• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pendapat, aktivitas, atau gerak-gerik. Perilaku juga bisa diartikan sebagai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pendapat, aktivitas, atau gerak-gerik. Perilaku juga bisa diartikan sebagai"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Asertifitas

2.1.1 Pengertian Asertif

Manusia dalam kehidupan sehari-hari sering mendengar istilah perilaku, perilaku adalah semua respon baik itu tanggapan, jawaban, maupun batasan yang dilakukan oleh organisme dan hal ini dapat berupa pendapat, aktivitas, atau gerak-gerik. Perilaku juga bisa diartikan sebagai manifestasi dari sifat yang dimiliki oleh individu.

Perilaku asertif menurut Lazarus (dalam Fensterheim & Baer, 1995) adalah perilaku yang penuh ketegasan yang timbul karena adanya kebebasan emosi dari setiap usaha untuk membela hak-haknya serta adanya keadaan efektif yang mendukung meliputi :

1) Mengetahui hak pribadi

2) Berbuat sesuatu untuk mendapatkan hak-hak tersebut dan melakukan hal itu sebagai usaha untuk mencapai kebebasan emosi (Fensterheim & Baer, 1995).

Amirullah (2009) memberi batasan asertif sebagai kemampuan mengekspresikan perasaan, membela hak secara sah dan menolak permintaan yang dianggap tidak layak serta tidak menghina atau meremehkan orang lain.

(2)

Harsen dan Bellack (dalam Fauziyah & Fitriyana, 2009) mengatakan tingkah laku manusia berada dalam satu kontinum. Di salah satu ujungnya seseorang berperilaku non asertif. Orang ini mengalami kesulitan untuk mengungkapkan emosi kepada orang lain, berkenalan dengan orang lain, meminta orang lain untuk untuk memberi informasi atau saran, menolak permintaan yang tidak beralasan, lebih lanjut orang ini mengalami kesulitan untuk memulai atau mengakhiri suatu percakapan serta mengungkapkan kekecewaan dan penolakan dalam proporsi yang tepat. Di ujung kontinum yang lain, adalah orang yang berperilaku agresif yang memusatkan perhatiannya pada diri sendiri. Orang ini kebanyakan dikatakan sebagai orang yang tidak peduli terhadap hak dan kebebasan orang lain dan sangat egois. Di antara ujung ekstrim ini adalah orang bertingkah laku asertif. Orang ini secara langsung dan jelas mengungkapkan perasaannya yang positif maupun yang negatif tanpa mengganggu atau melanggar perasaan dan kebebasan orang lain.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku asertif adalah perilaku individu untuk mendapatkan hak-haknya dengan mengekpresikan apa yang ada dalam pikirannya dalam komunikasi yang tepat dan tegas tanpa melupakan hak-hak orang lain atau menyakiti orang lain.

2.1.2 Ciri-ciri Perilaku Asertif

Fensterheim & Baer (1995) mengatakan orang yang berperilaku asertif memiliki 4 ciri yaitu :

(3)

1) Merasa bebas untuk mengemukakan emosi yang dirasakan melalui kata dan tindakan. Misalnya : “inilah diri saya, inilah yang saya rasakan dan saya inginkan”.

2) Dapat berkomunikasi dengan orang lain, baik dengan orang yang tidak dikenal, sahabat, dan keluarga. Dalam berkomunikasi relatif terbuka, jujur, dan sebagaimana mestinya.

3) Mempunyai pandangan yang aktif tentang hidup, karena orang asertif cenderung mengejar apa yang diinginkan dan berusaha agar sesuatu itu terjadi serta sadar akan dirinya bahwa ia tidak dapat selalu menang, maka ia menerima keterbatasannya, akan tetapi ia selalu berusaha untuk mencapai sesuatu dengan usaha yang sebaik-baiknya dan sebaliknya orang yang tidak asertif selalu menunggu terjadinya sesuatu.

4) Bertindak dengan cara yang dihormatinya sendiri. Maksudnya karena sadar bahwa ia tidak dapat selalu menang, ia menerima keterbatasan namun ia berusaha untuk menutupi dengan mencoba mengembangkan dan selalu belajar dari lingkungan.

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Asertif

Rathus (dalam Fensterheim & Baer, 1995) faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan asertif adalah:

1) Jenis Kelamin

Sejak kanak-kanak, peranan pendidikan laki-laki dan perempuan telah dibedakan di masyarakat, laki-laki harus tegas dan kompetitif. Masyarakat mengajarkan bahwa asertif kurang sesuai untuk anak

(4)

perempuan. Oleh karena itu tampak terlihat bahwa perempuan lebih bersikap pasif meskipun terhadap hal-hal yang kurang berkenan di hatinya.

2) Kepribadian

Proses komunikasi merupakan syarat utama dalam setiap interaksi. Interaksi akan lebih efektif apabila setiap orang mau terlibat dan berperan aktif. Orang yang berperan aktif dalam proses komunikasi adalah mereka yang secara spontan mengutamakan buah pikirannya dan menanggapi pendapat setiap sikap pihak lain. Sifat spontan ini dapat dijumpai pada orang yang berkepribadian ekstrovert. Orang yang berkepribadian ini memiliki ciri-ciri mudah melakukan hubungan dengan orang lain, impulsif, cenderung agresif, sukar menahan diri, percaya diri, perhatian, mudah berubah, bersikap gampangan, mudah gembira, dan banyak teman.

Sebaliknya orang yang berkepribadianintrovert, mempuanyai ciri-ciri pendiam, gemar mawas diri, teman sedikit, cenderung membuat rencana sebelum melakukan sesuatu, serius, mampu menahan diri terhadap ledakan-ledakan perasaan dan penaruh prasangka terhadap orang lain.

3) Inteligensi

Perilaku asertif juga dipengaruhi oleh kemampuan setiap orang untuk merumuskan dan mengungkapkan buah pikirannya secara jelas sehingga dapat dimengerti dan dipahami oleh orang lain serta mampu

(5)

memahami apa yang dikomunikasikan oleh pihak lain sehingga proses komunikasi berlangsung dengan lancar.

4) Kebudayaan

(Santosa, 1999) memandang bahwa kebudayaan mempunyai peran yang besar dalam mendidik perilaku asertif. Misalnya pada budaya Jawa yang menekankan prinsip kerukunan dan keselamatan sosial seorang anak sejak kecil telah dilatih untuk berafiliasi dan konformis. Lebih-lebih pada wanita yang dituntut untuk bersikap pasif, dan menerima apa adanya atau pasrah.

5) Pola Asuh Orang Tua

Ada tiga macam pola asuh orang tua dalam mendidik anak, yaitu pola asuh otoriter, demokratis, dan permisif. Anak yang diasuh secara otoriter biasanya akan menjadi remaja yang pasif dan sebaliknya bila anak diasuh secara permisif anak akan terbiasa untuk mendapatkan segalanya dengan mudah dan cepat, sehingga ada kecenderungan untuk bersikap agresif, lain dengan pola asuh demokratis, pola asuh semacam ini akan mendidik anak untuk mempunyai kepercayaan diri yang besar, dapat mengkomunikasikan segala keinginannya secara wajar dan tidak memaksakan kehendak (Festerheim & Baer, 1995).

6) Usia

Santosa (1999) berpendapat bahwa usia merupakan salah satu faktor yang menentukan munculnya perilaku asertif. Pada anak kecil perilaku ini belum terbentuk. Struktur kognitif yang ada belum

(6)

memungkinkan mereka untuk menyatakan apa yang diinginkan dengan bahasa verbal yang baik dan jelas. Sebagian dari mereka bersifat pemalu dan pendiam sedangkan yang lain justru bersifat agresif dalam menyatakan keinginannya. Pada masa remaja dan dewasa perilaku asertif menjadi lebih berkembang sedangkan pada usia tua tidak begitu jelas perkembangan atau penurunannya.

Menurut Galassi (dalam Fauziyah, 2009) terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku asertif, karena berkembangnya perilaku asertif dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dialami individu dalam lingkungan sepanjang hidup. Tingkah laku asertif berkembang secara bertahap sebagai hasil interaksi antara anak, orang tua, dan orang dewasa lain dalam lingkungannya.

