PELATIHAN HAND OUT BERWAWASAN KESETARAAN GENDER:
SUMBER BELAJAR ALTERNATIF PEMBELAJARAN AGAMA
HINDU DI SEKOLAH DASAR UNTUK MENINGKATKAN
PEMAHAMAN KADER TENTANG ISU GENDER
Luh Putu Sendratari1, I Ketut Margi2 12Jurusan Sejarah, Sosiologi dan Perpustakaan FHIS UNDIKSHA
Email: [email protected]
ABSTRACT
The purpose of carrying out community service activities for Hindu religious cadre teachers in Sawan District is: to increase the cadres' abilities on gender issues which will be used as materials for the preparation of handouts. The stages of training activities include: (1) The Preparation Stage includes; assessing cadres, determining cadres, determining training models (online and face-to-face), making WAGs, determining face-to-face timing, preparing training materials (power point). (2) The implementation stage includes an explanation of the material. The main targets of this activity are to provide material on the concept of gender and sex, the concept of symbolic violence and examples in Hinduism; hand out concept, meaning, function and use; Example of Hand Out. Happy face-to-face activities, accompanied by questions and answers and exercises to determine hand out materials and search for references. Happy face to face, do the exercise of making the lay out of the hand out. Further meetings are conducted through the WAG (WhatsApp Group) for matters that are not yet understood by cadres. Through training activities there has been an increase in teachers' understanding of gender issues in Hinduism and the success of making handouts on the topics:
Keywords: Cadre, Hand Out, Gender, Symbolic Violence
ABSTRAK
Tujuan dilakukannya kegiatan pengabdian masyarakat terhadap guru kader agama Hindu di Kecamatan Sawan adalah : meningkatkan kemampuan kader tentang isu gender yang akan digunakan sebagai bahan penyusunan hand out. Tahap kegiatan pelatihan di antaranya : (1) Tahap Persiapan meliputi ; penjajagan kader, penentuan kader, penetapan model pelatihan (daring dan tatap muka), pembuatan WAG, penentuan waktu tatap muka, penyiapan materi pelatihan (power point). (2) Tahap Pelaksanaan meliputi penjelasan materi. Sasaran pokok dalam kegiatan ini adalah memberikan materi tentang konsep gender dan seks, konsep kekerasan simbolik dan contoh dalam materi agama Hindu; konsep hand out, pengertian, fungsi dan kegunaan; Contoh Hand Out. Selamat kegiatn tatap muka berlangsung disertai dengan tanya jawab dan latihan menentukan bahan hand out serta penelusuran referensi. Selamat tatap muka dilakukan latihan membuat lay out hand out. Pertemuan lebih lanjut dilakukan melalui WAG (whatsApp Group) untuk hal-hal yang belum dimengerti oleh kader. Melalui kegiatan pelatihan telah terjadi peningkatan pemahaman guru tentang isu gender dalam agama Hindu dan keberhasilan membuat hand out dengan topik:
Kata Kunci: Kader, Hand Out, Gender, Kekerasan Simbolik
PENDAHULUAN
Pendidikan yang bias gender menimbulkan stereotipe peran perempuan dan
laki-laki yang umumnya kurang
menguntungkan perempuan. Bila tidak dilakukan perubahan secara strategis dan sistematis, akan terhambat pembangunan di
segala aspek kehidupan
berjalan seiring dengan nafas GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) di mana secara legalitas formal rumusan tentang kesetaraan antara perempuan dan laki-laki yang tertuang dalam GBHN 1993 seperti berikut ini.
Wanita sebagai warga negara maupun sebagai sumberdaya insani pembangunan, merupakan mitra sejajar pria dan mempunyai hak dan kewajiban serta kesempatan yang
sama dengan pria dalam
pembangunan di segala bidang (BP 7 Pusat,1993:228).
Munculnya berbagai payung normatif dimaksudkan untuk mempertegas pentingnya PUG dalam implementasinya, namun dalam kenyataannya program PUG belum juga berjalan secara maksimal.. Hal ini pun ditandaskan oleh Santoso (2016:7) bahwa meskipun dirasa penting, PUG seperti tidak kunjung maju dan berkembang serta masih sebatas wacana. Salah satu analisis atas lambannya pengembangan dari kebijakan PUG adalah terbatasnya sumberdaya manusia yang memahami isu dan pendekatan gender.
