• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Maksimal 14,0. - Protein Kasar (%) 22 Lemak Kasar (%) Minimal 19,0. Maksimal 7,4. - Serat Kasar (%) - Kalsium (%) Maksimal 6,0

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Maksimal 14,0. - Protein Kasar (%) 22 Lemak Kasar (%) Minimal 19,0. Maksimal 7,4. - Serat Kasar (%) - Kalsium (%) Maksimal 6,0"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA Pakan Ayam Broiler

Amrullah (2004) menyatakan bahwa ayam broiler mampu mengubah pakan menjadi daging dalam waktu yang singkat. Selain itu, ayam broiler mampu menimbun lemak sebagai bentuk simpanan energi dalam jumlah yang banyak. Karena itu, ayam broiler membutuhkan energi lebih banyak dibandingkan dengan ayam jenis ringan atau medium. Sumber energi utama ayam broiler adalah karbohidrat dan lemak. Akan tetapi, bila protein diberikan berlebih, protein juga akan menjadi sumber energi. Standar mutu kandungan nutrisi pakan ayam broiler dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Persyaratan Mutu Kandungan Nutrisi Pakan Ayam Broiler Starter

Kandungan Nutrisi SNI-12-3930-2006* Leeson dan Summers (2005) Kadar Air (%) Protein Kasar (%) Lemak Kasar (%) Serat Kasar (%) Kalsium (%) Fosfor (%) Lysin (%) Methionin (%)

Energi Metabolis (kkal/kg)

Maksimal 14,0 Minimal 19,0 Maksimal 7,4 Maksimal 6,0 0,90 – 1,20 0,60 – 1,0 Minimal 1,10 Minimal 0,40 2900 - 22 - - 0,95 0,45 1,3 0,5 3050 *Badan Standardisasi Nasional (2006)

Bahan baku harus bebas dari residu dan zat kimia yang membahayakan seperti pestisida dan bahan lain yang tidak diinginkan. Bahan baku pakan ini menjamin kesehatan dan ketentraman batin masyarakat konsumen hasil peternakan (Badan Standardisasi Nasional, 2006). Menurut Wahju (2004), pakan ayam broiler harus mengandung energi yang cukup untuk membantu reaksi-reaksi metabolik, menyokong pertumbuhan dan mempertahankan suhu tubuh. Selain itu, ayam membutuhkan protein yang seimbang, fosfor, kalium, mineral dan vitamin yang sangat penting selama tahap pemeliharaan. Menurut Widodo (2002), unggas lebih sering mengkonsumsi pakan dalam bentuk butiran, oleh sebab itu peningkatan konsumsi pakan dapat dilakukan dengan membentuk pakan menjadi bentuk pelet

(2)

atau crumble. Cara umum untuk meningkatkan nutrisi suatu bahan pakan ternak adalah mengurangi ukuran partikel bahan tersebut dengan memotong, menggiling, dan memadatkan. Kombinasi ketiga cara tersebut membentuk produk yang disebut pelet. Bentuk ini diyakini lebih disukai ternak dan tidak banyak terbuang pada saat pengkonsumsian (Amrullah, 2004).

Pelet

Bentuk pakan broiler yang diterima peternak pada umumnya berbentuk butiran pelet. Bentuk ini lebih disukai dan tidak banyak terbuang dibandingkan dengan pakan yang berbentuk tepung (mash). Sebelum mempersiapkan pakan untuk ayam broiler perlu menguasai terlebih dahulu bahan pakan yang digunakan, kebutuhan zat makanan, dan kandungan zat makanan agar mendapatkan kualitas pakan yang baik (Amrullah, 2004).

Pelet merupakan pakan yang dipadatkan dan dikompakkan melalui proses mekanik. Mathius et al. (2006) menyatakan bahwa pakan dalam bentuk pelet merupakan salah satu bentuk pengawetan bahan pakan dalam bentuk yang lebih terjamin tingkat pengadaan dan kontinuitas penyediannya untuk mempertahankan kualitas pakan. Pelet dapat dibuat dalam gumpalan atau silinder kecil yang berbeda diameter, panjang, dan tingkat kekuatannya (Ensminger et al., 1990). Kebanyakan pakan unggas di banyak negara diproduksi dalam bentuk butiran maupun pelet. Keuntungan memproses pelet adalah menghemat waktu yang diperlukan ayam untuk makan dan meningkatkan laju pertumbuhan pelet karena konsumsinya menjadi lebih banyak sehingga tumbuh lebih cepat. Perlu diperhatikan beberapa hal untuk menghasilkan pelet yang berkualitas baik dengan biaya operasional yang rendah, diantaranya adalah ukuran ketebalan die (cetakan), diameter die, kecepatan putaran die, dan ukuran pemberian pakan (Balagopalan et al., 1988). Umumnya untuk unggas diameter pelet adalah 1/8 sampai dengan 1/4 inchi (3,2-6,4 mm) (McEllhiney, 1994).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas fisik pelet adalah pati, serat, dan lemak. Pati bila dipanaskan dengan air akan mengalami gelatinisasi yang berfungsi sebagai perekat sehingga mempengaruhi kekuatan pelet. Serat berfungsi sebagai kerangka pelet dan lemak berfungsi sebagai pelicin selama proses pembentukan pelet

(3)

dalam mesin pelet sehingga mempermudah pembentukan pelet (Balagopalan et al, 1988).

Beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas pakan yaitu mesin yang digunakan, pengolahan pakan, dan bahan baku penyusun pakan. Ada dua jenis mesin dan kondisi mesin pelet, yaitu pellet mill dan farm feed pelleter. Pellet mill merupakan mesin pelet yang bekerja dengan penambahan uap, biasa digunakan oleh pabrik-pabrik pakan. Farm feed pelleter bekerja tanpa penambahan uap dan banyak digunakan oleh peternakan yang membuat pakan pelet sendiri atau pabrik pakan skala kecil (Retnani, 2011). Pemberian uap panas pada proses pembuatan pelet berfungsi untuk menaikkan suhu bahan baku dan meningkatkan kandungan air (moisture), sehingga proses gelatinisasi menjadi sempurna (Briggs et al., 1999). Penampilan produk dengan kualitas bagus dihasilkan oleh mesin pellet mill dibandingkan dengan mesin farm feed pelleter (Retnani, 2011).

Bahan Perekat

Perekat mempunyai peranan yang sangat penting dalam berbagai bidang industri, tidak terkecuali industri pakan, hal ini didukung alasan bahwa suatu benda disusun atas berbagai partikel yang mempunyai ukuran berbeda-beda. Raharjo (1997) menyatakan bahwa perekat merupakan suatu bahan yang mempunyai fungsi mengikat komponen-komponen pakan dalam bentuk pelet sehingga strukturnya tetap kompak.

Menurut Furia (1986), bahan perekat diperlukan untuk mengikat komponen-komponen bahan pakan agar mempunyai struktur yang kompak sehingga tidak mudah hancur, dan mudah dibentuk pada proses pembuatannya. Bahan perekat yang biasa digunakan dalam pembuatan pakan ternak berbentuk pelet antara lain kanji, sagu, tepung gaplek, dan agar-agar (Wibowo, 1986), sedangkan bahan perekat sintetis antara lain CMC (Carboxy Methyl Cellulose), bentonit, lignosulfonat. (Retnani et al., 2009). Kualitas fisik pelet dengan penambahan perekat sintetis bentonit dan lignosulfonat menurut penelitian Harmiyanti (2002) dapat dilihat pada Tabel 2.

(4)

Tabel 2. Kualitas Fisik Pelet Berperekat Sintetis Lignosulfonat dan Bentonit

Peubah B1 B2

Ukuran partikel (mm) Berat jenis (g/cm3)

Kerapatan tumpukan (g/cm3)

Kerapatan pemadatan tumpukan (g/cm3) Sudut tumpukan (°) Ketahanan benturan (%) 6,7 1,37 0,64 0,69 25,55 99,99 6,7 1,40 0,66 0,69 26,77 99,98 Keterangan : B1 = Pakan + perekat lignosulfonat 1,25%; B2 = Pakan + perekat bentonit 2% Sumber : Harmiyanti (2002)

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih bahan perekat adalah ketersediaan bahan dan harganya, mempunyai daya rekat yang tinggi, mudah dicerna, dapat bersatu dengan bahan-bahan pakan lainnya dan tidak mengandung racun (Soeprobo, 1986). Kandungan pati berperan penting dalam proses pembuatan pelet. Pati bila dipanaskan dengan air akan mengalami gelatinisasi yang berfungsi sebagai perekat sehingga mempengaruhi kekuatan pelet (Balagopalan et al, 1988).

Tepung Ubi Jalar

Ubi jalar merupakan tanaman yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi bahan pangan non beras karena kandungan karbohidratnya yang tinggi, disamping itu kandungan vitamin A dan mineral seperti Ca dan Fe juga menjadi kelebihan dari ubi jalar. Salah satu potensi pengembangan ubi jalar adalah dengan diolah menjadi tepung. Proses pembuatan tepung cukup sederhana dan dapat dilakukan dalam skala rumah tangga maupun industri kecil (Hackiki, 2012). Menurut penelitian Hamed et al. (1973), kandungan pati tepung ubi jalar berkisar 66,7-70,7%. Kandungan pati tersebut dapat digunakan sebagai perekat bagi pakan berbentuk pelet. Kandungan nutrisi tepung ubi jalar disajikan pada Tabel 3.

(5)

Tabel 3. Kandungan Nutrien Tepung Ubi Jalar

Komponen Nutrisi Jumlah

Air (%) Protein (%) Lemak (%) Abu (%) Karbohidrat (%) Serat kasar (%) Kalori (kal) 7 5,12 0,50 2,13 85,26 1,95 366,86 Sumber : Juanda dan Cahyono (2002)

Tepung ubi jalar dapat dibuat secara langsung dari ubi jalar yang dihancurkan dan kemudian dikeringkan, tetapi dapat pula dibuat dari gaplek ubi jalar yang dihaluskan (digiling) dan kemudian diayak (disaring). Alur pembuatan tepung ubi jalar dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram Alir Proses Pembuatan Tepung Ubi Jalar Sumber : BKPPP (2011) Ubi Jalar Segar Pengupasan Pengirisan Pengeringan Pencucian Pengayakan Penepungan Tepung Ubi Jalar

(6)

Onggok

Onggok merupakan hasil sampingan industri tapioka yang berbentuk padat. Ketersediaan jumlah onggok sangat bergantung pada varietas dan mutu ubi kayu yang diolah menjadi tapioka dan penanganannya. Komponen yang terdapat dalam onggok adalah kandungan zat berupa pati dan serat kasar. Onggok memiliki protein yang rendah, kurang dari 5% (Tarmudji, 2004). Kandungan nutrien onggok disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Kandungan Nutrien Onggok (% BK)

Komponen Jumlah Protein Kasar Serat Kasar Lemak Protein Pati ……….(%)... 11,0 1,16 0,32 1,21 12,41 Sumber : Fahmi (2009)

Menurut Retnani et al. (2009), kandungan pati onggok adalah sekitar 69,9% dan dari setiap 100 kg umbi segar akan menghasilkan 10 kg onggok atau sekitar 5-10% onggok, sehingga dengan kandungan patinya yang tinggi dan banyak tersedia, onggok sangat potensial untuk dijadikan sebagai bahan perekat. Penelitian Rahmayeni (2002) menunjukkan bahwa penambahan onggok sebagai perekat ke dalam pakan pada taraf 2% sudah dapat digunakan untuk menghasilkan pelet yang kompak dan tidak mudah hancur. Hasil penelitian juga didukung oleh Farada (2002) yang melaporkan bahwa penambahan onggok sebagai perekat pada pakan dengan taraf 2% melalui proses pemanasan dengan steam 45 menit dapat digunakan sebagai perekat untuk pakan broiler bentuk crumble.

