• Tidak ada hasil yang ditemukan

TATALAKSANA ANESTESIA DAN REANIMASI PADA PEMBEDAHAN BATU GINJAL DAN ATAU URETER. Oleh: Agung Ary Sutawinata dr. I Made Agus Kresna Sucandra,SpAn.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TATALAKSANA ANESTESIA DAN REANIMASI PADA PEMBEDAHAN BATU GINJAL DAN ATAU URETER. Oleh: Agung Ary Sutawinata dr. I Made Agus Kresna Sucandra,SpAn."

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TATALAKSANA ANESTESIA DAN REANIMASI PADA PEMBEDAHAN BATU GINJAL DAN ATAU

URETER

Oleh:

Agung Ary Sutawinata

dr. I Made Agus Kresna Sucandra,SpAn.KIC

BAGIAN/SMF ILMU ANESTESIADAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/ RSUP

SANGLAH 2017

(2)

DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN ...i

DAFTAR ISI ...ii

I. Batasan ...1

II. Masalah ...2

III. Penatalaksanaan ...4

3.1 Evaluasi ...3

3.2 Persiapan Praoperatif ...5

3.3 Premedikasi ...7

3.4 Pilihan Anestesia ...7

3.5 Pemeliharaan Selama Anestesia ...9

3.6 Pemantauan Selama Anestesia ...9

3.7 Terapi Cairan ...10

3.8 Pemulihan ...10

3.9 Pasca Anestesiaa ...11 DAFTAR PUSTA

(3)

I. Batasan

Pada saat volume urin yang dihasilkan rendah, maka akan mengakibatkan peningkatan saturasi antara urin, oksalat dan kristal sehingga menyebabkan terjadinya pembentukan batu. Normalnya urin memiliki cairan kimia yang mencegah terbentuknya kristal, namun inhibitor ini tidak selalu berpengaruh pada semua orang. Batu ginjal mengandung kalsium yang dikombinasi dengan oksalat dan fosfat lain, yang dimana kandungan ini terdapat pada diet manusia sehari-hari yang penting untuk membentuk tulang dan otot.

Pembentukan batu ginjal tidak selalu diketahui sebabnya, dimana beberapa makanan dapat menyebabkan pembentukan batu. Selain hal tersebut, infeksi saluran kemih (ISK), penyakit ginjal seperti penyakit ginjal kistik dan berbagai penyakit metabolik seperti hiperparatiroid juga dapat menyebabkan pembentukan batu. Disamping itu pada 70% orang dengan asidosis renal tubular dapat menyebabkan terbentuknya batu ginjal. Penyakit metabolik seperti kistinuria dan hiperoksaluria juga sering menyebabkan penyakit batu ginjal.

Penyakit batu pada saluran kemih, atau biasa disebut urolithiasis dibagi berdasarkan lokasi batu tersebut antara lain nefrolitiasis (ginjal), ureterolitiasis (ureter), dan sistolitiasis (kandung kemih). Insiden nephrolithiasis meningkat tiap tahunnya. Umumnya prevalensi nephrolithiasis 10% pada pria dan 5% pada wanita, serta 50% pasien mengalami kekambuhan tiap 5 tahun.1 Beberapa terapi yang digunakan pada urolithiasis adalah endourologi dan pembedahan. Teknik endourologi yang digunakan ada dua untuk batu ginjal dan ureter ada dua yaitu prosedur Percutaneus Nephrolithotomy (PCNL), urethero-renoscopy (URS).

Tindakan pembedahan yaitu menggunakan operasi pielolitotomi dan ureterolitotomi. Indikasi dilakukannya operasi pembedahan antara lain adalah komposisi batu yang kompleks, gagalnya terapi ESWL dan atau PNL, atau URS, abnormalitas anatomi intrarenal (stenosis infundibular, striktur, obstruksi pada persimpangan ureteropelvis), obesitas morbid, deformitas skeletal (kontraktur dan deformitas pinggang dan pergelangan kaki),

