• Tidak ada hasil yang ditemukan

DINAMIKA WAYANG ORANG MANGKUNEGARAN DARI ISTANA KE PUBLIK (1881 1895)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "DINAMIKA WAYANG ORANG MANGKUNEGARAN DARI ISTANA KE PUBLIK (1881 1895)"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

DINAMIKA WAYANG ORANG MANGKUNEGARAN

DARI ISTANA KE PUBLIK (1881-1895)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana Sastra Jurusan Ilmu Sejarah

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh:

PUTUT BAYU PRIBADI C0506044

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

commit to user

ii

DINAMIKA WAYANG ORANG MANGKUNEGARAN

DARI ISTANA KE PUBLIK 1881-1895

Disusun oleh:

PUTUT BAYU PRIBADI C0506044

Telah disetujui oleh pembimbing

Pembimbing

Prof. Dr. Samsi Haryanto, M.Pd NIP. 194404041976031001

Mengetahui

Ketua Jurusan Ilmu Sejarah

(3)

commit to user

iii

DINAMIKA WAYANG ORANG MANGKUNEGARAN

DARI ISTANA KE PUBLIK 1881-1895

Disusun oleh: PUTUT BAYU PRIBADI

Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Pada Tanggal ...

Jabatan Nama Tanda

Tangan

Ketua Penguji Dra. Sawitri Pri Pabawati, M.Pd ( ... ) NIP. 1958601198612001

Sekretaris Penguji Insiwi Febriary S, SS. MA ( ... ) NIP. 198002272005012001

Penguji I Prof. Dr. Samsi Haryanto, M.Pd ( ... ) NIP. 194404041976031001

Penguji II Drs. Soedarmono, SU ( ... )

NIP. 194908131980031001

Dekan

Fakultas Sastra dan Seni Rupa

Universitas Sebelas Maret

(4)

commit to user

iv

PERNYATAAN

Nama : PUTUT BAYU PRIBADI NIM : C0506044

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Dinamika Wayang Orang Mangkunegaran dari Istana ke Publik (1881-1895) adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.

Surakarta, Maret 2011 Yang membuat pernyataan

(5)

commit to user

v

MOTTO

Sederhana dalam sikap kaya dalam karya (penulis)

Terus berjuang dan jaga nama baik keluarga (penulis)

(6)

commit to user

vi

PERSEMBAHAN

Skripsi ini aku persembahkan untuk:

Ayah dan Ibuku tercinta

(7)

commit to user

vii

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Allah SWT berkat limpahan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat selesaikan skripsi. Skripsi ini disusun guna meraih gelar sarjana pada Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Di dalam penyusunan skripsi tersebut, tidak mungkin segala kesulitan yang ada bisa dilalui tanpa bantuan dari berbagai pihak. Sepantasnya penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Drs. Sudarno, M.A, Selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret. Dalam kesibukannya, beliau murah senyum serta ramah menerima penulis sekedar berdiskusi.

2. Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah atas bantuan dan arahannya dalam menyelesaikan skripsi.

3. Prof. Dr. Samsi Haryanto, M.Pd, selaku pembimbing utama dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini teramat sabar dalam meneliti serta memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis.

4. Insiwi Febriary S, SS. MA, selaku Pembimbing Akademik atas bimbingan dan arahannya selama penulisan.

5. Dosen-dosen dan tenaga pengajar Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan bekal ilmu sehingga nantinya penulis dapat bermanfaat di masyarakat.

6. Segenap Pegawai Tata Usaha Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret, yang telah membantu kelancaran penulis dalam mencaari informasi untuk penelitian.

7. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan data-data dan sumber yang kami butuhkan dalam penulisan, tanpa kalian tulisan ini tak dapat terwujud. 8. Semua teman Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas

(8)

commit to user

viii

9. Ayah dan Ibu, yang doanya tiada henti untuk penulis, keluarga dan teman-teman, terima kasih atas perhatian dan perjuangan kalian.

Penulis menyadari bahwa isi skripsi ini tidak lepas dari berbagai kekurangan dan kelemahan, oleh, karena itu, penulis menerima kritik dan saran. Semoga skripsi ini bermanfat bagi semua pembaca.

Surakarta, Maret 2011

(9)

commit to user

BAB II LATAR BELAKANG KEHIDUPAN MANGKUNEGARA V SEBAGAI SEORANG BUDAYAWAN A. Sejarah Terbentuknya Pura Mangkunegaran …………... 13

(10)

commit to user

x

C. Hasil Karya Budaya Mangkunegara V ... 24

BAB III CIRI WAYANG ORANG PADA MASA PEMERINTAHAN MANGKUNEGARA V A. Awal Mula Munculnya Wayang Orang ... 29

B. Wayang Orang di Pura Mangkunegaran ... 30

1. Wayang Orang Pada Masa Mangkunegara I ... 31

2. Wayang Orang Pada Masa Mangkunegara II ... 32

3. Wayang Orang Pada Masa Mangkunegara III ... 32

4. Wayang Orang Pada Masa Mangkunegara IV ... 33

5. Wayang Orang Pada Masa Mangkunegara V ... 33

C. Perkembangan Wayang Orang Pada Masa Mangkunegara V ... 34

1. Perkembangan busana wayang orang ... ... 35

2. Perkembangan penari wayang orang ... 40

3. Perkembangan lakon ... 42

BAB IV PERUBAHAN FUNGSI KESENIAN WAYANG ORANG SAMPAI AWAL ABAD XX A. Fungsi Pementasan... 49

1. Wayang orang di luar Istana Mangkunegaran ... 50

2. Wayang orang di luar Istana Mangkunegaran ... 52

a. Faktor ekonomi ... 52

b. Faktor politik ... 54

C. Tempat Pementasan ……….. 55

(11)

commit to user

xi

BAB V KESIMPULAN ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 62

(12)

commit to user BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kadipaten Mangkunegaran berdiri pada tahun 1757 atas dasar perjanjian

Salatiga. Perjanjian itu melahirkan sebuah wilayah baru yaitu Kadipaten

Mangkunegaran, yang masih merupakan bawahan dari Keraton Kasunanan Surakarta.

Perjanjian Salatiga diprakarsai antara Raden Mas Said dengan Pakubuwono III,

Hamengkubuwono I dan Belanda.1

Mangkunegara V (1881-1896) lahir di Mangkunegaran pada hari Senin Legi

tanggal 16 April 1855. Putra kedua dari Mangkunegara IV (1853-1881).

Mangkunegara V muda dikenal dengan nama Raden Mas Sunito, Pada bulan Juli

1869 Raden Mas Sunito diangkat menjadi Pangeran Anom dengan gelar KGPA

Prabu Prangwadono, menggantikan kedudukan KGPA Prabu Sudibya (kakaknya)

yang meninggal satu tahun sebelumnya. Raden Mas Sunito diangkat menjadi

Mangkunegara V pada hari senin Legi tanggal 5 Juli 1881.2

Istana Mangkunegaran sebagai pecahan keraton Surakarta membuat drama

tari wayang orang. Lahirnya wayang orang di Istana Mangkunegaran berhubungan

dengan masa Renaissance Kasusastraan Jawa (abad ke 18-19) yang ditandai dengan

penulisan kembali Kakawin dalam bahasa Kasusastraan Jawa baru. Wayang orang di

istana Mangkunegaran pertama kali muncul pada masa pemerintahan Mangkunegara

1

M. Husodo Pringgokusumo. Isi“Perjanjian Salatiga” G.P Rouffaer, “Vorstenlanden”

dalam Adatrecht-bundels Jilid XXXIV. (s Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1905), hlm; 5.

2

(13)

commit to user

I (1757-1796), Wayang orang di istana Mangkunegaran pertama diciptakan oleh

Mangkunegara I. Wayang orang Mangkunegaran mengalami kemunduran pada masa

pemerintahan Mangkunegara II dan Mangkunegara III. Baru pada masa pemerintahan

Mangkunegara IV (1853-1881), wayang orang Mangkunegaran muncul kembali

bersamaan dengan munculnya Langendriyan dan digunakan sebagai sajian yang

sakral di dalam istana. Wayang orang Mangkunegaran mengalami perkembangan dan

berada pada masa kejayaanya pada masa Mangkunegara V (1881-1896).3

Pertama kali wayang orang Mangkunegaran dipentaskan pada tahun 1760.

Pada waktu itu wayang orang hanya dinikmati oleh kerabat Mangkunegaran dan para

punggawa saja. Pakaian yang dikenakan para penari wayang orang pada waktu itu

masih sangat sederhana, yakni tidak jauh berbeda dengan pakaian adat

Mangkunegaran yang digunakan sehari-hari.4

Pada awal kemunculanya pemain wayang orang hanya terbatas pada abdi

dalem Mangkunegaran. Pada mulanya semua penari wayang orang Mangkunegaran

adalah laki-laki yang terdiri atas putra-putra bangsawan dan abdi dalem. Wayang

orang Mangkunegaran biasanya hanya disajikan pada acara atau upacara khusus

istana. Seperti ulang tahun dan penobatan Mangkunegara, serta perhelatan untuk

keluarga Mangkunegaran. Misalnya untuk acara khitanan putara Mangkunegara IV

yang bernama Kanjeng Sudibyo dan Kajeng Suyitno pada 16 April 1868. Pada acara

itu diadakan pertunjukan wayang orang dengan lakon Wahyu Mahkutharama.

3

Hersapandi, Wayang Wong Sriwedari “Dari Seni Istana Menjadi Seni Komersil”,

(Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 1999), hlm; 17-27.

4

Suwaji Bastomi, Karya Budaya Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Harya I-VIII,

(14)

commit to user

Sehubungan dengan itu maka penontonnya terbatas pada orang-orang yang diundang

untuk menghadiri upacara atau hajat Mangkunegaran, seperti para pejabat

pemerintahan Belanda dan Mangkunegaran, para sanak saudara Mangkunegara, dan

para abdi dalem yang bertugas.5

Seni pertunjukan wayang orang pada masing-masing daerah memiliki

karakter tersendiri, baik di Surakarta maupun di Yogyakarta. Wayang orang di

Surakarta berasal dari tradisi pertunjukkan seni Istana Mangkunegaraan. Kehadiran

seni istana wayang orang di Surakarta tidak lepas dari motif politik dari raja sebagai

penguasa tunggal kerajaan. Wayang orang Mangkunegaran diciptakan oleh

Mangkunegara I pada abad XVIII yang tujuannya untuk memberikan dorongan

semangat hidup bagi rakyatnya untuk melawan pemerintahan kolonial Belanda.6 Mangkunegara V adalah seorang seniman yang membuat kesenian istana

hidup, dan kehidupan istana menjadi lebih semarak. Untuk itu sudah barang tentu

memerlukan anggaran yang tidak sedikit. Untuk melestarikan seni wayang orang di

keraton ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit, tetapi ketika terjadi krisis ekonomi

yang disebabkan oleh gagalnya panen kopi karena serangan hama dan bangkrutnya

pabrik gula karena beredar luasnya gula bit eropa di pasaran mengakibatkan krisis

ekonomi di istana Mangkunegaran, krisis tersebut menjadi faktor merosotnya

kegiatan kesenian di istana. Ketika Mangkunegara VI mengantikan tahta

Mangkunegara V pada tahun 1896, keadaan keuangan istana Mangkunegaran pada

(15)

commit to user

Mangkunegara VI (1896-1916), selain karena krisis keuangan, juga kegiatan seni

wayang orang menjadi kegiatan yang memboroskan. Akibatnya sebagian besar abdi

dalem kesenian (langenpraja), termasuk abdidalem wayang orang diberhentikan dan

menganggur. Mereka yang diberhentikan itu kemudian membuat

kelompok-kelompok kecil dan mengadakan kaegiatan mbarang di luar tembok keraton, dari satu

tempat ke tempat lain untuk sekedar memperoleh nafkah.7

Wayang orang mula-mula merupakan bagian dari tradisi pertunjukkan di

keraton Mangkunegara yang bersifat eksklusif dan sakaral serta hanya dimainkan di

keraton. Karena terjadi krisis ekonomi, seni wayang orang di Mangkunegaran

mengalami kemerosotan dan berubah fungsi dari sakral menjadi fungsi hiburan.

Dengan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka penulis dalam

mengkaji mengenai perkembangan wayang orang di Mangkunegaran menggunakan

judul “ Dinamika Wayang Orang Mangkunegaran dari Istana ke Publik

(1881-1895)

B. Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka pokok

permasalahan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana latar belakang kehidupan Mangkunegara V sebagai seorang

budayawan?

2. Bagaimana ciri wayang orang pada masa pemerintahan Mangkunegara V?

3. Bagaimana perubahan fungsi kesenian wayang orang sampai awal abad XX?

7

(16)

commit to user C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui latar belakang kehidupan Mangkunegara V sebagai

seorang budayawan.

2. Untuk mengetahui ciri wayang orang pada masa pemerintahan Mangkunegara

V.

3. Untuk mengetahui perubahan fungsi kesenian wayang orang sampai awal

abad XX.

D. Manfaat Penelitian

Dari kajian tentang perkembangan wayang orang pada masa Mangkunegara

V, maka penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang perkembangan

wayang orang di Mangkunegaran.

2. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi masyarakat

khususnya masyarakat Surakarta. Mengenai perkembangan kebudayaan dan

lebih khususnya wayang orang Mangkunegaran.

E. Kajian Pustaka

Dalam penelitian ini, menggunakan beberapa literatur dan referensi yang

(17)

commit to user

untuk mengkaji, menelusuri dan mengungkap pokok permasalahan. Literatur dan

referensi yang gunakan antara lain:

Buku yang berjudul Wayang Wong Sriwedari “Dari Seni Istana Menjadi Seni

Komersil”. ditulis oleh Hersapandi. Buku ini berisi data historis perjalanan Wayang

Wong Sriwedari Solo yang pada mulanya merupakan seni elit milik istana

Mangkunegaran, tetapi dalam perkembangan selanjutnya lebih menempatkan diri dan

berkembang menjadi seni wayang orang panggung yang komersil. Dalam buku ini

juga berisi tentang sejarah munculnya wayang orang di istana Mangkunegaran.

Buku yang berjudul Menjadi Jawa “Orang-Orang Tionghoa Dan

Kebudayaan Jawa”. ditulis oleh Rustopo. Buku ini bercerita tentang interaksi sosial

dan kultural antara orang-orang Tionghoa dan Jawa. Interaksi sosial berkenaan

dengan hubungan orang-orang Tionghoa dan masyarakat etnis Jawa di Surakarta

dalam kehidupan yang kompleks dan dinamis. Interaksi kultural berkenaan dengan

hubungan orang-orang Tionghoa dengan nilai-nilai dan unsur-unsur kebudayaan

Jawa. Buku ini juga bercerita tentang seorang pengusaha batik Tionghoa Surakarta

yang bernama Gan Kam yang tertarik untuk membawa keluar seni wayang orang

keluar dari tembok istana Mangkunegaran dan selanjutnya untuk dipertontonkan

secara umum. Tulisan ini membantu penulis untuk mengetahui sejarah perkembangan

wayang orang di Istana Mangkunegaran, yang mengalami pergeseran dari seni istana

menjadi seni komersil akibat dari Interaksi sosial dan kultural antara orang-orang

Tionghoa dan Jawa.

Karya tulis yang berjudul Mangkunegara V 1891-1896, Seniman Besar

(18)

commit to user

oleh Bandung Gunadi. Karya tulis ini membahas mengenai latar belakang kehidupan

Mangkunegoro V, situasi kontak sosio cultural dimasa Mangkunegara V. selain itu

dalam karya ilmiah ini juga menerangkan perkembangan kesenian wayang orang di

istana Mangkunegaran pada masa Mangkunegara V dan mulai tampil dan

berkembang baik peran wanita dalam wayang orang pada masa itu. Tulisan ini

membantu penulis untuk mengetahui hal-hal apa saja yang melatar belakangi

berkembangnya wayang orang pada masa pemerintahan Mangkunegara V.

Buku yang berjudul Wayang Wong “Drama Tari Ritual Kenegaraan Di

Keraton Yogyakarta”. merupakan terjemahan dari buku karya penulis yang berjudul

Wayang Wong : The State Ritual Dance Drama in the Court of Yogyakarta, 1984

ditulis oleh R. M. Soedarsono. Buku ini berisi mengenai latar belakang pergelaran

wayang orang di keraton Yogyakarta. Buku ini juga bercerita tentang sejarah wayang

orang pada zaman Mataram kuna di Jawa Tengah (Abad ke-8 sampai ke-10). Wayang

orang dan Raket di kerajaan-kerajaan kuna di Jawa Timur (abad ke-10 sampai ke-16).

Wayang Topeng pada zaman Mataram Jawa Tengah (Abad ke-16 sampai ke-18).

Wayang orang di Keraton Yogyakarta (1755-1939). Tulisan ini membantu penulis

untuk mengetahui awal mula wayang orang dan bagaimana latar belakang pergelaran

wayang orang di istana.

F. Metode Penelitian

1. Metode Historis

Suatu penelitian ilmiah perlu didukung dengan metode, karena peran suatu

metode dalam suatu penelitian ilmiah sangat penting, karena berhasil atau

(19)

commit to user

metode dipilih dengan mempertimbangkan kesesuaian dengan obyek yang diteliti.

Metode (dalam bahasa Yunani methodos) yang bermakna cara atau jalan.

Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja

untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.

Sesuai dengan permasalahan yang dibahas, maka metode yang digunakan adalah

metode Historis. Metode historis adalah proses menguji dan menganalisa secara

kritis rekaman dari pengalaman masa lampau.8

Metode historis ini terdiri dari 4 tahap yang saling berkaitan antara yang satu

dengan yang lainnya.

a. Heuristik yaitu suatu proses pengumpulan bahan atau sumber-sumber

sejarah. Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data berupa

studi Dokumen dan studi Pustaka.

