• Tidak ada hasil yang ditemukan

GEOLOGI CEKUNGAN BINTUNI DAN SALAWATI, KAWASAN KEPALA BURUNG (PAPUA BARAT)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GEOLOGI CEKUNGAN BINTUNI DAN SALAWATI, KAWASAN KEPALA BURUNG (PAPUA BARAT)"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS GADJAH MADA

FAKULTAS TEKNIK

DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI

TUGAS KULIAH GEOLOGI INDONESIA

KONDISI DAN POTENSI GEOLOGI

DI KAWASAN KEPALA BURUNG (PAPUA BARAT)

Disusun Oleh:

M. Virgiawan Agustin

13/353018/TK/41322

DOSEN PENGAMPU:

Ir. Budianto Toha, M.Sc.

YOGYAKARTA

MARET

2016

(2)

Bab 1. Pendahuluan

Di dunia, wilayah Irian Jaya yang termasuk pada bagian paling timur Indonesia masih termasuk wilayah yang masih jarang tereksplorasi. Bentuk lahan yang umumnya tertutup oleh hutan rawa dan pegunungan berelevasi tinggi merupakan alasan mengapa wilayah ini masih realtif sulit untuk diakses. Bentuk Pulau Irian Jaya yang ada sekarang merupakan ekspresi permukaan hasil dari interaksi antara lempeng Indo-Australia dengan lempeng Pasifik menghasilkan kondisi geologi Irian Jaya sangat kompleks dan salah satu keuntungannya adalah membentuk wilayah yang sangat berpotensial sebagai deposit mineral.

Jika Pulau Irian Jaya dianalogikan sebagai pulau berbentuk burung, maka secara topografi pulau ini dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu tubuh burung, leher burung, dan kepala burung. Tubuh burung merupakan bagian paling timur dan terbesar yang didominasi oleh pegunungan tengah masif dan daerah Central Range dimana pada bagian utaranya berupa dataran yang merupakan cekungan disebut dengan Meervlakte yang dibatasi oleh pegunungan metamorfisme dengan relief sedang. Leher burung terletak ditengah yang tersusun oleh punggungan membentuk antiklin tersesarkan dan Weyland Range yang merupakan pegunungan masif sebagi penghubung antara tubuh dan kepala burung. Kepala burung merupakan bagian paling utara yang tersusun oleh batuan metamorf dan granit tersesarkan oleh Sesar Sorong dan Sesar Ransiki berarah NE. Pada tulisan kali ini akan lebih membahas pada bagian Kepala Burung.

Kondisi fisiografis secara umum wilayah Kepala Burung merupakan daerah dengan pegunungan berelief kasar, terjal sampai sangat terjal. Tersusun atas batuan gunung api, batuan metamorf, batuan intrusif yang bersifat asam hingga intermediate. Morfologi daerah ini mengalami perubahan dari barat ke timur membentuk dataran alluvial, rawa dan plateau dari batugamping. Batuan vulkanik tersebut merupakan batuan yang termasuk dalam bagian utara lempeng Indo-Australia terjadi selama periode tumbukan kontinen dengan busur kepulauan pada waktu Oligosen. Bagian dari Mobile Belt ini tersusun oleh batuan ultramafik Mesozoik sampai Tersier dan mendasari batuan intrusi dari Sabuk Ophiolit Papua dibagian utara yang dibatasi oleh suatu endapan gunung api bawah laut yang berumur Tersier. Endapan Gunung Api bawah laut ini tumpang tindih dengan sedimen klastik hasil erosi selama pengangkatan pegunungan tengah yang diendapkan di cekungan Pantai Utara. Pergerakan dari kerak samudera Pasifik sekarang mempunyai batas di sebelah utara pantai Pulau New Guinea.

(3)

Bab 2. Kondisi Geologi 2.1. Fisiografi Daerah Gambar 1. Fisiografi daerah Papua Nugini

Beberapa peneliti terdahulu yang telah melakukan studi terhadap geologi Papua berpendapat bahwa orogenesis (pengangkatan) pada Kala Oligosen merupakan awal mulainya proses tektonik Papua hingga terbentuk fisiografi yang terlihat pada saat ini yang dikenal sebagao Orogen Melanesia. Orogenesis tersebut menghasilkan 3 mandala geologi, dimana Dow et al. (1986) membagi geologi Papua menjadi 3 lajur berdasarkan stratigrafi, magmatic, dan tektoniknya yaitu:

1 Kawasan Samudera Utara yang dicirikan oleh ofiolit dan busur vulkanik kepulauan (Oceanic Province) sebagai bagian dari Lempeng Pasifik. Batuan-batuan ofiolit pada umumnya tersingkap di sayap utara Pegunungan Tengah Papua Nugini.

2 Kawasan Benua yang terdiri dari batuan sedimen yang menutupi batuan dasar kontinen yang relative stabil dan tebal yang terpisah dari Kraton Australia.

3 Lajur peralihan yang terdiri atas batuan termalihkan (metamorf) dan terdeformasi sangat kuat secara regional. Lajur ini terletak di tengah (Central Range).

Fisiografi Papua secara umum juga dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu bagian Kepala Burung, Leher dan Badan. Bagian utara Kepala Burung merupakan pegunungan dengan relief kasar, terjal, sampai sangat terjal. Batuan yang tersusun berupa batuan gunung api, batuan ubahan, dan batuan intrusif asam sampai menengah. Morfologi ini berangsur berubah ke arah barat sampai selatan berupa dataran rendah aluvial, rawa dan plateau batugamping.

(4)

Kenampakan fisiografi dari Papua ini merupakan kenampakan dari keadaan geologi dan tektonik yang pernah terjadi di tempat tersebut. Menurut Visser dan Hermes (1962) kerak kontinen Lempeng Australia yang berada di bawah laut Arafura dan meluas ke arah utara merupakan dasar bagian selatan dari Pegunungan Tengah Papua, batuan dasarnya tersusun oleh batuan sedimen paparan berumur Paleozoik sampai Kuarter Tengah.

Kompresi, deformasi dan pengangkatan dari Pegunungan Tengah yang disebut sebagai Orogenesa Melanesia dimulai pada awal Miosen hingga Miosen Akhir dan mencapai puncaknya selama Pliosen Akhir hingga Awal Plistosen. Batuan dasar dan sedimen paparan terangkat secara bersamaan sepajang komplek sistem struktur yang mengarah ke barat laut. Di Papua bagian utara atau bagian ke dua dari Mobile Belt New Guinea tersusun oleh batuan vulkanik afanitik yang merupakan bagian tepi utara lempeng Australia yang terjadi selama periode tumbukan kontinen dengan busur kepulauan pada waktu Oligosen. Bagian dari Mobile Belt ini tersusun oleh batuan ultramafik Mesozoik sampai Tersier dan mendasari batuan intrusi dari Sabuk Ophiolit Papua dibagian utara yang dibatasi oleh suatu endapan gunung api bawah laut yang berumur Tersier. Pergerakan dari kerak samudera Pasifik sekarang mempunyai batas di sebelah utara pantai Pulau New Gunea. Formasi stratigrafi yang menyusun daerah ini diterobos oleh suatu grup magma intermediate berumur Pliosen berupa kalk alkali stock dan batholit yang menempati sepanjang jalur struktur regional utama.