1

(4)

penyakit komorbid, sesuai dengan pilihan pasien seiring dengan gagalnya prosedur invasif minimal (pasien memilih untuk melakukan lagu satu prosedur daripada harus melakukan PNL atau URS berkali-kali), posisi batu pada ginjal yang ektopik dimana akses perkutan dan ESWL mustahil dicapai.2 Pada batu di dalam ginjal yang lebih besar seperti batu staghorn dan batu ureter proximal yang biasanya resisten dengan Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) menggunakan teknik endourologi PCNL. PCNL merupakan tindakan invasif yang bertujuan mengangkat batu ginjal dengan akses perkutan untuk mencapai sistem pelviokalises menggunakan neproskopi. Pada teknik Uretero-renoskopi (URS) menggunakan ureteroskopi untuk mendiagnosis sekaligus terapi pada batu ureter. Ketika akan dilakukan PCNL dan URS, pasien diposisikan lateral ekstensi atau tengkurap. Pada kedua prosedur ini diperlukan insisi berupa luka tusuk. Lama prosedur PCNL dan URS dikerjakan sekitar 2-3 jam dengan perdarahan minimal dan skor nyeri 3. Operasi pielolitotomi dan ureterolitotomi digunakan untuk mengambil batu ginjal dan ureter. Pasien dengan teknik ini biasanya diposisikan lateral fleksi atau tengkurap. Dengan posisi lateral fleksi maka ureter atas dan pelvis ginjal terlihat. Batunya akan teraba dan kemudian insisi dapat dilakukan di ureter tepat di posisi batu berada. Durasi operasinya sekitar 1-2 jam dengan perdarahan yang terjadi ringan sampai sedang dan skor nyeri 10.3

II. Masalah Anestesi dan Reanimasi

Pada saat dilakukan PCNL dapat terjadi volume irigasi yang besar, sehingga besar kemungkinan untuk kehilangan darah yang tidak bisa diperkirakan, yang berakibat perubahan keadaan hemodinamik menjadi tidak stabil. Pada saat dilakukan PCNL sekitar 5%-14% pasien memerlukan transfusi darah. Pneumothorax merupakan salah satu komplikasi yang cukup jarang terjadi akibat tindakan PCNL. Komplikasi ini terjadi tergantung dari pendekatan yang digunakan saat memasukkan neproskopi.1

Insiden gagal ginjal akut mencapai 5% pada seluruh pasien yang dirawat di rumah sakit dan 8% pada pasien kritis. Gagal ginjal akut

(5)

3

postoperasi dapat terjadi pada 1% atau lebih pada pasien bedah umum, 30%

pada pasien bedah kardio dan vaskular. Insiden gagal ginjal akut perioperatif mengakibatkan peningkatkan biaya rawat, mortalitas dan morbiditas diantaranya adalah degradasi cairan dan elektrolit, penyakit kardiovaskular, infeksi dan sepis, dan pendarahan di gastrointestinal. Faktor risiko preoperatif gagal ginjal akut diantaranya riwayat penyakit ginjal sebelumnya, hipertensi, dan diabetes mellitus. Penyebab gagal ginjal akut (AKI) bisa dibagi menjadi prerenal, reanl, dan posrenal. Pada perioperative risiko gagal ginjal akut prerenal lebih sering terjadi. Penyebab utama gagal ginjal akut perioperative adalah tubular nekrosis akut.4

Pada lateral ekstensi posisi pasien menyerupai posisi jackknife, hanya ditambahkan penggunaan penyangga di bagian bawah dari krista iliaka untuk menambahkan fleksi dan meningkatkan akses ke bagian atas ginjal pada margin costa yang menggantung. Posisi lateral tidak memiliki alternatif lain untuk pendekatan ke panggul ginjal, dengan demikian, gangguan dari operator yang berhubungan dengan postur perlu dibatasi dan diawasi oleh dokter anestesi sehingga diharapkan operasi yang cepat. Stabilisasi harus dilakukan untuk mencegah kauda pasien berubah di meja operasi, seperti perpindahan penyangga ke bagian bawah dari pinggul ginjal menyebabkan masalah untuk ventilasi paru-paru. Komplikasi dari posisi lateral ekstensi antara lain cidera pada mata. Cidera pada mata tidak terjadi apabila kepala disangga dengan benar selama dan setelah perubahan posisi dari supinasi ke posisi lateral. Fleksi leher mungkin terjadi jika kepala pasien pada posisi lateral tidak disangga dengan baik. Nyeri leher pasca operasi dapat terjadi, maka dari itu posisikan kepala secara perlahan sehingga fleksi, ekstensi dan rotasi dari ventral dapat dihindari. Sirkumduksi ventral dari leher dapat menyebabkan supscapular notch mengalami rotasi menjauhi leher.

