• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Keluarga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Keluarga"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Ketahanan Keluarga

Ketahanan keluarga menurut UU No. 10 tahun 1992 merupakan kondisi dinamik suatu keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan, serta mengandung kemampuan fisik-material dan psikis mental spiritual guna hidup mandiri, dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dan meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin (BKKBN 1992, diacu oleh Nuryani 2007). Menurut Sunarti (2001) karakteristik atau komponen ketahanan keluarga terdiri dari dorongan berprestasi, komitmen terhadap keluarga, komunikasi, orientasi agama, hubungan sosial, penghargaan, peran yang jelas dalam keluarga, dan waktu kebersamaan. Ketahanan keluarga yang kuat nyatanya akan mencerminkan adanya unsur-unsur penting yang sangat mempengaruhi kehidupan beragama secara nyata, kesadaran melaksanakan nilai-nilai tradisi dan peran pendidikan dalam keluarga (Soedarsono 1997). Sedangkan Kaykuzma (1992) diacu oleh Desmarita (2004), menyatakan bahwa keluarga yang kuat biasanya memiliki komitmen, penghargaan, waktu bersama yang memadai, komunikasi yang bagus, selera humor yang bagus, saling berbagi, punya ketertarikan yang sama, saling membantu dan bekerjasama.

Berdasarkan kajian pustaka ketahanan keluarga dapat dirumuskan definisi operasional ketahanan keluarga yaitu kemampuan keluarga dalam mengelola sumberdaya yang dimiliki dan menanggulangi masalah yang dihadapi, untuk memenuhi kebutuhan fisik dan psikososial keluarga (Sunarti, 2001). Ukuran ketahanan keluarga melalui pendekatan sistem terdiri dari komponen masukan (input) proses, dan keluaran (output). Komponen proses seperti pengelolaan masalah, adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan latency, serta kesejahteraan sebagai tujuan keluarga. Pengukuran ketahanan keluarga diperoleh dengan cara melakukan uji validitas konstruk menggunakan analisis faktor (exploratory dan confirmatory) menghasilkan tiga peubah laten, yaitu ketahanan fisik, ketahanan sosial, dan ketahanan psikologis (Sunarti, 2001).

Menurut Sunarti (2001), ketahanan fisik keluarga adalah kemampuan ekonomi yang dimiliki oleh keluarga yaitu komponen anggota keluarga dalam memperoleh sumberdaya ekonomi dari luar sistem untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan. Ketahanan sosial keluarga adalah ketahanan keluarga dalam menerapkan nilai agama,

(2)

memelihara mekanisme penanggulangan krisis yang baik pula. Sedangkan ketahanan psikologis keluarga adalah kemampuan anggota keluarga dalam mengelola emosi, sehingga menghasilkan konsep diri yang positif.

Ketahanan keluarga pun berperan penting mengurangi tingkat kemiskinan dengan menciptakan kapasitas, kesempatan dan ketahanan untuk mengakumulasikan aset seperti pengetahuan, kesehatan, lahan, keuangan, peralatan, pendidikan, jaringan sosial dan pengaruh politik (Sunarti, et al. 2008). Peningkatan ketahanan keluarga menjadi penting sehubungan dengan fakta adanya variasi kemampuan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan, pelaksanaan fungsi, melalui pengelolaan sumberdaya yang dimiliki, serta kemampuan keluarga dalam pengelolaan masalah dan stress (Krysan, Kristin A Moore, & Zill, 1990, diacu oleh Sunarti 2001). Ciri kemandirian keluarga adalah sikap mental keluarga dalam mendayagunakan kemampuan yang ada pada seluruh lembaga keluarga untuk meningkatkan kesejahteraannya dan membangun seluruh potensinya agar menjadi sumberdaya insani dalam mendukung pembangunan bangsa (Puspa, 2007).

Peningkatan ketahanan keluarga dapat dilakukan melalui “Delapan Pilar Gerakan Keluarga Sejahtera (BKKBN 1992, diacu oleh Desmarita 2004), yaitu:

1. Mengisi nilai-nilai keagamaan dalam keluarga hingga menjadikan anggota keluarga beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan YME.

2. Membudayakan anggota keluarga dengan cara melestarikan nilai-nilai kebudayaan yang luhur dan mewariskannya pada generasi penerus.

3. Memenuhi kebutuhan setiap anggota keluarga akan kasih sayang dan kebutuhan efektif lainnya yang amat diperlukan dalam menyempurnakan kemanusiaan.

4. Melindungi setiap anggota keluarga dan menciptakan rasa aman bagi seluruh anggota keluarga.

5. Menciptakan hubungan suami-isteri yang harmonis melalui interaksi seksual menuju kehidupan reproduktif yang sehat.

6. Memberikan pendidikan dan pembinaan sosialisasi pada anggotanya terutama terhadap anak-anak yang sedang tumbuh kembang dengan kesadaran membina anak menjadi sumberdaya manusia yang berguna untuk pembangunan.

7. Menjamin kesejahteraan ekonomi keluarga terutama dengan memenuhi kebutuhan dasar yaitu makan-pakaian-perumahan dan kesehatan,

(3)

selanjutnyameningkatkan kesejahteraan keluarga dengan memenuhi kebutuhan sekunder dan pengembangannya.

8. Melestarikan lingkungan dan merawatnya dengan penuh kesadaran bahwa daya dukung lingkungan amat diperlukan manusia dalam pembangunan.

