• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari pembentukan perilaku baru yang dapat meningkatkan status kesehatan pada

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari pembentukan perilaku baru yang dapat meningkatkan status kesehatan pada"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pengetahuan

Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah ada dan tersedia, sementara orang lain tinggal menerimanya. Pengetahuan ini merupakan salah satu faktor predisposisi dari pembentukan perilaku baru yang dapat meningkatkan status kesehatan pada pelayanan keperawatan (Notoatmodjo, 2010). Menurut Sunaryo dalam buku Psikologi Keperawatan, pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensoris khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku terbuka

(overt behaviour).

2.1.1 Definisi pengetahuan

Pengetahuan adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Pengetahuan merupakan hasil tahu seseorang yang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecap dan peraba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui pendidikan, pengalaman diri sendiri maupun pengalaman orang lain, media massa maupun lingkungan (Notoatmodjo, 2007). Menurut Mubarak (2006), pengetahuan (knowledge) adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca indranya, yang berbeda sekali dengan kepercayaan (belief), takhayul

(2)

(supersition) dan penerangan-penerangan yang keliru (misinformation). Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan, sebab perilaku ini terjadi akibat adanya paksaan atau aturan yang mengharuskan untuk berbuat.

Beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan adalah fakta-fakta tentang kebenaran yang melibatkan panca indra yang meliputi penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecap dan peraba, sebagian besar pengetahuan merupakan hal yang sangat utuh dalam terbentuknya tindakan seseorang (over behaviour) dan perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.

2.1.2 Tingkatan Pengetahuan

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Sunaryo (2004) menyatakan bahwa pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai lima tingkatan, yaitu :

1. Tahu

Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Tahu artinya dapat mengingat atau mengingat kembali suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Ukuran bahwa seseorang itu tahu, adalah ia dapat menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, dan menyatakan.

2. Memahami

Memahami artinya kemampuan untuk menjelaskan dan mengintepretasikan dengan benar tentang objek yang diketahui. Seseorang yang telah paham

(3)

tentang sesuatu harus dapat menjelaskan, memberikan contoh, dan menyimpulkan.

3. Penerapan

Penerapan yaitu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi nyata atau dapat menggunakan hukum-hukum, rumus, metode dalam situasi nyata.

4. Analisis

Analisis adalah kemampuan untuk menguraikan objek ke dalam bagian-bagian lebih kecil, tetapi masih di dalam suatu struktur objek tersebut dan masih terikat satu sama lain. Ukuran kemampuan adalah seseorang dapat menggambarkan, membuat bagan, membedakan, memisahkan, membuat bagan proses adopsi perilaku, dan dapat membedakan pengertian psikologi dengan fisiologi.

5. Evaluasi

Evaluasi yaitu kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu objek. Evaluasi dapat menggunakan kriteria yang telah ada atau disusun sendiri.

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan

Menurut Wawan dan Dewi (2010) faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan dibagi menjadi dua, yaitu :

A. Faktor Internal 1. Pendidikan

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah cita-cita tertentu yang menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan untuk mencapai keselamatan

(4)

dan kebahagiaan. Jadi, pendidikan ini diperlukan untuk mendapatkan informasi misalnya hal-hal yang dapat menunjang kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Pada umunya makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah untuk menerima informasi.

2. Pekerjaan

Pekerjaan ini merupakan cara untuk mencari nafkah yang dilakukan untuk menunjang kehidupan. Pengalaman yang didapat dalam pekerjaan dapat menjadi sumber pengetahuan baru. Pada umumnya semakin lama seseorang bekerja maka akan semakin banyak pengetahuan yang dimiliki oleh orang tersebut.

3. Umur

Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja.

B. Faktor Eksternal 1. Faktor Lingkungan

Lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada disekitar manusia dan pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang atau kelompok.

2. Sosial Budaya

Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat mempengaruhi sikap dalam menerima informasi.

(5)

2.1.4 Pengukuran Pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan domain kognitif (Notoatmodjo, 2007). Apabila melalui angket, instrumen atau alat ukur yang digunakan seperti wawancara, jawaban responden disampaikan lewat tulisan. Metode pengukuran melalui angket ini sering disebut dengan “self administered” atau metode mengisi sendiri. Menurut Notoatmodjo (2007), mengemukakan bahwa yang mengetahui secara kualitas tingkat pengetahuan yang dimiliki seseorang dapat dibagi menjadi tiga tingkatan :

a. tingkat pengetahuan baik bila skor 76-100% b. tingkat pengetahuan cukup bila skor 56-75% c. tingkat pengetahuan kurang bila skor 0-55%

2.1.5 Pengetahuan Perawat dalam Mencegah Dekubitus

Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya dekubitus, diantaranya dengan perbaikan keadaan umum pasien, pemeliharaan dan perawatan kulit yang baik, papan atau alas tempat tidur yang baik, pencegahan terjadinya luka dan perubahan posisi. Selain pencegahan dekubitus juga dapat dilakukan dengan mengkaji resiko klien terkena dekubitus, dengan melakukan pijatan pada tubuh maupun edukasi pada klien dan support sistem. Pengetahuan pencegahan dekubitus ini harus dimiliki perawat dan diikuti dengan sikap positif dan dipraktekkan dalam asuhan keperawatan. Antara pengetahuan, sikap dan perilaku

