• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Nurani Suku Buna' Spiritual Capital dalam Pembangunan D 902006009 BAB IX

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Nurani Suku Buna' Spiritual Capital dalam Pembangunan D 902006009 BAB IX"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

247

BAB 9

SPIRITUAL CAPITAL

DALAM HIDUP MANUSIA SUKU

BUNA

Masyarakat suku Buna’ di DHL dalam kadar tertentu, masih menghayati hidup yang ‘kolektivistis, holistis dan organisistis’ (Veeger 1993:10), biarpun tidak lagi seperti leluhur mereka yang tertutup dan terisolir oleh tempat yang jauh di pedalaman pulau Timor. Mereka sedang mengalami perubahan sebagaimana yang dialami oleh setiap masyarakat di mana pun dan kapan pun saja (Piötr Sztompka 1993/2007: 9-10). Mereka berada di persimpangan jalan. Mau tetap berada dan bertahan dalam cara hidup yang kolektivistis, holistis dan organisistis atau mau beralih ke cara hidup yang bercorak ‘individualistis, atomistis dan mekanistis’? (Veeger 1993: 11-12).

(2)

248

menggantikan tei (tandak) dan teberai’ (likurai). Dalam Tentang sistem religi (Bab 8), penulis menemukan perubahan dari praktek agama suku yaitu agama Hot Esen ke agama Kristen Katolik biarpun masih ada praktek-praktek pencampur-adukan antara ritus kedua agama. Dalam penelitian ini penulis menemukan bukan hanya perubahan, tetapi ada juga proses sosial, perkembangan sosial dan kemajuan sosial (Piötr Sztompka 1993/2007: 12). Perubahan sosial dialami oleh masyarakat suku Buna’ di DHL dalam bentuk pergeseran dari yang lama, tradisional ke yang baru, modern. Proses sosial mereka alami dalam bentuk kejadian-kejadian yang menimpa mereka yaitu malapetaka peperangan yang menghancurkan harta milik dan harta budaya mereka dan diganti dengan yang baru. Perkembangan sosial mereka alami dalam bentuk ‘kristalisasi sosial, dan artikulasi kehidupan sosial’ dari yang lama ke yang baru ((Piötr Sztompka 1993/2007:12). Mereka mengalami perubahan, proses, perkembangan dan kemajuan sosial. Dalam pengalaman mereka ini terjadilah apa yang dikemukakan oleh Anthony Giddens, suatu kontinuitas dan diskontinuitas sosial (Anthony Giddens 1979/2009: 411-5).

Kenyataannya memang ada kontinuitas dan diskontinuitas dalam perubahan, proses, perkembangan dan kemajuan sosial yang dialami oleh masyarakat suku Buna’. Ada diskonuitas, berarti ada unsur-unsur sosial yang ditinggalkan entah sengaja atau tidak sengaja. Apa saja yang ditinggalkan? Apa saja yang diteruskan sehingga disebut adanya kontinuitas? Hal yang tertinggal dan tetap bertahan sampai sekarang oleh Bourdieu disebut habitus (Anthony Giddens 1979/2009: 414). Unsur-unsur yang bertahan itu (kontinuitas) semakin mantap melalui proses reproduksi sosial. Ada unsur-unsur yang mengalami diskontinuitas karena sedang memudar dan tergilas oleh arus zaman, seperti tais, kain tenun asli dilindas oleh melimpahnya bahan tekstil hasil dari pabrik yang mudah diperoleh dan murah harganya. Bahasa Buna’ sedang memudar tergeser oleh bahasa Indonesia. Berdoa di rumah adat sesuai habitus agama Hot Esen digantikan dengan berdoa di gereja sesuai tradisi Gereja Katolik.

(3)

249 manusia yang adalah roh yang membadan dan badan yang me-roh ((Driyarkara 1956/2006: 366-375; 398-399). Kalau dilihat hanya sebagai capital atau modal saja, maka spiritual capital itu merupakan salah satu dari enam belas capital atau modal yang sampai sekarang ini diungkapkan oleh berbagai ahli dari sudut pandang keahliannya masing-masing (Alex Liu dkk. 2007). 37

Satu kelompok ahli dari kelompok Pasadena (The RM Institute’ , RM = Research Method, 2007-2008) merangkum semua capital yang berjumlah enam belas capital itu ke dalam empat kelompok besar atau hanya empat capital saja, yaitu material capital, intellectual capital, social capital dan spiritual capital. Mereka tidak mempersoalkan arti dan peranan dari tiga capital yang lain, material capital, intellectual capital, social capital. Mereka memfokuskan diri pada spiritual capital dengan alasan bahwa kepincangan dalam pembangunan secara menyeluruh di dunia saat ini karena masyarakat global sedang mengabaikan arti dan tempat serta peranan spiritual capital dalam pembangunan. Penekanan terlalu material capital sambil mengabaikan spiritual capital, membuat manusia semakin materialistis, egoistis dan hedonistis. Penekanan terlalu pada intellectual capital sambil mengabaikan spiritual capital, masyarakat semakin intelektualistis dan mendewakan ilmu pengetahuan dan teknologi sampai melecehkan sesama manusia dan terutama melecehkan eksistensi Yang Maha Tinggi. Penekanan terlalu pada social capital sambil mengabaikan spiritual capital mengakibatkan masyarakat manusia terjerumus ke dalam korporasi atau persekongkolan jahat antara sesama manusia yang mencelakakan diri sendiri. Inilah masyarakat dunia kita sekarang ini yang dilukiskan oleh Danah Zohar dan Ian Marshall sebagai “Monster yang memangsa dirinya sendiri” (Danah Zohar dan Yan Marshall 2004: 53). Kedua orang ini mengatakan

