• Tidak ada hasil yang ditemukan

Character of Education in Pesantren Perspective: Study Of Various Methods of Educational Character at Pesantren In Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Character of Education in Pesantren Perspective: Study Of Various Methods of Educational Character at Pesantren In Indonesia"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

E-ISSN 2502-3047 P-ISSN 1411-9919

Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman

www.ejournal.iai-tribakti.ac.id/index.php/tribakti Permanent link for this document : https://doi.org/10.33367/tribakti.v30i2.823

Character of Education in Pesantren Perspective:

Study Of Various Methods of Educational Character at Pesantren In Indonesia Zaenal Arifin1, Moh. Turmudi2

1Institut Agama Islam Tribakti Kediri, 2Institut Agama Islam Tribakti Kediri 1zae.may13@gmail.com, 2moh.turmudi59@gmail.com

Abstract

This article is the result of study focused on discussing the various of educational character methods in Indonesian pesantren. Where judging from the history of the pesantren is actually an educational institution that has holistic and integrative potential. During this time pesantren have played a strategic role in planting character values in society. This character can be seen from the tradition of Islamic education in pesantren which is prioritizes processes rather than the results. Trust in baraka for pesantren is alleged to be a pioneer of planting character values. But so far, character education that was developed in formal schools by the Indonesian government, in fact, did not involve the pesantren and or did not pay much attentions to the results of research concerning character education in pesantren in particular and the tradition of boarding education in general. So that research becomes very urgent to continue to exploring the potential of pesantren in terms of planting character values continuously. The results of this study indicate that there are four variants of the method of character education in pesantren, namely; hidden curriculum, habituation, ta’zir tradition (punishment), real life, exemplary, application of religious culture, and barakah is indicated as psychologycal reward.

Key Word: Character of Education, Pesantren Perspective, Various Methods

of Educational Character

Abstrak

Artikel ini merupakan hasil penelitian yang difokuskan untuk membahas tentang varian metode pendidikan karakter di Pondok Pesantren yang ada di Indonesia. Dimana, dilihat dari sejarahnya pesantren sejatinya merupakan lembaga pendi-dikan yang memiliki potensi holistik dan integratif. Selama ini pesantren telah memainkan peran strategis dalam penanaman nilai-nilai karakter dalam masyarakat. Karakter tersebut dapat dilihat dari tradisi pendidikan Islam di pesantren yang mengedepankan proses ketimbang hasil. Kepercayaan terhadap barokah bagi kalangan pesantren disinyalir menjadi pioner dari penanaman nilai-nilai karakter. Namun sejauh ini, pendidikan karakter yang dikembangkan di sekolah formal oleh pemerintah Indonesia, justru tidak melibatkan pihak pesantren dan atau tidak begitu memperhatikan hasil-hasil penelitian yang mengenai pendidikan karakter di pesantren pada khususnya dan tradisi pendidikan pesantren pada umumnya. Sehingga penelitian menjadi sangat urgen untuk terus menggali potensi pesantren dalam hal penanaman nilai-nilai karakter secara terus menerus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat empat varian metode pendidikan

(2)

Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman karakter di pesantren, yaitu; hidden curriculum, habbituation, tradisi ta’zir (punishment), keteladanan, penerapan budaya religius, dan sistem barakah.

Kata Kunci: Pendidikan Karakter, Perspektif Pesantren, Varian Metode Pendidikan Karakter

Pendahuluan

Hasil studi di Indonesia tentang pendidikan karakter menyatakan bahwa implementasi pendidikan karakter di Indonesia merupakan sebuah keharusan1 sebagai langkah untuk membangun manusia yang memiliki kepribadian sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia, yaitu manusia yang terbangun seutuhnya yang memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan, serta memiliki akhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan bertanggung jawab.2 Kemudian oleh Badan Penelitian dan Pengembangan, Pusat Kurikulum Kementrian Pendidikan Nasional pada tahun 2010 mengidentifikasi setidaknya ada 18 karakter yang harus dimplementasikan dalam pendidikan Nasional. Menurut analisis Zubaidi dalam bukunya yang berjudul “Desain Pendidikan Karakter;

Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan” menyatakan bahwa karakter

tersesun atas tiga bagian, yaitu; moral knowing, moral feeling, dan moral behaviour yang saling berhubungan.3

Pada tataran aplikasinya, pesantren sebagai lembaga pendidikan moral dan dakwah4 semestinya dilibatkan. Hal ini tidak terlepas dari kiprah peran pesantren dengan keikutsertaannya dalam meperjuangkan kemerdekaan dan membangun bangsa. Bahkan pesantren juga memiliki kontribusi besar dalam meperjuangkan kemerdekaan, terutama peristiwa 10 November 1945 yang sampai saat ini diperingati sebagai hari pahlawan. Dalam peristiwa tersebut, tidak hanya pesantren yang ada di Jawa Timur, namun juga pesantren dari wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat (Cirebon), dimana dalam peristiwa tersebut KH. Hasyim Asyari mengeluarkan Fatwa yang dikenal dengan nama Resolusi Jihad.

Selain itu, perkembangan pendidikan Islam di Indonesia juga tidak pernah lepas dari peran pondok pesantren. Menurut Mudjia Rahardjo, menilik sejarah pertumbuhan dan perkembangan pendidikan di Indonesia, pesantren telah menjadi semacam local

genius. Pesantren telah jauh dianggap sebagai model lembaga pendidikan Islam yang

mempunyai banyak keunggulan baik pada sisi tradisi keilmuan maupun pada sisi transmisi serta internalisasi nilai-nilai Islam. Selain itu, pesantren juga dianggap lebih dekat dan lebih memahami seluk-beluk masyarakat yang berada di lapisan bawah jika dilihat dari dari perspektif people centered development.5 Inilah yang perlu

1 Gede Raka dkk., Pendidikan Karakter Di Sekolah; Dari Gagasan Ke Tindakan (Jakarta: Elex

Media, 2002).