1). Studi Dokumen

Karena fokus penelitian adalah peristiwa yang sudah lampau, maka

salah satu sumber yang digunakan adalah sumber dokumen. Dokumen

dibedakan menjadi dua macam yaitu dokumen dalam arti sempit dan

dokumen dalam arti luas. Menurut Sartono Kartodirjo, dokumen

dalam arti sempit adalah kumpulan verbal dalam bentuk tulisan seperti

surat kabar, catatan harian, laporan dan lain-lain.9 Di satu sisi dokumen dalam arti luas meliputi artefak, foto-foto, dan sebagainya.

8

Louis Gottshalk, Mengerti Sejarah, edisi terjemahan Nugroho Notosusanto, (Jakarta : UI Press, 1986), hlm; 32

9

(20)

commit to user

Penggunaan dokumen dalam arti metodologis yang sangat penting,

sebab selain bahan dokumen menyimpan sejumlah besar fakta dan

sejarah, bahan ini juga dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan.

Apa, kapan dan mengapa.10 Studi tentang dokumen bertujuan untuk menguji dan memberi gambaran tentang teori sehingga memberi fakta

dalam mendapat pengertian historis tentang fenomena yang unik.11 Penelitian ini menggunakan arsip Reksopustoko Mangkunegaran

antara lain Babad Sala, no. B.291 tentang Kesenian dan Awal mula

adanya seni pertunjukan wayang orang. Serat Pemutan Lelampahan

KGPAA Mangkunegara V, no. B.74 tentang latar belakang dan karya

seni Mangkunegara V. Pratelan Busananing Ringgit Tiyang, no.

D.171. tentang busana wayang orang Mangkunegaran.

2). Studi Pustaka

Studi pustaka dilakukan sebagai bahan pelengkap dalam sebuah

penelitian. Dalam penelitian ini sumber pustaka yang digunakan hanya

yang berkaitan dengan tema penelitian. Tujuan dari studi pustaka

adalah untuk menambah pemahaman teori dari konsep yang

diperlukan dalam penelitian. Sumber pustaka yang digunakan antara

lain: buku, majalah, surat kabar, artikel dan sumber lain yang

memberikan informasi tentang tema yang diteliti.

10

Sartono Kartodirjo, Pemikiran dan Perkembangan Historografi Indonesia, Suatu

Alternatif, (Jakarta : PT. Gramedia, 1982), hlm; 97-122

11

________________, Metode Penggunaan Bahan Dokumen ‘‘Koentjaraningrat Metode –

(21)

commit to user

b. Kritik sumber yang bertujuan untuk mencari keaslian sumber yang

diperoleh melalui kritik intern dan ekstern. Kritik intern bertujuan untuk

mencari keaslian isi sumber atau data, sedang kritik ekstern bertujuan

untuk mencari keaslian sumber. 12

c. Interpretasi, yaitu penafsiran terhadap data-data yang dimunculkan dari

data yang sudah terseleksi yang disebut dengan fakta. Tujuan dari

interpretasi adalah menyatukan sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber

atau data sejarah dan bersama teori disusunlah fakta tersebut ke dalam

interpretasi yang menyeluruh.

d. Historiografi, yaitu menyajikan hasil penelitian berupa penyususnan

fakta-fakta dalam suatu sintesa kisah yang bulat sehingga harus disusun menurut

teknik penulisan sejarah. 13 2. Teknik Analisa Data

Analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskripsi. Deskripsi artinya

menggambarkan suatu fenomena beserta ciri-cirinya yang terdapat dalam

fenomena tersebut berdasarkan fakta-fakta yang tersedia. Setelah itu dari sumber

bahan dokumen dan studi kepustakaan, tahap selanjutnya adalah diadakan

analisis, diinterpretasikan, dan ditafsirkan isinya. Data-data yang telah diseleksi

dan diuji kebenaranya itu adalah fakta-fakta yang akan diuraikan dan

dihubungkan sehingga menjadi kesatuan yang harmonis, berupa kisah sejarah

yang dapat dipertanggungjawabkan kebenaranya.

12

Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: logos Wacana Ilmu, 1999), hlm; 58

13

(22)

commit to user

Selain itu teknik yang digunakan untuk menganalisa data penelitian ini adalah

analisa historis. Analisa untuk mencari hubungan sebab akibat dari suatu

fenomena historis pada ruang dan waktu tertentu. Tujuan dari teknik ini adalah

agar penelitian ini tidak hanya menjawab apa, kapan, dan di mana peristiwa ini

terjadi namun juga menjelaskan gejala sejarah sebagai kausalitas. Analisa ini

kemudian disajikan dalam bentuk penulisan diskriptif. 14

G. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran terperinci, skripsi ini disusun bab demi bab.

Penyusunan ini dilandasi keinginan agar skripsi ini dapat menyajikan gambaran yang

menunjukkan suatu kontinuitas perkembangan kejadian yang beruntun.

Bab I, dalam bab pendahuluan ini berisi tentang latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode

penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II, dalam bab ini menguraikan latar belakang kehidupan Mangkunegara V

sebagai seorang budayawan, yang meliputi sejarah terbentuknya Pura

Mangkunegaran, latar belakang kehidupan Mangkunegara V, hasil karya budaya

Mangkunegara V.

Bab III, dalam bab ini menguraikan ciri wayang orang pada masa

pemerintahan Mangkunegara V awal mula munculnya wayang orang, wayang orang

di Pura Mangkunegaran, perkembangan wayang orang pada masa pemerintahan

14

(23)

commit to user

Mangkunegara V yang meliputi: perkembangan busana, perkembangan Penari

wayang orang, dan perkembangan lakon.

Bab IV, dalam bab ini menguraikan perubahan fungsi kesenian wayang orang

sampai awal abad XX. karakter wayang orang pada masa pemerintahan

(24)

commit to user BAB II

LATAR BELAKANG KEHIDUPAN MANGKUNEGARA V

SEBAGAI SEORANG BUDAYAWAN

A. Sejarah Terbentuknya Pura Mangkunegaran

Kadipaten Mangkunegaran berdiri pada tahun 1757 atas dasar perjanjian

Salatiga. Perjanjian itu melahirkan sebuah wilayah baru yaitu Kadipaten

Mangkunegaran, yang masih merupakan bawahan dari Keraton Kasunanan Surakarta.

Perjanjian Salatiga diprakarsai antara Raden Mas Said dengan Pakubuwono III,

Hamengkubuwono I dan Belanda.1 Berdirinya istana Mangkunegaran adalah buah hasil dari perjuangan Raden Mas Said selama 16 tahun yaitu antara tahun 1741-1757,

Raden Mas Said melakukan pemberontakan karena merasa kecewa diperlakukan

tidak adil dan tidak puas terhadap pemerintahan Pakubuwono II atas campur tangan

Kumpeni. Perjuangan ditunjukkan dengan melakukan pemberontakan dan

pertempuran di Laroh, Sukowati dan tempat lain.

Raden Mas Said adalah putra pangeran Mangkunegara dari Kartasura. Maka

Raden Mas Said mempunyai hak untuk menggantikan kedudukan ayahnyasebagai

raja. Namun dalam kenyataanya, beliau hanya mendapatkan kedudukan sebagai

Menteri Anom dengan sebutan Raden Mas Suryokoesoemo. Hal ini tidak berbeda

jauh dengan apa yang dialami oleh ayahnya. Semasa Sunan Amangkurat Jawi masih

berkuasa, beliau berpesan bahwa sepeninggalnya nanti yang berhak menduduki tahta

1

M. Husodo Pringgokusumo, Isi “Perjanjian Salatiga” G.P Rouffaer, “Vorstenlanden”

(25)

commit to user

adalah putranya yang tertua yakni Raden Mas Said. Akan tetapi ketika Sunan

Amangkurat Jawi meninggal, tahta kerajaan Kartasura diserahkan kepada Pangeran

Adipati Anom Mangkunegara (putra Sunan yang ke sepuluh) dengan gelar Sinuwun

Paku Buwono II. Dengan demikian Raden Mas Said gagal menggantikan kedudukan

ayahnya.2

Pemberontakan Raden Mas Said merupakan dampak dari perang-perang

perebutan tahta yang terjadi sebelumnya. Konflik ini diawali dengan peristiwa yang

disebut dengan Geger Pecinan, yaitu peristiwa pemberontakan orang-orang Cina di

Batavia pada tahun 1740. Peristiwa ini kemudian menjalar ke sepanjang pantai utara

Jawa hingga melibatkan para bangsawan Mataram termasuk di dalamnya Raden Mas

Said. Pemberontakan orang-orang Cina di bawah pimpinan Kapten Sepanjang (Tai

Wan Sui), merupakan ungkapan atas tekanan yang terjadi di Batavia semasa

Valkenier menjabat sebagai Gubernur Jendral.

Adanya tekanan ini menyebabkan orang-orang Cina melakukan perlawanan

dengan harapan dapat terlepas dari pengawasan Pemerintah Kolonial Belanda.

Pemberontakan ini mendapat dukungan dari para Bupati pesisir pantai utara Jawa dan

secara diam-diam Sri Susuhunan Paku Buwono II juga mendukung tindakan tersebut.