(6)

selayaknya berjalan secara sinergis karena terbentuknya perilaku baru akan dimulai dari domain kognitif/pengetahuan, yang selanjutnya akan menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap dan dibuktikan dengan adanya tindakan atau praktek. Pada jurnal Nurses Society, Guideline for prevention and management of pressure ulcers (2010) dijelaskan bahwa pengetahuan yang harus dimiliki oleh perawat dalam pencegahan dekubitus adalah mengetahui tanda dan gejala dari dekubitus dan mampu mengkaji pencegahan dekubitus.

Menurut Siti Maryam (2011), pencegahan dekubitus dapat dilakukan dengan: 1. Mengkaji risiko individu terhadap kejadian dekubitus atau luka tekan.

Pengkajian risiko luka tekan seharusnya dilakukan pada saat pasien memasuki RS dan diulang dengan pola yang teratur atau ketika ada perubahan yang signifikan, seperti pembedahan atau penurunan status kesehatan. Beberapa instrumen pengkajian risiko dapat digunakan untuk mengetahui skor risiko. Diantara skala yang sering digunakan adalah skala norton.

(7)

Tabel 2.1. Pengkajian Skor Norton (www.slideshare.net/iksan008_ndut/as-uhan-keperawatan)

2. Mengidentifikasi kelompok-kelompok yang beresiko tinggi terhadap kejadian luka tekan. Orang tua dengan usia lebih dari 60 tahun, bayi, dan neonatal, pasien injuri tulang belakang, pasien dengan bedrest adalah kelompok yang mempunyai risiko tinggi terhadap kejadian luka tekan.

3. Mengkaji keadaan kulit secara teratur. a. Pengkajian kulit setidaknya sehari sekali

b. Mengkaji semua daerah di atas tulang yang menonjol setidaknya sehari sekali

c. Kulit yang kemerahan dan daerah di atas tulang yang menonjol seharusnya tidak dipijat karena pijatannya yang keras dapat mengganggu perfusi ke jaringan.

(8)

4. Mengkaji status mobilitas

Untuk pasien yang lemah, lakukanlah perubahan posisi. Ketika menggunakan posisi lateral, hindari tekanan secara langsung pada daerah trochanter. Untuk menghindari luka tekan di daerah tumit, gunakanlah bantal yang diletakkan di bawah kaki. Bantal juga dapat digunakan pada daerah berikut untuk mengurangi kejadian luka tekan yaitu di antara lutut kanan dan kiri, di antara mata kaki, dibelakang punggung, dan di bawah kepala.

5. Meminimalkan terjadinya tekanan

Hindari menggunakan kassa yang berbentuk donat di tumit. Perawat rumah sakit di Indonesia masih sering menggunakan donat yang dibuat dari kasa atau balon untuk mencegah luka tekan.

6. Mengkaji dan meminimalkan terhadap pergesekan (friction) dan tenaga yang merobek (shear).

Bersihkan dan keringkan kulit secepat mungkin setelah inkontinensia. Kulit yang lembab mengakibatkan mudahnya terjadi pergeseran dan perobekan jaringan. Pertahankan kepala tempat tidur pada posisi 30 atau di bawah 30 derajat untuk mencegah pasien mengalami pergesekan yang dapat mengakibatkan terjadinya perobekan jaringan.

7. Mengkaji inkontinensia

Kelembaban yang disebabkan oleh inkontinensia dapat menyebabkan maserasi. Lakukanlah latihan untuk melatih kandung kemih (bladder training) pada pasien yang mengalami inkontinensia. Hal lain yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya luka tekan adalah:

(9)

b. Hindari menggosok kulit dengan keras karena dapat mengakibatkan trauma pada kulit

c. Pembersih perianal yang mengandung antimikroba topikal dapat digunakan untuk mengurangi jumlah mikroba di daerah kulit perianal d. Gunakanlah air yang hangat atau sabun yang lembut untuk mencegah

kekeringan pada kulit

e. Berikanlah pelembab pada pasien setelah dimandikan untuk mengembalikan kelembaban kulit

f. Bila pasien menggunakan diaper, pilihlah diaper yang memiliki daya serap yang baik, untuk mengurangi kelembapan kulit akibat inkontinensia. 8. Mengkaji status nutrisi

Mengkaji status nutrisi yang meliputi berat badan pasien, intake makanan, nafsu makan, ada tidaknya masalah dengan pencernaan, gangguan pada gigi, riwayat pembedahan atau intervensi keperawatan/medis yang mempengaruhi intake makanan

9. Mengkaji dan memonitor luka tekan pada setiap penggantian balutan luka meliputi:

a. Deskripsi dari luka tekan meliputi lokasi, tipe jaringan (granulasi, nekrotik, eschar), ukuran luka, eksudat (jumlah, tipe, karakter, bau), serta ada tidaknya infeksi

b. Stadium dari luka tekan c. Kondisi kulit sekeliling luka d. Nyeri pada luka

(10)