2 UU Sisdiknas No. 20, tahun 2003. Tentang tujuan pendidikan nasional.

3 Zubaidi, Desain Pendidikan Karakter; Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan

(Jakarta: Media Kencana, 2011).

4 Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi (Jakarta:

Erlangga, 2005).

5 Mudjia Rahardjo, ed., Quo Vadis Pendidikan Islam: Membaca Realitas Pendidikan Islam, Sosial dan Keagamaan (Malang: UIN-Malang Press, 2006).

(3)

Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman

bawahi bahwa ternyata pesantren telah menjadi bagian yang tak bias dipisahkan dari proses pembentukan identitas dan budaya bangsa Indonesia

Sementara itu, Menurut Muhaimin, dalam perspektif hubungan pesantren dengan masyarakat, stidaknya ada keuntungan pragmatis yang dimunculkan oleh pesantren, yaitu dimensi kultural, dimensi edukasi dan dimensi sosial.6 Dimensi kultural, pesantren merupakan subkultur7 yang berbeda dengan masyarakat diluar pesantren. Pola kehidupan dipesantren dipenuhi dengan nilai-nilai kesederhanaan, kekeluargaan, dan religius, akan berdampak pada pola kehidupan masyarakat yang ada disekitarnya. Dimensi edukasi yang dicerminkan pesantren merupkan salah satu institusi pendidikan yang mampu menghasilkan peminpin agama di masyarakat yang piawai dalam praktik keagamaan Islam, sehingga mampu memberikan pengayoman dan jawaban dari persoalan keagamaan yang dihadapi oleh masyarakat. Sementara dimensi sosial yang diberikan pesantren adalah bahwa keberadaan pesantren menjadi pusat pembelajaran bagi masyarakat, sehingga masyarakat memiliki gaya hidup yang mencerminkan kesederhanaan.

Keterlibatan pesantren dalam pembentukan karakter bangsa Indonesia selama ini tidak dapat dikesampingkan lagi. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia hadir sebagai jawaban atas kegelisahan bangsa tentang perlunya penanaman karakter bangsa yang mencerminkan falsafah bangsa. Pesantren bukanlah lembaga pendidikan Islam yang mencetak generasi cerdas secara intelektual namun minim karakter. Bagi pesantren, kesalehan intelektual itu penting, tetapi lebih penting lagi adalah kesalihan sosial (akhlak). Hal ini dikarenakan tradisi pendidikan pesantren yang menganut faham theosentris, di mana menurut pandangan ini manusia dilahirkan berdasarkan fitrahnya, yaitu fitrah ketuhanan, dan hurus kembali kepada sang penciptanya dalam keadaan fitrah pula. Sehingga untuk mencapai fitrah tersebut tujuan pendidikan pesantren ditujukan pada penanaman nilai-nilai spiritualitas, moralitas, dan karakter mulia pada diri santri. Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan pendidikan model sekolah yang lebih berorientasi pada penguatan aspek kognitif.

Penerbitan Peraturan Presiden (PP) Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) pada tanggal 7 september 2017 meneguhkan semangat pentingnya penenaman karakter di semua lembaga pendidikan. Namun, semangat ini harus diejahwentahkan dalam bentuk mensinergikan dan mengintegrasikan melalui tiga jalur pendidikan, yakni intrakurikuler, kokurikuler dan ekstrakulikuler.8 Sehingga sebagai respon atas penerbitan peraturan tersebut,9 banyak lembaga pendidikan yang mengintegrasikan sistem pendidikan sekolah dan atau pendidikan tinggi dengan sistem pendidikan pesantren.

6 Muhaimin, “Pesantren Dalam Bingkai Mutu Pendidikan Global: Meretas Mutu Pendidikan

Pesantren Masa Depan”, dalam Umiarso dan Nur Zazin. Pesantren di Tengah Arus Mutu Pendidikan

Menjawab Problematika Kontemporer Manajemen Mutu Pesantren. Semarang: Rasail Media Grup. xix. 7 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi (Yogyakarta: L-Kis, 2001).

8 “Pesantren Benteng Pendidikan Karakter,” diakses 17 September 2018,

https://nasional.sindonews.com/read/1250775/18/pesantren-benteng-pendidikan-karakter-1508720032.

9 Meskipun sebenarnya telah dilakukan oleh beberapa perguruan tinggi dan sekolah sebelum

terbitnya peraturan tersebut. Seperti UIN Malang dengan konsep Ma’had, dan IAIN Tulung Agung dengan konsep Ma’had al Jam’iah (Kampus Pesantren).

(4)

Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman Kemunculan beberapa perguruan tinggi dan sekolah yang menitegrasikan sistem pendidikannya dengan pesantren merupakan bukti bahwa pesantren telah menjadi model yang idela dalam hal penanaman nilai-nilai karakter yang mencerminkan falsafah pancasila. Sehingga diperlukan kajian yang mengenai model-model pendidikan karakter yang ada di pesantren agar perguruan tinggi maupun sekolah yang hendak mengintegrasikan sistem pendidikannya dengan pesantren tidak terkesan asal terintegrasi dan mencerabut pesantren dari akar kepesantrenannya.

Metode

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan jenis library research. Data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data-data dari hasil penelitian terdahulu yang relevan. Sementara teknik analisis data yang digunakan adalah teknik content analysis dengan langkahlangkah sebagai berikut; pertama, mencatat data dari hasil-hasil penelitian sebelumnya mengenai metode pendidikan karakter di pesantren yang telah diterbitkan dalam jurnal penelitian. Kedua, mamadukan semua temuan penelitian terdahulu, baik teori, metodologi, mapun hasil temuan. Ketiga, membandingkan masing-masing hasil temuan satu dengan yang lainnya dengan cara mengidentifikasi persamaan dan perbedaan temuan. Dan keempat, memberi kritik atas masing-masing temuan dengan kerangka teori yang penulis tawarkan pada sub bab seselumnya.

