• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN ESTETIKA DAN REALISME SOSIALIS TIGA PATUNG MONUMEN (PATUNG SELAMAT DATANG, PEMBEBASAN IRIAN BARAT DAN DIRGANTARA) ERA SOEKARNO DI JAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN ESTETIKA DAN REALISME SOSIALIS TIGA PATUNG MONUMEN (PATUNG SELAMAT DATANG, PEMBEBASAN IRIAN BARAT DAN DIRGANTARA) ERA SOEKARNO DI JAKARTA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN ESTETIKA DAN REALISME SOSIALIS

TIGA PATUNG MONUMEN (PATUNG SELAMAT DATANG,

PEMBEBASAN IRIAN BARAT DAN DIRGANTARA)

ERA SOEKARNO DI JAKARTA

Dianthus Louisa Pattiasina

Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta E-mail: dianthuslouisa@yahoo.com

Abstrak: Tiga patung monumen; Patung Selamat Datang, Pembebasan Irian Barat dan Dirgantara di ibukota Jakarta ciptaan pematung Edhi Sunarso yang digagas oleh Soekarno dianggap mengawali periode pertumbuhan seni patung Indonesia. Ketiga karya seni patung monumen ini dianggap dipengaruhi serta mengusung konsep Realisme sosialis yang berkembang di tahun enampuluhan dan merupakan konsep berkesenian yang diusung oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) serta disebarluaskan melalui Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang didukung oleh pemerintah masa itu. Tujuan penulisan makalah ini untuk membahas: (1) ide dasar tiga patung monumen; Selamat Datang, Pembebasan Irian Barat dan Dirgantara, karya seni pematung Edhi Sunarso, (2) asumsi mengenai pengaruh realisme sosialis terhadap tiga patung monumen dalam estetika bentuk ekspresinya. (3) konstruksi ketiga patung tersebut dan kaitannya dengan citra bangsa Indonesia. Metoda yang digunakan adalah kajian kepustakaan dengan pendekatan deskriptif, eksploratif. Dapat disimpulkan bahwa: (1) Pematung Edhi Sunarso berhasil mewujudkan ide Bung Karno dengan kualitas estetika yang menunjukkan kekuatan ekspresi bentuk (power of expression), (2) Kekuatan atau power sebagai konsep visual tiga patung monumen tersebut secara estetika justru memberikan pengayaan dan menunjukkan ekspresi bentuk yang spesifik sejalan dengan tujuan dan gagasannya, (3) Ketiga patung monumen tersebut merupakan Karya seni sebagai upaya untuk mendukung gagasan terbentuknya kesetaraan citra bagi bangsa Indonesia yang mengacu pada kebanggaan berbangsa (national pride) yang menjadi simbol kejayaan bangsa, seperti umumnya yang ada di kota-kota besar dunia.

Kata kunci:monumen, estetika, realisme sosialis, kekuatan ekpresi bentuk.

Abstract: The three sculptural monuments namely ‘Selamat Datang’ statue, ‘Pembebasan Irian Barat’ statue, and ‘Dirgantara’ statue in Jakarta, as the creation of the sculptor Edhi Sunarso which was initiated by Soekarno are considered as the initial growth of the Indonesian sculpture art history. These three pieces of sculptural monument considered to be affected by socialist realism concept, grown in the years of 60’s which was the concept of artistic creativity carried out by Partai Komunis Indonesia (PKI) and disseminated by Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) and supported by the government at that time. The objective of this writing is to discuss: (1) the ideas and the sculptor of the three sculptural monuments; Selamat Datang statue, Pembebasan Irian Barat statue and Dirgantara statue (2) the assumptions regarding the influence of socialist realism against the three sculptural monuments in aesthetic forms of expression, (3) the constructions of the three statues related to the image quality of Indonesia. The conclusions are: (1) the sculptor Edhi Sunarso successfully embodies the idea of Bung Karno in aesthetic qualities as a form of expression (power of expression). (2) The strength as the visual concept on those three statues aesthetically shows and provides enrichment the specific form of expression in line with the purpose and the idea. (3) The constructions of the three statues as an artwork as an effort in accordance to support the idea of image equality for Indonesia which refers to national pride and was also as a symbol of national triumph which usually build in big cities of the world.

Key words: monument, aesthetic, socialist realism, power of expression.

PENDAHULUAN

Latar belakang penulisan makalah ini adalah keberadaan tiga buah patung monumen yaitu Patung Selamat Datang, Patung Pembebasan Irian Barat dan Patung Dirgantara. Hal ini merupakan sebuah fenomena yang tampil sebagai penggambaran jiwa pada zaman pasca kemerdekaan Indonesia. Tujuan adanya ketiga patung tersebut untuk memberi makna pada sebuah peradaban bangsa serta nilai-nilai kebesaran suatu negara yang baru merdeka. Wujud ketiga sosok patung Selamat Datang, Patung Pembebasan Irian Barat dan Patung

Dirgantara, tersebut tampak tegar dengan penggambaran karakter militan yang tangguh, serta mengobarkan semangat perjuangan. Wujud patung umumnya figuratif, menampilkan sifat-sifat keagungan serta kemegahan, sehingga dikatakan sebagai karya patung monumental. Kehadiran patung-patung figuratif ini dengan skala besar yang ditempatkan di ruang terbuka dalam struktur kota yang strategis pada masa itu, secara estetika memberi warna baru serta mendorong perkembangan seni patung Indonesia.

(2)

Sunarso yang mewarnai ibukota Jakarta tersebut adalah wujud gagasan Presiden Soekarno, yang tampil dalam kesatuan unsur-unsur dan prinsip-prinsip estetis dengan fungsi sosial yang mengangkat aspek ideologi politik pada masa sesudah kemerdekaan di era tahun 60 an. Pada saat itu terjadi pergolakan politik yang mempengaruhi seluruh aspek sosial budaya masyarakat. Pemerintahan Soekarno dengan konsep pemersatu bangsa melahirkan sistem Demokrasi Terpimpin untuk memperbaiki situasi kondisi sosial ekonomi masyarakat saat itu. Pada masa itulah terdapat dua kubu yang saling bertentangan dan memilahkan hasil karya kreatif seniman. Kubu pertama di bawah Lekra, yaitu organisasi kesenian yang berinduk pada Partai Komunis Indonesia (PKI) dan sangat berpengaruh, mengusung konsep seni realisme sosialis dengan slogan “seni untuk rakyat”. Kubu kedua kelompok Manifesto Kebudayaan, terdiri dari seniman-seniman indepeden dengan karya seni yang dianggap kebarat-baratan dan borjuis. Munculnya kubu yang sangat berpengaruh pada masa itu dengan konsep realisme sosialis diasumsikan mempengaruhi pula konsep bentuk karya-karya seni patung monumen. Di samping peran dominan Soekarno yang mendorong semangat rakyat dengan menuangkan gagasan perjuangan melalui karya-karya visual tersebut.

Tujuan penulisan makalah ini untuk membahas: (1) Ide dasar tiga patung monumen; Selamat Datang, Pembebasan Irian Jaya dan Dirgantara karya seni pematung Edhi Sunarso (2) asumsi mengenai pengaruh ideologi realisme sosialis terhadap perubahan konsep bentuk penciptaan tiga patung monumen karya Edhi Sunarso dalam estetika bentuk ekspresinya. (3) konstruksi ketiga patung dan kaitannya dengan citra bangsa Indonesia. Metode penelitian dilakukan melalui kajian pustaka dengan pendekatan kualitatif menggunakan cara dekripsi analisis. Pendekatan kualitatif dimaksud agar dapat memahami dan menafsirkan makna dalam gejala sosial yang diteliti.

PEMBAHASAN Gagasan dan Ideologi

Patung dengan fungsi ekspresi pribadi menghasilkan

karya seni individual seniman dan tidak dipengaruhi oleh kepentingan pihak lain. Berbeda dengan patung yang dibuat berdasarkan pesanan, tentunya melibatkan pihak pemesan dalam hal bentuk ekspresinya. Seperti pada patung monumen, umumnya mempunyai pesan tertentu dan dijadikan simbol peringatan suatu peristiwa. Konsep bentuk patung monumen mengusung sebuah gagasan dan tujuan yang mengandung nilai aspek fungsi sosial berupa deskripsi sosial maupun ekspresi ideologi politik. Dalam perkembangan seni patung modern Indonesia diketahui berbagai konsep bentuk serta gagasan individual dituangkan untuk mewujudkan karya-karya patung oleh beberapa seniman. Perwujudan bentuk-bentuk patung monumen kemudian mengisi masa-masa awal kemerdekaan sebagai periode awal pertumbuhan seni patung modern Indonesia. Pembangunan patung monumen pasca perjuangan kemerdekaan terjadi antara tahun 1959 sampai dengan tahun 1967. Jim Supangkat (1992; 46) menguraikan bahwa pembangunan patung-patung monumen ini terlaksana karena campur tangan pemerintah dan karena adanya kedekatan antara Presiden Soekarno dengan para seniman. Soekarno dikenal sebagai pencinta seni dan diakui berhasil memadukan gagasan perjuangannya ke dalam karya seni patung. Kedekatan Edhi Sunarso dengan Soekarno terungkap dan menampakkan ada kesepahaman dalam hal konsep bentuk patung antara kedua tokoh ini. Kedekatan ini merupakan dasar terwujudnya gagasan besar Soekarno sebagai karya seni monumental di Jakarta. Bung Karno tahu untuk membedakan antara kesenangan dan selera pribadi serta sangat paham dengan proporsi bentuk.

Patung-patung peninggalan pemerintahan Soekarno disebut sebagai karya seni monumental, karena mewujudkan kekuatan perjuangan dalam rangka membangun rasa kebanggaan dan kebangsaan (national pride) bagi bangsa dan tanah air Indonesia. Soekarno melihat pentingnya membangun jati diri bangsa. Menurut Soekarno bangunan monumental yang merepresentasikan pandangan hidup masyarakat dan karakter bumi Indonesia, merupakan salah satu pilar penting untuk mendukung usaha tersebut (Taufik Adi Susilo, 2008:186).

(3)

Keagungan serta kemegahan yang ditampilkan secara visual tersebut merupakan upaya pengakuan suatu bangsa kepada dunia.

Menurut Agus Sachari (2007; 24) bahwa tanda-tanda peradaban berupa artifak visual itu merupakan sebuah fenomena yang menjadi indikator utama terjadinya perubahan-perubahan di lingkungan kehidupan bangsa Indonesia. Soekarno berjasa menyumbangkan dasar peradaban bangsa melalui visualisasi gagasannya berupa karya-karya seni ruang publik di berbagai lokasi di kota Jakarta.

Pembuatan patung monumen pada masa itu memberi dampak positif dalam mendorong perkembangan seni patung di Indonesia. G. Sidharta Soegiyo (1992; 64) menyatakan bahwa semangat ini semakin tergugah ketika Bung Karno, presiden pertama Republik Indonesia, pada tahun 1962 berprakarsa mendirikan patung-patung di daerah-daerah umum di Jakarta, seperti di dalam dan di depan Hotel Indonesia (patung Selamat Datang), di Lapangan Banteng (patung Pembebasan Irian Barat) dan di Cawang (patung Dirgantara).

Menurut Marco Kusumawijaya (2006; 197, bahwa: “ ….di masa lampau kita memiliki patron seperti Soekarno, yang memperoleh hak istimewa untuk menyambung lidah rakyatnya, merumuskan sendiri apa yang kiranya dirasakan secara kolektif oleh masyarakat. Tetapi hak tersebut diperoleh karena kompetensinya, lepas dari aliran seni rupa yang ia sukai, Soekarno mempunyai selera yang baik dan mendalam.

Sejarah dan latar belakang Edhi Sunarso

Edhi Sunarso melaksanakan pembuatan ketiga patung monumen didorong oleh pertanyaan Soekarno tentang “kebanggaan berbangsa” atau “national pride”, sehingga ia yakin dan sanggup melaksanakannya. Tantangan berat dalam membuat patung monumen tersebut adalah ia harus menggunakan media perunggu yang belum pernah dilakukanya. Namun Edhi Sunarso tidak menyerah, baginya material, media dan teknik bukan hambatan untuk berkarya. Selain gigih juga mau belajar menguasai media dalam proses penciptaan karyanya. Kebanggaan berbangsa itulah yang menjadi dasar kekuatan untuk mewujudkan ketiga patung monumen di ibukota Jakarta. Edhi Sunarso memulai karirnya dengan melukis di

Sanggar Pelukis Rakyat, sebuah sanggar yang didirikan oleh Hendra Gunawan di Yogyakarta. Perjalanan berkarya para seniman Pelukis Rakyat pada awalnya hanya menggeluti seni lukis, lalu mengalami perkembangan dengan membuat karya-karya tiga dimensi sebagai upaya mencari bentuk lain dalam proses penciptaannya. Patung-patung ciptaan Edhi Sunarso yang paling menonjol pada saat itu. Karya fenomenal ciptaannya adalah “The Unknown Political Prisoner” atau Tahanan Poltik Tak Dikenal, tahun 1952, meraih penghargaan public ballot di London.

Dalam berkarya Edhi Sunarso cukup peka terhadap lingkungannya. Mengangkat realitas sosial di sekitarnya, menggambarkan penderitaan rakyat akibat peperangan dan memberi gambaran situasi sosial masyarakat saat itu. Di samping itu beberapa karya patung pribadinya mengambil tema kehidupan sehari-hari, mengangkat keindahan dan kelembutan sosok wanita serta menghadirkan konsep bentuk yang tidak melulu realis namun sudah dalam bentuk-bentuk yang lanjut. Edhi Sunarso adalah pribadi yang kokoh, disiplin, rendah hati, pejuang yang melahirkan karya-karya besar dan tercatat dalam sejarah, bukan hanya dalam lingkup kota Jakarta, namun bagi Indonesia. Proses penciptaan patung-patung monumen di ibukota Jakarta, menunjukkan kepiawaiannya dalam kemampuan pemahaman bentuk dan proporsi, kemampuan mengolah material, media dan teknik, serta matang dalam membaca dan menerjemahkan gagasan Soekarno bagi konsep bentuk ciptaaanya. Konsep Realisme Sosialis di Indonesia

Berkembangnya Realisme Sosialis di Indonesia, tidak lepas dari perkembangan sosialisme sebagai paham di tanah air. Kelompok yang menyerap gaya estetik yang sedang berkembang di Eropa Timur atau blok sosialis, seperti gaya realisme sosialis, yang banyak dijumpai pada karya desain grafis dan karya seni rupa pada umumnya. Gaya estetik yang diserap dari gaya-gaya yang berkembang di Eropa Timur, khususnya negara-negara sosialis, dapat dijumpai pada berbagai monumen kota, karya seni rupa, poster, karikatur, dan lambang-lambang partai politik Menurut Agus Sachari (2007;159-162-163) bahwa kepentingan aspek ideologi politik penguasa saat itu

(4)

berpengaruh terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat. Begitu pun dalam hasil produk di bidang kesenian. Dikemukakan oleh Agus, simbol visual kesahajaan masyarakat miskin diwujudkan dalam bentuk alat pertanian sederhana, gambar petani bercaping, gambar antrian buruh, pakaian hitam, dan beberapa organisasipun menggunakan lambang “palu-arit”. Kondisi demikian banyak mengilhami para karikaturis untuk merepresentasikan simbol kerakyatan. Gambar semacam ini tersebar pada media cetak dan pamflet politik yang mengandung propaganda akan pentingnya paham Sosialisme di Indonesia. Komunisme dicanangkan sebagai suatu ajaran, serta bisa jadi diserap dalam kebudayaan. Pada periode ini karya seni rupa kerap dipergunakan sebagai alat untuk menyerang kelompok yang berhaluan lain.

Menurut Goenawan Mohamad (Eka Kurniawan; 2006; xvi) bahwa dilihat sebagai bahan sejarah sastra dan seni, juga sebagai masalah pemikiran, Realisme Sosialis amat penting, walaupun umurnya tidak panjang. Doktrin itu berbicara tentang masanya: inilah pegangan resmi para seniman anggota Lekra di bawah patronase Partai Komunis Indonesia, yang merupakan organisasi dan gerakan terkuat di kalangan seniman Indonesia antara akhir 1950-an sampai dengan pertengahan 1960-an. Meskipun tak dapat dikatakan Realisme Sosialis telah dan dianut secara merata di kalangan Lekra pada masa awal kemerdekaan Indonesia, sebetulnya berkembang konsep realisme sosial (tanpa “is”) di dalam karya seni rupa terutama di antara para seniman Yogyakarta. Mengusung tema kerakyatan dan diwujudkan dalam bentuk karya seni yang menampilkan sosok manusia realis. Dasar pemikirannya sebagai alat perjuangan untuk membebaskan rakyat miskin dari penderitaan akibat penjajahan. Kemiskinan dan kehidupan rakyat kecil ini banyak mengilhami bentuk-bentuk ciptaan pada seni lukis maupun seni patung. Konsep “seni untuk rakyat” inilah yang dianut para seniman masa itu. Salah satunya adalah pelukis Affandi, yang jauh sebelum realisme sosialis, lukisannya dikumandangkan selalu dekat dengan tema kerakyatan. Menurut Kasman Ks (1992; 94), sikap Affandi dalam memilih tema dan gaya, adalah sikap yang bebas,

mandiri serta lepas dari pengaruh ideologi politik. Realisme Sosialis sebagai konsep berkesenian di Indonesia merupakan doktrin dari Partai Komunis Indonesia (PKI) yang lahir tahun 1950 dan disebarluaskan melalui Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA). Semboyan para seniman kala itu “seni untuk rakyat”, dimanfaatkan oleh PKI untuk propaganda ideologi politik partai. Akhir tahun limapuluhan dan awal tahun enampuluhan, LEKRA sebagai organisasi kesenian berperan besar mempengaruhi seniman dan mendorong serta menyerukan semangat realisme sosialis dan menolak segala bentuk kebebasan ekpresi seniman yang dianggap kebarat-baratan.

Estetika Tiga Patung Monumen; Patung Selamat Datang, Patung Pembebasan Irian Barat dan Patung Dirgantara

Estetika pada karya seni patung Patung Selamat Datang, Patung Pembebasan Irian Barat dan Patung Dirgantara mencakup nilai-nilai kedalaman artistik secara konsep bentuk tiga dimensional, dalam penjelajahan seniman menggali fantasi, imajinasi, dan emosi. Hal ini merupakan paduan kecakapan mengolah material dalam hal bentuk ungkapan ekpresinya. Karya seni patung merupakan wujud bentuk tiga dimensi, sehingga dapat diamati secara berkeliling dan dapat diraba. Sebagai bentuk tiga dimensi terikat dengan konsep ruang baik indoor maupun outdoor. Konsep ruang berkaitan dengan penempatan patung dan tujuan pembuatan patung tersebut. Patung monumen berskala besar umumnya ditempatkan di ruang kota terbuka dan luas yang disebut sebagai ruamg publik. Penempatan pada ruang publik tentunya mengundang interaksi antar masyarakat penikmat dengan patung sebagai elemen estetik kota. Sehingga interaksi dengan pengamat harus memerhitungkan jangkauan jarak pandang yang terukur dan ideal.

Tiga patung monumen diletakkan pada ketinggian dengan pedestal rata-rata berukuran 20 meter yang bertujuan untuk dapat terlihat dari jarak yang cukup jauh oleh para pengguna jalan pada masa itu. Bentuk-bentuk sosok figur manusia merupakan obyek utama yang diolah oleh pematung pada tiga patung monumen tersebut.

(5)

Pemilihan bentuk sosok didasari sikap agar ekspresi patung dimengerti oleh orang banyak, sehingga ketiganya diwujudkan melalui pengolahan bentuk yang menampilkan kekuatan dan semangat, sesuai dengan semangat perjuangan saat itu.

Gagasan membangun tiga patung monumen di ibukota Jakarta adalah dalam rangka merepresentasikan momen dan peristiwa penting bagi bangsa Indonesia. Patung Selamat Datang (1962) dibangun dalam rangka penyelenggaraan pesta besar olah raga bangsa-bangsa

sosok menunjukkan mimik muka berseri. Tangan kanan keduanya terangkat ke atas seolah melambai untuk menyambut. Sementara tangan kiri sosok perempuan menggenggam seikat bunga. Gestur kedua sosok berdiri dengan tangan melambai dan seikat bunga pada tangan yang lain jelas menggambarkan sebuah penyambutan. Sosok laki-laki dan perempuan hadir sebagai ungkapan keramahtamahan di samping gambaran secara universal, kesejajaran laki-laki dan perempuan mewakili citra bangsa yang beradab.

Posisi berdiri kedua sosok patung dengan tangan terangkat membentuk garis diagonal dari ujung jari tangan kanan sampai ke arah kaki kiri. Gestur patung ini menghadirkan kesan gerak secara disengaja untuk mempertegas ungkapan bentuk yang dinamis. Gestur pada patung figur manusia merupakan unsur yang dapat Patung Selamat Datang

Patung ini ditempatkan di bundaran jalan yang terletak di depan Hotel Indonesia yaitu di ujung jalan Mohammad Husni Thamrin. Patung Selamat Datang dibangun satu tahun setelah berjalannya pembangunan Hotel Indonesia. Tujuan pembangunan patung Selamat Datang ini untuk menyambut delegasi dari Negara-negara peserta pesta olah raga “Asian Games IV”, tahun 1962 dan Games of the New Emerging Forces (GANEFO), tahun 1963, yang diselenggarakan di Jakarta. Patung Selamat Datang menampilkan dua sosok laki-laki dan perempuan, dengan posisi berdiri berdampingan. Ditempatkan di atas pedestal berbentuk dua tiang kaki yaitu semacam gerbang sempit dengan ketinggian 20 meter yang terletak tepat di tengah-tengah bundaran. Secara visual tampak ekspresi wajah kedua

Asia. Patung Pembebasan Irian Barat (1963) representasi peristiwa sejarah memperjuangkan pembebasan Irian Barat dari tangan penjajah Belanda. Patung Dirgantara (1967) persembahan dan penghargaan Soekarno bagi Angkatan Udara Republik Indonesia dengan cita-cita serta keyakinan mampu menguasai dirgantara, sebagaimana bangsa-bangsa maju di dunia. Ketiga patung monumen dengan ciri spesifik dalam ekspresi gelora semangat revolusi yang mewakili periode Soekarno tersebut dapat dilihat melalui gambar berikut ini:

Gambar 1. Tiga Patung Monumen (dari kiri ke kanan): Patung Dirgantara, Patung Pembebasan Irian Barat, Patung Selamat Datang. Sumber: Edhi Sunarso(2010:164)

(6)

terbaca dan memberi makna dalam kesatuan bentuk ekspresi patung. Pengertian gestur secara umum adalah suatu bentuk komunikasi non verbal yang terbaca melalui gerakan tubuh, untuk mengkomunikasikan pesan-pesan atau dapat pula dilakukan sejalan dengan percakapan. Mencakup pengertian gesture yaitu meliputi gerakan tangan, wajah, maupun bagian lainnya dari tubuh manusia (http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_gestures). Detail unsur-unsur estetis kedua sosok berupa tarikan garis wajah, guratan rambut, tonjolan otot lengan, kerutan serta kibaran pakaian membentuk kesatuan irama yang menimbulkan kesan gerak. Prinsip kesatuan unsur estetis tersebut menguatkan gestur sosok dalam gerak semangat penyambutan, sebagai simbol selamat datang. Menurut uraian Jim Supangkat (1992; 49), bahwa tema dalam patung monumen yang paling umum diolah adalah bentuk sosok yang mencerminkan semangat. Untuk mencapai kesan ini bentuk sosok dibuat dalam posisi bergerak: kaki dan tangan mengembang, tubuh membungkuk setengah berlutut atau separuh berlari, sehingga terlihat dinamis. Patung Pembebasan Irian Barat

Patung monumen ini berdiri tegar dengan mulut menganga di Lapangan Banteng, sebuah lapangan luas yang dikelilingi oleh beberapa bangunan penting kota Jakarta. Bangunan yang mengelilingi patung monumen ini di antaranya adalah Hotel Borobudur yang terletak di sisi kiri, kemudian di bagian belakang terdapat bangunan Departemen Keuangan, di sebelah kanan adalah kompleks Gereja Katholik Kathedral, di bagian muka menyerong ke kanan terdapat bangunan Mesjid Istiqlal dan menyerong ke kiri Departemen Agama. Gagasan membangun patung untuk memperingati perjuangan membebaskan Irian Barat dari penjajah Belanda, dicetuskan oleh Soekarno dalam pidatonya di Yogyakarta pada pertengahan tahun 1962, saat mencanangkan Trikora (Tiga Komando Rakyat). Patung Pembebasan Irian Barat hadir berupa wujud sosok laki-laki sedang berteriak, sehingga tampak ekspresi wajah menyeringai. Kedua tangan terentang ke atas dan kedua kaki membentang ke samping, sehingga memperlihatkan siluet berbentuk huruf X dari arah