Fungsi AGIL

Keluarga memiliki berbagai fungsi penting yang menentukan kualitas kehidupan baik kehidupan individu, keluarga, bahkan kehidupan sosial (kemasyarakatan). Fungsi keluarga dapat dibagi menjadi fungsi ekspresif dan instrumental. Fungsi ekspresif keluarga berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan emosi dan perkembangan, termasuk moral, loyalitas, dan sosialisasi anak. Sementara itu, fungsi instrumental berkaitan dengan manajemen sumberdaya untuk mencapai berbagai tujuan keluarga (Sunarti, 2008).

Salah satu teori yang dapat digunakan dalam menjelaskan fungsi keberlangsungan keluarga adalah teori AGIL (Adaptation, Goal Attainment,

Integration, dan Latency), yang diperkenalkan oleh Talcott Parsons. Berdasarkan

hasil penelitian yang mendalam mengenai struktur dari proses interaksi, Parsons menyatakan bahwa keluarga dapat dianggap sebagai contoh dari kelompok kecil dalam sistem sosial. Parsons melakukan penelitian mengenai teori AGIL yang menghasilkan sebuah buku berjudul Working Papers in Theory of Action (WPTA) yang menjelaskan bahwa setiap sistem sosial mempunyai empat masalah fungsional utama secara berturut-turut, yaitu adaptasi terhadap situasi dan kondisi eksternal, perangkat kontrol terhadap kinerja-kinerja yang berorientasi tujuan, manajemen pengungkapan perasaan dan tekanan dari para anggotanya, serta mempertahankan integrasi sosial antara sesama anggotanya sebagai suatu keutuhan bersama (Parsons 1953, diacu oleh Hamilton 1983).

Keluarga adalah suatu pranata sosial yang sangat penting fungsinya dalam setiap masyarakat (Ogburn 1999, diacu oleh Nuryani 2007). Yang menarik dari teori Ogburn (1999) bagi peminat studi keluarga adalah pendapatnya bahwa sistem keluarga berubah sebagai akibat perubahan teknologi. Proses sosialisasi pada tahap ini dapat digambarkan melalui kerangka A-G-I-L yang diperkenalkan oleh Talcott Parsons dalam menganalisis tindakan-tindakan sosial (D.P. Jonson, 1086 hal 128-136). Fase-fase seperti adaptation, goal attainment, integration, dan lattent pattern maintenance tidak ada batasan yang jelas, karena merupakan suatu proses yang terjadi secara sinambung. Fase-fase tersebut dalam proses

(4)

sosialisasi dijelaskan sebagai berikut:L-A-G-I. Parsons lebih mengarah ke pendekatan structural fungsional: yang disoroti 1) fungsi-fungsi keluarga untuk masyarakat 2) fungsi-fungsi dari subsistem dalam keluarga untuk keluarga dan subsistem-subsistem itu sendiri 3) fungsi-fungsi keluarga untuk anggota-anggota keluarga termasuk perkembangan kepribadian. Dengan kata lain yang dipelajari adalah : 1) hubungan antara keluarga dan unit-unit sosial yang lebih luas 2) hubungan di antara keluarga dan subsistem-subsistemnya 3) hubungan diantara keluarga dan kepribadian.

Pada dasarnya empat masalah fungsional ini membentuk dasar dari spesifikasi yang terperinci mengenai fungsi penting untuk keberlangsungan (survival) dari setiap sistem sosial. Menurut Parsons (1953) diacu oleh Hamilton (1983) keberlangsungan (survival) merupakan fungsi utama seluruh masyarakat yang melibatkan pembelajaran terhadap segala sesuatu yang mengikat anggota masyarakat untuk bersatu melalui bahasa serta nilai-nilai sosial dan budaya. Berdasarkan pengembangan dari WPTA, Parsons membentuk empat paradigma fungsi yang disebut “four function paradigm” atau skema AGIL yang digambarkan sebagai berikut:

Adaptation (A) Goal Attainment (G)

Latency (L) Integration (I)

Gambar 1. Skema fungsi AGIL

Parsons (1953) diacu oleh Hamilton (1983) mengaplikasikan model konseptual ini terhadap pengembangan dari disiplin ilmu yang luas mulai dari ekonomi, kesehatan mental, politik, sistem kepribadian, dinamika kelompok, sosialisasi, pendidikan, agama, hukum, organisasi, dan lain-lain. Berdasarkan hasil-hasil pengembangan skema AGIL tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa empat masalah fungsional utama dalam keberlangsungan sistem yaitu adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi dan pemeliharaan sistem yang berada pada tingkatan sistem kepribadian, sosial, dan budaya. Keluarga sebagai unit sosial terkecil merupakan tulang punggung pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut yang selanjutnya menentukan keberlangsungan serta keseimbangan sistem sosial yang lebih luas (Sunarti 2001).

(5)

Fungsi Adaptasi

Adaptasi mengacu pada perolehan sumberdaya atau fasilitas yang cukup dari lingkungan luar sistem, dan kemudian mendistribusikannya di dalam sistem (Parsons 1953, diacu oleh Hamilton 1983). Adaptasi adalah suatu pilihan tindakan yang bersifat rasional dan efektif sesuai dengan konteks lingkungan sosial ekonomi, serta ekologi dimana penduduk tersebut tinggal. Pemilihan tindakan yang bersifat kontekstual tersebut dimaksudkan untuk mengalokasikan sumberdaya yang tersedia di lingkungan guna mengatasi tekanan-tekanan sosial ekonomi (Kusnadi 1996, diacu oleh Lubis 1999).