Pembahasan

Konsepsi Pendidikan Karakter

Sebelum membahas tentang varian model pendidikan karakter di pesantren, tentu terlebih dahulu kita membahas mengenai konsepsi pendidikan karakter secara umum. Hal ini penting dikarenakan tradisi pendidikan Islam di pesantren tidak mengenal istilah pendidikan karakter. Ditambah lagi hampir seluruh peneliti pendidikan karakter di pesantren selalu menjadikan konsepsi pendidikan karakter Thomas Lickona sebagai landasan teoritiknya.

Merujuk pada konsepsi karakter menurut Thomas Lickona dalam bukunya yang berjudul “Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and

Responsibility” menyebutkan karakter sebagai “A reliable inner disposition to respond to situations in a morally good way.” (Disposisi batin yang dapat diandalkan untuk

menanggapi situasi dengan cara yang baik secara moral). Selanjutnya Lickona menambahkan, “Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing,

moral feeling, and moral behavior”.10 Menurut Lickona orang atau individu yang

memiliki karakter baik memiliki tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing

the good), mencintai kebaikan (desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the

good).11 Dengan kata lain, karakter mengacu kepada serangkaian pengetahuan

(cognitives), sikap (attitides), dan motivasi (motivations), serta perilaku (behaviors) dan keterampilan (skills).

10 Thomas Lickona, Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility (New York, Toronto, London, Sydney, Aucland: Bantam books, 1991). h. 51

(5)

Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman

Sementara menurut Suyanto karakter adalah cara berfikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas individu untuk hidup dan bekerjasama baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Lebih lanjut Suyanto menyatakan bahwa individu yang memiliki karakter baik adalah individu yang dapat membuat keputuan dan dapat bertanggungjawab atas dampak yang ditimbulkan dari apa yang diputuskannya.12 Lain halnya dengan definisi yang dikemukakan oleh Koesoema, menurutnya karakter adalah kepribadian, perilaku, sifat, tabi’at atau watak. Dengan makna yang diberikan Koesoema ini berarti karakter identik dengan kepribadian atau akhlak. Kepribadian merupakan ciri atau karakteristik atau sifat yang khas dari diri individu dibentuk dari lingkungan dan juga bawaan sejak lahir.13

Definisi yang hampir sama diberikan oleh Scerenko,14 menurutnya karakter merupakan atribut atau ciri-ciri yang membentuk dan membedakan ciri pribadi, etis, kompleksitas mental seseorang dengan orang lain. Dengan demikian karakter adalah perilaku khas yang dimiliki individu yang membedakannya dengan individu lain dan telah menjadi kebiasaan. Setiap individu memiliki kualitas karakter yang berbeda dengan individu lainnya.

Sejalan dengan beberapa definisi di atas, tujuan pendidikan Nasional yang tercantum dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional pasal 3 yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional bertujuan dan berfungsi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki individu dan membentuk karakter individu agar memiliki keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat jasamani dan rohani, berilmu, terampil, kreatif, mandiri, dan bertanggung jawab, serta dapat menjadi warga Negara yang demokratis.

Sehingga untuk mewujudkan tujuan pendidikan Nasional tersebut, maka keterlibatan seluruh komponen institusi pendidikan (keluarga, masyarakat, dan sekolah) sangat dibutuhkan. Pendidikan karakter merupakan sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kecintaan, serta membiasakan untuk bertindak dan melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter sejatinya merupakan upaya membiasakan warga sekolah untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai tertentu melaui proses knowing, feelling and loving, dan doing.

Konsepsi Karakter Perspektif Pesantren

Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa sebenarnya tradisi pendidikan pesantren tidak mengenal istilah karakter. Di dalam tradisi pendidikan pesantren, istilah yang dikenal untuk menyebutkan sikap dan kepribadian seseorang adalah istilah akhlak dan adab. Hal ini merujuk pada buku atau kitab mengenai bagaimana seseorang berperilaku yang diajarkan di pesantren. Kitab tersebut diantaranya; Riyadlah as Shibyan karangan Imam Muhammad bin Ahmad al-Ramli dan Abdul Aziz Ahmad, al Akhlak li al

12 Ifdil, “Urgensi Pendidikan Karakter,” diakses 3 Oktober 2018,

http://www.konselingindonesia.com/read/307/urgensi-pendidikan-karakter.html.

13 Doni Koesoema Albertus, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zama n Global. Jakarta: Grasindo. Cet. I., Cet. I (Jakarta: Grasindo, 2007).

14 Dalam Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter (Bandung: PT.

(6)

Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman

Banien karangan Umar Ibnu Barja’, at Ta’lim al Muta’alim karangan Imam al Zarnuji,

Adabul ‘alim wal Muta’alim karya KH. Hasyim Asy’ary, dan kitab Bidayah al Hidayah karangan

Imam Al Ghazali. Semua kitab ini menyebutkan akhlak dan adab sebagai istilah yang menunjukkan pada sikap dan prilaku manusia.

Istilah akhlak dan adab dalam tradisi bahasa Arab memiliki arti yang berbeda meskipun keduanya ditujukan pada perilaku manusia. Dalam bahasa Arab, kata ‘akhlak’ merupakan bentuk jamak dari asal kata khulq, yang secara bahasa memiliki arti kebiasaan, prilaku, sifat dasar dan perangai.15 Dari kata akhlak ini dapat dilihat bahwa ia merupakan sifat dasar yang dimiliki oleh individu manusia. Selain itu, dalam Mu’jam Lisan Al-Arab akhlak juga diartikan sebagai agama.16 Hal ini dikarenakan di dalamnya terdapat perintah, larangan, serta arahan untuk memperbaiki seorang individu.

Membahas mengenai akhlak dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari konsep yang diberikan oleh Imam Al-Ghazali, menurut beliau kata khuluq dan khalqu merupakan dua sifat yang dapat dipakai secara bersamaan. Kata khalqu digunakan untuk bentuk lahir, sedangkan kata khuluq digunakan untuk bentuk batin yang merujuk pada unsur manusia yang terdiri dari unsur jasad (bashar) dan unsur ruh atau nafs (bashiah).17 Menurut al Ghazali, akhlak merupakan upaya untuk menggabungkan diri individu dengan situasi jiwa yang siap menimbulkan perbuatan atau perilaku. Situasi tersebut melekat sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan dalam berbuat.18 Senada dengan konsepsi yang diberikan al Ghazali, menurut menurut Muhammad Bin Ali Asy Syariif Al Jurjani dalam bukunya ‘at Ta’rifat’ mendifinisikan akhlak sebagai sesuatu yang sifatnya tertanam kuat dalam diri manusia yang darinya lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah dan ringan tanpa berpikir dan direnungkan.19

Ibnu Miskawaih juga mendifinisikan akhlak seperti kedua tokoh di atas, menurut beliau akhlak adalah ‘hal li an-nafsi daa’iyatu an-lahaa ila af’aaliha min ghairi fikrin

walaa ruwiyatin’, yaitu sifat yang tertanam dalam jiwa seseorang yang mendorongnya

untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan sebelumnya.20

Sementara itu, istilah adab dalam bahasa Arab berasal dari kata addaba dalam yang memiliki arti sastra, sementara dalam tradisi Islam pada masa kejayaannya kata adab digunakan secara umum yang menunjuk pada semua pengetahuan yang berasal dari akal. Kemudian penggunaan kata adab menyempit pada arti ‘mendidik orang agar memiliki budi pekerti yang baik, berakhlak dan disiplin.21 Istilah adab ini dibahas oleh Syed

Muhammad Naquib al-Attas secara rinci. Menurut beliau kata adab memiliki arti

15 Louis Ma’aruf, Mu’jam Al-Munjid (Mesir: t.p, 1988). 194

16 Imam Ibnu Hamid Bin Muhammad Bin Muhammad Al Ghazali, Ihya ’Ulumuddin (Lebanon:

Bairut, 2005). h. 86

17 Al Ghazali. h. 49

18 Yoke Suryadarma dan Ahmad Hifdzil Haq, “Pendidikan Akhlak Menurut Imam Al-Ghazali,” Jurnal At-Ta’dib, 2, 10 (Desember 2015): 21.

19 Endang Sumantry, “Pendidikan Umum,” dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, 2 ed., Bagian 4

(Gresindo, 2007). h. 256.

20 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1996). h. 3.

21 Dedeng Rosidin, Akar-akar Pendidikan dalam al-Quran dan al-Hadits (Bandung: Pustaka Umat,

(7)

Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman

mendidik atau pendidikan.22 Lebih lanjut beliau mendifinisikan adab sebagai pengenalan

dan pengakuan ditanam kedalam diri manusia secara berangsur-angsur tentang menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya berdasarkan penciptaanya, sehingga dapat membimbing manusia kearah pengenalan dan pengakuan terhadap Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan keperiadaan.23

Varian Metode Pendidikan Karakrter di Pesantren 1. Hidden Kurikulum

Hidden curriculum merupakan istilah yang ditujukan pada semua hal yang

dipelajari oleh seorang siswa/murid disekolah yang tidak tertulis secara jelas dalam program sekolah. Kurikulum ini terdapat dalam interaksi yang dilakukan oleh warga sekolah baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Istilah kurikulum hidden ini pertama kali dikenalkan oleh Philip Jackson dalam bukunya yang berjudul “Lif in

Classrooms”. Melalui pengamatannya terhadap ruang sekolah, Jackson

mengidentifikasi fitur kehidupan kelas yang melekat dalam hubungan sosial di sekolah yang meliputi nilai-nilai, disposisi, harapan sosial dan prilaku siswa.24

Dalam konteks pesantren, hidden curriculum terdapat dalam semua aktifitas santri di pesantren, mulai bangun tidur hingga tidur kembali.25 Interaksi sosial yang dibangun dalam penanaman nilai-nilai karakter dalam bentuk hidden curriculum dikategorikan kedalam, generalisai, modeling, examplication dan imbalan serta hukuman (ta’zir).26

Melalui hidden curriculum ini lembaga pendidikan pesantren salaf maupun modern sebenarnya telah dan sedang menanamkan nilai-nilai karakter luhur yang dipercayai oleh pesantren. Sesuai dengan perspektif pesantren bahwa karakter dikenal dengan istilah akhlak dan etika, maka dalam perspektif pesantren nilai-nilai karakter yang ditanamkan meliputi; akhlak dan etika berinteraksi dengan guru/ustadz, akhlak dan etika berinteraksi dengan sesama santri, akhlak dan etika berinteraksi dengan orang lebih tua (baik umur maupun keilmuan), akhlak dan etika berinteraksi dengan orang yang lebih muda (umur maupun keilmuan), serta kahlak dan etika dalam menjalankan aktifitas sehari-hari (seperti, belajar, makan dan minum, beribadah, tidur, buang hajat, dan sebagainya).

Penanaman nilai-nilai akhlak dan etika melalui hidden curriculum di pesantren merupakan tradisi yang sebenarnya telah ada sejak pesantren itu sendiri lahir. Tradisi pembelajaran di pesantren yang menggunakan sistem full day school27 dan

asrama/pondokan memungkinkan nilai-nilai karakter terbangun dengan maksimal dan massif.

22 M. al Nuquib Al Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam (Bandung: Mizan, 1996). h. 60. 23 Al Attas. h. 61-62

24 Yaghoob Nami, Hossein Marsooli, dan Maral Ashouri, “Hidden Curriculum Effects on University

Students’ Achievement,” Elsevier Ltd, 2014.

25 Hafid Hardoyo, “Kurikulum Tersembunyi Pondok Modern Darussalam Gontor,” At-Ta’dib Vol.

4, no. No. 2 (Sya’ban H 1429).

26 Hardoyo.

27 Artinya bahwa sistem pendidikan pesantren berlangsung selama sehari penuh, sehingga

(8)

Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman

2. Pembiasaan (Habbituasi)

Masyarakat pesantren sangat mempercayai bahwa akhlak terpuji merupakan perilaku muncul karena telah terbiasa diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga dalam pembelajaran akhlak harus dibiasakan sejak masih dini sehingga materi akhlak di pesantren menjadi materi pembelajaran yang paling awal sebelum materi lain diberikan. Pembiasaan merupakan cara bagi individu untuk mencintai sesuatu (perilaku).28 Pujangga jawa menyatakan “ajining tresno jalaran

soko kulino”, bahwa munculnya cinta berasal dari kebiasaan. Hal ini sejalan dengan

yang dikatakan oleh Thomas Lickona mengenai moral feelling sebagai salah satu konsep pendidikan karakter.

Dalam dunia pesantren, pembiasaan sebagai langkah untuk membentuk karakter mulia (akhlak) terdapat dalam tatatertib yang diterbitkan oleh masing-masing pesantren. Tata tertib tersebut harus dipatuhi oleh warga pesantren dan jika melanggar maka yang individu tersebut akan mendapatkan ta’zir29 atau hukuman.

Di beberapa pesantren di Indonesia, membiasakan perilaku baik biasanya diawali dengan paksaan terlebih dahulu. Dalam tradisi pesantren disebut

oprak-oprak, yaitu mengajak atau menyuruh dengan cara memaksa bahkan terkadang

dengan memukul.30 Sekilas tradisi oprak-oprak terkesan seperti gaya militer, namun justru gaya seperti ini terkadang memang diperlukan dan sangat efektif. Tradisi ini dilaksanakan hampir di seluruh pesantren salaf di Indonesia, dan dilaksanakan oleh kiai langsung atau oleh pengurus pondok. Tradisi ini juga dilaksanakan oleh beberapa pesantren dengan tujuan untuk membiasakan diri melakukan hal-hal yang baik, seperti oprak-oprak ketika tengah malam untuk melaksanakan shalat malam dan atau istighatsah dengan harapan santri memiliki kebiasaan untuk terbangun di malam hari untuk melaksanakan shalat sunnah (tahajud).

Aktivitas yang dilaksanakan sacara berulang lama-lama akan dapat membentuk karakter dan kepribadian seseorang.31 Hal ini sejalan dengan teori Ivan

Pavlov tentang classical conditioning yang menyatakan bahwa perilaku sebuah organisme dapat dibentuk melalui pengaturan dan manipulasi lingkungan,32 dan bahwa respon terhadap rangsangan secara berulang-ulang akan mengintroduksi berbagai reflek menjadi perilaku.

3. Ta’zir (Punishment)

Term ta’zir memiliki arti akar "untuk mencegah," dan para ahli hukum berulang kali menekankan fakta itu tujuan utama dari ta'zirat adalah berfungsi

28 Fifi Nofiaturrahmah, “Metode Pendidikan Karakter di Pesantren,” Pendidikan Agama Islam Vol.

XI, no. No. 2 (Desember 2014).

29 Akan dibahas dalam bab selanjutnya.

30 Mahbub Jamaluddin, Pangeran Bersarung (Yogyakarta: L-KiS, 2005).

31 Akhmad Bakhtiar Zamzami, “Karakter Anak Usia Dini Di Lingkungan Sekitar Pondok

Pesantren,” ThufulA 4, no. 2 (Desember 2017).

32 Dale H. Schunk, Learning Theories: An Educational Perspektive, VI (Boston: Allyn & Bacon,

(9)

Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman

sebagai koreksi bagi pelaku sendiri dan pencegah untuk orang lain.33 Term ta’zir ini

di pesantren memiliki fungsi sebagai kontrol sosial melalui penegakan aturan dan tata-terbit yang berlaku. Secara umum ta’zir diimplementasikan dalam beberapa bentuk sesuai dengan level pelanggaran yang telah dilakukan oleh santri dan terkadang bersifat hirarki, yaitu; peringatan, kerja sosial, hukuman fisik, sampai pada pemecatan dari kelompok.34 Ta’zir memiliki fungi untuk memberi pelajaran kepada orang yang melanggar peraturan yang berlaku di pesantren dan mencegahnya untuk tidak mengulangi pelanggaran serupa35 dan mengubah perilaku santri agar menjadi perilaku yang baik.36

Bagi kalangan pesantren ta’zir merupakan bagian dari proses pendidikan, dan bersifat mendidik. Hal ini dikarenakan proses ta’zir yang diterapkan mengandung unsur pendidikan yang telah disepakati bersama oleh dewan penasehat pesantren.37

Prinsip ta’zir yang diterapkan pesantren harus meliputi prinsip ta'dib/pendidikan,

i'tibar ahwal an-nas (memperhatikan situasi sosial dan kondisi pelaku), dan at-tadrij

(dilaksanakan secara bertahap).38

4. Keteladanan

Islam mengajarkan pada umatnya bahwa Nabi Muhammad SAW adalah uswah

al hasanah, model perilaku yang harus ditiru oleh semua umat Islam. Dalam konteks

pesantren, kepercayaan bahwa para ulama merupakan pewaris para Nabi juga berdampak pada kepercayaan bahwa meneladani kiai dan guru sama halnya dengan meneladani Nabi.

Keteladanan sangat diperlukan dalam pendidikan, karena sifat manusia yang selalu akan meniru perilaku orang yang diidolakannya. Sejalan dengan teori belajar sosial yang dikemukakan oleh Albert Bandura menyatakan bahwa perilaku seseorang didapat dari meniru perilaku orang lain yang dilihatnya. Teori ini menekankan pada

observation learning sebagai pembelajarannya, yaitu mengamati perilaku orang lain

secara sistematis. Bandura menyatakan bahwa “People learn through observing

others’ behavior, attitudes, and outcomes of those behaviors”,39 orang belajar

melalui mengamati perilaku, sikap, dan hasil orang lain dari perilaku tersebut. Proses

observation learning tersebut berjalan melalui empat (4) tahap, yaitu; attention, retention, reproduction, dan motivation.