Tepung Garut

Garut merupakan salah satu tanaman sumber karbohidrat alternatif, dimana bukan saja digunakan untuk pangan tetapi juga untuk bahan baku industri pakan. Pati garut dapat digunakan sebagai bahan baku makanan dan minuman, farmasi atau obat-obatan, kimia, kosmetik, tekstil, kertas dan bahan perekat pakan (Deptan, 2011). Tanaman garut dibudidayakan terutama untuk diambil patinya. Pati garut mudah

(7)

dicerna sehingga di beberapa tempat dimanfaatkan sebagai makanan bayi atau orang yang mengalami gangguan pencernaan. Ubi garut juga dijadikan sebagai obat luka (Kay, 1973). Berdasarkan penelitian Mariati (2001) kandungan pati pada tepung garut berkisar antara 29,67-31,34%. Kandungan zat gizi tepung garut disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Kandungan Nutrien Tepung Garut (100 gram)

Komponen Jumlah Kalori (kkal) Protein (gram) Lemak (gram) Karbohidrat (gram) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Zat besi (mg) 355 0,70 0,20 85,2 8 22 1,5 Sumber : Direktorat Gizi Depkes (2010)

Proses pengolahan tepung ubi garut menurut Utami (2008) dapat dilihat pada diagram alir proses pembuatan tepung garut pada Gambar 2.

Dikupas kulitnya, dicuci bersih, dan diiris dengan slicer

Direndam, ditiriskan, dan dikeringkan dengan oven 60°C selama 5 jam

Digiling dengan disc mill dengan ayakan 60 mesh

Gambar 2. Diagram Alir Pembuatan Tepung Garut Sumber: Utami (2008)

Irisan ubi

Irisan kering ubi

Tepung garut Ubi garut

(8)

Kualitas Fisik Pakan

Keberhasilan pengembangan teknologi pakan, seperti pengadukan pakan, laju aliran pakan dalam organ pencernaan, proses absorbsi dan deteksi kandungan protein, semuanya terkait erat dengan pengetahuan tentang kualitas fisik pakan. Penggilingan merupakan salah satu proses penyeragaman ukuran partikel sehingga dapat memperkecil perbedaan kualitas fisik (Sutardi, 1997).

Menurut Suadnyana (1998), sekurang-kurangnya ada 7 kualitas fisik yang memegang peranan penting dalam pakan ternak yaitu ukuran partikel, berat jenis, sudut tumpukan, kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan, daya ambang, dan ketahanan benturan.

Ukuran Partikel

Pengukuran ukuran partikel adalah proses penentuan rata-rata ukuran partikel dalam sampel pakan atau bahan pakan. Ukuran partikel dapat menjadi faktor yang sangat penting dalam karakteristik pencampuran pakan dan kemampuan pelleting. Ukuran partikel juga menjadi faktor penentu penumpukan pakan atau bahan pakan dalam bin (Fogo, 1994). Ukuran partikel dapat mempengaruhi kualitas fisik bahan pakan (Wirakartakusumah, 1992).

Ukuran partikel berpengaruh terhadap kualitas pelet yang dihasilkan, agar memperoleh nilai durabilitas yang sesuai standar. Sebelum proses pelleting, bahan baku digiling terlebih dahulu hingga mencapai ukuran partikel dan tekstur bahan yang halus dengan kerapatan yang tinggi sehingga pelet yang dihasilkan akan kuat dan tidak mudah rapuh (Retnani et al., 2009).

Berat Jenis

Berat Jenis disebut juga berat spesifik, merupakan perbandingan antara berat bahan terhadap volumenya. Menurut Khalil (1999a), berat jenis memegang peranan penting dalam berbagai proses pengolahan, penanganan, dan penyimpanan. Berat jenis merupakan faktor penentu dari kerapatan tumpukan dan memberikan pengaruh besar terhadap daya ambang dari partikel, berat jenis bersama dengan ukuran partikel bertanggung jawab terhadap homogenitas penyebaran partikel dan stabilitasnya dalam suatu campuran pakan. Pakan yang terdiri dari partikel yang perbedaan berat jenisnya cukup besar, maka campuran ini tidak stabil dan cenderung mulai terpisah kembali. Berat jenis sangat menentukan tingkat ketelitian dalam proses penakaran

(9)

secara otomatis pada pabrik pakan, seperti dalam proses pengemasan dan pengeluaran bahan dari dalam silo untuk dicampur atau digiling.

Kerapatan Tumpukan

Kerapatan tumpukan adalah perbandingan antara berat bahan dengan volume ruang yang ditempatinya. Suadnyana (1998) menyatakan bahwa kerapatan tumpukan berpengaruh terhadap daya campur dan ketelitian penakaran secara otomatis, sebagaimana halnya berat jenis. Sifat ini juga memegang peranan penting dalam memperhitungkan volume ruang yang dibutuhkan suatu bahan dengan berat tertentu seperti misalnya dalam pengisian alat pencampur, elevator, dan juga silo.