Namun pada akhirnya Sri Susuhunan Paku Buwono II mengingkari keputusannya

sendiri dan sebaliknya memihak kembali kepada pemerintah Kolonial Belanda,

karena para pemberontak Cina dianggap gagal merebut kota Semarang.

2

(26)

commit to user

Akibat dari pemberontakan Cina ini, keraton Kartasura semakin kacau, Sri

Susuhunan beserta para pengikutnya diungsikan ke Ponorogo. Situasi tersebut di

manfaatkan oleh Raden Mas Said untuk menggabungkan diri dengan Sunan Kuning

(Raden Mas Garendi) yang pada saat itu diangkat sebagai Sunan Mangkurat V di

Kartasura oleh pemberontak Cina. Setelah bergabung, Raden Mas Said diangkat oleh

Raden Mas Garendi sebagai Panglima perang dengan gelar Pangeran Prangwadana.3 Pemerintahan Sunan Mangkurat V atau Raden Mas Garendi tidak berlangsung lama,

karena keraton Kartasura dapat direbut kembali oleh Paku Buwono II dengan bantuan

Kumpeni. Berhasilnya Paku Buwono II merebut kembali keraton Kartasura

meyebabkan dipindahnya istana ke Surakarta. Sementara itu intervensi pemerintah

Kolonial atas kerajaan ini semakin dalam, Paku Buwono II semakin tidak bebas

dalam menentukan keputusan-keputusan politik dan pemerintahannya. Paku Buwono

II banyak berhutang budi pada Kumpeni yang berhasil mengusir para pemberontak.

Sejak peristiwa berpindahnya istana Kartasura ke Surakarta, kekuasaan Sunan

semakin merosot. Pemerintah Belanda menuntut upah sebagai ganti rugi atas jasa

penumpasan pemberontak berupa wilayah kekuasaan di daerah pantai bagian barat

dan seluruh pantai utara Jawa. Pemberian ganti rugi tersebut menyebabkan wilayah

kekuasaan kerajaan semakin sempit, selain itu wilayah pangeran Mangkubumi juga

ikut dikurangi. Peristiwa ini menyebabkan perselisihan antara Pangeran

Mangkubumi, Sunan dan Pemerintah Belanda. Setelah peristiwa tersebut, para

pangeran banyak yang meninggalkan keraton termasuk Pangeran Mangkubumi.

3

R.I.W. Dwidjasunanana, R. Ng Sastradihardja, RMF Swidjasaputra, Sejarah Perjuangan

(27)

commit to user

Pada tahun 1743, pemberontakan Cina bisa dipadamkan, namun Raden Mas

Said tidak mau menyerah. Ia dengan Raden Mas Garendi tetap berani tinggal di ibu

kota Surakarta, meskipun dalam ancaman Paku Buwono II. Persekutuan mereka

semakin kuat setelah bergabungnya Pangeran Buminata yaitu paman Raden Mas Said

yang juga mendapat perlakuan tidak adil dari Sunan dan Kumpeni, yang sebelumnya

telah melakukan pemberontakan di desa Sembuyan Matesih. Pada akhirnya ketiga

tokoh ini mengambil keputusan untuk berpencar, di mana Raden Mas Garendi

menuju ke timur, sedangkan Raden Mas Said bersama Pangeran Buminata menuju

Sukowati. Di tempat tersebut mereka mendapat bantuan dari Pangeran Singosari yang

sudah lama mengadakan pemberontakan.

Untuk menumpas pemberontakan Raden Mas Said dan kawan-kawan, Paku

Buwono II menjanjikan hadiah tanah lungguh sebesar 3000 cacah di daerah sukowati

(Sragen). Mangkubumi yang sebelumnya juga berkonflik dengan Susuhunan

menerima tawaran tersebut. Pada tahun 1746 Mangkubumi berhasil mengalahkan

Raden Mas Said dan menuntut hadiah dari Paku Buwono II. Akan tetapi, para

penasehat Susuhunan Paku Buwono II mendesak agar beliau tidak memenuhi

janjinya. Mangkubumi yang merasa kecewa, akhirnya meninggalkan keraton dan

justru bergabung dengan pasukan Raden Mas Said untuk melakukan pemberontakan.

Pemberontakan dua orang pangeran ini dipusatkan di Sukowati.

Sementara itu keadaan Sunan di keraton semakin buruk karena menderita

suatu penyakit. Sebelum Sunan meninggal keraton Surakarta sudah diserahkan

(28)

commit to user

belanda ini menyebabkan rasa tidak senang para pangeran sehingga banyak yang

keluar dari keraton untuk bergabung dengan pangeran Mangkubumi.

Pada tahun 1752, terjadi perselisihan antara Raden Mas Said dengan Pangeran

Mangkubumi. Pada waktu itu Raden Mas Said harus berjuang sendiri menghadapi

Sunan dan Kumpeni disatu pihak juga dengan Pangeran Mangkubumi. Situasi seperti

itu dimanfaatkan oleh komandan Belanda Van Hodondorf untuk mengadakan

perundingan antara Raden Mas Said dengan pihak Kumpeni. Namun usaha itu tidak

ada hasilnya, karena pasukan Raden Mas Said tidak juga menghentikan perangnya.

Dengan mengamati situasi yang semakin runcing itu, Van Hodondorf menyarankan

kepada Dewan Hindia agar Raden Mas Said diberi jabatan sebagai putra mahkota

(karena pangeran Buminata yang seharusnya menduduki jabatan sebagi putera

mahkota sudah tidak mau lagi). Dalam perundingan tanggal 30 Februari 1753 Raden

Mas Said menuntut dinobatkan sebagai raja, bukan putera mahkota. Sikap Raden Mas

Said ini bertentangan dengan Pangeran Mangkubumi yang justru mau mengadakan

perundingan dengan pihak Kumpeni melalui Gubernur wilayah Pesisir Timur Laut,

Nicholas Hartingh pada tahun 1754. Dari hasil perundingan tersebut, Pangeran

Mangkubumi menerima setengah dari tanah kerajaan, mengakui kekuasaan Kumpeni

atas wilayah pesisir dan bersekutu dengan Kumpeni untuk melawan Raden Mas Said.

Hasil perundingan antara Pangeran Mangkubumi dan Kumpeni membuat

Raden Mas Said kecewa. Raden Mas Said mengirim surat kepada Pangeran

Mangkubumi dan Kumpaeni, tujuannya untuk memperbaiki hubungan mereka yang

sempat terputus, dan membagi pulau Jawa menjadi dua. Tetapi permintaan Raden

(29)

commit to user

memutuskan untuk berunding dengan Pangeran Mangkubumi dan Sunan Paku

Buwono III. Perundingan dilaksanakan pada tanggal 13 Februari 1755 di desa

Giyanti, yang selanjutnya lebih dikenal dengan Perjanjian Giyanti. Dalam perjanjian

tersebut Sunan Paku Buwono III menyerahkan setengah kerajaannya yaitu Mataram

kepada Pangeran Mangkubumi dan Hartingh selaku wakil dari pemerintah Belanda

meresmikan Pangeran Mangkubumi sebagai Sultan bergelar Hamengkubuwono I.4 Perjanjian Giyanti tersebut nampaknya tidak mampu meredakan konflik

dinasti yang berkepanjangan di Surakarta, meskipun telah ada persekutuan antara

Kumpeni Belanda, Susuhunan Surakarta, dan Sultan Yogyakarta, namun Raden Mas

Said tidak juga mau menghentikan perlawananya. Pada bulan Oktober 1755 ia masih

berhasil mengalahkan pasukan Kumpeni dan pada bulan Februari 1756 hampir

berhasil membakar istana baru di Yogyakarta. Lama-kelamaan pasukan Raden Mas

Said semakin berkurang, dan situasi semacam ini dimanfaatkan oleh Sunan untuk

mengajaknya berunding. Dari pihak pemerintah Belanda yang diwakili oleh Hartingh

juga mendesak agar segera diadakan perundingan. Akhirnya perundingan dapat

dilaksanakan di Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757 yang juga dihadiri oleh wakil

dari Sunan Yogyakarta, yakni Patih Danureja. Dari perundingan tersebut dicapai

beberapa kesepakatan yang isinya antara lain bahwa Raden Mas Said diangkat oleh

Susuhunan menjadi Pangeran Miji (seorang Pangeran langsung dibawah raja) dan

berhak menggunakan gelar ayahnya, yakni Pangeran Mangkunegara. Raden Mas Said

juga mendapatkan tanah apanage yang luasnya 4000 karya, yang meliputi daerah

4

(30)

commit to user

Kedawung, Laroh, Matesih, dan Gunung Kidul. Bersamaan dengan itu Sunan Paku

Buwono III juga menobatkan Raden Mas Said menjadi Sri Mangkunegara dengan

gelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I.