37 Alex Liu, Danah Zohar, Marshall (2007) dan kawan-kawan

menghasilkan satu rumusan definisi di Pasadena, yang berbunyi, “Spiritual capital refers to the power, influence and dispositions created by a person or an organization’s spiritual belief, knowledge and practice”. (Spiritual capital

(4)

250

bahwa masyarakat internasional sekarang ini sedang membuat diri stress karena ulahnya sendiri yaitu tindakan ‘despiritisasi’, menghindari malah mau menyangkali adanya roh dalam diri dan di luar diri sehingga manusia baik pribadi maupun kelompok, semakin keropos, tak bertulang, sakit dan sakit yang paling parah yaitu sakit jiwa. Gejala gunung es yang sudah mulai muncul, kasus-kasus bunuh diri38 yang

terjadi di mana-mana merupakan akibat dari ‘despiritisasi’ ini, atau dengan kata lain, mengabaikan spiritual capital oleh manusia yang tertanam dalam diri setiap manusia yang sedang diabaikan pemberdayaannya dalam kegiatan pembangunan diri, sesama dan alam sekitar. Keluhan tentang kebobrokan tindakan manusia ini sudah diungkapkan oleh Driyarkara pada tahun 1956 dengan mengungkapkan bahwa ibu kota (Jakarta) itu “ pusat kebudayaan juga pusat kebuayaan”. (Driyarkara 2006/1956: 603).

Kelompok Pasadena secara tegas membuat satu rumusan khusus tentang apa itu spiritual capital. Mereka membuat satu definisi: Spirituaal capital adalah kekuatan, pengaruh dan keadaan yang diciptakan oleh kepercayaan, pengetahuan dan praktek rohani dari seseorang atau suatu organisasi. (The RM Institute’ , RM = Research Method, 2007-2008). Untuk mengungkapkan apa itu spiritual capital dalam kaitan dengan setiap capital dan implikasinya dalam pembangunan, penulis kemukakan ulasan dalam Bab 9 ini.

TEMUAN LAPANGAN:

KONTINUITAS DAN DISKONUITAS

Tulisan Louis Berthe (1972), Bei Gua, tentang asal-usul suku Buna’ menungkapkan silsilah dan adat istiadat suku Buna’ dalam bentuk etnografis, pelukisan dan pendataan fakta sejarah dan budaya suku Buna’. Di sana tidak ada suatu gambaran tentang kontinuitas dan diskontinuitas keadaan sosio-budaya suku Buna’ atau interpretasi tentang makna yang terkandung dalam peristiwa dan upacara-upacara suku Buna’. Manuskrip A.A. Bere Tallo (1978) tentang Zapal (dongeng) dan Adat Kebiasaan Suku Buna’ berisi data penting tentang suku Buna’

38 Ada data dari Kepolisian Daerah Metro Jaya, tercatat kasus bunuh diri di

(5)

251 tanpa ada interpretasi tentang latar-belakang atau makna adat istiadat itu sendiri. Tulisan Claudine Friedberg (1982), Muk Gubul Nor tentang berbagai jenis tumbuhan yang dikenal oleh suku Buna’ benar-benar berisikan data yang sangat lengkap tentang berbagai jenis tumbuhan yang dikenal suku Buna’ tanpa pelukisan tentang makna tumbuh-tumbahan tersebut sebagai pengungkapan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat suku Buna’. Tiga karya monumental tentang suku Buna’ ini memang tidak mempunyai tujuan untuk membuat analisis filosofis tentang kehidupan suku Buna’.

Penulis berusaha mempelajari kehidupan suku Buna’ melalui pengamatan, wawancara, diskusi dan studi dokumentasi untuk mengungkapkan falsafah kehidupan suku Buna’ melalui pengungkapan mereka dalam kehidupan sehari-hari mereka. Untuk studi filosofis ini, penulis memakai satu alat ukur yaitu alat ukur pembangunan yang didasarkan pada rumusan kelompok Pasadena tentang capital dalam pembangunan (Alex Liu, dkk. 2007). Kelompok Pasadena ini sudah penulis gambarkan siapa mereka dalam Bab II.

Alat ukur pembangunan yang penulis maksudkan ialah ‘Kuadran CN’. Dua huruf CN singkatan dari ‘Capital N’. Kalau ada yang kemudian mau mengalih-bahasakan nama alat ini ke dalam bahasa Inggris, penulis mengusulkan untuk memakai nama ‘C-Quadrant’.39 Alat

ukur ini penulis rumuskan dengan tujuan untuk memudahkan orang mengukur maju-mundurnya, baik-buruknya proses dan hasil pembangunan. Disebut kuadran karena gambar kuadran yang dipakai untuk menampilkan bidang-bidang kekuatan dan kelemahan capital yang didaya-gunakan manusia dalam pembangunan.

Dalam alat ukur ‘kuadran’ ini kata capital dipakai untuk dengan jelas menunjukkan bahwa gambar kuadran ini memuat capital (modal pembangunan) sebagai pokok uraian. Huruf N itu merupakan huruf awal dari empat kata yang menggambarkan dalam alam pikiran bangsa Indonesia tentang apa yang secara universal dikenal dengan empat istilah, material capital, intellectual capital, social capital dan spiritual

39 Dalam versi Inggris kalau ada yang kemudian mau meng-inggris-kan gambar

(6)

252

capital. Empat istilah ini di-Indonesia-kan dengan kata, Nafsu (material capital ), Nalar (intellectual capital ), Naluri (social capital ) dan Nurani (spiritual capital ). Setiap kata diberi kode dengan huruf awal, N ditambah dengan angka sesuai urutannya, Nafsu = N1, Nalar = N2, Naluri = N3 dan Nurani = N4.