A Stratigrafi Regional

Kawasan Kepala Burung yang terdiri dari Cekungan Salawati dan Cekungan Bintuni memiliki tatanan stratigrafi regional yang saling berhubungan antara kedua cekungan tersebut. Secara keseluruhan, kawasan ini tersusun oleh 12 formasi batuan dengan batuan tertua mulai dari umur Paleozoikum.

(5)

Gambar 1. Kolom stratigrafi daerah Papua

Formasi batuan yang menyusun kawasan Kepala Burung ini, berdasarkan umur batuan dari yang tertua hingga yang paling muda dikelompokkan menjadi 3, yaitu: 1 Paleozoic Basement

a Formasi Kemum

Pada kawasan Kepala Burung, formasi batuan yang tertua yaitu Formasi Kemum yang tersingkap di sebelah timur Kepala Burung yang dikenal dengan Tinggian Kemum, serta di sekitar Gunung Bijih Mining Access (GBMA) di sebelah Barat Daya Pegunungan Tengah. Formasi ini didominasi oleh batuan metamorf low grade dan tersusun oleh beberapa jenis batuan seperti batusabak (slate), serpih mengersik, argilit, metaarenit, meta konglomerat, phyllitic dan minor quartzite. Di kawasan ini, Formasi Kemum diintrusi oleh batuan beku granitik (Granit Anggi) berumur Karboniferous akhir hingga Permian-Trias, serta oleh dike dengan komposisi basaltik dan andesitik selama kala Pliosen.

b Formasi Aifam

Formasi ini menumpang secara tidak selaras di atas Formasi Kemum. Formasi Aifam dijumpai di bagian utara dari Kepala Burung, pada Sungai Aifam yang berada di bagian tengah kepala burung. Di kawasan Kepala Burung, formasi ini merupakan batuan sedimen yang tidak termetamorfkan. Sedangkan di

(6)

cekungan Bintuni, Formasi Aifam dibagi menjadi 3 formasi yaitu Formasi Aimau, Aifat, dan Ainim.

Formasi Aimau terdiri dari basal conglomerate, batupasir dan batulempung dengan sisa-sisa silicified wood, dan berumur Karbon akhir. Setelah itu diendapkan Formasi Aifat dengan litologi penyusun berupa batulempung yang memiliki komposisi karbonat dengan konkresi yang melimpah, sedikit batugamping, serta lapisan batupasir kuarsa yang sangat tipis. Formasi Aifat yang berumur awal hingga akhir Permian. Sebelum pengendapan Formasi Aifat selesai, secara menjari pengendapan disusul oleh Formasi Ainim. Formasi ini tersusun oleh batulempung lanauan, batupasir kuarsa, greywacke dan batulanau, serta seam batubara dengan ketebalan + 1 meter. Setelah itu, terjadi intrusi batuan beku granitik (Granit Anggi) hingga menembus lapisan anggota Formasi Kemum selama akhir Permian hingga Triasik.

2 Mesozoic to Cenozoic Sedimentation a Formasi Tipuma

Formasi Tipuma dicirikan oleh lapisan batuan berwarna merah yang menyebar secara luas dari Barat Laut Kepala Burung hingga batas Timur Kepala Burung. Warna merah pada lapisan batuan tersebut diakibatkan adanya kandungan oksida besi (hematite) yang terbentuk mulai dari Triassic hingga awal Jura. Formasi Tipuma diendapkan pada lingkungan fluvial dimana ketebalan formasi ini berubah secara signifikan yang merepresentasikan topografi berupa horst dan graben akibat proses ekstensi yang aktif. Pada Cekungan Bintuni, terdapat kontak yang tidak terpisahkan antara Formasi Tipuma dengan Grup Kembelangan yang menumpang di atasnya secara tidak selaras.

b Kembelangan Group

Pada kawasan Kepala Burung, Formasi Tipuma ke arah atas berubah menjadi Grup Kembelangan yang berumur Cretaceous akhir. Grup Kembelangan tersingkap sepanjang sisi timur kepala burung, bagian leher, dan bagian tengah. Pada bagian kepala burung, Grup Kembelangan memiliki anggota Formasi Jass. Formasi Jass dengan ketebalan maksimum 400 meter terdiri dari batulempung dan batuan karbonat pasiran berwarna hitam hingga cokelat, batupasir litik, dan batugamping dengan sedikit sisipan batupasir kuarsa, serta konglomerat kuarsa (polimiktik). Pada akhir Cretaceous, terjadi intrusi batuan beku granitik di Cekungan Salawati. Kemudian selama pertengahan Jura hingga sebelum ditemukan Formasi Jass, pada bagian utara Kepala Burung tidak ditemukan

(7)

rekaman stratigrafi, yang berarti terjadinya fase non-deposisional dimana tidak terjadi pengendapan.

c New Guinea Limestone Group

Selama masa Cenozoic, kurang lebih pada batas Cretaceous hingga Cenozoic terjadi pengendapan karbonat yang dikenal sebagai New Guinea Limestone Group (NGLG) yang menumpang di atas Grup Kembelangan. Secara umum NGLG ini dikelompokkan menjadi 4 formasi yaitu Formasi Waripi, Faumai, Sirga, dan Kais.

Formasi Waripi tersingkap di pegunungan sebelah barat Central Range (bagian tengah) dan memanjang ke arah barat hingga mencapai ujung selatan dari Kepala Burung. Formasi ini terdiri dari kalkarenit oolitik pasiran dan biokalkarenit, batupasir kuarsa kalkareous, serta biokalkarenit oolitik berwarna merah hingga cokelat. Batugamping yang ditemui umumnya bersifat dolomitik dan mengandung foraminifera. Ketebalan maksimum dari Formasi Waripi ini diperkirakan mencapai 700 meter pada bagian atas sungai Baupo dan mencapai 380 meter pada bagian ujung barat, tetapi akan menghilang pada bagian timur. Formasi tersebut kemungkinan berumur Paleosen.

Formasi Faumai terdiri dari basal conglomerate yang mencirikan ketidakselarasan dengan lapisan di bawahnya. Konglomerat tersebut berkembang ke arah atas menjadi shelf carbonate. Batugamping tersebut tersingkap di bagian timur Kepala Burung, dimana di atasnya terendapkan batuan klastik dari Formasi Sirga dan dipisahkan oleh New Guinea Limestone Group yang terbentuk setelahnya (kala Miosen). Batugamping yang menyusunnya mengandung banyak jenis foraminifera dengan ukuran yang lebih besar, yang berumur Ta sampai Tb, yaitu pertengahan Eosen hingga Oligosen.