kejauhan. Penonjolan otot-otot lengan menunjukkan kekuatan dan gerak yang mempertegas memutus belenggu rantai. Rantai pada lengan yang terjuntai dan terayun ke atas memperkuat kesan tersebut. Telapak tangan yang terbuka lebar dibuat dengan kasar terlihat pada bagian ruas-ruas jari, sehingga menyatu dengan gerak kekuatan tangan memutus rantai. Ruas-ruas tulang rusuk diperlihatkan, kerutan-kerutan kain celana dipertegas dan otot-otot tubuh dibuat menonjol, sehingga gestur sosok memperlihatkan ritme guratan-guratan yang tidak teratur. Gagasan perjuangan yang ditransformasikan melalui konsep bentuk patung Pembebasan Irian Barat ini menyajikan pesan moral kepada masyarakat, sebagai peringatan peristiwa sejarah perjuangan. Di samping itu patung monumen secara umum mengusung fungsi sosial dengan aspek politik dan ideologi yang pada patung ini bertujuan mendorong semangat perjuangan dan kesatuan bangsa Indonesia merdeka. Menurut But Muchtar (1992: 36) bahwa pembangunan monumen tersebut dimaksudkan untuk tujuan spiritual, menumbuhkan semangat patriotik, kebersatuan dan kebersamaan dalam kehidupan sesuku, semasyarakat, seagama, sekerajaan, sebangsa, senegara, makna spiritual dapat tercapai jika lingkungan masyarakat seiasekata, sependapat, sealiran, seideologi, singkatnya memiliki spirit yang sama. Sehingga patung Pembebasan Irian Barat ini mengandung makna luas karena di dalamnya terkandung nilai spirit sebuah perjuangan seperti terlihat pada gambar berikut:

(7)

Patung Dirgantara

Patung Dirgantara dibangun di atas bundaran jalan di Pancoran, depan Markas Besar Angkatan Udara Republik Indonesia (MBAU-RI) saat itu. Posisi patung membelakangi Jalan Raya Pasar Minggu. Arah muka patung menghadap ke utara yang menunjukkan bahwa arah patung-patung monumen gagasan Soekarno umumnya menghadap ke arah istana presiden sebagai pusat kekuasaan tertinggi negara, seperti juga pada kedua patung monumen lainnya. Patung Dirgantara bukan dibangun untuk mewakili suatu peristiwa sejarah. Namun patung ini justru menjadi pengingat peristiwa G30S PKI karena dibangun pada masa seputar meletusnya peristiwa tersebut dan saat kejatuhan serta berpulangnya Presiden Soekarno. Patung Dirgantara tampil dalam sosok figur laki-laki telanjang, dengan seuntai kain terjuntai di bagian bahu dan pinggul yang tampak seolah tertiup angin. Ekspresi wajah keras, mulut mengatup, tatapan mata tajam menatap lurus ke depan. Otot-otot seluruh tubuh ditonjolkan secara berlebihan dari wajah sampai dengan bagian kaki. Posisi kaki sosok seolah sedang mengambil ancang-ancang, seperti posisi atlet pelari jarak pendek yang sedang bersiap dalam posisi start untuk bertanding lari. Kedua kaki tertekuk, kaki kiri menekuk di depan, kaki kanan tampak dalam posisi hampir seperti berlutut. Tangan kanan menjulur ke depan seolah membentang, menggapai dan meraih, serta melaju ke depan. Tangan kiri di tarik ke belakang sehingga tampil sebuah dinamika gerak. Gestur sosok demikian menjadi terbaca sebagai gerak melaju akan melesat menuju angkasa. Sosok patung terletak di atas pedestal melengkung berbentuk piph sehingga memberi keuntungan bagi dinamika gerak laju dari gestur patung ini.

Unsur estetis pada patung Dirgantara seperti pula pada patung Pembebasan Irian Barat secara spesifik terdiri dari guratan-guratan dan tonjolan otot-otot yang menampilkan ritme tidak teratur, serta kesan gerak dinamis. Gestur sosok dengan karakter khas tersebut menunjukkan semangat serta kekuatan. Konsep bentuk keduanya mengungkapkan ekspresi menggelora dan membakar semangat, sebagaimana karakter Bung Karno sang

penggagas yang senantiasa tampil semangat serta bergelora pada saat berpidato seperti tampak pada gambar berikut:

Menurut Sudarmadji (1991; 32) bahwa kekuatan yang terbaca melalui patung monumen ini dengan mengemukakan rumusan isi karya patung dari seorang pematung Inggris, Henry Moore. Menurut Moore Vitalitas harus hadir pada setiap karyanya. Bukan vitalitas dari kehidupan keseharian, melainkan enerji yang eksplosif dari subyek seni itu sendiri.