2.1.4 Komponen Perilaku Asertif

Eisler (dalam Marini & Andriani, 2005) mengungkapkan komponen perilaku asertif antara lain :

1) Complain

Berkaitan dengan usaha seseorang untuk menolak atau tidak sependapat dengan orang lain. Yang perlu ditekankan di sini adalah keberanian seseorang untuk mengatakan “tidak” pada orang lain jika memang itu tidak sesuai dengan keinginanya.

2) Duration of reply

Merupakan lamanya waktu bagi seseorang untuk mengatakan apa yang dikehendakinya, dengan menerangkannya pada orang lain.

(7)

Orang yang asertifitasnya tinggi memberikan respon yang lebih lama (dalam arti lamanya waktu untuk berbicara) dari pada orang yang tingkat asertifnya rendah.

3) Loudness

Berbicara lebih keras biasanya lebih asertif selama seorang itu tidak berteriak. Berbicara dengan suara yang jelas merupakan cara yang terbaik dalam berkomunikasi secara efektif dengan orang lain.

4) Request for new behavior

Meminta munculnya perilaku yang baru pada orang lain, mengungkapkan tentang fakta ataupun perasaan dalam memberikan saran pada orang lain, dengan tujuan agar situasi berubah sesuai yang diinginkan.

5) Affect

Afek berarti emosi, ketika seseorang berada dalam keadaan emosi maka intonasi suaranya akan meninggi. Pesan yang disampaikan akan lebih asertif jika seseorang berbicara dengan flukturasi yang sedang dan tidak berupa respon yang monoton ataupun respon yang emosional. 6) Latency of respon

Adalah jarak waktu antara akhir ucapan seseorang sampai gilirannya untuk mulai berbicara. Kenyataannya bahwa adanya sedikit jeda sesaat sebelum menjawab secara umum lebih asertif dari pada yang tidak terdapat jeda.

(8)

7) Non verbal

Ada beberapa komponennon verbaldari asertif yaitu: a) Kontak mata

Kontak mata memandang orang yang diajak bicara maka akan membantu dalam menyampaikan pesan dan juga akan meningkatkan efektivitas pesan. Akan tetapi jangan pula sampai terlalu membelakang ataupun juga menundukkan kepala.

b) Ekspresi muka

Perilaku asertif yang efektif membutuhkan ekspresi wajah yang sesuai dengan pesan yang disampaikan. Misalnya, pesan kemarahan akan disampaikan secara langsung tanpa senyuman, ataupun pada saat gembira menunjukkan wajah yang senang.

c) Jarak fisik

Sebaiknya berdiri atau duduk yang sewajarnya, jika terlalu dekat dapat mengganggu orang lain dan terlihat seperti menantang. Sementara terlalu jauh akan membuat orang lain susah untuk menangkap apa maksud dari perkataannya.

d) Sikap badan

Sikap badan yang tegak ketika berhadapan dengan orang lain akan membuat pesan lebih asertif. Sementara sikap badan yang tidak tegak dan terlihat malas-malasan akan membuat orang lain menilainya mudah mundur atau melarikan diri dari masalah.

(9)

e) Isyarat tubuh

Pemberian isyarat tubuh dengan gerakan tubuh yang sesuai dapat menambah keterbukaan, rasa percaya diri dan memberikan penekanan pada apa yang kita katakan, misalnya dengan mengarahkan tangan keluar. Sementara yang lain dapat mengurangi, seperti menggaruk leher dan menggosok-gosok mata.

2.2 Kekerasan dalam Berpacaran 2.2.1 Pengertian Kekerasan

Secara bahasa, kekerasan (violence) dimaknai Mansour (Fakih, 1996) sebagai serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Sementara menurut Galtung (dalam Warsana, 1992) terminology kekerasan atau violence berasal dari bahasa latin vis vis yang berarti daya tahan atau kekuatan atau latus yang berarti membawa sehingga dapat diartikan secara harfiah sebagai daya atau kekuatan untuk membawa.