Kenyataan yang terbantahkan atas persoalan PUG adalah terdapatnya berbagai bias gender dalam kehidupan publik, tak terkecuali dalam dunia pendidikan. Menurut Diarsi (1989:11) jika pendidikan dimaksudkan untuk membentuk sikap, cara pandang dan nilai-nilai yang relevan untuk masa mendatang, maka pendidikan yang mengandung genderistik hanyalah kesia-siaan. Bahkan, pelestarian ideologi gender yang membatasi penggalian potensi perempuan yang dilakukan secara terus menerus akan menimbulkan petaka terutama bagi pemanfaatan sumberdaya manusia.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan lewat penelusuran buku-buku Buku Pegangan Guru Agama Hindu di Kecamatan Sawan,
Buleleng, Bali ternyata masih mengandung muatan bias gender yang tampak dan ditemukan pada aspek-aspek berikut ini.
(1) wacana-wacana, gambar-gambar yang dituangkan dalam buku pelajaran masih memposisikan laki-laki tidak setara dengan perempuan (Topik Yadnya dan Orang Suci)
Gejala ini bila dibiarkan diduga dapat menjadi penghambat terwujudnya pengarusutamaan gender dalam pendidikan. Hal ini menarik untuk dilakukan pembenahan pembelajaran agama Hindu di sekolah dasar, karena akan memberikan kontribusi yang besar dalam membentuk pola berpikir siswa tentang cara memahami hakekat manusia.
Pada tahun 2019 telah dilakukan sosialisasi program PUG guru agama Hindu di Kecamaran Sawan. Hasilnya adalah para peserta sudah mengetahui apa yang dimaksud
dengan program PUG; apa yang
melatarbelakangi munculnya kebijakan PUG; ditindaklanjuti pula dengan latihan menyusun RPP yang bermuatan kesetaraan gender dalam pembelajaran agama Hindu. Hanya saja, program pelatihan yang telah dilakukan tersebut ternyata masih menyisakan persoalan yang perlu ditindak lanjuti.
Persoalan yang masih tersisa dan mendesak dilakukan adalah memberikan pelatihan dalam mengembangkan materi ajar sebagai bentuk tindak lanjut dari RPP yang telah dihasilkan oleh guru agama Hindu. Ada beberapa alasan mengapa hal ini perlu dibenahi. Rasionalnya adalah berikut ini.
1) Para guru Agama Hindu jenjang SD di kecamatan Sawan masih mengalami kesulitan untuk mengimplementasikan RPP pada aspek pengembangan materi yang bermuatan kesetaraan gender pada pelajaran agama Hindu;
2) Para guru masih terpaku dan terikat pada pemakaian buku teks yang muatan bias gender masih kuat.
3) Para guru tidak asing dengan pemakaian internet yang dapat dijadikan alternatif untuk menemukan sumber pengayaan dalam memenuhi tuntutan RPP bermuatan kesetaraan gender.
Sehubungan persoalan tersebut, pembenahan yang memungkikan untuk dilakukan adalah memberikan pelatihan penyusunan hand out melalui pembentukan guru kader. Pembentukan kader merupakan pertimbangan praktis untuk mempermudah terjalinnya komunikasi antar guru agama di Kecamatan Sawan. Secara psikologis, komunikasi sesama guru akan dapat berkesinambungan walaupun program pelatihan telah usai. Hal ini pun akan dapat mempercepat realisasi pelaksanaan program PUG (Pengarusutamaan Gender). Di samping itu, muatan materi yang ada selama ini bersinggungan pula dengan adanya kekerasan simbolik yang meminggirkan peran perempuan.
Menurut Sudarmanto (1986:16) agama adalah sistem yang mengatur makna atau nilai-nilai dalam kehidupan manusia. Oleh karenanya, pelajaran agama di tingkat dasar sangat urgen dalam membentuk pemahaman makna kesetaraan dan keadilan bagi manusia. Selain itu, menurut Burhanuddin (2002) kelemahan pendidikan agama dewasa ini adalah kurangya penekanan nilai moralitas yang universal seperti kasih sayang, cinta kasih, tenggang rasa dan penghargaan terhadap perbedaan rasa, agama maupun jenis kelamin (seks dan gender). Pendidikan Agama Berwawasan Pluralisme
Menurut Noer (2005:872) pluralisme dalam konteks pendidikan agama bukanlah hanya sekedar pengakuan bahwa keadaan atau fakta yang bersifat plural, jamak atau banyak
namun adalah suatu sikap yang mengakui, dan sekaligus menghargai, menghormati, memelihara, dan bahkan mengembangkan atau memperkaya keadaan yang bersifat plural, jamak atau banyak itu.