Tindakan adaptasi bisa dilihat dari dua sudut pandang yaitu sudut pandang eksternal dan internal. Berdasarkan sudut pandang internal, adaptasi dibagi dua yaitu eksistensi interpretasi (existential interpretation) dan kategorisasi moral-evaluasi (moral-evaluation categorization). Tindakan eksistensi interpretasi adalah kemampuan seseorang untuk memandang dirinya agar tetap eksis dalam lingkungannya, sedangkan tindakan moral-evaluasi merupakan tindakan seseorang untuk tetap dapat mengikuti kaidah atau nilai-nilai moral yang ada di lingkungan (Parsons 1953, diacu oleh Hamilton 1983).

Berdasarkan sudut pandang eksternal, tindakan adaptasi seseorang dibagi menjadi dua yaitu simbolisasi kognitif (cognitive symbolization) dan simbolisasi ekspresif (exspressive symbolization). Tindakan kognitif merupakan cara berpikir seseorang dengan memandang berbagai sumberdaya yang ada di lingkungan luar untuk dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada (Parsons 1953, diacu oleh Hamilton 1983). Tindakan adaptasi dalam penelitian ini merupakan coping strategy yang dilakukan keluarga untuk memperoleh sumberdaya dari lingkungan luar.

Dalam upaya mengatasi masalah yang dihadapi, keluarga perlu mengembangkan strategi adaptasi yang memadai, salah satunya adalah coping

strategy. Friedman (1998) mendefinisikan coping keluarga sebagai respon positif

yang digunakan keluarga dan sistemnya untuk memecahkan masalah atau mengurangi stress yang diakibatkan oleh peristiwa tertentu. Selanjutnya Mc Cubin dan Thompson (1987), diacu oleh Noverina (2006) menyatakan bahwa

coping merupakan manajemen dari dimensi-dimensi kehidupan keluarga

termasuk memelihara organisasi keluarga (secara internal), mempertahankan keutuhan keluarga, peningkatan hubungan dengan masyarakat dan mengontrol

(6)

pengaruh kuat dari sumber stres yang menjadi suatu proses pencapaian keseimbangan dalam keluarga.

Coping strategy keluarga dibagi menjadi dua yaitu coping internal atau

intrafamiliar dan eksternal atau ekstrafamiliar. Coping strategy internal meliputi mengandalkan kemampuan sendiri dari keluarga, penggunaan humor, musyawarah bersama (memelihara ikatan bersama), mengartikan masalah, pemecahan masalah secara bersama, fleksibilitas peran, dan normalisasi. Sedangkan coping strategy eksternal meliputi mencari informasi, memelihara hubungan aktif dengan komunitas, mencari sistem pendukung sosial, mencari dukungan spiritual (Friedman 1998).

Adaptasi yang dilakukan oleh suatu sistem keluarga dalam mempertahankan kelangsungan hidup semua anggota keluarganya berbeda-beda menurut derajatnya, mulai dari mempertahankan masalah hidup dan mati sampai dengan mempertahankan hidup agar dapat menjalankan aktivitas sehari-hari seperti mampu bekerja secara normal sesuai dengan jenis pekerjaannya masing-masing (Pakpahan & Pasandaran 1990, diacu oleh Nuryani 2007). Selanjutnya dapat menentukan tingkat pendapatan bagi rumahtangga tersebut (Ginting & Penny 1984, diacu oleh Nuryani 2007).

Fungsi Pencapaian Tujuan (Goal Attainment)

Pencapaian tujuan mengacu pada gambaran sistem aksi dalam menetapkan tujuan, memotivasi dan memobilisasi usaha dan energi dalam sistem untuk mencapai tujuan (Parsons 1953, diacu oleh Hamilton 1983). Setiap keluarga mempunyai tujuan atau rencana yang akan dicapai (output), dengan syarat adanya sumberdaya keluarga (input) baik materi, energi, dan informasi. Sehingga keluarga dapat mencapai tujuannya, dan dapat menjalankan fungsi-fungsi keluarga dengan menggunakan sumberdaya keluarga, maka perlu melalui proses (throughput) yang harus ditempuh (Deacon & Firebaugh 1988).

Masalah pencapaian tujuan dalam suatu keluarga dapat diukur dari kualitas dan performace tujuan itu sendiri. Pencapaian tujuan berdasarkan kualitas dapat diukur dari nilai yang didapat dari pencapaian tujuan, biasanya berupa kepuasan dan penghargaan terhadap sesuatu yang telah dicapai. Pencapaian tujuan berdasarkan performance dapat diukur berdasarkan suatu hal yang dapat ditunjukkan dalam tindakan (Parsons 1953, diacu oleh Hamilton 1983).

(7)

Banyaknya tujuan yang ingin dicapai keluarga yang satu dengan lainnya berbeda-beda, berkaitan dengan kemampuan untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada di dalam dan lingkungan luar keluarga. Salah satu kemampuan keluarga dalam memperoleh sumberdaya dari lingkungan luar dapat dilihat berdasarkan besarnya pendapatan keluarga. Terjadinya perubahan pendapatan akan mempengaruhi nilai dan tujuan yang akan dicapai oleh keluarga. Perubahan pendapatan akan mengubah selera dan kebutuhan keluarga sebagai upaya untuk mewujudkan secara kualitatif tujuan yang akan dicapai (Deacon & Firebaugh 1988).

Fungsi Integrasi

Keluarga sebagai suatu sistem sosial merupakan sebuah kelompok yang terdiri dari subsistem-subsistem yang saling berhubungan dan berinteraksi satu dengan lainnya sehingga membentuk suatu mata rantai yang sulit untuk dipisahkan dan mempunyai tujuan yang akan dicapai. Hubungan tersebut terikat begitu erat sehubungan suatu perubahan yang terjadi pada suatu bagian pasti menyebabkan perubahan-perubahan dalam seluruh sistem (Dewi 2002). Sistem keluarga memiliki ciri khas penting yang terdiri dari komponen-komponen yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi penyebab adanya sifat-sifat dan karakteristik baru yang merupakan suatu fungsi dari keterkaitan tersebut (Friedman 1998). Hal ini terkait dengan tindakan integrasi keluarga dalam mempererat hubungan antar anggota keluarganya (Nuryani 2007).

Integrasi mengacu kepada pemeliharaan ikatan dan solidaritas, dengan melibatkan elemen tersebut dalam mengontrol, memelihara subsistem, dan mencegah gangguan utama dalam sistem. Tindakan integrasi dalam sebuah keluarga merupakan hal penting untuk kelangsungan hidup berkeluarga, karena integrasi melibatkan ke empat variabel AGIL itu sendiri, sehingga dari ke empat variabel tersebut adanya suatu keterikatan yang dapat saling membangun, agar semua anggota keluarga yang ada di dalamnya dapat tetap bertahan dalam lingkungannya (Parsons 1953, diacu oleh Hamilton 1983).

Setiap anggota keluarga mempunyai kepercayaan bahwa solidaritas keluarga sebagai landasan untuk dapat menumbuhkan solidaritas dan kepercayaan kepada masyarakat yang lebih luas. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya individualisme dalam keluarga dan masyarakat, kelompok

konservatif memiliki norma bersama terhadap peraturan perilaku (behavior).

(8)

tidak menghilangkan hak asasi manusia sebagai makhluk sosial dengan melakukan berbagai penyesuaian (Suandi 2007).

Fungsi Pemeliharaan Sistem (Latency)

Menurut Megawangi (2001), keluarga sebagai sebuah sistem sosial yang mempunyai tugas dan fungsi agar sistem dapat berjalan. Tugas tersebut berkaitan dengan pencapaian tujuan, integrasi, dan solidaritas, serta pola kesinambungan atau pemeliharaan keluarga. Pemeliharaan sistem (latency) mengacu kepada proses dimana energi dorongan disimpan dan didistribusikan di dalam sistem, melibatkan dua masalah saling berkaitan yaitu pola pemeliharaan dan pengelolaan masalah atau ketegangan. Secara umum, masalah pemeliharaan sistem dibagi menjadi tiga aspek yaitu pembagian peran masing-masing anggota keluarga, bantuan yang diterima untuk memotivasi anggota keluarga, dan peraturan atau norma yang berlaku dalam keluarga (Parsons 1953, diacu oleh Hamilton 1983).

Keluarga sebagai sistem terkecil, mempunyai ciri-ciri sistem seperti memiliki keutuhan, memiliki subsistem yang saling terkait, mempunyai batas sebagai tempat pertemuan antar sistem, mempunyai fungsi, ada hierarki yang terbentuk karena adanya subsistem dan adanya dinamika (Megawangi, 2001). Pembagian peranan dalam keluarga dapat membantu berjalannya fungsi keluarga secara optimal. Agar fungsi keluarga berada pada kondisi optimal, perlu peningkatan fungsionalisasi dan struktur yang jelas, yaitu suatu rangkaian peran dimana sistem sosial dibangun (Sunarti, 2001). Levy diacu oleh Megawangi (2001) mengatakan bahwa tanpa ada pembagian tugas yang jelas pada masing-masing anggota keluarga dengan status sosialnya, maka fungsi keluarga akan terganggu yang selanjutnya akan mempengaruhi sistem yang lebih besar lagi. Terjadinya salah satu disfungsi keluarga akan berdampak besar bagi keluarga dalam menjaga keberlangsungan hidup keluarga.

Menurut Tati (2004) motivasi yang diberikan dalam bentuk dukungan suami terhadap isteri untuk melaksanakan peranannya sebagai isteri, atau terhadap isteri dalam memerankan seorang ibu untuk melaksanakan pengasuhan anak, dengan cara suami memberi simpati, perhatian, dan kepercayaan yang dilandasi kasih sayang, akan memberi kekuatan yang besar pengaruhnya terhadap isteri dalam melaksanakan tugas dan perannya. Pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga. Keluarga yang

(9)

memiliki kesejahteraan yang tinggi maka pemeliharaan sistem (latency) yang dilakukannya pun akan semakin baik.

Kesejahteraan Keluarga

Kesejahteraan sering diartikan secara luas yaitu sebagai kemakmuran, kebahagiaan, dan kualitas hidup manusia baik pada tingkat individu atau kelompok keluarga dan masyarakat. Menetapkan indikator kesejahteraan keluarga serta cara pengukurannya merupakan hal yang sulit untuk dirumuskan secara tuntas karena tingkat kesejahteraan mencerminkan kualitas hidup dari sebuah keluarga (Ancok 1990, diacu oleh Ibrahim 2007). Hal ini disebabkan permasalahan keluarga sejahtera bukan hanya menyangkut permasalahan di satu bidang saja, tetapi menyangkut berbagai bidang kehidupan yang sangat kompleks. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan pendekatan integrasi berbagai bidang disiplin ilmu dan atau melalui pengamatan empiric berbagai kasus untuk dapat menemukan indikator keluarga sejahtera yang berlaku umum dan spesifik (Prabawa 1998, diacu oleh Nuryani 2007).

Kesejahteraan adalah sesuatu yang bersifat subjektif, sehingga setiap orang yang memiliki pedoman, tujuan, dan cara hidup yang berbeda akan memberikan nilai yang berbeda tentang faktor-faktor yang menentukan tinkat kesejahteraan (Sukirno 1985, diacu oleh Ibrahim 2007). Kesejahteraan sering diartikan secara luas yaitu sebagai kemakmuran, kebahagiaan, dan kualitas hidup manusia baik pada tingkat individu atau kelompok keluarga dan masyarakat. Keadaan yang sejahtera dapat ditunjukkan oleh kemampuan mengupayakan sumberdaya keluarga untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa yang dianggap penting dalam kehidupan berkeluarga (Prabawa 1998, diacu oleh Nuryani 2007).

Menurut World Health Organization (WHO) (Santamarina et al. 2002, diacu oleh Suandi 2007), terdapat enam kategori dan kesejahteraan (quality of

life or individu well-being) yaitu fisik, psikologis, tingkat kemandirian, hubungan

sosial, lingkungan dan spiritual. Secara nasional terdapat dua versi pengukuran kesejahteraan keluarga yaitu pengukuran kesejahteraan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) (Suandi 2007). BPS mengartikan kesejahteraan sebagai kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidup minimumnya (Ibrahim 2007).

(10)

Tingkat kesejahteraan keluarga berbeda-beda tergantung wilayah regional maupun geografi serta nilai-nilai sosial budaya dimana keluarga berada yang mengakibatkan terjadi perbedaan dalam menentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kesejahteraan keluarga. Pendekatan yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan keluarga yaitu berdasarkan pendekatan objektif dan subjektif. Pendekatan objektif diturunkan dari data kuantitatif diperoleh dari angka-angka yang langsung dihitung dari aspek yang telah ditelaah. Pendekatan subjektif didapat dari persepsi masyarakat tentang aspek kesejahteraan sehingga hasilnya merupakan perkembangan dari aspek kesejahteraan. Pendekatan dengan indikator subjektif secara filosofi berhubungan erat dengan psikologi sosial masyarakat. Penduduk mungkin mempunyai pandangan sendiri tentang apa arti kesejahteraan yang mungkin bisa berbeda dengan pandangan objektif. Konsep subjektif dapat memberikan pengertian yang mendalam tentang masalah kesejahteraan yang dihadapi rumahtangga (Raharto & Romdiati 2000).

Pendekatan objektif atau disebut dengan istilah kesejahteraan objektif melihat bahwa tingkat kesejahteraan individu atau kelompok masyarakat hanya diukur secara rata-rata dengan patokan tertentu baik ukuran ekonomi sosial maupun ukuran lainnya. Dengan kata lain, tingkat kesejahteraan masyarakat diukur dengan pendekatan baku (tingkat kesejahteraan masyarakat semuanya dianggap sama). Ukuran yang sering digunakan yaitu terminologi uang, pemilikan akan tanah, pengetahuan, energi, keamanan, dan lain-lain. Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan konvensial untuk kepentingan politik karena pengukurannya sangat praktis dan mudah dilakukan, namun sedikit sekali menyentuh kebutuhan masyarakat yang sebenarnya (Santamarina et al. 2002, diau oleh Suandi 2007).

Kesejahteraan dengan pendekatan subjektif diukur dari tingkat kebahagiaan dan kepuasan dirasakan oleh masyarakat sendiri bukan oleh orang lain. Pendekatan subjektif mendefinisikan kesejahteraan berdasarakan pemahaman penduduk mengenai standar hidup mereka dan bagaimana mereka mengartikannya (Santamarina et al. 2002, diacu oleh Suandi 2007). Selanjutnya menurut Diener & Biswas (2000), kesejahteraan secara subjektif menggambarkan evaluasi individu terhadap kehidupan yang mencakup kebahagiaan, kondisi emosi yang gembira, kepuasan hidup dan relatif tidak adanya semangat dan emosi yang tidak menyenangkan.

(11)

Menurut Mardinus (1995), diacu dalam Puspa (2007) mengatakan bahwa untuk menentukan suatu keluarga sudah digolongkan sejahtera secara material atau belum tentunya diperlukan ukuran pendapatan yang biasa disebut garis kemiskinan. Kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Sementara batas kemiskinan absolute yaitu suatu kondisi dimana tingkat pendapatan minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar fisik untuk makan, pakaian, dan perumahan sedangkan seseorang dikatakan miskin jika pendapatan perkapitanya di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan adalah besarnya nilai pengeluaran (dalam rupiah) untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan (batas kecukupan pangan) dan non makanan (batas kecukupan non pangan). Garis kemiskinan diartikan sebagai tingkat pendapatan yang layak untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum. Suatu keluarga yang berpendapatan di bawah garis kemiskinan, tidak dapat memenuhi semua kebutuhan secara material. Namun ada kalanya suatu keluarga, walau berpendapatan di bawah garis kemiskinan tetapi merasa sejahtera daripada keluarga yang berpendapatan lebih tinggi. Hal tersebut dikarenakan kesejahteraan non-fisik dalam keluarga. Kesejahteraan non-fisik dapat diukur dari kesejahteraan spiritual yang lebih subjektif. Kesejahteraan spiritual suatu keluarga dapat diukur dengan kualitas kehidupan non-fisik, antara lain: ketaqwaan, keselarasan, keserasian, daya juang dan aspek non-fisik lainnya (Mardius 1995, diacu oleh Puspa 2007).

Menurut Syarief dan Hartoyo (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga antara lain:

1. Faktor ekonomi. Adanya kemiskinan yang dialami oleh keluarga akan menghambat upaya peningkatan pembangunan sumberdaya yang dimiliki keluarga, yang pada gilirannya akan menghambat upaya peningkatan kesejahteraan keluarga.