Kata kekerasan sepadan dengan kata “violence” dalam bahasa Inggris diartikan sebagai suatu serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Sedangkan kata kekerasan dalam bahasa Indonesia umumnya dipahami hanya menyangkut serangan fisik belaka. Dengan demikian, bila pengertian violence sama dengan kekerasan, maka kekerasan di sini merujuk pada kekerasan fisik maupun psikologis.

(10)

Kekerasan (violence) adalah ancaman atau penggunaan kekuatan fisik terhadap orang lain, dirinya sendiri, kelompok atau komunitas masyarakat dengan hasil akhir luka atau kematian, termasuk di dalamnya adalah pembunuhan, bunuh diri, penyerangan, kekerasan seksual, pemerkosaan, penganiayaan dah kekerasan dalam rumah tangga (Soetjiningsih, 2004).

Berdasarkan uraian di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa kekerasan adalah tindakan agresi dengan menggunakan kekuatan fisik yang dapat merugikan dan menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain baik secara fisik maupun psikologis.

2.2.2 Pengertian Berpacaran

Menurut Cate & Llyod (dalam Dinastuti, 2008) pacaran ataucourtship adalah semua hal yang meliputi hubungan berpacaran (dating relationship) baik yang mengarah ke perkawinan maupun yang putus sebelum perkawinan terjadi.

Menurut Baron & Byrne (dalam Satria, 2011) ada beberapa karakteristik dari hubungan pacaran, yaitu perilaku yang saling bergantung satu dan lainnya, interaksi yang berulang, kedekatan emosional, dan kebutuhan untuk saling mengisi. Hubungan ini terdiri dari orang-orang yang kita sukai, seseorang yang kita sukai, cintai, hubungan yang romantis dan hubungan seksual. Salah satu kerakteristik dari pacaran yaitu adanya kedekatan atau keintiman secara fisik (physical intimacy). Keintiman (intimacy) tersebut meliputi berbagai tingkah laku tertentu, seperti

(11)

berpegangan tangan, berciuman, dan berbagai interaksi perilaku seksual lainnya.

Perilaku pacaran menurut perspektif sosiologi merupakan perilaku yang menyimpang karena berpacaran merupakan sebagian dari pergaulan bebas. Pacaran berarti tahap untuk saling mengenal antara seorang pemuda dan pemudi yang saling tertarik dan berminat untuk menjalin hubungan yang eksklusif (terpisah, sendiri dan istimewa) (Basyarudin, 2010).

Menurut pandangan Islam, pacaran hukumnya haram. Sebab dalam aktivitas pacaran hampir dapat dipastikan akan melanggar semua ketentuan/hukum-hukum terkait interaksi laki-laki dan perempuan. Fakta membuktikan bahwa pacaran merupakan awal dari perbuatan zina yang diharamkan. Oleh karena itu tidak ada istilah dan praktik “pacaran Islami” sebelum menikah. (Ramadhan, 2011).

Berdasarkan uraian di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa pacaran adalah suatu proses hubungan antara dua orang (laki-laki dan perempuan) yang membangun komitmen untuk berinteraksi sosial dan melakukan aktivitas bersama-sama dengan maksud menuju hubungan yang lebih berkualitas (pertunangan atau pernikahan).

2.2.3 Pengertian Kekerasan dalam Berpacaran

Dalam literature bahasa Indonesia kekerasan dalam rumah tangga mengacu pada penganiayaan terhadap pasangan baik menikah atau tidak menikah, wife beating, conjugal violence, intimate violence, battering, partners abuse, yang kadang digunakan untuk maksud yang lebih spesifik

(12)

(Chusairi, 2000). Pengertian tersebut memiliki basis rumah tangga, bila dalam konteks berpacaran, maka dapat dimaknai sebagai penganiayaan yang terjadi terhadap pasangan dalam sebuah hubungan pacaran, kekerasan verbal, pukulan, penyalahgunaan hubungan berpacaran, yang kadang digunakan untuk maksud yang lebih spesifik.