Pendidikan agama mempunyai tempat yang amat strategis dalam sistem pendidikan nasional secara keseluruhan karena pendidikan agama pada intinya berujung pada pendidikan akhlak. Menurut Soedjatmoko (1984) semua pendidikan bertugas membina manusia susila, manusia yang berakhlak mulia. Hal ini sejalan dengan pemikiran Ma’arif (2005) bahwa abad ini sebagai abad sumberdaya manusia (SDM), yang menuntut manusia untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan dengan kecerdasan tinggi, yang bereteknologi dan berprilaku produktif tinggi. Semua orang secara individual atau pun bersama-sama dalam ikatan organisasi dituntut untuk belajar terus menerus dalam proses interaktif yang bermutu.
Karena masyarakat kita majemuk, maka kurikulum ideal adalah kurikulum yang dapat menunjang proses siswa menjadi manusia yang demokratis, pluralis, dan menekankan penghayatan hidup secara refleksi untuk menjadi manusia yang utuh.
Hamid (2000) menyarankan dalam
pengembangan kurikulum hendaknya dilihat
kurikulum sebagai proses yang
memperhatikan hal-hal yaitu : (1) posisi siswa sebagai sujek dalam belajar; (2) cara belajar siswa yang ditentukan oleh latar belakang budayanya; (3) lingkungan budaya mayoritas masyarakat dan pribadi siswa adalah kultur siswa ; (4) lingkungan budaya siswa adalah sumber belajar.
Semangat yang mencuat dalam fungsi agama menurut Sumartana (1997) adalah agama selaku kekuatan kohesi sosial di masyarakat majemuk sehingga agama bisa menjadi kekuatan moral transformatif yang
peka terhadap ketimpangan maupun ketidakadilan yang dihadapi oleh masyarakat bawah. Dalam konteks ini ketimpangan dan ketidakadilan gender yang muncul dalam dunia pendidikan menjadi relevan untuk dibenahi melalui kekuatan agama dalam lingkup pembelajaran sehingga dapat ditekan bias-bias gender dalam pembelajaran agama.
Peggy Riehl sebagaimana dikutif oleh Baidhawy (2002:91) menawarkan beberapa upaya pendekatan anti bias yang dapat diterapkan dalam pengajaran antara lain. 1. Perhatikan semua isu bias kapan dan di mana pun anda berada. Bias bisa dijumpai dalam surat kabar, televisi,bus, atau jalan menuju tempat kerja atau sekolah; 2. Cermin harga diri. Setiap siswa membutuhkan harga diri yang positif, jadikanlah kelas sebagai tempat yang aman dalam dunia
yang sedang dirundung
perselisihan;
3. Jendela menuju keragaman dan keseimbangan. Semua siswa mengalami keragaman karena mereka dari dunia yang berbeda; 4. Perlu ada penghargaan kultural,
akurasi kesejarahan dan non steriotip
5. Berpikir kritis dan aktivisme untuk menjadikan anak – anak agar kuat dan terampil menilai dunia demi keragaman
Selain itu, Kuntowijoyo (1997:6) menambahkan fungsi agama yang sesuai dengan latar belakang masyarakat Indonesia yang multikultur yaitu social solidarity, yaitu berfungsi dalam membentuk komunitas. Menurut Baidhawy (2002:97) pendidikan agama berwawasan multikultur perlu memberi penguatan mengenai keadilan gender antara laki-laki dan perempuan melalui pendekatan
teologis dan legal formal. Ada banyak tafsir terhadap teks-teks suci keagamaan yang mengandung mysogini, yakni ideologi kebencian terhadap kaum perempuan.
Sesuai dengan ajaran agama Hindu gender bukan merupakan perbedaan sosial antara laki-laki dan perempuan. Agama Hindu mengajarkan bahwa seluruh umat manusia diperlakukan sama dihadapan Tuhan sesuai dengan dharma baktinya. Untuk memahami hakekat perempuan dalam kitab suci agama Hindu sangat terkait dengan mite penciptaan alam menurut agama Hindu. Di dalam mite itu dijelaskan bahwa Brahma, pencipta alam dipandang sebagai laki-laki sekaligus perempuan. Brahma membagi dirinya menjadi dua, sebagai Purusha (laki-laki) dan sebagian yang lain Prakriti (perempuan). Di dalam kitab Manavadharmacastra I.32 dijelaskan bahwa : ”Dengan membagi-bagi dirinya sendiri Tuhan menjadikan Perempuan dan Laki-laki”. Rujukan yang termuat dalam kitab ini memperjelas bahwa laki-laki (purusha) dan perempuan (prakriti) merupakan emanasi langsung dari jasad Tuhan sendiri, maka perempuan merupakan bagian dari kekuatan Tuhan yang asli, yang berarti kekuatan perempuan adalah kekuatan Tuhan. Dengan demikian secara esensial terdapat kesamaan spiritual. Secara aktual, purusha dan prakerti merupakan pasangan yang ideal, dalam diri prakriti tersimpan potensi feminin, akan tetapi feminitas tersebut tidak aktual tanpa kerjasama dengan purusha (Dahlan,1992:72).