33 N. J. Coulson, “The State and the Individual in Islamic Law,” International & Comparative Law Quarterly 6, no. 1 (Januari 1957): 49–60, https://doi.org/10.1093/iclqaj/6.1.49.

34 Fathul Lubabin Nuqul, “Pesantren Sebagai Bengkel Moral; Optimalisasi Sumber Daya Pesantren

Untuk Menanggulangi Kenakalan Remaja,” PsikoIslamika Vol. 5, no. Nomor 2 (Juli 2008).

35 Lailatus Saidah, “Tradisi Ta’ziran Di Pondok Pesantren Raudlatul Muta’allimin Desa

Datinawong, Kecamatan Babat, Kabupaten Lamongan- Jawa Timur,” AntroUnairdotNet Vol. V, no. No. 2 (Juli 2016): 14.

36 Samsul Arifin, “Konseling Indigenius Berbasis Pesantren; Teknik Pengubah Tingkah Laku

Kalangan Pesantren,” Jurnal Lisan Al-Hal 5, no. 1 (Juni 2013).

37 Saidah, “Tradisi Ta’ziran Di Pondok Pesantren Raudlatul Muta’allimin Desa Datinawong,

Kecamatan Babat, Kabupaten Lamongan- Jawa Timur.”

38 Arifin, “Konseling Indigenius Berbasis Pesantren; Teknik Pengubah Tingkah Laku Kalangan

Pesantren.”

(10)

Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman Figur seorang kyai di pesantren merupakan tokoh sentral yang memegang kekuasaan mutlak tanpa bisa diganggu gugat.40 Kyai di pesantren khususnya di Jawa

Timur memainkan peran yang sangat strategis, selain sebagai pimpinan pesantren kyai melalui kharismatiknya juga menjadi figur sentral dalam kehidupan masyarakat41 dan santri yang sangat ditaati dan menjadi uswah/model yang patut ditiru semua prilakunya. Bahkan tidak hanya kyai yang menjadi figur di pesantren, tetapi keluarga (dzuriah) serta ustad atau guru yang mengajar juga menjadi figur penting yang harus ditaati.

5. Penerapan Budaya Religius

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dan juga sekaligus lembaga yang berfungsi menjaga tradisi keagamaan yang telah diwariskan oleh para ulama salaf, sudah barang tentu seorang santri di pondok pesantren tidak akan asing dengan tradisi dan budaya keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Tradisi religius yang bisasa disilaksanakan di pesantren diantaranya; shalat berjamaah, istighatsah, yasinan, tahlilan, dhiba’an, berjanzi, manaqib, peringatan hari besar Islam, dan lain sebagainya.

Secara historis, pesantren sejatinya merupakan perwujudan dari budaya Islam dari hasil akulturasi, difusi, dan enkulturasi antara Islam dan Jawa (Hindu dan Budha).42 Budaya-budaya yang diterapkan di pesantren merupakan manifestasi dari nilai-nilai Islam yang dikembangkan oleh wali songo -sebagai penyebar Islam di Jawa- yang telah menjadi tradisi secara turun termurun. Aktifitas budaya religius di pesantren yang dilaksanakan secara berulang-ulang menjadi semacam sifat dan karakter yang melekat menjadi prilaku keseharian. Bahkan tradisi religius di pesantren telah menjadi ciri khas warga Nahdliyin (NU) di luar pesantren.

6. Kepercayaan terhadap Barakah

Literatur Islam klasik yang berkonten tentang akhlak dan etika seorang yang menuntut ilmu selalu mencantumkan istilah ilmu yang barokah. Masyarakat pesantren memaknai barakah sebagai ziadatul khair (bertambahnya nilai kebaikan) dan mampu menjadi energi positif dalam mengembangkan konsep diri dengan cara meneladani guru dan kiai.43 Setiap santri meyakini bahwa seorang kiai memiliki kedekatan dengan Allah, sehingga kiai dipersepsikan sebagi wali/wakil Allah44 di bumi.

Persepsi dan kepercayaan santri tentang barakah di pesantren juga berakar dari materi pembelajaran agama yang tercantum di dalam kitab kuning yang menjadi

40 Mohammad Takdir Ilahi, “Kyai: Figur Elite Pesantren,” Ibda’: Jurnal Kebudayaan Islam 12, no.

2 (Desember 2014).

41 Edi Susanto, “Kepemimpinan (kharismatik) Kyai dalam Perspektif Masyarakat Madura,” Karsa: Jurnal Sosial dan Budaya Keislaman XI, no. 1 (April 2007).

42 Mukhibat, “Meneguhkan Kembali Budaya Pesantren dalam Merajut Lokalitas, Nasionalitas, dan

Globalitas,” Karsa: Jurnal Sosial dan Budaya Keislaman 23, no. 2 (Desember).

43 Ahmad Fauzi, “Persepsi Barakah di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong Perspektif

Interaksionisme Simbolik,” At-Tahrir 17, no. 1 (Mei 2017).

(11)

Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman

standar kurikulum pesantren.45 Kitab kuning yang memiliki konten tantang nilai

barakah biasanya merupakan kitab yang menjelaskan tentang adab, etika dan

tasawuf. Selain itu, dalam beberapa hadits juga dijelaskan mengenai barakah, diantaranya dalam hadits-hadits tentang mengambil berkahnya para sahabat dari bekas air wudhu nabi Muhammad SAW serta hadits tentang mengambil berkahnya para sahabat dari peninggalan nabi Muhammad SAW.46

Selain dari materi pembelajaran yang ada di pesantren, kepercayaan terhadap

barakah juga berasal dari tradisi ngalap berkah47 dalam budaya Jawa. Contohnya

pada tradisi grebeg suro masyarakat berebut gunungan makanan yang berasal dari hasil bumi dengan harapan agar kehidupannya mendapatkan keberkahan dan keberuntungan, juga pada tradisi syawalan,48 ziarah kubur49 dan lain-lain.