2. Faktor budaya. Kualitas kesejahteraan keluarga ditandai oleh adanya kemantapan budaya yang dicerminkan dengan penghayatan dan pengalaman nilai-nilai luhur budaya bangsa. Kemantapan budaya ini dimaksudkan untuk menetralisir akibat dari adanya pengaruh budaya luar. Adanya kemantapan budaya diharpakan akan mampu memperkokoh keluarga dalam melaksanakan fungsinya.

3. Faktor teknologi. Peningkatan kesejahteraan juga harus didukung oleh pengembangan teknologi. Keberadaan teknologi dalam proses produksi

(12)

diakui telah mampu meningkatkan kapasitas dan efisiensi produksi. Penguasaan teknologi ini berkaitan dengan tingkat pendidikan dan pemilikan modal.

4. Faktor keamanan. Keberhasilan pelaksanaan pembangunan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh adanya stabilitas keamanan yang terjamin.

5. Faktor kehidupan beragama.Kesejahteraan keluarga akan menyangkut masalah kesejahteraan spiritual. Setiap keluarga diberi hak untuk dapat mempelajari dan menjalankan syariat agamanya masing-masing dengan tanpa memaksakan agama yang satu kepada agama yang lainnya. Sehingga pemahaman keagaman dan pelaksanaan syariat akan mampu meningkatkan kesejahteraan spiritualnya.

6. Faktor kepastian hukum. Peningkatan kesejahteraan keluarga juga menuntut adanya jaminan atau kepastian hukum.

Karakteristik Keluarga Besar Keluarga

Besar keluarga ditentukan oleh banyaknya jumlah anggota keluarga, biasanya jumlah anak. Besar keluarga akan mempengaruhi pembentukan tingkah laku anak. Semakin besar keluarga, maka semakin sedikit perhatian yang diperoleh anak dari orangtua. Selain itu, keluarga dengan jumlah anak yang terlalu besar seringkali mempunyai masalah dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok keluarga (Palungan 1993, diacu oleh Cahyaningsih 1999). Dalam masyarakat Indonesia, masih ada kemungkinan jumlah keluarga ditambah dengan nenek, adik, bibi, paman, dan keponakan-kpeonakan, namun inti keluarga tetap terdiri dari orangtua dan anak.

Dalam penelitian Prabawa (1998) diacu dalam Puspa (2007) diungkapkan bahwa setinggi apapun tingkat pendapatan yang diperoleh seorang kepala keluarga dalam rumahtangganya, pada akhirnya kesejahteraan mereka akan banyak ditentukan oleh pendapatan per kapita. Besarnya pendapatan per kapita selain ditentukan oleh total pendapatan yang diterima, ditentukan juga oleh seluruh anggota keluarga yang menjadi tanggungan dari kepala keluarga yang bersangkutan. Tidak semua anggota keluarga dalam rumah tangga bekerja produktif sehingga dapat memperbesar beban ketergantungan. Banyaknya jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi tinggi rendahnya pendapatan per

(13)

kapita dan besarnya konsumsi keluarga. Oleh karena itu, jumlah anggota keluarga atau ukuran keluarga akan memberi dorongan bagi rumahtangga bersngkutan untuk lebih banyak menggali sumber pendapatan lainnya.

Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan orangtua merupakan aspek yang mempengaruhi keefektifan komunikasi (Guhardja et al. 1992). Keterlibatan seseorang dalam proses pendidikan atau tingkat pendidikan yang dicapainya akan mempengaruhi dan membentuk cara, pola dan kerangka berfikir, persepsi, pemahaman, dan kepribadiannya (Gunarsa & Gunarsa 2004).

Orang yang berpendidikan tinggi biasa diidentikkan dengan orang yang memiliki mutu sumberdaya manusia yang tinggi, pada umumnya mereka juga mendapat upah dan gaji yang relatif tinggi pula dibandingkan dengan orang bermutu pendidikan rendah (Guhardja et al. 1992). Selain itu, seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang relatif tinggi umumnya memiliki akses informasi yang lebih baik dibandingkan yang berpendidikan rendah (Arianti 2002). Pendidikan dan kesejahteraan adalah dua aspek yang saling mempengaruhi. Tingkat pendidikan akan menentukan kemampuan sebuah keluarga untuk mengakses kebutuhan hidupnya. Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga akan memudahkan keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Syarief 1998).

Pendapatan Per Kapita

Pendapatan dan penerimaan keluarga adalah seluruh pendapatan dan penerimaan yang diterima seluruh anggota keluarga ekonomi. Rumahtangga biasanya digunakan untuk unit analisis pendapatan di daerah pedesaan, karena berbagai kegiatan sektor perekonomian dalam masyarakat pedesaan sulit untuk dipisahkan karena satu keluarga mempunyai berbagai sumber mata pencaharian. Besarnya pendapatan yang diterima rumahtangga dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan suatu masyarakat (BPS 2005).

Pendapatan per kapita adalah pendapatan total yang diperoleh keluarga dibagi jumlah anggota keluarga. Pendapatan juga merupakan indikator yang baik bukan saja pada tingkat kesejahteraan jasmaniah yang dapat dicapai seseorang, tetapi juga terhadap kedudukan sosial seseorang dalam masyarakat. Semakin tinggi pendapatan seseorang, maka orang tersebut semakin bebas memilih dan bergerak. Dengan demikian pendapatan merupakan ukuran yang baik terhadap

(14)

kekurangan dan kedudukan seseorang dalam masyarakat (Ginting & Penny 1984). Aspek yang menonjol pada masyarakat pedesaan adalah gejala pola nafkah ganda, yaitu melakukan pekerjaan lain selain pekerjaan utama untuk dapat meningkatkan pendapatan dan meningkatkan tingkat hidup keluarganya.