Sirkumduksi dapat menarik saraf dan menyebabkan nyeri pada bahu. Winging scapula pada pasca operasi dapat terjadi pada posisi lateral. fleksi lateral dari leher dapat menarik long thoracic nerve pada sudut obtus dari leher.1 III. Penatalaksanaan Anestesi dan Reanimasi

(6)

3.1 Evaluasi

1. Penilaian Status Present

Penilaian status present diantaranya termasuk pemeriksaan kesadaran dengan GCS/Glassgow Coma Scale, frekuensi nafas, tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat dan tinggi badan untuk menilai status gizi/BMI.

Riwayat penyakit yang dapat menjadi faktor risiko tindakan anestesi (asma, hipertensi, penyakit jantung, penyakit ginjal, gangguan pembekuan darah), riwayat operasi/ anestesi sebelumnya, riwayat alergi, riwayat pengobatan, dan ada kebiasaan merokok/ minum alkohol/ memakai obat-obatan.3 Anamnesis dalam ilmu anestesia berpatokan dengan mnemonic AMPLE (Allergies, Medication, Past Illness, Last Meal, dan Event Leading to Injury).

Berdasarkan hasil penilaian anamnesis dan status present, maka dapat menentukan klasifikasi American Society of Anesthesiologists (ASA) pada pasien, dimana klasifikasi ini dapat dijadikan pertimbangan risiko relatif pasien terhadap sedasi dan anestesia yang dilakukan selama pembedahan.5

2. Evaluasi Status Generalis dengan Pemeriksaan Fisik dan Penunjang yang lain Sesuai dengan Indikasi

Pemeriksaan fisik umum yang dilakukan antara lain, seperti pemeriksaan psikis (gelisah, takut, kesakitan), saraf (otak, medulla spinalis dan saraf tepi), respirasi, hemodinamik, penyakit darah, gastrointestinal, hepato-bilier, urogenital serta saluran kencing, endokrin dan metabolik, otot rangka, integumen. Pemeriksaan penunjang lain yang dilaukan seperti darah lengkap (Hb, Ht, eritrosit, leukosit dan trombosit, gula darah sewaktu, ureum, SGPT, SGOT).3

3. Evaluasi Khusus terhadap Fungsi Ginjal dan Penyulit lain pabila disertai dengan Gagal Ginjal Kronis

Diperlukan suatu penilaian awal untuk menentukan etiologi dan tipe gagal ginjal kronis serta evaluasi faktor komorbid, diantaranya riwayat pasien

(7)

5

dan riwayat keluarga, pemeriksaan fisik, tekanan darah dan pengukuran berat badan. Pemeriksaan laboratorium harus disertai pemeriksaan serum elektrolit dan glukosa, dan profil lipid. Urinalisis juga harus dilakukan untuk evaluasi sedimen uin dan creatinin/albumin urin atau rasio protein/kreatinin.

Pemerikasaan ultrasonografi renal juga dapat dilakukan untuk mengevaluasi ukuran ginjal dan ada atau tidak abnormalitas.6

3.2 Persiapan Praoperatif 1. Persiapan Rutin

Mencari riwayat medis keseluruhan, melaksanakan pemeriksaan fisik dan investigasi kembali diperlukan pada tahap ini. Pada tahapan ini sebaiknya memberitahu faktor-faktor yang menyebabkan meningkatnya resiko yang terjadi dan faktor apa yang menguntungkan pasien sebelum dilakukan operasi. Perlu dijelaskan juga terhadap pasien mengenai puasa preoperative, rencanakan waktu terakhir makan dan minum. Salah satu penyebab yang paling sering menyebabkan mortalitas dan morbiditas akibat anestesi adalah aspirasi konten gastik. Selain itu memberikan informasi ke pasien dan mendapat persetujuan untuk dilakukanya tindakan operasi harus diperoleh dari individu yang paham akan prosedur dan risiko yang akan terjadi. Agar persetujuan menjadi valid pasien harus mampu melakukan terapi, menerima informasi yang cukup untuk membuat keputusan, serta persetujuan yang harus dilakukan secara sadar. Selanjutnya perlu disiapkan rencana transfusi darah, yang bertujuan transfusi darah untuk memastikan oksigen yang terbawa ke jaringan menjadi adekuat.7