Hak istimewa yang didapat Raden Mas Said antara lain, boleh duduk sejajar

dengan Sunan dan diperkenakan berpakaian seperti Sunan, juga berhak mengambil

alih rumah kepatihan Sindurejo termasuk kampung dan bangunan sekitarnya menjadi

tempat tinggalnya.5 Selain memberikan hak istimewa, Sunan juga menetapkan larangan-larangan yang harus dipatuhi oleh Raden Mas Said. Larangan tersebut

antara lain, Raden Mas Said tidak boleh duduk di Dampar atau Singgasana, tidak

boleh membuat Bale Witana, tidak boleh menjatuhkan hukuman mati, tidak boleh

membuat alun-alun dan menanam pohon beringin (waringin kuning sakembar).

Selain itu Raden Mas Said juga mempunyai kewajiban, yakni pada hari pisowanan

(Senin, Kamis dan Sabtu) harus hadir dan menerima perintah dari Sunan. Akan tetapi

dalam kenyataanya Raden Mas Said tidak pernah melaksanakan kewajiban tersebut

dan selanjutnya Raden Mas Said justru ditetapkan sebagai raja Mangkunegaran.

Hasil dari Perjanjian Salatiga dijadikan dasar bagi Raden Mas Said untuk

meneguhkan kekuatan dan membangun dinasti baru, yaitu dinasti Mangkunegaran.

Untuk menegakkan pemerintahan maka Raden Mas Said membangun istananya yang

kemudian dikenal dengan nama Pura Mangkunegaran.

Pendiri Mangkunegaran adalah Raden Mas Said yang juga dikenal dengan

sebutan pangeran Sambernyawa, Raden Mas Ngabehi Surya Kusuma, juga Sultan

5

(31)

commit to user

Adi Prakoso Senopati Ingalaga, terakhir bertahta sebagai kangjeng Gusti pangeran

Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I.6

Mangkunegara I adalah seorang Adipati yang mengepalai wilayah Kadipaten

atau daerah Swapraja atau Praja, maka dari itu wilayah Mangkunegaran disebut Praja

Mangkunegaran, adapun tempat kediaman Adipati atau kepala Praja Mangkunegaran

disebut Pura (Puro) Mangkunegaran atau Istana Mangkunegaran.

Mangkunegara II berasal dari keluarga Prabuwijaya yang lahir dari Ratu Alit.

Dalam diri Mangkunegara II mengalir darah Paku Buwono III dan Mangkunegara I.

Tampil sebagai raja Mangkunegaran menggantikan kakeknya yang wafat tahun 1795.

Tampilnya Mangkunegara II menggantikan Mangkunegara I merupakan catatan yang

menarik berhubung suksesi di Istana Pangeran Sambernyawa berbeda dengan dua

Kerajaan lainnya. Perbedaan ini segera tampak dalam sistem pergantian dan masa

pemerintahannya.

Mangkunegara II berasal dari Dinasti pejuang yang kental sekali dengan

warna kemiliteran sehingga dalam hal suksesi pergantian pimpinan Istana, selain

telah dipersiapkan seorang calon juga mewarisi tradisi cita cita dari pendahulunya

untuk diwujudkan dalam masa masa pemerintahan penerusnya. Tradisi dan adat Jawa

yang tidak membedakan laki laki dan wanita dalam mengurus negara terbukti dengan

keberadaan pasukan tempur wanita sejak perjuangan pendahulunya Pangeran

Sambernyawa. Dalam masa pemerintahannya pula calon penerus sudah tampak

dipersiapkan dan jalur wanita bukan persoalan yang menghambat.

6

(32)

commit to user

Mangkunegara II merupakan seorang penguasa di wilayah Kadipaten

Mangkunegaran yang selama masa pemerintahannya disibukan oleh perang dan

perluasan wilayah sehingga dibandingkan dengan Mangkunegara yang lainnya

penguasa kedua Mangkunegaran ini bisa dikatakan tidak menghasilkan karya seni.

Ketika masih muda KGPAA Mangkunegara III bernama Raden Mas Sarengat,

lahir pada tanggal 16 Januari 1803. RM Sarengat sejak kecil dipungut menjadi putra

KGPAA Mangkunegara II dengan panggilan Raden Mas Galemboh. Raden Mas

Sarengat putra Bandara Raden Ayu Natakusuma putri sulung KGPAA Mangkunegara

II. Dengan demikian Raden Mas Sarengat adalah cucu KGPAA Mangkunegara II.

Sejak kecil Raden Mas Galemboh memang berminat pada bidang

keprajuritan. Suatu kesempatan yang baik, pada waktu usia muda Raden Mas

Galemboh mendapat pendidikan kadet. Ketika terjadi pemberontakan Diponegoro

(1825) KGPAA Prangwadana bersama-sama dengan KGPAA Mangkunegara II

memimpin prajurit Mangkunegaran menghadapi prajurit Pangeran Diponegoro.

Menjelang berakhirnya perang Diponegoro KGPAA Prangwadana bekerja sama

dengan Jendral Van Geen berhasil menumpas pemberontakan di Jatinom dan

Kapuran. Sehabis perang Diponegoro para prajurit Mangkunegaran mendapat

penghargaan dari pemerintah Belanda, sedangkan pangeran Harya Prangwadana

mendapat hadiah bintang militer berpangkat empat (1832).7

Mangkunegara IV adalah putra ke-7 dari GRAy Pangeran Arya Hadiwijaya I

di Surakarta. Ayahnya adalah putra dari RMT Kusumadiningrat, menatu PB III.

Dengan demikian, Mangkunegara IV adalah cucu dari Mangkunegara II dan buyut

7

(33)

commit to user

dari PB III, juga buyut dari KPA Hadiwijaya. Jadi Mangkunegara IV adalah saudara

sepupu dari Mangkunegara III. Setelah lahir beliau langsung diminta oleh kakeknya,

kemudian diasuh oleh selirnya, Mbok Ajeng Dayaningsih yang sangat mengasihinya.

Mangkunegra IV semasa kecil bernama RM Sudira. Beliau sejak kecil tidak

memperoleh pendidikan formal. Hal itu dikarenakan pada masa itu belum ada

pendidikan formal di Surakarta. Pendidikan RM Sudira diberikan secara privat oleh

guru-guru yang datang kerumah. Guru yang didatangkan antara lain guru agama,

pendidikan umum, guru membaca, bahasa dan tulisan Jawa. Dengan kata lain, tujuan

akhir pendidikan saat itu tidak mutlak pendidikan Jawa tetapi untuk memasukkan

berbagai ilmu pengetahuan, tetapi memberikan jalan kearah pengembangan pribadi.8 Dari latar belakang Mangkunegara IV yang sejak kecilnya sudah dididik

dengan berbagai pengetahuan umum maupun pengetahuan kejawen, serta bakat yang

luar biasa di dalam bidang sastra dan seni, menjadikan beliau sebagai seorang

sastrawan dan seniman yang terkenal bahkan sampai sekarang. Hal inilah yang

menjadi dasar Mangkunegara IV menjadi sastrawan yang amat menonjol.9 B. Latar belakang kehidupan Mangkunegara V

Mangkunegara V lahir di Mangkunegaran pada tanggal 16 April 1855. Putra

ke dua dari Mangkunegara IV.Pada masa mudanya Mangkunegara V dikenal dengan

nama Raden Mas Sunito, Pada bulan Juli 1869 Raden Mas Sunito diangkat menjadi

Pangeran Anom dengan gelar KGPA Prabu Prangwadono, menggantikan kedudukan

(34)

commit to user

KGPA Prabu Sudibya (kakaknya). Bersamaan dengan itu, ia menerima pangkat

Letnan Ajudan I dari pemerintah Belanda.10

Pada tahun 1874 KGPA Prabu Prangwadono dinaikan pangkat menjadi

Mayor Ajudan. Tahun 1877 ia dinikahkan dengan RA Kusumardinah. Putri PA

Hadiwijaya III di Surakarta. Sehubungan dengan wafatnya Mangkunegara IV

(ayahnya) pada tahun 1881, pada hari Senin Legi tanggal 5 Juli 1881 KGPA Prabu

Prangwadono diangkat menjadi raja Mangkunegaran menggantikan ayahnya dan

bergelar KGPAA Mangkunegara V. Bersamaan dengan pengangkatannya,

Pemerintah Belanda melalui Residen Surakarta C.A.L.J. Jekel, ia dinaikan

pangkatnya menjadi Letnan Kolonel Legiun Mangkunegaran. 11

Dengan adanya kesepakatan antara Pemerintah Belanda dan Sunan IX

(1863-1893), pada tahun 1894 KGPAA Mangkunegara V dinaikan pangkatnya menjadi

Kolonel Komandan. Gelar ini hanya dikenakan selama dua tahun, tahun 1896 ia

wafat, kemudian kedudukannya sebagai raja Mangkunegaran digantikan adiknya

yang bergelar KGPAA Mangkunegara VI. Mangkunegara V wafat pada usia 42

tahun, meninggalkan 17 istri dan 28 putra, enam orang diantaranya meninggal

dunia.12

Keluarga Mangkunegaran disebut keluarga Panji Laras. Mangkunegara V

hidup sangat sederhana dan banyak berbuat baik untuk kepentingan keluarga antara

lain dengan mengkitankan, menikahkan dan memenuhi keperluan hidup keluarga

10

R.M.N. Jayasukanda, Serat Pemutan Lelampahan Dalem KGPAA Mangkunegara V , (Surakarta: Rekso Pustoko), hlm; 1-3. B. 74

11

Purwadi, Sejarah Raja-Raja Jawa, (Yogyakarta: Media Abadi, 2007), hlm; 562

12

(35)

commit to user

Mangkunegaran. Mangkunegara V menikahkan adiknya Pangeran Harya Dayaningrat

dan Kanjeng Ratu Paku Buwana. Adik Mangkunegara V yang diangkat menjadi

Pangeran ialah R.M Subiyakta dengan sebutan Kanjeng Pangeran Harya Dayasaputra,

dan R.M. Suprapta dengan sebutan Kanjeng Pangeran Harya Dayakiswara.