Menurut Mangkuprawira (1985), diacu oleh Puspa (2007) ukuran pendapatan yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan keluarga adalah pendapatan keluarga yang diperoleh dari bekerja. Tiap anggota keluarga berusia kerja yang ada pada tiap keluarga akan terdorong bekerja untuk kesejahteraan keluarganya. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa anggota keluarga seperti istri dan anak adalah penyumbang dalam berbagai kegiatan baik dalam pekerjaan rumahtangga maupun mencari nafkah.

Kepemilikan Aset Keluarga

Sumberdaya bermakna sebagai sumber dari kekuatan, potensi dan kemauan untuk mencapai sesuatu manfaat dan tujuan. Sumberdaya merupakan aset, yaitu sesuatu apapun baik yang dimiliki atau yang dapat diakses, yang dapat memberikan nilai tukar untuk mencapai tujuan. Aset tersebut bisa berupa sumberdaya ekonomi potensi manusia, karakter pribadi, kualitas lingkungan, sumberdaya alam, fasilitas masyarakat (Rice & Tucker 1986).

Sumberdaya keluarga ditinjau dari sudut pandang ekonomi merupakan alat atau bahan yang tersedia dan diketahui fungsinya untuk memenuhi kebutuhan atau tujuan keluarga (Gross, Crandall & Knoll 1980). Sumberdaya berdasarkan jenisnya dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu sumberdaya manusia dan sumberdaya materi/non manusia. Sumberdaya manusia mempunyai dua ciri, yaitu pribadi/personal dan interpersonal. Sedangkan sumberdaya materi terdiri dari benda-benda atau barang jasa, waktu, dan energi. Sumberdaya materi dalam keluarga adalah aset/kekayaan keluarga. Menurut Guhardja et al. (1992) aset keluarga dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu 1) aset lancar, yaitu barang-barang kekayaan yang relatif cepat dapat diuangkan misalnya emas, perhiasan, dan tentu saja termasuk uang tunai, 2) aset tidak lancar, yaitu barang-barang kekayaan yang relatif agak lama jika diuangkan misalnya tanah, rumah, mobil, kebun, surat-surat berharga, saham, dan investasi modal.

Sumberdaya keluarga mempunyai arti mengikutsertakan setiap anggota keluarga (pria dan wanita) dalam turut menentukan tingkat pangan, sandang, dan perumahan, tingkat pendapatan, pendidikan, dan kesehatan. Salah satu faktor

(15)

penentuan agar anggota keluarga dapat ikut secara aktif, harus adanya peluang berusaha dan peluang bekerja terkait dengan modal produksi yang diikuasai. Akses Informasi, Sumber Informasi, dan Jenis Informasi

Keberadaan media informasi telah menjadi bagian dalam hidup manusia. Perkembangan teknologi informasi direspon oleh masyarakat yang menghendaki kemudahan akses yang berkaitan dengan jasa telekomunikasi. Interaksi yang tercapai antara manusia dengan teknologi komunikasi dan informasi mengakibatkan terjadinya perubahan pola hidup manusia modern masa kini (Deppen 1993). Menurut Fleur (1966) setiap individu tidak sama perhatiannya, kepentingannya, kepercayaan maupun nilai-nilainya, maka dengan sendirinya pemilihan individu terhadap komunikasi massa juga berbeda-beda. Kekosmopolitan adalah keterbukaan seseorang pada informasi melalui hubungan dengan berbagai sumber informasi. Rogers & Shoemaker (1971) menyatakan bahwa orang yang bersifat kosmopolitmya tinggi biasanya mencari informasi dari sumber informasi di luar lingkungannya, sebaliknya orang yang kosmopolitannya rendah cenderung mempunyai ketergantungan yang tinggi pada tetangganya atau teman-temannya.

Hasil penelitian Gunardi (1988), diacu oleh Puspa (2007) menunjukkan bahwa media radio mulai tidak digemari dan kedudukannya mulai digeser dengan media televisi. Namun begitu pemanfaatan kombinasi media radio-televisi lebih banyak digunakan oleh responden diabndingkan dengan kombinasi radio-surat kabar, dan televisi-surat kabar. Kombinasi kedua media elektronik ini lebih banyak digemari karena dalam menggunakannya tidak menggunakan ketrampilan khusus, harga televisi yang dapat dijangkau, serta dari segi hiburan kombinasi media elektronik ini lebih menarik.

Dukungan Sosial

Menurut Sarafino (1996), manusia sebagai individu dalam kehidupannya dihadapkan dengan berbagai hal yang menyangkut kepentingannya, terutama dalam pemenuhan kebutuhan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap orang memerlukam bantuan atau pertolongan dari orang lain atau sumber-sumber dukungan sosial. Dukungan sosial tidak selamanya tersedia pada diri sendiri melainkan harus diperoleh dari orang lain yakni keluarga (suami atau isteri), saudara, masyarakat (tetangga), dan lembaga masyarakat atau pemerintah.