Formasi Sirgaterendapkan secara selaras di atas Formasi Faumai. Litologi yang menyusun formasi ini berupa batulanau dan batulempung di sebelah barat dan selatan, hingga menjadi batupasir kuarsa dan konglomerat di bagian utara dan timur. Formasi ini dibentuk oleh proses transgresif dan diendapkan pada lingkungan laut dangkal pada akhir Oligosen.

Formasi Kais tersusun oleh batugamping foraminifera, napal, batulanau, dan batubara. Formasi ini diendapkan pada shelf karbonat energy rendah. Formasi Kais merepresentasikan kompleks fasies terumbu yang ekivalen dengan Formasi Klamogun di Cekungan Salawati. Formasi ini memiliki kisaran umur Miosen Awal hingga Miosen Tengah.

(8)

a Formasi Klasafet

Formasi Klasafet terendapkan secara menjari dengan Formasi Kais dan menutupi Formasi Kais yang berada di bawahnya, dimana ketebalannya mencapai 1.925 meter. Formasi ini tersingkap secara lokal (tidak menerus) sepanjang barat hingga timur Kepala Burung. Litologi yang menyusun formasi ini berupa batupasir karbonatan, napal yang masif maupun berlapis, batulanau mikaan atau karbonatan, dan sedikit sisipan batugamping. Umur Formasi Klasafet ini sendiri ialah Miosen awal hingga tengah. Formasi Klasafet secara selaras ditumpangi oleh Formasi Klasaman pada cekungan Salawati dan Formasi Steenkool pada Cekungan Bintuni. Sedangkan kedua Formasi Klasaman dan Steenkool tersebut memiliki hubungan yang saling menjari.

b Formasi Klasaman

Formasi Klasamanberanggotakan interbedding batulempung dan batupasir argilaseous dengan sedikit sisipan konglomerat dan lignit. Formasi ini memiliki ketebalan 4.500 meter dan tersingkap di sejumlah area yang cukup luas pada Pulau Salawati di sebelah barat kepala burung dan sepanjang bagian selatan dataran tinggi Ayamaru. Formasi Klasaman ini terbentuk pada akhir Pliosen. Pada Formasi Klasaman yang berada di Cekungan Salawati ini terendapkan Konglomerat Sele dengan ketebalan sekitar 120 meter. Lapisan ini tersusun atas konglomerat polimiktik dengan lapisan-lapisan tipis batulempung dan batupasir. Lapisan ini terbentuk selama Zaman Kuarter.

(9)

Gambar 2. Kolom Stratigrafi Regional Papua menurut Sapiie (2000)

Bab 3. Proses Geologi

III.1 Sejarah Geologi (Umur batuan,)

Sejarah pengendapan daerah Kepala Burung dimulai dengan batuan dasar kontinental, yang kemudian diikuti dengan pembentukan batulempung dan endapan turbidit berumur Silurian – Devonian. Kedua jenis litologi ini dikelompokkan sebagai Formasi Kemum. Formasi Kemum ini juga mengalami intrusi oleh batuan beku granitik (Granit Anggi) berumur Karboniferous akhir hingga Permian-Trias, serta oleh dike dengan komposisi basaltik dan andesitik selama kala Pliosen. Setelah Formasi Kemum terbentuk, maka selanjutnya terendapkan sedimen sin-orogenik yang merupakan bagian dari Formasi Aisajur yang berumur awal Karbon. Selanjutnya terbentuk kelompok Aifam (di dalamnya terdapat Formasi Aimau, Aifat, dan Ainim) yang memiliki hubungan tidak selaras dengan Formasi Aisajur di bawahnya. Kelompok Aifam terbentuk selama pertengahan zaman Karbon hingga akhir Perm. Formasi selanjutnya ialah Formasi Tipuma yang diwujudkan oleh sikuen red bed yang terbentuk selama Triasik hingga awal Jura.

(10)

Pada bagian kepala burung, Formasi Tipuma ke arah atas berubah menjadi kelompok Kembelangan yang berumur Cretaceous akhir (Pigram dan Sukanta, 1982, dalam Charlton, 1996). Di atas Formasi tersebut, diendapkan batulempung Yefbie secara tidak selaras. Secara vertikal, batulempung Yefbie berkembang menjadi Formasi Ligu yang beranggotakan shelf carbonate berumur akhir Jura serta batulempung dari Formasi Lelinta. Secara selaras, pengendapan kemudian dilanjutkan dengan batugamping yang terbentuk pada lingkungan pengendapan bathyal berumur Cretaceous. Batugamping tersebut merupakan bagian dari

kelompok Batugamping Facet (yang beranggotakan Formasi Batugamping Gamta dan Waaf). Litologi penyusun stratigrafi yang terakhir dari Kala Tersier ini ialah batulempung yang merupakan anggota dari Formasi Fafanlap berumur Cretaceous akhir.

Stratigrafi Tersier dipelopori oleh Formasi Faumai yang berumur Eosen awal hingga akhir. Formasi Sirga ditemukan melalui survei bawah permukaan di Cekungan Salawati, tepatnya pada bagian barat dataran tinggi Ayamaru. Formasi ini dibentuk oleh proses transgresif dan diendapkan pada lingkungan laut dangkal, seiring dengan naiknya muka air laut setelah penurunan global pada akhir Oligosen (Vail dan Mitchem, 1979). Bagian tertua dari suksesi cekungan (terdiri dari tiga formasi di atas) berkembang menjadi litofasies batugamping berumur Miosen awal hingga tengah, dengan lingkungan pengendapan berkisar antara shelf (paparan) yang berkembang ke arah laut dalam yang merupakan anggota dari

Formasi Kais. Singkapan dari batugamping Formasi Kais yang berumur Eosen (Visser dan Hermes, 1962). Secara lateral, formasi ini lazimnya disetarakan dengan Formasi Klamogun, Sekau, dan Klasafet. Batuan yang terendapkan pada lingkungan laut dalam ialah anggota dari

Formasi Klamogun dengan ketebalan 1.159 meter. Di atas Formasi Klamogun, pada Miosen tengah hingga akhir diendapkan Formasi Klasafet yang beranggotakan batupasir karbonatan, napal yang masif maupun berlapis, batulanau mikaan atau karbonatan, dan sedikit sisipan batugamping.