Kesimpulan

Berdasar pada pemaparan pembahasan di atas, hasil dari studi ini menghasilkan beberapa kesimpulan diantaranya sebagai berikut:

Pertama, konsep karakter perspektif pesantren disamakan dengan istilah adab dan

akhlak dimana adab diartikan sebagai etika dan merupakan perilaku baik yang dilakukan dengan persiapan dan pikiran terbih dahulu. Sementara akhlak diartikan sebagai peringai atau perilaku baik yang dilakukan oleh individu tanpa harus berpikir sebelumnya. Adab jika telah menjadi kebiasaan dan melekat dalam diri individu dan menjadi kepribadian dalam keseharian disebut sebagai akhlak atau karakter.

Kedua, varian metode pendidikan karakter yang dapat ditemukan dipesantren

diantaranya: 1). Metode hidden curriculum; yang terjadi melalui interaksi antar warga pesantren (kyai, dzuriah, ustadz/guru, pengurus pesantren, dan santri) dengan prinsip kekeluargaan, habbituation, 2). Metode pembiasaan, uniknya dalam metode ini adalah tradisi oprak-oprak sebagai langkah awal untuk menjadi terbiasa, bukan dengan atas kesadaran individu, karena bagi warga pesantren kesadaran untuk terbiasa berperilaku baik merupakan 3). Adanya tradisi ta’zir (punishment) yang memiliki prinsip ta'dib,

i'tibar ahwal an-nas, dan at-tadrij, 4). Metode keteladanan, kyai sebagai suri tauladan di

pesantren bukan sekedar hanya memberikan contoh yang baik bagi santrinya, tetapi seorang kyai benar-benar dijadikan sebagai figur utama untuk ditiru semua perilakunya,

45 Selain berfungsi sebagai standar kurikulum pesantren, kitab kuning juga berfungsi sebagai

melestarikan bahasa Arab di nusantara, menjalin networking pesantren dan sanad keilmuan, serta mendorong munculnya inovasi pendidikan pesantren. Lihat : Muhammad Yunus, ed., Aku, Buku, dan

Peradaban; Transformasi Pesantren Melalui Penguatan Literasi (Yogyakarta: CV. Istana Agency, 2018). 46 Burhanuddin, “Konsep Berkah (Barakah) dalam Perspektif Al Qur’an dan Al Hadits Serta

Implementasinya dalam Pendidikan,” Al Ta’dib  : Jurnal Ilmu Pendidikan 6, no. 2 (Januari 2017).

47 Secara bahasa kata ‘ngalap’ berarti mencari, dan kata ‘berkah’ sesuatu yang bersifat metafisik

yang dapat berpengaruh positif pada kehidupan nyata bagi seseorang yang melaksanakannya. Sementara berkah dalam bahawa Indonesia diartikan sebagai sesuatu yang diterima oleh manusia dari Tuhan dan dalam bahasa Inggris kata ‘berkah’ dipadankan dengan blessing atau favor. Lihat juga. “MAKNA BERKAH DALAM KEHIDUPAN | Prof. Dr. H. Abd. Majid, M. A.,” diakses 21 Desember 2018, http://abdmajid.staf.upi.edu/2013/08/27/makna-berkah-dalam-kehidupan/.

48 Afghoni, “Makna Filosofis Tradisi Syawalan (Penelitian Pada Tradisi Syawalan di Makan

Gunung Jati Cirebon),” Jurnal Studi Agama dan Masyarakat 13, no. 1 (Juni 2017).

49 Indah Ambar Sari, Muhammad Ali Azhar, dan Tedi Erviantono, “Mitos Dan Kekuasaan; Studi

(12)

Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman 5). Penerapan budaya religius, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional yang dipercaya sebagai benteng untuk mempertahankan tradisi yang diwariskan oleh para leluhurnya (wali songo), sehingga pesantren menjadi basis pembelajaran bagi santri untuk siap mempertahankan tradisi religius tersebut dalam kehidupan di masyarakat. dan 6) kepercayaan terhadap nilai barakah dipesantren begitu tinggi, sehingga penghormatan terhadap ilmu dan guru serta semua hal yang berkaitan dengan keduanya sangat tinggi. Hal ini sangat penting untuk membentuk karakter individu yang mencintai ilmu dan sumbernya.

Daftar Pustaka

Afghoni. “Makna Filosofis Tradisi Syawalan (Penelitian Pada Tradisi Syawalan di Makan Gunung Jati Cirebon).” Jurnal Studi Agama dan Masyarakat 13, no. 1 (Juni 2017).

Akhmad Bakhtiar Zamzami. “Karakter Anak Usia Dini Di Lingkungan Sekitar Pondok Pesantren.” ThufulA 4, no. 2 (Desember 2017).

Al Attas, M. al Nuquib. Konsep Pendidikan dalam Islam. Bandung: Mizan, 1996. Al Ghazali, Imam Ibnu Hamid Bin Muhammad Bin Muhammad. Ihya ’Ulumuddin.

Lebanon: Bairut, 2005.

Albert Bandura. Social Learning Theory. New York: General Learning Press, 1977. Albertus, Doni Koesoema. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zama n

Global. Jakarta: Grasindo. Cet. I. Cet. I. Jakarta: Grasindo, 2007.

Arifin, Samsul. “Konseling Indigenius Berbasis Pesantren; Teknik Pengubah Tingkah Laku Kalangan Pesantren.” Jurnal Lisan Al-Hal 5, no. 1 (Juni 2013).

Burhanuddin. “Konsep Berkah (Barakah) dalam Perspektif Al Qur’an dan Al Hadits Serta Implementasinya dalam Pendidikan.” Al Ta’dib : Jurnal Ilmu Pendidikan 6, no. 2 (Januari 2017).

Coulson, N. J. “The State and the Individual in Islamic Law.” International &

Comparative Law Quarterly 6, no. 1 (Januari 1957): 49–60.

https://doi.org/10.1093/iclqaj/6.1.49.

Dale H. Schunk. Learning Theories: An Educational Perspektive. VI. Boston: Allyn & Bacon, 2012.