Sistem ketataprajaan pada masa pemerintahan Mangkunegara V masih

mengikuti sistem yang lama yang dilakukan oleh Mangkunegara IV. Tiap hari Senin

dan Kamis masih diadakan pasowanan, yaitu para nara praja menghadap

Mangkunegara V. Dalam acara ini para Rangga dan pejabat yang lebih tinggi

mengenakan kuluk dan baju sikepan pendek. Selain hari pasowanan para Nara Praja

mengenakan baju beskap dengan ikat kepala “undheng-udhengan”. Jika dinas kantor,

Mangkunegara V mengenakan jas. Pada upacara peringatan hari kelahiran

Mangkunegara V, para Demang mengenakan kain kampuh dan baju sikepan.

Penghasilan Praja Mangkunegaran pada awal pemerintahan Mangkunegara V

masih cukup baik. Akan tetapi penghasilan yang baik itu kurang dimanfaatkan secara

sungguh-sungguh, karena terbawa usia Mangkunegara V yang masih muda.

Mangkunegara V banyak menuruti kehendak pribadinya, antara lain bermain judi dan

berburu binatang. 13

C. Hasil Karya Budaya Mangkunegara V

Selama memegang pemerintahan di istana Mangkunegaran, Mangkunegara V

mempunyai peran besar dalam pengembangan kebudayaan, khususnya bidang

kesenian. Kemajuan pemerintahan Mangkunegara V itu tidak lepas dari dua faktor,

yaitu faktor intern dan ekstern. Faktor intern di sini ialah unsur genetik yang meliputi

13

(36)

commit to user

konsep, wawasan, sikap. Sedangkan faktor ekstern berupa sosio-kutural yang

melingkupinya.

Konsep, wawasan, sikap dan tindakan Mangkunegara V sangat dipengaruhi

oleh visi mendiang ayahnya, Mangkunegara IV. Mangkunegara IV sangat dikenal

sebagai ahli di bidang ekonomi, bidang sastra, dan bidang seni. Sejak kecil,

Mangkunegara V telah menampakan bakatnya di bidang kesenian. Ia belajar seni tari

di dalam istana yang dibimbing langsung oleh para guru tari istana Mangkunegaran

yang cukup ternama di masa itu, seperti: Nyi Bei Mintoraras dan RMA

Tondhokusumo.14 Berdasarkan garis keluarga dan lingkungan yang mendukung, tidak aneh bila Mangkunegara V akhirnya menjadi seorang budayawan yang sangat

dikagumi para penguasa lain pada periode itu.

Pada masa pemerintahan Mangkunegara V banyak waktu dan biaya yang

dikeluarkan untuk seni pertunjukan serta membuat koleksi benda-benda kuna Jawa,

seperti: ukir-ukiran, alat musik, topeng, dan benda-benda kesenian. Mangkunegara V

melakukan pembaharuan dalam pementasan wayang orang. Pembaharuan baru itu

tampak pada busana yang dikenakan para pemain, pemain wayang orang dan

lakon-lakon yang dimainkan, Tidak kurang 15 lakon-lakon carangan wayang orang berkembang di

istana Mangkunegaran pada masa pemerintahan Mangkunegara V. 15

Jenis-jenis seni pertunjukan yang berkembang di waktu itu ialah seni tari

meliputi tari bedaya, tari srimpi, tari tayub, tari wiring, sendratari langendriyan, serta

(37)

commit to user

golek, dan wayang orang. Semua latihan dan pagelaran kesenian dipusatkan di

pendapa Agung Mangkunegaran yang bersebelahan dengan perangkat gamelan. Guru

kesenian istana Mangkunegaran waktu itu ialah RMA Tondhokusumo dan Nyai

Mintoraras. Mereka mempunyai andil besar dalam perkembangan seni tari di istana

Mangkunegaran. 16

Pada periode pemerintahan Mangkunegara V seni-seni pertunjukan di istana

Mangkunegaran yang semula dianggap sebagai tradisi yang sakral dapat disaksikan

oleh masyarakat umum. Hal ini berbeda dengan di istana-istana lainya, seperti

keraton Yogyakarta, di Keraton Yogyakarta seni merupakan monopoli istana.17 Seni-seni pertunjukan di keraton Yogyakarta cenderung berkembang kearah klasik

(mengikuti patokan standar), sedangkan di istana Mangkunegaran lebih mengarah ke

romantis (terbuka). Akibat dari konteks sosio-kultural di Mangkunegaran itu

mempunyai pengaruh yang jauh pada perkembangan seni-seni pertunjukan

selanjutnya, yakni pada periode selanjutnya seni pertunjukan keluar tembok istana.18 Karena karya-karya besarnya dalam bidang budaya dan seni Mangkunegara V

diakui sebagai seorang budayawan yang hebat, oleh banyak penguasa Jawa pada

masa itu. Pada masa pemerintahan Mangkunegara V kebudayaan istana

Mangkunegaran mengalami perkembangan dan puncak kejayaannya, hal itu terbukti

dengan karya-karya besarnya yang diakui dan digunakan hingga saat ini.

Mangkunegara V wajar apabila menjadi seorang budayawan karena mewarisi sifat

16

Buku Beksan Mangkunegaran: Isi Beksan 41 Warni Anggitanipun Para Seniman ing

Jamanipun Kangjeng Gusti Mangkunegara V , (Surakarta: Rekso Pustoko), no; 917

17

Sayid, Babad Sala, (Surakarta: Rekso Pustoko), hlm; 116-119. B. 291

18

(38)

commit to user

dan karakter dari ayahnya Mangkunegara IV yang dikenal sebagai seorang

budayawan Jawa yang hebat pada zamannya. Pada masa pemerintahan

Mangkunegara V perkembangan budaya semakin meningkat terutama wayang orang.

Mangkunegara V yang dikenal sebagai penggemar seni keraton, membuat kesenian

istana menjadi lebih hidup dan kehidupan istana menjadi lebih semarak.

Mangkunegara V sebagai seorang budayawan juga dapat dilihat dari hobinya dalam

bidang kesenian, yakni Mangkunegara V suka sekali mengadakan seni pertunjukan

wayang orang. Mangkunegara V sangat suka pada wayang, baik wayang orang,

wayang kulit purwa, wayang gedhog maupun wayang klithik. 19

Mangkunegara V membangkitkan kembali nilai budaya jiwa ksatria dan adat

sopan santun yang halus dalam wayang. Kehadiran wayang orang dalam sistem

budaya keraton mempunyai sistem nilai dalam pranata ksatria Jawa yang telah kena

pengaruh Hindu dan Islam. Menurut Stutterheim, bahwa wayang merupakan suatu

khazanah budaya yang penuh dengan nilai-nilai kesopanan dan bentuk hidup.20

Sebagai ekspresi budaya Jawa, wayang memiliki cita rasa hidup tentang watak

dan sikap hidup yang memberi ilham kepada kehidupan pribadi dan ini patut

diteladani. Di sini mengandung cita-cita yang indah dan halus dari ksatria yang tak

gentar serta tanpa cela, cita-cita kesetiaan kepada raja, kesederhanaan dan ketabahan

hati, serta mampu menahan diri yang sempurna. Oleh karena itu konsep paham

ksatria dalam kebudayaan Jawa bukan sebuah unsur kebudayaan yang berdiri sendiri.

19

Suwaji Bastomi, Op.cit, hlm; 71

20

D. H Burger, Sejarah Ekonomis Indonesia dari segi Sosiologis Sampai Akhir Abad XIX,

(39)

commit to user BAB III

CIRI WAYANG ORANG

PADA MASA PEMERINTAHAN MANGKUNEGARA V

Kebudayaan Jawa merupakan kebudayaan yang senantiasa bergerak

(dinamis), mengalami perkembangan yang terus menerus. Begitu pula dengan

wayang orang yang mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Pada tahun 1938

Pigeaud berpendapat dan membuktikan, bahwa yang terkenal sebagai kebudayaan

Jawa (yang disebut kebudayaan wayang) adalah hasil pertumbuhan selama beberapa

abad. Menurutnya, adalah suatu kekeliruan jika orang menganggap bentuk dari isi

pergaulan hidup Jawa adalah warisan belaka dari zaman dahulu dan tidak

menunjukan pertumbuhan didalamnya.1

Kata wayang dalam bahasa Jawa Kuno berarti bayangan atau pertunjukan

bayangan. Seni pewayangan adalah seni pakeliran yang tokoh utamanya adalah

dalang. Seni ini merupakan gabungan antara seni tatah sungging (seni rupa) dengan

menampilkan tokoh wayang, seni musik atau gendhing yang mengiringinya,

wawancara atau dialog (antawacana). Dalam pertunjukan disajikan lakon yang

biasanya berisi ajaran atau pitutur hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia

atau berisi filsafat hidup orang Jawa. Dunia wayang dihuni oleh Dewa-dewa,

Raja-raja, Pangeran-pangeran, Putri-putri, Raksasa, Para Guru, dan para Punokawan.