Moore membedakan antara “beauty of expression”, dengan “power of expression”. dimana yang pertama cenderung ke arah kenikmatan sensuil; sedang yang kedua lebih dalam maknanya, merupakan spiritual vitality. Kekuatan atau “power” sebagai konsep bentuk pada tiga patung monumen secara estetika menunjukkan bentuk yang spesifik sejalan dengan gagasannya. Vitalitas yang terpancar melalui bentuk maupun vitalitas spirit yang dikandungnya berhasil tampil sebagai ungkapan bentuk ekspresinya. Pematung Edhi Sunarso berhasil mewujudkan ide Bung Karno dalam kualitas estetika sebagai kekuatan ekspresi bentuk (power of expression) tanpa harus menggali atau bertumpu pada konsep realisme sosialis. Dampak pengaruh realisme sosialis bagi karya seni rupa maupun seni patung Indonesia masa itu memang tidak luput dicurigai dan mendapat cap tersebut. Bahkan tiga patung monumen itu dianggap mengusung konsep yang didukung pemerintah masa itu. Menurut Asikin Hasan (2010; 7) bahwa patung monumen Selamat Datang karya Edhi Sunarso di Indonesia menyerupai patung Gambar 3. Patung Dirgantara, Perunggu, 1963

(8)

monumen karya Vera Mukhina (1937) di Moscow berjudul “Industrial Worker and Collective Farm Girl”, berwujud sosok laki-laki dan perempuan, yang bernafaskan realisme sosialis, sebagaimana tampak dalam kedua gambar berikut:

Menurut catatan kuratorial Asikin Hasan (Katalog Pameran Tunggal Retrospeksi, 2010;7) bahwa spontanitas, kewajaran dan kesederhanaan bentuk patung Selamat Datang memberikan kehangatan. Sementara karya Vera tampil dalam teknik tinggi, terukur, sempurna, cenderung menjadi sosok-sosok dingin tanpa emosi dengan citra yang melampaui realitas sesungguhnya. Tampak sebagai manusia perkasa atau nyaris sebagai manusia agung. Ulasan Asikin ini mengemukakan bahwa patung realisme sosialis di Rusia sebagai mesin propaganda pemerintah, sedangkan di Indonesia proyek realisme sosialis atau mirip seperti itu, tak lebih dari sebuah fragmen setengah hati.

Gagasan karya Vera, tidak jauh berbeda dengan patung monumen yang dibangun di Jakarta tahun 1962, oleh pematung Rusia, Matvei Manizer dan Otto Manizer, yaitu Patung Pahlawan. Patung yang lebih dikenal sebagai Patung Pak Tani, mengusung konsep realisme sosialis dengan tema perjuangan kelas petani. Mengangkat tokoh petani membawa senjata, bukan cangkul, berbadan tegap dan berisi, serta tokoh ibu dalam balutan kebaya. Keduanya ditampilkan dalam proporsi sempurna. Sosok patung membawa simbol-simbol dengan pesan khusus untuk sebuah tujuan dan cita-cita perjuangan paham sosialisme.

Apa yang dilakukan oleh Edhi Sunarso melalui karyanya mengangkat simbol-simbol universal, di antaranya seikat bunga, belenggu rantai, tonjolan otot-otot sebagai ekspresi bentuk masing-masing patung. Penggambaran sosok difokuskan pada kekuatan atau “power”, berupa vitalitas spirit maupun kekuatan ekspresi bentuk. Menghadirkan semangat berupa spirit sebagai gambaran situasi sosial budaya masyarakat masa itu.

Sejalan dengan pendapat Asikin, menurut Goenawan Muhamad bahwa tidak dapat dikatakan doktrin tersebut telah dianut secara merata di kalangan anggota Lekra, sebagian besar angotanya hanya samar-samar mengertinya. Semboyan “Seni Untuk Rakyat” bagi mereka sudah cukup, dan memang lebih menarik dan lebih membuka pelbagai kemungkinan tafsir yang dalam seni rupa menghasilkan karya-karya yang sangat mengesankan dan jauh dari k e s e r a g a m a n ( E k a K u r n i a w a n ; 2 0 0 6 ; x v i ) . Perbedaan spesifik karya-karya individual Edhi Sunarso dengan karya patung monumennya, menunjukkan nilai estetika yang memberi makna pada kekuatan konsep penciptaan pematung dalam membedakan antara karya dengan fungsi ekspresi pribadi dengan karya yang berfungsi sosial. Sosok dalam karya pribadinya dibuat dengan mengangkat kualitas permukaan bentuk yang licin dan lebih menonjolkan sifat plastisitas. Ciptaannya berupa sosok realis maupun sosok yang sudah didistorsi, di antaranya berjudul “Mbok Drono”, cor semen (1952), “Nude”, kayu besi (1957), “Gadis Mandi”, batu cor (1959), menghadirkan tema kehidupan sehari-hari. Perubahan signifikan pada karya patung monumennya sehingga tampak berbeda dengan karya pribadi didasari oleh pemikiran yang berangkat dari ide dan gagasannya. Pematung dapat memilahkan gagasan bentuk keduanya. Hal ini merupakan bukti kemampuan pemahaman pematung untuk menuangkan gagasan dalam ungkapan bentuk ekspresi karya patungnya.

Dengan patron Soekarno dan gagasan monumennya, menurut Jim Supangkat (1992; 47-48), bahwa upaya pembuatan patung monumen itu mengalami kemajuan pada patung-patung Edhi Soenarso. Pematung ini termasuk yang terbanyak dalam membuat patung monumen serta Gambar 4. Worker and

Collective Farm Girl. Sumber: Vera Mukhina (1937)

Gambar 5. Patung Selamat Datang.

(9)

monumental di berbagai kota besar. Kapasitas Edhi Sunarso membangun patung-patung monumen bukan hanya karena jumlah yang banyak. Namun karena kemampuannya menerjemahkan pesan pada ekspresi bentuk patung monumen yang diciptakannya, merupakan kualitas pembuktian mengapa karya ciptaannya tersebar di seluruh Indonesia. Begitupun kapasitas tiga patung monumen ciptaannya yang digagas oleh Soekarno untuk ibukota Jakarta, hingga kini menjadi bangunan bersifat monumental.

PENUTUP Kesimpulan

1. Ide dasar konsep dan gagasan penciptaan tiga patung monumen yang dituangkan sejalan dengan gagasan pemesannya, Soekarno, dilakukan oleh Edhi Sunarso melalui: (a) penguasaan teknik dan material secara baik, (b) matang dalam struktur karya tiga dimensi, baik detail unsur-unsur estetis maupun prinsip pembentukannya. (c) Menghadirkan bentuk-bentuk baru sehingga menjadi catatan bagi perkembangan sejarah seni patung Indonesia, (d) tiga patung monumen Edhi Sunarso memberi tafsir tentang kekuatan perjuangan dan kehangatan alam kemerdekaan. Bukan sebagai sosok-sosok dingin sempurna tanpa emosi, sebagai propaganda perjuangan kelas yang dipaksakan melalui realisme sosialis. (e) Mempunyai kesamaan dalam pola pembangunannya yaitu berupa konsep bentuk ukuran besar patung, penempatan di atas pedestal, tata letak, dan latar belakang gagasan mendirikan patung tersebut.

2. Terdapat pengaruh realisme sosialis yang justru memberi pengayaan secara estetika dalam hal kekuatan ekspresi bentuk ketiga patung monumen karya Edhi Sunarso yang hadir dalam semangat perjuangan bersama bangsa Indonesia yang merdeka yang berdampak pada: (a) Membangkitkan proses kreasi seniman dan memajukan seni patung Indonesia, (b) menjadi catatan penting bagi pembuatan karya seni patung publik di Indonesia. Ketiga patung monument tersebut menjadi penting bagi perkembangan sejarah seni patung di Indonesia, dengan ciri-ciri sebagai berikut: (a) Merupakan patung publik

pertama di Jakarta terbuat dari media perunggu, yang dibangun pasca kemerdekaan pada masa Soekarno, menggantikan patung-patung peninggalan masa kolonial Belanda. (b) menjadi titik-titik orientasi ruang kota Jakarta, yaitu sebagai penanda dan petanda yang memberikan nilai sejarah bagi perkembangan kota. (c) berlandaskan keragaman ide yang menuju pada kesetaraan dengan negara-negara maju di dunia. (d) merupakan prinsip kesetaraan yang mengacu pada kebanggaan berbangsa atau national pride menjadi simbol kejayaan bangsa seperti umumnya dengan kota-kota besar di dunia dalam mendirikan patung-patung perunggu.

Saran-saran

1. Perlu suatu usaha memahami dan mendukung gagasan seni patung di Indonesia, sehingga menjadi karya seni yang secara universal yang dicatat dalam sejarah. 2. Perlu patung hendaknya meunujukkan suatu usaha mendukung gagasan terbentuknya kesetaraan citra bagi bangsa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Agus Sachari, Budaya Visual Indonesia, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2007

Eka Kurniawan, Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006

Haji Masagung, Wasiat Bung Karno, Ketut Masagung Coporation, Jakarta, 1998

Henry Arvon, Estetika Marxis, Resist book, Yogyakarta, 2010 Hilda Soemantri, Visual Art Indonesian Heritage, Archipelago Press,

Editions of Didier Miller, Singapore,1998

Marco Kusumawijaya, Kota Rumah Kita, Borneo Publications, Jakarta, 2006

Mikke Susanto (ed), Edhi Sunarso Seniman Pejuang, Hasta Kreatifa Manunggal, Yogyakarta, 2010.

Soedarso SP. (ed), Seni Patung Indonesia, BP ISI Yogyakarta, Yogyakarta, 1992

Sudarmadji, Seni Rupa Indonesia Dalam Persoalan Dan Pendapat, Balai Seni Rupa, Jakarta,1991

Suwarno Wisetrotomo (ed), Meniti Jalan Pembebasan, Hasta Kreatifa Manunggal, Yogyakarta, 2010

Taufik Adi Susilo, “Soekarno” Biografi Singkat 1901 – 1970, Garasi, Jogyakarta, 2008

Jim Supangkat, Seni Patung Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,1992

William Fleming. Arts and Ideas, Holt, Rinehart and Winston, USA, 1980

Katalog Pameran Tunggal “Retropeksi” Edhi Sunarso, Jogja Gallery, Yogyakarta, 2009

Katalog Pameran “Monumen” Edhi Sunarso, Komunitas Salihara, Jakarta, 2010

http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_gestures http://www.artikata.com/arti-79476-gesture.html

Gambar

Gambar 1. Tiga Patung Monumen (dari kiri ke kanan): Patung Dirgantara, Patung Pembebasan Irian Barat, Patung Selamat Datang.
Gambar 2. Patung Pembebasan Irian Barat, Perunggu, 1963
Gambar 3. Patung Dirgantara,  Perunggu, 1963
Gambar 4. Worker and Collective Farm Girl.

Referensi

Dokumen terkait