Selain itu, dalam hukum agama Hindu tidak dikenal adanya manusia kelas satu, dan manusia kelas dua, seperti yang tercantum dalam Manu Smrti Buku III ayat 55 Manavadharmasastra, yang artinya : ”Wanita harus dihormati dan disayangi oleh ayah, kakak, suami dan ipar – ipar. Berdasarkan ayat ini kedudukan perempuan dalam hukum Hindu sangat diistimewakan dan kata harus dihormati mempunyai arti wajib hukumnya
bagi laki-laki mengutamakan perempuan (ini merupakan materi pokok penyadaran gender). Hand Out Sebagai Bahan Ajar untuk
Memutus Mata rantai Kekerasan Simbolik
Hand Out menurut batasan yang dikeluarkan oleh Depdiknas berupa Buku Pedoman Pengembangan Bahan Ajar memberi batasan tentang hand out sebagai bahan ajar tertulis yang diharapkan dapat mendukung bahan ajar lainnya atau penjelasan dari guru. Hand out juga merupakan bahan tertulis tambahan yang dapat memperkaya siswa siswa dalam belajar untuk mencapai kompetensinya.
Dilihat dari segi penyusunannya hand out pada umumnya diambilkan dari beberapa literatur yang memiliki relevansi dengan materi yang diajarkan atau kompetensi dasar dan materi pokok yang harus dikuasai siswa. Untuk memperolehnya, hand out bisa didapatkan dengan berbagai cara, seperti dengan cara download dari internet atau menyadur dari sebuah buku.
Fungsi dan Kegunaan Hand Out
Merujuk pada pendapat Duri Andriani (2003:3.33) ada tujuh fungsi hand out yaitu: pertama, guna membantu siswa agar tidak perlu mencatat; kedua, sebagai pendamping penjelasan guru; ketiga sebagai bahan rujukan siswa; keempat, memotivasi siswa agar lebih giat belajar; kelima, pengingat pokok-pokok materi yang diajarkan; keenam, memberi umpan balik; dan ketujuh, menilai hasil belajar. Sementara itu tujuan pembuatannya meliputi tiga hal, yaitu: pertama, untuk memperlancar dan memberikan bantuan informasi atau materi pembelajaran sebagai pegangan bagi siswa; kedua iuntuk memperkaya pengetahuan siswa; dan ketiga, untuk mendukung bahan ajar lainnya atau penjelasan dari pendidik.
2.2.2 Langkah-langkah Penyusunan Hand Out
Hand out dibuat berdasarkan kompetensi dasar yang harus dicapai oleh siswa. Oleh karenanya penyusunannya harus diturunkan dari kurikulum (Prastowo, 2014:199). Adapun langkah-langkah penyusunannya adalah sebagai berikut.
1) Lakukan analisis kurikulum
2) Menentukan judulhan Out yang disesuaikan dengan kompetensi dasar dan materi pokok yang akan dicapai
3) Mengumpulkan referensi sebagai bahan penulisan yang terkini dan relevan dengan materi pokoknya 4) Mengevaluasi tulisan dengan cara
dibaca ulang, bila perlu dibaca orang lain untuk mendapatkan masukan 5) Memperbaiki han out sesuai dengan
kekurangan yang ditentukan
6) Gunakanlah berbagai sumber belajar yang dapat memperkaya materi hand out, misalnya: buku, majalah, internet, dan jurnal hasil penelitian. Isi dari hand out dapat terdiri dari beragam isi yaitu: pertama peta atau diagram konsep;
kedua, anotated bibliography; ketiga,
informasi tambahan untuk meluruskan kesalahan dan bias dalam bahan ajar; keempat, memberikan contoh baru dan contoh tambahan untuk hal yang sulit dipahami siswa; kelima, memberikan kasus untuk dipelajari lebih lanjut oleh siswa yang dapat dipelajari secara individu maupun kelompok.