Menurut Suadnyana (1998), pencampuran bahan dengan ukuran partikel yang sama, tetapi terdapat perbedaan yang besar dalam kerapatan tumpukan (lebih dari 500 kg/m3), maka bahan sulit dicampur serta mudah terpisah kembali. Selanjutnya, bahan yang mempunyai kerapatan tumpukan rendah (kurang dari 450 kg/m3) membutuhkan waktu untuk mengalir lebih lama serta dapat ditimbang lebih teliti dengan alat penakar otomatis, baik volumetris maupun gravimetris. Pakan dengan kerapatan tumpukan tinggi (lebih dari 1000 kg/m3) bersifat sebaliknya.

Kerapatan Pemadatan Tumpukan

Kerapatan pemadatan tumpukan merupakan perbandingan berat bahan terhadap volume ruang yang ditempatinya setelah melalui proses pemadatan (seperti penggoyangan). Menurut Hoffman (1997), tingkat pemadatan serta densitas bahan sangat menetukan kapasitas dan akurasi pengisian tempat penyimpanan seperti silo, kontainer, dan kemasan. Kerapatan pemadatan tumpukan dan kerapatan tumpukan sangat berperan atau berpengaruh pada kapasitas silo, penyimpanan, dan pengemasan. Perbedaan cara pemadatan akan mempengaruhi pada nilai kerapatan pemadatan tumpukannya.

Sudut Tumpukan

Sudut tumpukan merupakan sudut antara bidang datar dengan kemiringan tumpukan, yang terbentuk jika bahan dicurahkan serta menunjukkan kriteria kebebasan bergerak partikel dari suatu tumpukan bahan. Semakin bebas suatu partikel bergerak, maka sudut tumpukan yang terbentuk juga semakin kecil.

(10)

Pergerakan partikel yang ideal ditunjukkan oleh pakan bentuk cair, dengan sudut tumpukan berkisar 20° – 50° (Khalil, 1999b).

Geldart et al. (1990) menyatakan bahwa pengukuran sudut tumpukan merupakan metode yang cepat dan produktif untuk menentukan laju aliran bahan. Pada bahan yang alirannya cepat, puncaknya sering datar sedangkan pada bahan yang alirannya lambat cenderung menumpuk di permukaan corong sehingga sering menyumbat saluran corong. Klasifikasi aliran bahan baku berdasarkan sudut tumpukan disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Klasifikasi Aliran Bahan Baku Berdasarkan Sudut Tumpukan

Sudut Tumpukan (°) Aliran

25-30 30-38 38-45 45-55 >55

Sangat mudah mengalir Mudah mengalir

Mengalir Sulit mengalir Sangat sulit mengalir Sumber : Fasina dan Sokhansanj (1993)

Ketahanan Benturan

Ketahanan benturan merupakan salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan dalam pembuatan pelet, karena ketahanan pelet terhadap benturan terkait dengan proses pengangkutan. Fasina dan Sokhansanj (1993) menyatakan bahwa pelet yang dijatuhkan dari ketinggian tertentu akan kehilangan bentuk, tergantung dari ketahanan pelet tersebut. Apabila pelet tidak kuat maka akan hancur dalam bentuk serpihan atau mash.

Menurut Balagopalan et al. (1988), ada beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas pelet, antara lain :

1. Komponen alamiah, terdiri dari : a. Pati

Bila terkena panas dan tersedia cukup air di dalam pakan, maka dapat berfungsi sebagai perekat dan menghasilkan gelatin.

b. Lemak

Dapat berfungsi sebagai pelicin pada saluran pencetakan pelet sehingga proses pencetakan lebih lancar, yang dapat menghemat penggunaan energi.

(11)

c. Serat

Berfungsi sebagai kerangka pelet, dalam keadaan sedikit serat dalam pakan akan menghasilkan pelet yang kuat, sedangkan apabila seratnya tinggi maka pelet akan mudah rapuh.