(16)

Dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan atau bantuan yang diterima individu dari orang lain, baik sebagai individu perorangan atau kelompok. Bentuk-bentuk dukungan sosial yang dibutuhkan terdiri dari dukungan emosional (emotional support), dukungan instrumen (instrument

support), dukungan penghargaan (esteem support), dan dukungan informasi

(informational support). Dukungan instrumental yaitu dukungan yang dapat diberikan langsung berupa bantuan dalam mengerjakan tugas-tugas rumahtangga, pinjaman barang dan uang, serta tenaga (Sarafino 1996). Dukungan emosional yaitu bentuk dukungan yang diberikan seseorang, sehingga penerima dukungan dapat mencurahkan perasaan, kesedihan, ataupun kekecewaan pada sanak keluarganya atau orang lain, yang akhirnya dapat membuat pihak penerima dukungan merasa adanya keterikatan, kedekatan, yang menimbulkan perasaan aman dan percaya (Herrick & Witty 1992, diacu oleh Tati 2004).

Sumber dukungan sosial adalah segala sesuatu yang berjalan secara kontinu dan dimulai dari unit keluarga, kemudian bergerak secara progresif dari individu-individu anggota keluarga, mereka merupakan anggota kelompok yang dianggap penting dalam memberikan dukungan sosial. Secara operasional sumber-sumber dukungan sosial dibagi ke dalam dua golongan, yaitu sumber dukungan informal dan sumber dukungan formal. Sumber dukungan informal terdiri dari sumber dukungan individu seperti suami/isteri, tetangga, saudara, teman. Dukungan yang dapat diperoleh antara lain berupa dukungan emosional, kasih sayang, nasehat, material, dan informasi. Selanjutnya sumber dukungan formal yang dapat diperoleh dari bidang professional seperti psikiater atau psikolog, dan dari pusat-pusat pelayanan seperti rumah sakit, panti sosial, dan lembaga pelayanan lainnya (Tati, 2004).

Kondisi Rawan Bencana Alam

Psikologi lingkungan mempelajari interaksi antar manusia dan lingkungan fisik mereka. Satuan dari individu dan lingkungannya dinamakan ekosistem. Dalam ekosistem kita, lingkungan membantu membentuk perilaku kita dengan tiga cara, yaitu: 1) dengan menghalangi perilaku; 2) dengan mendatangkan perilaku tertentu; dan 3) dengan membentuk diri pribadi (Calhoun & Acocella 1995). Aspek lingkungan tertentu dapat menyebabkan stress.

(17)

Bencana alam adalah konsekwensi dari kombinasi aktivitas alami (suatu peristiwa fisik, seperti letusan gunung, gempa bumi, tanah longsor) dan aktivitas

manusia. Karena ketidakberdayaan manusia akibat kurang baiknya manajemen

keadaan darurat, sehingga menyebabkan kerugian dalam bidang keuangan dan struktural, bahkan sampai kematian. Kerugian yang dihasilkan tergantung pada kemampuan untuk mencegah atau menghindari bencana dan daya tahan mereka (Bankoff et al 2003 dalam Anonim c 2009).

Bencana dapat disebabkan oleh kejadian alam (natural disaster) maupun oleh ulah manusia (man-made disaster). Faktor-faktor yang dapat menyebabkan bencana antara lain:

1. Bahaya alam (natural hazards) dan bahaya karena ulah manusia (man-made

hazards) yang menurut United Nations International Strategy for Disaster

reduction (UN-ISDR) dapat dikelompokkan menjadi bahaya geologi (geological hazards), bahaya hidrometeorologi (hydrometeorological hazards), bahaya biologi (biological hazards), bahaya teknologi (technological hazards) dan penurunan kualitas lingkungan (enviromental degradation)

2. Kerentanan (vulnerability) yang tinggi dari masyarakat, infrastruktur serta elemen-elemen di dalam kawasan berisiko bencana

3. Kapasitas yang rendah dari berbagai komponen di dalam masyarakat

Secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng benua Asia, benua Australia, lempeng samudera Hindia, dan samudera Pasifik. Pada bagian selatan dan timur Indonesia terdapat sabuk vulkanik (volcanic arc) yang memanjang dari pulau Sumatra–Jawa–Nusa Tenggara-Sulawesi, yang sisinya berupa pegunungan vulkanik tua dan daratan rendah yang sebagian didominasi rawa-rawa. Kondisi tersebut sangat berpotensi sekaligus rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir, dan tanah longsor. Data menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika Serikat (Arnold 1986 diacu dalam kementrian negara perencanaan pembangunan nasional/badan perencanaan pembangunan nasional 2006).

Referensi

Dokumen terkait

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Bupati tentang Bantuan Keuangan Khusus Untuk Rehabilitasi Sarana dan

melakukan penyiapan bahan penyusunan laporan tindak lanjut hasil pengawasan Inspektorat Jenderal dan fasilitasi pengawasan;.. melakukan pemutakhiran data hasil pengawasan

Berdasarkan Peraturan Bupati Bantul Nomor ... Tahun 2016 tentang Pemberian Penghapusan Sanksi Administratif Piutang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan

melakukan penyiapan bahan pemantauan dan evaluasi pengembangan kelembagaan perguruan tinggi di wilayah kerjanya;.. melakukan penyiapan bahan penyajian data dan

PANGKAJENE KEPULAUAN SULAWESI SELATAN... SELAYAR

(3) Rencana pola ruang Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang selanjutnya disebut Rencana Pola Ruang Provinsi merupakan gambaran pemanfaatan ruang

Penggabungan kelompoktani ke dalam GAPOKTAN dilakukan agar kelompoktani dapat lebih berdaya guna dan berhasil guna, dalam penyediaan sarana produksi pertanian, permodalan,

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran kunci determinasi berpengaruh terhadap