METODE
Pelaksanaan kegiatan pengabdian kepada masyarakat dilakukan secara bertahap dari proses koordinasi dengan pengawas guru agama Hindu, membuat kesepakatan dengan kader, membuat Wa Group, melakukan waktu dan tempat pelatihan secara tatap muka,
pendampingan penyusuan hand out secara daring dan evaluasi.
Peserta pelatihan adalah guru Agama Hindu jenjang Sekolah Dasar berjumlah 5 orang yang ditunjuk oleh Pengawas sebagai kader. Dasar pemilihan kader diantaranya memperhitungkan penguasaan IT yang cukup dalam rangka untuk mengakses referensi yang bersumber dari internet dan trend pembelajaran daring. Penentuan lokasi di Kecamatan Sawan dilatarbelakangi pertimbangan kesinambungan program pelatihan sebelumnya yang berdasarkan pada upaya peningkapan capacity building untuk guru dalam hal kepekaan tentang isu gender.
Keberhasilan kegiatan ditunjang dengan penerapan metode pelatihan melalui strategi yang memadukan cara daring dan tatap muka. Adapun metode pelatihan yaitu : (1) Metode Ceramah digunakan pada saat tatap muka langsung yang bertujuan untuk memberikan informasi langsung yang berkaitan dengan konsep gender dan kekerasan simbolik; pengertian hand out; tujuan pembuatan dan fungsi; langkah-langkah pembuatan hand out.
(2) Metode Tanya Jawab digunakan untuk memberi kesempatan kepada para kader menanyakan hal-hal yang belum jelas tentang gender dan kekerasan simbolik serta tata cara pembuatan hand out. Metode ini dterapkan melalui dua cara yaitu daring melalui WAG dan saat tatap muka. (3) Metode Simulasi. Metode ini digunakan untuk memberi kesempatan kepada kader menyampaikan hasil kerjanya dan melakukan refleksi. Pemakaiannya juga sekaligus untuk melakukan evaluasi terhadap penguasaan kader terhadap materi pelatihan.
Dalam mengetahui keberhasilan kegiatan pelatihan, dilakukan pula evaluasi yang dilihat dari; (1) keaktifan kader dalam merespon setiap tahap kegiatan melalui daring maupun tatap muka; (2) keaktifan kader dalam menyiapkan sampai menghasilkan hand out dan secara aktif pula berdiskusi lewat WAG terutama dalam menentukan sumber referensi dan materi hand out. Alat ukur yang digunakan adalah lembar observasi dan wawancara.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Peserta pelatihan di fokuskan pada 5 (lima) orang kader guru agama Hindu Sekolah dasar yang bertugas di Kecamatan Sawan. Pemilihan Kader dibantu oleh pengawas dan Dewa Dodi yang menjadi koordinator guru dalam kegiatan pelatihan yang telah dilakukan sebelumnya. Pemakaian kader dimaksudkan untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang mampu menjaga keberlangsungan program pengarusutamaan gender di Kecamatan Sawan. Di samping itu, pemakaian kader bertujuan praktis yaitu memudahkan komunikasi keberlanjutan dengan guru
sebidang yang bertugas di SD yang berlokasi di Kecamatan Sawan.
Tahap kegiatan dilakukan dengan menyesuaikan situasi Pandemi Covid 19, sehingga kegiatan lebih banyak dilakukan secara daring dan tatap muka hanya dilakukan 1 kali kegiatan. Diawali dengan melakukan koordinasi dengan pengawas guru agama kecamatan Sawan yang disertai penunjukkan Kader. Salah satu kader dijadikan koordinator (Dewa Dodi) untuk memudahkan melakukan koordinasi. Mempertimbangkan kondisi pandemi Covid-19, akhirnya disepakati pelatihan dilakukan secara daring dan sekali tatap
muka. Layanan secara daring dilakukan dengan membuat WAG.
Adapun identitas kader diketahui melalui Curriculum Vitae yang bersangkutan diperoleh data berikut ini.