Berdasarkan uraian di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa kekerasan dalam pacaran adalah segala bentuk tindakan yang mempunyai unsur kekerasan yang meliputi kekerasan secara fisik, seksual, atau psikologis yang terjadi dalam sebuah hubungan pacaran, baik yang dilakukan di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi dan semua perilaku yang bermaksud menyakiti pasangan dalam sebuah hubungan secara fisik dan verbal sehingga merugikan orang lain.

2.2.4 Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Berpacaran

Menurut Shinta & Bramanti (2007), bentuk-bentuk kekerasan antara lain :

1) Kekerasan fisik, adalah penggunaan secara instensif kekuatan fisik yang berpotensi menyebabkan luka, bahaya, cacat dan kematian.

2) Kekerasan seksual, adalah upaya melakukan hubungan seksual yang melibatkan seseorang yang tidak memiliki kemampuan untuk memahami kelaziman/kebiasaan atau keadaan dari aksi tersebut, tidak mampu untuk menolak, atau tidak mampu mengkomunikasikan ketidakinginan untuk turut dalam hubungan seksual dan lain-lain.

(13)

3) Kekerasan psikologis/emosional dapat berupa tindakan kekerasan, ancaman kekerasan, atau taktik kekerasan/paksaan. Tidak hanya terbatas pada penghinaan pada korban, tetapi juga mencakup kontrol terhadap apa yang dapat atau tidak dapat korban lakukan, menahan informasi dari korban, mengisolasi korban dari teman-teman dan keluarga, dan menyangkal akses korban terhadap uang atau sumber-sumber daya yang mendasar lainnya.

4) Kekerasan ekonomi terjadi ketika pelaku kekerasan mengontrol secara penuh uang korban dan sumber-sumber ekonomi lainnya.

Berdasarkan uraian di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa bentuk-bentuk kekerasan dalam pacaran meliputi kekerasan fisik, kekerasan verbal atau psikis, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi.

2.2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Kekerasan dalam Berpacaran

Menurut Setyawati (2010) ada beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan kekerasan dalam pacaran, yaitu :

1) Pola asuh dan lingkungan keluarga yang kurang menyenangkan. Keluarga merupakan lingkungan sosial yang amat berpengaruh dalam membentuk kepribadian seseorang. Masalah-masalah emosional yang kurang diperhatikan orang tua dapat memicu timbulnya permasalahan bagi individu yang bersangkutan di masa yang akan datang. Misalkan saja sikap kejam orang tua, berbagai macam penolakan dari orang tua terhadap keberadaan anak, dan sikap disiplin yang diajarkan secara

(14)

berlebihan. Hal-hal semacam itu akan berpengaruh pada peran (role model) yang dianut anak itu pada masa dewasanya. Bisa model peran yang dipelajari sejak kanak-kanak tidak sesuai dengan model yang normal atau model standard, maka perilaku semacam kekerasan dalam pacaran ini pun akan muncul.

2) Peer Group, Teman sebaya memiliki pengaruh yang besar dalam memberikan kontribusi semakin tingginya angka kekerasan antar pasangan. Berteman dengan teman yang sering terlibat kekerasan dapat meningkatkan resiko terlibat kekerasan dengan pasangannya.

3) Media Massa, Media Massa, TV atau film juga sedikitnya memberikan kontribusi terhadap munculnya perilaku agresif terhadap pasangan. Tayangan kekerasan yang sering muncul dalam program siaran televisi maupun adegan sensual dalam film tertentu dapat memicu tindakan kekerasan terhadap pasangan.

4) Peran Jenis Kelamin, pada banyak kasus, korban kekerasan dalam pacaran adalah perempuan. Hal ini terkait dengan aspek sosial budaya yang menanamkan peran jenis kelamin yang membedakan laki-laki dan perempuan. Laki-laki dituntut untuk memiliki citra maskulin dan macho, sedangkan perempuan feminin dan lemah gemulai. Laki-laki juga dipandang wajar jika agresif, sedangkan perempuan diharapkan untuk mengekang agresifitasnya.

(15)

2.2.6 Dampak Kekerasan dalam Berpacaran

Menurut Setyawati (2010) Kekerasan dalam pacaran menimbulkan dampak baik fisik maupun psikis. Dampak fisik bisa berupa memar, patah tulang, dan sebagainya. Sedangkan luka psikis bisa berupa sakit hati, harga diri yang terluka, terhina, dan sebagainya.