10. Mengkaji faktor yang menunda status penyembuhan

a. Penyembuhan luka seringkali gagal karena adanya kondisi-kondisi seperti malignansi, diabetes, gagal jantung, gagal ginjal, pneumonia

b. Medikasi seperti steroid agen imunosupresif, atau obat anti kanker juga akan mengganggu penyembuhan luka

11. Mengevaluasi penyembuhan luka

a. Luka tekan stadium II seharusnya menunjukkan penyembuhan luka dalam waktu satu sampai dua minggu. Pengecilan ukuran luka setelah dua minggu juga dapat digunakan untuk memprediksi penyembuhan luka. Bila kondisi luka memburuk, evaluasi luka secepat mungkin

b. Menggunakan parameter untuk penyembuhan luka termasuk dimensi luka, eksudat, dan jaringan luka

12. Mengkaji komplikasi yang potensial terjadi karena luka tekan seperti abses, osteomielitis, bakterimia, fistula.

2.2 Konsep Dekubitus

Salah satu aspek utama dalam pemberian asuhan keperawatan adalah mempertahankan integritas kulit. Intervensi perawatan kulit yang terencana dan konsisten merupakan intervensi penting untuk menjamin perawatan yang berkualitas tinggi (Holf, 1989 dalam Potter & Perry 2009). Gangguan integritas kulit terjadi akibat tekanan yang lama, iritasi kulit, atau imobilisasi, sehingga menyebabkan terjadi dekubitus.

(11)

2.2.1 Pengertian Dekubitus

Dekubitus merupakan nekrosis jaringan lokal yang cenderung terjadi ketika jaringan lunak tertekan di antara tonjolan tulang dengan permukaan eksternal dalam jangka waktu lama (Sudoyo AW, dkk 2009). Dekubitus atau ulkus dekubitus, juga disebut pressure sores atau bed sores, adalah lesi di kulit yang terjadi akibat rusaknya epidermis, dermis, dan kadang-kadang jaringan subkutis dan tulang dibawahnya. Ulkus dekubitus biasanya dijumpai pada orang-orang yang dirawat di tempat tidur atau mengalami penurunan mobilitas, terutama bila disertai dengan status nutrisi yang buruk. Meskipun demikian, ulkus dapat dialami oleh individu yang mobilitasnya normal, namun sensitivitas terhadap nyeri menurun, seperti pada penderita diabetes melitus, cedera medula spinalis, atau stroke. Keparahan suatu ulkus didasarkan pada kedalamannya. Ulkus yang tampak kecil di permukaan kulit dapat berkaitan dengan kerusakan luas di bawah kulit (Elizabeth Corwin, 2009).

2.2.2 Proses Terjadinya Dekubitus

Luka dekubitus merupakan dampak dari tekanan yang terlalu lama pada area permukaan tulang yang menonjol dan mengakibatkan berkurangnya sirkulasi darah pada area yang tertekan dan lama kelamaan jaringan setempat mengalami iskemik, hipoksia dan berkembang menjadi nekrosis. Tekanan yang normal pada kapiler adalah 32 mmHg. Apabila tekanan kapiler melebihi dari tekanan darah dan struktur pembuluh darah pada kulit, makan akan terjadi kolaps. Dengan terjadi kolaps akan menghalangi oksigenasi dan nutrisi ke jaringan, selain itu area yang tertekan menyebabkan terhambarnya aliran darah. Dengan adanya peningkatan

(12)

tekanan arteri kapiler terjadi perpindahan cairan ke kapiler, ini akan menyokong untuk terjadi edema dan konsekuensinya terjadi autolysis. Hal lain juga mengkontribusi untuk terjadi nekrosis pada jaringan (Healthyenthusiast, 2014).

2.2.3 Faktor yang mempengaruhi luka dekubitus

Gangguan integritas kulit yang terjadi pada dekubitus merupakan akibat tekanan. Tetapi, ada faktor-faktor tambahan yang dapat meningkatkan resiko terjadi luka dekubitus yang lebih lanjut pada pasien. Menurut Potter & Perry (2009) ada 10 faktor yang mempengaruhi pembentukan luka dekubitus diantaranya gaya gesek, friksi, kelembaban, nutrisi buruk, anemia, infeksi, demam, gangguan sirkulasi perifer, obesitas, kakesia, dan usia.

1. Gaya gesek

Gaya gesek merupakan tekanan yang diberikan pada kulit dengan arah paralel terhadap permukaan tubuh (AHPCR, 1994 dalam Potter & Perry 2009). Gaya ini terjadi saat pasien bergerak atau memperbaiki posisi tubuhnya diatas tempat tidur dengan cara didorong atau di geser kebawah saat berada pada posisi

fowler yang tinggi. Jika terdapat gaya gesek maka kulit dan lapisan subkutan menempel pada permukaan tempat tidur, dan lapisan otot serta tulang bergeser sesuai dengan arah gerakan tubuh. Tulang pasien bergeser kearah kulit dan memberi gaya pada kulit (Maklebust & Sieggren, 1991 dalam Potter & Perry 2009).

2. Friksi

Friksi merupakan gaya mekanika yang diberikan pada kulit saat digeser pada permukaan kasar seperti alat tenun tempat tidur (AHPCR, 1994 dalam Potter &

(13)

Perry, 2009). Tidak seperti cedera akibat gaya gesek, cedera akibat friksi mempengaruhi epedermis atau lapisan kulit bagian atas, yang terkelupas ketika pasien mengubah posisinya. Seringkali terlihat cedera abrasi pada siku atau tumit (Wysocki & Bryant, 1992 dalam Potter & Perry 2009). Karena cara terjadi luka seperti ini, maka perawat sering menyebut luka bakar sprei “sheet burns” (Bryant el el, 1992 dalam Potter & Perry, 2009).

3. Kelembaban

Adanya kelembaban pada kullit dan durasinya meningkatkan terjadinya kerusakan integritas kulit. Akibat kelembaban terjadi peningkatan resiko pembentukan dekubitus sebanyak lima kali lipat (Reuler & Cooney, 1981 dalam Potter & Perry, 2009). Kelembaban menurunkan resistensi kulit terhadap faktor fisik lain seperti tekanan atau gaya gesek (Potter & Perry, 2009). Kelembaban kulit dapat berasal dari drainase luka, keringat, kondensasi dari sistem yang mengalirkan oksigen yang dilembabkan, muntah, dan inkontensia. Beberapa cairan tubuh seperti urine, feses, dan inkontinensia menyebabkan erosi kulit dan meningkatkan resiko terjadi luka akibat tekanan pada pasien (Potter & Perry, 2009).

4. Nutrisi Buruk

Pasien kurang nutrisi sering mengalami atrofi otot dan jaringan subkutan yang serius. Akibat perubahan ini maka jaringan yang berfungsi sebagai bantalan diantara kulit dan tulang menjadi semakin sedikit. Oleh karena itu efek tekanan meningkat pada jaringan tersebut. Malnutrisi merupakan penyebab kedua hanya pada tekanan yang berlebihan dalam etiologi, patogenesis, dekubitus yang tidak sembuh (Hanan & scheele, 1991 dalam Potter & Perry, 2009).

(14)

5. Anemia

Pasien anemia beresiko terjadi dekubitus. Penurunan level hemoglobin mengurangi kapasitas darah membawa nutrisi dan oksigen serta mengurangi jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan. Anemia juga mengganggu metabolisme sel dan mengganggu penyembuhan luka (Potter & Perry, 2009). 6. Kakeksia

Kakeksi merupakan penyakit kesehatan dan malnutrisi umum, ditandai kelemahan dan kurus. Kakeksia biasa berhubungan dengan penyakit berat seperti kanker dan penyakit kardiopulmonal tahap akhir. Kondisi ini meningkatkan resiko luka dekubitus pada pasien. Pada dasarnya pasien kakeksia mengalami kehilangan jaringan adipose yang berguna untuk melindungi tonjolan tulang dari tekanan (Potter & Perry, 2009).

7. Obesitas

Obesitas dapat mengurangi dekubitus. Jaringan adipose pada jumlah kecil berguna sebagai bantalan tonjolan tulang sehingga melindungi kulit dari tekanan. Pada obesitas sedang ke berat, jaringan adipose memperoleh vaskularisasi yang buruk, sehingga jaringan adipose dan jaringan lain yang berada dibawahnya semakin rentan mengalami kerusakan akibat iskemi (Potter & Perry, 2009).

8. Demam

Infeksi disebabkan adanya patogen dalam tubuh. Pasien infeksi biasa mengalami demam. Infeksi dan demam meningkatkan kebutuhan metabolik tubuh, membuat jaringan yang telah hipoksia (penurunan oksigen) semakin rentan mengalami iskemi (Skheleton & Litwalk, 1991 dalam Potter & Perry,

(15)

2009). Selain itu demam menyebabkan diaporesis (keringetan) dan meningkatkan kelembaban kulit, yang selanjutnya yang menjadi predisposisi kerusakan kulit pasien (Potter & Perry, 2009).

9. Gangguan Sirkulasi Perifer

Penurunan sirkulasi menyebabkan jaringan hipoksia dan lebih rentan mengalami kerusakan iskemia. Gangguan sirkulasi pada pasien yang menderita penyakit vaskuler, pasien syok atau yang mendapatkan pengobatan sejenis vasopresor (Potter & Perry, 2009).

10. Usia

Studi yang dilakukan oleh Kane et al (1989) mencatat adanya luka dekubitus yang terbesar pada penduduk berusia lebih dari 75 tahun. Lansia mempunyai potensi besar untuk mengalami dekubitus oleh karena berkaitan dengan perubahan kulit akibat bertambahnya usia, kecenderungan lansia yang lebih sering berbaring pada satu posisi oleh karena itu imobilisasi akan memperlancar resiko terjadinya dekubitus pada lansia.