Tabel 1. Data Diri Kader
No Nama Kader Jenis Kelamin Sekolah Lama Bertugas
1 Dewa Putu Dedik Kurniawan,S.Pd Laki-laki SD 7 8,2 Tahun
2. I Gede Doli Supranata, S.Pd Laki-laki SD 5 Sangsit 14 Tahun 3. I Made Giri Puspawan, S.Pd Laki-laki SD 3 Sudaji 4 Tahun 4. Ketut Nita Lestari, S.Pd Perempuan SD 2 Suwug 3 Tahun 5. Ketut Ayu Sri Antari, S.Pd Perempuan SD 2 Sangsit 14 Tahun Sumber: WAG, 2020
Hal menarik dari data diri para kader adalah dari segi lama bertugas. Rentang waktu bertugasnya dari 3 tahun bahkan ada 14 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa selama ini dalam mengajar para kader hanya berpijak pada pespektif yang bias terhadap muatan gender dalam materi agama Hindu. Hal ini terjadi karena mereka belum pernah diperkenalkan tentang isu gender.
Pemberian materi dilakukan secara tatap muka di Sekolah Dasar No. 5 Sangsit, Kecamatan Sawan, Buleleng Bali. Dipilihnya sekolah ini sebagai tempat latihan karena lokasinya tidak jauh dari tempat tinggal para kader. Sebelum kegiatan dilakukan proses meminta ijin kepada Kepala Sekolah SD 5 Sangsit. Materi diberikan berfokus pada : (1) Konsep Gender dan Kekerasan Simbolik; (2) Pengertian Hand Out, Fungsi, Kegunaan dan Langkah-langkah Penyusunan Hand Out.
Gambar 01: Penyampaian Materi oleh Tim Pengabdian Kepada Masyarakat (Sumber: Suryani, Putu. September 2020)
Selama kegiatan pemberian materi berlangsung, para kader menyimak dengan tekun yang disertai acara tanya jawab. Pertanyaan yang muncul:
“Mengapa dalam aktivitas di pura dan kegiatan adat terjadi pembagian kerja yang cukup ketat tentang pekerjaan perempuan dan laki-laki” (DEWA PUTU DEDIK KURNIAWAN, S.Pd)
“Mengapa dalam materi agama Hindu ada uraian yang tidak sesuai dengan kenyataan di masyarakat, misalnya tentang orang suci, kok yang muncul hanya satu jenis kelamin yaitu pendeta pria” (I Gede Doli Supranata, S.PdH)
Gambar 02: Peserta Pelatihan sedang Menyimak Materi (Sumber : Tuty Ayu, September 2020)
Selama pemilihan topik, para kader diingatkan tentang konsep kekerasan simbolik berbasis gender yang muncul selama ini dalam pembelajaran maupun pada buku
pegangan siswa dan guru. Selama kegiatan brainstorming dan diskusi berlangsung, muncul pemahaman peserta bahwa kekerasan simbolik yang muncul dalam materi agama Hindu yang terdapat di Buku Teks pegangan guru dan peserta didik dalam wujud gambar yakni:
1. Kegiatan yadnya sehari-hari (yadnya sesa) lebih ditujukan pada perempuan dewasa dan anak perempuan.
2. Perbuatan mepunia pada fakir miskin berupa gambar dalam buku dan gambar di dinding kelas dilakukan oleh anak laki-laki. 3. Pada materi Sejarah Agama Hindu
yang menjelaskan tentang masuknya pengaruh Hindu pada awal abad ke 4 di Kutai ditunjukkan dengan bukti
jejak sejarah berupa 7 buah yupa hanya menonjolkan peran raja sebagai penerus keturunan (ada kata “berputra kan”) yang menyembunyikan peran seorang ibu yang melahirkan putra mahkota.
4. Gambaran orang suci hanya mengedepankan pendeta berjenis kelamin laki-laki
5. Gambaran Dewa-dewa lebih
menonjolkan Dewa dibandingkan Dewi sebagai Sakti.
Peserta bukan hanya diberikan pemberian konsep-konsep, namun diberikan juga contoh hand out dalam materi agama Hindu di Sekolah Dasar. Dalam kegiatan tatap muka peserta dilatih untuk menemukan topik yang akan dijadikan hand out. Kelima kader akhirnya menentukan topik sebagai berikut. Tabel 2. Topik yang Dipilih untuk Penyusunan Hand Out
No Nama Kader Topik
1 Dewa Putu Dedik Kurniawan, S.Pd Yadnya Sesa dan Tat Twam Asi 2. I Gede Doli Supranata, S.Pd Tri Murti
3. I Made Giri Puspawan, S.Pd Tri Premana
4. Ketut Nita Lestari, S.Pd Catur Guru
5. Ketut Ayu Sri Antari, S.Pd Orang Suci Sumber: WAG, 2020
Setelah penentuan topik, dilanjutkan dengan latihan membuat kulit luar hand out. Pembuatannya mengikuti Panduang Pembuatan Kulit yang disediakan Microsoft Word. Dalam hal ini para kader diberi keleluasaan dalam membuat kulit sesuai kreatifitasnya. Selama pembuatan hand out yang bermuatan kesetaraan gender dalam rangka memutus mata rantai kekerasan
simbolik, para kader didampingi melalui tatap muka dan daring lewat WAG.