2. Kondisi bahan : a. Kandungan air

Dapat menimbulkan proses gelatinisasi selama pencetakan berlangsung. Air juga dapat berfungsi sebagai pelicin menggantikan fungsi lemak, namun kandungan air yang terlalu tinggi dapat berakibat merugikan hasil pencetakan.

b. Ukuran partikel

Partikel yang halus memegang peranan penting dalam proses pembuatan pelet, karena semakin luas permukaan kontak antara partikel maka semakin kuat ikatan yang terbentuk antara partikel.

c. Temperatur

Dapat mempercepat terjadinya proses gelatinisasi. Durability

Menurut Tripod (2007), durabilitas pelet adalah ketahanan pelet yang dirumuskan sebagai persentase banyaknya pakan pelet yang utuh setelah melalui perlakuan fisik dalam uji tumbling cane terhadap jumlah pakan semula sebelum dimasukkan ke dalam alat. Dozier (2001) menyatakan bahwa kualitas pelet dilihat dari nilai durability pelet, yaitu ditunjukkan oleh keutuhan fisik pelet setelah mengalami penanganan dan pengangkutan dengan sedikitnya jumlah yang menjadi halus atau rusak.

Fairfield (1994) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi durability pelet adalah karakteristik bahan baku, dalam hal ini faktor yang dimaksud adalah protein, lemak, serat, pati, density (kepadatan), tekstur, dan air serta kestabilan karakteristik bahan akan menghasilkan kualitas pelet yang baik. Ukuran partikel bahan baku sangat mempengaruhi kualitas pelet dan poduksi pelet yang dihasilkan. Ukuran partikel bahan baku dipengaruhi oleh kadar kehalusan bahan baku yang akan digunakan dalam pembuatan pelet (Fairfield, 1994).

(12)

Performa Ayam Broiler

Menurut North dan Bell (1990), dalam pengelolaan ayam broiler, performa produksi yang harus diamati meliputi bobot badan setiap minggunya, pertambahan bobot badan, konsumsi pakan selama pemeliharaan dan konversi pakan. Penelitian Salamah (2007) mengenai pengaruh penggunaan bahan perekat bentonit terhadap performa ayam broiler strain Cobb galur CP 707 dari PT. Charoen Pokhpand dengan pemeliharaan selama 35 hari disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Performa Ayam Broiler dengan Pakan Berperekat Sintetis

Performa Ayam R1 R2

Konsumsi Pakan (g/ekor) 2351,91 ± 123,48 1982,80 ± 221,51 Bobot Badan Akhir (g/ekor) 1573,28 ± 118,26 2102,29 ± 73,10 Pertambahan Bobot Badan (g/ekor) 1528,08 ± 118,70 1101,13 ± 76,33

Konversi Pakan 1,63 ± 0,09 1,94 ± 0,07

Keterangan : R1 = Pakan komersil ; R2 = Pakan + perekat bentonit 2% Sumber : Salamah (2007)

Konsumsi Pakan

Konsumsi pakan (Voluntary Feed Intake) adalah jumlah makanan yang dikonsumsi oleh hewan apabila hewan tersebut diberikan ad libitum dalam jangka waktu tertentu dan tingkat konsumsi ini menggambarkan palatabilitas (Parakkasi, 1999). Pada umumnya palatabilitas dapat ditentukan oleh rasa, bau, warna dari bahan pakan. Tilman et al. (1991) menyatakan konsumsi diperhitungkan sebagai jumlah makanan yang dimakan oleh ternak, zat makanan yang dikandungnya akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan untuk produksi hewan tersebut.

Menurut National Research Council (1994), faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan adalah bobot tubuh ayam, jenis kelamin, aktivitas, suhu lingkungan, kualitas, dan kuantitas pakan. Piliang (1992) berpendapat bahwa konsumsi pakan sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya temperatur lingkungan. Kondisi lingkungan dengan temperatur panas akan menurunkan konsumsi pakan, sebaliknya pada kondisi lingkungan dengan temperatur dingin akan meningkatkan konsumsi pakan.