Selain faktor-faktor yang disebutkan sebelumnya, menurut Siti Maryam (2011) menjelaskan faktor risiko terjadinya dekubitus antara lain, yaitu: 1. Mobilitas dan aktivitas

Mobilitas adalah kemampuan untuk mengubah dan mengontrol posisi tubuh, sedangkan aktivitas adalah kemampuan untuk berpindah. Pasien yang berbaring terus menerus di tempat tidur tanpa mampu untuk merubah posisi beresiko tinggi untuk terkena luka tekan. Imobilitas adalah faktor yang paling signifikan dalam kejadian luka tekan. Penelitian yang dilakukan Suriadi (2003) disalah satu rumah sakit di Pontianak juga

(16)

menunjukkan bahwa mobilitas merupakan faktor yang signifikan untuk perkembangan luka tekan.

2. Penurunan sensori persepsi

Pasien dengan penurunan sensori persepsi akan mengalami penurunan untuk merasakan sensasi nyeri akibat tekanan di atas tulang yang menonjol. Bila ini terjadi dalam durasi yang lama, pasien akan mudah terkena luka tekan.

3. Stres emosional

Depresi dan stress emosional kronik misalnya pada pasien psikiatrik juga merupakan faktor risiko untuk perkembangan dari luka tekan.

4. Merokok

Nikotin yang terdapat pada rokok dapat menurunkan aliran darah dan memiliki efek toksik terhadap endotelium pembuluh darah. Menurut hasil penelitian Suriadi (2002) ada hubungan yang signifikan antara merokok dengan perkembangan terhadap luka tekan.

2.2.4 Stadium Luka pada Dekubitus

Pada artikel review Pressure Ulcer : Back To Basics (2012), luka dekubitus dibagi menjadi empat stadium, yaitu:

1. Stadium 1

Adanya perubahan dari kulit yang dapat diobsevasi. Apabila dibandingkan dengan kulit yang normal, maka akan tampak salah satu tanda sebagai berikut : perubahan temperatur kulit (lebih dingin atau lebih hangat), perubahan konsistensi jaringan (lebih keras atau lunak), perubahan sensasi (gatal atau

(17)

nyeri). Pada orang yang berkulit putih, luka mungkin kelihatan sebagai kemerahan yang menetap. Sedangkan pada yang berkulit gelap, luka akan kelihatan sebagai warna merah yang menetap, biru atau ungu.

Gambar 2.1 Stadium 1 Luka Dekubitus (courtesy of Prof. Hironi Sanada, Japan)

2. Stadium II

Hilangnya sebagian lapisan kulit yaitu epidermis atau dermis, atau keduanya. Cirinya adalah lukanya superficial, abrasi, melepuh, atau membentuk lubang yang dangkal. Jika kulit terluka atau robek maka akan timbul masalah baru, yaitu infeksi. Infeksi memperlambar penyembuhan ulkus yang dangkal dan bisa berakibat fatal terhadap ulkus yang lebih dalam.

(18)

3. Stadium III

Hilangnya lapisan kulit secara lengkap, meliputi kerusakan atau nekrosis dari jaringan subkutan atau lebih dalam, tapi tidak sampai pada fascia. Luka terlihat seperti lubang yang dalam.

Gambar 2.3 Stadium 3 Luka Dekubitus (courtesy of Prof. Hironi Sanada, Japan)

4. Stadium IV

Hilangnya lapisan kulit secara lengkap dengan kerusakan yang luas, nekrosis jaringan, kerusakan pada otot, tulang atau tendon. Adanya lubang yang dalam serta saluran sinus.

(19)

2.3 Konsep Perilaku Caring

Ilmu keperawatan adalah ilmu tentang kebutuhan manusia dan cara memenuhi kebutuhan dasar. Caring merupakan esensi dari praktik keperawatan dalam memenuhi kebutuhan manusia. Perawat sebagai caring profesional harus memahami secara eksplisit dan implisit tentang apa yang terkandung dalam

caring profesional. Perilaku caring juga sangat penting untuk tumbuh kembang, memperbaiki dan meningkatkan kondisi atau cara hidup manusia (Blais, 2007).

Caring mengandung tiga hal yang tidak dapat dipisahkan yaitu perhatian, tanggung jawab, dan dilakukan dengan ikhlas. Memberikan asuhan (caring)

secara sederhana tidak hanya sebuah perasaan emosional atau tingkah laku sederhana, karena caring merupakan kepedulian untuk mencapai perawatan yang lebih baik, perilaku caring bertujuan dan berfungsi membangun struktur sosial, pandangan hidup dan nilai kultur setiap orang yang berbeda pada satu tempat (Dwidiyanti, 2007), maka kinerja perawat khususnya pada perilaku caring

menjadi sangat penting dalam mempengaruhi kualitas pelayanan yang nantinya akan dapat meningkatkan kepuasan pasien dan mutu pelayanan (Potter dan Perry, 2009).

Menurut Notoatmodjo (2007), perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan.