Evaluasi dilakukan selama proses pelatihan berlangsung baik dari awal pertemuan sampai akhir penyusunan hand out. Hasil evaluasi terhadap kegiatan pelatihan dilakukan dengan lembar observasi dapat dilihat dalam Tabel 03 berikut ini.
Tabel 3. Hasil Evaluasi Terhadap Kegiatan Pelatihan
No Aspek yang Dinilai Presentase 1 Penguasaan peserta tentang konsep seks dan gender 87 %
2. Penguasaan peserta tentang kekerasan simbolik 88 %
3. Penguasaan Peserta tentang konsep Hand Out 85 %
Sumber: Data Primer, 2020
Awal kegiatan kemampuan para kader tentang konsep gender dan seks, konsep kekerasan simbolik secara umum maupun dalam materi agama Hindu dan pengetahuan
tentang hand out tergolong belum baik. Namun setelah diberikan pelatihan tampak peningkatan kemampuan kader dalam menguasai konsep-konsep tersebut.
Hand Out Kesetaraan Gender
Yadnya Sesa (Mebanten Saiban) Penyusun Dewa Putu Dedik Kurniawan 2020 I Kompetensi Dasar
Mendeskripsikan yadnya sesa sebagai kewajiban dalam menjalankan ajaran agama tanpa sekat jenis kelamin
II Indikator
1. Menceritakan pengalaman aktivitas yadnya sesa di lingkungan keluarga 2. Menjelaskan pengertian yadnya sesa
3. Menjelaskan arti penting yadnya sesa
4. Menjelaskan cara pembagian tugas antara pria dan wanita dalam melaksanakan aktivitas yadnya sesa
III Materi Pokok
1. Pengertian yadnya sesa 2. Arti Penting yadnya sesa 3. Contoh yadnya sesa
4. Pembagian Kerja pria dan wanita IV Pengalaman Belajar
1. Siswa mengamati gambar contoh yadnya sesa
Overview Materi Pengertian Yadnya Sesa
Tabel 4. Hasil Evaluasi Hand Out Para Kader No Aspek
Penilaian Deskriptor Skor Komentar
1. Ketepatan dan keajegan SK/KD dengan muatan isu gender Rumusan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) sesuai dengan standar Isi Jika terjadi perubahan
urutan, maka sesuai dengan hirarki konsep disiplin ilmu atau tingkat kesulitan materi Ada kesesuaian antara KD
dan
komponen-komponennya (indikator, materi, kegiatan belajar, media/sumber, evaluasi)
87 Telah ada kesesuaian Rumusan SK dan KD 2. Keakuratan Materi Bermuatan kesetaraan gender
Materi hand out benar secara teoretis
Materi hand out mendukung pencapaian KD (Selaras dengan KD)
88 Materi hand out telah sesuai denga konsep tentang muatan kekerasan gender
No Aspek
Penilaian Deskriptor Skor Komentar
3. Kegiatan Pembelajar an
Materi hand out memuat aktivitas belajar yang berpusat pada siswa/belajar aktif
Tahapan kegiatan
pembelajaran yang ada dalam hand out mendukung tercapainya KD
Tahap Kegiatan
pembelajaran dalam hand out memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kecakapan hidup (personal, sosial)
85 Pengalaman belajar yang
diberikan telah memperhitungkan kebutuhan siswa di jenjang sekolah dasar
4. Indikator bermuatan kesetaraan gender
Rumusan indikator berisi jabaran perilaku untuk mengukur tercapainya KD Rumusan indikator berupa
kata kerja operasional yang dapat diukur dan diobservasi
85 Indikator yang disusun telah terukur dengan baik
5. Penilaian Alat penilaian sesuai dan mencakup seluruh indikator Wujud/contoh alat penilaian
jelas dan sesuai dengan indikator
87 Penilaian telah dibuat dengan frame jenjang SD
7. Sumber Belajar
Sumber belajar yang digunakan dalam hand out sesuai untuk mendukung tercapainya KD
Sumber belajar bervariasi dan inovatif
80 Sumber belajar yang digunakan cukup variatif
Hasil kegiatan pelatihan ini memberi pengetahuan dan pengalaman tambahan pada para kader dalam melakukan refleksi terhadap isu ketimpangan gender yang ada di lingkungan masing-masing dan ketimpangan yang terdapat dalam materi pelajaran agama Hindu. Pada awal perbincangan para kader mengaku belum punya pemahaman tentang muatan bias gender dari materi yang diajrkan selama ini. Mereka merasa semuanya tidak
ada persoalan. Tetapi ketika dilatihkan untuk menemukan bias dalam muatan materi, barulah mereka sadar bahwa selama ini mereka masih belum peka terhadap permasalahan sosial yang terkandung dalam materi pelajaran agama Hindu. Para kader memberikan kesan bahwa kegiatan ini sangat bermakna untuk dijadikan panduan dalam melakukan pembenahan kualitas pembelajaran agama Hindu. Di samping itu, mereka juga
berkomitmen akan meneruskan pengalaman yang diperoleh kepada teman guru serumpun yang ada di sekolahnya maupun di lingkungan MGMP.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil yang dicapai dapat ditarik kesimpulan: (1) terjadi peningkatan penguasaan guru tentang konsep seks, gender, kekerasan simbolik dalam materi agama Hindu di Sekokah dasar; (2) terjadi peningkatan penguasaan guru tentang konsep hand out, tujuan dan fungsi pembuatannya; (3) kader memiliki penguasaan yang baik tentang pembuatan rancangan hand out yang sesuai dengan tuntutan kurikulum.
DAFTAR RUJUKAN
Andriani, Durri. 2003. Pengembangan dan Pemanfaatan Hand Out dalam Pembelajaran. Dalam Tien Belawati , dkk (eds.). Pengembangan Bahan Ajar. Jakarta: Universitas Terbuka Burhanuddin. 2002. Tantangan Prularisme
Agama dan Sistem Pendidikan Agama. Dalam Aryo Danusiri dan Wasmi Alhaziri (Editor).
Pendidikan Memang
Multikultur. Jakarta: SET (Sains Estetika dan Teknologi) dan
Ragam (Center for
Multicultural Understanding) Dahlan, Juwairiyah. 1992. “Wanita dalam
Perspektif Agama Hindu”. Dalam M. Mansyur Amin dan Masruchah (Editor). Wanita
dalam Percakapan Antar
Agama. Yogyakarta: NU DIY Yogyakarta
Diarsi, Myra. 1989. Ideologi Gender Dalam Pendidikan. Makalah. Jakarta: Program Kajian Wanita UI Kuntowijoyo. 1997. ”Agama dan Kohesi
Sosial: Tinjauan
Teoritis/Konseptual dan Operasional”. Makalah dengan Tema Agama dan Pembinaan Ketahanan
Nasional.Yogyakarta: Program Studi Ketahanan Nasional Pascasarjana Universitas Gajah Mada
Ma’arif Syamsul. 2005. Pendidikan
Pluralisme di Indonesia.
Yogyakarta: LOGUNG
PUSTAKA
Noer, Deliar. 1982. ”Diperlukan Pendekatan Bukan Barat Terhadap Kajian Masyarakat Indonesia. Dalam Mulyanto Sumardi (Penyusun). Penelitian Agama Masalah dan Pemikiran. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan
Prastowo, Andi. 2014. Pengembangan Bahan Ajar Tematik. Jakarta: Prenada Media Group.
Santoso, Widjajanti M. 2016. Penelitian dan
Pengarusutamaan Gender.
Sebuah Pengantar. Jakarta: LIPI Press.
Soedjatmoko. 2001. ”Pendidikan Agama dan Kehidupan Sosial”. Dalam Sindhunata (Editor). Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman. Yogyakarta: Penerbit Kanisius Sudarmanto, JB. 1987. Agama dan Ideologi.
Jakarta: Penerbit Kanisius Sumartana, Th. 1997. “Agama dan Kohesi
Sosial”. Makalah dengan Tema
Agama dan Pembinaan
Ketahanan
Nasional.Yogyakarta: Program Studi Ketahanan Nasional
Pascasarjana Universitas Gajah Mada
Wahyuningsih, Rutiana Dwi dan Ismi Dwi Astuti Nurhaeni. 2007. Buku Panduan Praktis Adil Gender
Integrasi Perspektif Adil
Gender Dalam Proses
Pembelajaran di Sekolah Dasar. Surakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender (P3G).