Pembangunan yang dilaksanakan oleh suku Buna’ sekarang tidak seimbang karena mereka mengabaikan spiritual capital yang terdapat dalam agama asli mereka, agama Hot Esen.Dalam agama itu dibiasakan untuk memelihara pohon-pohon besar di sumber air karena sakral. Pemunculan dalam agama asli ini sebenarnya spiritual capital yang dirumuskan untuk ditaati. Dengan masuknya agama Kristen Katolik, yang mengajarkan bahwa di sumber air tidak ada roh-roh yang menjaga air dan pohon-pohon, maka mereka menebang pohon-pohon itu tanpa rasa bersalah sedikitpun. Di sinilah terjadi ketimpangan dalam pembangunan, khususnya dalam pelestarian lingkungan hidup. Seharusnya dijaga keseimbangan, tetapi keseimbangan antara empat capital itu tidak dijaga sehingga terjadilah kekeringan yang membuat masyarakat suku Buna’ menderita. Ketimpangan ini dapat digambarkan dalam kuadran CN dalam gambar 47.

Material capital (Nafsu)

Intellectual Capital (Nalar)

Social capital (Naluri)

Spiritual capital (Nurani)

(7)

253 Dalam gambar 48.yang menampilkan perpaduan capital-capital itu menunjukkan satu cita-cita pembangunan yang ideal di mana empat capital itu diupayakan untuk didayagunakan secara seimbang. Kalau tidak seimbang maka pembangunan apa pun akan kurang memenuhi harapan manusia itu sendiri yaitu kesejahteraan lahir dan bathin.

Material capital (Nafsu)

Intel- lectual Capi tal (Nalar

Social capital (Naluri)

Spirit. Cap.

(8)

254

Dalam temuan lapangan tentang masyarakat Suku Buna’ di DHL, khususnya dalam keseharian hidup orang-orang DHL, ternyata mereka tidak memilah-milah kehidupan atas mana yang rohani dan mana yang jasmani. Dalam adat molo a (makan sirih) sebagai satu kebiasaan menerima tamu dan kebiasaan memakai sirih dan pinang dalam berbagai acara adat dan keagamaan, empat capital itu diungkapkan secara serentak. Molo (sirih) itu tanaman yang dihargai sehingga dipelihara dan diperjual-belikan. Ini aspek material capital dari suku Buna’ yang terungkap dalam materi molo (sirih). Adat menyajikan sirih dan segala simbol yang dilekatkan pada sirih misalnya untuk meminang, untuk menjalin persahabatan, merupakan aspek intellectual capital dari molo. Dalam hal ini molo bukan lagi daun tanaman atau benda biasa tetapi sudah sarat dengan arti simbolik. Penghargaan terhadap molo sudah lain, sudah lebih tinggi dari penghargaan terhadap daun-daun yang lain. Molo ini tanaman yang membutuhkan banyak air

N1

N3

N4

N2 A

N1 + N3

D N4 + N2 B N2 + N3

C N1 + N4

Gambar 49. Kuadran CN (Capital N) Empat capital (N1+N2+N3+N4) ditampilkan utuh

dalam hidup sehari-hari suku Buna’.

Ada keseimbangan antara pemunculan N1=Nafsu (material capital);

N2=Nalar (spititual capital); N3=Naluri (social capital); N4=Nurani (spiritual capital)

(9)

255 maka biasa ditanam di tempat yang disebut natal hutan larangan atau tempat terlindung yang ada sumber mata air dan tempat terlarang bagi hewan dan manusia untuk mengambil kayu api. Tempat ini menjadi hutan sakral dan sirih yang tumbuh di dalamnya pun turut terlindung. Inilah unsur intellectual capital atau kearifan lokal masyarakat suku Buna’ yang terungkap dalam hal molo atau sirih ini. Molo ini juga masuk dalam aspek social capital sewaktu dipakai untuk saling menjamu. Selanjutnya molo masuk dalam aspek spiritual capital sewaktu dipakai untuk menjadi bahan persembahan waktu ada upacara religi agama Hot Esen.

Pemisahan antara yang sakral dan profan adalah konsep Barat yang membedakan hal-hal yang berkaitan dengan dunia roh itu disebut sakral dan ha-hal yang berkaitan dengan dunia jasmani itu disebut profan (Mariasusai Dhavamony 1973/1995: 147-8). Dalam fenomenologi agama, Dhavamony menggolongkan agama-agama atas agama primitif dan agama modern, agama polytheistis dan monotheistis. Penggolongan ini sama sekali tidak berdasar pada hakikat kepercayaan manusia itu sendiri. E.B. Tylor yang dikenal dengan istilahnya ‘animisme’ untuk kepercayaan masyarakat primitif (Dhavamony 1973/1995: 66) membuat kesalahan fatal karena menilai kepercayaan manusia berdasarkan perkembangan sosiologi di mana perubahan masyarakat itu memang mengikuti tahap-tahap perkembangan seturut ukuran manusia modern. Kontak antara manusia dengan Tuhan itu berlaku pada zamannya dan tidak boleh itu dikatakan primitif lalu manusia di zaman modern atau post-modern sekarang ini dikatakan modern. Dalam agama tidak ada primitif tidak ada modern. Agama sebagai ungkapan iman kepercayaan manusia kepada Yang Maha Tinggi tetap sah dan unik bagi pemeluknya. Tidak dapat diterima adanya pemikiran tentang orang yang menyatakan diri paling benar dalam agama yang ia anut sehingga orang yang beragama lain harus di-tobat-kan ke agama sendiri.