(20)

2.3.1 Pengertian

Caring merupakan sentral praktik keperawatan. Potter & Perry (2009) menjelaskan bahwa caring adalah fenomena universal yang mempengaruhi cara manusia berfikir, merasa, dan mempunyai hubungan dengan sesama. Klien dan keluarga mengharapkan kualitas hubungan individu yang baik dari perawat.

Teori yang mendukung pernyataan bahwa caring merupakan sentral praktik keperawatan dan bukan merupakan sesuatu yang unik dalam praktik keperawatan adalah teori yang dikemukakan oleh Swanson. Swanson (1991, dalam Potter & Perry, 2009) mendefinisikan bahwa caring adalah suatu cara pemeliharaan hubungan dengan menghargai orang lain, disertai perasaan memiliki, dan tanggung jawab. Teori Swanson berguna dalam memberikan petunjuk bagaimana membangun strategi caring yang berguna dan efektif.

Caring merupakan hubungan pemberi layanan yang dapat bersifat terbuka maupun tertutup. Perawat dan klien masuk dalam suatu hubungan yang tidak hanya sekedar seseorang “melakukan tugas untuk” yang lainnya. Ada hubungan memberi dan menerima yang terbentuk sebagai awal dari saling mengenal dan peduli antara perawat dan klien (Banner 2004, dalam Potter & Perry, 2009).

2.3.2 Perilaku Caring dalam Praktik Keperawatan

Menurut Sartika (2010), tindakan caring bertujuan untuk memberikan asuhan fisik dan memperhatikan emosi sambil meningkatkan rasa aman dan keselamatan klien. Kemudian caring juga menekankan harga diri individu, artinya dalam melakukan praktik keperawatan, perawat senantiasa selalu menghargai klien dengan menerima kelebihan maupun kekurangan klien sehingga bisa

(21)

memberikan pelayanan kesehatan yang tepat. Tiga aspek yang mendasari keharusan perawat untuk care terhadap orang lain. Aspek ini adalah aspek kontrak, aspek etika dan aspek spiritual dalam caring terhadap orang lain yang sakit.

a. Aspek kontrak

Telah diketahui bahwa, sebagai profesional, kita berada dibawah kewajiban kontrak untuk care. Sartika (2010) mengatakan, “perawat memiliki tugas

profesional untuk memberikan care”. Untuk itu, kita sebagai perawat yang

profesional diharuskan untuk bersikap care sebagai kontrak kerja kita. b. Aspek etika

Pertanyaan etika adalah pertanyaan tentang apa yang benar atau salah, bagaimana membuat keputusan yang tepat, bagaimana bertindak dalam situasi tertentu. Jenis pertanyaan ini akan memengaruhi cara perawat memberikan asuhan. Seorang perawat harus care karena hal itu merupakan suatu tindakan yang benar dan sesuatu yang penting. Dengan care perawat dapat memberikan kebahagiaan bagi orang lain.

c. Aspek spiritual

Perawat yang religious adalah orang yang care, bukan karena dia seorang perawat tetapi lebih karena dia adalah suatu agama atau kepercayaan, perawat harus care terhadap klien.

2.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Caring

Pada penelitian yang dilakukan oleh Rika (2013) dijelaskan bahwa perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu : faktor predisposisi

(22)

(predisposing factor), faktor pemungkin (enabling factor), dan faktor penguat (reinforcing factor).

1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factor) terwujud dalam: a. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensori khususnya mata dan telinga terhadap obyek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku terbuka.

b. Sikap

Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek, baik yang bersifat intern maupun ekstern sehingga manifestasinya tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup tersebut. Sikap secara realitas menunjukkan adanya kesesuaian respon terhadap stimulus tertentu. Tingkatan respon adalah menerima (receiving), merespon (responding), menghargai (valuing), dan bertanggung jawab (responsible).

c. Nilai-nilai

Nilai-nilai atau norma yang berlaku akan membentuk perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai atau norma yang telah melekat pada diri seseorang.

d. Kepercayaan

Seseorang yang mempunyai atau menyakini suatu kepercayaan tertentu akan mempengaruhi perilakunya dalam menghadapi suatu penyakit yang akan berpengaruh terhadap kesehatannya.

(23)

e. Persepsi

Persepsi merupakan proses yang menyatu dalam diri individu terhadap stimulus yang diterimanya. Persepsi merupakan proses pengorganisasian, penginterpretasikan terhadap rangsang yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupaka sesuatu yang berarti dan merupakan respon yang menyeluruh dalam diri individu.

2. Faktor-faktor pemungkin (enabling factor)

Faktor pendukung merupakan faktor pemungkin. Faktor ini bisa sekaligus menjadi penghambat atau mempermudah niat suatu perubahan perilaku dan perubahan lingkungan yang baik. Faktor pendukung mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas. Sarana dan fasilitas ini pada hakekatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya suatu perilaku, sehingga disebut sebagai faktor pendukung atau faktor pemungkin.