Setelah kala Miosen habis, dimulailah pengendapan yang didominasi material klastik. Pada awal hingga akhir Pliosen, terbentuk Formasi Klasaman yang beranggotakan interbedding batulempung dan batupasir argilaseous dengan sedikit sisipan konglomerat dan lignit. Formasi Klasaman diperkirakan berumur akhir Miosen hingga Pliosen. Di atas Formasi Klasaman, terendapkan secara tidak selaras Konglomerat Sele yang berumur Kuarter. Lapisan ini diperkirakan berumur lebih muda dari Pliosen.

3.2. Proses Tektonik Yang Terjadi (Evolusi Tektonik, Fase Tektonik)

Periode tektonik utama daerah Papua dan bagian utara Benua Indo-Australia dijelaskan dalam empat periode (Henage, 1993) yaitu

(11)

- Periode rifting awal Jura di sepanjang batas utara Lempeng Benua Indo-Australia, - Periode rifting awal Jura di Paparan Baratlaut Indo-Australia (sekitar Palung Aru),

- Periode tumbukan Tersier antara Lempeng Samudera Pasifik-Caroline dan Indo-Australia, zona subduksi berada di Palung New Guinea, dan

- Periode tumbukan Tersier antara Busur Banda dan Lempeng Benua Indo-Australia.

Periode tektonik Tersier ini menghasilkan kompleks-kompleks struktur seperti Jalur Lipatan Anjakan Papua dan Lengguru, serta Antiklin Misool-Onin-Kumawa.

Pada Kala Oligosen terjadi aktivitas tektonik besar pertama di Papua, yang merupakan akibat dari tumbukan Lempeng Australia dengan busur kepulauan berumur Eosen pada Lempeng Pasifik. Hal ini menyebabkan deformasi dan metamorfosa fasies sekis hijau berbutir halus, turbidit karbonan pada sisii benua membentuk Jalur “Metamorf Rouffae” yang dikenal sebagai “Metamorf Dorewo”. Akibat lebih lanjut tektonik ini adalah terjadinya sekresi (penciutan) Lempeng Pasifik ke tas jalur malihan dan membentuk Jalur Ofiolit Papua. Peristiwa tektonik penting kedua yang melibatkan Papua adalah Orogenesa Melanesia yang berawal dipertengahan Miosen yang diakibatkan oleh adanya tumbukan Kraton Australia dengan Lempeng Pasifik. Hal ini mengakibatkan deformasi dan pengangkatan kuat batuan sedimen Karbon-Miosen (CT), dan membentuk Jalur Aktif Papua. Kelompok Batugamping New Guinea kini terletak pada Pegunungan Tengah. Jalur ini dicirikan oleh sistem yang komplek dengan kemiringan ke arah utara, sesar naik yang mengarah ke Selatan, lipatan kuat atau rebah dengan kemiringan sayap ke arah selatan Orogenesa Melanesia ini diperkirakan mencapai puncaknya pada Pliosen Tengah. Dari pertengahan Miosen sampai Plistosen, cekungan molase berkembang baik ke Utara maupun Selatan. Erosi yang kuat dalam pembentukan pegunungan menghasilkan detritus yang diendapkan di cekungan-cekungan sehingga mencapai ketebalan 3.000 – 12.000 meter.

Tumbukan Kraton Australia dengan Lempeng Pasifik yang terus berlangsung hingga sekarang menyebabkan deformasi batuan dalam cekungan molase tersebut.

3.3. Proses Sedimentasi (Lingkungan Pengendapan, Evolusi Basin)

Evolusi cekungan di daerah Kepala Burung, dapat dijelaskan dari adanya 2 cekungan utama di daerah Papua, yaitu Cekungan Salawati dan Cekungna Bintuni.

a. Cekungan Salawati

Berdasarkan genesa dan evolusi pembentukan cekungan, cekungan Salawati dapat dipisahkan menjadi 3 kelompok sikuen yang berbeda berdasarkan stratigrafi dan episode umbukan tektoniknya,

1. Sikuen pre collision meliputi batuan pre-rifting, syn rifting, transgressive, dan drifting.

- Kelompok batuan pre-rifting berlangsung selama Silur-Devon, diendapkan didalamnya Formasi Kemun dan Formasi Aifam.

(12)

- Kelompok batuan syn-rift berlangsung selama Trias-Jura diikuti oleh pemusatan termal pada tepian Utara Benua Australia, mengakibatkan Kepala Burung menjadi terpisah dan bergerak ke arah Utara. Pada cekungan sedimenasi ini diendapkan Formasi Tipuma. Selama fase syn-rifting, terbentuk ketidakselarasan akibat pengangkatan selama Jura.

- Kelompok batuan transgersive berlangsung selama Kapur-Eosen, menghasilkan sedimentasi Formasi Kembelangan dan Formasi Waripi. Ketidakselarasan terbentuk pada fase transgersive pada Kapur Akhir menjelang pengendapan Formasi Waripi.

- Kelompok batuan drifitng berlangsung selama Eosen-Miosen Akhir dan diendapkan Formasi Faumai, Formasi Sirga, Formasi Klamogun, dan Formasi Kais.

2. Sikuen syn-collision berlangsung Miosen Akhir-Pliosen menghasilkan Formasi Klasafet. 3. Sikuen post-collision berlangsung selama Pliosen menghasilkan Formasi Klsaman. b. Cekungan Bintuni

Berdasarkan stratigrafi Cekungan Bintuni, dapat dibagi evolusi cekungn Bituni dalam beberapa tahapan yaitu :

1. Tahapan Pemisahan Gondwana dan Asia

Tahapan pemisahan Gondwana dan Asia berlangsung pada umur Paleozoikum Akhir, dibagi menjadi 3 periode pengendapan pre-rift, syn-rift, post-rift.

a. Pre- Rift(Paleozoikum)

Batuan dasar dari daerah Kerak Benua terdiri dari sedimen pada umur Silur–Devon yang kemudian terlipat dan mengalami metamorfisme. Kegiatan sedimen ini terus berlangsung sampai umur Karbon-Permian diendapkan Kelompok Aifam yang terdiri dari 3 formasi dari tua–muda yaitu Formasi Aimau, Aifat dan Ainin. Kelompok ini tersebar luas pada bagian Kerak Benua, tetapi tidak terlihat dipengaruhi oleh metamorfisme melainkan lebih terdeformasi. Pada bagian Tubuh Burung Kelompok Aifam ini setara dengan Formasi Aiduna yang berumur Karbon Akhir-Permian. Kelompok Aifam ini dapat dikelompokan dalam tahap Pre-riftingyakni proses pengendapan yang tejadi sebelum tahap tektonik (rifting) pada masa Mezosoikum.

b. Syn-Rift(Mezosoikum)

Pada Triasik, di daerah kerak benua ditemukan adanya red–beds yang menandakan sebagian area terekspos atau terangkat ke permukaaan sehingga mengalami oksidasi pada lingkungan yang kering. Sebagian daerah yang terangkat ini mengakibatkan Cekungan Bintuni mengalami ketidakselarasan (unconformity) antara Permian Akhir dengan Jurasik, dengan demikian selama umur Triasik Cekungan Bintuni tidak terjadi proses sedimentasi (Perkins & Livesey, 1993). Sementara pada beberapa bagian, terendapkan Formasi Tipuma pada umur Triasik Awal–Akhir. Periode riftingitu sendiri dimulai pada umur Jurasik, sedangkan Formasi Tipuma berumur Triasik Awal–Akhir, jadi dapat disimpulkan bahwa endapan ini merupakan endapan pertama pada periode rifting. Rifting pada bagian utara diperkirakan dibatasi oleh batas yang kompleks berupa Palung New Guinea, Fold Belt Papua

(13)

dan Sorong Koor Suture. Sementara rifting yang terjadi pada bagian baratlaut dapat diperkirakan dibatasi oleh Timor Trough hingga Aru Trough.

c. Post-Rift/ Passive Margin (Mesozoikum)

Pada umur Jurasik Tengah-Akhir terjadi suatu proses transgresi. Pada proses ini diendapkan Kelompok Kambelangan Bawah yang berumur Jurasik Awal–Akhir. Disamping itu, pada umur Jurasik merupakan tahapan post–rift / passive margin hal ini ditandai dengan adanya seafloor spreadingpada umur Jurasik, hingga terpecahnya Kontinental Australia pada bagian timurlaut menjadi lempeng-lempeng kontinen berukuran kecil (mikro kontinen). Pada masa ini bagian timurlaut Kontinen Australia masih bertindak sebagai passive margin. Kelompok Kambelangan Bawah yang menindih secara tidak selaras sekuen rift(syn-rift) yakni Formasi Tipuma. Kemudian terjadi proses pengangkatan yang terjadi sepanjang zaman Kapur Awal membentuk apa yang dikenal dengan intra–cretaceous uncorformity (Perkins danLivsey,1993) sehingga tidak ada proses sedimen pada Kapur Awal pada Cekungan Bintuni. Pada umur Kapur Akhir diperkiran terjadi proses extensional rift, sehingga memisahkan Kepala Burung dengan wilayah Kontinental Australia. Dengan adanya aktivitas ini Formasi Tipuma dan Kelompok Kembelangan mengalami pengangkatan sehingga menghasilkan erosional pada sedimen yang lebih tua atau malah tidak terjadinya proses pengendapan. Kelompok ini diendapakan hingga terjadi pengurangan suplai sedimen pada umur Kapur Akhir sehingga memberikan jalan untuk berkembangnya batuan karbonat (Batugamping New Guinea) pada umur Eosen–Miosen Akhir. Catatan Batugamping New Guinea terdiri atas: (1) Formasi Waripi (Paleosen), (2) Formasi Faumai (Eosen-Oligosen), (3) Formasi Sirga (Miosen Awal), (3) Formasi Kais (Miosen Tengah).

2. Tahap Tumbukan Lempeng Australia dengan Pasifik (Kenozoikum)

Pada umur Kenozoikum adalah waktu tektonik aktif di daerah Kepala Burung, sehingga membentuk geografi, struktur geologi dan stratigrafi KB. Pada Kenozoikum Awal (Paleosen–Eosen), kemungkinan bahwa Lempeng KB menjadi terlepas dari Lempeng Australia–New Guinea. Pada umur Eosen-Oligosen ditandai oleh kemunculan batuan transgresi karbonat Formasi Faumai. Sebuah ketidakselarasan muncul pada kolom stratigrafi dari lapangan Wariagar, Bintuni yang berumur Oligosen Akhir. Ketidakselarasan menandakan terjadinya peristiwa kompresi, yang membagi Formasi Faumai dengan Formasi di atasnya (Formasi Sirga dan Kais). Fase kompresi ini terjadi akibat adanya tumbukan antara Lempeng Australia dengan Lempeng Pasifik pada umur Eosen. Pada umur Eosen Akhir Lempeng Australia bergerak ke arah utara dan menyusup sebagai subduksi terhadap Kerak Samudra dari Lempeng Pasifik dan kemudian membentuk busur-busur kepulauan (island arc). Kompresi ini mengakibatkan pembentukan antiklin yang berarah NW-SE dan merupakan

(14)

pusat berkembangnya kelompok BNG dalam Cekungan Bintuni. Proses subduksi ini terus berlanjut ke arah utara hingga akhirnya kerak samudera dari Lempeng Australia termakan habis (overriding plate) oleh Lempeng Samudra Pasifik. Proses ini berlanjut terus hingga terjadinya tumbukan (collision) pada umur Oligosen antara Lempeng Australia dan busur kepulauan Samudera Pasifik.

3. Tahap Pembalikan Zona Subduksi (Neogen)

Pada Neogen telah terjadi pembalikan arah subduksi. Pada mulanya Lempeng Australia menunjam ke dalam Lempeng Pasifik ke arah utara, tetapi setelah terjadi tumbukan terjadi perubahan arah subduksi, dimana Lempeng Pasifik menunjam ke dalam Lempeng Australia ke arah selatan yang kini dikenal sebagai Palung New Guinea. Berdasarkan tektonik Kepala Burung, umur penunjaman Palung New Guinea ke arah selatan ini berumur Miosen. Hal ini diperkuat oleh kemunculan pertama sedimen klastik tebal setelah pengendapan BNG Formasi Kais, formasi silisiklastik ini dikenal dengan Formasi Klasafet. Tahap tektonik tumbukan umur ini menghasilkan New Guinea Mobile Belt dan Lengguru Fold Belt, sesar–sesar aktif (Sesar Sorong, Terera dan sebagainya) dan cekungan–cekungan forelandseperti Cekungan Salawati dan Cekungan Bintuni di wilayah Kepala Burung. Pada Miosen Akhir–Pleistosen diendapkan sedimen klastik, disebut dengan Formasi Steenkool. Rangkaian formasi ini merupakan tudung (seal) dari Formasi Kais yang merupakan batugamping reservoir. Kemudian terjadi penurunan cekungan, sedimentasi yang cepat dengan kedalaman yang sangat dalam sehingga baik untuk “Kitchen area“ sebagai syarat pembentukan hidrokarbon dari Permian Akhir–Awal Jurasik yang sebelumnya telah terendapkan pada Cekungan Bintuni.

Bab 4. Sumber Daya Geologi

Setiap daerah akan memiliki potensi sesumber maupun bencana geologi khusus sesuai dengan kondisi geologi daerah tersebut. Dalam hal ini, lempeng kepala burung yang mempunyai kondisi geologi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, juga memiliki berbagai potensi sesumber geologi yang telah dimanfaatkan maupun belum dieksplorasi. Adanya potensi tersebut tidak terlepas dari semua proses geologi yang berperan membentuk kondisi geologi daerah. Beberapa contoh potensi sesumber tersebut antara lain berupa sumber daya energi, sumber daya mineral, dan sumber daya air tanah.

4.1. Sumber Daya Energi

Terdapat beberapa potensi sumber daya energi untuk kawasan kepala burung, meliputi potensi hidrokarbon dan potensi batubara. Di antara kedua potensi energi tersebut, potensi hidrokarbon lebih banyak dieksplorasi dan telah menjadi salah satu penghasil minyak bumi

(15)

terbesar di kawasan Papua. Selain berupa minyak bumi, juga terdapat potensi gas alam sebagai potensi hidrokarbon. Selain hidrokarbon, kawasan Papua bagian Barat juga banyak mempunyai potensi batubara yang cukup signifikan.

4.1.1. Potensi Hidrokarbon

Potensi minyak dan gas bumi di Papua bagian Barat meliputi beberapa lokasi, seperti yang ditunjukkan oleh peta berikut.

Gambar 4.7. peta persebaran potensi hidrokarbon di papua

Dalam hal ini, daerah kepala burung mempunyai dua cekungan besar yakni cekungan Salawati dan Bintuni yang merupakan lokasi potensial produksi hidrokarbon. Kedua cekungan ini memiliki tatanan geologi sedemikian rupa sehingga mampu menghasilkan minyak bumi untuk dieksplorasi lebih lanjut. Berikut ini adalah pembahasan masing-masing cekungan secara lebih detail.

Daerah Salawati berada di satu dari empat pulau utama di Kepulauan Raja Ampat, Irian Jaya, Indonesia dengan luas daerah 1.623 km2. Cekungan Salawati terletak sepanjang batas sebelah barat dari bagian kepala burung Irian Jaya dan terdesak ke sebelah utara oleh sesar Sorong.

(16)

Gambar 4.1. Cekungan Salawati di Kepala Burung

Cekungan Salawati berkembang di sebelah selatan Sesar Sorong dan perkembangan cekungannya dikontrol oleh pergerakan sesar besar mendatar ini (Hamilton, 1979). Tinggian Ayamaru menjadi batas sebelah timur Salawati, yang memisahkannya dari cekungan Bintuni. Tinggian tersebut merupakan lokasi dimana terdapat bagian dari paparan karbonat yang tersingkap ke permukaan. Di sebelah selatan, cekungan Salawati dibatasi oleh geantiklin Misool-Onin, dan di sebelah barat dibatasi oleh hasil tarikan (ekstensi) sesar Sorong. Kemiringan lapisan batuan yang menyusun cekungan tersebut – baik on-shore maupun off-shore – mengarah ke Barat Laut.

Sebagai salah satu daerah potensi hidrokarbon, cekungan ini memiliki suatu sistem petroleum yang meliputi batuan induk atau sumber (source rock), reservoar, proper timing of migration, trap, batuan penutup (seal), serta batuan overburden sebagaimana yang ditunjukkan oleh skema di bawah ini

(17)

Gambar 4.2. Petroleum system Cekungan Salawati (Situmeang, 2012)

a. Source Rock

Cekungan Salawati sendiri terbagi ke dalam dua cekungan utama, yaitu sub-cekungan Miosen dan Pliosen-Kuarter. Hingga Kala Miosen, litologi yang terbentuk ialah batuan dengan unsur karbonat yang kaya akan organic content, berbeda dengan sub-cekungan Pliosen-Kuarter yang didominasi oleh batuan sedimen klastik. Sehingga batuan dari sub-cekungan Miosen ini sangat cocok dan berpotensi sebagai batuan sumber hidrokarbon. Sub-cekungan Miosen ini sendiri tidak hanya terdiri dari satu formasi batuan. Walaupun Formasi Kais merupakan formasi yang lazim dianggap sebagai batuan sumber hidrokarbon utama pada Cekungan Salawati, pada kenyataannya masih terdapat kemungkinan bahwa formasi lainnya yang bersifat karbonatan juga berpotensi sehingga terkadang menimbulkan masalah dalam penentuan source rock tersebut. Pada Cekungan Salawati, eksplorasi hidrokarbon lazim dilakukan pada sikuen Tersier akhir. Cekungan Salawati ini sendiri mulai terbentuk sejak Miosen hingga Pliosen. Sebelum waktu tersebut, muka air laut Tersier mengalami transgresi hingga menutupi seluruh area yang menunjukkan ketidakselarasan yang tersingkap pada akhir Paleozoikum. Dari analisa geokimia yang dilakukan, Robertson Research (dalam Phoa & Samuel, 1986) mendapatkan hasil bahwa batuan sumber hidrokarbon merupakan batuan yang kaya akan kandungan alga dan tumbuhan tingkat tinggi lainnya, dimana minyak bumi kemudian dihasilkan dengan kematangan yang

(18)

sedang. Pada Cekungan Salawati, terdapat lima formasi atau litologi penyusun yang terendapkan pada lingkungan laut dangkal dan patut dipertimbangkan dalam penentuan source rock, antara lain:

a. Batulempung Klasaman, mengandung material organik yang cukup tinggi, tetapi tekstur batuannya belum dewasa atau matang di sebagian besar cekungan.

b. Batulempung Klasafet, anggota Formasi Klasafet ini (yang telah matang / dewasa) ditemukan pada bagian cekungan yang dalam.

c. Batuan Karbonat dari Formasi Klamogun, kerogen yang kaya akan sulfur dari Formasi Klamogun diperkirakan sudah cukup matang untuk dapat menghasilkan hidrokarbon.

d. Batulempung dari Formasi Sirga, batuan ini mengandung kerogen tipe I dan II pada satu sumur, dan kerogen tipe IV pada sumur lainnya.

e. Formasi Pre-Tersier, contohnya adalah batulempung dari Formasi Tipuma yang memiliki potensi menjadi batuan sumber hidrokarbon cekungan.

b. Reservoar

Reservoar Tersier utama pada cekungan tersebut terdiri dari bioclastic packstone dan wackestone dari Formasi Kais yang berumur Miosen tengah hingga akhir. Litologi-litologi tersebut terbentuk pada shelf laut dangkal dengan pertumbuhan terumbu yang berkembang pada akhir shelf tersebut (shelf-slope break). Pertumbuhan terumbu ini kemudian membentuk reservoar secara merata di seluruh lapangan Cekungan Salawati.

Di Cekungan Salawati, pertumbuhan terumbu tersebut dapat mencapai ketinggian 500 meter, dengan kualitas reservoar bervariasi, porositas sekitar 10-20 %, walaupun terkadang dapat mencapai 30%, serta permeabilitas antara 10-400 mD. Persebaran terumbu tersebut umumnya hanya secara lokal pada sebelah selatan pusat Cekungan Salawati.

c. Proper Timing of Migration

Pada Cekungan Salawati, jalur migrasi yang ada terkonsentrasi sepanjang struktur geologi dan jauh dari daerah dengan intensitas struktur yang rendah. Hidrokarbon yang terbentuk pertama-tama akan terkonsentrasi di sekitar struktur geologi utamanya, mengalir ke arah atas (melawan dip, karena mencari lingkungan dengan tekanan yang lebih rendah), dan akhirnya jalur migrasi tersebut dikontrol oleh sesar-sesar di sana. Di Cekungan Salawati, batuan-batuan berumur Neogen dapat berperan sebagai source rock utamanya, dimana waktu dan kedalaman saat lapisan di atasnya terbentuk telah menghambat peningkatan maturitas source rock tersebut. Migrasi yang terjadi ialah melawan dip (ke arah atas) secara radial dan menjauhi area ‘pematangan’ source rock yang berada di Selat Sele dan bagian utara Pulau Salawati. Gambar berikut mengilustrasikan kemungkinan pembentukan dan migrasi hidrokarbon pada Cekungan Salawati.

(19)

Gambar 4.3. Kemungkinan jalur migrasi hidrokarbon pada Cekungan Salawati (Phoa dan Samuel, 1986)

d. Trap / Perangkap Hidrokarbon

Kandungan hidrokarbon yang ditemukan di Pulau Misool dan Cekungan Salawati terperangkap secara struktural oleh sesar normal yang terbentuk selama Miosen akhir dan pada bagian baratdaya (di umur yang lebih muda) terbentuk sesar geser dan perlipatan sebagai akibat gaya kompresi yang terjadi. Petroleum play yang paling efektif ialah play yang diterapkan pada bagian selatan area dengan struktur geologi yang kompleks, dan paling dekat dengan lokasi ‘pematangan’ source rock saat ini yang berada di trough Seram Utara dan pada lapisan-lapisan yang sealnya belum terubah akibat pengangkatan yang terjadi pada akhir Miosen. Bentukan-bentukan regional dengan beberapa seal – baik pada pematang, bagian selatan flank, maupun pada lingkungan laut dalam merupakan struktur-struktur yang menonjol dan akan berperan sebagai pusat migrasi dan dapat memiliki seal atau trap-trap tersendiri di sepanjang struktur tersebut.

Struktur slump dan blok-blok tersesarkan di sepanjang pematang Misool-Onin dan di area Seram utara menurut petroleum play ini dianggap sangat prospektif karena letaknya yang sangat dekat dengan lokasi pematangan hidrokarbon. Perangkap-perangkap struktural dan seal berupa sesar juga sering ditemui pada cekungan ini.

e. Seal / Batuan Segel

Seal utama yang berperan bagi pertumbuhan terumbu ialah batulempung yang berumur Miosen akhir hingga Recent dari Formasi Steenkool, yaitu formasi yang memiliki ketebalan

(20)

paling besar di ujung timur Cekungan Bintuni dan sepanjang bagian utara Cekungan Salawati. Ketebalan lapisan tersebut dapat mencapai 6.000 feet pada bagian terdalam Cekungan Berau.

Selain di cekungan Salawati, Kawasan kepala burung juga mempunyai cekungan lain yang mempunyai potensi hidrokarbon yaitu cekungan Bintuni. Cekungan Bintuni merupakan cekungan dengan luas ±30.000 km2 yang cenderung berarah utara–selatan dengan umur Tersier Akhir yang berkembang pesat selama proses pengangkat LFB ke timur dan Blok Kemum dari sebelah utara. Cekunganini di sebelah timur berbatasan dengan Sesar Arguni, di depannya terdapat LFB yang terdiri dari batuan klastik berumur Mesozoik dan batugamping berumur Tersier yang mengalami perlipatan dan tersesarkan. Di sebelah barat cekungan ini ditandai dengan adanya tinggian struktural, yaitu Pegunungan Sekak yang meluas sampai ke utara, di sebelah utara terdapat Dataran Tinggi Ayamaru yang memisahkan Cekungan Bintuni dengan Cekungan Salawati yang memproduksi minyak bumi. Di sebelah selatan, Cekungan Bintuni dibatasi oleh Sesar Tarera–Aiduna, sesar ini paralel dengan Sesar Sorong yang terletak di sebelah utara KB. Kedua sesar ini merupakan sesar utama di daerah Papua Barat. Berikut ini adalah ilustrasi cekungan bintuni di kawasan Kepala Burung.

Gambar 4.4. Peta Geologi Regional Kepala Burung (KB). (Dumex, dkk 2007, BP Indonesia) Cekungan Bintuni, tersusun oleh beberapa komponen yang membentuk sistem petroleum meliputi batuan induk, reservoar, migration time, perangkap, dan seal atau penutup.

a. Batuan Induk (source rock)

Pada Cekungan Bintuni batuan reservoar adalah batugamping pada Formasi Kais berumur Miosen Tengah. Batuan induk ini juga dapat berasal dari batuan yang berumur lebih tua atau

(21)

Pra-Tersier. Batugamping ini mengandung material organik yang mampu menghasilkan hidrokarbon.

b. Batuan Reservoar (Reservoir Rock)

Batuan reservoar pada Cekungan Bintuni yaitu batugamping pada Formasi Kais berumur Miosen Tengah. Batugamping ini berfungsi sebagai reservoar karena memiliki pori-pori yang baik. Sehingga minyak yg bersumber dari batuan induk dapat terperangkap dan terakumulasi pada batugamping ini.

c. Migrasi

Migrasi hidrokarbon, merupakan proses perpindahan hidrokarbon dari lapisan induk menuju ke lapisan resevoar untuk dikonsentrasikan didalamnya. Untuk arah migrasi yaitu dari cekungan menuju ke perangkap yaitu suatu perangkap antiklin.

Migrasi tersebut melewati suatu adanya sesar normal yang terbentuk pada daerah Bintuni.

d. Perangkap (Trap)

Perangkap pada Cekungan Bintuni berupa perangkap struktur yaitu antiklin yang berumur lebih muda dari batuan reservoir diperkirakan berumur Miosen Akhir-pliosen Awal.

e. Batuan Penutup

Batuan penutup adalah suatu batuan sedimen yang kedap air sehingga hidrokarbon yang ada dalam reservoar tidak dapat keluar lagi. Untuk batuan penutup pada Cekungan Bintuni berupa serpih pada Formasi Klasafet berumur Miosen Akhir.

Selain potensi minyak bumi, di kawasan Kepala Burung ini juga menghasilkan gas alam sebagai produk lain. Sebagai contoh adalah di Cekungan Salawati dengan batuan sumber (Source rock) berupa batulempung Klasafet.

Anggota Formasi Klasafet ini (yang telah matang / dewasa) ditemukan pada bagian cekungan yang dalam. Jika jenis litologi ini menghasilkan hidrokarbon cair (liquid), maka hidrokarbon tersebut akan segera berubah menjadi wujud gas. Hal ini dikarenakan hanya gas dan minyak dengan nilai gravitasi tinggilah yang dapat diharapkan untuk diproduksi oleh daerah eksplorasi dengan hanya Formasi Klasafet sebagai batuan sumbernya. Sebalikanya, minyak bumi yang dihasilkan Cekungan Salawati memiliki nilai gravitasi (GOR) yang rendah. Gas yang dihasilkan dapat diabaikan, yang tidak mendukung Formasi Klasafet sebagai batuan sumber hidrokarbon utama. Lapangan yang menghasilkan gas bumi (Philips, dalam Phoa & Samuel, 1986) terletak di Pulau Salawati dan di bagian utara Cekungan Salawati. Dalam hal ini, studi geokimia dan gas chromatograph saat ini masih menunjukkan bahwa sumber utama gas dan minyak bumi tersebut berada di bagian selatan cekungan.

(22)

4.1.1. Potensi Batubara

Adanya perubahan kondisi lingkungan pengendapan menghasilkan berbagai produk sumber daya energi berupa batubara. Berikut ini adalah peta penyebaran potensi batubara di kawasan Papua

Gambar 4.5. Peta distribusi potensial batubara di Papua

Seperti yang dapat dilihat dari gambar di atas, kawasan Kepala burung memiliki sejumlah potensi batubara maupun gambut. Beberapa daerah cekungan sedimen yang mengandung batubara antara lain terletak di Distrik Salawati, Sorong Timur, Alfat, dan Bintuni.

Salah satu lokasi eksplorasi batubara ini berada di Selat Lenna yang berada di antara Pulau Warir dan Pulau Salawati. Batubara di tempat tersebut relatif muda, dengan perlapisan batupasir-konglomerat dan interkalasi Lignit. Jurus dari perlapisan batuan adalah WSW sampai WNW, dengan kemiringan umumnya curam sampai vertikal. Ketebalan lignit tersebut sekitar 3 meter atau lebih. Dimana kandungan ash dalam batubara sekitar 6,3 % dan sulfur 0,36 % sehingga dapat dikatakan bahwa kualitasnya relatif baik.

(23)

Berdasarkan kondisi geologinya, kawasan kepala burung juga memiliki potensial lain terutama untuk sumber daya mineral maupun non mineral, antara lain berupa :

4.2.7. Zirkon

Zirkon adalah jenis bahan galian mineral non logam dikelompokkan dalam

bahan galian golongan “C”. Zirkon dapat dipergunakan dalam industri teknologi tinggi baik logam maupun non logam. Pada industri logam digunakan untuk logam zirkon dan logam paduan. Dalam industri non logam mineral zirkon dapat digunakan dalam industri keramik, gelas, bata tahan api (refractory), pasir cetak (foundri), amplas (abrasif), kimia dan batu permata (gemstone). Dalam bentuk tepung zirkon digunakan sebagai pelapis logam (baja dan besi tulang seperti peralatan dapur, dll). Padaindustri gelas zirkon (zirkonia) digunakan untuk menghasilkan gelasberkualitas tinggi seperti gelas optik, gelas fiber, gelas tv berwarna,monitor komputer dan lain-lain. Dalam industri keramik rekayasa dan

listrik, zirkon digunakan sebagai bahan pembuatan keramik berkekuatan tinggi, untuk komponen mesin atau motor, pompa kimia dan nozel.

4.2.8. Bijih besi

Bijih besi adalah mineral logam yang dikelompokkan kedalam logam besi

dan campuran besi (Fe, Co, Cr dan Mn). Terbentuk dalam beberapa proses antara lain: metasomatik kontak dengan batugamping (skarn), endapan bijih besi plaser/rombakan, endapan bijih besi laterit/residu pelapukan dan endapan bijih besi sedimen. Bijih besi biasanya bewarna abu-abu kehitaman kecoklatan terdiri dari mineral-mineral magnetit, hematit, gutit, oksidabesi/ limonit, siderit dan pirit. Bijih besi dipergunakan sebagai bahan dasar dalam peleburan bijih besi (Fe) untuk bahan baku besi beton, baja, besi plat dan lainnya.

4.2.9. Emas

Emas adalah mineral logam yang dikelompokan kedalam logam mulia (Au, Ag dan Pt) yang terbentuk dari magma melalui proses hidrothermal/epithermal. Emas bisa ditemukan dalam bentuk primer dan sekunder. Dalam bentuk primer tersebar (porfiri) dan urat (vein) pada batuan skarn, sedimen vulkanik dan urat-urat kuarsa, sedangkan bentuk sekunder ditemukan pada endapan aluvial dan sungai. Emas sebagai logam mulia dimanfaatkan sebagai bahan dasar dari berbagai macam perhiasan, peralatan elektronik dan mata uang.

4.2.10. Gypsum

Gypsum adalah mineral non logam yang dikelompokan kedalam Bahan

Galian Aneka Industri, biasanya terbentuk secara sekunder dalam lempung, berwarna putih keabuan- kehijauan, padat, rapuh berserabut dan berlembar. Gypsum digunakan sebagai

(24)

bahan dasar dan penyerta pada industri pupuk, kertas, plastik, cat, peternakan, pertanian, kosmetik, farmasi dan kimia.

Bab 5. Kesimpulan Bab 6. Daftar Pustaka

http://www.scribd.com/doc/58369888/Geologi-Papua-ika-Nourma-Sari-k5410025 http://www.scribd.com/doc/88309494/Bab-2-Kondisi-Umum

http://geoenviron.blogspot.com/2012/10/tektonik-papua-dalam-ilmu-geologi.html

Darman, Herman dan Sidi, F. Hasan. 2000. An Outline of The Geology of Indonesia. IAGI: Jakarta.

Paper :

Geology and Tectonic Evolution of Bird Head Region Papua, Indonesia: Implication for Hydrocarbon Exploration in the Eastern Indonesia*

Benyamin Sapiie¹, W. Naryanto3, Aileron C. Adyagharini2, and Astyka Pamumpuni2 Search and Discovery Article #30260 (2012)**

Posted December 31, 2012 by Hugh L. Davies

The geology of New Guinea - the cordilleran margin of the Australian continent

Earth Sciences, University of Papua New Guinea, PO Box 414, University NCD, Papua New Guinea. E-mail: hdavies@upng.ac.pg

Gambar

Gambar 1. Kolom stratigrafi daerah Papua
Gambar 2. Kolom Stratigrafi Regional Papua menurut Sapiie (2000)
Gambar 4.7. peta persebaran potensi hidrokarbon di papua
Gambar 4.1. Cekungan Salawati di Kepala Burung
+5

Referensi

Dokumen terkait