(10)

256

Pergaulan dengan suku ‘terasing’ yang menganut agama suku atau agama asli tidak dilarang. Kemudian mereka tertarik dan mau belajar lalu berpindah dari agama aslinya ke agama yang dibawa oleh orang yang datang dari luar, kalau secara wajar, dalam arti tanpa bujukan apalagi pemaksaan secara halus atau kasar, maka tindakan seperti itu dapat diterima oleh akal sehat dan nurani yang murni. Kalau ada pemaksaan dan bujukan teselubung, maka sudah harus disadari saat ini bahwa tindakan itu tindakan tidak manusiawi dalam arti sesama manusia membohongi sesama yang lain dengan dalih ‘menobatkan’. Lain halnya dengan pengalaman Nommensen di tanah Batak tahun 1865 dan 1866. Di sana Nommensen membawa pekabaran Injil dan membawa kedamaian (Lothar Scheriner 1972/2003: 43-44).

Sejarah sudah mencatat bahwa agama-agama ‘besar’ seperti Kristen pernah disebarkan dengan cara yang licik yang pernah diungkapkan dalam istilah ‘gold, glory, gospel’, penyebaran melalui pencaharian emas, perluasan kekuasaan dan penyebaran Injil. Ada niat baik dari Gereja Kristen (Katolik dan Protestan) sebagai institusi untuk mewartakan kabar gembira (Injil) tetapi sering dibelokkan oleh para pembawa agama itu yang berasal dari Barat. “Kolonialisme dan sekularisme mencoba membelokkannya dari hasrat rohani kepada kepentingan duniawi” (Rachmat Subagya 1981: 24). Hal itu tidak boleh lagi terjadi dalam abad ini dan selanjutnya.

Dalam upacara yang berkaitan dengan kelahiran, perkawinan dan kematian, empat aspek capital itu menyatu. Material capital terwujud dalam bentuk kain adat, alat-alat kurban yang disiapkan khusus untuk segala macam upacara itu. Tempat-tempat ibadat masuk dalam material capital ini. Bagaimana cara menata upacara dan menata urutan upacara merupakan aspek intellectual capital, kearifan lokal. Semua peristiwa itu, kelahiran, perkawinan dan kematian merupakan ajang pertemuan kekeluargaan dan ini jelas aspek social capital. Semua acara itu selalu dikaitkan oleh manusia yang hidup ini dengan mugen bei mil (arwah leluhur), pan muk gomo (roh-roh penghuni langit dan bumi) dan Hot Esen (Yang Maha Tinggi).

(11)

257 dalam kesatuan tempat hunian yang dijaga bersama kelestariannya, baik itu ladang, padang maupun hutan. Tempat bersama manusia itu bahagian dari aspek material capital. Norma adat yang disepakati dan ditaati bersama ini merupakan aspek intellectual capital. Kepentingan bersama itu masuk dalam aspek social capital. Hal-hal ini diungkapkan dengan bahasa Buna’ yang menjadi ungkapan cita dan rasa suku Buna’. Dan semuanya ini selalu didasarkan pada keyakinan pada adanya pengontrolan dari mugen bei mil (arwah leluhur), pan muk gomo (roh-roh penghuni langit dan bumi) dan Hot Esen (Yang Maha Tinggi). Yang terakhir ini masuk dalam unsur spiritual capital.

Hal yang cukup mengherankan ialah adanya keterkaitan empat capital ini dalam kesenian dan hiburan rakyat masyarakat suku Buna’. Hasil kesenian seperti tenunan, anyaman dan ukiran serta seni sastra mempunyai keterpaduan antara empat aspek capital itu dalam satu keutuhan yang asri. Sebagai contoh, tais, kain tenun itu mempunyai nilai material, intellectual, social dan spiritual. Ini terjadi karena dalam kain tenun, tais, itu terpadu curahan dan ungkapan material capital, intellectual capital, social capital dan spiritual capital yang ada dalam diri pribadi dan kelompok masyarakat suku Buna’.

Dalam sistem religi, agama suku Buna’, agama Hot Esen menjadi ajang pengungkapan terdalam dari spiritual capital itu yang dipadukan dengan material capital, intellectual capital dan social capital. Di sini perlu ada suatu refleksi baru, spiritual capital itu bukan religious capital atau sebaliknya, religious capital bukan spiritual capital. Dua hal ini sangat berbeda satu sama lain. Memang ada kaitan, tetapi bukan sama. Religious capital memampukan orang dapat hidup beragama. Spiritual capital merupakan modal yang ada dalam diri manusia untuk dimunculkan dalam agama sebagai pemunculan dari religious capital.

Dengan gambar 1, mau diungkapkan bahwa pada dasarnya suku Buna’ menampilkan penghayatan empat capital dalam hidup harian itu secara utuh terpadu.

(12)

258

hunian. Ini termasuk dalam penampilan material capital, urusan ‘benda’ diberi kode N1=Nafsu (material capital). Perpaduan dari dua tugas ini, menata alam dan mengurus rakyat masuk dalam bidang A dalam Kuadran Capital N di mana ada pertemuan antara N1 + N3 (N1=Nafsu /material capital + N3=Naluri /social capital).