Menurut Engel (2002), dampak utama dari kekerasan emosional yang dialami oleh korban adalah depresi, berkurangnya motivasi, kebingungan, kesulitan berkonsentrasi atau membuat keputusan, rendahnya kepercayaan diri, perasaan gagal atau tidak berarti, keputusasaan, menyalahkan diri sendiri dan menghancurkan diri sendiri. Perasaan yang timbul dalam diri orang yang terlibat dalam kekerasan emosional adalah ketakutan, kemarahan, rasa bersalah, dan rasa malu.

Tindakan kekerasan yang terjadi dalam kehidupan membawa dampak negatif bagi korban. Bukan hanya korban yang harus menanggung beban tersebut melainkan orang-orang terdekatnya sebagai bagian dari keluarga juga terkena dampaknya. Dampak yang terjadi pada korban pun sangat beragam, bersifat fisik dan psikis.

Dampak psikis kekerasan emosional menurut Engel (2002) antara lain : rasa cemas dan takut yang berlebihan. Kecemasan tersebut akan menghambat perempuan untuk mencari bantuan dan menyelesaikan masalahnya. Selain itu rasa percaya diri yang rendah dapat timbul karena perlakuan pasangan yang membuatnya merasa bodoh, tidak berguna dan merepotkan, dampak psikis lain adalah labilnya emosi.

(16)

Berdasarkan uraian di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa dampak bagi korban yang mengalami kekerasan dalam pacaran meliputi hal-hal sebagai berikut : dampak fisik dan dampak psikis.

2.3 Masa Dewasa Awal

Santrock (2003) mengemukakan bahwa dewasa awal dimulai pada akhir usia belasan atau permulaan usia 20-an dan berlangsung sampai usia 30, di masa ini merupakan waktu untuk membentuk perkembangan diri secara optimal dari segi kemandirian, kepentingan pribadi, ekonomi, memulai pasangan yang lebih intim dan rasa tanggung jawab.

Erickson (dalam Monks, Knoers & Haditono, 2001) mengatakan bahwa seseorang yang digolongkan dalam usia dewasa awal berada dalam tahap hubungan hangat, dekat dan komunikatif dengan atau tidak melibatkan kontak seksual. Bila gagal dalam bentuk keintiman maka ia akan mengalami apa yang disebut isolasi (merasa tersisihkan dari orang lain, kesepian, menyalahkan diri karena berbeda dengan yang lain).

(17)

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya perilaku yaitu tidak mengintimidasi dan berperilaku kasar, setiap karyawan pada PT Samolindo Metal berjaya memperlakukan pihak lain baik pihak internal maupun

Dari pengujian kompaksi yang telah dilakukan dengan metoda statik pada tanah campuran dengan mengacu pada nilai dry density yang mendekati hasil tes kompaksi

Anu't anuman, kononsidera ni Onofre na ipasok sa ospital si Angela, lalu na nang kakitaan niya ito ng malalang pakikipagtalo sa sarili sa kanyang pag-iisa, ng pagpupumilit sa buwan

Seni Grafitti di Kota Makassar merupakan ajang perebutan ruang publik bagi bomber grafitti dan berusaha mengaktualisasikan diri mereka agar dikenal atau

Sesuai dengan tujuan yang akan dicapai program diklat ini, maka metode diklat yang akan digunakan adalah proses belajar mengajar dengan metode pembelajaran untuk orang dewasa

Kompetensi adalah karakteristik yang mendasari seseorang berkaitan dengan efektivitas kerja individu dalam pekerjaannya atau karakteristik dasar individu

Penggunaan teknik catat dalam penelitian ini yaitu, dengan mencatat kalimat yang mengandung sentaku no setsuzokushi aruiwa dan soretomo yang terdapat pada novel Norwei no

Pedagang tingkat kabupaten (supra lokal) bertindak sebagai bapak buah (Patron) dan pedagang pengumpul di pasar nagari bertindak sebagai anak buah (klien), yang sebagian