2. Persiapan Khusus

Persiapan khusu untuk analisis preoperatif pada pasien dengan fungsi ginjal sangat terbatas. Rata-rata penyakit batu kalsium muncul pada usia dekade ke 3 sampai ke 5. Biasanya disertai dengan penyakit komorbid seperti obesitas, hipertensi, hiperparatiroid. Penilaian pre anestesi pada pasien harus ke beberapa masalah spesifik yang membutuhkan koreksi sebelum

(8)

anestesi dilakukan diantaranya keseimbangan cairan, gangguan elektrolit, efek terhadap kardiovaskular, hematologi dan faktor lainnya. Pada cidera ginjal akut, kelebihan cairan dapat terjadi mendadak dan tidak terkompensasi.

Pada gagal kronis, kelebihan cairan dapat diterapi dengan diuretik atau dialisis. Cairan yang berlebihan dapat menyebabkan edema paru dan hipertensi. Retensi sodium dapat terjadi pada gagal ginjal seiring meningkatnya sekresi ADh, diikuti oleh retensi air, edema dan hipertensi.

Pada pasien dengan hipokalemia akibat terapi diuretik serta pasien hiperkalemia perlu dilakukan pengukuran serum potasium, dan kadar kalsium saat preoperatif. Akibat retensi fosfat dan vitamin D pada gagal ginjal menyebabkan hiperparatiroid. Edema periperal dan pulmoner juga bisa terjadi karena kombinasi kelebihan cairan, penyakit hipertensi dan hipoproteinemia.

Gangguan elektrolit dan pergantian cairan yang terlalu cepat dapat menyebabkan edema serebral. Pasien dengan penyakit ginjal kronis dapat menyebabkan terjadinya pendarahan gastrointestinal yang dapat menyebabkan kekurangan zat besi serta rentan terhadap infeksi. Kanulasi vena sentral digunakan untuk nutrisi parenteral total yang menggunakan kanulasi jangka panjang. Kanulasi dilakukan melalui vena subklavikula atau vena jugularis interna. Pada jangka pendek, kanulasi dilakukan melalui vena di daerah ekstrimitas atas secara tertutup atau terbuka dengan seksi vena.7 Pasien dengan operasi elektif, kadar Hb pasien harus mencapai 10 g%.

Apabila dijumpai kasus prabedah elektif dengan kadar Hb kurang dari 10%

segera rencanakan transfusi darah prabedah. Rendahnya kadar Hb pasien dapat terjadi akibat defisiensi faktor pembekuan komponen darah yang lain.5

3.3 Premedikasi

Pada lingkungan preoperatif, menggunakan sedasi saat anestesi berupa lorazepam 1-2 mg po 1-2 jam sebelum operasi, midazolam 1-2 mg IV.3 Midazolam digunakan untuk menggantikan diazepam sebagai obat preoperatif. Midazolam tiga kali lebih poten dari diazepam, dimana afinitas midazolam 2 kali lebih besar dari diazepam. Apabila dibandingkan dengan golongan bensodizepin lain, efek amnestik midazolam lebih poten dari efek sedatifnya. Jadi setelah pasien administrasikan midazolam, pasien masih

(9)

7

ingat kejadian dan pembicaraan (tentang instruksi postoperative) untuk beberapa jam.8

3.4 Pilihan Anestesi

Sekitar 10-20% prosedur urologi memerlukan tindakan anestesi.