Selanjutnya dalam bidang B ada pertemuan antara N2 + N3 (N2=Nalar /intellectual capital + N3=Naluri /social capital). Kaum bangsawan ini termasuk pemegang kebijakan berdasarkan norma dan karifan lokal. Itu dilukiskan dengan kode N2, Nalar, intellectual capital. Dengan kearifan ini mereka mengurus rakyat yang dilukiskan dengan kode N3, Naluri, social capital. Perpaduan antara bidang A dan B atas cara yang wajar dan baik disebut kepemimpinan yang bertanggung-jawab dan arif bijaksana.

(13)

259 lain dalam agama Kristen Katolik. Kalau dalam agama Hot Esen, keterjalinan antara manusia yang hidup sekarang dengan leluhur diungkapkan dengan peletakan sirih-pinang, dalam Gereja Katolik diungkapkan dengan doa, pembakaran lilin dan perayaan Ekaristi (Misa Kudus). Di sini perlu ada penjembatanan, bukan penghapusan. Dan ternyata tidak bisa dihapuskan. Mengapa? Karena baik agama Hot Esen maupun agama Kristen-Katolik hanyalah suatu pengungkapan atas spiritual capital yang tertanam dalam diri manusia secara universal. Titik tolak untuk pertemuan antara semua manusia harus mulai bukan atas dasar agama, melainkan atas dasar kesadaran akan spiritual capital yang ada dalam diri setiap manusia. Upaya tobat-menobatkan ke dalam agama tertentu harus dirobah ke dalam upaya penyadaran akan adanya capital dalam dalam diri manusia, dan salah satu capital itu adalah spiritual capital.

Dalam bidang D ada pertemuan antara N4 dan N2, Nurani dan Nalar. Ini pertemuan dua capital, spiritual capital dan intellectual capital yang membuat manusia menjadi sangat manusiawi-ilahi dan ilahi-manusiawi. Manusia yang sadar melalui N2 (Nalar = intellectual capital) tentang adanya roh-roh melalui N4 (Nurani = spiritual capital) melahirkan agama dalam bentuk ajaran/dogma dan ritus, doa dan upacara (Dwi Narwoko – Bagong Suyatno 2007: 244-276). Orang Buna’ beragama atas dasar keterpaduan N2 dan N4 ini. Atas dasar ini kalau orang Buna’ beralih dari agama asli, agama Hot Esen ke agama baru, agama Kristen Katolik, harus berani untuk meninggalkan (diskontinuitas) simbol-simbol yang dipakai dalam agama Hot Esen dan harus menerima dan memakai simbol-simbol yang dipakai dalam agama Kristen Katolik. Pejabat agama seperti Mako’an harus beralih ke Guru Agama dan Pastor. Tempat upacara di bosok dan mot harus dialihkan ke kapela dan gereja. Dalam hal ini masyarakat suku Buna’ masih dalam taraf peralihan yang perlahan-lahan dari mot ke gereja, seperti dalam pola makan, dari ubi ke roti. Waktu lapar ubi pun jadi. Waktu kesepian, mot pun jadi.

(14)

260

dan Ian Marshall 2004/2007: 89). Keakraban yang terjadi dalam pergaulan harian suku Buna’ menunjukkan persaudaraan yang sejati dalam arti saling menghargai atas dasar kesamaan asal-usul, kesamaan adat, kesamaan bahasa dan penghargaan atas status masing-masing sesuai peran masing-masing dalam masyarakat. Keakraban dan persaudaraan ini sudah menjadi satu pola mini untuk persaudaraan umat manusia sedunia saat ini dalam versi yang lebih luas. Untuk perwujudan persaudaraan seperti ini perlu ada modal dasar yang dimiliki bersama sebagai titik tolak. Modal dasar itu adalah empat capital ini: material capital, intellectuan capital, social capital, spiritual capital.

Dalam tulisan ini penulis menamakan material capital itu Nafsu. Penulis memberi kode untuk nafsu itu N1. Intellectual capital itu dinamakan Nalar. Kode yang diberikan ialah N2. Social capital itu dinamakan Naluri. Kode yang diberikan N3. Spiritual capital itu diberi nama oleh penulis, Nurani dan diberi kode N4.

Gambar tentang penyatuan ini ditampilkan dalam bentuk ‘kuadran’ untuk memperlihatkan kekuatan dan kelemahan dalam keterpengaruh-an keterpengaruh-antara keempat-empatnya.

N1

N4

N2

N3

Gambar 50. Kesatuan empat capital: N1=Nafsu (material capital); N2=Nalar (intellectual capital); N3=Naluri (social capital); N4=Nurani (spiritual capital)

(15)

261 Dalam kuadran ini terlihat di lajur atas dari kiri ke kanan, ada: N1=Nafsu (material capital); N2=Nalar (spititual capital) . Di lajur kiri dari atas ke bawah ada: N3=Naluri (social capital); N4=Nurani (spiritual capital).

Dalam bidang A ada pertemuan antara N1 dan N3. Ini menandakan pripadi orang itu mempunyai kekuatan yang terpadu antara pengutamaan pada Nafsu dan Naluri. Ciri orang ini secara positif menghargai benda (spiritual capital) dan suka bergaul dengan orang lain (social capital). Secara negatif pribadi ini dapat menjadi orang yang serakah dan suka memperalat sesama, kalau tidak ditopang dengan bidang B,C,D. Pengenaan pada diri pribadi dapat dianalogikan dengan satu kelompok masyarakat lokal, nasional maupun internasional.