3. Faktor-faktor penguat (reinforcing factor)

Faktor-faktor pendorong merupakan penguat terhadap timbulnya sikap dan niat untuk melakukan sesuatu atau berperilaku. Suatu pujian, sanjungan dan penilaian yang baik akan memotivasi, sebaliknya hukuman dan pandangan negatif seseorang akan menjadi hambatan proses terbentuknya perilaku. Faktor-faktor pendorong juga mencakup program kesehatan, peraturan, undang-undang, kebijakan, dan perilaku serta sikap petugas kesehatan yang lain.

(24)

2.3.4 Jenis-Jenis Caring

Watson (2009) menjelaskan jenis-jenis caring yaitu: a. Caring sebagai suatu proses

Caring sebagai suatu proses yang berorientasi pada tujuan membantu orang lain bertumbuh dan mengaktualisasikan diri. Caring sebagai suatu proses merupakan perilaku yang membutuhkn jiwa besar dan mampu berlapang dada. b. Caring sebagai suatu bentuk normal

Caring sebagai moral imperative (bentuk moral) sehingga perawat harus terdiri dari orang-orang yang bermoral baik dan memiliki kepedulian terhadap kesehatan pasien, yang mempertahankan martabat dan menghargai pasien sebagai manusia istimewa. Cara perawat melihat pasien sebagai manusia yang mempunyai kekuatan, dan bukan hanya fisik, tapi juga mempunyai jiwa dan kebutuhan harus menjadi bagian penting dari perilaku caring.

c. Caring sebagai suatu affect

Caring sebagai suatu affect digambarkan sebagai suatu emosi, perasaan belas kasih, atau empati terhadap pasien yang mendorong perawat untuk memberikan asuhan keperawatan bagi klien/pasien. Dengan demikian perasaan tersebut harus ada dalam diri setiap perawat agar dapat merawat pasien dengan baik.

2.3.5 Perilaku Caring dalam Praktik Pencegahan Dekubitus

Menurut Potter & Perry 2009, terdapat tiga area intervensi untuk mencegah terjadi dekubitus adalah perawatan kulit, yang meliputi hiegenis dan

(25)

perawatan kulit topikal; pencegahan mekanik dan pendukung untuk permukaan, yang meliputi pemberian posisi, penggunaan tempat tidur dan kasur terapeutik. 1. Higiene dan Perawatan Kulit

Perawat harus menjaga kulit klien tetap bersih dan kering. Pada perlindungan dasar untuk mencegah kerusakan kulit, maka kulit klien dikaji terus menerus oleh perawat, daripada didelegasi ke tenaga kesehatan lainnya.

2. Pengaturan posisi

Intervensi pengaturan posisi diberikan untuk mengurangi tekanan dan gaya gesek pada kulit. Dengan menjaga bagian kepala tempat tidur setinggi 30 derajat atau kurang akan menurunkan peluang terjadi dekubitus akibat gaya gesek. Posisi klien imobilisasi harus diubah sesuai dengan tingkat aktivitas, kemampuan persepsi, dan rutinitas sehari-hari. Oleh karena itu standar perubahan posisi dengan interval satu sampai 1 ½ mungkin tidak dapat mencegah terjadi dekubitus pada beberapa klien. AHCPR (1992) dalam Potter & Perry 2009 merekomendasikan penggunaan jadwal tertulis untuk mengubah dan menentukan posisi tubuh. Klien harus diubah posisinya minimal setiap dua jam.

Pada jurnal Pressure Ulcer Prevention and Repositioning yang dikemukakan oleh T. Defloor, et al (2011) pada penelitiannya dikatakan bahwa perubahan posisi setiap dua jam pada pasien imobilisasi lebih efektif, dikarenakan suhu kulit akan meningkat setelah dua jam dari imobilisasi dibandingkan setelah satu atau 1 ½ jam. Pada dua jam perubahan posisi dilakukan selama 3,5 menit. Saat melakukan perubahan posisi, alat bantu untuk posisi harus digunakan untuk melindungi tonjolan tulang. Klien yang mampu duduk di atas kursi harus

(26)

dibatasi selama dua jam atau kurang. Sekali lagi, ketepatan waktu merupakan hal yang individu, tapi perawat tidak boleh membiarkan klien duduk dalam waktu lebih lama dari waktu yang direkomendasikan, yang dihitung selama pengkajian.

3. Alas Pendukung (Kasur dan Tempat Tidur Terapeutik)

Berbagai jenis alas pendukung, termasuk kasur dan tempat tidur khusus, telah dibuat untuk mengurangi bahaya imobilisasi pada sistem kulit dan muskuloskeletal. Tidak ada satu alat pun yang dapat menghilangkan efek tekanan pada kulit. Pentingnya untuk memahami perbedaan dan antara alas atau alat pendukung yang dapat mengurangi tekanan dan alat pendukung yang dapat menghilangkan tekanan.