1

D H Burger, Sejarah Ekonomis Indonesia dari segi Sosiologis Sampai Akhir Abad XIX,

(40)

commit to user

Semua anggota dari keluarga Jawa yang akrab, yang diikat oleh ikatan-ikatan

keakraban yang kuat.2

A. Awal mula munculnya wayang orang

Wayang orang telah lama dikenal oleh bangsa Indonesia sebagai peninggalan

budaya dari nenek moyang terdahulu yang secara turun temurun telah diwariskan dari

generasi kegenerasi. Sejarah wayang orang : Istilah wayang orang dijumpai dalam

prasasti Wimalasmara (tahun 930) dan dalam prasasti Balitung (tahun 907) yang

menunjukan bahwa pada zaman mataram kuna sudah ada pertunjukan wayang orang

yang membawakan wiracarita Mahabarata dan Ramayana. 3

Kata wayang berarti ”bayangan”, sedangkan orang adalah yang memerankan

tokoh dalam permainan wayang tesebut. Wayang orang secara luas berarti sebuah

pertunjukan drama tari yang dipertunjukkan oleh manusia. Wayang orang

menggambarkan tentang kehidupan Mahabarata dan Ramayana yang diwujudkan dan

diperankan langsung oleh manusia dalam penokohan. Dapat disimpulkan bahwa

wayang orang adalah seseorang yang dillengkapi dengan pakaian sesuai dengan

perlengkapan wayang kulit dengan mengambil tema cerita Ramayana dan

Mahabarata. Wayang orang lebih tepat disebut drama, sandiwara atau teater

tradisional Jawa yang bercirikan: adanya pembawa acara atau dalang, tema cerita atau

lakon, pemain, penonton, musik, dialog berbahasa Jawa, dan disertai gerak tari. 4

2

Claire Holt, Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, Terjemahan Soedarsono,

(Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2000) hlm; 155-156

3

R. M. Soedarsono, Wayang Wong “Drama Tari Ritual Kenegaraan Di Keraton

Yogyakarta”, (Yogyakarta: UGM Press, 1997), hlm; 1-92

4

Hersapandi, Wayang Wong Sriwedari “Dari Seni Istana Menjadi Seni Komersil”,

(41)

commit to user

Dari berbagai bentuk seni terdapat hubungan yang sangat erat dalam

perkembangan sejarahnya. Hal itu juga terdapat pada wayang (wayang kulit dan

wayang orang). Bahkan boleh dikatakan, wayang kulit dan wayang orang di Jawa

berkembangan berdampingan, yang satu mempengaruhi yang lain, atau bahkan bisa

dikatakan bahwa wayang orang adalah persamaan dari wayang kulit. Bila pada

pertunjukan wayang aktor-aktrisnya adalah boneka-boneka dari kulit, sedangkan

wayang orang adalah wayang yang aktor-aktrisnya adalah manusia.

Di Jawa dalam perkembangannya terjadi hubungan erat dan saling

mempengaruhi antara wayang kulit, wayang orang, dan seni rupa pada masa lampau.

misalnya, gaya tari pada zaman Mataram Kuna di Jawa Tengah (abad ke-8 sampai

abad ke-10), sama dengan gaya tari yang terpahat pada relief-relief candi Borobudur

dan candi Prambanan.5 Wayang orang merupakan bentuk baru dari wayang sebelumnya yaitu wayang topeng. Menurut Kusumodilogo dalam tulisannya berjudul

Sastramiruda dinyatakan, wayang orang tersebut dipertunjukkan untuk pertama

kalinya pada pertengahan abad ke-18 (1760-an) dengan lakon Wijanarka.6

B. Wayang orang di Pura Mangkunegaran

Istana Mangkunegaran sebagai pecahan keraton Surakarta membuat drama

tari wayang orang. Lahirnya wayang orang di Istana Mangkunegaran berhubungan

dengan masa Renaissance Kasusastraan Jawa (abad ke 18-19) yang ditandai dengan

penulisan kembali Kakawin dalam bahasa Kasusastraan Jawa baru. Wayang orang di

5 Hersapandi. Op.cit. hlm; 15-16 6 Ibid

(42)

commit to user

istana Mangkunegaran pertama kali muncul pada masa pemerintahan Mangkunegara

I (1757-1796), Wayang orang di istana Mangkunegaran pertama diciptakan oleh

Mangkunegara I. Wayang orang Mangkunegaran mengalami kemunduran pada masa

pemerintahan Mangkunegara II dan Mangkunegara III. Baru pada masa pemerintahan

Mangkunegara IV (1853-1881), wayang orang Mangkunegaran muncul kembali

bersamaan dengan munculnya Langendriyan dan digunakan sebagai sajian yang

sakral di dalam istana. Wayang orang Mangkunegaran mengalami perkembangan dan

berada pada masa kejayaanya pada masa Mangkunegara V (1881-1896).7 Perkembangan wayang orang Mangkunegaran dari masa ke masa, dapat diuraikan

sebagai berikut:

1. Wayang orang pada masa Mangkunegara I

Wayang orang Mangkunegaran pertama kali dipentaskan pada tahun 1760.

Pada waktu itu pemain wayang orang terbatas pada abdi dalem istana. Pada waktu itu

wayang orang hanya dinikmati oleh kerabat Mangkunegaran dan para punggawa saja.

Pakaian yang dikenakan para penari wayang orang pada waktu itu masih sangat

sederhana, yakni tidak jauh berbeda dengan pakaian adat Mangkunegaran yang

digunakan sehari-hari. Latihan dan pertunjukan wayang orang pada waktu itu

diselenggarakan di Pura Mangkunegaran. Selain untuk hiburan dan apresiasi wayang

orang pada waktu itu juga digunakan untuk menyampaikan ajaran-ajaran. Lakon

pertama yang diciptakan Mangkunegara I adalah Wijanarka. Sejak kemunculannya

wayang orang penuh dengan muatan tentang ajaran hidup dan keagamaan.

Munculnya wayang orang pertama kali di istana Mangkunegaran pada waktu itu

7

(43)

commit to user

mendapat tanggapan baik dari kalangan bawah maupun kalangan bangsawan

setempat. 8

2. Wayang orang pada masa Mangkunegara II

Pada masa Mangkunegara II wayang orang di istana Mangkunegaran

mengalami kemunduran, hal ini disebabkan kurangnya perhatian Mangkunegara II

terhadap seni pertunjukan istana khususnya wayang orang karena Mangkunegara II

lebih senang dalam hal keprajuritan dan militer. Wayang orang dan seni pertunjukan

jarang sekali dipentaskan bahkan tidak pernah dilakukan dan ditinggalkan, adapun

seni pertunjukan yang digelar pada waktu itu hanya untuk kesenangan para putra dan

kerabat saja. Keterlibatan Mangkunegara II terhadap kesenian khususnya seni

pertunjukan tidaklah banyak. Kegiatan seni pertunjukan hanya dilakukan oleh yang

berminat saja, kesenian di Pura Mangkunegaran pada waktu itu memang mendapat

perhatian, akan tetapi tidak seperti pada masa Mangkunegara I dan hanya sebatas

penyaluran bakat bagi yang berminat agar warisan budaya tidak hilang begitu saja.9 3. Wayang orang pada masa Mangkunegara III

Tidak banyak berubah dengan apa yang terjadi pada masa Mangkunegara II,

Karena perhatian Mangkunegara III terhadap kesenian kurang, maka

kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan seni pertunjukan istana khususnya wayang orang

sangatlah minim dan dibatasi. Hal tersebut disebabkan karena Mangkunegara III

sendiri tidak memiliki keahlian dan kegemaran dalam bidang seni. Perhatian

8

Suwaji Bastomi, Karya Budaya Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Harya I-VIII. hlm; 24-25

9

(44)

commit to user

Mangkunegara III terhadap seni pertunjukan khususnya wayang orang hanya sebatas

untuk mempertahankan tradisi dan warisan seni budaya Mangkunegaran saja.10 4. Wayang orang pada masa Mangkunegara IV

Setelah dua periode sebelumnya wayang orang tidak mucul barulah pada

masa Mangkunegara IV wayang orang di istana Mangkunegaran dimunculkan

kembali, wayang orang muncul kembali bersamaan dengan munculnya langendriyan

dan digunakan sebagai sajian yang sakral di dalam istana. Pada masa ini wayang

orang mejadi seni klangenan adiluhung. Hal ini tidak terlepas karena Mangkunegara

IV sendiri mempunyai kegemaran dalam bidang kesenian. Latihan dan pertunjukan

wayang orang diselenggarakan di Pura Mangkunegaran. Selain untuk hiburan dan

apresiasi wayang orang pada waktu itu juga digunakan untuk menyampaikan

ajaran-ajaran. Mangkunegara IV menggunakan tema cerita dalam pementasan wayang orang

di istana Mangkunegaran sebagai media pendidikan, seperti yang ada di dalam Serat

Tripama dan Serat Candrarini, Serat Tripama pada intinya adalah mengungkap tiga

pahlawan yang diharapkan dapat menjadi panutan masyarakat Jawa, yaitu

Kumbakarna, Patih Suwanda dan Prabu Karna. Sedangkan dalam Serat Candrarini

mengungkapkan wanita-wanita ideal Jawa, yang disimbolkan istri-istri Arjuna.11 5. Wayang orang pada masa Mangkunegara V

Mangkunegara V tidak saja meneruskan bentuk kesenian yang diwarisinya,

tetapi mencoba lebih memantapkan atau menyempurnakannya. Pada masa ini wayang

orang Mangkunegara mengalami puncak perkembangannya dan berada pada masa

10

Ibid. hlm; 48-49

11

(45)

commit to user

kejayaanya, yang ditandai adanya pembakuan tata busana wayang orang.

Mangkunegara V melakukan pembaharuan dalam hal penari, pada masa

Mangkunegara V mulai tampil penari wanita yang memerankan tokoh-tokoh wanita

selain itu Mangkunegara V juga mengembangkan lakon-lakon carangan.12

C. Perkembangan wayang orang pada masa Mangkunegara V

Perkembangan wayang orang, menurut Clifford Geertz munculnya wayang

orang pada abad pertengahan abad ke-18 merupakan bagian dari kebangkitan seni

klasik Jawa setelah mendapat pukulan karena masuknya agama Islam. Pernyataan

Greetz itu kiranya cukup beralasan mengingat bahwa pada masa Kerajaan Demak,

kemudian Kerajaan Pajang dan diteruskan Kerajaan Mataram Islam sampai Kerajaan

mataram Kartasura tidak ditemukan data-data tentang pertunjukan wayang orang.

Baru sesudah perjanjian Giyanti yang ditandai pecahnya Kerajaan Mataram di bagi

menjadi dua yaitu Kerajaan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta,

kemudian Kerajaan Kasultanan dibagi lagi menjadi Kasunanan Surakarta dan

Kadipaten Mangkunegaran pada perjanjian Salatiga tahun 1757, secara bersamaan Sri

Sultan Hamengku Buwana I dan Sri Mangkunegara I menciptakan wayang orang

sebagai suatu atribut kebesaran pemerintahannya.13

Krisis ekonomi di istana berpengaruh besar pada perkembangan wayang

orang. Penghapusan pemanggungan wayang orang sebagai agenda rutin di istana

Mangkunegaran, tidak membuat keberadaan wayang orang hilang. Hal ini

12

Rustopo, Menjadi Jawa “Orang-Orang Tionghoa Dan Kebudayaan Jawa”, (Yogyakarta: Ombak, 2007), hlm; 110-111

13

(46)

commit to user

dikarenakan, para aktor wayang orang, entah lebih disebabkan oleh alasan ekonomi

ataukah karena memang adanya motivasi estetis, justru mengembangkan kemampuan

mereka di wilayah publik. Sejak itu, wayang orang berkembang sebagai seni

panggung rakyat, tentu saja dengan beberapa sentuhan perubahan dari format

awalnya sebagai seni elit.

Wayang orang di istana Mangkunegaran mengalami masa kejayaannya pada

masa Mangkunegara V, karena dalam pementasannya wayang orang Mangkunegaran,

Mangkunegara V sangat mementingkan kekuatan dramatis tanpa kehilangan sifat

Jawa-nya. Berdasarkan pemikiran dan penekanan kekuatan dramatis itu, maka sudah

sewajarnya bila dalam pementasan wayang orang dikembangkan kembali dengan

melakukan pembaharuan. Pembaharuan baru itu tampak pada busana yang dikenakan

para pemain, pemain wayang orang dan lakon-lakon yang dimainkan.

a) Perkembangan busana

Guna meperkuat nilai dramatik pementasan wayang orang, Mangkunegara V

mengadakan pembaharuan dalam bidang busana. Pada awal kemunculanya pada

masa Mangkunegara I hingga masa Mangkunegara IV busana yang dikenakan para

penari wayang orang Mangkunegaran masih sangat sederhana, yakni tidak jauh

berbeda dengan pakaian adat Mangkunegaran yang digunakan sehari-hari. Pada

awalnya busana wayang orang selalu kembar mirip busana tari Wireng, Baru pada

masa Mangkunegara V, diciptakan busana khusus yang digunakan para penari

wayang orang Mangkunegaran. Adapun busana itu adalah busana baru yang

mengikuti perwujudan busana wayang kulit purwa. Penggubahan busana baru itu di

(47)

commit to user

kemudian diciptakan perabot busana wayang orang, Busana-busana baru itu antara

lain: makutha, kelat bahu, sumping, praba, dan uncal badhong. Dengan perubahan

busana ini akan memberi kemudahan bagi penonton, untuk membedakan antara tokoh

yang satu dengan tokoh lainya.14

Penggolongan perwatakan tari dalam wayang orang diselaraskan dengan

perwatakan tata rias dan busana, sehingga perpaduan unsur-unsur itu memberi makna

dan simbol tertentu bagi tokoh wayang yang bersangkutan. Sebagaimana dalam

wayang kulit atribut-atribut tertentu menunjuk pada tokoh-tokoh tertentu baik

menunjuk pada karakteristik maupun status sosial.

Wayang orang Mangkunegaran mengalami transformasi tata busana dan

perkembangan pada masa pemerintahan Mangkunegara V. Tata busana wayang

orang mengambil bentuk-bentuk tata busana wayang kulit purwa, yaitu tata busana

manusia pada zaman Budha, terutama bagi orang yang sudah masuk di lingkungan

Negara (keraton) seperti raja, pandhita, pembesar-pembesar kerajaan, pangeran atau

para sentana, dan prajurit. Sebagai gambaran, berikut ini adalah deskripsi tata busana

wayang orang ciptaan Mangkunegara V, yaitu:

Kelengkapan tata busana kebesaran raja Binathara pada wayang kulit:

1. (a) Makutha, ngukasri martu kuntha

(b) Jamang madrakara

(c) Kawaca garudawali

(d) Karawistha hendra braja

14

(48)

commit to user 2. (a) Sumping ngambara

(b) Sengkang boma

3. Cacandhang hendrakala

4. (a) Dawala tali praba

(b) Calumpring bujang kara

5. (a) Kalung tri ujung

(b) Tebah jaja sulardi

(c) Praba kuntha bajra

6. Gelang bau warna (kelad bau mas sinangling)

7. Binggel waliyasa

8. (a) Karencong kara wali

(b) Bidaka ganda wari

9. Celana15

Tata busana untuk Harya Prabu Anom dengan tata busana nata-binathara,

bedanya hanya tanpa menggunakan mahkota dan praba. Untuk tata busana kebesaran

patih dan wiradikara (senopati perang), bedanya dengan Harya Prabu Anom hanya

pada pemakaian praba. Untuk tata busana pandhita atau brahmana menggunakan

kopiah, baju dan kain sedangkan perlengkapannya sama seperti lainnya.

Berikuti ini adalah kelengkapan tata busana wayang orang Mangkunegaran

yang diilhami dari tata busana wayang kulit K.G.P.A.A Prabu Prangwadana V, yaitu:

15

(49)

commit to user

1. Mahkota kerajaan Binathara digubah menjadi tropong dari kain sutera

atau beludru. Untuk raja bawahan memakai kethu dari sutera atau

beludru yang di atasnya diletakkan nyamat (tombol kuluk) saduran.

2. Jejamang digubah kulit ditatah karawitan pinarada, disebut jamang.

3. Sanggening gelung pekesi garudha anglayang.

4. Gegombyoking makhutha tidak pakai.

5. Sesumping yang digubah dari kulit tatahan pinarada, disebut sumping

dengan ronce pipontoning renda ginombyok.

6. Anting-anting tidak pakai.

7. Cacandhang yang digubah menjadi semacam sondher (sampur) dibuat

dari sutera, diujung ada yang diberi lugasan atau binara.

8. Ulur-ulur yang digubah menjadi semacam kalung herloji dengan

karset, emas atau saduran (tiruan).

9. Calumping tidak pakai.

10.Kalung yang digubah menjadi sangsangan wulan tumanggal.

11.Tebah jaja tidak pakai.

12.Praba yang digubah menjadi semacam kulit yang ditatah lung-lungan

pinarada, disebut sraba.

13.Kelat bau yang digubah menjadi semacam tiruan rineka paksi.

14.Gegelang yang digubah tiruan binggel aben unjung atau seperti ular.

15.Keroncong yang digubah semacam kulit pinarada disebut rencong.

16.Tarumpah tidak pakai.

Referensi

Dokumen terkait