Pasien yang menjalani prosedur urologi kebanyakan berasal dari usia tua, meskipun kenyataannya semua umur dapat mengalaminya. Pada endourologi anestesi regional (spinal dan epidural) maupun anestesi umum dapat dipergunakan tergantung tipe dan durasi operasi, usia pasien, riwayat penyakit sekarang, dan keinginan pasien. Managemen anestesi bervariasi sesuai umur dan jenis kelamin pasien. Pilihan anestesi yang dapat digunakan antara lain anestersi umum dan anestesi regional.4

Pada prosedur endourologi anestesi regional (spinal dan epidural) maupun teknik anestesi umum dapat dipergunakan, tergantung tipe dan durasi operasi, usia pasien, riwayat penyakit sekarang, dan keinginan pasien.

Anestesi regional dan renal berinterasi secara kompleks, tergantung dari status kardiovaskular, renal, dan cairan dari pasien.9 Untuk anestesi regional, blokade sakral diperlukan untuk prosedur urethral (T9-T10 level untuk prosedur yang melibatkan bladder dan setinggi T8 untuk ptosedur yang melibatkan ureter). Untuk anestesi spinal menggunakan bupivakain 10-12 mg. Untuk operasi berdurasi pendek gunakan bupivakain dosis rendah (0.075% 7.5mg), mepivakain (1.5%,45 mg) atau procaine (10%, 100-150 mg). Lidokain dapat digunakan, namun dapat menyebabkan gejala neurologis transien. Anestesi lumbar epidural menggunakan 1.5-2.0% lidokain dengan epineprin 5 mcg/mL, 15-25, suplementasi dengan 5-10 mL bolus apabila diperlukan. Suplementasi IV sedasi juga diperlukan.4

Pada pembedahan pielolitotomi dan ureterolitotomi anestesi umum lebih direkomendasikan daripada anestesi regional karena posisi pasien yang dapat menyebabkan pasien merasa tidak nyaman dan nyeri pun timbul dari stimulasi diafragmatik (anestesi umum dapat digabungkan dengan regional opiat untuk kondisi ini).

(10)

Pada anestesi umum dilakukan induksi dengan induksi standar.

Intubasi endotrakeal tidak diperbolehkan untuk prosedur operasi yang durasinya pendek, penggunaan LMA lebih disarankan untuk kondisi ini.

Untuk induksi gunakan propofol 1.5-2.5 mg/kg IV secara bertahap. Rasa nyeri pada injeksi akan berkurang dengan terlebih dahulu memasukkan lidocaine 1% 5-10 mL via oklusi vena.3 Apabila kadar kalium plasma pasien normal, berikan suksinil Kolin (dosis 1-2 mg/kgBB IV) untuk fasilitasi intubasi, sedangkan apabila kadar kalium plasma pasien tinggi gunakan atrakurium. Gunakan laringoskopi kemudian semprotkan lidokain 4% 3-5 kali ke dalam laring-faring dan trakea agar refleks batuk pada saat intubasi dapat ditekan. Kemudian lanjutkan dengan intubasi endotrakeal dengan ukuran pipa yang sesuai. Setelah selesai, atur posisi lateral ekstensi sesuai kebutuhan operator.5 Anestesi umum biasanya menjadi pilihan bila ada kontraindikasi dari anestesi regional yaitu, pasien menolak anestesi regional, peningkatan tekanan intrakranial, infeksi pada lokasi jarum disuntikkan, gangguan koagulasi, syok hipovolemik berat, dan kelainan katup jantung bera.10 Pasien biasanya lebih memilih tertidur selama operasi sehingga menyebabkan general anestesi lebih sering digunakan3.

Kelebihan anestesi epidural adalah menjaga hemodinamik lebih stabil selama operasi , dosis obat dapat diberikan ulang melalui kateter dan sekaligus dapat digunakan pada tatalaksana nyeri pasca operasi. Kekurangan dari epidural adalah teknik yang lebih sulit serta waktu pemasangan dan onset yang lebih lama dengan risiko blok parsial. Apabila operasi berlangsung lama dan membutuhkan patensi jalan nafas maka kombinasi anestesi epidural dan anestesi general dapat dijadikan pilihan. Anestesi Spinal memiliki keungulan dimana onsetnya yang lebih cepat, pelaksanaan yang mudah, akan tetapi mengganggu hemodinamik intraoperatif.10

Kebanyakan dokter anestesi lebih memilih spinal karena onset anestesinya yang hanya membutuhkan 5 menit atau kurang .4 Kontraindikasi relatif anestesi regional diantaranya pasien tidak kooperatif, sepsis, deformitas tulang belakang pasca operasi tulang belakang, dan terdapat defisit