Pada jurnal Pressure Ulcer Prevention and Repositioning yang dikemukakan oleh T. Defloor, et al (2011) dijelaskan bahwa pada penelitiannya untuk alas yang baik digunakan pada pasien imobilisasi dalam pencegahan dekubitus adalah kasur yang lembut dan kasur dengan gelembung air, pada negara tertentu biasanya menggunakan bulu domba sebagai alas pada daerah-daerah tertentu yang berpotensi terjadinya dekubitus. Saat memilih tempat tidur khusus, perawat harus mengkaji kebutuhan klien secara keseluruhan. Saat memilih alas pendukung, perawat harus mengetahui tujuan pembuatan alas pendukung tersebut. The Support Consesus Panel mengidentifikasi tiga tujuan alat pendukung tersebut, yaitu : kenyamanan, kontrol postur tubuh, dan manajemen tekanan.

(27)

4. Melibatkan keluarga

Menurut Mubarak (2005), pengetahuan keluarga dalam mencegah terjadinya dekubitus sangat penting karena keluarga mempunyai tugas dalam pemeliharaan kesehatan para anggotanya, serta pemeliharaan fisik anggotanya, pemeliharaan sumber-sumber yang ada dalam keluarga. Dekubitus beresiko tinggi terjadi pada pasien yang tidak mampu merasakan nyeri dan pasien yang terjadi kerusakan saraf seperti pada pasien stroke, sehingga keluarga perlu tahu cara mencegah terjadinya dekubitus sehingga tugas keluarga dapat terpenuhi. Hal ini dikarenakan, keluarga yang bertugas untuk mendampingi pasien setiap saat dan setiap waktu. Oleh karena itu, dalam pencegahan dekubitus ini, pelibatan keluarga sangatlah penting. Menurut Mukti (2005) intervensi keperawatan yang digunakan untuk mencegah terjadinya dekubitus pada pasien stroke yaitu:

1. Ubah posisi pasien sedikitnya dua jam sekali. Ketika mengubah hindari pergesekan seperti menggeser pasien dengan linen atau alat-alat lain.

2. Anjurkan pasien untuk duduk di kursi roda setiap 10 menit untuk mengurangi tekanan. Bila penderita dapat duduk, dapat didudukkan di kursi. Gunakan bantalan untuk penyangga kedua kaki dan bantal-bantal kecil untuk menahan tubuh penderita. Bila memungkinkan ganti posisi tidur setiap hari dengan cara mengganjalnya dengan bantal atau bantalan busa. 3. Anjurkan masukan nutrisi yang tepat dan cairan yang adekuat.

4. Segera bersihkan feses atau urin dari kulit karena bersifat initiatif terhadap kulit. Cuci dan keringkan daerah tersebut dengan segera.

(28)

6. Jaga agar kulit tetap bersih dan kering.

7. Jaga agar linen tetap kering bersih dan bebas dari kerutan/tidak kusut dan benda keras.

8. Mandikan pasien dan beri perhatian khusus pada daerah-daerah yang beresiko mengalami tekanan atau gesekan.

9. Masase sekitar daerah kemerahan dengan menggunakan lotion.

10. Beri sedikit bedak tabur yang mengandung calamine, zinc, camphor yang bermanfaat untuk mencegah kerusakan kulit akibat garukan karena gatal. Jangan sampai bedak menumpuk atau menggumpal.

11. Lakukan latihan ROM minimal dua kali sehari untuk mencegah kontraktur.

12. Periksa kesesuaian dan penggunaan penahan atau resistein.

13. Gunakan kasur busa, kasur kulit atau kasur perubahan tekanan. Jika pasien harus mengalami tirah baring dalam waktu yang lama, bisa digunakan kasur khusus, yaitu kasur yang diisi dengan air atau udara.

Gambar

Tabel 2.1. Pengkajian Skor Norton (www.slideshare.net/iksan008_ndut/as-uhan-keperawatan)
Gambar 2.2. Stadium 2 Luka Dekubitus (courtesy of Prof. Hironi Sanada, Japan)
Gambar 2.3 Stadium 3 Luka Dekubitus (courtesy of Prof. Hironi Sanada, Japan)

Referensi

Dokumen terkait

Kebijakan puritanisme oleh sultan Aurangzeb dan pengislaman orang-orang Hindu secara paksa demi menjadikan tanah India sebagai negara Islam, dengan menyerang berbagai praktek

Merupakan perbaikan dari prosedur quenching dan digunakan untuk mengurangi distorsi dan chocking selama pendinginan. Caranya benda kerja dipanaskan sampai ke

Tugas sehari-hari seorang Public Relations officer (PRO) adalah mengadakan kontak social dengan kelompok masyarakat tertentu, serta menjaga hubungan baik (community

Dalam banyak kasus, sebuah perusahaan e-commerce bisa bertahan tidak hanya mengandalkan kekuatan produk saja, tapi dengan adanya tim manajemen yang handal, pengiriman yang tepat

Tujuan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan umur, masa kerja, pengetahuan dan motivasi bidan dengan pelaksanaan program Inisiasi Menyusus Dini di

kahoot .Dari 34 mahasiswa, hanya 1 orang yang menyatakan tidak berusaha membaca materi terlebih dahulu sebelum mengikuti ujian.Selain itu, responden menjawab dengan

Smarts, diketahui bahwa standart kompensasi yang sudah ada belum dapat diterapkan secara maksimal sehingga belum dapat memberikan hasil yang optimal, kurangnya kemampuan