Dalam bidang B ada pertemuan antara N2 dan N3. Ini menandakan pribadi orang itu mempunyai kekuatan yang terpadu antara pengutamaan Nalar/N2 (Intellectual Capital) dan N/Naluri (Social Capital). Secara positif orang ini memakai nalarnya (intelectual capital) untuk mempengaruhi orang lain (social capital) untuk suatu kegiatan

A N1 + N3

D N4 + N2 B N2 + N3

C N1 + N4

N1

N3

N4

N2

Gambar 51. Kuadran CN (Capital N)

N1=Nafsu (material capital); N2=Nalar (intellectual capital); N3=Naluri (social capital); N4=Nurani (spiritual capital)

(16)

262

yang positif pula. Misalnya dalam urusan politik, orang ini mempunyai pengaruh yang baik untuk kepentingan umum. Tetapi secara negatif, orang ini dapat menjadi pembohong besar yang cerdik untuk memperdaya orang banyak demi kepentingan yang jahat. Hal negatif ini terjadi kalau bidang A, C dan D diabaikan.

Dalam bidang C ada pertemuan antara N1 dan N4. Ini menandakan pribadi orang itu mempunyai kekuatan yang terpadu antara pengutamaan Nafsu/N1 (Material Capital) dan N4 /Nurani (Spiritual Capital). Secara positif orang ini memakai nafsunya (material capital) untuk memenuhi kebutuhan hidup secara maksimal dengan memperhatikan nurani (spititual capital). Para tokoh agama yang alim masuk dalam kategori ini. Secara negatif, orang ini menjadi rakus dan tamak sambil memakai nurani yang diberangus untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dalam posisi itu.

Dalam bidang D ada pertemuan antara N4 dan N2. Ini menandakan pribadi orang itu mempunyai kekuatan yang terpadu antara pengutamaan N4 /Nurani (Spiritual Capital) dan N2/Nalar (Intellectual Capital). Secara positif orang ini memakai N4 /Nurani (Spiritual Capital) untuk menggulati Nalar/N2 (Intellectual Capital) sehingga dirinya menjadi rohaniwan sekaligus ilmuwan atau sebaliknya. Secara positif orang ini sangat mempengaruhi pola pikir dan pola tindak masyarakat di sekitarnya. Secara negatif, orang ini bisa membuat skandal yang besar kalau dengan kemampuannya di bidang rohani dan ilmu untuk merusakkan watak orang lain.

Keadaan yang ideal adalah pengutamaan salah satu bidang sambil memakai pula bidang yang lain sebagai penyeimbang, penyaring dan penyatu. Pribadi utuh terpadu adalah pribadi yang unggul di salah satu ‘bidang’ sambil tidak mengabaikan ‘bidang’ yang lain,

Dengan kuadran ‘capital N’ ini pribadi atau masyarakat dapat diukur sejauh mana seseorang atau sekelompok orang itu mengabaikan atau merangkum dalam dirinya secara utuh terpadu empat capital secara bersama.

KEPINCANGAN DALAM PEMBANGUNAN

(17)

263 bencana peperangan antar kelompok (Timor Portugis/Fretelin dan Timor Indonesia). Masyarakat kehilangan simbol-simbol yang begitu kuat terungkap dalam deu hoto. Fungsi deu hoto sebagai tempat pemersatu suku merupakan pemunculan dari material capital. Segala simbol yang ada dalam deu hoto merupakan unsur intellectual capital suku Buna’. Deu hoto sebagai simbol pemersatu merupakan unsur social capital dan deu hoto sebagai tempat upacara keagamaan merupakan pemunculan spiritual capital masyarakat suku Buna’. Kesatuan empat capital itu melemah karena masyarakat dalam keterpaksaan mendirikan rumah-rumah yang hanya menjadi simbol dari simbol yang asli. Deu hoto yang asli hanya kenangan, deu hoto yang sekarang hanya bayangan. Jati diri masyarakat menjadi hambar, mengambang dan kehilangan arah.

Pembangunan yang terjadi sekarang ini di DHL banyak kepincangannya karena pembangunan tidak lagi dilaksanakan dalam keterpaduan antara empat capital. Sistim perladangan dilihat secara ekonomis melulu sehingga pelestarian alam perladangan ditinggalkan. Sumber air menjadi kering karena alam sekitar tidak dipelihara atas keterpaduan empat capital. Penebangan pohon-pohon di sumber air hanya dirasakan sebagai kesalahan di mata hukum sipil tetapi tidak disadari lagi sebagai kesalahan adat (intellectual dan social capital) dan lebih lagi tidak disadari sebagai kesalahan terhadap spiritual capital karena hutan sudah dicopot dari ke-sakral-annya. Ini yang oleh Danah Zohar dinamakan ‘despiritisasi’.

(18)

264

capital tetap ada untuk memperbaiki perilaku mereka. Spiritual capital mendorong manusia, memotivasi manusia dan menarik manusia dengan visi yang luhur untuk menjadi manusia yang baik. Ungkapan yang dipakai oleh Danah Zohar, “Spiritual capital adalah lem yang merekatkan kita semua. Spiritual capital memberi kita kerangka moral dan motivasi, sebuah etos, sebuah ruh (spirit)” (Danah Zohar, 2004: 16). Selanjutnya Danah Zohar menyatakan, “Spiritual capital adalah modal yang merefleksikan berbagai nilai bersama, visi bersama, dan tujan mendasar kita dalam kehidupan” (Danah Zohar, 2004: 38). Sebagai pemunculan spiritual capital Danah Zohar juga menegaskan, “Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang kita gunakan untuk membuat kebaikan, kebenaran dan keindahan, dan kasih sayang dalam hidup kita” (Danah Zohar, 2004: 41).

AKAR KEPINCANGAN

DALAM PEMBANGUNAN

“Manusia modern selaku apa pun dan di mana pun diingatkan supaya tetap bertanggungjawab moral atas perbuatannya. Adalah wajar jika setiap orang berusaha berperan dalam kehidupan bersama” (Daoed Yoesoef, Kompas 18 Juli 2011). Apa yang terjadi di Inonesia? Ada gambaran yang suram yang diungkapkan oleh Daoed Yoesoef. “Tingkah laku politisi yang saling menuduh dan mencerca, sikap para birokrat yang acuh tak acuh, ulah para pebisnis yang serba asosial dan antilingkungan, serta kebijakan pemerintah yang tidak merakyat dan membingungkan menunjukkan betapa tanggungjawab moral memudar”. Keadaan masyarakat yang sedang mengeluh tentang pembangnan di Indonesia diungkapkan oleh Kartini Kartono, “Di Indonesia, korupsi berkembang subur di segala bidang pemerintahan dan sektor kehidupan” (Kartini Kartono 2001: 116).

(19)

265 Dalam kuadran capital N yang ditampilkan pada gambar 7, terlihat bahwa Bidang A yang ditempati oleh N3 (Naluri/Social Capital) dan N1 (Nafsu/Material Capital). Bidang A menjadi begitu besar sehingga bidang B, C dan D menjadi kecil. Orang-orang yang berada pada posisi sebagai politisi, pebisnis menduduki bidang A ini yang berurusan dengan ‘materi’ (Material Capital / N1) dan ‘kemasyarakatan’ (Social Capital / N3). Kalau mereka menangani bidang A ini secara tepat dan baik, maka tidak akan ada kepincangan yang muncul dalam kekecewaan dan kerugian yang diderita oleh masyarakat. Kalau ada keluhan tentang pembangunan di Indonesia sekaang ini, maka sudah terjadi kepincangan dalam pengurusan ‘materi’ dan ‘masyarakat’.

Gejala itu terlihat dalam mengecilnya bidang B (N2 + N3) yaitu nalar dan naluri. Dengan kata lain, para penanggungjawab pembangun-an itu mengabaikpembangun-an nalar dpembangun-an naluri, kurpembangun-ang membuat perhitungpembangun-an yang matang dan kurang mempertenggangkan kepentingan masyarakat. Ini kesalahan fatal. Hasil pembangunan menjadi tidak bermanfaat dan masyarakat tidak disejahterakan dengan pembangunan itu. Bidang C (N1 + N4), Nafsu dan Nurani diabaikan dalam arti penguasaan benda itu

N4 N3

N2 N1

A N3 + N1

B N2 +

N3

C N4 + N1

D N4 +

N2

(20)

266

tidak diimbangan dengan pertimbangan nurani sehingga kesewenang-wenangan telah terjadi. Akibatnya hal-hal yang mendasar seperti hak orang dilecehkan. Bidang D (N2 + N4), Nalar dan Nurani diabaikan. Pertimbangan akal sehat, perhitungan ilmu pengetahuan dan teknologi diabaikan dan hati nurani tidak didengarkan sehingga kepincangan pembangunan terjadi. Contoh konkrit, kasus Lapindo bisa dianalisa dengan alat kuadran Capital N ini.

Jadi yang diharapkan dalam pembangunan itu adalah keseimbangan antara empat bidang itu di mana empat capital itu dijadikan modal yang dipakai secara seimbang.

Dalam hal hidup beragama pun diharapkan empat capital itu didaya-gunakan secara seimbang, utuh terpadu. Penyebaran agama secara menggebu-gebu menandakan semangat membara para penganutnya. Penyebaran yang santun selalu dapat diterima dengan baik oleh semua pihak, baik internal agama sendiri maupun pihak eksternal dari agama yang bersangkutan. Penyebaran agama ini dapat diukur dengan Kuadran CN (C-Quadrant).

Idealnya bahwa bidang D ini harus sama luas dan seimbang dengan bidang A (N1 + N3) dan bidang B (N2 + N3) dan bidang C (N1 + N4). Tetapi kalau tidak wajar, maka digambarkan dalam Kuadran CN seperti dalam gambar 53.

N1

A N1 + N3

B N3 + N2 C

N1 + N4

D N2 + N4 N4

N3

(21)

267 Pembangunan di bidang agama termasuk penyebaran dan pendirian rumah ibadat di mana-mana digambarkan dalam Kuadran CN, masuk di bidang D, di mana ada pertemuan antara N4 dan N2. Itu berarti ada pertemuan antara pengembangan N4 (spiritual capital) dan N2 (intellectual capital). Secara positif dapat digambarkan bahwa orang-orang yang mempunyai kerohanian yang dalam (N4) dan pengetahuan yang luas (N2) merancang dan melaksanakan penyebaran agama. Ini terpampang dalam bidang D.

(22)

268

pembentukan perkembangan empat capital ini dalam diri pribadi dan masyarakat. Pengetrapan empat capital ini pun bisa berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Yang diharapkan terjadi ialah empat capital ini dikembangkan dan ditrapkan secara seibang sesuai norma yang umum berlaku.

Untuk mudahnya daftar nilai-nilai ini disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 Daftar nilai-nilai

No. Material capital Intellectual capital

Social capital Spiritual capital

ketabahan saling percaya ada harapan

3 menyatu dengan

4 memelihara alam ketaatan penghargaan

kepada sesama

rendah hati

5 memelihara

tanaman

keberanian gotong-royong takut buat kesalahan

6 hargai makanan keuletan saling

membantu

hidup jujur

7 hargai pakaian kecerdasan keakraban murah hati

Sumber: Hasil wawancara dengan tokoh-tokoh masyakat suku Buna’ di DHL.

(23)

269 Jadi penghayatan nilai-nilai dari empat capital ini tidak terbatas pada suku, agama atau golongan. Oleh karena itulah melalui penemuan ini kehidupan masyarakat manusia seharusnya kembali penghayatan nilai-nilai yang umum ini agar tidak terjadi benturan-benturan dalam pertemuan budaya dan agama. Di sinilah letaknya tempat spiritual capital yang bukan religious capital. Spiritual capital bersama tiga capital yang lain merupakan satu kesatuan yang dapat terungkap dalam budaya mana pun saja sejauh budaya itu memanusiakan dan memanusiawikan manusia.

KESIMPULAN

Masyarakat suku Buna’ di DHL hanyalah satu kelompok manusia yang dapat mewakili masyarakat yang lebih luas entah itu di tingkat regional, nasional malah bisa mewakili masyarakat mondial. Penghargaan manusia terhadap alam sudah sangat menipis. Pengurasan dan pengrusakan alam yang termasuk dalam material capital sudah sangat memprihatinkan. Pembangunan berkelanjutan sekarang ini hanya tinggal slogan. Ketahanan pangan, ketahanan lingkungan hidup semakin terancam. Arus de-sakralisasi dan profanisasi dianggap sebagai keunggulan manusia post-modern ini yang mengandalkan kehebatan dalam penemuan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang serba canggih. Namun sudah sering terbukti bahwa segala macam teknologi itu tak berdaya sedikitpun dalam kasus-kasus bencana alam. Itu tanda yang jelas bahwa manusia tidak dapat menggarap sesuka hati alam ini.

(24)

270

Jejaring sosial yang terbentuk sekarang ini di seantero dunia sudah menghapus batas-batas alam dan suku bangsa. Ini adalah hasil dari pendayagunaan social capital dalam diri manusia baik perorangan maupun masyarakat. Sejauh korporasi itu diadakan dan bergiat untuk kesejahteraan umat manusia, maka patut diterima dengan segenap hati. Tetapi apa yang terjadi? Negara-negara kaya semakin kaya dan negara-negara miskin semakin miskin merupakan kenyataan yang memilukan sebagai hasil dari social capital yang didayagunakan tanpa ada kaitan yang erat dengan capital-capital yang lain seperti material capital, intellectual capital dan terlebih spiritual capital.

Penolakan terhadap agama oleh cukup banyak orang sekarang ini dianggap sebagai suatu krisis yang hebat dalam kehidupan beragama. Sebenarnya ini bukanlah krisis yang paling besar. Dunia ditimpa malapetaka saat ini karena terutama oleh pengingkaran atas kesadaran spiritual capital dalam diri manusia itu sendiri. Nilai-nilai percaya pada yang ilahi, adanya harapan, kasih sayang pada sesama, hidup suci, takut buat kesalahan, hidup jujur, murah hati dan rendah hati ada dalam spiritual capital itu. Nilai-nilai inilah yang diabaikan sehingga manusia menggarap alam (material capital) sesuka hati, memakai iptek hasil intellectual capital tanpa ada rasa tanggung-jawab dan bersekongkol (social capital) untuk membangun kekuatan sosial, politik dan ekonomi serta kekuatan persenjataan untuk saling menghancurkan antar kelompok, suku dan bangsa.

Gambar

Gambar  47.  Kuadran CN.  Perpaduan antara empat capital
Gambar 48.   Kuadran CN: pembangunan yang mengabaikan spiritual
Gambar 49.  Kuadran CN (Capital N)
Gambar tentang penyatuan ini ditampilkan dalam bentuk ‘kuadran’ untuk memperlihatkan kekuatan dan kelemahan dalam keterpengaruh-an antara keempat-empatnya
+4

Referensi

Dokumen terkait

Untuk dapat menghubungkan antara koleksi – koleksi atau sumber informasi tersebut kepada pemustaka yang membutuhkan informasi, maka perlu adanya seorang yang tidak

yang ada di Kabupaten Grobogan maka PT RNI kemu- dian mendirikan sebuah pabrik pengolahan jarak pagar yang berlokasi di Desa Tanjungharjo Kecamatan Ngaringan

Metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode kuesioner, yaitu dengan cara membagikan angket mengenai pengaruh

Tipe masyarakat (apakah mandiri atau tergantung) sangat ditentukan oleh kelas yang mendominasi, kalau birokrasi yang menguasai / mendominasi tidak berorientasi ke publik, maka

Khusus untuk Asphalt Mixing Plant (AMP), diwajibkan membawa sertifikat asli atau jika sedang dalam proses sertifikasi, harus membawa Surat Keterangan dalam proses sertifikasi dan

[r]

[r]

ZOFYAN HARLOKI, S-Pt YASIRLI, S.IP, MM. DONI H-ELMIYADI,