(11)

9

neurologis ektremitas bawah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kuzgunbay et al. tidak ada perbedaan bermakna antara lama rawat PCNL menggunakan anestesi regional dan umum.10

3.5 Pemeliharaan Selama Anestesia dan Reanimasi

Anestesi inhalasi (N2O, sevoflurane/desflurane) digunakan untuk operasi dengan durasi pendek. Teknik IV berupa penggunaan propofol 100200 mcg/kg/min ditambah dengan N2O ± anestesi volatile ± remifentanil. Penggunaan pelumpuh otot tidak disarankan pada prosedur PCNL dan URS. Narkotika yang bekerja jangka panjang (seperti morfin) tidak diperbolehkan karena rasa nyeri setelah operasi biasanya bersifat minimal pada prosedur PCNL dan URS.3 Apabila digunakan pendekatan intraperitoneal atau laparoskopi pada pielolitotomi dan ureterolitotomi usahakan untuk membatasi N2O untuk mencegah distensi pada usus dan gangguan di daerah sekitar operasi. Diperlukan pemantauan pola nafas kendali selama tindakan berlangsung. 3

3.6 Pemantauan selama Anestesia dan Reanimasi

Pemantauan yang perlu dilakukan pada kondisi pasien anestesia adalah jalan nafas, oksigenasi, ventilasi, dan sirkulasi pasien harus dievaluasi teratur. Pemantaun jalan nafas digunakan untuk mempertahankan keutuhan jalan nafas. Oksigenasi dipantau untuk memastikan kadar zat asam di dalam udara/gas inspirasi dan didalam darah. Ventilasi dipantau untuk keadekuatan ventilasinya. Sirkulasi juga harus adekuat. Serta suhu tubuh pasien harus dipantau.5 Diperlukan pemantauan khusus pada tekanan vena sentral, sebab tekanan vena sentral mencerminkan keseimbangan antara volume intravaskular, kapasitas vena, dan fungsi ventrikular kanan. Ratarata normal tekanan vena sentral adalah 1-7 mmHg. Produksi urin, elektrolit, dan analisis gas darah pada kasus gagal ginjal juga harus dilakukan pemantauan. 11

3.7 Terapi Cairan dan Transfusi Darah

(12)

Ketika pendarahan yang terjadi < 20% dari perkiraan volume darah pasien, berikan cairan pengganti kristaloid atau koloid, akan tetapi apabila terjadi perdarahan >20% dari perkiraan volume darah pasien, berikan transfusi darah. Tujuan dari cairan pengganti antara lain untuk penggantian air tubuh yang hilang karena sekuestrasi atau proses patologi seperti dehidrasi dan perdarahan saat pembedahan. Cairan pengganti yang digunakan adalah kristaloid seperti NaCl 0.9% dan ringer laktat atau koloid seperti Dextrans 40 dan 70. Cairan nutrisi juga digunakan untuk nutrisi parenteral bagi pasien yang tidak ada nafsu makan, dilarang makan dan tidak bisa makan peroral.5

3.8 Pemulihan Anestesia

Segera setelah operasi selesai, hentikan aliran obat anestesi, berikan pasien obat penawar pelumpuh otot yaitu neostigmine (0.03-0.07 mg/kg) atau edrophonium (0.5-1 mg/kg) bersamaan dengan agen anti kolinergik (glikopirulat, 0.01 mg/kg, atau atropin 0.01-0.02 mg/kg). Untuk anestesi general pantenkan jalan nafas, tanda tanda vital, oksigenasi, dan level kesadaran pasien harus tetap di evaluasi saat pasien sudah berada di ruang perawatan. Pengukuran yang kontinyu dari tekanan darah, denyut nadi, dan laju pernafasan dilakukan setiap 5 menit selama 15 menit atau sampai stabil, dan setiap 15 menit setelahnya. Oximetri harus di monitor pada semua pasien.

Semua pasien yang dalam pemulihan anestesi umum harus mendapatkan suplementasi oksigen dan monitor oximetri.4

Untuk pasien sedasi berat dan hemodinamiknya tidak stabil akibat anestesi regional harus mendapat suplementasi oksigen di ruang pemulihan.

Sensori dan motorik harus di catat regresi dari blokadenya. Tekanan darah harus di monitor pada anestesi spinal dan epidural.10 Jalan nafas dibersihkan dengan kateter suction. Setelah pasien nafas spontan dan adekuat, lakukan ekstubasi.5

3.9 Pasca Anesthesia / Bedah

Usaha penanggulangan nyeri ringan sampai sedang dapat diterapi secara oral dengan acetaminophen, ibuprofen, hidrkortison, dan oksikodon.

(13)

11

Selain itu, acetaminophen (15 mg/kg, atau 1g jika pasien >50 kg) dapat di masukkan secara intravena. Nyeri sedang sampai berat pasca operasi lebih sering di terapi dengan opioid lewat oral atau parenteral.4 Untuk prosedur PCNL dan URS dengan nyeri ringan dapat diberikan morfin 2-4mg IV q 1015 menit prn, fentanyl 25-50 mcg IV, dan ketororac 15-30 mg IM atau IV.

Sementara untuk prosedur pyelolitotomi dan ureterolitotomi dapat diberikan morfin 0.1-0.3 mg/kg IV sebagai dosis apabila menggunakan tambahan anestesi epidural. Patient Controlled Anesthesia (PCA) dapat digunakan pada pasien pielolitotomi dan ureterolitotomi berusia >5 tahun. Lockout time diatur di 10 menit, pada fentanyl dapat lebih cepat menjadi 5 menit. Obat yang biasa digunakan pada PCA antara lain morfin, hidromorfon, dan fentanyl. Apabila penggunaan PCA tidak memungkinkan (pada anak kecil yang tidak mengerti PCA) infusi intravena kontinyu dengan opiat dapat digunakan.3 Pasien dikirim kembali ke ruangan setelah memenuhi kriteria pemulihan. Pasien dianalisis segera pasca bedah sesuai standar ASA untuk perawatan post anestesi yaitu monitor parameter ganda selama fase pemulihan termasuk respirasi dan fungsi jantung, fungsi neuromuskular, status mental, suhu tubuh, nyeri, mual dan muntah, drainase dan pendarahan, dan output urin. Frekuensi dan durasi monitoring tergantung status klinis pasien.11

DAFTAR PUSTAKA

1. Barash P, Cullen B, Stoelting R, Cahalan M, Stock M, Ortega R. Clinical Anesthesia. 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2013.

2. Türk C, Knoll T, Petrik A, Sarica K, Seitz C, Straub M. Guidelines of Urolithiasis. European Association of Urology. 2011.

3. Jaffe RA. Anesthesiologist's manual of surgical procedures. Lippincott Williams & Wilkins; 2014.

4. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Kleinman W, Nitti GJ, Nitti JT, Raya J, Bedford RF, Bion JF, Butterworth J, Cohen NH. Clinical anesthesiology.

New York: McGraw-hill; 2002.

(14)

5. Mangku G, Senapathi TG. Buku ajar ilmu anestesia dan reanimasi. Jakarta:

Indeks. 2010.

6. Gehr M. Chronic Kidney Disease: Detection and Evaluation - American Family Physician [Internet]. Aafp.org. 2017 [cited 16 March 2017].

Available from: http://www.aafp.org/afp/2011/1115/p1138.html

7. Aitkenhead A, Moppet L, Thompson J. Textbook of anaesthesia. 6th ed.

Edinburgh: Churchill Livingstone/Elsevier; 2013.

8. Stoelting RK, Miller RD. Basics of anesthesia. Churchill Livingstone,; 2015 May 22.

9. Miller RD, Eriksson LI, Fleisher LA, Wiener-Kronish JP, Young WL.

Anesthesia. Elsevier Health Sciences; 2009 Jun 24.

10.Nugroho D, Ponco B, Nur R. Percutaneous Nephrolithotomy sebagai Terapi Batu Ginjal.Maj Kedokt Indonesia. 2011. 61(3), 132-133 11. Stoelting RK, Miller RD. Basics of anesthesia. Churchill Livingstone,; 2015 May 22.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait