• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alhamdulillahirabbil alamin, puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, atas izin dan pertolongan-nya sehingga Publikasi Data Basis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Alhamdulillahirabbil alamin, puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, atas izin dan pertolongan-nya sehingga Publikasi Data Basis"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, atas izin dan pertolongan-Nya sehingga Publikasi ”Data Basis

Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014” ini dapat

terselesaikan. Publikasi ini tersaji atas kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Bandung dengan Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung.

Data yang memuat informasi mengenai kondisi

perkembangan masyarakat khususnya yang berkaitan dengan pembangunan manusia sangat berguna sebagai bahan analisis dan evaluasi program pembangunan serta sebagai bahan perencanaan pembangunan. Publikasi Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014 ini sesuai dengan maknanya merupakan data dasar yang memuat gambaran secara makro hasil pembangunan yang telah dicapai Pemerintah Kota Bandung dalam upaya meningkatkan pemberdayaan manusia di Kota Bandung. Publikasi ini diharapkan akan sangat berguna sebagai kerangka konsep pembangunan yang menjadi dasar kebijakan pembangunan manusia.

Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penyusunan publikasi ini kami ucapkan terima kasih. Semoga publikasi ini bermanfaat bagi banyak pihak.

Bandung, Oktober 2014 Kepala Badan Pusat Statistik

Kota Bandung

Ir. Hj. Sri Daty NIP. 19591107 198503 2 002

(3)

KATA PENGANTAR i DAFTAR ISI ii DAFTAR TABEL iv DAFTAR GAMBAR vi BAB I. PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Penulisan

1.3 Ruang Lingkup dan Sumber Data

1 3 3

BAB II. METODOLOGI 5

2.1 Pengertian Indikator

2.2 Indikator Pembangunan Manusia 2.3 Metode Penghitungan IPM

2.4 Rumus dan Ilustrasi Penghitungan IPM 2.5 Status Pembangunan Manusia

2.6 Ukuran Perkembangan IPM

2.7 Beberapa Definisi Operasional Indikator Terpilih

5 7 8 13 14 15 16

BAB III. INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA

BANDUNG TAHUN 2014 19

3.1 Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia Di Kota Bandung

3.2 Perkembangan Komponen IPM di Kota Bandung 3.2.1 Angka Harapan Hidup (AHH)

3.2.2 Angka Melek Huruf (AMH) dan Rata-rata Lama Sekolah (MYS)

3.2.3 Paritas Daya Beli (Purchasing Power Parity/PPP) 19 22 23 24 27

(4)

BAB IV. DIMENSI UMUR PANJANG DAN SEHAT 29 4.1 Kondisi Input

4.1.1 Fasilitas Tempat Buang Air Besar (BAB) 4.1.2 Sumber Air Minum yang Digunakan 4.1.3 Ketersediaan Sarana Kesehatan 4.1.4 Tenaga Kesehatan

4.1.5 Penolong Kelahiran 4.2 Kondisi Proses

4.2.1 Pemanfaatan Fasilitas Kesehatan 4.2.2 Lamanya Pemberian ASI

29 29 30 33 33 34 36 36 39

BAB V. DIMENSI PENGETAHUAN 41

5.1 Kondisi Input

5.1.1 Pendidikan Kepala Rumah Tangga 5.2 Kondisi Proses

5.2.1 Angka Partsisipasi Sekolah (APS) 5.2.2 Angka Partisipasi Murni (APM)

41 41 43 43 44

BAB VI. DIMENSI STANDAR HIDUP LAYAK 47

6.1 Kemiskinan

6.2 PDRB Per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi 6.2.1 PDRB Per Kapita 6.2.2 Pertumbuhan Ekonomi 47 50 50 52

(5)

Tabel 2.1 Daftar Komoditi Terpilih untuk Menghitung Paritas

Daya Beli (PPP) 21

Tabel 2.2 Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM 25

Tabel 4.1 Persentase Rumah Tangga Menurut Penggunaan Fasilitas Tempat Buang Air Besar di Kota Bandung, Tahun 2013-2014*

29

Tabel 4.2 Persentase Rumah Tangga Menurut Sumber Air

Minum di Kota Bandung, Tahun 2014* 31

Tabel 4.3 Persentase Rumah Tangga Yang Menggunakan Sumber Air Minum dan Jarak ke Tempat Penampungan Kotoran/Tinja di Kota Bandung, Tahun 2014*

32

Tabel 4.4 Jumlah Sarana Kesehatan di Kota Bandung, Tahun 2013

33 Tabel 4.5 Jumlah Tenaga Kesehatan di Kota Bandung, Tahun

2013

34

Tabel 4.6 Persentase Penduduk yang Mengalami Keluhan Kesehatan Menurut Jenis Kelamin di Kota Bandung, Tahun 2013-2014*

(6)

Tabel 4.7 Persentase Penduduk yang Berobat Jalan Menurut

Tempat Berobat, Tahun 2013-2014* 37

Tabel 4.8 Persentase Balita Menurut Jenis Kelamin dan Lamanya Pemberian ASI di Kota Bandung, Tahun 2013-2014*

40

Tabel 5.1 Persentase Ijazah yang Dimiliki Kepala Rumah Tangga di Kota bandung, Tahun 2014*

42 Tabel 5.2 Angka Partisipasi Sekolah (APS) Menurut Kelompok

Umur dan Jenis Kelamin di Kota Bandung, Tahun 2014*

43

Tabel 5.3 Angka Partisipasi Murni (APM) Menurut Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan di Kota Bandung, Tahun 2014*

46

(7)

Gambar 2.1 Komponen Indeks Pembangunan Manusia 9 Gambar 3.1 Perkembangan IPM dan Komponennya di Kota

Bandung, Tahun 2012-2014*

20 Gambar 3.2 Reduksi Shortfall Kota Bandung Periode

2011-2014* 21

Gambar 3.3 Perkembangan Angka Harapan Hidup Kota Bandung, Tahun 2011-2014* (dalam tahun)

23 Gambar 3.4 Perkembangan Rata-rata Lama Sekolah di Kota

Bandung, Tahun 2011-2014* (dalam tahun)

25 Gambar 3.5 Perkembangan Angka Melek Huruf Kota Bandung,

Tahun 2011-2014* (dalam %) 26

Gambar 3.6 Perkembangan Paritas Daya Beli Kota Bandung, Tahun 2011-2014* (dalam ribu rupiah)

28 Gambar 4.1 Persentase Penolong Kelahiran (Terakhir) Balita di

Kota Bandung, Tahun 2014*

35 Gambar 6.1 Persentase Penduduk Miskin di Kota bandung,

Tahun 2010-2013 49

Gambar 6.2 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Bandung, Tahun 2010-2013**

(8)

1.1 Latar Belakang

Pembangunan nasional adalah usaha untuk meningkatkan kualitas manusia seutuhnya, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Pembangunan nasional merupakan tanggung jawab bersama antara Pemerintah dan seluruh masyarakat Indonesia. Pembangunan pada dasarnya dapat didefinisikan sebagai sebuah proses perubahan dan transformasi menuju kondisi yang lebih baik khususnya pada aspek kualitas sumber daya manusia.

Setiap pembangunan yang dilakukan pada dasarnya bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat. Seiring dengan semangat otonomi daerah dalam perencanaan pembangunan dewasa ini, pembangunan manusia menjadi fokus utama atau titik sentral dari setiap tahapan dan proses pembangunan. Manusia tidak lagi hanya sebagai objek pembangunan, melainkan juga sebagai subjek dari pembangunan itu sendiri. Seluruh upaya pembangunan ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia berdasarkan pada ukuran kualitas kehidupan dan lingkungan, yang pada akhirnya mewujudkan manusia sebagai makhluk yang bermartabat.

Pembangunan manusia merupakan paradigma pembangunan yang menempatkan manusia sebagai fokus dan sasaran akhir dari seluruh kegiatan pembangunan, yaitu tercapainya penguasaan atas sumber daya (pendapatan untuk mencapai hidup layak), peningkatan derajat kesehatan (usia hidup panjang dan sehat) dan meningkatkan pendidikan (kemampuan baca tulis dan keterampilan untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat

(9)

dan kegiatan ekonomi). Pembangunan manusia melihat secara bersamaan semua isu dalam masyarakat; pertumbuhan ekonomi, perdagangan, ketenagakerjaan, kebebasan politik ataupun nilai-nilai kultural dari sudut pandang manusia. Pembangunan manusia juga mencakup isu penting lainnya, yaitu gender. Dengan demikian, pembangunan manusia tidak hanya memperhatikan sektor sosial, tetapi merupakan pendekatan yang komprehensif dari semua sektor.

Menurut UNDP (1995), paradigma pembangunan manusia terdiri dari 4 (empat) komponen utama, yaitu : (1) Produktivitas, masyarakat harus dapat meningkatkan produktivitas mereka dan berpartisipasi secara penuh dalam proses memperoleh penghasilan dan pekerjaan berupah. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi adalah salah satu bagian dari jenis pembangunan manusia, (2) Ekuitas, masyarakat harus punya akses untuk memperoleh kesempatan yang adil. Semua hambatan terhadap peluang ekonomi dan politik harus dihapus agar masyarakat dapat berpartisipasi di dalam pembangunan dan memperoleh manfaat dari kesempatan-kesempatan ini, (3) Kesinambungan, akses untuk memperoleh kesempatan harus dipastikan tidak hanya untuk generasi sekarang tapi juga generasi yang akan datang. Segala bentuk permodalan fisik, manusia, lingkungan hidup, harus dilengkapi, (4) Pemberdayaan, pembangunan harus dilakukan oleh masyarakat dan bukan hanya d i l a k u k a n untuk masyarakat. Masyarakat harus berpartisipasi penuh dalam mengambil keputusan dan proses-proses yang mempengaruhi kehidupan mereka.

Alat ukur yang lazim digunakan dalam memantau tingkat pembangunan manusia adalah Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index). Indeks ini dibentuk dari empat indikator, yaitu angka

(10)

harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan kemampuan daya beli. Indonesia beserta provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia sejak tahun 1998 menggunakan indeks ini untuk memantau kemajuan dari pembangunan manusia di wilayah masing-masing. Tantangan mendasar untuk perbaikan indeks ini terletak pada kemampuan memperbaiki mutu pembangunan di sektor-sektor penopang IPM dan sektor-sektor yang berkaitan dengan itu.

Atas dasar tersebut maka kegiatan penyusunan Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014 menjadi penting guna mendukung dan sekaligus memberikan arah bagi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di Kota Bandung dan kecamatan-kecamatan di bawahnya.

1.2 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penyusunan Data Basis Pembangunan Manusia di Kota Bandung Tahun 2014 ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk melihat perkembangan pembangunan manusia di Kota Bandung tahun 2014.

b. Memberikan gambaran yang lebih sederhana dan lengkap dalam melihat dampak pembangunan yang dilaksanakan dan implikasinya terhadap peningkatan kualitas penduduk.

c. Memberikan rekomendasi implementasi program dalam rangka meningkatkan komponen Indeks Pembangunan Manusia Kota Bandung.

1.3 Ruang Lingkup dan Sumber Data

Perencanaan bagi program-program pelaksanaan pembangunan memerlukan informasi yang dapat menyajikan gambaran sebenarnya di

(11)

lapangan (represent reality). Semua informasi yang ada tersebut berguna sebagai penunjang bagi analisis, monitoring dan evaluasi suatu kebijakan. Oleh karena itu, kecermatan dan konsistensi data sangat diperlukan untuk mencegah kekeliruan kesimpulan yang dapat terjadi di kemudian hari secara dini.

Ruang lingkup penyusunan Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014 ini adalah mencakup seluruh wilayah administratif Kota Bandung. Sedangkan rentang isu yang dibahas mencakup aspek kependudukan, sosial budaya, ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan, dan lingkungan perumahan.

Sumber data yang digunakan dalam penyusunan Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014 ini sebagian besar berasal dari hasil Survei Data Basis Pembangunan Manusia Tahun 2014 dan data-data lain yang berkaitan.

(12)

Program pembangunan yang sedang maupun telah dilakukan oleh pemerintah pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Salah satu alat pengukur taraf kesejahteraan masyarakat dapat dipantau melalui indikator sosial serta indikator ekonomi. Dengan menggabungkan indikator-indikator tersebut, maka terbentuklah suatu indeks komposit yang menggambarkan berbagai aspek pembangunan manusia.

Indeks Pembangunan Manusia dapat menunjukkan tingkat pembangunan manusia melalui pengukuran keadaan penduduk menurut usia hidup, pengetahuan, dan hidup layak. IPM merupakan salah satu indikator penting yang dapat digunakan dalam perencanaan kebijakan dan evaluasi pembangunan.

2.1 Pengertian Indikator

Indikator adalah petunjuk yang memberikan indikasi tentang sesuatu keadaan dan merupakan refleksi dari keadaan tersebut. Dengan kata lain, indikator merupakan variabel penolong dalam mengukur perubahan. Variabel-variabel ini terutama digunakan apabila perubahan yang akan dinilai tidak dapat diukur secara langsung. Indikator yang baik harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:

1. sahih (valid), indikator harus dapat mengukur sesuatu yang sebenarnya akan diukur oleh indikator tersebut;

(13)

2. objektif, untuk hal yang sama, indikator harus memberikan hasil yang sama pula, walaupun dipakai oleh orang yang berbeda dan pada waktu yang berbeda;

3. sensitif, perubahan yang kecil mampu dideteksi oleh indikator;

4. spesifik, indikator hanya mengukur perubahan situasi yang dimaksud. Namun demikian perlu disadari bahwa tidak ada ukuran baku yang benar-benar dapat mengukur tingkat kesejahteraan seseorang atau masyarakat.

Indikator bisa bersifat tunggal (indikator tunggal) maupun bersifat jamak (indikator komposit). Indikator tunggal hanya berisi satu indikator saja, salah satu contoh dari pada indikator tunggal adalah Angka Kematian Bayi (AKB). Angka Kematian Bayi adalah banyaknya kematian bayi yang berumur kurang dari 1 (satu) tahun per seribu kelahiran hidup. Indikator jamak (komposit) adalah gabungan dari beberapa indikator, seperti Indeks Mutu Hidup (IMH) yang merupakan gabungan dari 3 indikator yaitu angka melek huruf (IMH), angka kematian bayi (AKB) dan angka harapan hidup dari anak usia 1 tahun (e1).

Menurut jenisnya, indikator dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu:

1. Indikator Input, yang berkaitan dengan penunjang pelaksanaan program dan turut menentukan keberhasilan program, seperti: rasio murid-guru, rasio murid-kelas, rasio dokter, rasio puskesmas.

2. Indikator Proses, yang menggambarkan bagaimana proses pembangunan berjalan, seperti: Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka Partisipasi Murni (APM), rata-rata jumlah jam kerja, rata-rata jumlah kunjungan ke puskesmas, persentase anak balita yang ditolong dukun.

(14)

3. Indikator Output/Outcome, yang menggambarkan bagaimana hasil (output) dari suatu program kegiatan telah berjalan, seperti: persentase penduduk dengan pendidikan SMTA ke atas, AKB, angka harapan hidup, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), dan lain-lain.

2.2 Indikator Pembangunan Manusia

Upaya untuk mengetahui dan mengidentifikasi seberapa besar kemajuan pembangunan yang telah dicapai suatu wilayah serta sebagai bahan evaluasi terhadap apa yang telah dilakukan oleh pemerintah tentunya diperlukan data yang up to date dan akurat. Apakah pembangunan di bidang kesehatan telah secara nyata meningkatkan derajat kesehatan masyarakat? Apakah pembangunan di bidang pendidikan telah mampu meningkatkan tingkat partisipasi sekolah dan tingkat pendidikan masyarakat? Apakah program Paket Kejar telah mampu meningkatkan kemampuan baca tulis penduduk secara umum? Dalam konteks tersebut di atas diperlukan pula ukuran-ukuran yang tepat untuk digunakan sebagai indikator. Untuk itu diperlukan berbagai ukuran-ukuran yang biasa digunakan sebagai indikator pembangunan.

Berbagai program seperti pengadaan pangan, perbaikan gizi, peningkatan kesehatan dan peningkatan kegiatan olah raga dilaksanakan dalam upaya peningkatan taraf kualitas fisik penduduk. Namun demikian seperti dikatakan Azwini, Karomo dan Prijono (1988:469), tolok ukur yang dapat digunakan untuk menentukan keberhasilan (pembangunan) dalam beberapa hal agak sulit ditentukan. Alat ukur yang sering digunakan untuk menilai kualitas hidup selama ini sebenarnya hanya mencakup kualitas fisik, tidak termasuk kualitas non fisik. Kesulitan muncul terutama karena untuk menilai keberhasilan pembangunan non-fisik indikatornya relatif lebih abstrak dan bersifat komposit.

(15)

Indikator Indeks Pembangunan merupakan salah satu indikator untuk mengukur taraf kualitas fisik dan non fisik penduduk. Kualitas fisik tercermin dari angka harapan hidup; sedangkan kualitas non fisik (intelektualitas) melalui rata-rata lamanya penduduk bersekolah dan angka melek huruf. Indeks Pembangunan Manusia juga mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat yang tercermin dari nilai Purchasing Power Parity Index (PPP).

2.3 Metode Penghitungan IPM

IPM adalah suatu indikator pembangunan manusia yang diperkenalkan UNDP pada tahun 1990. IPM mencakup tiga komponen yang dianggap mendasar bagi manusia dan secara operasional mudah dihitung untuk menghasilkan suatu ukuran yang merefleksikan upaya pembangunan manusia. Ketiga aspek tersebut berkaitan dengan peluang hidup (longevity), pengetahuan (knowledge), dan hidup layak (decent living).

Peluang hidup dihitung berdasarkan angka harapan hidup ketika lahir; pengetahuan diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas; dan hidup layak diukur dengan pengeluaran per kapita yang didasarkan pada Purchasing Power Parity (paritas daya beli dalam rupiah). Usia hidup diukur dengan angka harapan hidup atau e0 yang dihitung menggunakan metode tidak langsung (metode

Brass, varian Trussel) berdasarkan variabel rata-rata anak lahir hidup dan rata-rata anak yang masih hidup. Komponen pengetahuan diukur dengan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Indikator angka melek huruf diperoleh dari variabel kemampuan membaca dan menulis, sedangkan indikator rata-rata lama sekolah dihitung dengan menggunakan dua variabel

(16)

secara simultan, yaitu tingkat/kelas yang sedang/pernah dijalani dan jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan.

Gambar 2.1

Komponen Indeks Pembangunan Manusia

Kesehatan Pendidikan Pendapatan

Angka Harapan Hidup Angka Melek Huruf Rata-rata Lama Sekolah Konsumsi Riil Perkapita Indeks Melek Huruf Indeks Rata-rata Lama Sekolah Indeks Peluang Hidup Indeks Standar Hidup Layak Indeks Pengetahuan Indeks Pembangunan Manusia

(17)

Komponen standar hidup layak diukur dengan indikator rata-rata konsumsi riil yang telah disesuaikan. Sebagai catatan, UNDP menggunakan indikator Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita riil yang telah disesuaikan (adjusted real GDP per capita) sebagai ukuran komponen tersebut karena tidak tersedia indikator lain yang lebih baik untuk keperluan perbandingan antar negara.

Penghitungan indikator konsumsi riil per kapita yang telah disesuaikan dilakukan melalui tahapan pekerjaan sebagai berikut:

 Menghitung pengeluaran konsumsi per kapita dari Susenas Modul (=A).

 Mendeflasikan nilai A dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) Ibukota Provinsi yang sesuai (=B).

Menghitung daya beli per unit (=Purchasing Power Parity (PPP)/unit).  Metode penghitungan sama seperti metode yang digunakan

International Comparison Project (ICP) dalam menstandarkan nilai PDB suatu negara.

 Data dasar yang digunakan adalah data harga dan kuantum dari suatu paket komoditi yang terdiri dari nilai 27 komoditi yang diperoleh dari Susenas Modul (Tabel 2.1).

 Membagi nilai B dengan PPP/unit (=C).

 Menyesuaikan nilai C dengan formula Atkinson sebagai upaya untuk memperkirakan nilai marginal utility dari C.

Penghitungan PPP/unit dilakukan dengan rumus :

PPP/Unit =

( , )

∑ (

( , )

.

( , )

)

dimana,

(18)

( , ): pengeluaran konsumsi untuk komoditi j di kabupaten ke-i ( , ): harga komoditi j di DKI Jakarta (Jakarta Selatan)

( , ): jumlah komoditi j (unit) yang dikonsumsi di kabupaten ke-i Tabel 2.1 Daftar Komoditi Terpilih Untuk Menghitung

Paritas Daya Beli (PPP)

Komoditi Unit Sumbangan thd Total Konsumsi (%)* (1) (2) (3) 1. Beras lokal Kg 7,25 2. Tepung terigu Kg 0,10 3. Ketela pohon Kg 0,22 4. Ikan tongkol/tuna/cakalang Kg 0,50

5. Ikan teri Ons 0,32

6. Daging sapi Kg 0,78

7. Daging ayam kampung Kg 0,65

8. Telur ayam Butir 1,48

9. Susu kental manis 397 gram 0,48

10. Bayam Kg 0,30 11. Kacang panjang Kg 0,32 12. Kacang tanah Kg 0,22 13. Tempe Kg 0,79 14. Jeruk Kg 0,39 15. Pepaya Kg 0,18 16. Kelapa Butir 0,56

17. Gula pasir Ons 1,61

18. Kopi bubuk Ons 0,60

19. Garam Ons 0,15

20. Merica/lada Ons 0,13

21. Mie instant 80 gram 0,79

22. Rokok kretek filter 10 batang 2,86

23. Listrik Kwh 2,06

24. Air minum M3 0,46

25. Bensin Liter 1,02

26. Minyak tanah Liter 1,74

27. Sewa rumah Unit 11,56

Total 37.52

*) Berdasarkan data Susenas 1996 Sumber: Badan Pusat Statistik

(19)

Unit kuantitas rumah dihitung berdasarkan indeks kualitas rumah yang dibentuk dari tujuh komponen kualitas tempat tinggal. Ketujuh komponen kualitas yang digunakan dalam penghitungan indeks kualitas rumah diberi skor sebagai berikut :

 Lantai: keramik, marmer, atau granit = 1,lainnya=0  Luas lantai per kapita : > 10 m2= 1, lainnya = 0  Dinding : tembok = 1, lainnya = 0

 Atap : kayu/sirap, beton = 1, lainnya = 0  Fasilitas penerangan : listrik = 1, lainnya = 0  Fasilitas air minum : leding = 1, lainnya = 0  Jamban : milik sendiri = 1, lainnya = 0  Skor awal untuk setiap rumah = 1

Indeks kualitas rumah merupakan penjumlahan dari skor yang dimiliki oleh suatu rumah tinggal dan bernilai antara 1 sampai dengan 8. Kuantitas dari rumah yang dikonsumsi oleh suatu rumah tangga adalah Indeks Kualitas Rumah dibagi 8. Sebagai contoh, jika suatu rumah tangga menempati suatu rumah tinggal yang mempunyai Indeks Kualitas Rumah = 6, maka kuantitas rumah yang dikonsumsi oleh rumah tangga tersebut adalah 6/8 atau 0,75 unit.

Rumus Atkinson (dikutip dari Arizal Ahnaf dkk, 1998;129) yang digunakan untuk penyesuaian rata-rata konsumsi riil secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

C (i)* = C(i) jika C(i) < Z

= Z + 2(C(i) – Z) (1/2) jika Z < C(i)< 2Z

(20)

= Z + 2(Z)(1/2)+ 3(Z)(1/3)+4(C(i)– 3Z) (1/4) jika 3Z < C(i)< 4Z di mana,

C(i)= Konsumsi per kapita riil yang telah disesuaikan dengan

PPP/unit (hasil tahapan 5)

Z = Threshold atau tingkat pendapatan tertentu yang digunakan sebagai batas kecukupan yang dalam laporan ini nilai Z ditetapkan secara arbiter sebesar Rp 547.500,-per kapita setahun, atau Rp 1.500,- 547.500,-per kapita 547.500,-per hari. 2.4 Rumus dan Ilustrasi Penghitungan IPM

Rumus penghitungan IPM dikutip dari Arizal Ahnaf dkk (1998;129) yaitu sebagai berikut :

IPM

=

( ) ( ) ( )

Dimana,

X(1) : Indeks harapan hidup

X(2) : Indeks pendidikan = 2/3 (indeks melek huruf) + 1/3 (indeks rata-rata lama sekolah)

X(3) : Indeks standar hidup layak

Masing-masing indeks komponen IPM tersebut merupakan perbandingan antara selisih nilai suatu indikator dan nilai minimumnya dengan selisih nilai maksimum dan nilai minimum indikator yang bersangkutan. Rumusnya dapat disajikan sebagai berikut :

Indeks X

i =

( )

( )

( )

( )

(21)

X(i) : Indikator ke-i (i = 1,2,3) X(i)maks : Nilai maksimum X(i) X(i)min : Nilai minimum X(i)

Nilai maksimum dan minimum indikator X(i) disajikan pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM Indikator

Komponen IPM (=X(I))

Nilai

Maksimum MinimumNilai Catatan

(1) (2) (3) (4)

Angka Harapan

Hidup 85 25 Sesuai standar global (UNDP)

Angka Melek

Huruf 100 0 Sesuai standar global (UNDP)

Rata-rata Lama

Sekolah 15 0 Sesuai standar global (UNDP)

Konsumsi per kapita yang disesuaikan 2005 732.720 a) 300.000 b) UNDP menggunakan PDB per kapita riil yang

disesuaikan Catatan: a) Proyeksi pengeluaran riil/unit/tahun untuk provinsi yang memiliki

angka tertinggi (Jakarta) pada tahun 2018 setelah disesuaikan dengan formula Atkinson. Proyeksi mengasumsikan kenaikan 6,5 persen per tahun selama kurun 1996-2018.

b) Setara dengan dua kali garis kemiskinan untuk propinsi yang memiliki angka terendah tahun 1996 di Papua.

2.5 Status Pembangunan Manusia

Meningkatnya pembangunan manusia dapat dilihat berdasarkan besaran IPM. Tingkatan status pembangunan manusia suatu wilayah oleh

(22)

UNDP dibagi ke dalam tiga golongan yaitu rendah (kurang dari 50), sedang atau menengah (antara 50-80), dan tinggi (80 ke atas). Sedangkan untuk keperluan perbandingan antar kabupaten/kota, tingkatan status menengah dipecah lagi menjadi dua, yaitu menengah bawah dan menengah atas. Dengan demikian kriteria tingkatan status pembangunan manusia sebagai berikut :

Nilai IPM Status Pembangunan Manusia

< 50 Rendah

50  IPM < 60 Menengah Bawah

60  IPM < 80 Menengah Atas

  Tinggi

2.6 Ukuran Perkembangan IPM

Untuk mengukur kecepatan perkembangan IPM dalam suatu kurun waktu digunakan reduksi shortfall per tahun (annual reduction in shortfall). Ukuran ini secara sederhana menunjukkan perbandingan antara capaian yang telah ditempuh dengan capaian yang masih harus ditempuh untuk mencapai titik ideal (IPM = 100). Nilai reduksi shortfall yang lebih besar menandakan peningkatan IPM yang lebih cepat. Prosedur penghitungan reduksi shortfall IPM (=r) (dikutip dari Arizal Ahnaf dkk, 1998;141) dapat dirumuskan sebagai berikut:

R =

( ) ( )

( ) ( )

/

(23)

R = reduksi shortfall per tahun ( ) = IPM tahun awal

( ) = IPM tahun terakhir; dan

( ) = IPM acuan atau ideal yang dalam hal ini sama dengan 100 2.7 Beberapa Definisi Operasional Indikator Terpilih

Untuk bisa melihat dengan jelas dan terarah beragam permasalahan pembangunan manusia selama ini dan bagaimana mengimplementasikan program-program pembangunan secara baik dan terukur diperlukan ukuran atau indikator yang handal. Beberapa indikator yang sering digunakan diantaranya adalah :

Rasio Jenis Kelamin Perbandingan antara penduduk laki-laki terhadap penduduk perempuan, dikalikan 100.

Rata-rata Lama Sekolah

Lama sekolah (tahun) penduduk usia 15 tahun ke atas.

Angka Melek Huruf Proporsi penduduk usia 15 tahun ke atas yang bisa membaca dan menulis (baik huruf latin maupun huruf lainnya)

Angka Partisipasi Murni SD Angka Partisipasi Murni SMP Angka Partisipasi Murni SMA Angka Harapan Hidup waktu lahir

Proporsi penduduk usia 7-12 tahun yang sedang bersekolah di SD

Proporsi penduduk usia 13-15 tahun yang sedang bersekolah di SMP

Proporsi penduduk usia 16-18 tahun yang sedang bersekolah di SMA

Perkiraan rata-rata lamanya hidup sejak lahir yang akan dicapai oleh sekelompok

(24)

penduduk

Angka Kematian Bayi

Besarnya kemungkinan bayi meninggal sebelum mencapai usia satu tahun, dinyatakan dengan per seribu kelahiran hidup.

Persentase rumah berlantai tanah

Proporsi rumah tangga yang tinggal dalam rumah dengan lantai tanah

Persentase rumah tangga beratap layak

Proporsi rumah tangga yang menempati rumah dengan atap layak (atap selain dari dedaunan ).

Persentase rumah tangga

berpenerangan Listrik

Proporsi rumah tangga yang menggunakan sumber penerangan listrik

Persentase rumah tangga bersumber air minum leding

Proporsi rumah tangga dengan sumber air minum leding

Persentase rumah tangga bersumber air minum bersih

Proporsi rumah tangga dengan sumber air minum pompa / sumur / mata air yang jaraknya lebih besar dari 10 meter dengan tempat penampungan limbah / kotoran terdekat

Persentase rumah tangga berjamban dengan tangki septik

Proporsi rumah tangga yang mempunyai jamban dengan tangki septik

Pengeluaran Pengeluaran per kapita untuk makanan dan bukan makanan. Makanan mencakup seluruh jenis makanan termasuk makanan jadi, minuman, tembakau, dan sirih. Bukan makanan mencakup perumahan, sandang,

(25)

biaya kesehatan, pendidikan dan sebagainya.

(26)

3.1 Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia di Kota Bandung

Pembangunan manusia adalah proses agar mampu memiliki lebih banyak pilihan dalam hal pendapatan, kesehatan, pendidikan, lingkungan fisik dan sebagainya. Namun perlu disadari bahwa investasi pembangunan dalam rangka pembangunan manusia hasilnya tidak berdampak langsung secara instan karena investasi pembangunan manusia merupakan pembangunan jangka panjang.

Konsep Indeks Pembangunan Manusia adalah mengukur pencapaian pembangunan keseluruhan suatu negara. Dengan demikian IPM mengukur pencapaian kemajuan pembangunan sosial maupun ekonomi. IPM dapat digunakan untuk mengklasfikasikan apakah suatu wilayah dikategorikan maju, berkembang, atau terbelakang, dan digunakan untuk mengukur pengaruh dari kebijakan pembangunan terhadap kualitas hidup

Terciptanya IPM yang tinggi hendaknya menjadi pemacu peran serta yang nyata dari segenap komponen masyarakat Kota Bandung, dan tidak bisa ditawar lagi harus adanya optimalisasi dan sinergitas pola dan sasaran pembangunan manusia yang melibatkan semua pihak.

Pencapaian IPM di Kota Bandung dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Peningkatan IPM setiap tahunnya merupakan dampak dari meningkatnya komponen-komponen penyusun IPM. Peningkatan tersebut tidak dapat dilepaskan dari hasil kerja keras para unsur pemerintah, swasta, akademisi serta masyarakat.

(27)

Pada tahun 2012, capaian IPM Kota Bandung berada pada posisi 79,32 dan secara perlahan naik mencapai 79,47 atau naik sekitar 0,15 poin pada tahun 2013. Kemudian pada tahun 2014 IPM Kota Bandung kembali mengalami peningkatan sebesar 0,19 poin dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu menjadi 79,66. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di lampiran 4.

Dengan angka IPM yang dicapai sebesar 79,66, status pembangunan manusia Kota Bandung masih termasuk dalam klasifikasi menengah ke atas. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembangunan yang telah dilaksanakan berhasil meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik diukur dari indikator kesejahteraan rakyat, yang meliputi indikator kesehatan, indikator pendidikan serta daya beli masyarakat yang meningkat.

Secara visual trend perkembangan IPM serta komponen-komponennya dapat dilihat pada gambar 3.1.

Gambar 3.1

Perkembangan IPM dan Komponennya di Kota Bandung, Tahun 2012-2014*

* Angka Sementara

Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014

81,35 81,38 81,40 90,25 90,44 90,53 66,35 66,59 67,05 79,32 79,47 79,66 60 65 70 75 80 85 90 95 2012 2013 2014* Indeks Kesehatan Indeks Pendidikan Indeks Daya Beli IPM

(28)

Untuk mengukur kecepatan perkembangan IPM dalam suatu kurun waktu digunakan reduksi shortfall per tahun (annual reduction in shortfall). Ukuran ini secara sederhana menunjukkan perbandingan antara capaian yang telah ditempuh dengan capaian yang masih harus ditempuh untuk mencapai titik ideal (IPM=100). Dengan demikian keberhasilan pemerintah dalam meningkatkan pembangunan manusia pada suatu kurun waktu tidak sekedar dilihat dari posisi nilai IPM-nya, tetapi lebih tepat dilihat dari reduksi shortfall pada kurun waktu tersebut.

Kecepatan perkembangan IPM sangat tergantung dari tinggi rendahnya angka IPM yang dicapai. Jadi, sebenarnya yang membuat tingginya capaian shortfall terletak pada selisih antara IPM tahun sebelumnya dan IPM yang dicapai saat ini.

Gambar 3.2

Reduksi Shortfall Kota Bandung Periode 2011-2014*

* Angka Sementara

Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014

Dari gambar 3.2 terlihat bahwa selama kurun waktu tahun 2011-2014 nilai Reduksi shortfall Kota Bandung mengalami fluktuasi. Pada

0,96 0,73 0,92 0,5 0,55 0,6 0,65 0,7 0,75 0,8 0,85 0,9 0,95 1 2011-2012 2012-2013 2013-2014*

(29)

periode tahun 2011-2012, reduksi shortfall Kota Bandung sebesar 0,96, kemudian turun menjadi 0,73 pada periode 2012-2013. Pada periode tahun 2013-2014 nilai reduksi shortfall kembali naik menjadi 0,92. Nilai 0,92 pada tahun 2013-2014 menunjukkan bahwa dalam kurun waktu satu tahun tersebut, pergerakan Kota Bandung dalam mengurangi jarak dari IPM yang dicapai dengan nilai idealnya (IPM=100), yaitu sebesar 0,92 per tahun. Selama periode tersebut IPM semakin mendekati dari nilai idealnya yang berarti kualitas hidup penduduk pada periode tersebut membaik. Semakin besar persentase reduksi shortfall, semakin cepat ketertinggalan yang diposisikan dengan daerah lainnya dapat dikejar dan selanjutnya semakin cepat pula nilai IPM mendekati nilai yang ideal. Besar kecilnya kecepatan perkembangan IPM tersebut sangat tergantung dari komitmen penyelenggara pemerintah daerah dalam meningkatkan kapasitas dasar penduduk yang berdampak pada peningkatan kualitas hidup.

3.2 Perkembangan Komponen IPM di Kota Bandung

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terdiri dari tiga komponen penting yaitu komponen kesehatan, pendidikan dan daya beli masyarakat. Untuk komponen pendidikan diperoleh dari rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf. Ketiga komponen ini bersinergi dalam IPM sehingga bisa diketahui apakah suatu daerah itu termasuk daerah maju, berkembang atau terbelakang.

Pada tahun 2014, ketiga komponen penyusun IPM di Kota Bandung mengalami peningkatan. Berikut akan dijabarkan dari masing-masing komponen tersebut.

(30)

3.2.1 Angka Harapan Hidup (AHH)

Aspek kesehatan merupakan unsur penting yang berkaitan dengan kapabilitas penduduk. Derajat kesehatan pada dasarnya dapat dilihat dari seberapa lama harapan hidup yang mampu dicapai. Semakin lama harapan hidup yang mampu dicapai merefleksikan semakin tinggi derajat kesehatannya. Angka harapan hidup menunjukkan kualitas kesehatan masyarakat yaitu mencerminkan “lamanya hidup” sekaligus “hidup sehat” suatu masyarakat. Trend perkembangan angka harapan hidup di Kota Bandung selama kurun waktu tahun 2011 hingga 2014 dapat dilihat pada gambar 3.3 berikut.

Gambar 3.3

Perkembangan Angka Harapan Hidup Kota Bandung, Tahun 2011-2014* (dalam tahun)

* Angka Sementara

Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014

Pada gambar 3.3 terlihat bahwa pencapaian angka harapan hidup di Kota Bandung selama kurun waktu 2011-2014 menunjukkan trend naik. Angka Harapan Hidup di Kota Bandung selalu meningkat, meskipun

73,79 73,81 73,83 73,84 73,76 73,77 73,78 73,79 73,8 73,81 73,82 73,83 73,84 73,85 2011 2012 2013 2014*

(31)

peningkatannya tidak terlalu signifikan. Pada tahun 2014, Angka Harapan Hidup penduduk Kota Bandung adalah sebesar 73,84 tahun atau naik sebesar 0,01 poin dibandingkan tahun 2013. Angka Harapan Hidup sebesar 73,84 menunjukkan bahwa pada tahun 2014, rata-rata penduduk Kota Bandung dapat bertahan hidup yaitu sampai usia 73-74 tahun.

Peningkatan angka harapan hidup tersebut bisa menjadi suatu indikasi bahwa ada peningkatan akses masyarakat Kota Bandung terhadap sarana dan fasilitas kesehatan. Ini bisa dikatakan bahwa Kota Bandung telah berhasil dalam meningkatkan kuantitas maupun kualitas dari sarana, fasilitas maupun tenaga kesehatan sehingga segala akses kesehatan bisa sampai ke pelosok-pelosok. Di samping itu, upaya meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan melalui penyuluhan- penyuluhan cukup berhasil sehingga bisa mengubah sedikit demi sedikit pola pikir masyarakat yang mengesampingkan tentang kesehatan.

3.2.2 Angka Melek Huruf (AMH) dan Rata-rata Lama Sekolah (MYS)

Komponen pendidikan pada tahun 2014 mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 2013. Indeks pendidikan meningkat sebesar 0,09 poin dari tahun 2013 ke 2014. Indeks pendidikan ini terdiri dari dua komponen penyusun, yaitu indeks melek huruf dan indeks rata-rata lama sekolah. Kedua indeks ini dihitung secara bersama-sama dengan pembobotan, dimana angka melek huruf diberi bobot dua pertiga, sedangkan rata-rata lama sekolah diberi bobot sepertiga.

Gambar 3.4 menunjukkan bahwa selama kurun waktu 2011-2014 Rata-rata Lama Sekolah di Kota Bandung tidak banyak mengalami peningkatan atau mengalami kenaikan relatif lambat. Pada tahun 2011

(32)

Rata-rata Lama Sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas di Kota Bandung adalah sebesar 10,70 tahun, kemudian meningkat sedikit demi sedikit menjadi sebesar 10,85 tahun pada 2014.

Gambar 3.4

Perkembangan Rata-Rata Lama Sekolah di Kota Bandung, Tahun 2011-2014* (dalam tahun)

* Angka Sementara

Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014

Rata-rata Lama Sekolah sebesar 10,85 tahun menunjukkan bahwa secara rata-rata penduduk Kota Bandung yang berusia 15 tahun ke atas sudah mengenyam pendidikan sampai Sekolah Menengah Umum meskipun belum sampai tamat. Jika dikaitkan dengan target minimal yang diusulkan UNDP, yaitu rata-rata lama sekolah 15 tahun, maka rata-rata pendidikan penduduk Kota Bandung masih relatif kurang. Komitmen dan kesadaran semua pihak akan pentingnya tetap bersekolah perlu terus ditingkatkan agar tercipta Sumber Daya Manusia yang semakin berkualitas.

Indikator lainnya untuk melihat tingkat pendidikan adalah angka melek huruf (AMH). AMH diberi bobot lebih tinggi dari MYS karena ukuran yang sangat mendasar dari tingkat pendidikan adalah kemampuan

10,60 10,70 10,80 10,90 2011 2012 2013 2014* 10,70 10,74 10,81 10,85

(33)

baca tulis penduduk dewasa. Gambar 3.5 menunjukkan perkembangan kemampuan baca tulis penduduk Kota Bandung yang berusia 15 tahun ke atas.

Gambar 3.5

Perkembangan Angka Melek Huruf Kota Bandung, Tahun 2011-2014* (dalam %)

* Angka Sementara

Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014

Gambar 3.5 memperlihatkan bahwa perkembangan AMH penduduk usia 15 tahun ke atas di Kota Bandung relatif lambat. Hal tersebut terjadi karena AMH di Kota Bandung memang sudah cukup tinggi dibandingkan dengan wilayah lain, dimana selama periode 2011-2014 AMH Kota Bandung sudah berada di atas 99 persen. Namun meskipun begitu, AMH harus tetap diperhatikan karena target yang harus dicapai adalah AMH = 100 persen.

Pada tahun 2014, AMH di Kota Bandung hanya mengalami sedikit peningkatan dibanding tahun sebelumnya, yaitu hanya meningkat sebesar 0,01 poin, yaitu menjadi 99,63 persen. AMH sebesar 99,63 persen

99,50 99,55 99,60 99,65 2011 2012 2013 2014* 99,55 99,58 99,62 99,63

(34)

mempunyai arti bahwa ada sekitar 99,63 persen penduduk Kota Bandung yang berumur 15 tahun ke atas dapat membaca dan menulis huruf latin dan lainnya, sedangkan sisanya sebesar 0,37 persen penduduk Kota Bandung masih buta huruf. Masih adanya penduduk yang buta huruf di Kota Bandung salah satunya diperkirakan akibat adanya penduduk lanjut usia yang masih belum bisa membaca dan menulis namun tidak dapat diperbaiki karena faktor usia.

3.2.3 Paritas Daya Beli (Purchasing Power Parity/PPP)

Komponen penyusun IPM lainnya yang tidak kalah penting yaitu paritas daya beli yang juga mengalami peningkatan pada tahun 2014.Indeks paritas daya beli ini menunjukkan kemampuan masyarakat untuk mengakses perekonomian. Pada tahun 2014 indeks paritas daya beli di Kota Bandung sebesar 67,05, meningkat sebesar 0,46 poin dibandingkan tahun 2013 yang hanya sebesar 66,59.

Daya beli merupakan kemampuan masyarakat dalam membelanjakan uangnya untuk barang dan jasa. Kemampuan ini sangat dipengaruhi oleh harga-harga riil antar wilayah, karena nilai tukar yang digunakan dapat menurunkan atau menaikkan nilai daya beli. Paritas daya beli merupakan ukuran ekonomi yang telah distandarkan dengan tujuan agar dapat membandingkan kualitas serta kemampuan daya beli antar daerah bahkan antar negara. Trend perkembangan paritas daya beli di Kota Bandung untuk kurun waktu 2011-2014 dapat dilihat pada gambar 3.6.

Dari gambar 3.6 terlihat bahwa selama tahun 2011-2014 kemampuan daya beli masyarakat Kota Bandung terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2011 PPP Kota Bandung sebesar 645,15 ribu rupiah dan terus meningkat menjadi 650,15 ribu rupiah pada tahun 2014.

(35)

Gambar 3.6

Perkembangan Paritas Daya Beli Kota Bandung, Tahun 2011-2014* (dalam ribu rupiah)

* Angka Sementara

Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014

Kota Bandung yang dilihat dari sisi geografis termasuk daerah yang dekat dengan ibukota negara, sudah tentu sektor perekonomian menjadi hal yang sangat penting untuk dipertimbangkan dalam rencana pembangunan daerah. Dengan jumlah penduduk yang besar, perlu dipikirkan pula bagaimana dan upaya apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan daya beli masyarakat, terutama di daerah yang masih minim sarana dan prasarananya serta tingkat ekonomi masyarakatnya yang masih cukup rendah. Oleh karena itu, diperlukan sinergitas dari semua pihak terkait untuk mengatasi permasalahan ini dan menjadi pekerjaan rumah bagi penentu kebijakan, karena daya beli masyarakat bisa menunjukkan sampai seberapa besar tingkat kesejahteraan masyarakat itu sendiri yang nantinya akan berpengaruh pada naik turunnya Indeks Pembangunan Manusia.

645,15 647,1 648,13 650,15 642 643 644 645 646 647 648 649 650 651 2011 2012 2013 2014*

(36)

4.1 Kondisi Input

4.1.1 Fasilitas Tempat Buang Air Besar (BAB)

Tingkat kesehatan rumah dan lingkungan tempat tinggal dapat tercermin dari fasilitas tempat buang air besar yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Idealnya fasilitas BAB dimiliki oleh masing-masing rumah tangga. Dengan menggunakan fasilitas BAB milik sendiri maka kemungkinan penularan penyakit akan berkurang. Risiko seseorang yang menggunakan jamban bersama dalam kehidupan sehari-harinya untuk tertular suatu penyakit tertentu yang bisa ditularkan melalui feses, jauh lebih besar daripada seseorang yang menggunakan jamban sendiri.

Tabel 4.1

Persentase Rumah Tangga Menurut Penggunaan Fasilitas Tempat Buang Air Besar di Kota Bandung, Tahun 2013 – 2014*

Tahun Penggunaan Fasilitas Tempat Buang Air Besar Sendiri Bersama Umum Tidak Ada

(1) (2) (3) (4) (5)

2013 73,11 23,61 3,07 0,22

2014* 73,96 23,74 2,30

-* Angka Sementara

Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014

Pada tahun 2014, rumah tangga di Kota Bandung sudah tidak ada lagi yang tidak memiliki fasilitas BAB. Seluruh rumah tangga sudah

(37)

memiliki fasilitas BAB meskipun masih terdapat sebanyak 26,04 persen rumah tangga yang menggunakan fasilitas BAB secara bersama maupun umum. Jika dibandingkan dengan tahun 2013, rumah tangga yang menggunakan fasilitas BAB milik sendiri di Kota Bandung pada tahun 2014 telah mengalami peningkatan yaitu menjadi sebesar 73,96 persen (naik sebesar 0,85 persen).

4.1.2 Sumber Air Minum yang Digunakan

Salah satu perilaku hidup sehat yang memiliki andil dalam penentuan derajat kesehatan atau status kesehatan seseorang adalah bagaimana penggunaan air bersih untuk keperluan hidup sehari-harinya. Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan. Air bersih merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari. Ketersediaan dalam jumlah yang cukup terutama untuk minum dan memasak merupakan tujuan dari program penyediaan air bersih.

Jenis sumber air minum merupakan salah satu indikator kesejahteraan penduduk, baik dilihat dari segi kesehatan maupun ekonomi. Kebersihan air minum merupakan salah satu kebutuhan utama yang harus dipenuhi secara layak. Apabila air minum yang digunakan tidak bersih tentunya akan mempengaruhi kondisi kesehatan manusia itu sendiri. Dalam konteks ini, kriteria sumber air minum bersih adalah air kemasan bermerk, air isi ulang, leding, serta sumur bor/pompa, sumur terlindung, mata air terlindung dengan jarak ke tempat penampungan kotoran/tinja terdekat ≥ 10m2.

Pada tahun 2014 rumah tangga yang mengkonsumsi air minum bersih di Kota Bandung mencapai 99,67 persen, mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya sekitar 99,3 persen. Lebih dari

(38)

dua pertiga dari keseluruhan rumah tangga yang ada di Kota Bandung (79,73 persen) sudah menggunakan air kemasan dan air leding untuk keperluan minumnya. Kemudian rumah tangga yang mengkonsumsi air minum bersih dari pompa dan sumur/mata air terlindung pada tahun 2014 ada sebanyak 19,94 persen.

Tabel 4.2

Persentase Rumah Tangga Menurut Sumber Air Minum di Kota Bandung, Tahun 2014*

Sumber Air Minum Air

Kemasan Leding Pompa

Sumur Terlin-dung Sumur Tak Terlin-dung Mata Air Terlin-dung Air Sungai dan Lainnya Jumlah (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) 65,75 13,98 14,57 4,32 - 1,05 0,33 100,00 * Angka Sementara

Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014

Mengingat masih terdapat 19,94 persen rumah tangga di Kota Bandung yang mengakses fasilitas air minum bersih selain air leding/air kemasan, peranan sumber air minum bersih lainnya (pompa, sumur terlindung dan mata air terlindung) cukup vital dan harus dijaga/dihindari dari pencemaran lingkungan agar kebutuhan air minum bersih sehari-hari bagi sebagian warga Kota Bandung dapat terpenuhi.

Sebagaimana yang telah diketahui bahwa sumber air minum bersih dan dinyatakan sehat (bebas dari pencemaran lingkungan) adalah jika sumber air minum yang digunakan berasal dari sumur bor/pompa, sumur terlindung atau mata air terlindung dengan jarak dari dalam tanah ke tempat penampungan kotoran/tinja terdekat harus lebih dari 10 meter. Jika jarak sumber air minum dari dalam tanah ke tempat penampungan kotoran/tinja terdekat kurang dari atau sama dengan 10 meter, maka akan

(39)

mempengaruhi tingkat higienitas air minum tersebut karena dimungkinkan terjadi kontaminasi dengan bakteri-bakteri sumber penyakit.

Pada tahun 2014, persentase rumah tangga di Kota Bandung yang menggunakan sumber air minum bersih (berasal dari pompa, sumur terlindung dan mata air terlindung) yang berjarak ke tempat penampungan kotoran/tinja lebih dari 10 meter terdapat sebanyak 39,83 persen. Namun persentase rumah tangga yang tidak mengetahui secara pasti berapa jarak sumber air minum bersih ke tempat penampungan kotoran/tinja dan persentase rumah tangga yang masih menggunakan sumber air minum bersih dengan jarak ke tempat penampungan kotoran/tinja kurang dari 10 meter juga masih cukup tinggi yaitu sebesar 37,71 persen dan 22,46 persen.

Tabel 4.3

Persentase Rumah Tangga yang Menggunakan Sumber Air Minum dan Jarak ke Tempat Penampungan Kotoran/Tinja

di Kota Bandung, Tahun 2014*

Jarak Sumber Air Minum ke Tempat Penampungan Tinja

Jumlah

≤ 10 m > 10 m Tidak Tahu

(1) (2) (3) (4)

22,46 39,83 37,71 100,00

* Angka Sementara

Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014

Masih tingginya persentase rumah tangga yang jarak sumber air minum ke tempat penampungan tinjanya 10 meter atau kurang, salah satunya disebabkan karena pada masa sekarang ini jarak antar rumah penduduk terlalu berdekatan seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk.

(40)

4.1.3 Ketersediaan Sarana Kesehatan

Salah satu peran pemerintah dalam meningkatkan kesehatan masyarakat adalah dengan meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana kesehatan. Dengan tersedianya sarana dan prasarana kesehatan yang cukup memadai akan sangat mendukung pelayanan kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan harus dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat dan mampu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Penggunaan layanan kesehatan yang rendah akan mengakibatkan terhambatnya pembangunan kesehatan ke arah yang lebih baik.

Tabel 4.4

Jumlah Sarana Kesehatan di Kota Bandung Tahun 2013 Sarana Kesehatan Rumah Sakit Rumah Sakit Bersalin Rumah Sakit Khusus Lainnya

Polikli-nik Puskes-mas

Puskesmas Keliling Roda 4

Praktik

Dokter Praktik Bidan

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

16 1 9 207 73 25 7.392 1.583

Sumber: Dinas Kesehatan Kota Bandung, 2014

Pada tabel 4.4 diketahui bahwa ketersediaan sarana kesehatan di Kota Bandung cukup memadai dengan 16 rumah sakit negeri maupun swasta, 73 puskesmas ditambah 25 puskesmas keliling roda 4. Disamping kedua fasilitas kesehatan tersebut, di Kota Bandung terdapat juga fasilitas kesehatan lainnya yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta seperti pol i klini k, praktik dokter, praktik bidan, dan lainnya.

4.1.4 Tenaga Kesehatan

Pada tahun 2013, di Kota Bandung terdapat 9.283 tenaga kesehatan yang tersebar di 30 kecamatan yang terdiri dari dokter, bidan, dan tenaga

(41)

kesehatan lainnya (tenaga farmasi, ahli gizi dan tenaga keteknisan medis lainnya) yang memberikan pelayanan kepada sekitar 2,48 juta penduduk.

Secara rinci dapat dilihat pada tabel 4.5 bahwa di Kota Bandung terdapat sekitar 2.345 orang dokter (dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi), 960 orang bidan, dan 5.978 orang tenaga medis yang lain. Jika dihitung rasio tenaga dokter terhadap 10.000 penduduk maka diperoleh angka 9,44, yang berarti bahwa untuk setiap 10.000 penduduk di Kota Bandung maka terdapat sekitar 9-10 orang dokter. Jumlah tersebut masih belum mencukupi untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih optimal. Untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kearah yang lebih baik lagi maka ke depannya upaya yang harus dilakukan adalah peningkatan tenaga kesehatan baik dari sisi jumlah maupun penyebarannya.

Tabel 4.5

Jumlah Tenaga Kesehatan di Kota Bandung Tahun 2013 Tenaga Kesehatan

Dokter

Spesialis Dokter Umum Dokter Gigi Bidan

Tenaga Kesehatan

Lain

(1) (2) (3) (4) (5)

1.424 656 265 960 5.978

Sumber: Dinas Kesehatan Kota Bandung, 2014 4.1.5 Penolong Kelahiran

Angka kematian bayi baru lahir terutama disebabkan oleh infeksi dan berat bayi lahir rendah. Kondisi tersebut berkaitan erat dengan pertolongan persalinan yang aman, dan perawatan bayi baru lahir. Pada tahun 2014, masih terdapat 7,56 persen balita yang lahir hanya mendapatkan pertolongan persalinan dari tenaga non medis seperti dukun. Masih adanya balita yang dibantu oleh dukun dalam proses kelahirannya

(42)

dimungkinkan karena masih adanya masyarakat yang percaya pada dukun daripada tenaga kesehatan. Faktor lainnya mengapa masyarakat lebih memilih dukun dibanding tenaga kesehatan adalah biaya, karena jika dibandingkan dengan tenaga kesehatan biaya untuk membayar dukun jauh lebih murah.

Gambar 4.1

Persentase Penolong Kelahiran (Terakhir) Balita di Kota Bandung Tahun 2014*

* Angka Sementara

Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014

Pengetahuan yang minim tentang cara persalinan dan perawatan pasca persalinan yang sehat dan aman, misalnya mengenai perawatan tali pusar, perlakuan saat membersihkan bayi yang baru lahir, serta sangat minimnya alat-alat bantu penolong persalinan merupakan beberapa faktor penyebab kematian bayi. Selain itu minimnya biaya yang dimiliki memaksa masyarakat yang tidak mampu untuk bergantung kepada penolong kelahiran non medis. Situasi tersebut tidak saja membawa kerawanan terhadap bayi yang baru dilahirkan, tetapi juga keselamatan ibu yang melahirkan.

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00

Dokter Bidan Tenaga Medis

Dukun 26,54

65,35

(43)

4.2 Kondisi Proses

4.2.1 Pemanfaatan Fasilitas Kesehatan

Kepedulian masyarakat terhadap kesehatan dan hidup sehat merupakan gambaran dari pola pikir masyarakat tentang arti pentingnya kesehatan. Salah satu indikator untuk mengukur kepedulian masyarakat tersebut adalah akses masyarakat ke tempat pelayanan kesehatan. Semakin tingginya frekuensi masyarakat melakukan konsultasi atau pengobatan/perawatan ke fasilitas kesehatan, maka semakin tinggi pula kepedulian atau kesadaran masyarakat terhadap masalah kesehatan. Namun di satu sisi semakin tinggi angka kunjungan ke fasilitas kesehatan tersebut berarti semakin tinggi juga tingkat keluhan masyarakat daerah tersebut.

Tabel 4.6

Persentase Penduduk yang Mengalami Keluhan Kesehatan Menurut Jenis Kelamin di Kota Bandung Tahun 2013-2014*

Jenis Kelamin

2013 2014*

Ada

Keluhan Tidak Ada KeluhanAda Tidak Ada

Laki-laki 26,70 73,30 50,23 49,77

Perempuan 27,07 72,93 47,42 52,58

Total 26,88 73,12 48,83 51,17

* Angka Sementara

Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014

Tabel 4.6 memperlihatkan bahwa selama tahun 2013-2014 persentase penduduk Kota Bandung yang mengaku pernah mengalami keluhan kesehatan masih cukup tinggi dan menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2013 penduduk yang mengalami keluhan kesehatan sekitar 26,88 persen dan pada tahun 2014 menjadi sekitar 48,83 persen.

(44)

Jika dirinci menurut jenis kelamin akan terlihat bahwa pada tahun 2013 penduduk perempuan cenderung lebih memiliki keluhan kesehatan dibandingkan laki-laki tetapi pada tahun 2014 justru penduduk laki-laki yang lebih memiliki keluhan kesehatan. Pola pikir masyarakat yang tidak memprioritaskan kesehatan dan kurangnya kepedulian masyarakat terhadap kesehatan diduga sebagai penyebab cukup tingginya penduduk Kota Bandung yang mengalami keluhan kesehatan tersebut.

Tabel 4.7

Persentase Penduduk yang Berobat Jalan Menurut Tempat Berobat Tahun 2013 – 2014* Fasilitas Kesehatan 2013 2014* (1) (2) (3) Rumah Sakit 17,42 18,20 Praktik Dokter/Poliklinik 53,10 50,51 Puskesmas 31,62 35,58 Petugas Kesehatan 2,37 1,89 Tradisional 3,44 3,91 * Angka Sementara

Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014

Penduduk di Kota Bandung yang memiliki keluhan kesehatan melakukan usaha pengobatan baik dengan cara mengobati sendiri maupun dengan berobat jalan ke fasilitas kesehatan tertentu. Untuk penduduk yang berobat jalan, selama tahun 2013-2014 fasilitas kesehatan yang paling banyak dikunjungi adalah praktik dokter/poliklinik meskipun pada tahun 2014 persentasenya menurun dibandingkan tahun 2013.

(45)

Seiring dengan menurunnya pemanfaatan fasilitas praktik dokter/poliklinik, maka pemanfaatan fasilitas rumah sakit dan puskesmas pada tahun 2014 mengalami peningkatan. Untuk pemanfaatan rumah sakit, dari 17,42 persen pada tahun 2013 naik menjadi sebesar 18,20 persen pada tahun 2014. Kemudian untuk pemanfaatan puskesmas dari 31,62 persen pada tahun 2013 naik menjadi 35,58 persen pada tahun 2014. Meningkatnya pemanfaatan puskesmas dalam pengobatan di masyarakat menunjukkan bahwa puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan di daerah telah lebih dipercaya oleh masyarakat. Disamping itu, dari tahun ke tahun puskesmas terus melakukan perbaikan baik fasilitas maupun pelayanan sehingga masyarakat dapat dengan mudah menjangkau dan memanfaatkan sebagai pusat kesehatan di masyarakat.

Jika dibandingkan dengan pemanfaatan puskesmas dan praktik dokter/poliklinik, persentase pemanfaatan rumah sakit adalah yang paling rendah. Rendahnya jumlah kunjungan masyarakat ke rumah sakit bisa disebabkan beberapa hal, diantaranya mungkin dikarenakan pelayanan khususnya dari tenaga medis yang ada kurang memuaskan. S e l a i n i t u b isa juga karena peralatan medis yang tersedia kurang lengkap, ataupun ruang perawatan yang kurang nyaman, serta t idak menutup kemungkinan biaya perawatan yang cukup mahal tidak sebanding dengan pelayanan yang diberikan. Ini semua perlu menjadi perhatian dari rumah sakit itu sendiri maupun dari pemerintah. Pihak rumah sakit diharapkan memperbaiki manajemennya sehingga bisa meningkatkan pelayanan yang diberikan pada masyarakat, sedangkan untuk pemerintah bisa turut serta membantu rumah sakit dalam hal sarana prasarana dan tenaga kesehatan yang ada sehingga pelayanan yang diberikan bisa optimal. Selain itu, perlu adanya pendekatan ke masyarakat bahwa berobat ke rumah sakit bisa menggunakan jamkesmas/askeskin/BPJS bagi masyarakat

(46)

kurang mampu. Untuk mewujudkan kesadaran masyarakat dalam memanfaatkan rumah sakit sebagai salah satu unit pelayanan kesehatan, diperlukan kerjasama dari semua pihak.

4.2.2 Lamanya Pemberian ASI

Masalah pemberian ASI dapat dikatakan merupakan hal yang strategis dan mendasar dalam rangka pembangunan sumber daya manusia. Pemenuhan gizi balita sedini mungkin dan selama masa pertumbuhan dapat dijelaskan dengan pengalaman ibu dalam menyusui bayinya. Air Susu Ibu (ASI) mengandung semua bahan yang diperlukan dalam pertumbuhan dan perkembangan bayi. Bahkan bahan tersebut bernilai gizi tinggi dan serasi untuk kebutuhan bayi seperti laktosa serta bermacam bahan lemak dan protein. Didalamnya terdapat pula bermacam bahan lain yang sangat dibutuhkan. Selain itu ASI mengandung zat penolak/pencegah penyakit serta dapat memberikan kedekatan batin antara ibu dengan anak.

Kesadaran ibu untuk memberikan gizi baik pada anaknya (balita) secara kuantitatif dapat ditunjukkan oleh angka persentase tertinggi dalam masa pemberian ASI sampai bayi berusia 24 bulan. Lamanya balita disusui secara tidak langsung berpengaruh pada faktor kesehatan. Tabel 4.6 menunjukkan persentase balita menurut jenis kelamin dan lamanya pemberian ASI.

Dari tabel 4.8 diketahui bahwa pada tahun 2014 jumlah balita baik laki-laki maupun perempuan yang diberi ASI kurang dari 1 tahun persentasenya berkurang dibandingkan tahun 2013, yaitu dari 25,95 persen menjadi 23,79 persen atau turun sebesar 2,16 persen. Adanya penurunan persentase balita yang diberi ASI kurang dari 1 tahun tentu saja diikuti dengan peningkatan persentase balita yang diberi ASI lebih dari 1 tahun, dimana pada tahun 2013 sebesar 74,07 persen menjadi 76,21 persen pada

(47)

tahun 2014. Hal tersebut menunjukkan bahwa orang tua mulai memahami peran ASI untuk ketahanan balitanya.

Tabel 4.8

Persentase Balita Menurut Jenis Kelamin dan Lamanya Pemberian ASI di Kota Bandung Tahun 2013-2014*

Lamanya

Pemberian ASI Tahun Laki-laki Perempuan

Laki-laki + Perempuan (1) (2) (3) (4) (5) ≤ 5 Bulan 2013 9,06 9,35 18,42 2014* 7,73 12,20 9,86 6-11 Bulan 2013 4,91 2,62 7,53 2014* 12,30 15,71 13,93 12-17 Bulan 2013 11,71 10,85 22,56 2014* 23,99 20,18 22,17 18-23 Bulan 2013 10,58 11,22 21,80 2014* 16,21 20,81 18,40 24 Bulan ke atas 2013 16,24 13,47 29,71 2014* 39,77 31,10 35,64 * Angka Sementara

Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014

Kondisi di atas menunjukan semakin berkembangnya kesadaran para orang tua terutama ibu untuk memberikan asupan gizi terbaik bagi si kecil. Dengan kata lain semakin panjang usia pemberian ASI terutama ASI ekslusif 6 bulan pertama akan menjamin tercapainya pertumbuhan otak secara optimal, sehingga diharapkan pengembangan potensi anak dapat berjalan baik dan semakin optimal pula. Namun demikian pemberian ASI kadang terpaksa tidak dilakukan dengan optimal. Hal ini terjadi karena meninggalnya ibu pasca persalinan, ASI yang tidak keluar ataupun jika keluar tapi tidak memenuhi kebutuhan bayi dan anak, atau karena alasan pekerjaan dan penampilan.

(48)

BAB V

DIMENSI PENGETAHUAN

5.1 Kondisi Input

5.1.1 Pendidikan Kepala Rumah Tangga

Ada idiom yang menyatakan bahwa kemiskinan dapat diberantas dengan pendidikan, yang menyiratkan makna bahwa pendidikan merupakan salah satu solusi untuk menghindarkan diri dari kemiskinan. Semakin tinggi seseorang mencapai pendidikannya maka semakin terbuka pula kesempatan dia untuk terhindar dari kemiskinan, karena pendidikan merupakan salah satu bekal untuk dapat bersaing dalam era globalisasi sekarang ini. Kecenderungan semakin membaiknya kualitas penduduk selain terlihat dari meningkatnya angka melek huruf juga terlihat dari semakin tingginya rata-rata tingkat pendidikan yang ditamatkan.

Kepala rumah tangga (KRT) sebagai penganggung jawab utama dalam rumah tangga memiliki peranan sangat besar dalam pendidikan anggota rumah tangga. Cara pandang KRT dalam menilai arti penting pendidikan akan berpengaruh terhadap keputusan untuk menyekolahkan anaknya atau tidak. Hal ini tidak terlepas pula dari latar belakang pendidikan KRT yang berpengaruh terhadap wawasan dan pola pikir dalam menentukan setiap keputusan yang diambil, dalam hal ini khususnya untuk pendidikan. Semakin tinggi pendidikan KRT diasumsikan bahwa pola pikirnya luas dan memiliki visi jauh ke depan. Selain itu diharapkan bisa mendorong keberlangsungan pendidikan bagi anak-anaknya.

(49)

Bandung telah mencapai jenjang pendidikan SLTA Sederajat ke Atas yaitu sekitar 54,29 persen. Kemudian untuk kepala rumah tangga yang mencapai jenjang SLTP Sederajat ada sekitar 17,30 persen. Sisanya sekitar 28,41 persen kepala rumah tangga hanya mencapai jenjang pendidikan SD Sederajat ke bawah.

Salah satu hal yang diperkirakan menyebabkan masih banyaknya kepala rumah tangga yang memiliki ijazah SD Sederajat ke bawah adalah karena mahalnya biaya pendidikan dan ketidakmerataan kesempatan pendidikan. Masalah mahalnya pendidikan menjadikan kesempatan memperoleh pendidikan untuk sebagian besar penduduk hanya terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Kemudian untuk masyarakat menengah ke bawah dengan situasi keuangan yang sulit pada umumnya hanya akan menyekolahkan anaknya sampai tingkat SD Sederajat, karena setelah itu mereka dipaksa untuk bekerja untuk membantu perekonomian keluarga untuk kelangsungan hidup sehari-hari.

Tabel 5.1

Persentase Ijazah yang Dimiliki Kepala Rumah Tangga di Kota Bandung Tahun 2014*

Ijasah Yang Dimiliki Kepala Rumah Tangga Tidak Punya

Ijasah SD Sederajat SLTP Sederajat

SLTA Sederajat

Ke Atas Total

(1) (2) (3) (4) (5)

6,14 22,27 17,30 54,29 100,00

* Angka Sementara

Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014

(50)

5.2 Kondisi Proses

5.2.1 Angka Partisipasi Sekolah (APS)

Angka Partisipasi Sekolah (APS) merupakan proporsi dari semua anak yang masih sekolah pada satu kelompok umur tertentu terhadap penduduk dengan kelompok umur yang sesuai. Angka ini berguna untuk mengetahui tingkat partisipasi pendidikan menurut kelompok umur tertentu.

Partisipasi sekolah pada semua kelompok umur sekolah menggambarkan aktivitas pendidikan. Adanya pembangunan sarana dan prasarana pendidikan yang menjangkau sampai ke pelosok daerah serta adanya program wajib belajar telah mendorong peningkatan partisipasi sekolah penduduk. Upaya untuk memperluas jangkauan pelayanan pendidikan bertujuan meningkatkan pemerataan fasilitas pendidikan, sehingga akan semakin banyak penduduk yang dapat bersekolah. Sehingga angka partisipasi sekolah dapat dijadikan sebagai indikator yang menunjukkan keadaan proses pendidikan atau bagaimana program pendidikan yang diimplementasikan terjadi dimasyarakat.

Tabel 5.2

Angka Partisipasi Sekolah (APS) Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kota Bandung Tahun 2014*

Umur Angka Partisipasi Sekolah Perempuan Laki-laki Total

(1) (2) (3) (4)

7 - 12 96,91 97,56 97,27

13 - 15 97,29 95,07 96,32

16 - 18 76,01 67,80 71,28

* Angka Sementara

Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014

(51)

Dari tabel 5.2 diketahui bahwa semakin tinggi kelompok umur sekolah, maka APS nya justru semakin rendah. Untuk kelompok umur 7-12 tahun, APS nya sebesar 97,27 persen dan turun menjadi 96,32 persen pada kelompok umur 13-15 tahun. Kemudian untuk kelompok umur 16-18 tahun, APS nya paling sedikit yaitu hanya sekitar 71,28 persen. APS sebesar 71,28 persen pada kelompok umur 16-18 tahun berarti bahwa dari total anak berumur 16-18 tahun di Kota Bandung, hanya sekitar 71,28 persen yang masih bersekolah dan sekitar 28,72 persen yang sudah tidak bersekolah lagi (putus sekolah). Hal tersebut harus dievaluasi kenapa semakin tinggi kelompok umur maka APS semakin kecil padahal program BOS sudah digulirkan dan jika dikaitkan dengan target minimal yang diusulkan UNDP, yaitu rata-rata lama sekolah 15 tahun, maka seluruh anak umur 7-18 tahun seharusnya masih tetap bersekolah dan tidak ada yang putus sekolah.

5.2.2 Angka Partisipasi Murni (APM)

Angka Partisipasi Murni (APM) didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah siswa kelompok usia sekolah pada jenjang pendidikan tertentu dengan penduduk usia sekolah yang sesuai dan dinyatakan dalam persentase. Indikator APM ini digunakan untuk mengetahui banyaknya anak usia sekolah yang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan yang sesuai. Semakin tinggi APM berarti s e m a k i n banyak anak usia sekolah yang bersekolah di suatu daerah pada tingkat pendidikan tertentu. Nilai ideal APM adalah sebesar 100 persen.

Sebagaimana halnya angka partisipasi kasar (APK), Angka Partisipasi Murni (APM) juga dikelompokkan kedalam 4 tingkatan yaitu

Gambar

Tabel 2.2 Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM  Indikator  Komponen IPM  (=X(I)) Nilai  Maksimum Nilai  Minimum Catatan (1) (2) (3) (4) Angka Harapan

Referensi

Dokumen terkait

(3) Untuk mengetahui manakah yang lebih baik pengaruh latihan memukul bola dengan pitched ball dan soft toss ball terhadap keterampilan memukul bola jauh dalam

Oleh karena itu, penulis mencoba menganalisa bahwa Kaus Nono dalam perkawinan orang meto sesungguhnya menunjukan suatu upaya untuk menghormai suatu klen atau nono

Berdasarkan aspek yang ada dalam Pendidikan Jasmani itu sendiri maka dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud hasil belajar Pendidikan Jasmani adalah adanya

Dengan demikian diketahui bahwa tanah dibawah steel pile masih mampu mendukung beban maksimum yang terjadi.. 4.9.3

Dari semua simulasi yang dilakukan pada sistem IEEE 30 bus dengan 6 unit pembangkit, terlihat bahwa terdapat selisih biaya pembangkitan antara UC, SCUC Normal, dan SCUC

Maka tidak terdapat perbedaan kinerja perusahaan perbankan sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang No.36 Tahun 2008 berdasarkan NPM sehingga hasil pengujian

Hasil uji aktivitas antimikroba menunjukkan bahwa bakteri endofit yang diisolasi dari bagian daun dan batang tanaman keladi tikus mempunyai kecenderungan dalam

RM Sundoro adalah putra Pangeran Mangkubumi, yang kemudian menjadi raja pertama di Kesultanan Yogyakarta pada tahun 1755 dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I.. Meskipun