dengan iktikad baik

(13)

Sistem & Dokumen Elektronik

3. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 38

(1) Pejabat dan/atau Badan Pemerintahan dapat membuat Keputusan Berbentuk Elektronis.

(2) Keputusan Berbentuk Elektronik wajib dibuat atau disampaikan terhadap Keputusan yang diproses oleh sistem elektronik yang ditetapkan Pemerintah Pusat.

(3) Kepeutusan Berbentuk Elektronik berkekuatan hukum sama dengan Keputusan yang tertulis dan berlaku sejak diterimanya Keputusan tersebut oleh pihak yang bersangkutan.

(4) Dalam hal keputusan dibuat dalam bentuk elektronis, maka

tidak dibuat keputusan dalam bentuk tertulis.

(14)

Izin, Standar, Dispensasi, dan Konsesi

4.

Bagian Kelima diubah sehingga berbunyi sebagai berikut : Bagian Kelima: Izin, Standar, Dispensasi, dan Konsesi, Pasal 39

(1) Pejabat Pemerintahan yang berwenang dapat menerbitkan Izin, Standar, Dispensasi, dan/atau Konsesi dengan berpedoman pada AUPB dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan

(2) Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berbentuk Izin apabila : a, persetujuan diterbitkan sebelum kegiatan dilaksanakan; dan b. Kegiatan yang dilaksanakan merupakan kegiatan yang memerlukan perhatian khusus dan/atau memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan

(3) Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berbentuk standar apabila : a. persetujuan diterbitkan sebelum kegiatan dilaksanakan; dan b. kegiatan yang akan dilaksanakan merupakan kegiatan telah yang terstandarisasi

(4) Kegiatan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berbentuk Dispensasi apabila : a. persetujuan diterbitkan sebelum kegiatan dilaksanakan ; dan b. Kegiatan yang akan dilaksanakan merupakan kegiatan pengecualian terhadap larangan atau perintah.

(15)

(5)

Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berbentuk konsesi apabila : a. persetujuan diterbitkan sebelum kegiatan dilaksanakan; b. persetujuan diperoleh berdasarkan kesepakatan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dengan pihak Badan Usaha Milik Negara, badan Usaha Milik daerah, dan/atau swasta;

dan c. kegiatan yang akan dilaksanakan merupakan kegiatan yang memerlukan perhatian khusus;

(6) Izin, Dispensasi, atau Konsesi yang diajukan oleh pemohon wajib diberikan persetujuan atau penolakan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

(7) Standar berlaku sejak pemohon menyatakan komitmen pemenuhan elemen standar;

(8) Izin, Dispensasi, atau Konsesi tidak boleh menyebabkan

kerugian negara.

(16)

5. Diantara Pasal 39 dan Pasal 40 disisipkan 1 (satu) Pasal yakni Pasal 39A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 39A

(1)Badan, dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib melakukan pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan Izin, Standar, Dispensasi dan/atau Konsesi

(2) Pembinaan dan pengawasan terhadao Izin, Standar, Dispensasi, dan/atau Konsesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikerjasamakan dengan atau dilakukan oleh profesi yang memiiki sertifikat keahlian sesuai dengan bidang pengawasan.

(3) Ketentuan mengenai jenis, bentuk, dan mekanisme pembinaan dan pengawasan atas Izin, Standar, Dispensasi, dan/atau Konsesi yang dapat dilakukan oleh Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Presiden.

(17)

PERGESERAN PARADIGMA PTUN PASCA PEMBERLAKUAN

UU CIPTA KERJA

- FIKTIF POSITIF -

Ketentuan fiktif positif secara mutlak diatur didalam Pasal 175 Undang-Undang Cipta Kerja yang merubah beberapa ketentuan didalam UU AP;

Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

(1) Batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau

melakukan Keputusan dan/atau Tindakan diberikan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.

(18)

(2) Jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menetukan batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.

(3) Dalam hal permohonan diproses melalui sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik telah terpenuhi, sistem elektronik menetapkan Keputusam dan/atau Tindakan sebagai Keputusan atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang.

(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan permohonan dianggap dikabulkan secara hukum.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden.

(19)

 Dengan diundangkannya Undang-Undang Cipta Kerja, menimbulkan pertanyaan apakah seketika PTUN menjadi tidak berwenang

memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara permohonan fiktif positif atau menunggu Perpresnya terbit dulu baru tidak berwenang ?

 Didalam Pasal 185 huruf a Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 mengenai ketentuan penutup disebutkan bahwa peraturan

pelaksanaan dari Undang-Undang ini wajib ditetapkan paling lama 3 (tiga) bulan. Agar ketentuan mengenai fiktif positif didalam Undang- Undang Omnibus Law tidak bersifat over expectation, maka

ketentuan didalam Perpres nanti juga harus memicu kesadaran bagi Badan atau Pejabat Pemerintahan untuk lebih tanggap terhadap

permohonan warga masyarakat.

(20)

 Sebelum UU AP disahkan, gugatan terhadap pemerintah yang tidak memenuhi kriteria dasar objek sengketa TUN tersebut akan diajukan sebagai objek sengketa ke Pengadilan Umum dengan dasar gugatan Perbuatan Melawan Hukum yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad/OOD);

 Dengan berlakunya UU AP, kewenangan mengadili dialihkan dari

Peradilan Umum ke Peradilan TUN, dengan pembatasan sengketa yang bersifat keperdataan dan/atau bersumber dari perbuatan cidera janji

(wanprestasi) oleh penguasa, tetap menjadi kewenangan absolut

pengadilan perdata dalam lingkungan peradilan umum (Vide SEMA No. 2 Tahun 2019 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2019 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan disebutkan bahwa dengan berlakunya UU AP

SENGKETA TINDAKAN PEMERINTAHAN (OOD)

(21)

KEWENANGAN PTUN MENGADILI

SENGKETA TINDAKAN PEMERINTAHAN (OOD)

Pasal 87 UU AP yang menyebutkan bahwa;

“Keputusan Tata Usaha Negara dalam undang-undang ini sebagaimana dimaksud dalam UU PTUN harus dimaknai sebagai : Penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual; keputusan badan dan/atau pejabat tata usaha negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif dan penyelenggara negara lainnya; berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB; bersifat final dalam arti lebih luas; keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat.”

(22)

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan Dan/Atau Pejabat pemerintahan (onrechtmatige overheidsdaad/OOD), maka kewenangan mengadili dialihkan dari Peradilan Umum ke Peradilan TUN. Hal ini mengingat bahwa penyalahgunaan wewenang di Indonesia masih didominasi oleh penyalahgunaan wewenang yang timbul dari kesalahan individu pejabat, sehingga dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi warga negara dari penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Badan atau pejabat TUN maka dilakukanlah pelimpahan wewenang ke PTUN khusus untuk perkara Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan Dan/Atau Pejabat pemerintahan (onrechtmatige overheidsdaad/ OOD).

PENGATURAN KEWENANGAN PTUN

MENURUT PERMA NO.2 TAHUN 2019

(23)

TINDAKAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

Yang selanjutnya disebut TINDAKAN adalah Perbuatan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan negara. (Pasal 1 angka 8 UU AP)

PENJELASAN UMUM UU AP

Warga masyarakat juga dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan dan/atau TINDAKAN Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan kepada Peradilan Tata Usaha Negara, ….dsb

PENGERTIAN (I)

(24)

PENGERTIAN (II)

Sengketa yang timbul dalam bidang administrasi pemerintahan antara Warga Masyarakat dengan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya sebagai akibat dilakukannya Tindakan Pemerintahan.

(Ps 1 angka 3 Perma 2/2019)

Sengketa yang di dalamnya mengandung tuntutan untuk menyatakan tidak sah, dan/atau batal tindakan Pejabat Pemerintahan, atau tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat beserta ganti rugi sepanjang sesuai dengan peraturan perundang-undangan

(Ps 1 angka 4 Perma 2/2019)

Sengketa

Tindakan Pemerintahan PMH oleh Badan dan/atau Pej. Pemerintahan (OOD)

(25)

Tindakan Pemerintahan mengandung tiga unsur, yaitu:

1. Perbuatan Pejabat Pemerintahan atau Penyelenggaran Negara lainnya

2. Perbuatan tersebut dapat bersifat aktif ataupun pasif

3. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

 (Pasal 1 angka 1 dan angka 8 Perma No. 2 Tahun 2019)

KRITERIA OBJEK SENGKETA

PERMOHONAN OOD DI PTUN

(26)

DASAR-DASAR

PENGUJIAN PERMOHONAN SENGKETA OOD DI PTUN

Aspek Pengujian :

- Wewenang, Prosedur, dan Substansi

- Peraturan Perundang-undangan dan Asas-asas Umum

Pemerintahan Yang Baik

(27)

AKIBAT HUKUM

Tindakan Tidak Sah apabila :

1. Dibuat oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang tidak berwenang

2. Dibuat oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang melampaui kewenangannya;

dan/atau

3. Dibuat oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang bertindak sewenang-wenang

Akibat Hukumnya :

1. tidak mengikat sejak Tindakan tersebut ditetapkan; dan

2. segala akibat hukum yang ditimbulkan dianggap tidak pernah ada.

Tindakan Dapat Dibatalkan apabila : 1. Terdapat kesalahan prosedur; atau 2. Terdapat kesalahan substansi

Akibat Hukumnya :

1. Tidak mengikat sejak saat dibatalkan atau tetap sah sampai adanya pembatalan; dan 2. Berakhir setelah ada pembatalan

(28)

PENGUJIAN ADA TIDAKNYA UNSUR PENYALAHGUNAAN WEWENANG

Kewenangan PTUN terhadap ada tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang pada tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan diatur didalam Pasal 21 Undang- Undang Administrasi Pemerintahan. Pasal 20 UUAP menempatkan penyelesaian penyalahgunaan wewenang di Peratun sebagai Primum Remedium sedangkan penyelesaian menurut hukum pidana bersifat ultimum remedium.

Untuk melaksanakan ketentuan tersebut kemudian Mahkamah

Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5

Tahun 2015.;

(29)

1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan telah memperluas kewenangan PTUN yaitu kewenangan mengadili sengketa Fiktif Positif, Sengketa Tindakan Melawan Hukum oleh Pemerintah (OOD), dan Pengujian ada tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang.

2. Koneksitas UU AP dengan UU Cipta Kerja terdapat dalam Ketentuan Pasal 175 UU Cipta Kerja yang merubah beberapa ketentuan didalam UU AP;

3. Dari 3 (tiga) kewenangan PTUN sebagaimana diatur dalam UU AP, pasca diberlakukannya UU Cipta Kerja, Kewenangan PTUN yang paling menonjol dan berkembang adalah gugatan terhadap tindakan melawan hukum oleh Pemerintah (OOD).

KESIMPULAN

(30)

Referensi

Dokumen terkait

Kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka Keputusan dan/atau Tindakan ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Atasan Pejabat atau pejabat lain sesuai dengan

(2) Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan Retribusi diwajibkan untuk

(2) Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan Retribusi diwajibkan untuk

(1) Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) berisi kewajiban bagi tergugat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9), ayat (10) dan

(2) Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang- undangan Retribusi diwajibkan

(2) Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan retribusi diwajibkan untuk

(3) Wajib retribusi penjualan produksi usaha daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang- undangan

(2) Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan