• Tidak ada hasil yang ditemukan

COLLABORATION MODELS OF THE MANAGEMENT OF WASUR NATIONAL PARK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "COLLABORATION MODELS OF THE MANAGEMENT OF WASUR NATIONAL PARK"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL KOLABORASI PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL WASUR

COLLABORATION MODELS OF THE MANAGEMENT OF WASUR NATIONAL PARK

Aguslavia S.M Palma1, Amran Achmad 2,Muhammad Dassir3

1

Konsentrasi Sosial Ekonomi Kehutanan,, Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin,

2

Kosentrasi Konservasi Sumberdaya Alam Hayati, Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin,3Kosentrasi Pemanenan Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas

Hasanuddin, Makassar

ALAMAT KORESPONDEN

Aguslavia S.M Palma, S.Hut

Jln. Satelit Raya, Perum. Telkommas No. 104 Makassar, 90234

HP : 085255210943

(2)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan (1) Mengidentifikasi pola pemanfaatan lahan, (2) Menganalis potensi konflik antara masyarakat dan pengelola Taman Nasional Wasur, (3) Merumuskan manajemen kolaborasi antara masyarakat dan pihak pengelola taman nasional wasur. Penelitian ini bersifat deskriptif. Pelaksanaan penelitian pada bulan Maret sampai dengan April 2012 di Taman Nasional Wasur. Pengumpulan data dilakukan melalui Indepth Interviews dan Focus Group Discussion. Data dianalisis dengan menggunakan Analisis Land Use dan pohon masalah. Hasil penelitian menunjukkan pemanfaatan lahan di Taman Nasional Wasur adalah berburu, menjaring, meramu, berdusun, mengambil kayu, berkebun, menggembala ternak, mengambil daun kayu putih, penambangan pasir semen dan tanah timbun serta penjualan tanah adat oleh masyarakat. Potensi konflik pada Taman Nasional Wasur adalah pemanfaatan lahan oleh masyarakat yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah. Model kolaborasi pada zona rimba dan zona inti adalah daerah yang telah di manfaatkan oleh masyarakat diusulkan menjadi zona tradisional. Model kolaborasi terkait potensi konflik pada zona pemanfaatan adalah menjadikan rumah masyarakat sebagai home stay untuk tujuan wisata serta memberdayakan masyarakat sekitar dan membangun infrastuktur pendukungnya. Model kolaborasi terkait potensi konflik pada zona khusus adalah penyediaan alternatif usaha untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, memperkuat kelembagaan adat setempat, penyuluhan kehutanan dan batas kawasan dan pengamanan bersama masyarakat adat.

Kata kunci: Taman nasional, potensi konflik, model kolaborasi

ABSTRACT

The aims of the research is to (1) find out the pattern of land use, (2) analyze the potency of conflict between the community and the managers of Wasur National Park, (3) Formulate collaborative management between the community and the managers of Wasur National Park. Research was a descriptive study conducted in Wasur National Park from March to April 2012. The methods of obtaining the data were in-depth Interviews and Focus Group Discussion. The data were analyzed by using land use analysis and problem tree. The results of the research reveal that the land of Wasur National Park is used for hunting, capturing, gathering, making village, taking wood, herding cattle, collecting eucalyptus leaves, minning cement sand and soil, and purchasing customary land by the community. The potency of conflict in Wasur National Park is the use of land community which is contrary to government policy. Collaboration models of jungle zone and core zone are the region that have been proposed by community as the traditional zones. Collaboration models related to the zone of the potency of conflict are to use of zone as the home stay by community for tourism porpose, to empower the surrounding community, and to build supporting infrastructures. Collaboration models related to the potency conflicts in the special zone are the availability of alternative business to increase community income, the strengthening of customary institution, the counseling on forestry and boundary region, and collective security of indigenous people.

(3)

PENDAHULUAN

Taman Nasional Wasur (TNW) merupakan salah satu kawasan pelestarian alam yang memiliki keaneka ragaman potensi SDA yang sangat kompleks, baik itu ditinjau dari sudut pandang keaneka ragaman hayati maupun keragaman budaya etnikal yang terdapat di kawasan tersebut. Kawasan pelestarian ini mewakili habitat-habitat tropis basah dan kering yang tidak terdapat di tempat lainnya di Indonesia, ditingkat dunia terbatas dalam wilayah Barat daya Papua Nugini dan bagian utara Australia (Paranginangin, 1994). Secara umum terdapat sepuluh tipe vegetasi utama didalam kawasan TNW dan juga terdapat 403 spesies burung, 114 spesies diantaranya yang dilindungi, 74 spesies merupakan spesies endemik Irian Jaya. Selain itu terdapat 80 spesies mamalia, 32 diantaranya adalah spesies endemik Irian Jaya (BTNW, 1999). Berdasarkan keputusan Mentri Kehutanan No. 282/Kpts-IV/1997 tanggal 23 Mei 1997, dilakukan penunjukan kawasan TNW di Kabupaten Merauke Provinsi Papua seluas 413.810 ha (Dirjen PHKA, 1999). Pengelolaan TNW dilakukan dengan sistem zonasi berdasarkan SK. Dirjen PHKA No. 256/VI-SET/2011, tanggal 21 Desember 2011 yang terbagi dalam lima zona yaitu, zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona religi, budaya dan sejarah, dan zona khusus.

Pengelolaan TNW selama ini hanya memikirkan fungsi taman nasional sebagai kawasan konservasi, sedangkan tidak bisa dipungkiri masyarakat telah ada bermukim di kawasan TNW sebelum disahkannya taman nasional tersebut. Hal ini mengindikasikan masih lemahnya komunikasi sosial yang terjalin antara pihak kehutanan dengan stakeholder lainnya, termasuk kelompok masyarakat. Sehingga “siapa berperan apa”, terkait batas kawasan hutan tidak diketahui oleh masyarakat (Golar et al., 2009). Secara garis besar dapat dinyatakan bahwa saat ini kehadiran dan pengelolaan kawasan TNW memberikan konflik baru terkait permasalahan tenurial. Permasalahan yang kemudian bisa berdampak negatif terhadap wilayah kawasan taman nasional secara umum dan kelestarian hutan secara khusus.

Secara hukum, untuk mewujudkan pengelolaan bersama masyarakat di dalam kawasan konservasi juga telah terbit Peraturan Menteri Kehutanan No.P.19/Menhut-II/2004 tentang kolaborasi pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam (Dephut, 2004). Melalui hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian tentang Model Kolaborasi Pengelolaan TNW dengan tetap menjamin keseimbangan antara fungsi produksi dan fungsi ekologi lahan taman nasional tersebut. Permasalahan kawasan konservasi di Indonesia utamanya dalam kawasan taman nasional (darat dan laut) seluas hampir 70 % dari total kawasan konservasi dalam pengelolaannya mengalami berbagai konflik dengan masyarakat baik dalam kawasan maupun di luar kawasan (Royana, 2003). Penelitian ini ditujukan untuk memperoleh informasi

(4)

tentang pola pemanfaatan lahan di kawasan TNW, potensi konflik antara masyarakat dan pengelola di TNW dan manajemen kolaborasi antara masyarakat dan pihak pengelola TNW.

BAHAN DAN METODE

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - April 2012 di TNW Kecamatan Merauke, Kabupaten Merauke, Propinsi Papua. Pemilihan lokasi tersebut dengan pertimbangan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada kawasan telah ada sebelum penunjukan Wasur menjadi taman nasional yang kemudian menciptakan konflik dengan pengelola taman nasional.

Populasi dan Sampel

Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian. Dalam penelitian ini populasinya adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan TNW khususnya masyarakat dan pengelola taman nasional. Adapun teknik sampel yang akan dilaksanakan adalah dengan mengambil data secara langsung di lapangan melalui teknik Purposive Sampling yaitu mengambil sampel secara sengaja dengan mempertimbangkan kriteria-kriteria tertentu yang telah dibuat terhadap obyek yang sesuai dengan tujuan penelitian.

Pengumpulan Data

jenis data terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan penyelidikan yang sedang ditangani (Maholtra, 1996). Data Sekunder, adalah data yang digunakan untuk tujuan lain bukan dengan tujuan menyelesaikan masalah yang sedang ditangani saat ini. Pengumpulan data dilakukan dengan Indepth Interviews adalah suatu proses memperoleh informasi untuk tujuan penelitian dengan cara melakukan tanya jawab secara langsung antara peneliti dengan masyarakat maupun pengelola TNW. FGD (Focus Group Discusion) adalah metode riset yang didefinisikan Irwanto (1988), sebagai proses pengumpulan informasi mengenai suatu permasalahan tertentu yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok. Melalui teknik FGD peneliti akan mengumpulkan data penelitian dari berbagai stakeholder terkait. Masing-masing stakeholder kemudian mengemukakan pendapat, persepsi dan pemikirannya masing-masing mengenai topik penelitian dalam suatu diskusi. Dari diskusi tersebut kemudian dihasilkan suatu pendapat akhir yang mewakili pendapat utama dari masing-masing pihak. Dokumentasi, yaitu dengan melakukan pencatatan dan pengambilan gambar di lapangan melalui pemotretan dan fotocopy data sekunder dari instasi terkait dan studi literatur.

(5)

Analisis Data

Analisis Land Use dilakukan melalui overlay peta zonasi TNW dan peta pemanfaatan lahan (existing land use) oleh masyarakat dengan pendekatan GIS sehingga dapat diidentifikaisi aktifitas-aktifitas masyarakat yang berada di dalam taman nasional. Bahan yang digunakan dalam analisis ini adalah peta zonasi TNW, peta batas kawasan dan peta pemanfaatan lahan oleh masyarakat di dalam TNW. Hasil overlay peta ini akan diperoleh sebaran pemanfaatan lahan oleh masyarakat dalam kawasan TNW. Analisis pohon masalah digunakan untuk mencari pemahaman yang jelas tentang permasalahan pengelolaan TNW terkait kebijakan, kendala, tantangan dan peluang saat ini. Analisis ini mencakup verifikasi stakeholder terkait, identifikasi masalah yang terkait dengan pihak yang berkepentingan dalam hal ini masyarakat dan pengelola taman nasional, membangun hirarki sebab akibat didalam masalah dan kemudian memvisualisasikan hubungan sebab akibat tersebut ke dalam diagram. Melalui diagram tersebut maka dapat dipetakan secara jelas sebab dan akibat disekitar masalah utama dengan lebih terstruktur sehingga memudahkan peneliti dalam menemukan solusi-solusi terkait permasalahan yang telah dipetakan.

HASIL PENELITIAN

Zonasi Wilayah Taman Nasional Wasur dan Pola Pemanfaatan Lahan Oleh Masyarakat Taman Nasional Wasur (TNW) dikelola dengan sistem zonasi yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan No. 256/VI-SET/2011 tanggal 21 Desember 2011. Melalui SK tersebut maka TNW memiliki lima zona yaitu zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona religi dan zona khusus. Zona Inti seluas ± 175.484 ha. Berdasarkan pengamatan di lapangan, masyarakat tidak bermukim secara tetap di zona inti namun terdapat beberapa bentuk pemanfaatan lahan oleh masyarakat di zona ini. Bentuk-bentuk pemanfaatan lahan yang dimaksud diatas adalah berdusun, berburu, menjaring dan meramu. Seluruh bentuk pemanfaatan lahan tersebut dilakukan di seluruh kawasan zona inti. Kegiatan berburu merupakan tradisi turun-temurun masyarakat tradisional yang mendiami kawasan TNW yang dilakukan secara berkelompok dan terdiri dari dua sampai lima orang dengan hewan buruan rusa, kanguru, babi, kasuari, buaya dan lain-lain. Ketergantungan masyarakat tradisional kepada alam dapat dilihat dari kehidupan sehari-hari, salah satunya adalah meramu/mengumpul. Dalam menjalani pola kehidupan sehari-hari, masyarakat tradisional lebih banyak menggunakan berbagai sumber daya alam yang tersedia di sekitarnya, seluruh kawasan merupakan daerah mengumpul/meramu seperti, kulit kayu untuk atap rumah dan tali, getah beringin sebagai bahan lem, pohon kayu tertentu untuk membuat perahu dan gendang tradisional, daun gebang (Corypha elata) dan

(6)

kelapa (Cocos nucifera) untuk alas dan keranjang. Obat-obatan umumnya menggunakan berbagai jenis daun, akar pohon, kulit pohon, semak ataupun bunga tertentu.

Zona Rimba memiliki luas ± 201.338 ha, yang tersebar merata di seluruh kawasan TNW mengelilingi Zona Inti dan Zona Khusus. Zona ini meliputi wilayah-wilayah di sekitar batas kawasan antara lain kampung, sarana jalan, dusun tradisional, dan sebagian wilayah savanna utama seperti Ukra dan Kankania. Berdasarkan pengamatan di lapangan, terdapat beberapa masyarakat yang bermukim secara tetap di zona rimba yaitu pada daerah sepanjang pantai di kampung Kuler dan kampung Ndalir. Beberapa bentuk pemanfaatan lahan oleh masyarakat pada zona rimba yaitu bermukim, berburu, menjaring, mengambil kayu, penggembalaan, berkebun, meramu, berdusun dan penambangan pasir. Pemanfaatan kawasan yang dilakukan oleh masyarakat di dalam zona rimba seperti berburu, menjaring, mengambil kayu, beternak dan meramu dapat dikatakan bertentangan dengan kebijakan pemerintah dalam Permenhut Nomor: P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Permenhut tersebut hanya membatasi aktifitas di dalam zona rimba berupa kegiatan perlindungan hutan, pengawasan hutan, pengawasan hutan, kegiatan penelitian serta pembinaan habitat dan populasi kehidupan liar. Permasalahan tersebut di atas diberi kelonggaran kebijakan oleh pengelola TNW. Kelonggaran kebijakan yang yang dimaksud berdasarkan hasil wawancara dengan stakeholder kunci TNW adalah ijin menggunakan wilayah zona rimba untuk berburu dan menjaring secara tradisional didalam wilayah adat masing-masing suku. Sedangkan untuk kegiatan pengambilan kayu, ijinnya diperketat dan harus seizin kepala kampung, lembaga masyarakat, dan pengelola taman nasional. Pengambilan kayu pada zona rimba hanya dibolehkan untuk konsumsi pribadi berupa pemakaian konstruksi bangunan tempat tinggal masyarakat.

Zona Pemanfaatan seluas ± 129 ha. Zona ini berada di sepanjang pinggiran jalan Trans Irian Wasur dan termasuk dalam SPTN Wilayah III Wasur. Zona ini meliputi sekitar pintu masuk kawasan pusat informasi bomi sai, permandian biras, bumi perkemahan, serta wilayah sekitar pos resort Yanggandur. Berdasarkan pengamatan di lapangan, terdapat beberapa masyarakat yang bermukim secara tetap di zona pemanfaatan, sebelah Barat desa Wasur. Selain bermukim secara tetap di wilayah tersebut, masyarakat juga melakukan beberapa bentuk pemanfaatan lahan di zona ini. Bentuk-bentuk pemanfaatan lahan yang dimaksud adalah menjaring, meramu, mengambil kayu bakar dan berkebun. Aktifitas lain di zona ini adalah pengelola TNW memanfaatkan kawasan sebagai pusat informasi bomi sai, kolam rekreasi permandian biras, dan bumi perkemahan. Pemanfaatan kawasan yang dilakukan oleh masyarakat di dalam zona pemanfaatan seperti menjaring, meramu, mengambil kayu bakar dan berkebun dapat dikatakan bertentangan dengan kebijakan pemerintah yang secara umum membatasi aktifitas di dalam zona

(7)

pemanfaatan berupa kegiatan penelitian, perlindungan dan pengamanan hutan, pengawasan hutan, pembinaan habitat dan populasi, serta pengusahaan pariwisata alam dan jasa lingkungan (Dephut, 2006).

Permasalahan tersebut di atas diberi kebijakan oleh pengelola TNW. Kebijakan yang didapatkan berdasarkan hasil wawancara dengan stakeholder kunci TNW adalah ijin menggunakan wilayah zona pemanfaatan untuk menjaring secara tradisional (pancing dan tanggo-tanggo), mengambil kayu bakar dari pohon yang sudah mati, dan meramu hasil alam untuk memenuhi kebutuhan hidup. Izin tersebut diberikan bukan untuk tujuan komersil tetapi hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat. Zona Religi, Budaya, dan Sejarah seluas ± 2.215 ha, yang terletak di wilayah - wilayah atau situs sakral dan rute perjalanan leluhur yang letaknya tersebar hampir merata di seluruh kawasan. Kawasan TNW terdapat cukup banyak lokasi yang memiliki kepentingan spiritual dan dianggap sakral oleh masyarakat tradisional. Lokasi ini secara historis memilki kenampakan yang berarti bagi masyarakat tradisional, atau berhubungan dengan cerita atau mitos terhadap adat/suku, kejadian luar biasa atau sesuatu yang tidak dapat dijelaskan pada masa lalu, atau lokasi khusus untuk nenek moyang. Lokasi sakral ini merupakan rahasia, terlarang (pemali) dan diyakini berbahaya bagi masyarakat tradisional maupun non tradisional.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, masyarakat tidak bermukim secara tetap di zona religi, namun terdapat beberapa bentuk pemanfaatan kawasan oleh masyarakat di zona tersebut. Bentuk-bentuk pemanfaatan kawasan yang dimaksud adalah melakukan upacara/ritual adat, pesta adat, memelihara situs sejarah masyarakat, dan sebagai tempat untuk menghormati arwah nenek moyang atau kepala perang yang yang telah gugur. Pemanfaatan kawasan yang dilakukan oleh masyarakat di dalam zona pemanfaatan tidak bertentangan dengan kebijakan pemerintah. Berdasarkan hasil overlay peta, diketahui bahwa zona religi tersebar merata di dalam kawasan taman nasional dimana zona ini juga terdapat di dalam areal zona inti, rimba dan zona khusus. Zona Khusus seluas ± 34.664 ha, yang terletak pada kampung yang sudah terlebih dahulu ada sebelum penunjukkan kawasan ini sebagai taman nasional yang meliputi Kampung Wasur, Rawa Biru, Yanggandur, Sota, Kuler, Onggaya, Tomer, Tomeraw, dan Kondo, serta daerah milik jalan.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, zona khusus berada pada dua SPTN yaitu pada Wilayah II Ndalir dan Wilayah III Wasur. Bentuk pemanfaatan lahan oleh masyarakat pada zona tersebut adalah bermukim, berburu, berkebun, bertani, menjaring, mengambil kayu, beternak, meramu, berdagang, penyulingan minyak kayu putih, dan sebagai tempat budidaya (anggrek, wati, dan kumbili). Seluruh bentuk pemanfaatan lahan tersebut dilakukan pada seluruh kawasan zona khusus.

(8)

Potensi Konflik

Tabel potensi konflik menjelaskan untuk zona inti konflik yang terjadi antara masyarakat dengan pengelola TNW di zona inti adalah penggunaan kawasan berupa berdusun, berburu, menjaring dan meramu. Timbulnya pemanfaatan kawasan di zona inti oleh masyarakat disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat terhadap batas kawasan, ketergantungan masyarakat terhadap hutan untuk memperoleh pendapatan serta adanya hak ulayat masyarakat. hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Tadjudin (2000), yang mengatakan bahwa bahwa sumber konflik adalah karena adanya perbedaan pada berbagai tataran yakni: 1) perbedaan persepsi, 2) perbedaan pengetahuan, 3) perbedaan tata nilai, 4) perbedaan kepentingan, 5) perbedaan akuan hak kepemilikan.

Seluruh aktifitas masyarakat di zona inti seperti yang telah disebutkan di atas menyalahi aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Aturan yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru, Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 56 Tahun 2006 tentang Panduan Zonasi Taman Nasional.

Konflik yang terjadi antara masyarakat dengan pengelola TNW di zona rimba adalah penggunaan kawasan berupa pemukiman, berdusun, berburu, menjaring, mengambil kayu, penggembalaan, berkebun, meramu, penambangan pasir semen dan tanah timbun. Timbulnya pemanfaatan kawasan di zona rimba oleh masyarakat disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat terhadap batas kawasan, ketergantungan masyarakat terhadap hutan untuk memperoleh pendapatan serta adanya hak ulayat masyarakat serta minimnya matapencaharian masyarakat.Konflik mendasar di zona rimba adalah penambangan golongan C. Penambangan golongan C yang dimaksud adalah penambangan pasir semen dan tanah timbun. hal ini disebabkan karena minimnya matapencaharian masyarakat sehingga masyarakat melakukan aktifitas tersebut. Hingga saat ini penambangan tersebut sudah berdampak kepada masuknya air laut hingga sampai ke pemukiman dan juga merusak jalan yang menghubungkan daerah di sekitar SPTN wilayah II Ndalir tepatnya di kampung Ndalir. Sedangkan penambangan tanah timbun terjadi di kiri-kanan sepanjang jalan trans irian. Akibat dari aktifitas ini yaitu, terdapatnya cekungan-cekungan yang disebabkan oleh aktifitas tersebut.

(9)

Seluruh aktifitas masyarakat di zona rimba seperti yang telah disebutkan di atas menyalahi aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Aturan yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru, Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 56 Tahun 2006 tentang Panduan Zonasi Taman Nasional.

Konflik yang terjadi antara masyarakat dengan pengelola TNW di zona pemanfaatan adalah penggunaan kawasan berupa pemukiman masyarakat, menjaring, meramu, mengambil kayu dan berkebun. Timbulnya pemanfaatan kawasan di zona rimba oleh masyarakat disebabkan oleh adanya hak ulayat dari masyarakat serta ketergantungan masyarakat terhadap hutan untuk memperoleh pendapatan.Seluruh aktifitas masyarakat di zona pemanfaatan seperti yang telah disebutkan di atas menyalahi aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Aturan yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 56 Tahun 2006 tentang Panduan Zonasi Taman Nasional.

Konflik yang terjadi antara masyarakat dengan pengelola TNW di zona khusus adalah penjualan tanah timbun dan pasir semen serta penjualan tanah adat oleh masyarakat kepada orang lain diluar masyarakat adat. Aktifitas tersebut dilakukan masyarakat karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap kesejahtraan masyarakat dan desakan ekonomi. Hal lain yang menjadi permasalahan mendasar adalah aktivitas pemerintah setempat dalam hal ini Dinas Tanaman Pangan Kabupaten Merauke yang membangun sarana permanen. hal ini disebabkan karena kurangnya koordinasi dari pihak pengelola dengan pemerintah setempat. Seluruh aktifitas masyarakat di zona khusus seperti yang telah disebutkan di atas menyalahi aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Aturan yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 56 Tahun 2006 tentang Panduan Zonasi Taman Nasional. Berdasarkan kajian potensi konflik di

(10)

zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona religi dan zona khusus serta hasil Focus Group Discussion bersama masyarakat dan pengelola TNW maka peneliti kemudian mencoba membangun sebuah pohon permasalahan yang dapat dilihat pada Gambar pohon masalah.

Model Kolaboratif Pengelolaan Taman Nasional Wasur

Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat dan FGD terdapat beberapa aktifitas yang dilakukan masyarakat di dalam pemanfaatan kawasan TNW yang mengancam kelestarian flora dan fauna, serta solusi kolaboratif yang ditawarkan. Bentuk aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat pada zona inti yaitu berburu, meramu, menjaring dan berdusun. Penggunaan kawasa berupa aktifitas yang dilakukan pada zona inti seperti yang telah disebutkan diatas menunjukkan bahwa ketergantungan masyarakat terhadap zona ini masih cukup tinggi. Berdasarkan hal itu maka, solusi model kolaboratif yang dapat diterapkan untuk mengakomodir kepentingan masyarakat yaitu, menetapkan zona tradisional pada daerah yang terdapat aktifitas penggunaan kawasan oleh masyarakat di zona inti dengan kegiaatan-kegiatan yang disepakati bersama masyarakat dan pengelola TNW. Kesepakatan yang dapat ditawarkan dalam pemanfaatan zona tradisional yaitu, masyarakat dapat mengambil sumberdaya hutan dengan memberlakukan sistem sasi dan aturan adat. Aturan adat yang dimaksud adalah aturan dalam masyarakat adat yang melarang/membatasi penggunaan sumberdaya alam secara berlebihan dan sewenang-wenang karena terkait dengan totem dimasyarakat (totem adalah penggunaan jenis hewan ataupun tumbuhan sebagai marga dalam masyarakat).

Pemanfaatan Kawasan oleh masyarakat di zona rimba seperti berburu, menjaring, meramu, bermukim dan berdusun bertentangan dengan peraturan pemerintah. Solusi model kolaboratif yang ditawarkan yaitu, menetapkan zona tradisional pada daerah yang terdapat aktifitas penggunaan kawasan oleh masyarakat di zona rimba dengan aturan-aturan yang disepakati bersama oleh masyarakat dan pengelola TNW. Aturan-aturan tersebut seperti, kegiatan berburu, menjaring dan meramu dapat dilakukan oleh masyarakat secara tradisional untuk tujuan non komersial, serta masyarakat dapat mengambil kayu secara terbatas untuk keperluan rumah tangga. Aktifitas penggembalaan sapi yang dilakukan oleh masyarakat non tradisional di zona rimba telah menyebabkan satwa yang dilindungi seperti rusa dan kangguru terancam kehilangan habitat. Aktifitas ini sudah tidak dapat ditolerir lagi karena akan mengancam kelestarian flora dan fauna yang berada di zona rimba, solusi yang harus diambil adalah memindahkan aktifitas penggembalaan di zona lain.

Beberapa bentuk aktifitas masyarakat dalam menggunakan kawasan di zona pemanfaatan yaitu menjaring, meramu, mengambil kayu dan bermukim dianggap telah melanggar aturan yang ditetapkan oleh pengelola TNW. Model kolaboratif di zona pemanfaatan ialah rumah

(11)

masyarakat yang telah ada dijadikan sebagai home stay. Untuk menunjang pengelolaan objek wisata pada kawasan ini maka, pengelola perlu memperhatikan infrastruktur pendukung wisata, serta melakukan pelatihan kepada masyarakat untuk menjadi pemandu wisata.

Aktifitas yang dilakukan masyarakat seperti upacara/ritual adat dan pesta adat di zona zona religi, budaya dan sejarah, tidak melanggar peraturan yang ditetapkan oleh BTNW. Aktifitas masyarakat pada zona ini, jika dikelola dengan baik akan menambah penghasilan masyarakat. Contohnya seperti upacara adat yang masih tetap dilaksanakan dikemas dengan baik dan menarik sehingga menjadi daya tarik pariwisata.. Permasalahan yang terjadi pada zona khusus, terkait dengan penambangan pasir semen, tanah timbun dan penjualan tanah adat tidak dapat di tolelir. Kegiatan ini tidak dapat ditolerir karena, di samping melanggar Undang-Undang No. 41 Tahun 1999, juga aktifitas ini akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.

Salah satu sebab masyarakat melakukan kegiatan penambangan adalah terdesaknya kebutuhan ekonomi. Oleh karena itu, solusi untuk pemecahan masalah ini adalah perlu dicari alternatif mata pencaharian masyarakat. Alternatif mata pencaharian masyarakat yang dimaksud misalnya memberikan bantuan modal, pelatihan kewirausahaan kehutanan, peningkatan hasil pertanian melalui pola agroforestri, pelatihan pemandu wisata, peningkatan ketrampilan industri rumah tangga dan usaha-usaha lainnya. Terciptanya alternatif pekerjaan bagi masyarakat sebagai pekerjaan pengganti, berdampak pada peningkatan income masyarakat, sehingga masyarakat tidak lagi melakukan penambangan pasir semen, tanah timbun dan menjual tanah adat.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kami menyimpulkan bahwa pola pemanfaatan lahan pada TNW adalah berburu, menjaring, meramu, berdusun, mengambil kayu, berkebun, menggembala ternak, mengambil daun kayu putih, penambangan pasir semen dan tanah timbun serta penjualan tanah adat. Potensi konflik pada TNW adalah pemanfaatan kawasan taman nasional oleh masyarakat yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah terkait pengelolaan taman nasional. Masyarakat menolak dan melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Model kolaborasi terkait potensi konflik pada zona inti adalah kawasan yang berada di dalam zona inti dan zona rimba yang telah dimanfaatkan masyarakat ditetapkan sebagai zona tradisional dengan aturan-aturan yang diatur oleh pengelola TNW. Model kolaborasi terkait potensi konflik pada zona pemanfaatan adalah rumah masyarakat yang telah ada dijadikan sebagai tempat tinggal (home stay) untuk tujuan wisata, serta pengelola perlu memperhatikan infrastruktur pendukung wisata lainnya. Model kolaborasi pada zona religi, budaya dan sejarah adalah upacara adat dijadikan sebagai alternatif objek wisata. Model kolaborasi terkait potensi konflik pada zona khusus adalah

(12)

penyediaan alternatif usaha untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, memperkuat kelembagaan adat setempat, penyuluhan kehutanan dan batas kawasan, pemantauan dan pengamanan bersama masyarakat adat. Untuk mewujudkan implementasi pengelolaan TNW yang optimal disarankan perlunya ada penelitian lebih lanjut mengenai analisis strategi implementasi model kolaborasi TNW.

DAFTAR PUSTAKA

BTNW. (1999). Rencana pengelolaan Taman Nasional Wasur 1999-2024 Buku II (Data, Analisis dan Proyeksi). Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, Merauke.

Dephut. (2004). Peraturan Menteri Kehutanan No. 19 Tahun 2004 Tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Departemen Kehutanan, Jakarta.

Dephut. (2006). Peraturan Menteri Kehutanan No. 56 Tahun 2006 Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional.Departemen Kehutanan, Jakarta.

Dirjen PHKA. (1999). Departemen Kehutanan dan Perkebunan bersama WWF. 1999. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Wasur 1999-2024. Buku II (Data, Analisis, dan Proyeksi). Balai Taman Nasional Wasur, Marauke.

Golar. (2009). Efektifitas Penerapan Metode ACM dalam Mengatasi Masalah Perambahan. Laporan Penelitian DP2M-DIKTI.

Irwanto. (1998). Focus Group Discussion (FGD) Sebuah Pengantar Praktis. Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat. Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Yogyakarta.

Malhotra, N.K. (1996). Marketing Research, Second Edition, Prentice Hill Interantional. New Jersey, Usa.

Paranginangin, B. (1994). Usulan Rencana Pengelolaan dan Pola Pengembangan Zona Penyangga Taman Nasional Wasur. World Wide Fund For Nature. Departemen Kehutanan, Merauke.

Royana, R. (2003). Konsep konservasi Berbasis Masyarakat. Modul Magang Sylva Indonesia. Sylva Indonesia, Jogjakarta.

(13)

Tabel Potensi Konflik Antara Masyarakat dengan Taman Nasional Wasur Zona Konflik Alasan Pemanfaatan Peraturan Inti Penggunaan kawasan

berupa sistem dusun, berburu, menjaring dan meramu.

Tidak tahu mengetahui batas kawasan. Adanya hak ulayat dari masyarakat. Ketergantungan masyarakat terhadap hutan. 1. UU No.5 Tahun 1990 2. UU No.41 Tahun 1999 3. PP No.13 Tahun 1994 4. PP No. 68 Tahun 1998 5. PP No. 34 Tahun 2002 6. Keppres No. 32 Tahun 1990 7. Permenhut No.56 Tahun

2006 Rimba Penggunaan kawasan

berupa pemukiman, sistem dusun, berburu, menjaring, mengambil kayu, kegiatan penggembalaan, berkebun, meramu, penambangan pasir semen dan tanah timbun.

Tidak tahu mengetahui tapal batas.

Adanya hak ulayat dari masyarakat Ketergantungan terhadap hutan. Minimnya matapencaharian masyarakat. 1. UU No.5 Tahun 1990 2. UU No.41 Tahun 1999 3. PP No.13 Tahun 1994 4. PP No. 68 Tahun 1998 5. PP No. 34 Tahun 2002 6. Keppres No. 32 Tahun 1990 7. Permenhut No.56 Tahun

2006

Pemanfaatan Penggunaan kawasan berupa pemukiman masyarakat, menjaring, meramu, mengambil kayu dan berkebun

Adanya hak ulayat masyarakat. Ketergantungan terhadap hutan. 1. UU No.5 Tahun 1990 2. UU No.41 Tahun 1999 3. PP No. 68 Tahun 1998 4. PP No. 34 Tahun 2002 5. Keppres No. 32 Tahun 1990 6. Permenhut No. 56 Tahun

2006 Religi,

Budaya, dan Sejarah

- -

Khusus Penjualan tanah timbun dan pasir semen

penjualan tanah adat oleh masyarakat kepada orang lain di luar masyarakat adat)

pembangunan sarana permanen oleh dinas tanaman pangan.

Adanya hak ulayat dari masyarakat. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap kesejahtraan masyarakat Terdesaknya kebutuhan ekonomi Kurangnya koordinasi oleh pengelola dengan pemerintah daerah.

1. UU No. 5 Tahun 1990 2. UU No. 41 Tahun 1999 3. PP No. 68 Tahun 1998 4. PP No. 34 Tahun 2002 5. Keppres No. 32 Tahun 1990 6. Permenhut No. 56 Tahun

(14)

Gambar Pohon Masalah

Masy menolak dan melanggar aturan terkait TNW Penataan batas tdk clean & clear Sosialisasi pemerintah/TN minim Ada hak-hak hukum adat masy Data base pemerintah kurang lengkap Penetapan sepihak pemerintah kepentingan ekonomi masy Ekonomi dan pendidikan rendah Akses sulit kurangnya kepedulian pemerintah Berdusun Meramu Berburu

Menjual Tanah Penambangan pasir Menjaring Berkebun Mengambil kayu Penggemb alaan

Gambar

Tabel Potensi Konflik Antara Masyarakat dengan Taman Nasional Wasur
Gambar Pohon Masalah

Referensi

Dokumen terkait

Penyakit ini juga sangat erat hubunganya dengan sanitasi lingkungan yang buruk, dimana pembuangan sampah sembarangan tidak ditutup maka banyak vector lalat

bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang

Kajian seroprevalensi virus Avian influenza H5N1 telah dibuktikan oleh Kurniawan dan Dwiyanto (2008) bahwa 33,33% kucing dari beberapa pasar di wilayah Semarang

Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan, maka dapat ditarik rumusan permasalahan dalam penelitian ini yakni "Bagaimana hubungan antara menonton tayangan

Diagram sebab akibat pada Gambar 6 menunjukkan bahwa cacat sambungan terjadi dikarenakan akar masalah operator tidak tahu cara melakukan pengaturan mesin linking ,

Menurut WHO Task Force in Stroke and other Cerebrovaskular Disease adalah suatu Menurut WHO Task Force in Stroke and other Cerebrovaskular Disease adalah

Berdasarkan hasil pada diagram 1 menunjukkan bahwa penyembuhan luka perineum pada ibu post partum yang tidak diberikan propolis setelah diobservasi selama 7 hari,

Masyarakat harus menunggu pedagang pengumpul yang datang ke desa untuk membeli hasil panen, dan apabila mereka harus keluar desa maka semua kebutuhan hidup rumahtangga