Edi Susanto. “Kepemimpinan (kharismatik) Kyai dalam Perspektif Masyarakat Madura.”

Karsa: Jurnal Sosial dan Budaya Keislaman XI, no. 1 (April 2007).

Fauzi, Ahmad. “Persepsi Barakah di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong Perspektif Interaksionisme Simbolik.” At-Tahrir 17, no. 1 (Mei 2017).

Hardoyo, Hafid. “Kurikulum Tersembunyi Pondok Modern Darussalam Gontor.”

(13)

Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman

Ifdil. “Urgensi Pendidikan Karakter.” Diakses 3 Oktober 2018. http://www.konselingindonesia.com/read/307/urgensi-pendidikan-karakter.html. Indah Ambar Sari, Muhammad Ali Azhar, dan Tedi Erviantono. “Mitos Dan Kekuasaan;

Studi Kasus Hegemoni Ngalap Berkah Gunung Kemukus Terhadap Pencarian Kekuasaan,” 2016.

Lickona, Thomas. Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and

Responsibility. New York, Toronto, London, Sydney, Aucland: Bantam books,

1991.

Ma’aruf, Louis. Mu’jam Al-Munjid. Mesir: t.p, 1988.

Mahbub Jamaluddin. Pangeran Bersarung. Yogyakarta: L-KiS, 2005.

“MAKNA BERKAH DALAM KEHIDUPAN | Prof. Dr. H. Abd. Majid, M. A.” Diakses 21 Desember 2018. http://abdmajid.staf.upi.edu/2013/08/27/makna-berkah-dalam-kehidupan/.

Mohammad Takdir Ilahi. “Kyai: Figur Elite Pesantren.” Ibda’: Jurnal Kebudayaan Islam 12, no. 2 (Desember 2014).

Mudjia Rahardjo, ed. Quo Vadis Pendidikan Islam: Membaca Realitas Pendidikan Islam,

Sosial dan Keagamaan. Malang: UIN-Malang Press, 2006.

Muhammad Yunus, ed. Aku, Buku, dan Peradaban; Transformasi Pesantren Melalui

Penguatan Literasi. Yogyakarta: CV. Istana Agency, 2018.

Mujamil Qomar. Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi. Jakarta: Erlangga, 2005.

Mukhibat. “Meneguhkan Kembali Budaya Pesantren dalam Merajut Lokalitas, Nasionalitas, dan Globalitas.” Karsa: Jurnal Sosial dan Budaya Keislaman 23, no. 2 (Desember).

Nami, Yaghoob, Hossein Marsooli, dan Maral Ashouri. “Hidden Curriculum Effects on University Students’ Achievement.” Elsevier Ltd, 2014.

Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1996.

Nofiaturrahmah, Fifi. “Metode Pendidikan Karakter di Pesantren.” Pendidikan Agama

Islam Vol. XI, no. No. 2 (Desember 2014).

Nuqul, Fathul Lubabin. “Pesantren Sebagai Bengkel Moral; Optimalisasi Sumber Daya Pesantren Untuk Menanggulangi Kenakalan Remaja.” PsikoIslamika Vol. 5, no. Nomor 2 (Juli 2008).

“Pesantren Benteng Pendidikan Karakter.” Diakses 17 September 2018. https://nasional.sindonews.com/read/1250775/18/pesantren-benteng-pendidikan-karakter-1508720032.

(14)

Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman Raka, Gede, Yoyo Mulyana, Suprapti Sumarmo Markam, Conny R. Semiawan, Said Hamid Hasan, Hana Djumhana Bastaman, dan Nani Nurachman. Pendidikan

Karakter Di Sekolah; Dari Gagasan Ke Tindakan. Jakarta: Elex Media, 2002.

Rosidin, Dedeng. Akar-akar Pendidikan dalam al-Quran dan al-Hadits. Bandung: Pustaka Umat, 2003.

Saidah, Lailatus. “Tradisi Ta’ziran Di Pondok Pesantren Raudlatul Muta’allimin Desa Datinawong, Kecamatan Babat, Kabupaten Lamongan- Jawa Timur.”

AntroUnairdotNet Vol. V, no. No. 2 (Juli 2016): 14.

Samani, Muchlas, dan Hariyanto. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012.

Sumantry, Endang. “Pendidikan Umum.” Dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, 2 ed. Bagian 4. Gresindo, 2007.

Suryadarma, Yoke, dan Ahmad Hifdzil Haq. “Pendidikan Akhlak Menurut Imam Al-Ghazali.” Jurnal At-Ta’dib, 2, 10 (Desember 2015): 21.

Wahid, Abdurrahman. Menggerakkan Tradisi. Yogyakarta: L-Kis, 2001.

Zubaidi. Desain Pendidikan Karakter; Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga

Referensi

Dokumen terkait

Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa merupakan rencana anggaran keuangan tahunan dari pemerintah desa yang telah ditetapkan untuk menyelenggarakan program dan

Profil pendidik yang diperankan oleh sosok Luqman Hakim telah mengawali pendidikannya dengan menyampaikan pesan tauhid dan melarangnya untuk berbuat syirik (menyekutukan

Selain itu, balita yang mengalami stunting akan memiliki tingkat kecerdasan tidak maksimal, menjadikan anak menjadi lebih rentan terhadap penyakit dan di masa depan dapat

The internalization of nationalist values in learning materials in the madrasah system adopted by Islamic boarding schools has accommodated the integration of national

Dari pengambilan data 10 subjek dilakukan pengujian menggunakan metode Stroop Test, hasilnya variabel ECG dan GSR memiliki korelasi yang tinggi sekitar 80% dan 90% yang

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa upaya yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan keterampilan menyimak peserta didik dalam pembelajaran yaitu dengan (1)

Student character education is in accordance with: (1) The Ministry of Education's National Education Strategic Plan – the implementation of character education for all levels

The study of character education is done at 5 (five) education units of non-formal education in Banten Provinces, Indonesia. This study aimed to find out the development of