(13)

Menurut Widodo (2002), konsumsi pakan dipengaruhi oleh bentuk, warna, bau, dan rasa. Bentuk pakan yang jelek akan menghambat konsumsi dan berpengaruh negatif pada rataan pertumbuhan. Menurut Munt et al. (1995), keragaman ukuran partikel penting untuk performa ayam broiler. Pakan dengan ukuran partikel yang seragam menghasilkan performa yang lebih baik, walaupun tidak secara langsung berpengaruh karena partikel yang seragam akan meningkatkan konsumsi. Menurut Swich (1998), pakan dengan partikel yang lebih kecil dan berdebu sulit dikonsumsi dan cenderung ditinggalkan penggunanya. Bentuk pakan pelet dan crumble lebih baik untuk dikonsumsi ayam broiler daripada mash.

Pertambahan Bobot Badan

Pertambahan bobot badan merupakan salah satu ukuran yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan. McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa pertumbuhan merupakan suatu proses peningkatan pada ukuran tulang, otot, organ dalam, dan bagian tubuh lainnya yang terjadi sebelum lahir dan setelah lahir sampai mencapai dewasa. Pertumbuhan ayam pedaging sangat cepat dan pertumbuhan dimulai sejak menetas sampai umur delapan minggu dan setelah itu kecepatan pertumbuhan akan menurun (Bell dan Weaver, 2002).

Wahju (2004) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempegaruhi pertumbuhan adalah bangsa, tipe ayam, jenis kelamin, energi metabolis, kandungan protein, dan suhu lingkungan. Pertumbuhan erat kaitannya dengan konsumsi pakan. Amrullah (2004) menjelaskan bahwa temperatur yang tinggi dapat mengakibatkan ayam dalam kondisi stres, yang lebih jauh berakibat pada menurunnya pertumbuhan karena konsumsi menurun.

Konversi Pakan

Konversi pakan pada ayam broiler diartikan sebagai jumlah pakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 kg bobot hidup. Faktor utama yang mempengaruhi konversi pakan adalah genetik, kualitas pakan, penyakit, temperatur, sanitasi kandang, ventilasi, pengobatan, dan manajemen kandang. Faktor pemberian pakan, penerangan juga ikut andil dalam mempengaruhi konversi pakan, laju perjalanan pakan dalam saluran pencernaan, bentuk fisik pakan, dan komposisi nutrisi pakan (Lacy dan Vest, 2000).

(14)

Lacy dan Vest (2000) menyatakan bahwa konversi pakan berguna untuk mengukur produktivitas ternak. Konversi pakan didefinisikan sebagai rasio antara konsumsi pakan dengan pertambahan bobot badan yang diperoleh dalam kurun waktu tertentu. Semakin tinggi konversi pakan menunjukkan semakin banyak pakan yang dibutuhkan untuk meningkatkan bobot badan per satuan berat. Dijelaskan juga bahwa semakin rendah angka konversi pakan berarti kualitas pakan semakin baik.

Konversi pakan yang baik untuk unggas adalah pakan bentuk pelet dan crumble dibandingkan dengan mash. Pakan bentuk pelet dan crumble cenderung mengurangi jumlah pakan yang hilang di dalam litter dibandingkan dengan pakan bentuk mash. Munt et al. (1995) melaporkan bahwa pakan bentuk pelet memiliki konversi yang lebih baik dibandingkan dengan pakan bentuk mash yaitu 1,8 berbanding 1,9.

Income Over Feed and Chick Cost (IOFCC)

Rotib (1990) menyatakan bahwa Income Over Feed and Chick Cost (IOFCC) merupakan peubah penting yang secara ekonomis dapat menggambarkan besarnya keuntungan yang diperoleh dari tiap-tiap perlakuan. IOFCC itu sendiri adalah perbedaan rata-rata pendapatan yang diperoleh dari hasil penjualan satu ekor ayam pada akhir penelitian dengan rata-rata pengeluaran satu ekor ayam selama penelitian. Faktor yang memperngaruhi antara lain harga DOC, konsumsi pakan, bobot badan akhir, dan harga jual per kg bobot hidup.

Gambar

Tabel 1. Persyaratan Mutu Kandungan Nutrisi Pakan Ayam Broiler Starter
Tabel 2. Kualitas Fisik Pelet Berperekat Sintetis Lignosulfonat dan Bentonit
Gambar 2. Diagram Alir Pembuatan Tepung Garut

Referensi

Dokumen terkait